Farny Sutriany Jafar. 2015 . Studi Kasus

STUDI KASUS KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF ANAK
PADA IBU YANG BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA
DI TK DARUL ATSAR SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR
Farny Sutriany Jafar
Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
farny_sutriany@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan kecenderungan agresif anak pada ibu yang bekerja,
(2) mendeskripsikan kecenderungan agresif anak pada ibu yang tidak bekerja, (3)
mendeskripsikan perbandingan kecenderungan agresif anak pada ibu yang bekerja dan tidak
bekerja di TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur. Jenis penelitian ini adalah deskriptifkomparatif, yakni mendeskripsikan kecenderungan agresif anak dengan membandingkan antara
pada ibu yang bekerja dengan yang tidak bekerja. Dalam pengumpulan datanya, peneliti
bertindak selaku instrumen penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) kecenderungan
agresif anak yang ibunya bekerja, (2) kecenderungan agresif anak yang ibunya tidak bekerja, (3)
tanggapan guru yang menangani di sekolah, (4) tanggapan ibu yang bekerja, dan (5) tanggapan
ibu yang tidak bekerja. Data tersebut diperoleh melalui dua sumber data, yakni dokumentasi dan
informan. Teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui dokumentasi, wawancara, dan
observasi. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptifkomperatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan agresif anak pada ibu yang
bekerja disebabkan karena perlakuan manja dan keinginan yang tidak terpenuhi. Kecenderungan
agresif anak pada ibu yang tidak bekerja disebabkan karena perlakuan kasar dan kekerasan fisik,

serta keinginan memiliki kepunyaan orang. Kecenderungan agresif anak tidak banyak
disebabkan oleh ibu yang bekerja atau tidak bekerja, tetapi pada pola asuh dan pemberian model
positif yang dapat dicontoh oleh anak, di TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur.
Kata Kunci : kecenderungan agresif, ibu bekerja, ibu tidak bekerja

Abstract
The objectives of the research are to describe (1) the tendency of aggressive behavior children
at working mother, (2) the tendency of aggressive behavior children at non-working mother, (3)
the comparison tendency of aggressive behavior children at working mother and non-working
mother at TK Darul Atsar Samarinda, East Kalimantan. This study is a comparative-descriptive
research, which describe the aggressive tendency of children by comparing working and nonworking mother. In collecting the data, the researcher becomes the instrument of the research.
The collected data include (1) the tendency of aggressive behavior children whose mother are
working, (2) the tendency of aggressive behavior children whose mother are non-working, (3)
response of teacher in school, (4) response of the working mother, and (5) response of the nonworking mother. The data were collected through two sources, namely documentation and
informants. Techniques of collecting the data were conducted by documentation, interview, and
observation. The data were then analyzed by using descriptive-comparative analysis. The results
of the study show that the tendency of aggressive behavior children at working mother is caused
by spoiled treatment and insatiable desire but the aggressive tendency is decreased; the
tendency of aggressive behavior children at non-working mother is caused by rudeness and
physical abuse and the desire to have people’s belonging, and the tendency of aggressive


behavior is significantly decreased. The tendency of aggressive behavior children is mostly not
caused by working or non-working mother but on the education system and positive model
provision to children at TK Darul Atsar Samarinda, East Kalimantan.
Key-words: aggressive behavior, working mother, non-working mother

Pendahuluan
Pendidikan anak usia dini yang dikenal dengan sebutan kindergarden school (TK)
memiliki urgensi penting dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental
anak didik di luar lingkup keluarga sebelum memasuki jenjang pendidikan secara formal.
Dengan demikian, sistem pendidikan di Taman Kanak-Kanak haruslah menyenangkan serta
mengikuti program yang sesuai tingkat perkembangan individual masing-masing. Dalam hal ini
penekanan sistem pendidikan Taman Kanak-Kanak adalah kemampuan untuk melakukan
penyesuaian sosial bukan hanya pada kemampuan akademis semata.
Anak usia dini di TK merupakan permasalahan yang kompleks karena anak pada usia ini
memiliki bermacam perilaku yang mudah bergerak dan berkembang sangat cepat. Keadaan ini
masih labil dan sangat mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan internal
maupun lingkungan eksternal. Anak pada usia ini (2–7 tahun) oleh Piaget (Eggen dan Kauchak,
1997:38) dinamakan tahap pra-operasional. Dalam banyak hal tahap preoperasional tidaklah
menguntungkan perkembangan karena terdapat beberapa tahap pengembangan yang komplit.

Berpikir preoperasional bercirikan lima aspek perkembangan: egosentrisme, cenration, nontransformasi, irreversibility, dan kekurangan alasan sistematik.
Pengaruh yang dialami anak kadang bisa menjadi gangguan jika dapat menyebabkan hal
yang berlebihan dan bersifat negatif. Sebagian besar gangguan di masa kanak-kanak, seperti
gangguan anxietas perpisahan, merupakan gangguan khas pada anak-anak. Namun banyak
gangguan yang lain, seperti gangguan konsentrasi/hiperaktif (ADHD-attantion devisit/
hiperactivity disorder), dikonseptualisasi utamanya sebagai gangguan di masa kanak-kanak
(Davidson dkk., 2006:677). Gangguan lain yang bisa muncul adalah perilaku agresif yang terjadi
pada anak-anak usia 4 – 5 tahun atau usia TK A.
Usia TK A (4-5 tahun) merupakan usia yang selalu mengundang masalah terutama pada
perilaku anak (Hurlock, 1991 dalam Ratnasari, 2003:8). Anak seringkali menunjukkan perilaku
agresif, baik secara verbal maupun non verbal. Anak agresif selalu menunjukkan ciri-ciri, yaitu
melakukan tindakan-tindakan agresif agar tujuan tercapai, menunjukkan perilaku agresif melalui
berbagai bentuk verbal maupun non verbal. Anak menunjukkan perilaku agresif untuk

mewujudkan keinginan yang tidak dapat disalurkan karena mengalami tekanan-tekanan
lingkungan sosial.
Perilaku agresif anak usia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu di antaranya adalah
pengabaian di masa kecil. Hal ini dikemukakan Bibilung (2008:2) sebagai berikut:
The problem is, who care about child neglect. The lack of attention given to the problems
this indifference-called 'ignore pengabaian'-is' concern on hold' in the field of child

