FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATA N KODE DIAGNOSIS DI PUSKESMAS MOJOLABAN SUKOHARJO JAWA TENGAH | Saputro | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 71 242 1 PB

faKtor PeNYeBaB KetIdaKtePataN Kode dIaGNoSIS dI
PuSKeSMaS MoJolaBaN
SuKoharJo JaWa teNGah

Niko tesni Saputro1; Nuryati2
Program diploma rekam Medis Sekolah Vokasi universitas Gadjah Mada1,2
email: 1nikotesnisaputro@yahoo.co.id, 2nur3yati@yahoo.com
abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan data
yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini adalah faktor-faktor
yang menyebabkan ketidaktepatan pengkodean diagnosis adalah unsur man,machine, dan method. Unsur man
terkait dengan kegiatan klasifikasi dan kodefikasi penyakit yang dilakukan oleh profesi yang tidak memiliki
kompetensi coder dan dalam meng-entry-kan kode diagnosis dilakukan secara fleksibel. Unsur machine terkait
dengan kurang lengkapnya kode yang tersedia dan istilah yang digunakan dalam database SIMPUS belum
sesuai dengan atau istilah medis, kemampuan mengkonversi kode ICD-10 dan ICPC secara otomatis dengan
hanya sekali meng-entry-kan diagnosis yang belum dimiliki oleh SIMPUS. Unsur method terkait dengan cara
penentuan kode yang hanya mengacu pada daftar tabulasi penyakit yang sering terjadi dan belum dibuat SOP
terkait pengkodean diagnosis.
Kata kunci: faktor,ketidaktepatan, kode diagnosis, puskesmas, ICD-10, ICPC.
diagnosis dan semua prosedur yang diterima oleh

pasien. Rekam medis dapat dikode dengan hasil yang
dapat dipercaya, benar, dan lengkap serta dilakukan
dengan tepat waktu sehingga dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan rekam medis ( Skurka,
2003).

PeNdahuluaN
Pengkodean atau kodefikasi adalah salah satu cara
yang mampu menyeragamkan pendataan individual
penyakit pasien demi kepastian akurasi, presisi,
ketepatan waktu dan tindakan yang akan dijadikan
input suatu sistem informasi manajemen yang
dikembangkan (Naga, 2013).

Pada kenyataannya, ketidaktepatan kode diagnosis
masih terjadi di beberapa pelayanan kesehatan.
Menurut Rismawan (2012) persentase ketidaktepatan
kode diagnosis berdasarkan ICD-10 di Puskesmas
Gondokusuman II Yogyakarta mencapai 66,67%.
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakakuratan

kode diagnosis adalah tidak adanya prosedur
tetap yang mengatur mengenai tata cara penulisan
diagnosis dan penentuan kode diagnosis, tidak
adanya petugas khusus pengkodeanyang mempunyai
latar belakang pendidikan rekam medis dalam
pelaksanaan pengkodean, sistem informasi kesehatan
untuk kode diagnosis yang ada pada komputer di
Puskesmas Gondokusuman II Yogyakarta kurang
lengkap dan kurang spesifik.

Kualitas data dan informasi pelayanan kesehatan
membutuhkan keakuratan dan kekonsistenan data
yang dikode. Kualitas dari data yang dikode sangat
penting bagi fasilitas pelayanan kesehatan. Keakuratan
pengkodean sangat penting dalam manajemen data,
pembayaran, dan lainnya. Kualitas data pengkodean
harus dapat dipertanggungjawabkan, valid, lengkap,
dan tepat waktu. Dapat dipertanggungjawabkan
berarti hasil pengkodean dengan rekam medis oleh
beberapa petugas pengkodean akan menghasilkan

kode yang sama, begitu juga apabila seorang petugas
pengkodean melakukan pengkodean diagnosis
yang sama. Hasil pengkodean harus mencerminkan
keadaan pasien dan tindakan atau prosedur yang
diterima pasien (valid). Selain itu, pengkodean harus
lengkap dalam artian harus mencerminkan semua

Menurut Jeff (2013) kode diagnosis fracture femur
pada seluruh (100%) dokumen rekam medis RSUD

59

59

Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Maret 2015

Tidar Kota Magelangperiode tahun 2012 tidak
akurat. Hal ini disebabkan petugas tidak menuliskan
kode diagnosis fracture femur hingga karakter
kelima, pemilihan kode untuk multiple fracture

menggunakan kode multiple body regions, hanya
menggunakan buku bantu dalam pengodean.
Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ketidaktepatan kode diagnosis masih terjadi di
beberapa pelayanan kesehatan. Ketidaktepatan
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor sesuai
dengan yang ada di lapangan masing-masing.
Faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis
merupakan berbagai hal baik yang berasal dari luar
maupun dalam sistem yang memberikan pengaruh
berupa kesalahan dalam menghasilkan kode diagnosis
yang ditinjaudari lima unsurmanajemen.Menurut
Emerson manajemen mempunyai lima unsur (5M),
yaitu man, money, material, machine, dan method.
Man merujuk pada sumber daya manusia yang
dimiliki oleh organisasi. Money berhubungan dengan
berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai
gaji tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus
dibeli serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu
organisasi. Material terdiri dari bahan setengah

