KONTRIBUSI PEMBELAJARAN AKHLAK TASAWUF TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT MAHASISWA IAIN SALATIGA TAHUN 2017
KONTRIBUSI PEMBELAJARAN AKHLAK TASAWUF
TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT
MAHASISWA IAIN SALATIGA TAHUN 2017
Oleh
FATHIMAH MUNAWAROH
NIM. 12010150045
Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan
untuk gelar Magister Pendidikan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
ABSTRAK
Judul : Kontribusi Pembelajaran Akhlak Tasawuf Terhadap Adversity Quotient Mahasiswa IAIN Salatiga.
Penelitian ini bertujuan utuk mengetahui (1) Praktik Pembelajaran Akhlak Tasawuf. (2) Adversity Quotient (AQ) mahasiswa IAIN Salatiga. (3) Kontribusi Pembelajaran Akhlak Tasawuf Terhadap Adversity Quotient (AQ) Mahasiswa
IAIN Salatiga. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode wawancara, pengamatan (observasi), dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, pertama, pebelajaran akhlak tasawuf di IAIN Salatiga termasuk kategori pembelajaran yang memenuhi komponen pembelajaran akhlak tasawuf, diantaranya menggunakan pendekatan pengalaman langsung dengan menggunakan metode proyek, dilengkapi dengan media dan sumber belajar yang relevan, memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengembangkan potensi dan memiliki tujuan
ma’rifatullah. Kedua, kecerdasan
adversity mahasiswa yang menunjukan kategori tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya rata-rata skor mahasiswa dalam penilaian sikap dan perilaku sesuai indikator AQ yang menunjukan skor 15 sampai 20. Ketiga, pembelajaran akhlak tasawuf memberikan kontribusi terhadap adversity quotient mahasiswa IAIN Salatiga dibuktikan dengan pembentukan sikap dan perilaku optimis, percaya diri, mampu berbesar hati, mampu menahan cela, bercita-cita besar, menerima kritik dan mampu mencapai target.
Kata kunci : Pembelajaran Akhlak Tasawuf, Adversity Quotient
ABSTRACT
Title: The Contribution of Learning Moral Sufism to the Adversity Quotient of IAIN Salatiga Students.
This study aims to know (1) Practice learning moral sufism. (2) Adversity
Quotient (AQ) of IAIN Salatiga students. (3) The contribution of Learning moral
sufism to the adversity quotient of IAIN Salatiga students. The type of this research is qualitative with interview method, observation, and documentation. The result of this research shows that, firstly, moral sufism in IAIN Salatiga has component of sufism morality, such as using direct experience approach using project method, equipped relevant media and learning resources, motivating students to develop potential and has the purpose ma'rifatullah. Second, the student's adversity intelligence that shows the high category. This is evidenced by the high average student scores in the assessment of attitudes and behaviors according to the AQ indicator that score is 15 to 20. Third, learning character of moral sufism contributes to the adversity quotient of IAIN Salatiga students is evidenced by the formation of attitude and optimistic behavior, confident , able to be heartened, able to withstand reproach, aspire big, accept criticism and able to reach the target.
Keywords: Learning of Moral Sufism, Adversity Quotient
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v PRAKATA .......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4 C. Signifikansi Penelitian ............................................................................ 4 D. Kajian Pustaka ........................................................................................ 5 E. Metode Penelitian .................................................................................. 18 F. Sistematika Penulisan ............................................................................ 27BAB II PEMBELAJARAN AKHLAK TASAWUF DI IAIN SALATIGA . 22
A. Profil IAIN Salatiga .............................................................................. 22 B. Praktik Pembelajaran Akhlak Tasawuf di IAIN Salatiga ..................... 23BAB III ADVERSITY QUOTIENT MAHASISWA IAIN SALATIGA ........ 34
B. Mampu Mengejar Target ...................................................................... 35
C. Memiliki Cita-Cita Besar ...................................................................... 36
D. Mampu Berbesar Hati ........................................................................... 37
E. Mampu Menahan Cela dan Menerima Kritik ....................................... 37
F. Memiliki Kepercayaan Diri ................................................................... 39
BAB IV PEMBENTUKAN SIKAP DAN PERILAKU SEBAGAI
KONTRIBUSI PEMBELAJARAN AKHLAK TASAWUF TERHADAPADVERSITY QUOTIENT MAHASISWA IAIN SALATIGA ........... ...........41
A. Pembentukan Sikap............................................................................... 41 B. Pembentukan Perilaku........................................................................... 45BAB V PENUTUP ............................................................................................. 49
A. Simpulan ............................................................................................... 49 B. Saran...................................................................................................... 50 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... x LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... lviBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis identitas diri, krisis managemen jodoh, krisis managemen profesi dan
masih banyak yang lain merupakan bagian dari permasalahan mahasiswa yang kerap menjadi pemicu gejala penyakit rohani. Dikatakan sebagai penyakit, karena permasalahan tersebut memiliki solusi yang terkadang sulit
1
ditemukan, sehingga tidak sedikit mahasiswa yang mengalami stres. Setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari segala permasalahan hidup, begitu pula mahasiswa. Masalah yang mereka alami merupakan ujian untuk menaikan derajatnya.
