2017 Hukum Sesi 3 Rima Pertanggungjawaban Hukum Profesi
Pertanggungjawa
ban Hukum
Profesi Kesehatan
Hubungan Hukum Tenaga Medis
dan pasien
II. Aspek Hukum Profesi Kesehatan
I.
Hukum Administrasi
Hukum Perdata
Hukum Pidana
KT
UA
L
TR
A
KO
N
N
KO
TR
AL
TU
AK
BU
NG
AN
N
GA
HU
N
BU
HU
HUBUNGAN KONTRAKTUAL
Memiliki
persyaratan / kualifikasi dan
mempertahankannya:
Memiliki Sertifikat Kompetensi, Surat
Tanda Registrasi, Surat Iziin Praktik /
Kerja, dll
Mematuhi
Mematuhi
Mematuhi
Kode Etik Profesi
Standar Profesi
Standar Pelayanan dan
SPO
Oleh karena itu ia bertanggungjawab atas
kesalahan atau pelanggaran ketentuan-
KORBAN SISKA MAKETEY
Putusan PN
Menado
MKEK Menado
Putusan MA
Berdasarkan
Kesaksian dan
alat bukti yang
ada maka tidak
terdapat
kelalaian yang
dilakukan oleh
dr. A cs
MKEK Pusat Sulawesi Utara
menyatakan tidak ada
kesalahan prosedur dan
pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh para
terdakwa dalam
melakukan operasi kepada
korban ;
1. MA menetapkan dr. Ayu CS
bersalah, dengan alasan
tidak memiliki ijin praktik
2. MA menetapkan dr. Ayu CS
bersalah, dengan alasan dr.
Ayu dkk memalsukan tanda
tangan dari pihak keluarga
terhadap surat ijin.
3. MA menuduh telah terjadi
pembiaran pasien selama
15 jam
Putusan Bebas
penyebab kematian korban Putusan: Pidana Penjara 10
adalah masuknya udara
Bulan
dalam jantung tidak dapat
diprediksi sebelumnya
UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah sakit
UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan
UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik
Kedokteran
Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga
Kesehatan
PERATURAN MENTERI
KESEHATAN
Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Permenkes No.
269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis
Permenkes No. 512 tahun 2007
ttg Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran
Permenkes No. 1691 Tahun
2011 ttg Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
Permenkes No. 17 Tahun 2013
tentang ijin dan
penyelenggaraan praktik
perawat
PMK No. 2052 Tahun 2011
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN
Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor
129/Menkes/SK/II/200
8 tentang Standar
Pelayanan Minimal
Rumah Sakit
PERATURAN LAINNYA
KUHP
KUH PERDATA
KUHAP
DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA, HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA DAN HUKUM PERDATA
Black’s Law Dictionary merinci persyaratan untuk
suatu medical malpractice ke dalam 4 hal, yaitu:
the existence of a physician’s duty to the
plaintiff, usually based upon the existence of the
physician - patient relationship;
the applicable standard of care and its violation;
a compensable injury;
a causal connection between the violation of the
standard of care and the harmed complained.
Malpractice dirumuskan sebagai:
the failure of a physician or surgeon in the treatment
of patient to passes and employ that reasonable
degree of learning, skill and experience which
ordinarily is possessed by others of his profession; or
his failure to exercise reasonable and ordinary care
and diligence in the exertion of his skill and the
application of his knowledge; or
his failure to exert his best judgement as to the
treatment of the case entrusted to him; or
his failure to bestow such reasonable and ordinary
care, skill and diligene as physician and surgeons in
the same neighbourhood in the same general of
practice ordinarily have and exercise in like cases
(Hayt & Hayt, 1964, Legal Aspects of Medical Records,
Physicianus, Record Company Berwyn, Illinois)
TIADA SANKSI PIDANA TANPA
KESALAHAN
Kesalahan
Sengaja/Dolus
Lalai /culpa
Ex: Abortus Provokatus Criminalis
Parameter: SOP&SPM
Adverse even
Pembuktian
Derajat Kesalahan
Culpa lata : Serius,
Culpa levis :Biasa
Culpa Levissima :Ringan
Penghapus pidana
SOP&SPM
•
•
•
•
•
•
•
•
wajib simpan rahasia kedokteran
Standar Profesi - POGI
Standar Pelayanan Medik
Panduan Bayi Risiko Tinggi
Penegakan diagnosis
Bukti ilmiah (evidence) yang digunakan
Prognosis
Informasi/komunikasi efektif, informed
consent khusus
Kriteria Malpraktik
Alasan
pembenar (rechtvaardigingsgrond)
adalah alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan.
perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur dalam
pasal 51 KUHP Ayat (1).
Alasan
pemaaf (schulduitsluitingsgrond)
adalah alasan yang menghapuskan kesalahan
pelaku tindak pidana; berkaitan dengan
culpabilitas.
tidak ada kebebasan untuk memilih antara
berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang
dilarang atau diperintahkan undang undang
Syarat:
i. ada hubungan antara pemberi perintah
dengan pelaksana perintah berdasarkan
hukum publik;
ii. kewenangan pemberi perintah harus
sesuai dengan jabatannya berdasarkan
hukum publik tersebut; dan
iii. perintah yang diberikan itu termasuk
dalam lingkungan kewenangan
jabatannya.
KRITERIA PIDANA
Pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran (pasal 322)
Euthanasia (pasal 344)
Melakukan pengguguran atau abortus provocatus (pasal
346-349)
Penganiayaan (pasal 351)
LUKA BERAT (PASAL 90).
Kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka
berat pada diri orang lain (pasal 359 hingga 361).
Penyerangan seksual (pasal 284 – 294)
YE NO
S
Kriteria Pidana
penipuan terhadap penderita atau pasien (pasal 378);
pembuatan surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267
KUHP);
kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (pasal
349 KUHP);
tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada
dalam bahaya maut (pasal 267 KUHP);
pelanggaran kesopanan (pasal 290 ay.1, pasal 294 ay.1, pasal
285 dan 286 KUHP);
memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP).