welfare, Why is that? The problem, according to hussey, visitors often considered a
problem more common rather than violence. Moreover, we know relatively little about the
impact of neglect on children.
Maksudnya adalah masalah siapa peduli pengabaian anak, kurangnya perhatian yang
diberikan pada masalah pengabaian. Hal ini disebut ‘mengabaikan pengabaian’ adalah
‘kepedulian dalam penantian’ di bidang kesejahteraan anak. Mengapa disebut demikian?
Masalahnya, pengabaian sering dianggap masalah lebih umum terjadi ketimbang kekerasan.
Tambahan lagi, orang relatif sedikit mengetahui tentang dampak pengabaian pada anak.
Taman Kanak-Kanak Darul Atsar sebagai lembaga penyelenggara dan penanggung jawab
pendidikan anak usia dini melakukan proses pembelajaran berorientasi pada tujuan untuk
membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya
cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk
pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, membantu peletakan dasardasar potensi pikiran dan hati anak didik dalam mengenal diri dan lingkungan disekitarnya,
sebagai upaya untuk membangun kemandirian sesuai dengan tahap perkembangan masingmasing individu.
Penyelenggaraan pendidikan, TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur tidak
memilah-milah anak berdasarkan gangguan yang dialami anak. Proses pembelajaran
menggunakan metode secara umum, artinya tidak memberikan perhatian khusus pada kelompok
anak tertentu, misalnya khusus pada anak dengan kecenderungan perilaku agresif, tetapi tidak
pula mengabaikan, akan tetapi selalu mencari solusi menangani anak yang berperilaku khusus
ini. Inilah yang menjadi komitmen menjalankan pendidikan secara efektif dan efisien di TK ini.

Kenyataan di lapangan yang diamati oleh peneliti menunjukkan bahwa terdapat 2 orang
anak yang memiliki kecenderungan perilaku agresif di Taman Kanak-Kanak Darul Atsar
Samarinda Kalimantan Timur. Masing-masing anak tersebut adalah anak-anak pada ibu yang
bekerja dan ibu yang tidak bekerja, mereka memiliki tingkat keagresivan yang berbeda-beda,

namun bagaimana bentuk keagresivan dan intensitas keagresivan anak pada ibu yang bekerja dan
tidak bekerja ini yang akan dipelajari dengan sebuah penelitian.
Kemampuan mengenal emosi diri, anak belum dapat mengidentifikasikan perasaan yang
sedang mereka rasakan, menjelaskan peristiwa yang menyebabkannya, anak sering menganggu
teman, dan menimbulkan kekacauan di dalam kelas. Selain kurangnya rasa empati, anakpun
belum mampu mengelola emosinya. Ketika marah, anak sering melampiaskan kemarahan
dengan melempar benda-benda di dalam kelas. Jika anak menginginkan sesuatu yang sedang
dipegang oleh temannya, anak selalu mengambil dengan cara merebutnya. Anak sulit dibujuk
untuk menghentikan perilaku ini, dan sering berulang meski anak sudah diberi hukuman atau
peringatan berulang kali oleh guru.
Rendahnya kemampuan anak dalam mengenal dan mengelola emosi berdampak pada
kemampuan membina hubungan dengan teman-temannya. Karena perilaku anak sering
menganggu, maka anak cenderung ditolak oleh lingkungannya sehingga anak sering bermain
sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebiasaan anak menggunakan aktivitas fisik dan
nonfisik yang menyakiti temannya seperti memukul, menendang atau mencerca.

Erickson dalam teori psikoanalisisnya menggambarkan bahwa perilaku anak dipengaruhi
oleh bagaimana orang-orang penting dalam kehidupan anak memperlakukannya terutama oleh
ibunya karena ketergantungan anak yang tinggi pada sosok seorang ibu pada masa-masa awal
kehidupannya. Kualitas hubungan yang terjadi pada awal perkembangan anak akan menjadi
dasar bagi perkembangan anak pada masa sesudahnya. Perilaku anak adalah hasil dari
pengalaman anak dengan lingkungan terdekatnya. Bandura (dalam Anantasari, 2007;93) lewat
teori belajar sosialnya mengungkapkan bahwa anak belajar agresif dengan melihat kehidupan
sehari-hari misalnya saudara, orang tua, teman, pembantu dan sebagainya. Oleh karenanya selain
orang tua perlu juga ”menjaga perilaku diri”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang
diabaikan pada saat bayi menunjukkan tingkat perilaku agresif yang lebih tinggi pada usia 4
hingga 8 tahun.
Kecenderungan perilaku agresif anak tidak terlepas dari pengaruh dan penanganan
orangtua, dalam hal ini adalah ibu. Ibu merupakan pendidik pertama dan utama pada anak,
bahkan pendidikan telah berlangsung saat di dalam kandungan. Ibu menjadi pendamping dan
memberikan bantuan dalam mengatasi keagresifan anak yang dapat berdampak negatif, baik

pada diri anak itu sendiri maupun pada orang lain. Peranan ibu ini sangat penting terhadap
penanganan anak terutama dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Hal-hal yang dikemukakan diataslah yang menjadi dasar untuk melakukan penelitian di TK
Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur dengan pokok persoalan pada anak usia dini dengan

kecenderungan perilaku agresif pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Selain alasan tersebut di
atas, belum ada atau masih kurangnya penelitian yang dilakukan mengenai hal ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada orangtua siswa TK. Darul Atsar yang telah
bersedia menjadi informan dalam penelitian ini. Ucapan ini pula kami sampaikan kepada
Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda yang telah bersedia memberikan bantuan untuk
hasil kajian ini dipresentasikan dalam seminar nasional.
Metode Penelitian
Berdasarkan eksplanasinya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian
yang dimaksudkan untuk mengambarkan dan mengklarifikasi mengenai kecenderungan perilaku
agresif anak pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian kualitatif pada 2 (dua) orang responden. Penelitian ini dilaksanakan di
Taman Kanak-Kanak Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur. Adapun pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui
reduksi data, pengorganisasian dan pengelompokan data, pemeriksaan, penafsiran dan verifikasi.
Hasil & Pembahasan
1.

Gambaran Keagresifan Anak pada Ibu yang Bekerja
Penggambaran keagresifan anak pada ibu yang bekerja diperoleh melalui wawancara


dengan anak itu sendiri, guru yang mengajarnya, dan dengan ibunya. Informasi yang diinginkan
pada wawancara ini adalah bagaimana kecenderungan keagresifan anak, baik dalam perilaku
verbal maupun nonverbal, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi kecenderungan
tersebut. Adapun anak yang diteliti bernama D berusia 5 tahun 4 bulan. D berkulit sawo matang,
berbadan kurus, tinggi 95 cm, dan potongan rambut yang pendek dan hitam. D termasuk anak
yang pendiam, memiliki keluarga yang utuh tetapi ayah dan ibunya tinggal pada kota yang
berbeda karena tuntutan pekerjaan. D anak ketiga dari tiga bersaudara, akan tetapi kedua orang
kakaknya meninggal di dalam kandungan, D pun lahir prematur dengan berat 2,7 kg bahkan
terancam tidak bisa hidup karena kandungan ibunya yang lemah. Kesehariaannya D tinggal

