Penyelenggara Pengangkutan Pesawat Udara indonesia
Penyelenggara Pengangkutan Pesawat Udara Militer Wajib
Bertanggung Jawab Atas Warga Sipil Yang Ada Di Dalam Pesawat Dan
Di Darat
R. Hanna Simatupang
Mata kita menoleh kembali ke jalan Jamin Ginting, Medan dengan adanya peristiwa jatuhnya
pesawat Hercules C 130 milik TNI AU yang dirancang oleh Lockheed Martin setelah jatuhnya
pesawat komersial Mandala di tempat yang sama pada tahun 2005. Pesawat Hercules C 130
yang jatuh tersebut merupakan pesawat yang telah banyak berpartisipasi dalam operasi militer,
sipil dan bantuan-bantuan kemanusiaan di Indonesia. Pesawat berukuran hampir 30 meter
dengan daya muat hingga 70000 kg serta mampu menjelajah hingga ketinggian 7000 meter ini
diakui sebagai pesawat angkut militer yang sangat tangguh. Hampir seluruh Negara yang
memiliki angkatan perang juga menggunakan pesawat jenis ini untuk membantu mereka dalam
menjalankan misi pengawasan teritorial, operasi rutin dan kegiatan kemanusiaan lainnya.
Namun bahasan yang akan dituliskan ini bukan untuk mengupas apa faktor penyebab
kecelakaan pesawat naas tersebut, tetapi mengenai bagaimanakah bentuk perlindungan
hukum, bentuk tanggung jawab TNI AU yang terkadang menggunakan pesawat udara militer
untuk mengangkut warga sipil dengan memungut bayaran serta kewajiban pemberian ganti rugi
kepada pihak ketiga yang berada di darat berdasarkan hukum penerbangan nasional kita.
Penerbangan pesawat udara militer yang digunakan secara operasional ada dua jenis, yaitu
penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal. Namun jenis penerbangan berjadwal dan tidak
berjadwal dalam kegiatan militer berbeda dengan yang diatur bagi pesawat udara sipil.
RH Simatupang
Page 1
Penerbangan berjadwal pesawat militer terbatas hanya untuk latihan terbang dan pengiriman
logistik secara rutin, sedangkan penerbangan tidak berjadwal dilakukan sesuai kebutuhan dan
keperluan serta atas perintah dari pemegang Komando.
Sedangkan dalam pemberian perlindungan hukum bagi yang ikut di dalam pesawat udara
militer, kita harus melihat terlebih dahulu pada tujuan penggunaan, bentuk kegiatan pesawat
udara militer itu dioperasikan serta untuk kepentingan siapa. Dalam kasus Hercules C 130
dengan nomor penerbangan A1310 ini kita ketahui bahwa pesawat tersebut digunakan untuk
tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan militer yang dilakukan dalam masa damai, karena
pesawat diterbangkan untuk kepentingan pengangkutan logistik bagi keperluan TNI AU sendiri.
Oleh karena itu diharapkan di dalamnya tidak ada penumpang sipil yang turut untuk tujuan atau
kepentingan transportasinya sendiri. Penumpang sipil dengan kepentingan transportasinya
sendiri yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang ikut sebagai penumpang bukan kategori
“Very important person/VIP” (selevel bintang 2 ke atas dalam militer) atau untuk keperluan dan
kepentingan misi perdamaian, misi sosial atau evakuasi korban bencana alam. Jadi dalam hal
penumpang pesawat udara militer yang secara hukum merupakan penumpang illegal adalah
penumpang yang dengan sengaja ikut dalam penerbangan angkutan udara militer untuk tujuan
kebutuhan transportasinya.