Yes
No
Pembelaan
Yes No
Buktikan salah satu unsur kelalaian tidak ada : near miss
CARI PEMBENAR:
RISIKO MEDIK DAPAT DITERIMA
RISIKO MEDIK : UNFORESEEABILITY
Adverse events (+) ttp pasca the only way
PERJALANAN PENYAKIT / KOMPLIKASI
CARI
PEMAAF:
TEKANAN
DARURAT/LIFE SAVING
SITUASI-KONDISI
LIMITED RESOURCES, WAKTU
KONTRIBUSI / DIKEHENDAKI PASIEN
Dokumen Konsensus Mis : SpOG
Konsensus mutakhir: infertilitas
Panduan ANC/partogram
Panduan Bayi Risiko Tinggi
Dokumen Rekam Medis dan Rujukan dari PPK 1
Konsensus Perinatal antara SpOG-SpA
Fatwa IDI
Pedoman-Pedoman Profesi POGI
Keputusan KOGI
Yes
No
Pedoman Analisis : Dini
Identifikasi insight/potensi keluhan utama pengaduan
Insight penyelidikan PDSp/Komdik RS
Kategori motivasi aduan/gugatan pasien
kelalaian nyata (gross negligence) : tertinggalnya benda
asing (doktrin res ipsa loquituur)
Salah potong/operasi
Yes No
Pedoman Analisis – Cek hubungan dokter - pasien :
Status & Hubungan Hukum: Pasien pribadi/kontrol/rujukan, dokter
pengganti, doktrin captain of the ship (penanggungjawab utama tim
dokter), jadwal jaga/dinas (dokter, perawat), kewajiban dokter/RS, dll
Adakah pasien belum dewasa dan uzur ?
Yes No
Analisis Kasus
Diagnosis / Indikasi medik : tepatkah (tujuannya) ? adakah
penyimpangan atau perluasan ? (peran peer review atau
second opinion, adakah kesengajaan : ingat teori fraud/white
collar crime ditunjang oleh pertanggungjawaban pidana).
Konteks-situasi : gawat ? darurat ? (ingat etika situasi); kasus
sulit atau biasa ? perubahan situasi : dari elektif menjadi
segera ? ketiadaan alat/obat/dokter ?
Yes No
Analisis Kasus : Diagnosis
Upaya penegakan diagnosis keseluruhan, sistematis ?
Ketelitian/kehati-hatian dalam penegakan diagnosis : bukti
ilmiah (evidence) yang digunakan
kelaziman (best practice) : substandar ? overstandar ? (peran
ahli selingkung),
kompetensi pelaksana lapangan (bidan/perawat) bawahan
Yes No
ANALISIS KASUS : PROGNOSIS
Foreseeability yang lazim (adverse events) = can it causality
“disease-rate”
Avoidability = will it causality persiapan antisipatif risiko tsb pd
kasus
Sistem rujukan ke mana ?
Kontrak dgn pusat rujukan
Kondisi khusus pasien : Alergi, imuno-kompromais, dll
Kontra indikasi ?
YES NO
Analisis Kasus : Therapi
Mekanisme kontrol akurasi (alat, SOP, penunjang lain )
Rawat bersama : captain of the ship?
Kompetensi & inkapasitas pelaksana,
Product liability:daluwarsa, insert warning
Deteksi dini penyulit durante tindakan? = superseding cause
Tepatkah (kategori, cara) simpul penyulit
Modalitas/alternatif terapi
Yes No
Analisis Kasus : Komunikasi Informasi
Rujukan sebagai komunikasi tertulis tentang kondisi pasien
Setelah yg umum : msh perlu informed consent khusus (form kasus
spesifik)?,
Adakah mispersepsi/mitos ? Contextual features (anak mahal dll) +
quality of life
Keluasan info : Reasonable person or DR’s standard ?
perubahan status medik (situasi) : kegawatan/kedaruratan
Biaya + syarat peserta asuransi
Proxy + spouse consent ?
Yes No
Analisis kasus :
Hambatan/gangguan proses medik (diagnosis, prognosis, terapi)
Pasien non-otonom : anak/uzur,
Pasien tak mampu;
Adakah iatrogenik atau risiko
adakaH andil kesalahan pasien/keluarganya ?
Miskomunikasi/tdk puas ec rusak harapan
Dilema etik / konflik etikolegal persisten
Evaluasi check point pengelolaan
Evaluasi on going “did it causality”
Yes No
KATEGORI UMUM KASUS
“Putih”/ “abu2” / “hitam”
Penyingkiran mslh litigious legal procedures BPA, asuransi profesi
Pengedepanan pembelaan terbatas
Rencana pendisiplinan
Koordinasi dgn Dewan Kehormatan PDSp, MKEK/MDTK, dll
Saksi ahli “selingkung” utk norma
Koordinasi dgn BPA PDSp
Yes No
Kategori
Baru pertama kali / Residivis
Pelanggaran hukum (terbukti)
Pelanggaran KDB (terbukti)
Kemungkinan tercemarnya korsa
Turunnya kredibilitas bangsa
Implikasi preseden
Iritasi kemanusiaan
Sanksi oleh lembaga lain
Yes
No
Multi-Causal Theory “Swiss Cheese”
diagram (Reason, 1991) .
Pada Kasus : Nakes
Dr. Obsgyn, Dr.
Anestesi, DPJP,
Perawat Anestesi
• Pasal 23 ayat (3), 42 UU
No. 36 Tahun 2009
• Pasal 36 , Pasal 80 Ayat (1)
dan (2) UU No. 29 Tahun
2004
Prosedur Perijinan Nakes diatur
dalam Pasal 7 PMK No. 512
Tahun 2007 jo PMK No. 2052
Tahun 2011
Pada Kasus : RS
Kandow
Perijinan RS, SOP
RS
Pasal 46 UU No. 44 Tahun 200
Tanggung Jawab
Hukum RS sebagai
Institusi
Pelaksanaan
Inform Consent?