bersama ibu, nenek dan tantenya, ayahnya bernama MS yang bekerja di salah satu perusahaan
swasta di Jakarta hanya sekali sebulan datang ke Samarinda. Ibu D bernama H pun bekerja
sebagai staf administrasi di perusahaan GP, sehingga kesehariaannya D diasuh oleh nenek, tante,
dan pembantu. Rumah D terletak di Perumahan Rapak Benuaq, daerah yang cukup asri, jauh dari
polusi dan rumah-rumah pun agak berdekatan, hanya saja lingkungannya cukup sepi. Sehari-hari
ia hanya bermain bersama tante, nenek dan pembantunya, karena di dekat rumahnya tidak ada
anak yang seusia D, kalau pun ada yang seusia rumahnya agak jauh dari rumah D.
Berikut ini disajikan kesimpulan wawancara.
Adapun informasi dari anak (D) berupa pengamatan bahwa kecenderungan keagresifan
anak yang terdiri atas verbal dengan indikator cercaan, bantahan, ejekan, dan makian, serta

nonverbal dengan indikator pukulan, tendangan, cubitan, dan merampas.
a. Keagresifan Verbal
Keagresifan verbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) cercaan, (2)
bantahan, (3) ejekan, dan (4) makian. Perilaku cercaan dilakukan sebanyak lebih dari 3 kali
sehari, yang menjadi sasaran adalah teman-teman dan guru, kadang-kadang mengeluarkan katakata ”kamu jelek, jelek, jelek”, ”bu guru gendut kaya badut”, sambil menarik-narik baju
temannya, atau sambil memukul, alasan melakukan cercaan karena diolok-olok temannya, dan
upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan berbicara secara baik-baik.
Perilaku membantah terlihat pada bantahan dilakukan lebih dari 1 kali dalam seminggu,
bentuk bantahannya adalah dengan membantah pernyataan diikuti tangisan, alasan melakukan
bantahan karena ia dibantah juga oleh teman-temannya, dan respon orang yang dibantah hanya
diam saja.
D jarang terlihat mengejek teman-temannya hanya 1 kali dalam seminggu, biasanya yang
menjadi sasaran ejekan adalah teman-temannya, alasan melakukan ejekan karena diolok-olok
oleh temannya, bentuk ejekannya adalah dengan menjulurkan lidah sambil mengatakan ucapan
kasar ”goblok”, dan upaya mengatasi perilaku ini yaitu bicara dengan baik-baik, melarang
teman-temannya untuk mengejeknya, dan memintanya untuk bersabar.
D juga sering melakukan makian, sasaran makian adalah teman-teman ”anak cacing”
sehingga ia pun membalasnya dengan sebutan ”orang miskin, anak bau”, dilain waktu pun ia
selalu mengulang-ulang sebutan itu, ia melakukan ini sejak awal sekolah (awal Januari), alasan
memaki karena ia diejek oleh temannya. Dan upaya untuk mengatasi perilaku ini adalah dengan


memberitahu dengan baik-baik bahwa hal tersebut tidak baik, menasihati teman-temannya agar
tidak mengganggunya.
Kecenderungan perilaku agresif pada D ada penurunan dilihat dari berapa kalinya
melakukan dalam seminggu. Yang menjadi sasaran kebanyakan adalah teman sepermainan dan
kepada guru frekuensinya sangat sedikit. Alasan melakukan keagresifan ini adalah karena tidak
diikuti kemauannya, hanya sedikit frekuensinya dengan tanpa alasan. Cara mengatasinya hanya
menggunakan tiga pola, yaitu melarang, menasihati, dan mengajari bergaul.
b. Keagresifan nonverbal
Pada Keagresifan nonverbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) pukulan,
(2) tendangan, (3) cubitan, dan (4) merampas.
Pukulan yang dilakukan D sebanyak lebih dari 5 kali dalam seminggu dan yang menjadi
sasaran pukulan adalah teman-teman dan guru. Alasan melakukan pukulan karena tidak
dipinjamkan mainan dan temannya tidak mau bermain bersamanya, respons orang yang dipukul
membalas memukul dan menangis. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarangnya
dan melerai.
D juga terlihat melakukan tendangan yang dilakukan sebanyak lebih dari 3 kali dalam
minggu itu, bagaimana ia melakukannya adalah menendang dengan keras, menendang apa saja
yang ada di dekatnya seperti meja, kursi bahkan temannya jika ada didekatnya. Alasan
melakukan pukulan karena keinginannya tidak terpenuhi seperti menginginkan makan temannya.

Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan menasihati dengan baik.
D melakukan cubitan sebanyak lebih dari 2 kali dalam minggu itu, yang menjadi sasaran
cubitan adalah teman dan gurunya, dan waktu melakukan perilaku ini ketika bermain atau belajar
bersama. Alasan melakukan cubitan karena keinginannya tidak terpenuhi seperti menginginkan
makanan temannya. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan menasihati dengan bijak.
D juga terlihat merampas sebanyak lebih dari 3 kali dalam minggu itu, yang dirampasnya
adalah barang-barang milik temannya seprti alat tulis dan tas, waktu melakukan perilaku ini baik
saat pembelajaran di kelas maupun saat bermain di luar kelas. Alasan melakukan merampas
karena menginginkan barang-barang orang menjadi miliknya dan jika tidak dipinjamkan oleh
temannya. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan memberi nasihat kepadanya dan
mengajarinya cara meminjam yang baik kepada temannya.

Sebagai konklusi dari aspek keagresifan nonverbal ini adalah frekuensinya tidak banyak,
berkisar antara 1 kali sampai 3 kali dalam sepekan. Yang menjadi sasaran perlakuan agresif
kebanyakan adalah teman-temannya, sedangkan kepada guru jumlahnya sedikit. Alasan
melakukan perilaku ini adalah karena tidak diperhatikan oleh temannya dan jika ada yang ingin
dipinjam tapi tidak diberikan. Cara mengatasinya adalah dengan melindungi temannya yang
menjadi sasaran, melarang, dan menasihatinya.
Tanggapan terhadap kecenderungan keagresifan D diperoleh dari ibu guru yang
menangani atau mengajarnya. Ketika ditanyakan tentang keseharian D di sekolah, jawaban yang
diperoleh adalah sebagai berikut.
D itu cenderung pendiam di kelasnya, bicara seperlunya tapi kalau D bicara biasa
langsung nyaring … temannya juga tidak terlalu banyak yang dekat dengan dia, kalau
main suka sendiri, mengerjakan sesuatu juga sendiri, kalau kerja kelompok dia lebih
banyak diam atau dia buat sendiri itu kerjaannya … dia tidak suka diganggu oleh siapa
pun juga apalagi kalo ada dia bikin, main-main saja kalau ada temannya mau pinjam
barangnya dia tidak bolehkan, bisa-bisa itu temannya dia pukul.
Ketika ditanyakan tentang keseringan menggangu temannya di kelas, maka Ibu S
memberikan informasi sebagai berikut.
Tidak juga, kalau dia diganggu temannya atau tidak sengaja temannya menyenggol atau
apa saja hal kecil dia bisa langsung main pukul, baru tidak ada itu bicaranya (nada
suaranya agak tinggi), kadang-kadang saya sendiri tidak tahu apa maunya, tapi bagusnya
D gampang dikasih tahu kalau dia salah tapi begitu mi juga dia ulangi lagi, jadi harus ki
juga sabar-sabar, yang tidak bisa sabar itu kasian teman-temannya yang dia pukul.
Informasi lebih lanjut tentang D diperoleh dari hasil wawancara bahwa jika pulang
sekolah D dijemput oleh tantenya, namun kalau datang ke sekolah diantar oleh ibunya, dia
bekerja di pabrik tripleks di Samarinda Seberang. Ibu D orangnya baik dan perhatian terhadap
anaknya. D ini sebenarnya baik, cenderung pendiam, namun kalau ada yang mengganggunya dan
keinginannya tidak terpenuhi kemauannya, dia bisa marah atau mengamuk. Kalau sudah marah,
dia memukul lemari, meja, kursi, bahkan temannya. Nanti kalau kemauannya terpenuhi baru dia
berhenti mengamuk. Hal ini dapat mengganggu temannya di kelas. Untuk mengatasinya dapat
dilakukan dengan menasihatinya atau berbicara pelan-pelan. Ada juga guru yang menyarankan
agar diberikan ruangan khusus (diisolasi), tapi pekerjaan yang diberikan tidak bisa selesai. Kalau
diminta untuk bergabung dengan teman-temannya lagi, disuruh bernyanyi terlebih dahulu agar
tidak marah-marah lagi.

