Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam Pengelo

Nasib Pengakuan Hak Nagari dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam1
Oleh
Nurul Firmansyah

Perda Propinsi Sumatera Barat No.2/2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari (kemudian
disebut Perda Nagari) dan Perda Propinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang tanah ulayat dan
pemanfaatannya (kemudian disebut perda Tanah Ulayat) adalah dua kebijakan paska orde baru
yang mencoba meletakkan dasar-dasar pengakuan hak masyarakat adat (Nagari) dalam
pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat. Dua perda ini mempertegas kembali nagari
sebagai subjek hak ulayat, dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat dan hak ulayat sebagai
hubungan hukum antara subjek dan objek tersebut. Upaya pengakuan hak nagari dalam dua
kebijakan ini kemudian berdinamika dengan sistem hukum nasional, yaitu rezim pengaturan
otonomi daerah, rezim pengaturan sumber daya alam, dan rezim pengaturan peradilan serta
kondisi sosiologis masyarakat adat.
Perda nagari menyebutkan dua fungsi nagari, yaitu sebagai satuan pemerintahan administratif
(terendah) dan kesatuan masyarakat adat. Artinya, Nagari melekat dua identitas, yaitu sebagai
satuan administratif pemerintahan terendah sekaligus nagari sebagai kesatuan masyarakat adat.
Upaya mengintegrasikan nagari atas fungsi administratif dan fungsi adat dalam Perda Nagari
adalah semangat utama mengembalikan nagari setelah di pecah-pecah sistem pemerintahan
desa atau dikenal dengan semangat ka bali Ka Nagari. Perda nagari memang dapat

menstimulus penyatuan desa-desa ke nagari, namun di sisi lain, belum mampu melebur sistem
adat yang berbasis Ninik Mamak dengan sistem pemerintahan modern (pemerintah nagari). Hal
tersebut melahirkan tumpang tindih pengurusan sumber daya alam di nagari.
Realitas Pengelolaan Sumber Daya Alam
1

Artikel pernah dipublikasi pada : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e4cc1435b211/nasib-pengakuanhak-nagari-dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-broleh--nurul-firmansyah-

Maraknya konflik – konflik hak ulayat adalah realitas pengelolaan sumber daya alam di Sumatera
Barat. konflik-konflik tersebut umumnya bernuansa vertikal antara masyarakat adat dengan
Negara dan atau pemilik modal. Konflik ini paling banyak pada sektor perkebunan, kehutanan
dan pertambangan. konflik di sektor perkebunan marak pada perkebunan-perkebunan kelapa
sawit skala besar, terutama di wilayah daratan rendah seperti kabupaten Pasaman barat,
Dhamasraya, Pesisir Selatan, Agam dan Solok Selatan. Konflik ini muncul akibat pemerintah dan
penguasa

e pli tir perjanjian siliah jariah yang konversi hak ulayat ke tanah Negara dengan

penetapan Hak Guna Usaha (HGU). Hal serupa juga terjadi pada sektor pertambangan, yaitu
perjanjian siliah jariah merubah status tanah ulayat menjadi tanah Negara melalui penetapan

kuasa pertambangan dan izin-izin pertambangan skala kecil. Pada sektor kehutanan, konflik
muncul akibat penetapan sepihak kawasan hutan dan kemudian dibebankan HPH-HPH kepada
perusahaan-perusahaan. Konflik HPH PT. AMT dengan nagari-nagari di solok selatan adalah salah
satu contohnya. Penetapan kawasan hutan produksi secara sepihak dan pemberian konsesi HPH
kepada PT. AMT dilakukan diluar kendali masyarakat adat.
Masyarakat adat pada konflik-konflik diatas umumnya menuntut pengembalian tanah-tanah
ulayat mereka paska pemanfaatan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Selain pengembalian
tanah, masyarakat adat juga menuntut bagi hasil pemanfaatan tanah-tanah yang sedang
dikelola oleh perusahaan-perusahaan ini. Hal ini menunjukkan bahwa konflik vertikal seputar
tanah ulayat berupa konflik penguasaan dan konflik pengelolaan dan pemanfaatan. Negosiasinegosiasi terus dilakukan masyarakat adat terhadap perusahaan, ada yang berhasil ada yang
gagal. Keberhasilan negosiasi itu biasanya melingkupi persoalan bagi hasil (pemanfaatan) berupa
pemberian-pemberian insentif-insentif kepada masyarakat adat Nagari Lubuk Kilangan dari PT.
Semen Padang, nagari-nagari selingkat HPH AMT dan lain-lain. Di sisi lain, terdapat juga kisah
kegagalan masyarakat adat dalam menuntut hak-haknya seperti kasus masyarakat adat nagari
Tiku kabupaten Agam dengan PT. Minang Agro, kasus PT. Anam koto, kasus ulayat imbang langik
di pasaman barat yang dipatahkan kekuatan masyarakat adat dengan cara kriminalisasi terhadap
tokoh-tokohnya.
Upaya Pemulihan dan Pengakuan Hak Nagari