Pasal 8, 56 Permenkes No. 290 Tahun
2008
Pelaksanaan Rekam Medik?
Pelaksanaan SOP RS?
Ada /tidak sistem perlindungan
hukum pasien di RS?
Pasal
8 Permenkes No. 290 Tahun 2008:
Setiap orang berhak memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun
yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal
56 ayat (1)
Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
a.
b.
c.
d.
e.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pasal
23 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009
: Dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
Pasal 36
UU No. 29 Tahun 2004 :
Setiap dokter dan dokter gigi yang
melakukan
praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin
praktik.
Pasal 7 PMK No. 512 Tahun 2007 jo PMK No.
2052 Tahun 2011 :
Dekan FK/Dekan FKG berdasarkan surat persetujuan
KKI
yang
diberikan
pada
awal
pendidikan
PPDS/PPDGS, harus memberitahukan peserta
PPDS dan PPDGS yang sedang mengikuti
pendidikan yang meliputi nama perorangan,
jadual, dan tahap pendidikan, kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dimana rumah
sakit tempat pendidikan spesialis berada.
Dokter
atau
dokter
gigi
yang
sedang
mengikuti program pendidikan dokter spesialis
(PPDS)
atau
PPDGS
langsung/otomatis
diberikan SIP secara kolektif oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dimana rumah sakit
pendidikan tersebut berada, untuk menjalankan
praktik kedokteran
Dokter pendidik klinis bertanggung
jawab atas pelayanan medis yang
dilakukan oleh peserta didiknya ( lihat
pasal 11 PMK 512 Tahun 2007 dan
pasal 24 PMK 2052 Tahun 2011 )
Lingkup dan tingkat kewenangan
penyelenggaraan praktik kedokteran bagi
masing-masing dokter atau dokter gigi
sesuai dengan sertifikat kompetensi,
dan/atau surat keterangan kompetensi
dari Ketua Kolegium atau KPS atas nama
Ketua Kolegium bagi peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau
peserta Program Pendidikan Dokter Gigi
Spesialis (PPDGS). (pasal 20 UUPK)
1.Atributif
Kewenangan yang berasal dari adanya
penyerahan atau pemberian suatu
kewenangan yang baru oleh suatu
ketentuan peraturan perundangundangan .Tidak terjadi distribusi
kewenangan.
Pada kewenangan atributif pelaksanaan
dilakukan oleh pejabat yang menerima
kewenangan yang baru tersebut
Pertanggungjawaban tindakan adalah di
tangan pejabat administrasi negara yang
menerima kewenangan baru itu.
2.Delegasi
Merupakan kewenangan yang bersumber dari
pelimpahan wewenang dari suatu subyek
hukum atau organ pemerintah kepada subyek
hukum atau organ pemerintah yang lain
berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Kewenangan sudah ada terlebih dahulu .Tidak
ada kewenangan yang baru.
Kewenangan sudah dimiliki pejabat
administrasi negara yang lama.Pada
kewenangan delegasi yang mempunyai
tanggung jawab adalah pejabat yang
menerima limpahan wewenang.
1.Atributif
Kewenangan yang berasal dari adanaya
penyerahan atau pemberian suatu
kewenangan yang baru oleh suatu
ketentuan peraturan perundangundangan .Tidak terjadi distribusi
kewenangan.
Pada kewenangan kewenangan atributif
pelaksanaan dilakukan oleh pejabat yang
menerima kewenangan yang baru itu
yang bertanggung jawab adalah di
tangan pejabat administrasi negara yang
menerima kewenangan baru itu.
2.Delegasi
Merupakan kewenangan yang bersumber
dari pelimpahan wewenang dari suatu
organ pemerintah kepada organ
pemerintah yang lain berdasarkan undangundang yang berlaku.
Kewenangan sudah ada terlebih dahulu
.Tidak ada kewenangan yang
baru.Kewenangan sudah dimiliki pejabat
administrasi negara yang lama.Pada
kewenangan delegasi yang mempunyai
tanggung jawab adalah pejabat yang
menerima limpahan wewenang
3.Mandat/amanah/penugasan
Kewenangan yang bersumber dari
proses pelimpahan dari pejabat yang
lebih tinggi kepada pejabat yang lebih
rendah.
Pada mandat secara yuridis tanggung
jawab tetap berada pada pejabat yang
memberi mandat.
Pada setiap saat si pemberi mandat
dapat menggunakan sendiri
kewenangan yang sudah diamanatkan.
Instruksi
Tertulis
Kepmenkes No. 779 Tahun 2008
Standar Pelayanan Anestesiologi dan
Reanimasi di RS
Pasal 15 PMK No. 512 Tahun 2007 jo PMK No.
2052 Tahun 2011 :
Dokter
dan dokter gigi dapat memberikan
pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam
melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi
Pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau
tenaga lainnya dalam keadaan tertentu dimana
pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak
terdapat dokter atau dokter gigi di tempat tersebut
diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam
kemampuan dan keterampilan yang telah
dimiliki oleh penerima pelimpahan;
pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap
di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab
atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan
tindakan
sesuai
dengan
pelimpahan yang diberikan;
tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk
mengambil keputusan klinis sebagai dasar
pelaksanaan tindakan; dan
tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat
terus menerus.
Pelayanan anestesiologi dan reanimasi
dilakukan
oleh
dokter
spesialis
anestesiologi. Pelayanan anestesiologi
dan reanimasi yang dilakukan oleh
perawat
anestesia
merupakan
pelimpahan
wewenang
dari
dokter
spesialis anestesiologi atau dokter yang
melakukan
tindakan
pembedahan/tindakan medis lain. Dokter
yang memberikan pelimpahan wewenang
harus memberikan instruksi tertulis
Pelimpahan wewenang tersebut dapat terjadi dalam
keadaan sebagai berikut :
Jika dokter spesialis anestesiologi tidak ada di kamar
operasi tetapi masih didalam rumah sakit, dapat
dimintakan izin lisan dan kemudian harus dicatat
dalam rekam medis dan diparaf;
Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi
tetapi ada dokter umum yang ditugaskan dalam
pelayanan anestesiologi maka dokter tersebut
menggantikan
peran
dokter
spesialis
anestesiologi;
Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi maupun
dokter umum, perawat dapat mengerjakan sesuai
prosedur
tetap
yang
telah
disepakati
sebelumnya atas perintah dari dokter yang
melakukan pembedahan dan tanggung jawab
ada pada dokter yang melakukan pembedahan
Tindakan anestesia harus dikerjakan dalam
kerja sama tim.