Tahapan wawancara berikutnya dilakukan dan diketahui bahwa ibu D memperhatikan
anaknya. Dia mengajak D bicara kalau mau tidur, karena nanti di malam hari baru ada waktunya.
Oleh sebab itu, ia suka meminta bantuan pihak sekolah untuk tidak bosan menasihati D. Menurut
ibu D selanjutnya, anaknya ini tidak suka marah-marah di rumah, kecuali kalau sang ibu sudah
ada di rumah. Ketika ditanyakan apakah D suka mencubit, maka diperoleh jawaban sebagai
berikut:
Iya, apa-apa mencubit ... tidak teman tidak ibu gurunya yang dicubit, biar tidak diganggu
atau cuma lewat saja. Saya pernah dicubit, salahku juga karena dia panggil-panggil saya
untuk diambilkan mainan, tetapi saya keasyikan perhatikan temannya jadi dia cubit saya.
Kalau merampas sebenarnya jarang, kecuali itu tadi, ada barang yang dia inginkan dan
tidak diberikan.
Apa hasilnya setelah D dinasihati dan dipisahkan ruangannya, selanjutnya keterangan
diperoleh bahwa ada perubahan, tetapi sifatnya hanya sementara, dinasihati lagi dan terus
dinasihati, makanya harus sabar menyikapi hal ini. Ibu dan tantenya juga diberitahu mengenai
hal ini.
Selanjutnya informasi yang diperoleh bahwa D suka menonton film kartun. Selain
menonton, dia juga suka main PS (play station) dan main pedang-pedangan sama tantenya dan
tinju-tinjuan. D tidur sendiri di kamarnya sendiri. Kalau ibunya pulang kerja terlebih dahulu
berbincang-bincang dulu sambil nontor sebelum ia tidur. Dia menonton acara yang disukai
sendiri, oleh karena itu, nenek dan tantenya menonton sendiri di kamar.
Ketika ditanyai apakah D suka mengamuk, maka diperoleh jawaban dari ibu D
sebagaimana dikutip berikut ini.
Ya kadang-kadang kalau ada yang dia tidak suka atau ada yang dia maui tapi tidak
dituruti ya marah … nangis … bahkan. Pernah dia mau minum es krim padahal dia lagi
batuk jadi saya tidak kasih, dia nangis trus marah, badan saya dipukuli dibilangin mama
jahat lah, tapi saya biarkan saja karena nanti batuknya tambah parah. Tiba-tiba badannya
kejang-kejang, saya kaget minta ampun cepat-cepat saya larikan ke RS, alhamdulillah
masih bisa tertolong.
Lebih lanjut wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan sikap ibu D jika
dia berperilaku agresif, apakah dicubit atau dipukul adalah tidak pernah dicubit apalagi dipukul.
Dimarahi saja neneknya jauh kebih marah. Jadi, biasanya diajak bicara berdua dengan baik-baik
dan dia mendengarkan apa yang dibicarakan, walaupun kadang-kadang dia mengulanginya

kembali. Sebagai akhir wawancara ini peneliti menayakan apakah dia pernah berdikusi dengan
guru D di sekolah. Jawabannya adalah seperti yang dikutip berikut:
Kadang-kadang saja saat saya antar D ke sekolah, saya berbincang sebentar dengan
gurunya. Gurunya biasanya melaporkan perkembangan D. Saya hanya berdoa saja
mudah-mudahan ketika dia besar dia bisa paham kalau sikapnya itu kurang baik karena
nanti dia tidak punya teman, kan kasihan D.
2.

Gambaran Keagresifan Anak pada Ibu yang Tidak Bekerja
Penggambaran keagresifan anak pada ibu yang tidak bekerja diperoleh melalui

wawancara dengan anak itu sendiri, guru yang mengajarnya, dan dengan ibunya. Informasi yang
diinginkan pada wawancara ini adalah bagaimana kecenderungan keagresifan anak, baik dalam
perilaku verbal maupun nonverbal, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi
kecenderungan tersebut. Adapun anak yang diteliti bernama R berusia 4 tahun 5 bulan,
dilahirkan dalam keadaan normal, anak kedua dari empat bersaudara, berperawakan tidak gemuk
tapi juga tidak kurus, rambut pendek kemerahan, periang, tinggi sekitar 80 cm dan prestasinya di
bidang menggambar pun tidak mengecewakan. Ayah R bekerja sebagai buruh kasar di pabrik
batako sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa sehingga waktunya lebih banyak
dihabiskan di dalam rumah. R tinggal bersama kedua orang tuanya dan 3 orang saudaranya di
rumah kontrakan petak-petak yang berdindingkan triplek, hidup mereka pun serba pas-pasan.
Dalam keseharian R tidak pernah diajarkan untuk sholat ataupun mengaji karena kedua orang
tuanya pun tidak ada yang melaksanakan kewajiban mereka sebagai hamba Allah. Tiga
bersaudara dalam keluarganya dan dia anak yang ada di tengah-tengah. Berikut ini disajikan
kesimpulan wawancara.
Pada bagian ini digambarkan kecenderungan keagresifan anak yang terdiri atas verbal
dengan indikator cercaan, bantahan, ejekan, dan makian, serta nonverbal dengan indikator
pukulan, tendangan, cubitan, dan merampas. Berikut adalah rangkuman hasil wawancaranya.
a. Kegresifan verbal
Pada Keagresifan verbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) cercaan, (2)
bantahan, (3) ejekan, dan (4) makian.
R melakukan cercaan sebanyak lebih dari 3 kali sehari, yang menjadi sasaran adalah
guru-guru dan teman sebayanya, lamanya melakukan cercaan kadang-kadang lama, kadangkadang sebentar. Alasan melakukan cercaan karena jika menurut dia ada yang lucu di antara
teman-temannya, kadang-kadang tanpa alasan tiba-tiba saja ia mengejek, hanya ingin saja

