DMO Sebagai destinasi Strategi Pariwisata

DMO Sebagai Strategi Pariwisata
Pariwisata merupakan konsep multi-dimensi yang kompleks. Melihat pariwisata sebagai keilmuan,
membuat kita menyadari bahwa perjalanan bukan sesuatu yang sederhana, tapi melibatkan
persoalan dan penemuan. Sebagai implikasi dari perjalanan manusia tersebut, pariwisata
merupakan studi yang mampu menjelaskan berbagai hal, mulai dari kegiatan ekonomi, sosialbudaya, lingkungan, politik, hukum/kebijakan, maupun fenomena global lainnya.
Mengapa Perlu Pengelolaan Destinasi?
Keberadaan pariwisata, tak dapat dapat ditampik, pula menimbulkan dampak buruk secara
ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Namun di sisi lain, pariwisata juga dapat dipandang
sebagai jalan keluar bagi persoalan kemiskinan, konservasi, pemberdayaan, dan lainnya. Melalui
pertimbangan untuk meminimalkan atau bahkan menghapus kesenjangan antara keuntungan dan
kerugian terhadap pengembangan sektor pariwisata, dibutuhkan sebuah pengelolaan (manajemen)
yang baik layaknya tata kelola terhadap berbagai bentuk pengembangan lainnya. Karena masa
depan adalah sesuatu yang tidak pasti, pengelolaan terhadap destinasi pariwisata juga memiliki
fungsi dalam prediksi maupun mengupayakan tindakan preventif terhadap segala kemungkinan
yang akan terjadi di masa depan.
Pengelolaan juga dibutuhkan sebagai jawaban atas tuntutan keberlanjutan industri secara ekonomi,
sosial-budaya, dan lingkungan. Melihat pariwisata sebagai industri, tentu saja, memiliki
kecenderungan terhadap eksploitasi (touristfication) dari sumber daya alam maupun manusia yang
memainkan peran penting dalam elemen-elemen pariwisata, seperti atraksi (alam dan budaya).
Kritik pun telah muncul mengenai bagaimana pariwisata akan mengalokasikan sumber daya secara
tepat, termasuk manusia sebagai pekerja/buruh, serta pola konsumsi terhadap relasi yang dibentuk,

yang menurut Marxisme adalah sebuah relasi eksploitatif antara kapitalis dan buruh, juga manusia
terhadap alam. Untuk itulah kemudian, manajemen keorganisasian terhadap sebuah destinasi
pariwisata menjadi suatu keharusan, bukan sebagai bentuk implementasi dari perencanaan semata,
melainkan suatu tata kelola yang berkelanjutan secara keseluruhan dengan keterlibatan semua
pihak (stakeholders), khususnya masyarakat lokal.
Sejalan dengan pandangan Inskeep, (1991: 27) partisipasi masyarakat lokal untuk mengutarakan
pandangan dan pendapatnya dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, merupakan
aspek penting terkait pengelolaan destinasi guna menghindari terjadinya resistensi, konflik,
sekaligus memberdayakan dan memberikan keuntungan (profit) bagi mereka. Dengan terbukanya
ruang bagi masyarakat lokal, akan menjadi alternatif upaya untuk menghindari adanya relasi
eksploitatif yang memposisikan masyarakat lokal di sekitar destinasi pariwisata, bukan hanya
sebagai buruh yang bekerja untuk pengelola, tetapi justru mereka-lah bagian dari aktor tersebut.
DMO: Definisi dan Implikasi
Menurut UNWTO (2008), DMO memiliki fungsi untuk memimpin dan mengkoordinasikan
elemen destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra/image, harga), marketing, maupun
lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Dalam hal ini, DMO menjadi sebuah perspektif yang
hendak memberikan ruang partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam mengelola sebuah
destinasi pariwisata. DMO tidak hanya berperan guna pengembangan produk, marketing dan
promosi, serta perencanaan dan penelitian saja, melainkan memainkan peran sebagai pembentukan
tim dan kemitraan, jalinan masyarakat (community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan.