Seorang
dokter spesialis anestesiologi
harus didampingi perawat terlatih.
Jika anestesia dilakukan oleh perawat
anestesia juga harus didampingi perawat
terlatih lainnya.
Pada saat yang sama dokter spesialis
anestesiologi
hendaknya
membatasi
tanggung jawab/supervisi maksimal atas 3
tindakan anestesia dalam satu rumah sakit
dengan ruangan tindakan yang berdekatan
Pelayanan anestesia adalah tindakan medis yang
harus dilakukan oleh tenaga medis.
Namun, saat ini jumlah dokter spesialis anestesiologi
masih sangat terbatas padahal pelayanan anestesia
sangat dibutuhkan di rumah sakit.
Memperhatikan kondisi tersebut, untuk dapat
terselenggaranya kebutuhan pelayanan anestesia
di rumah sakit yang tidak ada dokter spesialis
anestesiologi,
diperlukan
pemberian
kewenangan
tanggung
jawab
medis
anestesiologi kepada dokter PPDS atau dokter
lain.
Prosedur pemberian kewenangan diatur dalam
peraturan internal rumah sakit dan mengikuti
peraturan
perundangan-undangan
yang
berlaku.
Pasal 42 UU No. 36 Tahun 2009 : Pimpinan sarana pelayanan
kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik
kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal 80 UU No. 29 Tahun 2004 :
1)
2)
Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau
dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan
izin.
Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 : Rumah Sakit bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit.
SYARAT SUBYEKTIF
1.
2.
Sepakat mereka
yang
mengikatkan
dirinya
Kecakapan untuk
membuat suatu
perikatan
SYARAT OBYEKTIF
3.
4.
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang
diperkenankan
Pada
perkara perdata berlaku asas “Actori
in cumbit probatio sese ipsa”
Artinya siapa yang mendalilkan suatu hak
maka dialah yang harus membuktikan
Penentukan perkara adalah oleh para
pihak yang bersengketa sehingga apabila
para pihak (pasien) tidak mengajukan
perkara perdata tersebut maka tidak akan
diproses perkara tersebut oleh
pengadilan.
Perjanjian antara dokter dan pasien untuk
tujuan penyembuhan
Gugatan dalam perjanjian terapeutik dapat
terjadi karena :
wanprestasi
Perbuatan melawan hukum.
Pada kasus Dr. “A” dkk gugatan karena
wanprestasi tidak dapat dilakukan
karena dr “A” cs telah melakukan prestasinya
berupa pertolongan persalinan dimana bayi
lahir dalam kondisi selamat.
Namun tindakan yang dilakukan dr Ayu cs
dapat dilakukan gugatan sebagai perbuatan
melawan hukum.
Ditinjau dari syarat sah perjanjian pasal 1320
KUHPerdata maka didalam kasus dr Ayu cs tidak
memenuhi unsur syarat sah perjanjian yaitu
syarat subjektif (harus dipenuhi oleh subjek
perjanjian) yaitu :
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Dalam kasus tersebut terjadi cacat kehendak karena
adanya penyalahgunaan keadaan. Pasien dalam
kondisi kesakitan dimintakan consent.
Kecakapan untuk membuat perjanjian
Pihak yang mengikatkan diri harus mampu
menyadari akibat perbuatannya. Dalam consent
yang diberikan baik pasien maupun keluarga belum
dijelaskan secara detail tentang tindakan operasi
berikut akibat yang dimungkinkan.
Dengan tidak dipenuhinya syarat subjektif ini maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Pasal-pasal dalam KUHPerdata yang dapat
diterapkan pada kasus dr Ayu cs adalah:
Pasal 1365 KUHPerdata (melakukan perbuatan melawan hukum)
ditujukan kepada dr Ayu.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata disebutkan bahwa “tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu,mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1367 KUHPerdata (captain on the ship/melalaikan pekerjaan
sebagai penanggungjawab). Dalam Pasal 1367 KUHPerdata
disebutkan bahwa “seorang tidak saja bertanggungjawab untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
dibawah pengawasannya”. Dalam kasus ini gugatan Pasal tersebut
ditujukan pada :
Dokter penanggung jawab/ supervisor/penanggung jawab klinik
Rumah sakit
1.
2.
3.
4.
PASIEN
TENAGA KESEHATAN DI RS
RS
FK PENYELENGGARA PPDS?
PPDGS
PENGAWASA
N DARI
DINKES
KAB/KOTA
PERIJINAN
TENAGA DAN
SARANA
Sidang
kasus diselesaikan di Majelis
Kode Etik Profesi Kedokteran
Apabila dibawa ke ranah hukum
positif (Pengadilan) jika terbukti
unsur-unsur kelalaian maka
dibedakan antara alat bukti kesaksian
dan alat bukti keterangan ahli karena
kedua hal ini memiliki kedudukan
yang berbeda di persidangan
Keterangan
ahli (expert) diberikan
oleh ahli yang benar-benar
memahami dan memiliki
kemampuan dan pengetahuan
(berkompeten) di bidang terkait,
pelayanan medis /medis spesialis,
dan hukum kesehatan.
Keterangan ahli bersumber dari
perwakilan dari expert masingmasing bidang.
ban Hukum
Profesi Kesehatan
Hubungan Hukum Tenaga Medis
dan pasien
II. Aspek Hukum Profesi Kesehatan
I.