Sebenarnya, Perda tanah ulayat telah mengatur mekanisme-mekanisme pemanfaatan tanah

ulayat yang terdiri dari tiga mekanisme, yaitu : pertama, pemanfaatan oleh anggota masyarakat
adat (nagari) melalui mekanisme internal nagari berdasarkan hukum adat yang berlaku pada
masing-masing nagari tersebut, kedua, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan
umum yang mengacu pada perpress no.36/2005 yang diperbarui dengan perpress 65/2005, dan
ketiga, mekanisme pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak ketiga (investasi) melalui mekanisme
perjanjian kerjasama atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan disarankan dalam bentuk
bagi hasil dan penyertaan modal (tanah ulayat dianggap sebagai bagian dari modal (saham)
perusahaan). Perda ini juga menyebutkan bahwa, pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan
untuk investasi akan dikembalikan kebe tuk se ula . Bentuk semula menjadi bias makna bagi
tanah-tanah yang dibebankan HGU, apakah kembali ke bentuk tanah Negara berdasarkan UUPA
atau tanah ulayat berdasarkan perjanjian kesepakatan silih jariah.
Klausul ke bali kebe tuk se ula pada tanah-tanah bekas investasi menujukkan upaya
memulihkan hak ulayat pada tanah-tanah yang telah dimanfaatkan sebelum Perda ini lahir.
Walaupun multitafsir, klausul ini dapat menjadi alat pemulihan hak ulayat apabila dijelaskan
secara konkrit pada perda-perda di tingkat kabupaten / kota. Perda-perda ditingkat kabupaten
atau kota mempunyai daya operasional yang kuat untuk pemulihan hak ulayat paska
pemanfaatan untuk investasi tesebut.
Selain itu, perda tanah ulayat juga mengatur mekanisme penyelesaian konflik, yaitu konflik
internal dalam nagari dan antar nagari. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme adat. Itu
berarti perda TUP hanya mengatur konflik yang bersifat horizontal sedangkan vertikal tidak

diatur. Hal itu berkonsekuensi pada upaya penyelesaian konflik bersifat horizontal merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah melalui perangkat-perangkatnya, sedangkan konflik vertikal
secara eksplisit diserahkan kepada peradilan formal (Pengadilan Negeri). Penyelesaian konflik
melalui peradilan tidak banyak menguntungkan masyarakat adat karena sifat pembuktian yang
formalistis di pengadilan, sedangkan kasus-kasus vertikal terutama pada kasus-kasus perkebunan
berstatus HGU mempunyai karakter yang unik dan tidak cukup dengan hanya pada pembuktian
formil. Oleh sebab itu, pilihan-pilihan penyelesaian konflik banyak menggunakan cara negosiasi

dan mediasi antara masyarakat adat dengan perusahaan karena alasan fleksibelitas dan
pendekatan win-win solution, baik itu yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, lawyer ataupun
NGO.
Pada sisi lain, konflik kehutanan adalah konflik yang rumit karena dominasi pemerintah pusat
dan ketidakpastian tenurial masyarakat adat yang besar pada kawasan hutan. Walaupun perda
nagari dan perda tanah ulayat menyebutkan pengakuan hutan adat (hutan yang berada di tanah
ulayat) namun tentunya menjadi persoalan bila berhadapan dengan UUK yang mensyaratkan
pengakuan terlebih dahulu masyarakat adat melalui Perda yang mekanismen pengakuan
tersebut sedang digodok dalam PP pengukuhan hutan adat. Artinya hutan adat diakui oleh UUK
apabila telah diatur dalam PP dan kemudian disahkan (dikukuhkan) masyarakat hukum adat itu
dalam Perda. Apakah perda tanah ulayat dan perda nagari bisa dianggap sebagai bentuk
pengukuhan masyarakat adat ? hal itu menjadi perdebatan serius di sumatera barat. Secara

praktis, departemen kehutanan, dinas kehutanan dan lembaga-lembaga vertikal kehutanan
menganggap bahwa perda nagari dan perda tanah ulayat mengatur hak ulayat diluar kawasan
hutan. Artinya bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari terhadap kawasan hutan mesti
melalui skema – skema pemanfaatan dalam kebijakan kehutanan, seperti Hkm, hutan desa dan
lain-lain. Ekspressi penguatan penguasaan departemen kehutanan terhadap kawasan hutan
terlihat dari kriminalisasi masyarakat nagari yang mengelola lahan dikawasan hutan, baik itu
untuk membuka lahan pertanian, agroforestri maupun pemanfaatan kayu. Misalnya, kasus
kriminalisasi beberapa orang anggota masyarakat nagari ampiak parak kabupaten pesisir selatan
yang membuka lahan pertanian berdasarkan surat izin pemangku adat (surat pelacoan) di
kawasan TNKS.
Akhirnya, nasib pengakuan hak nagari dalam pengelolaan sumber daya alam di sumatera barat di
pengaruhi oleh tiga hal, yaitu; pertama, pengakuan masyarakat adat melalui proses legislasi
(perda nagari dan perda tanah ulayat) yang berada pada kutub rezim pengaturan Pemerintah
Daerah yang mencoba melindungi pemanfaatan tanah untuk investasi dengan mengakui hak
ulayat dan mekanisme pemanfaatannya. Pengakuan ini masih mempunyai kelemahan bagi
tanah-tanah yang telah dibebankan HGU dan kawasan hutan karena kebijakan ini vis a vis

dengan rezim pengaturan sumber daya alam yang sentralistik, baik itu pengaturan HGU dalam
UUPA dan kawasan hutan dalam UUK. Kedua, dinamika pengakuan hak masyarakat adat melalui
proses administratif, yaitu proses – proses administrasi pemanfaatan tanah yang tidak

transparan dan tanggung gugat, seperti penetapan kawasan hutan dan penetapan HGU dan HPH
(IUPPHK) yang berdampak pada pengabaian hak ulayat. Ketiga, dinamika pengakuan hak ulayat
dalam proses judicial yang masih menganut paham formalisme hukum di lembaga peradilan
sehingga kasus-kasus yang bersifat vertikal belum menguntungkan terhadap pengakuan hak-hak
masyarakat adat, sehingga penyelesaian konflik seperti negosiasi dan mediasi menjadi cara
alternatif penyelesaian konflik ini.
****