mengolok-olok. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarang dan memberi nasihat
bahwa perbuatan tersebut tidak baik, oleh orangtuanya kadang-kadang dimarahi.
Perilaku membantah dilakukan lebih dari 2 kali dalam sehari, bentuk bantahannya adalah
dengan membantah pernyataan, menakut-nakuti, menolak terhadap apa yang tidak disukainya
dengan ungkapan ”Bodoh!”, kalau temannya sudah menangis dan telah memenuhi keinginannya
langsung ia berhenti membantah. Alasan melakukan bantahan karena ia ingin menakuti
temannya dan ingin terpenuhi keinginannya. Respon orang yang dibantah menangis, marah,
bahkan ada yang balik membantahnya, sehingga perkelahian terjadi. Guru yang dibantah kadang
memenuhi keinginannya, dengan terlebih dahulu mengajarkan cara mengungkapkan sesuatu
dengan baik.
R juga sering melakukan ejekan lebih dari 5 kali dalam sehari, yang menjadi sasaran
ejekan adalah teman-teman sepermainannya, bentuk ejekannya adalah mengolok-olok sambil
menjulurkan lidah, kadang-kadang mengeluarkan kata-kata hinaan seperti ”Kamu gendut!”,
”Kamu hitam kaya oli!”, ”Anak setan!”. Alasan melakukan ejekan karena diejek temannya maka
ia membalas mengejek dan jika ada temannya tidak mengerjakan. Upaya mengatasi perilaku ini
adalah guru langsung memberi nasihat dan kadang-kadang memarahinya.
R melakukan makian yang sebanyak 3 kali sehari bahkan pernah tidak ada, yang menjadi
sasaran makian adalah teman-teman sebayanya, ia melakukan ini sejak awal sekolah, kata ibunya
sudah lama. Alasan memaki adalah jika hal yang ia tidak suka. Dan upaya untuk mengatasi
perilaku ini adalah dengan melarangnya untuk mengulangi perbuatan tersebut.
Konklusi dari aspek agresif verbal yang dilakukan R kecenderungan frekuensi adalah
antara 3 sampai 5 kali dalam sepekan. Sasaran tindakan keagresifannya adalah seimbang antara
teman-temannya sendiri dan guru. Alasan melakukan tindakan ini bervariasi, yaitu dilakukan
tanpa alasan, keinginannya tidak terpenuhi, menginginkan kepunyaan orang lain, dan kalau
diperhatikan pada saat melakukan tugas. Cara mengatasinya yaitu dengan melarang dan
mengajari, tidak mempan dengan bujukan.
b. Keagresifan nonverbal
Pada Keagresifan nonverbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) pukulan,
(2) tendangan, (3) cubitan, dan (4) merampas.
Pukulan yang dilakukan R sebanyak lebih dari 6 kali dalam seminggu dan yang menjadi
sasaran pukulan adalah teman-teman sekelas. Alasan melakukan pukulan karena tidak

dipinjamkan mainan dan tidak diajak bermain oleh temannya, respons orang yang dipukul
menangis atau membalas memukul. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarangnya
dan melerai.
Tendangan yang dilakukan R sebanyak lebih dari 2 kali dalam minggu itu, bagaimana ia
melakukannya adalah menendang dengan tidak terlalu keras, menendang apa saja yang ada di
dekatnya. Alasan melakukan pukulan karena keinginannya tidak dipinjamkan alat tulis dan tidak
diberi makanan. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan diberi pengertian dan mengajari
cara meminta dengan baik.
Cubitan yang dilakukan R sebanyak lebih dari 2 kali dalam seminggu, yang menjadi
sasaran cubitan adalah teman dan gurunya, dan waktu melakukan perilaku ini ketika melihat
temannya bermain. Alasan melakukan cubitan karena ingin saja. Upaya mengatasi perilaku ini
adalah dengan melarang dan menasihatinya.
Sedangkan dalam hal merampas R melakukannya sebanyak lebih dari 5 kali dalam
sepekan, yang dirampasnya adalah barang-barang milik temannya baik alat tulis maupun
makanan, waktu melakukan perilaku ini baik saat pembelajaran sedang berlangsung dan saat
bermain. Alasan melakukan merampas karena melihat milikinya tidak sama dengan milik
temannya atau tidak dipinjamkan sesuatu. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan
menasihati dan mengajarinya cara meminjam yang baik kepada temannya.
Konklusi dari perilaku agresif nonverbal R cenderung tetap, tidak mengalami penurunan,
frekuensi melakukannya antara 3 sampai 5 kali sepekan. Sasaran perlakuan agresif nonverbalnya
adalah guru dan teman-temannya. Alasan melakukan perilaku ini kebanyakan karena
keinginannya tidak terpenuhi yaitu menginginkan kepunyaant emannya. Cara mengatasi
perilakunya adalah adalah mencegah tindakannya karena dapat membahayakan temannya,
menuruti permintaannya, atau menginsolasi ke tempat lain.
Tanggapan terhadap kecenderung keagresifan R diperoleh dari ibu guru yang menangani
atau mengajarnya. Ketika ditanyakan tentang keseharian R di sekolah, jawaban yang diperoleh
menggambarkan bahwa R ini anak yang lincah dan rajin ke sekolah, namun perilaku agresif bisa
datang secara tiba-tiba dan spontan.
Ketika ditanyakan tentang keadaannya pada saat proses pembelajaran di kelas, hasil
wawancara menunjukkan bahwa R adalah anak yang cerdas, rajin dan pintar hanya perlu
pendampingan saja terhadap perilakunya itu. Semua pekerjaannya diselesaikannya dengan baik.

