1 KONSEP KEPEMILIKAN MENURUT TAQIYUDDIN AN-NABHANI DAN IMPLIKASINYA DALAM EKONOMI ISLAM SKRIPSI

  

KONSEP KEPEMILIKAN MENURUT TAQIYUDDIN AN-NABHANI

DAN IMPLIKASINYA DALAM EKONOMI ISLAM

SKRIPSI

  

Oleh:

ARISKA WAHYUNI

NIM. 210213047

Pembimbing:

M. HARIR MUZAKKI, M.H.I.

NIP. 197711012003121001

  

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2018

  

ABSTRAK

Wahyuni, Ariska. 2018. Konsep Kepemilikan Menurut Taqiyuddin an-Nabhani

dan Implikasinya dalam Ekonomi Islam. Skripsi . Jurusan Muamalah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.

  Pembimbing M. Harir Muzakki, M.H.I. Kata Kunci: Konsep Kepemilikan, Taqiyuddin an-Nabhani, Implikasi Ekonomi

  Islam Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani Islam mempunyai konsep yang khas dan unik tentang kepemilikan yang sangat berbeda dengan semua sistem ekonomi lainnya. Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah Swt., sebab Dialah Sang Pencipta, Sang Maha Pengatur dan Pemilik segala macamnya di alam semesta. Sedangkan manusia adalah pihak yeng mendapatkan kuasa dari Allah Swt., untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut dan dalam konsep ekonomi Islam. Kepemilikan di klasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara.

  Metode penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian kepustakaan (library research) dimana data dan sumber datanya diperoleh dari penelaahan terhadap literatur-literatur yang sesuai dengan permasalahan. Dalam memperoleh data, penulis menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut antara lain bahan primer dan bahan sekunder. Bahan primer merupakan karya Taqiyuddin an-

  Nabhani tentang konsep kepemilikan dalam terjemahan kitab “al-

  Ni ẓām al-Iqtiṣādi fī al-Islām” yaitu sistem ekonomi Islam. Adapun bahan

  sekunder yaitu literatur-literatur lain yang berhubungan dan sesuai dengan penelitian ini. Sedangkan dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode deskriptif analitik yaitu mengumpulkan data-data, mengkaji, menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini selanjutnya di analisa.

  Sistem ekonomi Islam dari si stem syari‟ah menurut Taqiyuddin an- Nabhani adalah sebuah kewajiban bagi negara untuk mengatur sistem ekonomi Islam ditengah-tengah masyarakat. Jadi, peran Negara dalam ekonomi adalah sebagai sebuah institusi yang mengatur dan mengelola pelaksanaan aktivitas perekonomian berdasarkan ketentuan hukum syara‟, dan semua hukum Islam tentang pengaturan kekayaan dan kepemilikan jika diterapkan secara konsekuen akan dapat mencegah terputusnya kekayaan pada segelintir orang. Ketetapan hukum tersebut mengatasi lebarnya kesenjangan antar individu dalam memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al- Qur‟an adalah sebuah kitab suci yang memberikan perhatian

  khusus kepada dunia serta menilainya secara positif. Oleh sebab itu al- Qur‟an memerintahkan manusia untuk mempergunakan dan melakukan segala sesuatu dengan baik terhadap sarana-sarana yang disediakan Allah Swt., untuk manusia. Dengan demikian, apabila kita tidak mempergunakannya dengan benar, berarti tidak menghargai karunia dan

  1 nikmat yang Allah berikan kepada kita sebagai manusia.

  Walaupun kita sadar bahwa sesungguhnya hanya Allah yang menciptakan sesuatu yang ada di alam semesta, menciptakan segala apa yang ada diatas dan diperut bumi, namun manusia tetap saja mengatakan “ini adalah tanahku, ini adalah hartaku” dan mereka tidak mengatakan, sesungguhnya yang demikian itu merupakan milik Allah Swt., Sebagaimana Allah Swt., berfirman dalam al- Qur‟an Surat a‟raf ayat 128.               

       Artinya : Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan

  Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba- hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang

  2 1 bertakwa.

  Merza Gemal, 2 Aktivitas Ekonomi Syari‟ah. (Pekanbaru: Unri Pers, 2004), 32.

  Al- Qur‟an, 7: 120.