Hukum Administrasi
Hukum Perdata
Hukum Pidana
KT
UA
L
TR
A
KO
N
N
KO
TR
AL
TU
AK
BU
NG
AN
N
GA
HU
N
BU
HU
HUBUNGAN KONTRAKTUAL
Memiliki
persyaratan / kualifikasi dan
mempertahankannya:
Memiliki Sertifikat Kompetensi, Surat
Tanda Registrasi, Surat Iziin Praktik /
Kerja, dll
Mematuhi
Mematuhi
Mematuhi
Kode Etik Profesi
Standar Profesi
Standar Pelayanan dan
SPO
Oleh karena itu ia bertanggungjawab atas
kesalahan atau pelanggaran ketentuan-
KORBAN SISKA MAKETEY
Putusan PN
Menado
MKEK Menado
Putusan MA
Berdasarkan
Kesaksian dan
alat bukti yang
ada maka tidak
terdapat
kelalaian yang
dilakukan oleh
dr. A cs
MKEK Pusat Sulawesi Utara
menyatakan tidak ada
kesalahan prosedur dan
pelanggaran disiplin yang
dilakukan oleh para
terdakwa dalam
melakukan operasi kepada
korban ;
1. MA menetapkan dr. Ayu CS
bersalah, dengan alasan
tidak memiliki ijin praktik
2. MA menetapkan dr. Ayu CS
bersalah, dengan alasan dr.
Ayu dkk memalsukan tanda
tangan dari pihak keluarga
terhadap surat ijin.
3. MA menuduh telah terjadi
pembiaran pasien selama
15 jam
Putusan Bebas
penyebab kematian korban Putusan: Pidana Penjara 10
adalah masuknya udara
Bulan
dalam jantung tidak dapat
diprediksi sebelumnya
UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
UU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah sakit
UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan
UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik
Kedokteran
Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga
Kesehatan
PERATURAN MENTERI
KESEHATAN
Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Permenkes No.
269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis
Permenkes No. 512 tahun 2007
ttg Izin Praktik dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran
Permenkes No. 1691 Tahun
2011 ttg Keselamatan Pasien
Rumah Sakit
Permenkes No. 17 Tahun 2013
tentang ijin dan
penyelenggaraan praktik
perawat
PMK No. 2052 Tahun 2011
KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN
Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor
129/Menkes/SK/II/200
8 tentang Standar
Pelayanan Minimal
Rumah Sakit
PERATURAN LAINNYA
KUHP
KUH PERDATA
KUHAP
DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA, HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA DAN HUKUM PERDATA
Black’s Law Dictionary merinci persyaratan untuk
suatu medical malpractice ke dalam 4 hal, yaitu:
the existence of a physician’s duty to the
plaintiff, usually based upon the existence of the
physician - patient relationship;
the applicable standard of care and its violation;
a compensable injury;
a causal connection between the violation of the
standard of care and the harmed complained.
Malpractice dirumuskan sebagai:
the failure of a physician or surgeon in the treatment
of patient to passes and employ that reasonable
degree of learning, skill and experience which
ordinarily is possessed by others of his profession; or
his failure to exercise reasonable and ordinary care
and diligence in the exertion of his skill and the
application of his knowledge; or
his failure to exert his best judgement as to the
treatment of the case entrusted to him; or
his failure to bestow such reasonable and ordinary
care, skill and diligene as physician and surgeons in
the same neighbourhood in the same general of
practice ordinarily have and exercise in like cases
(Hayt & Hayt, 1964, Legal Aspects of Medical Records,
Physicianus, Record Company Berwyn, Illinois)
TIADA SANKSI PIDANA TANPA
KESALAHAN
Kesalahan
Sengaja/Dolus
Lalai /culpa
Ex: Abortus Provokatus Criminalis
Parameter: SOP&SPM
Adverse even
Pembuktian
Derajat Kesalahan
Culpa lata : Serius,
Culpa levis :Biasa
Culpa Levissima :Ringan
Penghapus pidana
SOP&SPM
•
•
•
•
•
•
•
•
wajib simpan rahasia kedokteran
Standar Profesi - POGI
Standar Pelayanan Medik
Panduan Bayi Risiko Tinggi
Penegakan diagnosis
Bukti ilmiah (evidence) yang digunakan
Prognosis
Informasi/komunikasi efektif, informed
consent khusus
Kriteria Malpraktik
Alasan
pembenar (rechtvaardigingsgrond)
adalah alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan.
perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur dalam
pasal 51 KUHP Ayat (1).
Alasan
pemaaf (schulduitsluitingsgrond)
adalah alasan yang menghapuskan kesalahan
pelaku tindak pidana; berkaitan dengan
culpabilitas.
tidak ada kebebasan untuk memilih antara
berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang
dilarang atau diperintahkan undang undang
Syarat:
i. ada hubungan antara pemberi perintah
dengan pelaksana perintah berdasarkan
hukum publik;
ii. kewenangan pemberi perintah harus
sesuai dengan jabatannya berdasarkan
hukum publik tersebut; dan
iii. perintah yang diberikan itu termasuk
dalam lingkungan kewenangan
jabatannya.
KRITERIA PIDANA
Pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran (pasal 322)
Euthanasia (pasal 344)
Melakukan pengguguran atau abortus provocatus (pasal
346-349)
Penganiayaan (pasal 351)
LUKA BERAT (PASAL 90).
Kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka
berat pada diri orang lain (pasal 359 hingga 361).
Penyerangan seksual (pasal 284 – 294)
YE NO
S
Kriteria Pidana
penipuan terhadap penderita atau pasien (pasal 378);
pembuatan surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267
KUHP);
kesengajaan membiarkan penderita tidak tertolong (pasal
349 KUHP);
tidak memberikan pertolongan pada orang yang berada
dalam bahaya maut (pasal 267 KUHP);
pelanggaran kesopanan (pasal 290 ay.1, pasal 294 ay.1, pasal
285 dan 286 KUHP);
memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386 KUHP).