Manusia di era teknologi ini, dengan kerumitan hidupnya memiliki tingkat stres yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan karena adanya pola sosialisasi dan komunikasi yang semakin tidak real dan adanya ketergantungan terhadap fasilitas teknologi. Keterpisahan manusia dengan teknologi dianggap suatu yang berdampak pada terjadinya depresi. Di sisi lain, teknologi merupakan alat untuk mengatasi permasalahan hidup tetapi di
2 sisi yang lain dapat menciptakan permasalahan yang lebih kompleks.
Generasi muda seperti para mahasiswa merupakan generasi yang sangat melek teknologi dan tidak bisa terpisahkan dari fasilitas teknologi khususnya teknologi komunikasi. Tuntutan gaya hidup, pekerjaan, kebutuhan primer, 1 Ahmad Sultoni, Sang Maha-Segalanya Mencintai Sang Maha Siswa, Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2007, 12-16. 2 Ikhsan Kurnia dan Eva Dania, Transcendental Adversity Management, Yogyakarta:
sekunder dan tersier di era teknologi semakin menuntut manusia memiliki daya juang yang tinggi agar tetap bertahan dalam segala kesulitan dan tidak mudah menyerah dengan keadaan.
Di zaman yang serba instan seperti sekarang banyak anak muda yang menginginkan segala sesuatu dapat diraih secara instan tanpa harus banyak mengeluarkan tenaga, waktu, biaya, dan pengorbanan. Hal tersebut mengakibatkan pandangan terhadap pentingnya usaha sedikit bergeser.
Segala permasalahan memiliki solusi dan besar kecilnya permasalahan tergantung bagaimana cara menyikapinya. Apakah dengan menyalahkan diri sendiri, orang lain, keadaan, serta takdir, atau fokus terhadap solusi penyelesaian masalah. Diperlukan adanya kemampuan berfikir mendalam bagi seseorang untuk bisa menyelesaikan permasalahan dan tetap bertahan dalam perjuangan agar tidak mudah menyerah dan putus asa. Kemampuan inilah yang oleh Paul G. Stoltz, Ph.D disebut dengan Adversity Quotient yang merupakan sebuah varian baru yang dapat menjembatani antara Intelligence
3 Quotient (IQ) yaitu kemampuan berpikir abstrak dan Emotional Quotient
4
(EQ) atau kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk merasa. Adversity
Quotient merupakan kemampuan mengatasi masalah atau daya juang dalam
5
mencapai keberhasilan. Setiap orang memiliki kecenderungan yang berbeda- beda dalam hal kecerdasan. Ada yang kecerdasannya lebih dominan dalam
emosional , ada yang dominan spiritiual, ada yang intelektual dan yang terahir 3 Ani Muttaqiyathun , “Hubungan Emotional Quotient, Intelectual Quotient dan Spiritual
Quotient dengan Entrepreneur’s Performance”, Managemen Bisnis: Volume 2, Nomer 3, (Desember 2009-Maret 2010), 226. 4 Ari Ginanjar, Emotional Spiritual Quotient, Jakarta: Arga Tilanta, 2011, 11. adalah kecerdasan adversity. Dalam hal ini penulis akan fokus membahas tentang kecenderungan seseorang dalam menghadapi masalah atau daya juang dalam menggapai suatu keberhasilan.
Selain mengetahui sejauh mana kecerdasan adversity perlu diketahui juga bagaimana metodologi dalam penyelesaian masalah atau yang dikenal
6
dengan Transcendental Adversity Management (TAM). Jika Ikhsan kurnia menawarkan konsep TAM yang merupakan kependekan dari Transcendental
Adversity Management sebagai solusi dari multiple adversities, untuk
melengkapi konsep AQ yang digagas oleh Paul G. Stoltz, maka IAIN Salatiga memiliki mata kuliah yang ikut berkontribusi dalam memberikan solusi permasalahan atau problem soulving bagi mahasiswanya, yaitu mata kuliah Akhlak tasawuf. Dalam mata kuliah tersebut banyak hal-hal yang diajarkan baik secara teori maupun praktis. Idealnya mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah akhlak tasawuf memiliki kecerdasan adversity yang tinggi. Terjadi perubahan sikap dan perilaku antara sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran akhlak tasawuf.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin meneliti lebih jauh tentang Kontribusi Tasawuf terhadap Adversity Quotient Mahasiswa IAIN Salatiga Tahun 2017.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini hanya fokus mengupas kontribusi tasawuf terhadap pembentukan Adversity Qoutient pada mahasiswa IAIN Salatiga. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana praktik pembelajaran akhlak tasawuf di IAIN Salatiga tahun 2017? 2. Bagaimana Adversity Quotient mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2017? 3. Bagaimana kontribusi pembelajaran akhlak tasawuf terhadap Adversity
Quotient mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2017? C.
