Potret Kekerasan Orde Baru dalam Cerpen

POTRET KEKERASAN ORDE BARU
DALAM CERPEN “GRHHH!” KARYA SENO GUMIRA
AJIDARMA: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Kritik Sastra

Disusun oleh
Achmad Muchtar
12/335233/SA/16701

JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

POTRET KEKERASAN ORDE BARU
DALAM CERPEN “GRHHH!” KARYA SENO GUMIRA
AJIDARMA: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Achmad Muchtar

A. Pengantar

Sastra merupakan karya seni bermediumkan bahasa yang unsur
estetikanya dominan. Sastra tidak hanya menggambarkan imajinasi kreatif
yang dibangun oleh pengarangnya, tetapi juga merupakan dokumen sosial dan
budaya masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan menjadi dokumen
sosial dan budaya, sastra telah menjadi cermin dari berbagai peristiwa yang
terjadi pada masa, masyarakat, dan kondisi sosial dan budaya tertentu. Sastra
merupakan karya yang lahir dari masyarakat, maka dari itu pastinya karya
sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat (Wellek dan Warren,
1995:109).
Kesusastraan sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
dinamika kebudayaan sebuah bangsa, lahir, tumbuh, dan bergerak mengikuti
dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya. Kesusastraan tidak lahir dari
peristiwa yang sesaat, tetapi ia lahir lewat proses kegelisahan panjang yang
menyangkut masalah sosial, budaya, politik, ideologi, dan ketidakpuasan rasa
intelektual. Proses itu menggelinding, meloncat, bahkan menjadi sebuah
ledakan, mengikuti gerak dan dinamika yang terjadi di tengah masyarakatnya.

Hubungan sastra dan masyarakat tidak jarang memberi pengaruh timbal balik
(Mahyana, 2007:5).
Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat

dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering ditempatkan
sebagai proses sosial yang mengungkapkan kondisi sosial masyarakat pada
masa tertentu. Ia membawa semangat zamannya dan memberi pemahaman
atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan masyarakat
yang mencerminkan kondisi sosial budaya bangsa. Ia tidak hanya
mencerminkan kondisi sosial budaya bangsa yang terjadi pada zaman tertentu,
tetapi juga perkembangan pemikiran masyarakat (Mahyana, 2007:23).
Klasifikasi yang dibuat oleh Ian Watt (via Damono, 2002:4) dalam
esainya “Literature and Society” membicarakan hubungan timbal balik
antarsastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Penelitian karya sastra menurut
Ian Watt mencakup tiga hal. Pertama adalah konteks sosial pengarang.
Konteks sosial pengarang penyangkut posisi sosial masyarakat dalam
kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor
sosial yang bisa memengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan maupun
memengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat.
Yang diteliti dalam konsep ini adalah sejauh mana karya sastra dianggap
sebagai pencerminan keadaan masyarakat, terutama kemampuan karya sastra
itu mencerminkan masyarakat pada waktu karya ditulis. Ketiga, fungsi sosial

sastra. Dalam hal ini diperhatikan yakni sampai sejauh mana nilai sastra

berkaitan dengan sosial. Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yakni sastra harus berfungsi sebagai perombak, sastra sebagai
penghibur, dan sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
“Grhhh!” adalah salah satu cerpen dari trilogi Petrus dalam buku
Penembak Misterius: Kumpulan Cerita Pendek karya Seno Gumira Ajidarma
yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1993 oleh Pustaka Utama Grafiti dan
edisi kedua—edisi selanjutnya—diterbitkan oleh Galang Press—cetakan V
tahun 2007. Kumpulan cerpen ini juga pernah diterjemahkan oleh Patricia B.
Henry ke bahasa Inggris sebagai “The Mysterious Shooter Trilogy: ‘Killing
Song’, ‘The Sound of Rain on Roof Tiles’, ‘Grrrh!’”, dimuat dalam Teri
Shaffer Yamada (peny.), Virtual Lotus Modern Fiction of Southeast Asia
terbitan Univertisy of Michigan Press, Michigan, Amerika Serikat tahun 2002
(http://duniasukab.com).
Cerpen “Grhhh!” sangat menarik untuk dianalisis menggunakan
pendekatan sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt, dimana telaah
karya sastranya mencakup tiga hal, yaitu konteks sosial pengarang, sastra
sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Telaah ini sangat
berguna, mengingat untuk memahami karya sastra, pembaca harus tahu
lingkungan sosial yang melingkupinya.