Yes
No
Pembelaan
Yes No
Buktikan salah satu unsur kelalaian tidak ada : near miss
CARI PEMBENAR:
RISIKO MEDIK DAPAT DITERIMA
RISIKO MEDIK : UNFORESEEABILITY
Adverse events (+) ttp pasca the only way
PERJALANAN PENYAKIT / KOMPLIKASI
CARI
PEMAAF:
TEKANAN
DARURAT/LIFE SAVING
SITUASI-KONDISI
LIMITED RESOURCES, WAKTU
KONTRIBUSI / DIKEHENDAKI PASIEN
Dokumen Konsensus Mis : SpOG
Konsensus mutakhir: infertilitas
Panduan ANC/partogram
Panduan Bayi Risiko Tinggi
Dokumen Rekam Medis dan Rujukan dari PPK 1
Konsensus Perinatal antara SpOG-SpA
Fatwa IDI
Pedoman-Pedoman Profesi POGI
Keputusan KOGI
Yes
No
Pedoman Analisis : Dini
Identifikasi insight/potensi keluhan utama pengaduan
Insight penyelidikan PDSp/Komdik RS
Kategori motivasi aduan/gugatan pasien
kelalaian nyata (gross negligence) : tertinggalnya benda
asing (doktrin res ipsa loquituur)
Salah potong/operasi
Yes No
Pedoman Analisis – Cek hubungan dokter - pasien :
Status & Hubungan Hukum: Pasien pribadi/kontrol/rujukan, dokter
pengganti, doktrin captain of the ship (penanggungjawab utama tim
dokter), jadwal jaga/dinas (dokter, perawat), kewajiban dokter/RS, dll
Adakah pasien belum dewasa dan uzur ?
Yes No
Analisis Kasus
Diagnosis / Indikasi medik : tepatkah (tujuannya) ? adakah
penyimpangan atau perluasan ? (peran peer review atau
second opinion, adakah kesengajaan : ingat teori fraud/white
collar crime ditunjang oleh pertanggungjawaban pidana).
Konteks-situasi : gawat ? darurat ? (ingat etika situasi); kasus
sulit atau biasa ? perubahan situasi : dari elektif menjadi
segera ? ketiadaan alat/obat/dokter ?
Yes No
Analisis Kasus : Diagnosis
Upaya penegakan diagnosis keseluruhan, sistematis ?
Ketelitian/kehati-hatian dalam penegakan diagnosis : bukti
ilmiah (evidence) yang digunakan
kelaziman (best practice) : substandar ? overstandar ? (peran
ahli selingkung),
kompetensi pelaksana lapangan (bidan/perawat) bawahan
Yes No
ANALISIS KASUS : PROGNOSIS
Foreseeability yang lazim (adverse events) = can it causality
“disease-rate”
Avoidability = will it causality persiapan antisipatif risiko tsb pd
kasus
Sistem rujukan ke mana ?
Kontrak dgn pusat rujukan
Kondisi khusus pasien : Alergi, imuno-kompromais, dll
Kontra indikasi ?
YES NO
Analisis Kasus : Therapi
Mekanisme kontrol akurasi (alat, SOP, penunjang lain )
Rawat bersama : captain of the ship?
Kompetensi & inkapasitas pelaksana,
Product liability:daluwarsa, insert warning
Deteksi dini penyulit durante tindakan? = superseding cause
Tepatkah (kategori, cara) simpul penyulit
Modalitas/alternatif terapi
Yes No
Analisis Kasus : Komunikasi Informasi
Rujukan sebagai komunikasi tertulis tentang kondisi pasien
Setelah yg umum : msh perlu informed consent khusus (form kasus
spesifik)?,
Adakah mispersepsi/mitos ? Contextual features (anak mahal dll) +
quality of life
Keluasan info : Reasonable person or DR’s standard ?
perubahan status medik (situasi) : kegawatan/kedaruratan
Biaya + syarat peserta asuransi
Proxy + spouse consent ?
Yes No
Analisis kasus :
Hambatan/gangguan proses medik (diagnosis, prognosis, terapi)
Pasien non-otonom : anak/uzur,
Pasien tak mampu;
Adakah iatrogenik atau risiko
adakaH andil kesalahan pasien/keluarganya ?
Miskomunikasi/tdk puas ec rusak harapan
Dilema etik / konflik etikolegal persisten
Evaluasi check point pengelolaan
Evaluasi on going “did it causality”
Yes No
KATEGORI UMUM KASUS
“Putih”/ “abu2” / “hitam”
Penyingkiran mslh litigious legal procedures BPA, asuransi profesi
Pengedepanan pembelaan terbatas
Rencana pendisiplinan
Koordinasi dgn Dewan Kehormatan PDSp, MKEK/MDTK, dll
Saksi ahli “selingkung” utk norma
Koordinasi dgn BPA PDSp
Yes No
Kategori
Baru pertama kali / Residivis
Pelanggaran hukum (terbukti)
Pelanggaran KDB (terbukti)
Kemungkinan tercemarnya korsa
Turunnya kredibilitas bangsa
Implikasi preseden
Iritasi kemanusiaan
Sanksi oleh lembaga lain
Yes
No
Multi-Causal Theory “Swiss Cheese”
diagram (Reason, 1991) .
Pada Kasus : Nakes
Dr. Obsgyn, Dr.
Anestesi, DPJP,
Perawat Anestesi
• Pasal 23 ayat (3), 42 UU
No. 36 Tahun 2009
• Pasal 36 , Pasal 80 Ayat (1)
dan (2) UU No. 29 Tahun
2004
Prosedur Perijinan Nakes diatur
dalam Pasal 7 PMK No. 512
Tahun 2007 jo PMK No. 2052
Tahun 2011
Pada Kasus : RS
Kandow
Perijinan RS, SOP
RS
Pasal 46 UU No. 44 Tahun 200
Tanggung Jawab
Hukum RS sebagai
Institusi
Pelaksanaan
Inform Consent?