  Pandangan dalam kapitalis terhadap kepemilikan bersifat mutlak. Konsekuensinya seseorang bebas mengelola sumberdaya ekonomi bagi kepentingannya. Dalam bentuk selanjutnya mereka melakukan kegiatan produksi, konsumsi, investasi dan distribusi pada berbagai sektor ekonomi tanpa berfikir apakah kegiatan tersebut sesuai dengan syariah atau tidak, apakah barang yang dikonsumsi halal atau haram, apakah kegiatan investasinya bersifat makruh atau mubah. Semuanya bebas mereka lakukan karena mereka beranggapan bahwa barang yang dimiliki merupakan hasil jerih payahnya sehingga mereka bebas memperlakukan sesuai dengan

  3 keinginannya.

  Islam memandang bahwa kepemilikan yang sebenarnya adalah milik Allah Swt., Karena Dialah yang menciptakan semua yang ada di alam semesta ini. sehingga manusia dalam mengelola dan menggunakan semua bentuk materi harus selalu dalam bingkai syari‟ah, tidak boleh hanya semata-mata pertimbangan untung-rugi tanpa memperhatikan tuntunan syari‟ah. Secara hukum, hak milik merupakan hak untuk memiliki, menikmati dan memindah tangankan kekayaan yang diakui dan dipelihara dalam Islam, tetapi mereka mempunyai kewajiban moral untuk menyedekahkan hartanya karena kekayaan itu juga merupakan hak

  4 masyarakat bahkan hewan.

  Milik berasal dari bahasa Arab, yaitu Milk. Dalam kamus Al-

  Munjīd 3 dikemukakan bahwa kata-kata yang bersamaan artinya dengan Milik (yang 4 Sholahudin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 35.

  Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia (Bandung: Angkasa, 2003), 4. berakar dari kata kerja Malaka) adalah, malkan, milkan, malakatan,dan

  5 mamlûkan . Menurut istilah, milik dapat didefinisikan suatu iktias yang

  menghalangi yang lain. Menurut syariat, yang membenarkan pemilik iktias itu bertindak terhadap barang miliknya menurut kehendaknya, kecuali ada

  6 penghalang.

  Membahas tentang pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani, ia adalah seorang ulama, politikus dan tokoh berpengaruh yang berasal dari Palestina.

  Ia merupakan salah satu ulama kontemporer yang selalu memperhatikan permasalahan yang berkembang di abad modern ini, terutama permasalahan dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam pandangan Taqiyuddin an- Nabhani, Islam mempunyai konsep yang khas dan unik tentang kepemilikan yang sangat berbeda dengan semua sistem ekonomi lainnya. Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah Swt., sebab Dialah sang Pencipta, sang Maha Pengatur dan pemilik segala macamnya di alam semesta. Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah Swt., untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut dan dalam konsep ekonomi Islam. Seperti dalam firman Allah Swt:

        

  5 Iktias adalah kesantunan (Politeness) kesopanan, atau etiket, tatacara, adat atau kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat, kesantunan merupakan aturan prilaku yang disepakati bersama

oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati

oleh prilaku sosial. 6 Sahrawardi Lubin, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 5.

  Artinya: Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang

  7 ada diantara keduanya.

  Kepemilikan diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dan kejelasan konsep kepemilikan dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani sangat berpengaruh terhadap mekanisme pengelolaan harta dan aplikasinya. Sebab kepemilikan atas suatu harta memberikan hak kepada pemiliknya untuk memanfaatkan, mengelola, membelanjakan dan mengembangkannya. Ketika konsep kepemilikan berdasarkan hukum syara‟ dan demikian juga konsep pengelolaan kepemilikan yang harus tarikan dengan izin syara‟ dan tidak bebas mengelola secara mutlak.

  Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, karena semua harta kekayaan merupakan milik Allah Swt., maka hanya Dia yang berhak dan memiliki otoritas penuh menyerahkan kekayaan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya, siapapun yang telah mendapatkan izin dari Allah Swt., memiliki suatu harta, berarti dia adalah pemilik sah harta tersebut, sebaliknya siapapun yang tidak mendapatkan izin dari-Nya untuk memiliki suatu harta, dia bukan sebagai pemilik sah tersebut, sekalipun secara fakta

  8 harta itu berada ditangannya atau di bawah kekuasaannya.

  Dengan demikian roti dan rumah masing-masing adalah zat. Lalu hukum syariah yang berlaku bagi keduanya merupakan iz in syara‟ bagi 7 manusia untuk memanfaatkannya, baik dengan cara dikonsumsi secara 8 al- Qur‟an, 5: 5.

  Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terj Moh. Maghfur Wahi (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 61. langsung, di ambil manfaatnya atau pun ditukar. Izin untuk mengambil manfaat atas barang ini menjadikan pemiliknya, yakni mendapatkan izin tersebut bisa memakan roti dan menempati rumah tersebut, sebagaimana dia juga menjualnya. Terkait dengan roti, hukum syariah yang berlaku pada zat adalah izin untuk mengkonsumsinya. Lalu terkait rumah, hukum syariah

  9 yang berlaku pada manfaat (kegunaan) adalah izin untuk menempatinya.

  Kepemilikan dalam syariat Islam adalah kepemilikan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum.

  Milik adalah hak bebas berbuat dan mempergunakan serta mengambil manfaat dari sesuatu benda. Kepemilikan secara umum adalah hak yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan mempergunakannya untuk kepentingan pribadi.

  Pendapat lain mengenai konsep kepemilikan dirumuskan oleh Baqir al-Sadar. Hubungan hak milik dalam Islam menurut Sadr memiliki dua konsep kepemilikan, yakni kepemilikan pribadi dan kolektif. Kepemilikan kolektif dibagi lagi menjadi dua sub yakni kepemilikan publik dan negara.

  Kepemilikan pribadi terbatas pada hak memetik hasil, prioritas dan hak menghentikan orang lain terhadap penggunaan kepemilikan. Perbedaan kepemilikan publik dan negara terletak pada penggunaan. Sadr 9 menyandarkan hampir seluruh kepercayaannya pada kepemilikan negara, Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), 65. karena itu ia menempatkan otoritas lebih besar kepada peranan negara dalam pengalokasian sumber daya dan kesejahteraan publik. Negara mempunyai kekuasaan sehingga mempunyai tanggungjawab yang besar

  10 untuk menciptakan keadilan.

  Manurut Afzalul Rahman konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam adalah diakuinya hak milik individu dan hak milik umum. Dimana kedua hak tersebut tidaklah bersifat mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa hak milik terkait erat dengan prinsip bahwa manusia adalah pemegang amanah Allah Swt. Untuk itu manusia tidak mempunyai hak untuk menguasai sesuatu hal tanpa mempertimbangkan dampaknya. Islam membolehkan setiap individu untuk memiliki hak milik pribadi tapi harus sesuai dengan ketentuan syari‟at, sehingga hak milik pribadi dapat bermanfaat bagi orang lain.

  Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti

  iqta‟ (enfeoment) tanah gurun dan deklarasi resmi

  terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban

10 Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 45.

  membayar pajak, jika dibiarkan mengatur selama tiga tahun berturut-turut,

  11 akan di denda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.

  Kepemilikan (Property) tersebut harus ditentukan dengan mekanisme tertentu. Sebaliknya, pelarangan kepemilikan harus ditentang karena bertentangan dengan fitrah. Menolak pembatasan kepemilikan berdasarkan kuantitas juga harus dicegah karena akan membatasi usaha untuk memperoleh kekayaan. Namun kebebasan kepemilikan harus diperangi karena bisa menyebabkan ketegangan hubungan antar personal sekaligus bisa menimbulkan kerusakan dan nestapa.

  Sistem kepemilikan dalam Islam didasarkan atas prinsip bahwa tidak seorang pun yang akan memiliki sesuatu benda yang menguasai dan dapat menggunakannya. Allah sajalah yang memiliki segala sesuatu. Tentang kepemilikan yang kekal, hal itu tidak bisa diterima oleh akal atas dasar bahwa kehidupan sendiri tidak kekal. Oleh karena itu, kepemilikan yang kekal hanyalah untuk Allah. Kepemilikan yang sementara merupakan kepemilikan pribadi perseorangan yang menikmati selam hayatnya, dan

  12 tidak melaksanakan kekuasaan atasnya setelah itu.

  Nilai-nilai dasar Ekonomi Islam tersebut adalah nilai kepemilikan, menurut Sistem Ekonomi Islam kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya. 11 Seorang muslim yang tidak memanfaaatkan sumber-sumber ekonomi yang

  Adi Marwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 277. 12 Syed Mahmudnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 463-464.

  diamanatkan Allah kepadanya, misalnya dengan membiarkan lahan atau sebidang tanah tidak diolah sebagaimana mestinya akan kehilangan atas sumber-sumber ekonomi itu. Hal ini disandarkan pada ucapan Nabi Muhammad yang mengatakan “Barang siapa yang menghidupkan atau memanfaatkan sebidang tanah yang mati, ia akan menjadi “Pemilik” tanah itu. akan tetapi, kalau ia memagarinya saja dengan tembok selama tiga tahun

  13 lamanya, maka ia tidak berhak lagi memiliki tanah itu.