B. Konteks Sosial Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni
1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Seno Gumira Ajidarma dikenal sebagai
sosok pembangkang. Ayahnya, Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, adalah Guru
Besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Namun, Seno Gumira
Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk
pelajaran ilmu pasti tidaklah terlalu jelek, ia tetap tidak suka aljabar, ilmu
ukur, dan berhitung. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno
gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap
sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah.
Terpengaruh cerita petualangan tokoh Old Shatterhand di rimba suku Apache,
karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari
pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik
kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya.
Selama tiga bulan, ia mengembara ke Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal
surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor sampai
akhirnya menjadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia
minta uang kepada ibunya, tetapi ibunya mengiriminya tiket untuk pulang.
Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah. Ketika SMA, Seno Gumira

Ajidarma sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam, yaitu di

SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Ia pun tidak berteman dengan temanteman di lingkungan elite Perumahan Dosen Bulaksumur UGM, tetapi ia
malah memilih untuk hidup liar dengan berteman dan berbaur dengan
komunitas anak-anak jalanan di Malioboro.
Pada 1975, di usianya yang masih 17 tahun, ia bergabung dengan
Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terus terlibat dalam dunia
kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya dengan menulis puisi, cerita
pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam
rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado—puisinya juga
pernah masuk majalah sastra Horison ketika ia masih berusia 17 tahun,
cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya
yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno
kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan
menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.
Tahun 1977, pada usia 19 tahun, Seno Gumira Ajidarma menikah
muda. Karena harus mencukupi kebutuhan rumah tangga, ia lalu bekerja di
koran dengan berprofesi sebagai wartawan. Tahun itu juga Seno Gumira
Ajidarma


masuk

Institut

Kesenian

Jakarta,

Jurusan

Sinematografi

(http://www.tamanismailmarzuki.com/; http://badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Cerpen “Grhhh!” ditulis Seno Gumira Ajidarma di Jakarta-Yogyakarta
pada Desember 1986. Saat itu Seno Gumira Ajidarma berusia 28 tahun.

Sebagai seseorang yang mempunyai riwayat kehidupan seperti Seno Gumira
Ajidarma, adalah mungkin untuk membuat cerpen “Grhhh!” ini. Kondisi
sosial Seno yang lebih suka bebas dan tidak terikat aturan memungkinkan
penciptaan cerpen ini. Ditambah wawasan Seno di dunia jurnalistik akan

menambah keakuratan sejarah dalam karya sastra ini walaupun dalam
kemasan fiksi.

C. Cerpen “Grhhh!” sebagai Cerminan dari Kekerasan Orde Baru
Orde Baru dalam sejarah politik Indonesia dicetuskan oleh
pemerintahan Soeharto dan merujuk pada masa pemerintahan Soeharto (19661998). Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Orde Lama
pemerintahan Soekarno. Cerpen “Grhhh!” ini mencerminkan kondisi
masyarakat orde baru di mana kekerasan terjadi bagi mereka yang
membangkang kepada yang berkuasa. Dalam cerpen ini, para korban
digambarkan

secara

imajinatif

melalui

karakter

zombi-zombi


yang

mengerikan. Mereka bangkit dari kubur lantaran tidak terima dibunuh tanpa
tahu alasan mereka dibunuh. Mereka bangkit untuk balas dendam. Hal
demikian dapat dikatakan sebuah metafora bagi peristiwa sosial yang pernah
terjadi. Para zombi itu merupakan cerminan dari para korban pembantaian
yang dilakukan oleh rezim Orba.
Orde Baru (Orba) pada suatu kali disebut oleh Pramoedya Ananta
Toer sebagai (or)de (ba)ndit. Berdasarkan pengalamannya sebagai tahanan

politik rezim Orba selama 15 tahun, sebutan itu tidaklah berlebihan. Ketika itu
tentara mempunyai kewenangan, keinginan, dan kemampuan memaksa
rakyat—tembok putih pun bisa dikatakan hitam bila tentara mengatakannya
hitam. Rezim Orba telah mengembangkan ideologi fasisme militeristik
sebagaimana rezim Hitler (Harsutejo, 2010:231). Di dalam cerpen “Grhhh!”
kekuasaan Pemerintah yang otoriter dapat dilihat melalui kutipan berikut.
“Terlalu. Masak namaku secuil pun tidak disebut-sebut. Pers
sekarang selalu membesar-besarkan persoalan yang tidak
penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba,

mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang
malam tanpa istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat.
Mending kalau cakep! Masyarakat juga brengsek selalu
menghina polisi. Malah memuja polisi di film Barat.
Maknyadirodog!” (Ajidarma, 2007:29).