Pasal 8, 56 Permenkes No. 290 Tahun
2008
Pelaksanaan Rekam Medik?
Pelaksanaan SOP RS?
Ada /tidak sistem perlindungan
hukum pasien di RS?
Pasal
8 Permenkes No. 290 Tahun 2008:
Setiap orang berhak memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk
tindakan dan pengobatan yang telah maupun
yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal
56 ayat (1)
Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya mencakup :
a.
b.
c.
d.
e.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pasal
23 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009
: Dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
Pasal 36
UU No. 29 Tahun 2004 :
Setiap dokter dan dokter gigi yang
melakukan
praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat izin
praktik.
Pasal 7 PMK No. 512 Tahun 2007 jo PMK No.
2052 Tahun 2011 :
Dekan FK/Dekan FKG berdasarkan surat persetujuan
KKI
yang
diberikan
pada
awal
pendidikan
PPDS/PPDGS, harus memberitahukan peserta
PPDS dan PPDGS yang sedang mengikuti
pendidikan yang meliputi nama perorangan,
jadual, dan tahap pendidikan, kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dimana rumah
sakit tempat pendidikan spesialis berada.
Dokter
atau
dokter
gigi
yang
sedang
mengikuti program pendidikan dokter spesialis
(PPDS)
atau
PPDGS
langsung/otomatis
diberikan SIP secara kolektif oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dimana rumah sakit
pendidikan tersebut berada, untuk menjalankan
praktik kedokteran
Dokter pendidik klinis bertanggung
jawab atas pelayanan medis yang
dilakukan oleh peserta didiknya ( lihat
pasal 11 PMK 512 Tahun 2007 dan
pasal 24 PMK 2052 Tahun 2011 )
Lingkup dan tingkat kewenangan
penyelenggaraan praktik kedokteran bagi
masing-masing dokter atau dokter gigi
sesuai dengan sertifikat kompetensi,
dan/atau surat keterangan kompetensi
dari Ketua Kolegium atau KPS atas nama
Ketua Kolegium bagi peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau
peserta Program Pendidikan Dokter Gigi
Spesialis (PPDGS). (pasal 20 UUPK)
1.Atributif
Kewenangan yang berasal dari adanya
penyerahan atau pemberian suatu
kewenangan yang baru oleh suatu
ketentuan peraturan perundangundangan .Tidak terjadi distribusi
kewenangan.
Pada kewenangan atributif pelaksanaan
dilakukan oleh pejabat yang menerima
kewenangan yang baru tersebut
Pertanggungjawaban tindakan adalah di
tangan pejabat administrasi negara yang
menerima kewenangan baru itu.
2.Delegasi
Merupakan kewenangan yang bersumber dari
pelimpahan wewenang dari suatu subyek
hukum atau organ pemerintah kepada subyek
hukum atau organ pemerintah yang lain
berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Kewenangan sudah ada terlebih dahulu .Tidak
ada kewenangan yang baru.
Kewenangan sudah dimiliki pejabat
administrasi negara yang lama.Pada
kewenangan delegasi yang mempunyai
tanggung jawab adalah pejabat yang
menerima limpahan wewenang.
1.Atributif
Kewenangan yang berasal dari adanaya
penyerahan atau pemberian suatu
kewenangan yang baru oleh suatu
ketentuan peraturan perundangundangan .Tidak terjadi distribusi
kewenangan.
Pada kewenangan kewenangan atributif
pelaksanaan dilakukan oleh pejabat yang
menerima kewenangan yang baru itu
yang bertanggung jawab adalah di
tangan pejabat administrasi negara yang
menerima kewenangan baru itu.
2.Delegasi
Merupakan kewenangan yang bersumber
dari pelimpahan wewenang dari suatu
organ pemerintah kepada organ
pemerintah yang lain berdasarkan undangundang yang berlaku.
Kewenangan sudah ada terlebih dahulu
.Tidak ada kewenangan yang
baru.Kewenangan sudah dimiliki pejabat
administrasi negara yang lama.Pada
kewenangan delegasi yang mempunyai
tanggung jawab adalah pejabat yang
menerima limpahan wewenang
3.Mandat/amanah/penugasan
Kewenangan yang bersumber dari
proses pelimpahan dari pejabat yang
lebih tinggi kepada pejabat yang lebih
rendah.
Pada mandat secara yuridis tanggung
jawab tetap berada pada pejabat yang
memberi mandat.
Pada setiap saat si pemberi mandat
dapat menggunakan sendiri
kewenangan yang sudah diamanatkan.
Instruksi
Tertulis
Kepmenkes No. 779 Tahun 2008
Standar Pelayanan Anestesiologi dan
Reanimasi di RS
Pasal 15 PMK No. 512 Tahun 2007 jo PMK No.
2052 Tahun 2011 :
Dokter
dan dokter gigi dapat memberikan
pelimpahan suatu tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam
melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi
Pelimpahan wewenang kepada perawat, bidan atau
tenaga lainnya dalam keadaan tertentu dimana
pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan dan tidak
terdapat dokter atau dokter gigi di tempat tersebut
diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam
kemampuan dan keterampilan yang telah
dimiliki oleh penerima pelimpahan;
pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap
di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab
atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan
tindakan
sesuai
dengan
pelimpahan yang diberikan;
tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk
mengambil keputusan klinis sebagai dasar
pelaksanaan tindakan; dan
tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat
terus menerus.