(Destination Consultancy Group, 2010)
Dalam publikasi Pembentukan dan Pengembangan DMO yang dikeluarkan Kemenbudpar
(sekarang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia), DMO didefinisikan sebagai:
Tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi,
perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik

melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan
peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan,
proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume
kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat
lokal.
Untuk mencapai tahapan tertinggi dalam destination management, Alastair Morrison dalam
Konferensi Nasional DMO di Jakarta (Agustus, 2010), menjelaskan bahwa panduan DMO dimulai
dari product development, marketing, riset, komunikasi, community relations, pengembangan
sumber daya, hingga kemudian tahapan pengelolaan (governance) dan pelaporan.
Untuk mengaplikasikan konsep-konsep pengembangan yang berkelanjutan melalui DMO, terdapat
pembagian tiga skala, meliputi skala lokal, nasional, dan regional. Tak berbeda jauh dengan
penjelasan dan panduan mengenai DMO yang telah lebih dulu dipaparkan oleh UNWTO, DMO
versi Kemenbudpar pun menerapkan prinsip partisipatif, keterpaduan, kolaboratif, dan
berkelanjutan.

Cesar Castaneda (2010) dalam The Role of DMO yang dipresentasikan juga pada Konferensi
Nasional DMO, menjelaskan bahwa keuntungan yang bisa digali dari DMO adalah establishing a
competitive edge, ensuring tourism sustainability, spreading the benefits of tourism, improving
tourism yield, dan building a strong and vibrant brand identity. Di Indonesia sendiri DMO
diarahkan untuk bisa berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal, pemasar lokal, koordinator
industri, lembaga yang mewakili pengelola, dan membangun nilai unik (kebanggan) komunitas
lokal.
Memperkaya khasanah mengenai DMO, Myra P. Gunawan dan Helmi Himawan (2010) dalam
Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Inovasi dalam Sistem Pengelolaan Destinasi
– sebagai suatu sistem – DMO memiliki 3 karakter penting yang mencakup hierarki (destinasi
utama dan penunjang, skala kecil dan besar), struktur, dan jejaring (hubungan keterkaitan, baik
fisik maupun non-fisik). Karena kelembagaan DMO bersifat sebagai suatu institusi sosial – tidak
selalu menjadi organisasi formal - maka, DMO akan tergantung pada peran aktor-aktor kunci di
dalamnya dalam menjalankan nilai, norma, keyakinan, dan tujuan yang dianut serta hendak
dicapai bersama (Phil Janianton Damanik dalam Pengembangan Organisasi Manajemen
Destinasi: Tinjauan Sosial Budaya, 2010)
Sebagai suatu kebijakan yang diinisiasikan dan diimplementasikan oleh Pemerintah, realisasi
DMO terhadap 15 destinasi yang terpilih (Pangandaran, Danau Toba, Komodo-Kelimutu, Java
promo-Borobudur, Bunaken, Bali-Danau Batur, Rinjani, Kota Tua Jakarta, Toraja, BromoTengger-Semeru, Raja Ampat, Wakatobi, Tanjung Puting, Derawan dan Sabang), tidak semuanya
berjalan lancar sesuai rencana. Kini, program DMO yang berada di bawah Dirjen Pengembangan

Destinasi, Kemenbudpar (2010) ini menemui sejumlah kendala dan masalah, meliputi persoalan
implementasi, strategi komunikasi (sosialisasi), koordinasi, skema kerja sama kolaboratif pihakpihak terkait, kebijakan pendukung, dana, komitmen, hingga masalah monitoring-evaluasi.
DMO memang berupaya untuk menjawab berbagai tantangan industri pariwisata ke depannya,
namun untuk menjadikan DMO sebagai suatu paradigma dan strategi, tidak akan terlepas dari
upaya terhadap bagaimana seharusnya menjadikan industri pariwisata lebih berkelanjutan
(ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan). Pariwisata sebagai industri yang miltidimensional dan
lintas sektor, mendesak kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, masyarakat,
akademisi, aktivis (organisasi non-pemerintah), serta media massa untuk terlibat ke dalam sebuah
“kapal” dengan keberlanjutan industri sebagai dermaganya. Bagi negara berkembang dengan
kekayaan alam dan budaya yang begitu besar, konsep pengembangan pariwisata melalui DMO
benar-benar diperlukan menjaga keberlangsungan secara menyeluruh bagi semua pihak yang
terkait langsung maupun tidak langsung dari kedatangan wisatawan di sebuah destinasi pariwisata.