  Sesungguhnya Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu dan membatasinya dengan mekanisme tertentu (bi al-kayf), bukan berdasarkan kuantitasnya (bi al-

  kūm). Cara ini sesuai dengan fitrah manusia,

  mampu mengatur hubungan-hubungan antar sesama serta mampu menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan manusia.

  Dengan membaca hukum- hukum syari‟ah yang menyangkut masalah ekonomi, tampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfaatkan kekayaan yang ada. Inilah sesungguhnya menurut pandangan Islam, yang dianggap sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Karena itu, ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas bagaimana cara mendistribusikan kekayaan tersebut ditengah- tengah mereka.

  Dari segi kepemilikan itu sendiri sebenarnya milik Allah, Allah-lah pemilik hakiki atas kepemilikan tersebut. Di sisi lain, Allah telah

13 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Perss, 1988), 7.

  14 menegaskan dalam nash-Nya bahwa semua kekayaan adalah milik-Nya.

  Allah berfirman:

        

  Artinya: Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah

  15 yang dikaruniakan-Nya kepadamu.

  Apabila dicermati ayat diatas, maka kekayaan yang hakiki itu hanyalah milik Allah Swt., semata. Hanya saja, Allah Swt., telah melimpahkan kekayaan tersebut kepada manusia untuk dikelola sekaligus diberikan hak kepemilikan manusia.

  Dari uraian latar belakang diatas bahwasannya penulis merasa tertarik untuk meneliti secara mendalam dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul “Konsep Kepemilikan Menurut Taqiyuddin An-Nabhani Dan Implikasinya Dalam Ekonomi Islam”.

  B. Rumusan Masalah 1.

  Bagaimana pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang kepemilikan dalam pandangan tokoh Ekonomi Islam Klasik?

  2. Bagaimana pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang kepemilikan dalam pandangan tokoh Ekonomi Kontemporer?

  C. Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengetahui pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang 14 kepemilikan dalam pandangan para tokoh Ekonomi Islam Klasik. 15 an-Nabhani, Sistem Ekonomi, 60-61.

  al- Qur‟an, 24: 33

2. Untuk mengetahui pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang kepemilikan dalam pandangan para tokoh Ekonomi Islam Kontemporer.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat didalam bidang akademis dan non akademis baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Secara Teoritis: a.

  Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis tentang masalah kepemilikan dan hak milik. Begitu kayanya khasanah islam yang diberikan oleh Allah Swt., kepada umatnya. Yang mana ternyata setelah kita pelajari lebih lanjut masih banyak perbedaan pendapat dari beberapa tokoh ekonomi Islam mengenai kepemilikan.

  b.

  Untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang selama beberapa tahun terakhir ini ditempuh di perkuliahan yang terdapat dalam Fakultas Syari‟ah Muamalah IAIN Ponorogo. Sudahkah teori-teori yang kita dapatkan telah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di sekitar kita ataukah sebaliknya, jika sebaliknya bagaimana kita dapat sedikit memberi solusi untuk masyarakat pada umumnya dan untuk penulis sendiri pada khususnya.

  2. Secara Praktis: a.

  Dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan menjadi suatu sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas, agar memperhatikan bahwasanya apa yang kita miliki, hakikatnya adalah milik Allah Swt. Dialah pemilik seluruh jagat raya dan seisinya. b.

  Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian pertimbangan pemikiran oleh segenap pihak dalam memahami hukum-hukum dan masalah yang berkaitan tentang Ekonomi Islam.

E. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian

  Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (Library research ). Bahwa, bahan kajian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini bersumber dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa kitab, buku, ensiklopedia, skripsi yang telah lalu, maupun yang lainnya. Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan sumber-sumber diatas, memaparkan apa yang telah ada dalam kitab, buku, ensiklopedia, skripsi ataupun yang lainnya yang bersifat kepustakaan.