Signifikansi Penelitian 1.
Tujuan Penelitian a.
Mengetahui praktik pembelajaran tasawuf di IAIN Salatiga tahun 2017.
b.
Mengeksplorasi Adversity Quotient mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2017.
c.
Mengetahui kontribusi pembelajaran akhlak tasawuf terhadap Adversity Quotient mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2017.
2. Manfaat Penelitian a.
Secara teoritik, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi mengenai pentingnya pengembangan pembelajaran Akhlak Tasawuf terhadap pembentukan Adversity Qoutient.
b.
Secara praktis, bagi lembaga pendidikan melalui pemaparan tentang kontribusi mata kuliah akhlak tasawuf terhadap kecerdasan adversity mahasiswa, diharapkan dapat dijadikan referensi untuk pengembangan kecerdasan mahasiswa melalui mata kuliah lainnya.
D. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dianggap mendekati dari tema penelitian ini adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Vivik Shofiah dan Raudatussalamah berjudul “Self- Efficacy dan Self- Regulation Sebagai Unsur Penting Dalam Pendidikan Karakter (Aplikasi Pembelajaran Mata Kuliah Akhlak Tasawuf)”. Hasil penelitian ini adalah melalui pembelajaran mata kuliah Akhlak Tasawuf, dapat meningkatkan selfefficacy dan self-regulation pada
7 mahasiswa.
Penelitian lain berjudul “Fungsi Tasawuf terhadap Pembentukan Akhlak (Etika) Kerja: Studi pada Murid Tarekat Qadariyah
Naqsyabandiyah
di Kota Pontianak Kalimantan Barat” yang disusun oleh Fatmawati. Hasil penelitian menggambarkan tahapan-tahapan pengamalan tasawuf oleh siswa yang dibimbing oleh guru seperti prosesi
bai’at (ikrar)
dan prosesi zikir yang dilakukan secara konsisten berimplikasi pada akhlak (etika) kerja yang mempunyai dimensi spiritual dan nilai-nilai Islami. Akhlak (etika) kerja merujuk sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, seperti sifat
ṣiddiq, amanah, faṭanah dan tabligh yang masih relevan 7 hingga kini. Ketika melakukan aktivitas kerja para pengikut QN merasa Vivik Shofiah dan Raudatussalamah, “Self- Efficacy dan Self- Regulation Sebagai Unsur
Penting dalam Pendidikan Karakter (Aplikasi Pembelajaran Mata Kuliah Akhlak Tasawuf)”, mempunyai kekuatan spiritual di dalam dirinya, yakni merasa selalu ada yang mengawasi. Mereka berhati-hati dalam bekerja dan selalu menjaga
8
perilakunya sesuai akhlak Islami.Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Asep Usman Ismail dengan judul “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”. Hasil dari penelitian tersebut adalah Integrasi antara syariah dengan tasawuf akan terus diperjuangkan oleh ulama supaya tetap menyatu. Sunah Nabi menegaskan, hanya dengan memadukan keduanya, kebaikan dunia dan akhirat akan terwujud, karena keduanya memenuhi kebutuhan individu, sosial, dan spiritual manusia
9 secara terpadu.
Penelitian lain juga dilakuakan oleh Shen Chao-ying pada tahun 2014 di Nanhua University, Taiwan. Judul penelitian tersebut adalah “A
Study Investigating The Influence of Demographic Variables on Adversity Quotient”. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi Adversity Quotient, memahami kesulitan-kesulitan pekerja perusahaan di Taiwan, dan mengusulkan saran untuk mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, usia dan senioritas memiliki pengaruh yang signifikan pada Adversity Quotient, sedangkan
8 Fatmawati, “Fungsi Tasawuf terhadap Pembentukan Akhlak (Etika) Kerja: Studi pada
Murid Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Kota Pontianak Kalimantan Barat”, Teologia, Volume 25, Nomor 2, (Juli-Desember 2013), 2. 9 Asep Usman Ismail , “Integrasi Syariah dengan Tasawuf”, Ahkam: Volume 12, Nomer 1, gender dan latar belakang pendidikan tidak memiliki pengaruh yang
10 signifikan pada Adversity Quotient.
Sebuah penelitian yang membahas tentang kontribusi Adversity
Intelligence juga pernah dilakukan oleh Tony Wijaya dengan judul
“Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi Berwirausaha (Studi
Empiris pada Siswa SMKN 7 Yogyakarta)”. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji korelasi (hubungan) antara Adversity Intelligence dan intensi berwirausaha. Hasil penelitian mengidikasikan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara Adversity Intelligence dan intensi berwirausaha. Hasil analisa menunjukkan bahwa kontribusi variabel
Adversity Intelligence terhadap intensi berwirausaha adalah 11%
sedangkan 89% lainnya dijelaskan oleh faktor lain. Hal ini membuktikan bahwa Adversity Intelligence memiliki kontribusi terhadap intensi
11 berwirausaha.
