Politik Militer Indonesia Pasca Orde Bar

Judul Buku Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent
Transition to Democratic Consolidation Penulis Marcus Mietzner Penerbit ISEAS,
Singapore Tahun 2009 Halaman xvi + 426 halaman

Politik Militer Indonesia Pasca Orde Baru
Daniel Hutagalung

Buku ini berasal dari disertasi doktoral Marcus Mietzner di Australian National
University. Secara umum dalam buku ini Mietzner mencoba melakukan analisa
teradap hubungan sipil-militer Indonesia pasca kekuasaan Soeharto. Buku ini
mendiskusikan sebab-sebab dan konsekuensi persoalan-persoalan yang dihadapi
Indonesia dalam upayanya menciptakan kontrol yang demokratis terhadap
kekuatan militer sebagai agenda utama program reformasi pasca rezim
oteriterian Soeharto.
Dalam buku ini Mietzner juga melihat sisi lain dalam hubungan sipil-militer, yakni
analisanya terhadap perkembangan Islam politik sebagai salah satu kunci pokok
untuk melihat pola umum dari politik sipil dalam transisi Indonesia. Namun,
Mietzner menekankan bahwa bukunya bukanlah suatu studi mengenai interaksi
khusus antara militer dengan Islam politik, meskipun adanya fakta bahwa militer
dan individu-individu tertentu di dalamnya kadangkala menciptakan aliansi
dengan pimpinan maupun kelompok-kelompok Islam untuk melayani

kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, dalam buku ini Mietzner mencoba juga
untuk memberikan tekanan pada bagaiamana perkembangan di dalam
komunitas Muslim mempengaruhi hubungan sipil-militer.
Dalam buku ini, Mietzner bersandar preposisi bahwa kontrol yang demokratis
terhadap angkatan bersenjata merupakan salah satu faktor kunci dalam
kesuksesan transisi dari sistem otoriterian kepada demokrasi. Buat Mietzner,
inklusi dari kontrol demokratis menjadi konsep reformasi sektor keamanan
sangatlah penting bagi klarifikasi dua issu utama: pertama, hal itu mendefinisikan
reformasi militer adalah sebagai suatu bagian yang sangat penting dari sebuah

1

proses besar mereformasi, bukan saja, institusi-institusi keamanan lainnya (polisi,
milisi bersenjata, agen-agen kekerasan), melainkan sistem pemerintahan secara
keseluruhan. Kedua, problem sipil-militer bukan semata-mata soal
mengendalikan dan membatasi kekuatan politik militer, melainkan juga menjamin
proses reformasi tidak menghasilkan erosi kondisi keamanan secara umum. Di
sini Mietzner menilai perlunya juga menganalisa bagaimana hubungan dan
rivalitas di antara kelompok sipil memberikan dampak terhadap peluang untuk
menciptakan kontrol demokratis terhadap angkatan bersenjata.

Meitzner mengawali studinya dengan menguraikan wilayah-wilayah yang menjadi
sasaran militer untuk ikut terlibat atau mempengaruhi, yakni sektor: politik,
ekonomi, institusional dan sosial-budaya. Dengan identifikasi dan deskripsi
mengenai sektor-sektor ini, maka bisa diuraikan peluang intervensi macam apa
yang ditawarkan oleh sektor-sektor tersebut, akan memudahkan dalam
mengidentifikasi diversi dari model normatif dari kontrol yang demokrtais atas
militer, dan sekaligus menyediakan perangat analitis untuk menganalisa kasus
Indonesia.
Secara teoritis Mietzner menguraikan adanya empat model tipologis intervensi
militer yang mendominasi diskursus hubungan sipil-militer dalam negara otoriter.
Sekalipun model-model tersebut kurang begitu akurat dalam menganalisis
dinamika hubungan sipil-militer dalam negara-negara yang sedang mengalami
transisi, namun sangat menolong dalam memberikan gambaran mengenai
tingkat intervensi militer yang harus dihadapi negara saat dimulainya transisi
demokrasi. Model pertama adalah “Praetorian”, di mana dalam pemerintahan
model ini militer merupakan komponen utama dalam menjalankan negara, dan
seluruh institusi dan kekuatan lainnya berada di bawah kontrol militer. Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif dikuasai oleh militer, baik secara langsung maupun
diduduki sipil yang loyal kepada militer. Rejim Praetorian biasanya berkuasa lewat
peraturan keadaan darurat. Sejumlah negara Amerika Latin dan Afrika era