  2. Pendekatan penelitian

  Penelitian ini bersifat Kualitatif, karna penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa data-data tertulis atau pernyataan verbal (lisan) yang diperoleh melalui kajian literatur, berupa tulisan, pemikiran dan pendapat tokoh yang berbicara tentang tema pokok pembahasan dalam penelitian penulisan. Dalam penelitian ini penulis memaparkan pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani yang bersumber langsung drai kitab, buku-buku, ataupun sumber lainnya. Membahas masalah tentang Kepemilikan.

  3. Data dan sumber data, antara lain: a.

  Data

  Data yang diperoleh disini adalah tentang Taqiyuddin an-Nabhani, bagaimana pemikiran dia tentang kepemilikan, dasar hukum, dan pendapat para tokoh ekonomi Islam tentang kepemilikan.

  b.

  Sumber data primer:

  Data primer yaitu merupakan literatur Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab al-Ni ẓam al-Iqtiṣādi fī al-Islām (penulis: Abdurrahman, MA. Penerbit: Al Azhar Fresh Zone Publishing. Kota terbit: Bogor. Tahun: 2009).

  c.

  Sumber data sekunder : Data sekunder yaitu literatur-literatur lain yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji, yaitu melacak konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, diambil dari buku-buku Ekonomi Islam dan buku-buku ekonomi yang relevan dari permasalahan tersebut diantaranya karangan Taqiyuddin an-Nabhani dalam terjemahan Sistem Ekonomi Islam, Taqiyuddin an-Nabhani dalam terjemahan Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Adimarwan Azwar Karim dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Immamudin Yuladi dalam Ekonomi Islam Sebuah Pengantar.

4. Metode Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik yaitu mengumpulkan data-data, mengkaji, menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi yang berhubungan dengan konsep kepemilikan Taqiyuddin an-Nabhani dan selanjutnya dianalisa.

5. Metode Analisis Data

a. Deduktif adalah metode yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat

  16 universal (umum), kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk yang khusus.

  Dalam penelitian ini menguraikan tentang teori-teori dan dalil-dalil yang bersifat umum tentang kepemilikan dan metode istinbatnya, kemudian melakukan analisa terhadap pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang kepemilikan yang kemudian memperoleh sebuah kesimpulan yang khusus.

  b. Induktif yaitu dengan mengumpulkan data-data atau keterangan pendapat- pendapat yang bersifat khusus dan kemudian ditarik kesimpulan umum dari data-data yang berkaitan dengan konsep kepemilikan Taqiyuddin an- Nabhani.

F. Sistematika Penulisan

  Dalam penyusunan Skripsi ini, jumlah bab yang digunakan adalah sebanyak lima bab diantaranya sebagai berikut:

  BAB I : PENDAHULUAN Yang terdiri dari latar belakang, pokok permasalahan, batasan

  masalah, tujuan dan kegunaan, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.

  BAB II : TELAAH PUSTAKA

16 Anton Bekker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 138.

  Pada bab ini menguraikan tentang pengertian kepemilikan, jenis- jenis kepemilikan, sebab-sebab kepemilikan sempurna dan kepemilikan menurut tokoh Ekonomi Islam Klasik dan tokoh ekonomi Islam Kontemporer.

  BAB III : BIOGRAFI TAQIYUDDIN AN-NABHANI Dalam bab ini diuraikan tentang riwayat hidup Taqiyuddin an- Nabhani, pendidikannya, karya-karyanya dan pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang Ekonomi Islam serta pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani tentang kepemilikan. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menganalisa pemikiran Taqiyuddin an- Nabhani tentang kepemilikan dalam pandangan tokoh Ekonomi Islam Klasik serta konsep kepemilikan Taqiyuddin an-Nabhani

  tentang kepemilikan dalam pandangan tokoh Ekonomi Islam Kontemporer.

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini memuat tentang kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan pada Bab-bab sebelumnya.

BAB II KEPEMILIKAN DALAM EKONOMI ISLAM A. Pengertian Kepemilikan Milik dalam buku pokok-pokok fiqih muamalah dan hukum

  kebendaan dalam Islam didefinisikan sebagai berikut: “Kekhususan terhadap pemilik suatu barang menurut syara‟ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar‟i”.

  Kepemilikan berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milik” berarti penguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi penguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakanya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halangi dan memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.

  Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara‟, maka orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan

  17

  perantara orang lain. Dengan demikian, milik merupakan penguasaan 17 seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mampunyai kekuasaan Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 33. khusus terhadap harta tersebut. Sedangkan menurut istilah dapat didefinisikan “suatu iktishas yang menghalangi yang lain, menurut syariat yang membenarkan pemilik iktishas itu untuk bertindak terhadap barang

  18 miliknya sekehendaknya kecuali ada penghalang.