Penelitian tentang keceredasan Adversity atau daya juang juga pernah diteliti oleh Yosiana Nur Agusta dengan judul penelitian “Hubungan antara Orientasi Masa Depan dengan Daya Juang dan
Kesiapan Kerja ” hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menyebutkan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara orientasi masa depan dan 10 daya juang terhadap kesiapan kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas
Shen Chao- Ying, “A Study Investigating The Influence of Demographic Variables on Adversity Quotient
”, The Journal of Human Resource and Adult Learning, Volume 10, Number 1( June 2014), 1-11. 11 Tony Wijaya, “Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi Berwirausaha (Studi
Empiris pada Siswa SMKN 7 Yogyakarta)”, Management dan kewirausahaan, Volume 9, Nomor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Samarinda. Kesiapan kerja pada mahasiswa sebagai upaya mempunyai keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja, sehingga mahasiswa setelah lulus
12 nanti dapat bersaing di dunia kerja.
Maria Cristina J. Santos pernah meneliti tentang Adversity Quotient. Judul penelitiannya adalah
“Assessing The Effectiveness of The Adapted
Adversity Quotient Rogram in A Special Education School
”. Hasil penelitiannya menyiratkan bahwa Adversity Quotient dapat digunakan sebagai bagian dari fakultas Program Pembangunan untuk membuat guru pendidikan khusus agar lebih tangguh dan kompeten. Program Adversity
Quotient dikembangkan dan divalidasi oleh tiga ahli untuk meningkatkan Adversity Quotient guru pendidikan khusus di sebuah sekolah pendidikan
khusus di Manila. Setelah pelaksanaan program Adversity Quotient maju, hasil post test meningkat secara signifikan dan cukup tinggi. Maricopa School District memiliki program Adversity Quotient untuk memotivasi
13 guru untuk berbuat lebih banyak dengan lebih sedikit upaya.
Yang terakhir adalah penelitian Monica Brannon Johnson yang berjudul “Optimism Adversity and Performance Comparing Explanatory
Style and AQ
”. Hasil dari penelitiannya adalah Eksplanatory Style da AQ
12 Yosiana Nur Agusta, “Hubungan antara Orientasi Masa Depan dan Daya Juang terhadap
Kesiapan Kerja pada Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di
Universitas Mulawarman”, Psikologi, Volume 3, Nomor 1, (2015), 379. 13 Maria Cristina J. Santos,“Assessing The Effectiveness of The Adapted Adversity Quotient Program in A Special Education School
”, Journal Of Arts, Volume 3, Number 2, berkorelasi, dengan fokus kontrol menjadi elemen terpenting yang
14 menghubungkan kedua model tersebut secara bersamaan.
Dari beberapa Penelitian tersebut, sebagian besar meneliti mengenai implementasi, fungsi, dan integrasi tasawuf serta pengaruh Adversity
Quotient terhadap variable lain. Peneliti tidak menemukan mengenai kontribusi tasawuf terhadap Adversity Quotient mahasiswa.
2. Kerangka Teori a.
Pembelajaran Akhlak Tasawuf Pembelajaran merupakan usaha memperoleh perubahan sikap dan perilaku. Prinsip ini mengandung makna bahwa ciri utama proses pembelajaran adalah perubahan sikap atau perilaku dalam diri
15
individu. Begitu juga pembelajaran akhlak tasawuf. Mata kuliah akhlak tasawuf yang pada awalnya adalah mata kuliah akhlak yang diperluas dengan kajian tasawuf. Memahami tasawuf harus diawali dengan memahami akhlak karena tanpa itu akan memunculkan
16
kesalahan memahami tasawuf. Jadi pembelajaran akhlak tasawuf adalah usaha untuk merubah sikap, perilaku, akhlak dan cara pandang terhadap hidup.
Pada dasarnya pendidikan akhlak tasawuf merupakan upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri
14 Monica Brannon Johnson, “Optimism Adversity and Performance Comparing Explanatory Style and AQ”, Thesis, San Jose State University, 2005, 2. 15 Lefudin, Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Deepublish, 2017, 16. manusia dari pengaruh negatif kehidupan di dunia, sehingga 17 menumbuhkan akhlak yang mulia dan kedekatan dengan Allah.
Sebuah pembelajaran idealnya memiliki beberapa komponen yang dapat mendukung keberhasilan suatu pembelajaran di antara adalah: 1)
Pendekatan dan Metode Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran akhlak tasawuf idealnya adalah pendekatan yang berbasis pengalaman lagsung atau
direct experience . Hal ini memiliki alasan bahwa hakikat tujuan
akhlak tasawuf adalah membangun kesadaran diri akan kehadiran
18 Tuhan dengan segala kesempurnaan sifatnya melalui ma’rifatullah.
Metode yang digunakan dalam suatu pembelajaran sebaiknya
19 adalah metode yang menekan pada penghayatan pengalaman.