1950an, Korea Selatan dan Bangladesh di era 1980an, serta Burma saat ini
merupakan contoh dari tipe “Praetorian”.
Model kedua adalah “Participant-Ruler”, di mana terdapat partisipasi militer
langsung dalam menjalankan pemerintahan, namun tidak memegang kontrol
sepenuhnya atas pemerintah. Dalam model ini kekuatan militer umumnya
membangun aliansi atau melayani kepentingan elit sipil tertentu, dan ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan, dengan timbal-balik mendapatkan kekuasaan
untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan keamanan. Filipina di bawah Marcos

2

dan Thailand pada era 1980an dan mayoritas negara-negara komunis merupakan
contoh dari hubungan negara-militer tipe ini.
Model ketiga adalah “Guardian”, di mana militer tidak perlu berpartisipasi atau
mendominasi pemerintah, namun militer memiliki kekuasaan yang cukup kuat
untuk memberikan penilaian terhadap performa pemerintahan sipil dan
menggantinya jika dipandang perlu. Jenis militer seperti itu mendefinisikan diri
mereka sebagai pelindung dari nilai-nilai dan tujuan nasional, baik itu dalam
rangka menjaga integritas kewilayahan negara ataupun kesetiaan pada ideologi
nasional tertentu. Contoh model ini adalah Turki, di mana militer berada di luar

institusi-institusi pemerintah, namun tetap memiliki kekuatan dan kekuasaan
untung menentang setiap pemerintahan yang dianggap melanggar prinsipprinsip sekulerisme, atau tidak bekerja cukup baik untuk menanggapi ancaman
suku Kurdish di wilayah perbatasan Turki.
Model keempat adalah model “Referee” yang menggambarkan peran militer di
negara-negara yang memiliki kompetisi politik tingkat tinggi, di mana kekuatan
angkatan bersenjata bertindak sebagai “king-makers”. Dukungan dari militer
sangat menentukan dalam pertarungan kekuasaan terutama bagi kelompok
tertentu yang mendapat dukungan, dan untuk itu para pejabat tinggi militer akan
mendapatkan konsesi karena dukungannya tersebut. Konsesinya bisa dalam hal
ikut membentuk pemerintahan dan ikut berpartisipasi, atau pemerintah akan
melayani sejumlah kepentingan militer secara khusus. Gagasan tentang militer
sebagai “wasit” merujuk pada fungsi militer sebagai mediator yang netral dalam
konflik politik, meskipun sangat jarang terjadi.
Menurut Mietzner, dari semenjak tahun 1950an, Indonesia pernah melalui dan
mengalami keempat model tersebut. Peran angkatan bersenjata pada era
demokrasi parlementer adalah model guardian di mana militer ikut serta
menghentikan sistem demokrasi di tengah ancaman terhadap integritas nasional.
Selama era Soekarno (1959-1965), angkatan bersenjata berperan sebagai
participant-rulers, yang saling berbagi kekuasaan dengan Presiden dan
menghadapi bengkitnya pengaruh komunis. Intervensi militer pada tahun 1965

menciptakan rejim praetorian di mana militer melakukan kontrol atas semua
institusi negara, dan tahun 1990an berubah kembali menjadi participant-rulers.
Model “referee” bisa dilihat mulai awal reformasi (1999-2001), di mana militer
lebih memosisikan diri mereka sebagai broker kekuasaan di anatra kekuatan sipil
yang saling bertarung, untuk memperoleh sejumlah konsesi. Setalah era
Yudhoyono, militer bisa dikatakan kehilangan “kekuasaan veto”, meskipun
demikian mereka masih mendapatkan sejumlah “hak istimewa”, di antaranya:

3

secara de facto memeproleh impunitas dari proses penyidikan hukum, struktur
komando teritorial dan sistem swadana militer.
Mietzner mencoba mengaitkan bagaimana hubungan sipil-militer dan juga
konteks pembagian dalam komunitas Muslim di Indonesia merupakan salah satu
sumber utama konflik dalam wilayah politik sipil, dengan menguraikan
penjelasannya mengenai keberjarakan sosial, politik, dan keagamaan antara
kalangan nasionalis-sekuler dengan Islam fanatik di satu sisi, dan juga konflik
antara Islam tradisonal dan modern. Mietzner menilai bahwa sedikit banyak ada
peran dan keterlibatan militer dalam mengelola konflik-konflik tersebut. Selain itu
juga munculnya kelompok Islam militan pasca Orde Baru, dilihat sebagai salah

satu hal yang digunakan militer untuk memainkan perannya dalam fungsi
keamanan, yang telah diambil-alih polisi. Adanya proyek “perang melawan
terorisme” secara perlahan, mengembalikan kembali militer dari isolasi dan
sanksi internasional, dan adanya prioritas untuk mengembangkan fungsi
kapasitas counter-terrorism lebih dari kebutuhan adaptasi militer secara struktural
ke dalam sistem demokrasi.
Secara keseluruhan, Mietzner mencoba untuk mempresentasikan secara detil
hubungan sipil-militer selama dan sesudah jauthnya rejim Orde Baru Soeharto
pada 1998. Mietzner berupaya memotret naik-turunnya hubungan tersebut, baik
dari perkembangan perspektif internal militer dan dinamika yang terjadi di dalam
politik sipil, Mietzner membagi dua fase dari transisi hubungan sipil-militer, yakni:
pertama, fase antara 1998-2004, di mana adanya jurang yang dalam di antara
kelompok-kelompok sipil memungkinkan angkatan bersenjata tetap dapat
memperpanjang “hak-hak istimewa” mereka dalam pemerintahan negara
demokrasi yang baru, namun tidak stabil. Fase kedua, yang sangat berbeda dari
yang pertama, yakni pasca 2004 di mana konsolidasi demokrasi menunjukkan
kuatnya kontrol pemerintah atas militer, yang dihasilkan dari politik sipil yang
stabil, dan menurunnya secara signifikan berbagai konflik antar kekuatan kunci
dalam masyarakat. Mulai 2008, militer Indonesia perlahan mulai jauh
meninggalkan masa lalunya yakni sebagai instrumen rezim-stabilitas dari

pemerintahan represif Soeharto, dan juga sebagai mediator di antara persaingan
kelompok sipil pada era awal transisi. Sekalipun militer masih menggenggam
sejumlah hak istimewa dalam politik dan sosial, mereka bukan lagi sebagai “vetoplayer” dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia, di mana kekuasaan militer
untuk menentukan soal-soal dalam urusan politik sudah sangat dikurangi.
Dalam studinya ini, Meitzner menarik kesimpulan bahwa Indonesia telah
membuat kemajuan sangat penting dalam mengarahkan reformasi militer

4

generasi pertama, dan kaitannya dengan perubahan kelembagaan pada sektor
keamanan di dalam pemerintahan. Indonesia melakukan keberhasilan besar
dalam mencabut militer dari politik formal, dan memperkuat lembaga kontrol
sipil dalam memperkenalkan dan menggunakan undang-undang baru untuk
mengelola angkatan bersenjata. Meskipun demikian bagi Meitzner, diabaikannya
dua faktor kunci agenda reformasi, yakni: prkatik swadana yang masih
berlangsung dan struktur komando teritorial, akan menghalangi Indonesia
sepenuhnya memasuki tahapan generasi kedua reformasi, yakni penciptaan
mekanisme institusional demokrasi sipil yang bermakna dan bisa bertahan lama.
Catatan penting dari studi ini adalah kurang koherennya bangunan argumen
Mietzner dalam mengaitkan hubungan sipil-militer dengan politik Islam, di mana

yang belakangan lebih terlihat sebagai tempelan untuk mendukung argumen
pokoknya, yakni pasang-surut hubungan sipil-militer di Indonesia. Namun,
meskipun demikian, buku ini disandarkan pada sumber informasi yang kaya,
dengan demikian banyaknya wawancara sumber-sumber kunci, baik dari
kalangan militer, sipil maupun Islam, yang membuatnya menjadi demikian kaya
dan bernuansa kebun-bunga, di mana berbagai argumen dan pandangan yang
demikian beragam bisa ditampilkan untuk menopang argumentasi pokok buku
ini, yakni melihat pasang-surut hubungan sipil-militer di Indonesia, terutama
setelah reformasi, di mana sejumlah persoalan dan agenda yang belum selesai
masih akna menjadi batu penghalang yang memuluskan hubungan keduanya.

5

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157