  Terdapat beberapa definisi tentang milkiyah yang disampaikan oleh para Fuqaha, antara lain:

  1. Ta‟rif yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al Zarqa‟: Milik adalah keistimewaan (iktishash) yang bersifat menghalangi (orang lain) yang syar a‟ memberikan kewenangan kepada pemiliknya bertasharruf kecuali terdapat halangan.

  2. Ta‟rif yang disampaikan oleh Wahbah al Zuhaily Milik adalah keistimewaan (iktishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan

  19

  tash arruf secara langsung kecuali ada halangan syar‟i.

  Dari ta‟rif tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan kata kunci milkiyah adalah penggunaan term iktishash. Dalam ta‟rif tersebut terdapat dua iktishash atau keistimewaan yang diberikan oleh syar a‟ kepada pemilik harta, diantaranya: 1.

  Keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkan tanpa kehendak atau izin pemiliknya.

  2. Keistimewaan dalam bertasharruf. Tasharruf adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak) ny 18 a dan syara‟

  Mustafa Ahmad al- Zarqa‟, al-Madkhal al Fiqh al „Amm (Beirut: Jilid 1, Darul Fikr, 1968), 240. 19 Ibid., 241. menetapkan batasnya beberapa konsekuensi yang diberkaitan dengan

  20 hak.

  Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (kepemilikan) seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam bertasharruf (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara‟. Kata halangan disini adalah sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilik suatu barang untuk mempergunakan atau memanfaatkan dan bertindak tanpa persetujuan lebih dahulu dari

  21 pemiliknya.

  Ta‟rif diatas dapat digaris bawahi bahwa milkiyah (kepemilikan) tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan (materi saja). Namun, antara al māl dan milkiyah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Menurut hukum dasar, yang namanya harta sah dimiliki, kecuali harta yang telah dipersiapkan untuk umum, misalnya wakaf dan fasilitas umum. Dalam hal ini ada tiga macam model kepemilikan yaitu: 1.

  Kepemilikan penuh, yaitu kepemilikan pada benda terkait sekaligus hak memanfaatkan.

  2. Hak memiliki saja, tanpa hak memanfaatkan (misalnya rumah yang dikontrakkan).

  3. Hak menggunakan saja atau disebut kepemilikan hak guna (si 20 pengontrak).

  Ghufron A. Mas‟adi, Fiqih Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), 55 21 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2000), 5.

  Muhammad Abu Sa‟ad mengatakan: “sesungguhnya Islam memperbolehkan setiap individu untuk mengkhususkan atas dirinya sebuah harta benda halal yang didapatkan dengan cara yang halal, kekhususan itu

  22

  selanjutnya dinamakan dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah ikatan seseorang dengan miliknya yang disahkan syariah (sebagai jelmaan hukum Allah dimuka bumi), artinya hak khusus yang didapat si pemilik, sehingga ia mempunyai hak khusus yang didapat menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syariah.

  Para fuqaha memberikan batasan- batasan syar‟i “kepemilikan” dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah dimensi kepemilikan yang mengatakan bahwa “miliki” adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) dimana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan pemilik berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya. Batas teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut.

  Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara- cara yang dibenarkan oleh syara‟ maka terjadilah suatu hubungan khusus antar barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan

22 M. Faruq An-Naban, Sistem Ekonomi Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), 42.

  syar‟i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal atau masih terlalu kecil

  23 sehingga belum faham memanfaatkan barang.

  Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain yang pemilik, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali yang pemilik telah memberikan izin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum baligh atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang- barang “miliknya” mereka tehalang oleh hambatan syara‟ yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan yang tidak dimiliki. Meskipun demikian, hal ini dapat diwakili kepada orang lain seperti wali,

  24

washî (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).

B. Jenis-jenis Kepemilikan

  Sebelumnya perlu diterangkan disini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi disini mengacu pada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakikatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya sebab dalam konsep Islam yang memiliki segala sesuatu didunia ini hanyalah Allah Swt., Dialah pemilik tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada 23 hakikatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu “diberikan” atau 24 Ibid., 10.

  Ibid., 10.

  “dititipkan” kepada mereka sedangkan pemilik riil tetap Allah Swt., Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap

  25 muslim mengandung konotasi amanah.

  Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi penguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya. Namun, pemanfaatan dan penggunaannya itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan himbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.

  Para fuqaha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (

  tām) dan kepemilikan kurang (naqīṣ). Dua jenis

  kepemilikan ini mengacu pada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan substansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua- duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua- dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara‟ yang berbeda- beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-

  26 meminjam dan lain-lain.

  25 26 Ibid., 10.

  Ibid., 10.

C. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna

  Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syari ‟ah ada empat macam yaitu: 1.

  Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.

  2. Akad.

  3. Pengantian.

  4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki.

  Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan. Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan disini adalah barang, dapat juga berupa harta atau kekayaan, yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara‟ untuk dimiliki air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantaran atau ikan-ikan di sungai dan dilaut.

  Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

  a. Kepenguasaan ini merupakan sebab yang ditimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.

  b. Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan dibawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar‟i yaitu belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya.

  Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah Saw bahwa segala perkara itu

  27 tergantung pada niat yang dikandungnya.

  Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu: 1) Kepemilikan karena menghidupkan tanah mati. 2) Kepemilikan karena berburu atau memancing. 3)

  Rumput atau kayu yang diambil dari padang pengembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.

  4) Kepenguasaan atas barang tambang.

  Khusus bentuk yang keempat ini, banyak perbedaan di kalangan para fuqoha terutama antara madhab Hanafi dan madhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah. Sedangkan bagi Malikiyah, kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang menurut madhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

  Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan, yang berbeda dengan pandangan dalam konsep kapitalisme dan sosialisme. Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan, karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka

  27 Ibid., 11. syariah, termasuk dalam masalah ekonomi. Islam mengatur cara perolehan

  28 dan pemanfaatan kepemilikan.

  Ada tiga macam kepemilikan yaitu:

  a) Kepemilikian Individu (Milkīyah Farḍīyah)

  b) Kepemilikan Umum (Milkīyah „Ᾱmmah)

  c) Kepemilikan Negara (Milkīyah Daūlah)

  Penjelasan masing-masing jenis kepemilikan adalah sebagai berikut: 1)

  Kepemilikan Individu (Milkīyah Farḍīyah) Adalah izin syariah pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan

  (asbāb al-tamallūk) individu yaitu a)

  Bekerja, b) Warisan, c) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, d) Pemberian Negara

  (i‟thau al-daūlah) dari hartanya untuk kesejahteraan

  rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, e) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifahatau pemegang kekuasaan pemerintayh. Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati

  (ihyā al mawāt), mencari bahan tambang,

  berburu, makelar, kerjasama mudharabah, musyaqah, pegawai negeri atau

  29 swasta.

  2) Kepemilikan Umum (Milkīyah „Ᾱmmah)

  28 29 Ibid., 12.

  Abul Hasan Bani Sadr, Ekonomi Islam: Kepemilikan dan Ekonomi Tauhiddalam

Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, (Surabaya:

Risalah Gusti, 1997), 37.

  Kepemilikan umum adalah izin syara ‟ kepada komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda atau barang. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al- syari‟ memang diperuntukkan bagi suatu komunitas masyarakat, karena mereka masing-masing saling membutuhkan, dan al- syari‟ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Benda-

  30

  benda ini ada tiga macam yaitu: a.

  Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.

  b.

  Barang tambang yang tidak terbatas.

  c.

  Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum.

  3) Kepemilikan Negara (Milkīyah Daūlah)

  Masih ada harta yang tidak termasuk dalam kategori milik umum, melainkan milik individu, karena harta tersebut berbentuk benda yang bisa dimiliki secara pribadi, semisal tanah, dan barang-barang bergerak. Namun, barang-barang tersebut terkadang terkait dengan hak kaum muslim secara umum. Dengan begitu, barang-barang tersebut tidak termasuk milik

30 Ibid., 74-75.

  individu, tetapi juga tidak termasuk milik umum. Pada kondisi ini, barang-

  

31

barang tersebut menjadi milik negara.

  Milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khalifah, ia bisa menghususkan sesuatu untuk sebagian kaum muslim, sesuai dengan apa yang menjadi pandangannya. Pengelolaan oleh khalifah ini bermakna bahwa khalifah memiliki kekuasaan untuk mengelolanya. Inilah makna kepemilikan. Sebab, kepemilikan bermakna adanya kekuasaan pada diri seseorang atas harta miliknya atas dasar ini, setiap kepemilikan yang pengelolaannya bergantung pada pandangan dan ijtihad khalifah dianggap sebagai kepemilikan negara.