Dari kasus Hercules A1310 belum diketahui apakah ada penumpang yang ikut secara illegal atau
tidak. Namun apabila diketahui ada penumpang yang termasuk kategori “VIP”, maka
berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara, pihak militer atau TNI AU sebagai pemegang komando operasi
pesawat udara militer harus memberikan tanggung jawab kepada penumpang penerbangan
tersebut. Demikian juga dengan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang berada di darat
(dalam hal ini, orang-orang yang meninggal, luka-luka dan pemilik bangunan yang rusak yang
berada di jalan Jamin Ginting), secara hukum mereka harus diberikan ganti kerugian yang sesuai
dengan kerugian yang dideritanya. Ganti kerugian tersebut secara tegas diatur di dalam
Konvensi Roma 1952 yang dikenal dengan prinsip absolute liability yang merupakan prinsip
RH Simatupang
Page 2
tanggung jawab mutlak dimana tidak ada kemungkinan bagi pengangkut atau penyelenggara
penerbangan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian tersebut
timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Namun besarnya tanggung jawab yang
ditanggung oleh penyelenggara penerbangan tersebut dibatasi hanya sampai pada jumlah
tertentu. Khusus untuk pihak ketiga yang menderita kerugian akibat kecelakaan tersebut harus
mendapat ganti rugi sebatas pengembalian keadaan bangunan dan/atau tanah seperti sebelum
kejadian terjadi.
Menjadi catatan penting bagi kita bahwa dengan banyaknya kejadian kecelakaan pesawat udara
militer maka pemerintah seharusnya (1) menetapkan peraturan khusus bagi pesawat udara
militer atau Negara dalam hal sistem tanggung jawab dan pemberian ganti kerugian; (2)
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku ditetapkan bahwa setiap penyelenggara
angkutan udara (baik sipil maupun militer) wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang yang meninggal, cacat tetap atau luka-luka dan pihak ketiga yang berada di
permukaan bumi. Diharapkan dengan adanya kewajiban bagi setiap penyelenggara angkutan
udara untuk menanggung segala kerugian yang timbul tersebut, maka keselamatan, keamanan
dan kenyamanan pengangkutan udara dapat terus terjaga; (3) Tujuan penggunaan atau bentuk
kegiatan-kegiatan pesawat udara militer harus jelas dan tegas ditetapkan oleh pemegang
komando, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi masyarakat yang berniat menjadi
penumpang illegal yang menjadi korban. Dalam kasus Hercules A1310 ini belum diketahui
apakah ada penumpang illegal yang dimaksud. Namun apabila diketahui ada, maka pemegang
komando beserta jajarannya yang bertugas pada waktu kejadian tersebut harus mendapatkan
sanksi tegas. Bentuk sanksi yang diberikan bukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi pesawat sipil. Oleh karena itu diharapkan segera ditetapkan peraturan militer yang
berlaku bagi setiap pesawat udara militer dan para penerbangnya; (4) Kepentingan setiap
penerbangan pesawat udara militer, apakah digunakan untuk kepentingan negara atau
digunakan untuk kepentingan organisasi internasional dan kemanusiaan harus diketahui oleh
para petinggi di departemen perhubungan dan pemegang komando agar setiap penumpang
yang ada di dalam penerbangan tersebut tercatat. Perlu ditegaskan bahwa penumpang yang
RH Simatupang
Page 3
dapat ikut di dalam pesawat militer adalah orang-orang yang memang diatur sesuai keperluan
dan kepentingannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku bagi pesawat-pesawat
udara militer.
Diharapkan dengan kembali terjadinya kecelakaan pesawat udara militer yang jatuh di atas
daerah pemukiman (baik sipil maupun militer/khusus), panglima tertinggi angkutan udara
beserta jajaran keselamatan dan keamanan penerbangan pesawat udara militer dapat
melakukan hal-hal berikut:
1. Mensegerakan menetapkan batasan tentang penggunaan pesawat udara militer bagi
keperluan dan kepentingan sipil pada masa damai. Hal ini dapat mencegah jatuhnya
korban rakyat sipil yang ikut dalam penerbangan militer untuk kepentingan
transportasinya sendiri yang tentunya berakibat pada tidak diberikannya ganti kerugian
yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada praktiknya, pihak TNI umumnya hanya
dapat memberikan santunan seadanya saja;
2. Mensosialisasik aturan mengenai batasan penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal
serta penumpang menurut peraturan perundangan militer. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat mengetahui dan paham bahwa penggunaan pesawat udara militer dan/atau
pesawat Negara berbeda dengan pesawat udara sipil. Diharapkan dengan peningkatan
pengetahuan dan pemahaman tersebut masyarakat dapat lebih sadar atas keselamatan
dan keamanan penerbangan yang sesuai dengan kepentingan dan keperluan mereka
sendiri.