Metode proyek merupakan salah satu metode yang sesuai dengan pendekatan direct eksperian salah satunya adalah metode proyek. Metode proyek adalah suatu metode belajar dengan melibatkan peserta didik untuk merancang suatu proyek yang akan
20
diteliti sebagai obyek kajian. Dari beberapa materi kuliah metode proyek sangat cocok digunakan dalam pembelajaran akhlak tasawuf karena berkaitan dengan pengalaman langsung yang menjadi tujuan 17 utama dari penerapan pendekatan pembelajaran direct experience. 18 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, 181. 19 Ahmad Sultoni, Sang Maha-Segalanya..., 49.
Abdulrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, 122. 20 Sri Fatmawati & Nina Ariesta dkk, Desain Laboraturium Skala Mini untuk Pembelajaran
2) Media dan Sumber Belajar
Pembelajaran merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan perubahan sikap dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media untuk belajar. Media pembelajaran merupakan wadah dan alat bantu menyampaikan pesan
21
materi. Dengan kata lain media dapat berbentuk audio, visual, kata-kata yang memberi motivasi, yang bertujuan untuk memperjelas konsep abstrak. Selain itu, untuk mencapai tujuan dari pembelajaran akhlak tasawuf yaitu usaha untuk memperbaiki, membentuk, atau merubah sikap dan perilaku sangat dibutuhkan adanya media yang dapat memberikan sugesti positif posistif dan terapi, khususnya bagi peserta didik yang mengalami suatu kendala dalam proses pembelajaran. Seperti tidak memiliki semangat belajar, pesimis, dan memiliki jiwa yang lemah dan menutup diri dari berbagai pengetahuan dan pengalaman baru. Hal tersebut yang akan menjadi penghambat keberhasilan pembelajaran.
Contoh media dalam pembelajaran akhlak tasawuf seperti penayangan materi dengan peralatan elektronik (komputer) berupa audio (musik atau suara-suara), visual (gambar-gambar), dan kata- kata yang mengandung motivasi dan berbasis terapi. Media tersebut digunakan untuk mengunjungi alam bawah sadar yang akan 21 mengantarkan dan mebawa pada keadaan rileks, santai dan nyaman.
Rudi Susilana dan Cepi Riyana, Media Pembelajaran; Hakikat, Pengembangan,
Dengan begitu pikiran menjadi terbuka dan siap menerima materi
22 pembelajaran.
Selain media, sumber belajar juga sangat diperlukan dengan alasan bahwa sumber belajar merupakan salah satu faktor yang penting dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Sumber belajar terdiri atas pesan, informasi (dalam bentuk ide, fakta dan data yang disampaikan kepada peserta didik), orang (guru atau nara sumber),
23
bahan ajar, lingkungan dan alat. Demikian pula dalam pembelajaran akhlak tasawuf sangat dibutuhkan adanya sumber belajar yang relevan. Seperti dosen pengajar yang akan memberikan materi-materi pembelajaran. Dalam hal ini dosen akhlak tasawuf bukan hanya sebagai penyampai pesan akan tetapi juga sebagai motivator, rule model bagi mahasiswa dan desainer pembelajaran.
Oleh karena itu seorang dosen harus menguasai pengetahuan dan
24
keterampilan dalam menyusun desain pembelajaran. Selain itu dosen juga harus memiliki pengalaman spiritual yang berkaitan dengan akhlak tasawuf dengan alasan akan sulit menyampaikan materi tentang akhlak dan tasawuf yang bersifat metafisik seperti spiritualitas, tanpa memiliki pengalaman spiritual itu sendiri.
22 Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas; Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012, 92. 23 Rudi Susilana, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung: IMTIMA, 2007, 197.
Kitab, buku dan modul-modul pembelajaran juga diperlukan sebagai sumber informasi utama. Dalam hal ini yang menjadi sumber paling utama adalah kitab al-Quran dan kitab Hadis. 3)
Tujuan Pembelajaran Beberapa tujuan dalam mempelajari akhlak tasawuf diantaranya adalah merubah sikap dan perilaku serta cara pandang terhadap hidup dan kehidupan, membina akhlak secara pribadi dan yang berhubungan dengan makhluk lain,
ma’rifatullah atau mengenal
25 Allah dan taqarrub atau dekat dengan Allah. Tujuan dari
pembelajaran akhlak tasuf memiliki tingkatan dengan alasan tujuan tersebut sebaiknya diwujudkan melalui proses dan tahapan-tahapan yang akan menuntun peserta didik pada tujuan yang paling utama dalam pembelajaran akhlak tasawuf yaitu kedekatan dengan Allah SWT. 4)
Materi Pembelajaran Akhlak tasawuf memiliki beberapa materi pembahasan di antaranya adalah tentang pengertian akhlak tasawuf , ruang lingkung akhlak tasawuf, tujuan akhlak tasawuf, managemen hati, taubat, konsep akhlak dalam tasawuf, zuhud, sedekah, sabar, cinta (hubb), khauf,
26 Materi-materi tersebut yang raja’, fana, tawakal, dan doa.
diharapkan dapat memberikan dampak pada akhlak atau sikap dan 25 perilaku peserta didik.