Ketika ditanyakan, dia dapat membereskan segala peralatan yang telah digunakan pada proses
pembelajaran. Informasi lebih lanjut tentang R diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan
menunjukkan jika pulang sekolah R kadang-kadang dijemput, tapi lebih sering pulang sendiri.
Ketika diinginkan informasi tentang cara melerainya jika terjadi konflik dengan
temannya, maka diperoleh jawaban bahwa dilakukan dengan memisahkan mereka lalu R dipeluk
agar tidak bisa memukuli temannya. Kemudian saya memberitahu temannya agar tidak terlambat
dan tidak mengejek-ejeknya lagi. Kalau temannya yang memukul, R tidak pernah menangis.
Nanti dia menangis kalau Ibu T dan guru lain yang memarahi atau menegurnya. Kalau terjadi hal
ini, biasanya diajak belajar ke tempat yang terpisah, di sini dia merasa lebih tenang. Selanjutnya
ditanyakan bagaimana keadaan ketika bermain. Jawaban Ibu T adalah sebagai berikut ini:
Dia selalu marah kalau dia mau pinjam mainan temannya tapi ga dipinjamkan, atau kalau
dia lagi main trus temannya datang dia juga tidak suka, dan kalau dia tidak suka biasanya
dia suka memukul, mengejek, membantah, menendang, dia senang lihat temannya
menangis. Kalau bermain, dia senangnya main sendiri, kadang-kadang dia mau main
bersama tapi hanya sebentar. De far .. saya minta maaf anak-anak sebentar lagi masuk
kelas.
Bagaimana awalnya R mengetahui isyarat Ibu T, dapat diperhatikan kutipan seperti
berikut ini:
Waktu awal-awal dia sekolah saya suka mencubitnya, tapi dia tetap melawan bahkan
pernah melempari saya dengan penghapus white board, alhamdulillah saya mengelak dan
penghapus itu mengenai lemari… Pernah suatu hari saya cape, mumet, dan dia berbuat
ulah berteriak-teriak, memukul dan menendang meja karena dia ingin bekal temannya.
Saya nekat juga mendekatinya dan memeluknya dari belakang, dia meronta tapi
kemudian dia tenang, saya membawanya ke ruangan bermain. Kami bicara berdua sambil
saya menatap wajahnya, itu pertama kalinya saya melihatnya menunduk sambil berkacakaca. Dari situlah saya berkesimpulan kalau R ini butuh perhatian.
Informasi yang peneliti ingin ketahui lebih lanjut adalah apakah pihak sekolah pernah
membicarakan perilaku R kepada orang tuanya. Jawaban yang diperoleh adalah orangtua R
selalu ada saja alasan untuk tidak hadir memenuhi panggilan. Kalau disampaikan tentang
perilaku anaknya, jawabannya selalu mengatakan kalau R itu memang nakal. Malah dia
menganjurkan kalau R nakal di sekolah, dipukul saja tidak usah dimanja-manja. Menurutnya
kalau dimanja bisa bertambah nakal. Kalau R telah dinasihati ketika ia marah atau mengamuk
biasanya berubah, artinya tidak mengulangi perbuatannya. Namun kadang-kadang masih

mengulang lagi perilaku nakalnya. Jika dibandingkan saat sekarang ini perilakunya mulai baik
daripada pertama kali masuk sekolah.
Informasi dari ibu R mengenai R diketahui bahwa R adalah anak kedua dari empat
bersaudara. Pengakuan ibunya R ini anaknya nakal suka bertengkar dengan kakaknya dan
adiknya. Mereka tendang-menendang, cakar-mencakar, mengumpat dengan kata-kata kotor.
Kalau pulang sekolah, setelah makan siang ia tidak mau tidur siang, nanti dimarahi baru ia mau
tidur siang. Kalau sudah sore dia pergi bermain, dan nanti terdengar suara mengaji di mesjid baru
dia masuk rumah karena bapaknya juga sudah pulang dan suka memarahinya. Pada malam
harinya dia nonton televisi sebelum tidur. Bagaimana dengan keluarga lainnya kalau R menonton
acara televisi. Bagaimana kalau R kalau dimarahi atau dipukul, dia tidak menangis. Orang tuanya
terutama ibunya sudah kewalahan menghadapi perilaku R yang cenderung agresif ini.
Informasi yang diperoleh selanjutnya bahwa Ibu W mengetahui kalau anaknya cenderung
agresif, malah dikatakannya nakal, namun solusi yang dilakukan unutk mengatasinya adalah
dengan memarahi atau memukulnya. Respon lain yang diperoleh tentang penyebab perilaku
agresifnya muncul adalah ketika diganggu oleh kakak atau adiknya dan jika ada keinginannya
yang tidak terpenuhi. Apakah keinginannya selalu dipenuhi, maka jawabannya dikutip seperti
berikut ini:
Kalau lagi ada uang ya saya penuhi .. tapi kalo lagi tidak ada uang ya saya biarkan saja,
nanti juga berhenti sendiri .. biasanya dia minta uang jajan tapi saya heran dikasih uang
jajan kada dibelanja jua, nanti kalo pasar malam dia suka pergi sama kakaknya dia suka
beli krayon, tu banyak dilemari.
Dari wawancara ini, diketahui pula kalau R suka menggambar setiap bangun tidur. Tetapi
kalau bukunya sudah penuh, maka dia menggambarnya di dinding rumah. Akibatnya dia suka
malas-malasan beranjak, akhirnya dimarahi dan dipukul lagi. R kesekolah sendiri tanpa diantar
karena sekolahnya dekat dari rumahnya. Ia juga membawa bekal kesekolah kalau ibunya sempat
membuatkannya, kalau tidak ia diberi uang untuk membeli jajanan, tapi makan siang di
rumahnya. Kakaknya mengalami perlakuan yang berbeda, bapaknya juga lebih sayang pada L
daripada R, mungkin karena L lebih mau mendengarkan daripada R..
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1.

Gambaran kecenderungan perilaku agresif anak pada ibu yang bekerja
Kecenderungan keagresifan D dapat diakibatkan karena ia dimanja. Kemanjaan ini

karena ia adalah anak satu-satunya yang mempunyai riwayat yang kritis saat dilahirkan. Namun

dari hasil wawancara dengan D sendiri, Ibu guru S, dan ibunya tergambar adanya penurunan
tingkat agresifnya, bahkan pernah ada perilaku agresif yang tidak muncul. Solusi mengatasi
kecendrungan agresif D ini tidak harus dengan kekerasan, seperti memarahi atau pelarangan,
namun juga lebih banyak dengan nasihat dan bujukan, bahkan dengan belaian. Di rumahpun dia
diperlakukan dengan kelembutan.
Kecenderungan keagresifan D pun diperolehnya dari media baik tontonan televisi
maupun permainan Play Station (PS) yang menayangkan adegan-adegan kekerasan seperti
Power Rangers, Ben 7, Ben 10, dan sebagainya. Hal ini terlihat bahwa dia mempunyai fasilitas
menonton tersendiri agar tidak mengganggu kesenangannya terhadap acara apa yang ingin
ditontonnya. Hal ini perkuat oleh permainan D dan tantenya yang suka bermain tinju-tinjuan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh teoretikus sosial-kognitif seperti
Albert Bandura (dalam Nevid et.al. 2005:207) mengajukan pandangan bahwa agresi merupakan
perilaku yang dipelajari, dimunculkan dalam cara yang sama seperti perilaku-perilaku lain. Peran
dari modeling (melihat dan meniru) dan reinforcement digarisbawahi pada pembelajaran perilaku
agresif. Anak-anak dapat belajar meniru tindakan kekerasan yang diamati di rumah, di halaman
sekolah, di televisi, atau di media lain. Bila kemudian di-inforced untuk bertindak agresif,
misalnya dengan memperoleh keinginannya atau memperoleh persetujuan dan rasa hormat dari
sebaya, kecenderungan untuk melakukan agresi menjadi lebih kuat sejalan dengan waktu.
Efek peniruan atau modeling adalah pengaruh dari penerapan terhadap kekerasan dalam
liputan media, pada khususnya kekerasan di televisi. Diperkirakan bahwa anak yang rata-rata
menonton TV 2 sampai 4 jam setiap harinya, dapat melihat sekitar 8.000 pembunuhan dan
100.000 tindak kekerasan lain melalui TV, begitu ia menyelesaikan pendidikan dasarnya (Eron,
dalam Nevid et.al. 2005:209).
Kecenderungan keagresifan D kebanyakan disebabkan karena keinginan tidak terpenuhi.
Kecenderungan agresif yang muncul adalah ledakan emosi yang kuat sekali, disertai rasa marah,
serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, berguling, dan menghentak-hentakkan kedua kaki dan
tangan pada lantai atau tangan. Hal ini dinamakan dinamakan temper tantrum (Gamayanti et.al.,
2006:81). Selanjutnya teori ini menyatakan bahwa seorang anak kecil yang paling manis sekali
pun pasti pernah mengalami tantrum. Tantrum adalah hal normal ditinjau dari perkembangan
anak sehingga jangan dilihat sebagai hal yang negatif, karena anak-anak tidak memiliki kontrol
yang sama dengan orang dewasa. Meskipun tantrum pada anak dipandang normal, tidak berarti