Kutipan di atas menunjukkan betapa kejamnya rezim Orba kala itu. Seperti
rekayasa pembuatan sejarah mengenai Gerakan 30 September 1965 atau
Supersemar yang sampai sekarang keakuratan sejarahnya masih diragukan.
Rezim Orba dengan kekuasaannya dapat mengatakan bahwa orang benar akan
dikatakan salah bila rezim mengatakan salah.
Rezim militer Orba yang dipimpin Jendral Soeharto merupakan
tragedi nasional dan tragedi sejarah Indonesia karena dengan terencana telah
melakukan pembantaian tiga juta rakyat yang tergabung dalam PKI dan
ormas-ormasnya serta siapa pun yang dianggap musuh politiknya dan
pendukung Soekarno—termasuk para korban penembakan misterius yang
dikenal sebagai petrus (Harsutejo, 2010:231). Di dalam cerpen ini salah satu

kejahatan Orba diproyeksikan mealui para preman korban pembantaian dari
penembak misterius. Mereka bangkit menuntut balas. Mereka menggugat

bahwa tindakan rezim ini salah.
Mungkin semasa hidupnya mereka dulu kriminal, pikir reserse
Sarman. Tampaknya mereka penjahat-penjahat kasar kelas teri.
Penjahat-penjahat yang mengandalkan senjata dan tenaga,
bukan otak. Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh
yang mulai mencair itu masih terlihat sisa-sisa tato. Dan pada
sosok-sosok itu selalu terdapat lubang dari mana ulat-ulat
selalu menyeruak keluar dan berjatuhan kruget-kruget-kruget.
Resersa Sarman merasa ingat sesuatu tapi lupa lagi (Ajidarma,
2007:30).

Penembakan Misterius terjadi antara 1983—1986. Berita media masa
menyebutkan mereka yang tergolong penjahat kambuhan atau residivis, para
gali dan preman ditembak mati, mayatnya ditinggal begitu saja di perempatan
jalan. Ada juga yang kemudian dimasukkan karung, teronggok di pinggir
jalan, ada yang dihanyutkan ke kali dan seterusnya. Pendeknya, setelah
dibunuh oleh petrus, maka mayatnya diperlakukan secara semaunya.
Diperkirakan selama kejadian tersebut, ada kira-kira 5.000 mayat korban
petrus (Harsutejo, 2010:265). Di dalam cerpen “Grhhh!” karakter Ngadul
merupakan preman yang menjadi korban penembakan misterius.

“Komandan! Salah satu zombi adalah Ngadul! Salah satu
korban pembantaian misterius yang legendaris di Lubang
Besar! Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!”
(Ajidarma, 2007:35).

Ada bukti yang menguatkan bahwa cerpen ini merupakan proyeksi dari
peristiwa sosial penembakan misterius, yaitu dapat dilihat melalui kutipan
berikut.
“Apakah Bapak tidak ingat? Bersama Ngadul enam ribu
penjahat kelas teri terbantai secara misterius! Masih ingat
Pak?” (Ajidarma, 2007:35).
Ribuan penjahat kelas teri terbantai merupakan kata kunci yang membuktikan
bahwa cerpen in merupakan cerminan dari peristiwa penembakan misterius di
zaman Orba.