RH Simatupang
Page 4
Bertanggung Jawab Atas Warga Sipil Yang Ada Di Dalam Pesawat Dan
Di Darat
R. Hanna Simatupang
Mata kita menoleh kembali ke jalan Jamin Ginting, Medan dengan adanya peristiwa jatuhnya
pesawat Hercules C 130 milik TNI AU yang dirancang oleh Lockheed Martin setelah jatuhnya
pesawat komersial Mandala di tempat yang sama pada tahun 2005. Pesawat Hercules C 130
yang jatuh tersebut merupakan pesawat yang telah banyak berpartisipasi dalam operasi militer,
sipil dan bantuan-bantuan kemanusiaan di Indonesia. Pesawat berukuran hampir 30 meter
dengan daya muat hingga 70000 kg serta mampu menjelajah hingga ketinggian 7000 meter ini
diakui sebagai pesawat angkut militer yang sangat tangguh. Hampir seluruh Negara yang
memiliki angkatan perang juga menggunakan pesawat jenis ini untuk membantu mereka dalam
menjalankan misi pengawasan teritorial, operasi rutin dan kegiatan kemanusiaan lainnya.
Namun bahasan yang akan dituliskan ini bukan untuk mengupas apa faktor penyebab
kecelakaan pesawat naas tersebut, tetapi mengenai bagaimanakah bentuk perlindungan
hukum, bentuk tanggung jawab TNI AU yang terkadang menggunakan pesawat udara militer
untuk mengangkut warga sipil dengan memungut bayaran serta kewajiban pemberian ganti rugi
kepada pihak ketiga yang berada di darat berdasarkan hukum penerbangan nasional kita.
Penerbangan pesawat udara militer yang digunakan secara operasional ada dua jenis, yaitu
penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal. Namun jenis penerbangan berjadwal dan tidak
berjadwal dalam kegiatan militer berbeda dengan yang diatur bagi pesawat udara sipil.
RH Simatupang
Page 1
Penerbangan berjadwal pesawat militer terbatas hanya untuk latihan terbang dan pengiriman
logistik secara rutin, sedangkan penerbangan tidak berjadwal dilakukan sesuai kebutuhan dan
keperluan serta atas perintah dari pemegang Komando.
Sedangkan dalam pemberian perlindungan hukum bagi yang ikut di dalam pesawat udara
militer, kita harus melihat terlebih dahulu pada tujuan penggunaan, bentuk kegiatan pesawat
udara militer itu dioperasikan serta untuk kepentingan siapa. Dalam kasus Hercules C 130
dengan nomor penerbangan A1310 ini kita ketahui bahwa pesawat tersebut digunakan untuk
tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan militer yang dilakukan dalam masa damai, karena
pesawat diterbangkan untuk kepentingan pengangkutan logistik bagi keperluan TNI AU sendiri.
Oleh karena itu diharapkan di dalamnya tidak ada penumpang sipil yang turut untuk tujuan atau
kepentingan transportasinya sendiri. Penumpang sipil dengan kepentingan transportasinya
sendiri yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang ikut sebagai penumpang bukan kategori
“Very important person/VIP” (selevel bintang 2 ke atas dalam militer) atau untuk keperluan dan
kepentingan misi perdamaian, misi sosial atau evakuasi korban bencana alam. Jadi dalam hal
penumpang pesawat udara militer yang secara hukum merupakan penumpang illegal adalah
penumpang yang dengan sengaja ikut dalam penerbangan angkutan udara militer untuk tujuan
kebutuhan transportasinya.