orangtua dapat membiarkan perilaku ini begitu saja. Tanpa penanganan yang tepat tantrum dapat
berkembang menjadi perilaku agresif.
Saat tantrum anak berhenti, berikanlah cinta dengan mengajak berjalan-berjalan,
membaca buku, bermain sepeda bersama-sama, dan lain-lain. Tunjukkan kepada anak, sekalipun
ia telah berbuat salah, sebagai orangtua tetap mengasihaninya. Orangtua perlu mengevaluasi
apakah kurang peka terhadap kebutuhan anak dengan mempelajari kebiasaan sehingga
komunikasi dua arah semakin baik. Apa yang dikemukakan pada teori di atas berusaha
diterapkan oleh orangtua D. Walaupun ibunya bekerja dan intensitas pertemuaannya kurang,
namun ibunya selalu menyempatkan berkomunikasi dengan D sebelum tidur. Hal ini membawa
dampak yang positif terhadap perilaku D, meskipun hasilnya tidak maksimal dan senantiasa
terulang kembali tetapi terjadi perubahan perilaku D yang cenderung agresif.
2.

Gambaran kecenderungan perilaku agresif anak pada ibu yang tidak bekerja
Kecenderungan keagresifan R ini disebabkan karena sikap keras orang tua, terutama

ibunya. Selain itu, terjadi tidak adanya pemerataan kasih sayang dengan saudara-saudaranya
karena keterbatasan ekonomi. Kekerasan yang dilakukan kepadanya tidak membuat dia jera. Ibu
W tidak mau peduli terhadap panggilan sekolah guna mendiskusikan terhadap perilaku anaknya,
padahal para guru di sekolah menyayangi R. Anak ini berbakat dan cerdas di sekolah. Ibu W
beranggapan bahwa dengan kekerasan dapat menanamkan disiplin dan mengubah perilaku
agresif anaknya. Ini bertentangan dengan sikap yang diterima R di sekolah dibandingkan di
rumahnya. Memang pada awal dilakukan bentakan atau cubitan bahkan tangan diplintir, terjadi
perubahan sikap, tetapi sifatnya tidak permanen.
Apa yang ditemukan di atas menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku agresif dapat
terjadi karena hukuman fisik masih dipraktikkan di sebagian besar keluarga –paling tidak
sesekali- sebagai cara menanamkan disiplin yang dapat diterima. Menurut angka kejadian yang
dikemukakan oleh Krahe (2005:247) bahwa hampir 100 persen orang tua yang memiliki anakanak yang masih kecil melaporkan bahwa mereka pernah memukul anaknya paling tidak satu
kali selama setahun dan menyetujui pendapat bahwa ”kadang-kadang perlu tamparan keras untuk
mendisiplinkan anak”.
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kecenderungan agresif adalah faktor
sosialkultural, tindak kekerasan berakar pada penyebab-penyebab sosial, yang banyak di
antaranya berjalan beriringan, seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan orang tua, kurangnya

kesempatan, kurangnya kehangatan keluarga, ketaatan religius yang rendah, dan pemaparan
terhadap model-model peran yang menyimpang. Untuk membantu menjelaskan hubungan antara
kemiskinan dan agresi, harus dicatat bahwa anak-anak yang lebih miskin biasanya akan terpapar
lebih besar pada tekanan-tekanan hidup, termasuk tekanan yang berkaitan dengan kekerasan
yang terjadi di lingkungannya.
Anak sekecil itu juga tidak diantar ke sekolahan dan dijemput setelah pulang sekolah. Hal
ini tidak diacuhkan orangtua R, dianggap sepele karena rumahnya dekat. Konsep ini
didefinisikan Krahe (2005:269) sebagai tindakan psikologis yang bersifat menganiaya yang
dilakukan orangtua, yang meliputi semua bentuk pengabaian yang mengakibatkan penelantaran
secara emosional, kognitif, maupun edukatif.
Apa yang ditemukan di atas juga menunjukkan bahwa keagresifan anak dapat terjadi
terhadap pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Hal ini sejalan dengan hasil riset
Diana Baumrid (dalam Papalia et.al., 2008:395) yang mempelajari 103 anak prasekolah dari 95
keluarga. Melalui wawancara, pengujian, dan studi ke rumah, bagaimana anak berfungsi,
mengidentifikasi tiga gaya pengasuhan, dan mendeskripsikan pola umum perilaku anak yang
muncul dari gaya tersebut. Temuan Baumrid korelasional dan tidak mempertimbangkan faktor
pembawaan seperti temperamen. Karya Baumrid dan sejumlah riset yang menginspirasikan
karya tersebut telah memperlihatkan hubungan hubungan yang kuat antara tiap gaya pengasuhan
dan rangkaian tertentu perilaku anak, yaitu orangtua otoritarian, orangtua yang permisif, dan
orangtua autoritatif.
Jika dicermati kecenderungan keagresifan kedua anak ini, D dan R, maka tergambar jelas
bahwa R lebih sering kecenderungan agresifnya daripada D. R tidak mempan dengan berbagai
terapi yang diterimanya, terutama larangan, kemarahan, bahkan penyakitan badan. Sedangkan D
mudah diatasi dengan bujukan dan nasihat. Kecenderungan keagresifan anak tidak ditentukan
pada ibu bekerja dan tidak bekerja. Hal ini dapat terlihat bahwa D yang ibunya bekerja dan
intensitasnya sangat sedikit, tetapi kecenderungan agresifnya tidaklah sering dibandingkan
dengan R yang ibunya tidak bekerja dan intensitas pertemuannya lebih banyak, namun
kecenderungan agresifnya lebih tinggi daripada D. Malah R ini telah diberi label ”nakal” oleh
ibunya sendiri.
Kelemahan anak yang menampilkan perilaku agresif adalah tidak menguasai
keterampilan sosial. Untuk itu orangtua atau guru dapat mengajarkan bagaimana cara