Ahmad Sultoni, Sang Maha-Segalanya..., 48-50.
5) Indikator pencapaian kompetensi Pembelajaran
Suatu pembelajaran dikatakan berhasil jika telah memenuhi beberapa indikator yang telah disusun dalam suatu perencanaan pembelajaran.
Untuk pembelajaran akhlak tasawuf ada beberapa indikator kompetensi pembelajaran di antaranya:
27
a) Mahasiswa dapat mengetahui urgensi akhlak tasawuf.
b) Mahasiswa dapat memanagement hati dalam kehidupan sehari- hari.
c) Mahasiswa dapat menerapkan kekuatan doa dan sedekah dalam kehidupan sehari-hari.
d) Mahasiswa dapat merasakan dekat dengan Allah.
e)
Mahasiswa dapat menerapkan sifat sabar dan zuhud dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Adversity Quotien Adversity Quotient merupakan perpaduan antara IQ (intellegence
quotient) dan EQ (emotional quotient). AQ (Adversity Quotient) juga merupakan faktor penentu kesuksesan yang salah satu komponennya adalah daya juang dan ketekunan.
28 Dalam pencapai suatu keberhasilan yang harus dilakukan di antaranya adalah usaha maksimal.
Salah satu tokoh teori Adversiy Quotient adalah Paul G. Stoltz menjelaskan: 27 Muhammad Masud, Silabus Akhlak Tasawuf IAIN Salatiga Tahun Akademik 2016/2017, Salatiga: IAIN Salatiga. 2017, 2.
“AQ is a scientifically-grounded set of tools for improving how
you respond to adversity , and, as a result, your overall personal
29 and professional effektiveness”.
Kutipan diatas menjelaskan bahwa Adversiy Quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki evektivitas pribadi dan profesional anda secara keseluruhan.
Stolz dalam Miarti membuat perumpamaan perjuangan dengan pendakian. Pendakian adalah sebuah analogi bagi Adversiy Quotient.
Pendakian tersebut adalah proses menuju keberhasilan. Stolz dalam Miarti juga membedakan jenis kepribadian manusia (pendaki) dalam
30
tiga kelompok, yaitu: 1)
Quiters (berhenti)
Quiters seseorang yang telah menyerah sebelum berjuang. Merasa tidak mampu melakukan usaha meskipun belum mencobanya.
Seorang pendaki yang hanya puas dengan melihat tingginya gunung dari bawah.
2) Campers (berkemah)
Campers seorang pendaki (pejuang) yang menghentikan pendakian
sebelum sampai di puncaknya dengan dalih ketidakmampuan atau sudah merasa cukup.
29 Paul G. Stoltz, Adversity Quotient: Turning obstacles into opportunities, Canada: John Wiley & Sons, INC, 1997, 7.
3) Climber (pendaki)
Climbers adalah seorang pendaki yang sesungguhnya. Seorang yang
memiliki karakter ini akan terus melakukan pendakian sampai puncak tanpa menghiraukan lelah dan letih. Yang terpenting bagi mereka adalah mempertahankan totalitas dan komitmen.
Perumpamaan di atas juga menjadi ciri-ciri dari individu yang memiliki kecerdasan adversity mulai dari tingkat yang terendah (quiters) sampai tingkat yang tertinggi (Climbers).
Selain tingkatan Adversity Quotient di atas, menurut Stoltz ada
31
aspek-aspek adversity quotient yang terdiri empat dimensi, yaitu:
a) Control (kendali); kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan permasalahan yang dihadapi. Dapat mengontrol emosi, menyukai tantangan, berani serta percaya diri.
b) Origin dan ownership (asal usul dan pengakuan); Origin dan
ownership adalah mencari tahu penyebab dari suatu kesulitan dan
sejauh mana dia mampu menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan oleh situasi sulit tersebut. Origin atau asal-usul ada kaitannya dengan perasaan bersalah.sebagai contoh orang yang asal- usulnya berada di level bawah cenderung suka menyalahkan diri sendiri. Orang yang memiliki tingkat origin yang lebih tinggi akan berpikir bahwa ini bukan keberuntungannya, ada masa dimana dia
31 Paul G Stoltz, Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, Alih Bahasa:
akan merasakan kesulitan dan kemudahan dan semua orang pasti merasakannya.