Pelayanan anestesiologi dan reanimasi
dilakukan
oleh
dokter
spesialis
anestesiologi. Pelayanan anestesiologi
dan reanimasi yang dilakukan oleh
perawat
anestesia
merupakan
pelimpahan
wewenang
dari
dokter
spesialis anestesiologi atau dokter yang
melakukan
tindakan
pembedahan/tindakan medis lain. Dokter
yang memberikan pelimpahan wewenang
harus memberikan instruksi tertulis
Pelimpahan wewenang tersebut dapat terjadi dalam
keadaan sebagai berikut :
Jika dokter spesialis anestesiologi tidak ada di kamar
operasi tetapi masih didalam rumah sakit, dapat
dimintakan izin lisan dan kemudian harus dicatat
dalam rekam medis dan diparaf;
Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi
tetapi ada dokter umum yang ditugaskan dalam
pelayanan anestesiologi maka dokter tersebut
menggantikan
peran
dokter
spesialis
anestesiologi;
Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi maupun
dokter umum, perawat dapat mengerjakan sesuai
prosedur
tetap
yang
telah
disepakati
sebelumnya atas perintah dari dokter yang
melakukan pembedahan dan tanggung jawab
ada pada dokter yang melakukan pembedahan
Tindakan anestesia harus dikerjakan dalam
kerja sama tim.
Seorang
dokter spesialis anestesiologi
harus didampingi perawat terlatih.
Jika anestesia dilakukan oleh perawat
anestesia juga harus didampingi perawat
terlatih lainnya.
Pada saat yang sama dokter spesialis
anestesiologi
hendaknya
membatasi
tanggung jawab/supervisi maksimal atas 3
tindakan anestesia dalam satu rumah sakit
dengan ruangan tindakan yang berdekatan
Pelayanan anestesia adalah tindakan medis yang
harus dilakukan oleh tenaga medis.
Namun, saat ini jumlah dokter spesialis anestesiologi
masih sangat terbatas padahal pelayanan anestesia
sangat dibutuhkan di rumah sakit.
Memperhatikan kondisi tersebut, untuk dapat
terselenggaranya kebutuhan pelayanan anestesia
di rumah sakit yang tidak ada dokter spesialis
anestesiologi,
diperlukan
pemberian
kewenangan
tanggung
jawab
medis
anestesiologi kepada dokter PPDS atau dokter
lain.
Prosedur pemberian kewenangan diatur dalam
peraturan internal rumah sakit dan mengikuti
peraturan
perundangan-undangan
yang
berlaku.
Pasal 42 UU No. 36 Tahun 2009 : Pimpinan sarana pelayanan
kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik
kedokteran di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
Pasal 80 UU No. 29 Tahun 2004 :
1)
2)
Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau
dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah
pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan
izin.
Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 : Rumah Sakit bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di Rumah Sakit.
SYARAT SUBYEKTIF
1.
2.
Sepakat mereka
yang
mengikatkan
dirinya
Kecakapan untuk
membuat suatu
perikatan
SYARAT OBYEKTIF
3.
4.
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang
diperkenankan
Pada
perkara perdata berlaku asas “Actori
in cumbit probatio sese ipsa”
Artinya siapa yang mendalilkan suatu hak
maka dialah yang harus membuktikan
Penentukan perkara adalah oleh para
pihak yang bersengketa sehingga apabila
para pihak (pasien) tidak mengajukan
perkara perdata tersebut maka tidak akan
diproses perkara tersebut oleh
pengadilan.
Perjanjian antara dokter dan pasien untuk
tujuan penyembuhan
Gugatan dalam perjanjian terapeutik dapat
terjadi karena :
wanprestasi
Perbuatan melawan hukum.
Pada kasus Dr. “A” dkk gugatan karena
wanprestasi tidak dapat dilakukan
karena dr “A” cs telah melakukan prestasinya
berupa pertolongan persalinan dimana bayi
lahir dalam kondisi selamat.
Namun tindakan yang dilakukan dr Ayu cs
dapat dilakukan gugatan sebagai perbuatan
melawan hukum.
Ditinjau dari syarat sah perjanjian pasal 1320
KUHPerdata maka didalam kasus dr Ayu cs tidak
memenuhi unsur syarat sah perjanjian yaitu
syarat subjektif (harus dipenuhi oleh subjek
perjanjian) yaitu :
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Dalam kasus tersebut terjadi cacat kehendak karena
adanya penyalahgunaan keadaan. Pasien dalam
kondisi kesakitan dimintakan consent.
Kecakapan untuk membuat perjanjian
Pihak yang mengikatkan diri harus mampu
menyadari akibat perbuatannya. Dalam consent
yang diberikan baik pasien maupun keluarga belum
dijelaskan secara detail tentang tindakan operasi
berikut akibat yang dimungkinkan.
Dengan tidak dipenuhinya syarat subjektif ini maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Pasal-pasal dalam KUHPerdata yang dapat
diterapkan pada kasus dr Ayu cs adalah:
Pasal 1365 KUHPerdata (melakukan perbuatan melawan hukum)
ditujukan kepada dr Ayu.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata disebutkan bahwa “tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu,mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1367 KUHPerdata (captain on the ship/melalaikan pekerjaan
sebagai penanggungjawab). Dalam Pasal 1367 KUHPerdata
disebutkan bahwa “seorang tidak saja bertanggungjawab untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
dibawah pengawasannya”. Dalam kasus ini gugatan Pasal tersebut
ditujukan pada :
Dokter penanggung jawab/ supervisor/penanggung jawab klinik
Rumah sakit
1.
2.
3.
4.
PASIEN
TENAGA KESEHATAN DI RS
RS
FK PENYELENGGARA PPDS?
PPDGS
PENGAWASA
N DARI
DINKES
KAB/KOTA
PERIJINAN
TENAGA DAN
SARANA
Sidang
kasus diselesaikan di Majelis
Kode Etik Profesi Kedokteran
Apabila dibawa ke ranah hukum
positif (Pengadilan) jika terbukti
unsur-unsur kelalaian maka
dibedakan antara alat bukti kesaksian
dan alat bukti keterangan ahli karena
kedua hal ini memiliki kedudukan
yang berbeda di persidangan
Keterangan
ahli (expert) diberikan
oleh ahli yang benar-benar
memahami dan memiliki
kemampuan dan pengetahuan
(berkompeten) di bidang terkait,
pelayanan medis /medis spesialis,
dan hukum kesehatan.
Keterangan ahli bersumber dari
perwakilan dari expert masingmasing bidang.