D. Fungsi Sosial Cerpen “Grhhh!”
Cerpen “Grhhh!” dapat dijadikan bacaan yang menyenangkan
sekaligus mengajarkan sesuatu kepada pembacanya. Karena cerpen ini
memberikan daya imajinasi tinggi seperti di cerpen-cerpen Seno selanjutnya,
cerpen ini dapat berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini dibuktikan dengan
penceritaan zombi yang tiba-tiba merebak di kota adalah suatu hal yang
membebaskan pembaca dari realitas sehingga pembaca dapat masuk dalam
imajinasi Seno. Selain itu, cerpen ini juga dapat dijadikan media untuk
menggugat karena di dalam cerpen ini mengandung suatu protes sosial.
Menurut Budiawan (dalam Ajidarma, 2007:198), cerpen “Grhhh!” dapat
dikatakan sebagai gugatan terhadap petrus. Hal ini antara lain dapat dilihat
jelas pada kata-kata Reserse Sarman berikut.
“Pembantaian itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena
getahnya! Orang-orang tidak rela mati Pak! Mereka membalas
dendam!” (Ajidarma, 2007:36).

Reserse Sarman menggugat bahwa pembantaian beribu-ribu orang itu adalah
tragedi akibat dari kecerobohan suatu rezim.
Fungsi utama dari cerpen ini adalah Seno Gumira Ajidarma, sebagai
pengarang, ingin menyampaikan sesuatu hal yang riskan bila dituliskan dalam
bentuk jurnalistik. Seno memanfaatkan bentuk sastra fiksi sebagai media
untuk menyalurkan suaranya ke publik. Seno menggugat kekerasan Orba itu
dengan kemasan yang menghibur karena ditulis dalam cerita fiksi naratif.
Dengan begitu, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya
berhasil.

E. Penutup
Cerpen “Grhhh!” adalah salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma
yang bermuatan protes-protes terhadap suatu kekuasaan. Di dalam cerpen ini
peristiwa penembakan misterius menjadi sorotan utama. Seno yang hidup di
masa-masa itu pun telah berusaha menyuarakan apa yang ingin ia sampaikan
melalui karya sastra fiksi. Di sini, Seno bermain-main dengan metafora, ia
berekspresi dengan daya imajinasi tingkat tinggi dengan mengadakan sesuatu
di luar nalar. Dengan begitu, sifat karya sastra sebagai fiksi pun memang
sudah diterapkan Seno dalam cerpen ini. Namun, sebagai seorang jurnalis,
data-data yang ada dalam cerpen ini juga memungkinkan cerpen ini

mendekati bentuk jurnalistik, tetapi Seno dengan tegas membuat cerpen ini
dalam bentuk fiksi yang benar-benar jauh dari realitas.
Seno membuat cerpen ini untuk menyuarakan apa yang ia rasakan
dalam bentuk fiksi naratif yang memungkinkan pembacanya menikmatinya
sembari ikut memikirkan tentang kejahatan Orba yang memang sudah terjadi
di dunia nyata. Selain sebagai penghibur yang memungkinkan pembacanya
merasa senang, di dalamnya terdapat pesan berupa ajaran tentang bahayanya
rezim Orba mealui para korbannya yang ingin balas dendam. Seno
memberikan semacam ideologi bahwa pembaca harus bersikap kritis terhadap
sesuatu hal yang di luar nalar.
Sebagai sastra pelipur lara sekaligus menggugat dan memprotes,
cerpen ini berhasil menggabungkan keduanya dengan tanpa maksud
menggurui pembacanya. Cerpen “Grhhh!” adalah salah satu cerpen Seno
Gumira Ajidarma yang berhasil memotret kondisi sosial masyarakat pada
masa Orde Baru.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Penembak Misterius: Kumpulan Cerita Pendek.
Yogyakarta: Galang Press. Cet. V.
Budiawan. 2007. “Kritik terhadap Militerisme dalam Sastra: kasus Tiga Cerita
Pendek Seno Gumira Ajidarma tentang ‘Penembak(an) Misterius’” dalam
Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Penembak Misterius: Kumpulan Cerita
Pendek. Yogyakarta: Galang Press. Cet. V.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Harsutejo. 2010. Kamus Kejahatan Orba: Cinta Tanahair dan Bangsa. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Mahyana, Maman S.. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR LAMAN
http://duniasukab.com/katalog/cerpen/penembak-misterius/, diakses pada Minggu, 15
Desember 2013, pukul 15.05 WIB.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/seno.html, diakses pada Rabu, 1 Januari
2014, pukul 14.45 WIB.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/235/Seno%20Gumira%20Aj
idarma, diakses pada Rabu, 1 Januari 2014, pukul 14.50 WIB.