Dimensi ownership mempertanyakan sejauh mana individu bersedia mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit. Mengakui akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit mencerminkan sikap tanggung jawab.
c) Reach (jangkauan); Aspek reach ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan menjangkau bagian lain dari individu. Sikap, perhatian, dapat membatasi kesulitan dan segera menyelesaikannya.
d) Endurance (daya tahan); Endurance adalah kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Sehingga aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi.
Indikator Adversity Quotient yang akan menjadi tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh individu. Indikator seseorang yang memiliki Adversity Quotient tinggi
32
adalah sebagai berikut:
a) Mampu menghadapi kesulitan
b) Mampu mengejar target c) Memiliki cita-cita yang besar
d) Mampu berbesar hati
e) Mampu menahan segala cela dan cibiran
f) Memiliki kepercayaan diri yang besar
g) Siap menerima kritik dan penialaian orang lain
Dari beberapa indikator Adversity Quotient tersebut ada hal yang paling utama untuk seorang pemilik Adversity Quotient tinggi yaitu optimis. Abramson dalam Monica menjelaskan bahwa optimisme menginspirasi pemecahan masalah dan meningkatkan ketahanan dalam menghadapi kesulitan. Bahkan menurut Perterson dalam Monica
33
optimisme dapat meningkatkankualitas kesehatan. Optimisme merupakan modal penting dalam Adversiy Quotient karena hal tersebut menjadi salah satu kekuatan pendukung dalam proses pencapaian hasil optimal. Sebaliknya pesimisme dapat mengurangi ketekunan dan meningkatkan depresi.
E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif berdasarkan studi lapangan
(field research) dengan pendekatan deskriptif naturalistik. Penelitian ini
termasuk penelitian lapangan (Field Research), yaitu research yang
34 33 dilakukan di lokasi terjadinya gejala-gejala. Maka jenis data yang Monica BJ, “Optimism, Adversity and Performance: Comparing Explanatory Style and AQ”, Thesis, San Joe State University, 2005, 4. dibutuhkan dan yang digunakan adalah jenis data lapangan yang disajikan secara deskriptif. Sumber datanya ialah situasi wajar, peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi wajar, sebagaimana adanya. Peneliti adalah instrument kunci yang mengadakan pengamatan
35 dan wawancara sendiri.
2. Penelitian Subjek
Subjek penelitian di antaranya; dosen mata kuliah akhlak tasawuf di IAIN Salatiga. Kemudian mahasiswa IAIN Salatiga. Penelitian akan dilaksanakan mulai tanggal 1 Juni hingga 30 Agustus 2017. Lokasi penelitian di IAIN Salatiga.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini meliputi: a.
Data Primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari dosen mata kuliah akhlak tasawuf. Diambil sample dari dosen sebanyak tiga responden.
b.
Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian diperoleh dari mahasiswa IAIN salatiga yang akan diambil tujuh responden.
35 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
4. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti mengambil data kualitatif melalui beberapa tahap yang meliputi: a.
Observasi Observasi partisipan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan
36
pedoman sebagai instrumen pengamatan. Peneliti terlibat langsung, sehinggga observasi partisipan digunakan untuk mencari data-data tentang praktik pembelajaran mata akhlak tasawuf dan melakukan pengamatan terhadap Adversity Quotient mahasiswa IAIN Salatiga.
b.
Wawancara Wawancara dilakukan secara open-ended, tak berstruktur, sehingga
37
lebih fleksibel. Daftar yang dimintai wawancara adalah dosen mata kuliah akhlak tasawuf sejumlah tiga responden, untuk mengetahui konsep pembelajaran akhlak tasawuf , mahasiswa IAIN Salatiga yang mengikuti mata kulaih tersebut sejumlah tujuh mahasiswa untuk mengetahui sejauh mana tingkat adversity quotient yang dimiliki.
c.
Dokumentasi Dokumentasi ini berupa arsip-arsip tentang profil IAIN Salatiga, silabus mata kuliah akhlak tasawuf, modul, dan tugas-tugas mahasiswa.
5. Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan data sehingga diketahui adanya relasi kausalitas, korelasi, dan relasi linear. Pola pikir yang 36 digunakan dalam analisis ini adalah pola induksi, yaitu proses berpikir
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta: Rineka Cipta, 2002, 129. yang diawali dengan pengamatan khusus kemudian diambil kesimpulan
38
yang bersifat umum. Jadi dalam penelitian ini selain menganalisis data setiap variabel juga menganalisis kontribusi variabel pertama yaitu pembelajaran akhlak tasawuf terhadap variabel ke-dua yaitu Adversity Quotient mahasiswa IAIN Salatiga.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama, pendahuluan, berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab kedua, mengenai profil IAIN Salatiga, serta pemaparan tentang praktik pembelajaran akhlak tasawuf. Bab
ketiga , berisi pemaparan tentang tingkat adversity qoutient yang dimiliki
mahasiswa IAIN Salatiga . Bab keempat, peneliti akan menganalisis kontribusi tasawuf terhadap adversity quotient mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2017 . Bab kelima, mengemukakan kesimpulan dan saran, serta dilengkapi dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran.