Dari kasus Hercules A1310 belum diketahui apakah ada penumpang yang ikut secara illegal atau
tidak. Namun apabila diketahui ada penumpang yang termasuk kategori “VIP”, maka
berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara, pihak militer atau TNI AU sebagai pemegang komando operasi
pesawat udara militer harus memberikan tanggung jawab kepada penumpang penerbangan
tersebut. Demikian juga dengan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang berada di darat
(dalam hal ini, orang-orang yang meninggal, luka-luka dan pemilik bangunan yang rusak yang
berada di jalan Jamin Ginting), secara hukum mereka harus diberikan ganti kerugian yang sesuai
dengan kerugian yang dideritanya. Ganti kerugian tersebut secara tegas diatur di dalam
Konvensi Roma 1952 yang dikenal dengan prinsip absolute liability yang merupakan prinsip
RH Simatupang
Page 2
tanggung jawab mutlak dimana tidak ada kemungkinan bagi pengangkut atau penyelenggara
penerbangan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian tersebut
timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Namun besarnya tanggung jawab yang
ditanggung oleh penyelenggara penerbangan tersebut dibatasi hanya sampai pada jumlah
tertentu. Khusus untuk pihak ketiga yang menderita kerugian akibat kecelakaan tersebut harus
mendapat ganti rugi sebatas pengembalian keadaan bangunan dan/atau tanah seperti sebelum
kejadian terjadi.
Menjadi catatan penting bagi kita bahwa dengan banyaknya kejadian kecelakaan pesawat udara
militer maka pemerintah seharusnya (1) menetapkan peraturan khusus bagi pesawat udara
militer atau Negara dalam hal sistem tanggung jawab dan pemberian ganti kerugian; (2)
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku ditetapkan bahwa setiap penyelenggara
angkutan udara (baik sipil maupun militer) wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang yang meninggal, cacat tetap atau luka-luka dan pihak ketiga yang berada di
permukaan bumi. Diharapkan dengan adanya kewajiban bagi setiap penyelenggara angkutan
udara untuk menanggung segala kerugian yang timbul tersebut, maka keselamatan, keamanan
dan kenyamanan pengangkutan udara dapat terus terjaga; (3) Tujuan penggunaan atau bentuk
kegiatan-kegiatan pesawat udara militer harus jelas dan tegas ditetapkan oleh pemegang
komando, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi masyarakat yang berniat menjadi
penumpang illegal yang menjadi korban. Dalam kasus Hercules A1310 ini belum diketahui
apakah ada penumpang illegal yang dimaksud. Namun apabila diketahui ada, maka pemegang
komando beserta jajarannya yang bertugas pada waktu kejadian tersebut harus mendapatkan
sanksi tegas. Bentuk sanksi yang diberikan bukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku bagi pesawat sipil. Oleh karena itu diharapkan segera ditetapkan peraturan militer yang
berlaku bagi setiap pesawat udara militer dan para penerbangnya; (4) Kepentingan setiap
penerbangan pesawat udara militer, apakah digunakan untuk kepentingan negara atau
digunakan untuk kepentingan organisasi internasional dan kemanusiaan harus diketahui oleh
para petinggi di departemen perhubungan dan pemegang komando agar setiap penumpang
yang ada di dalam penerbangan tersebut tercatat. Perlu ditegaskan bahwa penumpang yang
RH Simatupang
Page 3
dapat ikut di dalam pesawat militer adalah orang-orang yang memang diatur sesuai keperluan
dan kepentingannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku bagi pesawat-pesawat
udara militer.
Diharapkan dengan kembali terjadinya kecelakaan pesawat udara militer yang jatuh di atas
daerah pemukiman (baik sipil maupun militer/khusus), panglima tertinggi angkutan udara
beserta jajaran keselamatan dan keamanan penerbangan pesawat udara militer dapat
melakukan hal-hal berikut:
1. Mensegerakan menetapkan batasan tentang penggunaan pesawat udara militer bagi
keperluan dan kepentingan sipil pada masa damai. Hal ini dapat mencegah jatuhnya
korban rakyat sipil yang ikut dalam penerbangan militer untuk kepentingan
transportasinya sendiri yang tentunya berakibat pada tidak diberikannya ganti kerugian
yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada praktiknya, pihak TNI umumnya hanya
dapat memberikan santunan seadanya saja;
2. Mensosialisasik aturan mengenai batasan penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal
serta penumpang menurut peraturan perundangan militer. Hal ini dimaksudkan agar
masyarakat mengetahui dan paham bahwa penggunaan pesawat udara militer dan/atau
pesawat Negara berbeda dengan pesawat udara sipil. Diharapkan dengan peningkatan
pengetahuan dan pemahaman tersebut masyarakat dapat lebih sadar atas keselamatan
dan keamanan penerbangan yang sesuai dengan kepentingan dan keperluan mereka
sendiri.
RH Simatupang
Page 4