menanggapi perasaan orang lain dan perasaan dirinya sendiri serta perilaku yang tepat untuk
bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial. Bentuk pengajaran dapat berupa latihan atau role
play. Dengan demikian, anak mendapatkan model perilaku yang positif dan mengetahui
bagaimana harus bersikap dalam suatu situasi sosial tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan Hildayani et.al. (2007:12.15) bahwa teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah agresivitas adalah menampilkan tingkah laku positif sebagai model merespon perilaku
agresif dan membantu anak untuk berlatih menampilkan perilaku nonagresif. Orangtua atau guru
dapat berperan sebagai model bagi anak dengan tidak menampilkan perilaku agresif juga. Anak
dengan perilaku agresif sering kali sulit untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya secara
tepat, tanpa menampilkan perilaku agresif. Bantuan orangtua atau guru sangat penting untuk
dapat melatih anak menggunakan perasaan dan keinginannya secara tepat.
Apa yang menyebabkan anak menjadi agresif? Mengapa sebagian anak lebih agresif
dibandingkan yang lain? Biologi mungkin memainkan peran dalam hal ini. Jadi, mungkin saja
seorang anak tempramental yang sangat emosional dan rendah kontrol dirinya cenderung
mengekspresikan kemarahan secara agresif (Eisenberg dkk. dalam Papalia et.al., 2008:400).
Perilaku agresif cenderung berkembang dari masa kanak-kanak awal oleh kombinasi atmosfer
rumah yang penuh tekanan dan tidak menggairahkan; displin yang keras, kurang kehangatan ibu
dan dukungan sosial; terbuka terhadap orang dewasa yang agresif dan kekerasan lingkungan; dan
kelompok sebaya yang rapuh, yang menghalangi hubungan yang stabil. Mulai pengalaman
sosialisasi negatif seperti itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan miskin beresiko tinggi
menyerap sikap antisosial di samping upaya terbaik yang diberikan oleh orangtua mereka
(Dodge dkk. dalam Papalia et.al., 2008:400).
Keterbukaan terhadap kekekerasan, baik yang nyata maupun yang ditelevisikan, dapat
memicu agresi. Dalam sebuah percobaan pembelajaran sosial klasik (Bandura, Ross, & Ross,
dalam Papalia et.al., 2008:401), anak berusia 3 sampai 6 tahun secara terpisah menonton model
orang dewasa yang bermain dengan mainan. Anak-anak dalam salah satu kelompok percobaan
tersebut melihat orang dewasa tersebut bermain dengan tenang. Model orang dewasa bagi
kelompok kedua mulai merangkai mainan Tinker, tetapi kemudian menghabiskan 10 menit
terakhir sesi tersebut dengan meninju, melempar, dan menendang boneka berukuran manusia.
Untuk kelompok yang sedikit frustrasi karena melihat mainan yang tidak boleh mereka mainkan,
pergi ke ruang bermain lain. Anak-anak yang telah melihat model agresif bertindak jauh lebih

agresif dibandingkan dengan anak yang ada dalam kelompok lain, mengimitasi banyak hal yang
dilakukan atau yang dikatakan oleh sang model. Anak-anak yang bersama model yang tenang
tidak demikian agresif dibandingkan dengan yang ada dalam kelompok kntrol. Temuan ini
mengungkapkan bahwa orangtua mungkin dapat menekan efek frustrasi dengan mencontohkan
perilaku nonagresif.
KESIMPULAN & SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.

Kecenderungan keagresivan anak yang ibunya bekerja disebabkan karena dimanja oleh
orang-orang yang ada di sekitarnya dan media televisi dan permainan PS yang menampilkan
tindakan-tindakan kekerasan. Walaupun intensitas pertemuan dengan ibunya kurang, namun
ibunya membiasakan untuk mengajaknya bercakap-cakap sebelum tidur. Kecenderungan
keagresifannya muncul ketika keinginannya tidak terpenuhi, sehingga upaya untuk
mengatasinya dengan cara mengabulkan apa yang menjadi keinginannya sambil dinasihati
dan mengajari cara-cara yang baik untuk mendapatkan keinginannya. Bentuk kecenderungan
agresifnya pun lebih sering ditampakkan dalam bentuk nonverbal daripada bentuk verbal.
Kecenderungan keagresifannya terlihat berkurang dari pekan ke pekan.

2.

Kecenderungan keagresivan anak yang ibunya tidak bekerja disebabkan kurangnya kasih
sayang dari orangtuanya dan sering mengalami perlakuan kasar di rumahnya baik secara
fisik maupun verbal. Akibat dari perlakuan ini, kemarahan dan hukuman fisik tidak lagi
mempan untuk mengubah kecenderungan perilaku agresifnya. Bentuk kecenderungan
perilaku agresif yang sering ditampakkan seimbang antara aspek verbal dan nonverbal.
Selain itu, ibunya tidak mengacuhkan panggilan pihak sekolah untuk mendiskusikan tentang
perilaku anaknya, padahal dia anak yang berbakat dan cerdas. Di sekolah, R mendapatkan
perhatian dan perilaku yang khusus, namun setelah tiba di rumah mengalami perlakuan yang
berbeda, bahkan ibunya memberinya label “nakal”. Upaya para guru di TK Darul Atsar
untuk mengatasi kecenderungan agresif anak dengan cara yang bervariasi.
Kecenderungan keagresivan anak yang ibunya bekerja tidak hanya semata-mata

disebabkan karena ibunya bekerja di luar rumah (wanita karier) atau ibu yang tidak bekerja,
namun juga dapat disebabkan pola asuh yang permisif seperti memenuhi semua keinginan anak,

dimanja oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan media televisi dan permainan PS yang
menampilkan tindakan-tindakan kekerasan. Kecenderungan perilaku agresif terlihat berkurang
hal ini dikarenakan adanya pemberian model positif di sekolah yang dapat dicontoh oleh anak.
Dan kecenderungan perilaku anak akan bisa diatasi dengan baik apabila pendidikan di keluarga
bersinergi dengan pendidikan di sekolah, seperti memberikan contoh yang baik, memberikan
pengertian yang baik serta memberikan alasan yang logis apabila keinginannya tidak dapat
dipenuhi, mengurangi tontonan televisi yang menampilkan tindakan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Pesert Didik).
Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimin. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
_______________. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Bibilung. 2008. Diabaikan Saat Bayi, Anak Lebih Agresif. Online (http://www.tumbuhkembang-anak.blogspot.com/2008/02) Diakses tanggal 20 November 2008.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
____________

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72