BAB II
PEMBELAJARAN AKHLAK TASAWUF DI IAIN SALATIAGA A. Profil IAIN Salatiga 1. Gambaran Umum Lokasi IAIN Salatiga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga merupakan satu-satu Perguruan Tinggi Negeri di kota Salatiga. IAIN Salatiga memiliki 3(tiga) kampus; kampus I berlokasi di Jalan Tentara Pelajar Nomor 02, kampus II di Jalan Nakula Sadewa VA Nomor 09 Kembang Arum Salatiga, dan kampus III berada di Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Salatiga Jawa Tengah.
2. Visi dan Misi IAIN Salatiga
Visi IAIN Salatiga adalah: Tahun 2030 menjadi rujukan Studi Islam- Indonesia bagi terwujudnya Masyarakat Damai Bermartabat. Untuk mewujudkan Visi tersebut IAIN Salatiga melakukan langkah-langkah
39
sebagaimana dirumuskan dalam Misi sebagai berikut: 1.
Menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai disiplin ilmu keislaman berbasis pada nilai-nilai keindonesiaan.
2. Menyelenggarakan penelitian dalam berbagai disiplin ilmu keislaman bagi penguatan nilai-nilai keindonesiaan.
3. Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat berbasis riset bagi penguatan nilai-nilai keindonesiaan.
39 Institut Agama Islam Negeri Slatiga, Pedoman Akademik, Salatiga: IAIN Salatiga, 2016,
4. Mengembangkan budaya masyarakat kampus yang mencerminkan nilai-nilai Islam-Indonesia.
5. Menyelenggarakan pengelolaan pendidikan tinggi yang profesional dan akuntabel.
B. Praktik Pembelajaran Akhlak Tasawuf 1. Deskripsi Pembelajaran Akhlak Tasawuf
Berdasarkan penggalian dokumen khususnya dalam silabus, peneliti menemukan data tentang mata kuliah akhlak tasawuf yang merupakan mata kuliah yang disajikan untuk semua fakultas yang ada di IAIN Salatiga. Mata kuliah akhlak tasawuf menjadi salah satu mata kuliah kompetensi dasar sebagai pendukung perwujudan visi dan misi IAIN Salatiga. Mata kuliah akhlak tasawuf termasuk kelompok bahan kajian dan pembelajaran yang membahas tentang konsep-konsep akhlak dan tasawuf, ajaran-ajaran tasawuf, pentingnya keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
2. Pendekatan, Metode dan Teknik
Sesuai silabus pelaksanaan pembelajaran akhlak tasawuf menggunakan pendekatan ekspositori atau pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru atau atau yang dikenal dengan teacher centered
40 approach. Hal ini sesuai hasil wancara yang disampaikan oleh bapak 40 Ahmad Sultoni:
Muhammad Masud, Silabus Akhlak Tasawuf IAIN Salatiga Tahun Akademik
Secara umum, yang saya tahu pembelajaran akhlak tasawuf di IAIN 41 Salatiga bersifat teoritik. Hanya pengayaan wacana...
Pada umumnya pembelajaran akhlak tasawuf cenderung bersifat teoritis. Meskipun demikian, tetap ada usaha dari dosen untuk menyampaikan materi-materi secara kontekstual agar materi-materi yang dibahas dapat dipahami dengan jelas, bukan hanya dalam angan- angan saja tetapi dapat memberikan kontribusi terhadap implementasi akhlak mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak Masud bahwa dalam pembelajaran akhlak tasawuf yang terpenting bukan hanya penguasaan teori saja, akan tetapi
42
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pengembangan metode pembelajaran akhlak tasawuf harus berorientasi pengalaman langsung atau direct eksperience sebagai metode untuk mengenal Allah. Hal ini sesuai dengan paparan bapak Ahmad Sultoni:
Pembelajaran dengan berbasis pengalaman langsung atau direct experience bertujuan agar mahasiswa mengetahui cara-cara 43 ma’rifatullah....
Pendekatan sejenis juga disampaikan oleh bapak Kharis dengan menggunakan istilah learning by doing. Strategi ini digunakan dengan tujuan untuk memberikan pengalaman langsung dari materi-materi
41 Wawancara dengan Ahmad Sultoni selaku dosen akhlak tasawuf IAIN Salatiga, pada tanggal 15 Agustus 2017. 42 Wawancara dengan Muhammad Masud selaku dosen akhlak tasawuf IAIN Salatiga, pada tanggal 29 Agustus 2017. akhlak tasawuf yang tidak akan bisa difahami hanya dengan wacana
44 penyampaian teori saja.
Idealnya pembelajaran akhlak tasawuf bersifat kontekstual. Mahasiswa diberi tugas-tugas berupa kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengamalkan lansung. Contohnya adalah pemberian tugas proyek.