  Syara‟ telah menjadikan harta-harta tertentu sebagai milik negara, khalifah berhak untuk mengelolanya sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, semisal harta

  fa‟ī, kharaj, jizyah dan sebagainya. Negara

  mengelola hak milik umum serta hak milik negara. Namun, ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk umum, pada dasarnya tidak boleh diberikan oleh negara kepada siapa pun, meskipun negara bisa saja membolehkan orang-orang untuk mengambilnya melalui pengelolaan yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkannya. Ini berbeda dengan milik negara.

  Negara memberikan harta tersebut kepada individu tertentu, jika 31 memang negara menganggap kebijakan itu terkait dengan pelayanan urusan Ibid., 75-76. mereka, disuatu sisi tanpa memberikan harta tersebut kepada mereka. Air, garam, padang gembala dan lapangan, misalnya tidak boleh sama sekali diberikan oleh negara kepada siapa pun, namun demikian, semua boleh

  32 memanfaatkannya.

  Kemanfaatannya merupakan hak mereka, tidak dikhususkan untuk satu orang saja, sementara yang lain tidak. Misalnya kharaj, boleh diberikan kepada para petani saja dan tidak kepada yang lain, dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah pertanian, atau digunakan untuk membeli senjata saja dan tidak diberikan kepada seorang pun. Inilah pengelolaan negara berdasarkan kebijakannya semata-mata demi kepentingan rakyat.

D. Hubungan Manusia dengan Hak Milik

  Hubungan manusia dengan benda atau kekuasaan manusia atas segala sesuatu yang berada disekitarnya merupakan masalah yang penting dalam sistem ekonomi Islam, dimana dalam Islam sendiri sudah terdapat ketentuan-ketentuan pokoknya di dalam al-

  Qur‟an, sebagaimana firman Allah Swt.,

                   

  Artinya : Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari

  33 32 (nikmat Allah). 33 Ibid., 76. al- Qur‟an, 14: 34.

  Dari ketentuan-ketentuan pokok al- Qur‟an tersebut diatas, para ahli

merumuskan hubungan manusia dengan benda dan segala sesuatu yang ada

disekitarnya, diantaranya sebagai berikut: 1.

  Segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi dan benda-benda yang ada diantaranya adalah milik Allah secara mutlak.

  2. Manusia diberi hak oleh Allah atas benda dan segala sesuatu yang ada disekitarnya itu, tetapi bukan hak untuk memiliki secara mutlak, melainkan hak untuk mengurus (mengelolanya) dan mengambil faedah dari padanya dalam batas-batas tertentu.

  3. Hak untuk mengurus dan memanfatkan benda yang diberikan oleh Allah itu diimbangi dengan kewajiban untuk mewujudkan kebaikan dan kemakmuran bersama.

  4. Sebagai pengurus milik Allah, manusia harus menyesuaikan kebijaksanaan penggunaannya kepada kehendak Allah sebagaimana yang tercantum dalam al- Qur‟an dan dijelaskan oleh Sunnah Rasul.

  Berdasarkan uraian diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak, karena hak mutlak kepemilikan atas sesuatu benda ada pada Allah, namun karena diperlukan adanya kepastian hukum dalam masyarakat, untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak milik seseorang atas sesuatu benda diakui dengan pengertian bahwa hak milik harus diperoleh secara halal dan harus berfungsi sosial.

  Mengenai hubungan manusia dengan benda atau hak milik seseorang atas harta kekayaan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  34 a.

  Cara memperoleh hak milik Dalam memperoleh hak milik atau harta kekayaan, al-

  Qur‟an memberikan beberapa ketentuan, diantaranya adalah dengan usaha yang halal, artinya sah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral, melalui pewarisan dan dengan hibah. Diantara ketiga cara ini yang sangat dianjurkan adalah dengan usaha melalui kerja keras dengan mempergunakan akal dan tenaga.

  Allah melarang memperoleh harta dengan cara merampas harta benda orang, mencuri, menipu, melakukan penggelapan, menyuap dan disuap, berjudi dan memakan riba.

  b.

  Fungsi hak milik Diantara fungsi hak milik tersebut sebagaimana dijelaskan dalam al-

  Qur‟an adalah sebagai berikut: 1)

  Harta kekayaan seseorang tidak boleh tertimbun-timbun saja tanpa ada manfaatnya bagi orang lain.