jadi (raw material) dan bahan jadi. Dalam dunia
usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain
manusia yang ahli dalam bidangnya juga harus dapat
menggunakan bahan/materi-materi sebagai salah
satu sarana. Sebab materi dan manusia tidak dapat
dipisahkan, tanpa materi tidak akan tercapai hasil
yang dikehendaki. Machine atau mesin digunakan
untuk memberi kemudahan atau menghasilkan
keuntungan yang lebih besar serta menciptakan
efisiensi kerja. Rekam medis dan SIMPUS menjadi
mesin dalam pelaksanaan pengkodean diagnosis.
Method atau metode adalah suatu tata cara kerja
yang memperlancar jalannya pekerjaan. Sebuah
metode dapat dinyatakan sebagai penetapan cara
pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan
berbagai pertimbangan kepada sasaran, fasilitasfasilitas yang tersedia dan penggunaan waktu, serta
uang dari kegiatan usaha.

Metode
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Teknik pengambilan data adalah wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi. Subbyek dalam
penelitian ini adalah seorang perawat,seorang
perawat gigi, seorang bidan,dan seorang Koordinator

60

Unit Informasi Registrasi dan Sumber Daya
Kesehatan (SDK). Dan sebagai obyek penelitian
adalah SIMPUS di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Jawa Tengah.

haSIl daN PeMBahaSaN
Faktor-Faktor Penyebab Ketidak-tepatan Kode
Diagnosis

1. Man
Pengkodean diagnosis dilaksana-kan oleh
petugas pengkodeandi masing-masing balai
pengobatan (BP). Petugas pengkodean di BP

Umum adalah Perawat,di BP Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) adalah Bidan, dan di BP Gigi adalah
Perawat Gigi. Hal tersebut sesuai dengan hasil
wawancara yang dilakukan terhadap Responden
1sebagai berikut.
Kalau di BP Umum itu Perawat, di BP KIA itu
Bidan, di BP Gigi itu Perawat Gigi.
(responden 1)
Tidak satu pun profesi dari petugas pengkodean
tersebut memiliki kompetensi untuk melakukan
klasifikasi dan kodefikasi terhadap suatu
diagnosis. Profesi yang memiliki kompetensi
untuk melakukan pengkodean terhadap
suatu diagnosis adalah perekammedis.
Hal tersebut berdasarkan Menkes (2006)
tentang standard profesi perekam medis
dan informasi kesehatan,bahwa kompetensi
pertama perekammedis adala hklasifikasi dan
kodefikasipenyakit, masalah-masalah yang
berkaitan dengan kesehatan dan tindakanmedis.

Selain itu, petugas pengkodean meng-entry-kan
kode diagnosis secara fleksibel yaitu sesuai
dengan situasi dan kondisi pada waktu tersebut.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang
dilakukan terhadap Responden 1 dan Responden
2 sebagai berikut.
Kita memasukkan ke dalam komputer
sesempatnya kita, sesuai situasi dan kondisi.
(responden 1)
Fleksibel, tergantungsituasidankondisi.
(responden 2)

Niko Tesni Saputro, dkk. Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis ...

Kegiatan meng-entry-kan kode diagnosis ke
dalam SIMPUS secara fleksibel berpengaruh
terhadap kualitas data dan informasi pelayanan
kesehatan yang dihasilkan.
Kualitas data dan informasi pelayanan
kesehatan membutuh-kan keakuratan dan

kekonsistenan data yang dikode Skurka
(2003) Sedangkan menurut Abdelhak
(2010), kualitas data pengkodean harus dapat
dipertanggungjawabkan, valid, lengkap, dan
tepat waktu.

2. Money
Menurut Arifin (2012) , money atau uang
merupakan salah satu unsur yang tidak dapat
diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat
pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil kegiatan
dapat diukur dari jumlah uang yang beredar
dalam perusahaan. Oleh karena itu, uang
merupakan alat (tools) yang penting untuk
mencapai tujuan karena segala sesuatu harus
diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan
berhubungan dengan berapa uang yang harus
disediakan untuk membiayai gaji tenaga kerja,
alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli
serta berapa hasil yang akan dicapai dari suatu

organisasi.
Berdasarkan Maghfiroh (2013), sumber pembiayaan Puskesmas Mojolaban Sukoharjo
Jawa Tengah adalah APBD II, Jamkesmas dan
Jamkesda, dan Bantuan Operasional bidang
Kesehatan.
Tidak terdapat permasalahan terkait money
dalam pengkodean diagnosis di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah. Tidak
terdapat permasalahan yang berhubungan
dengan pembiayaan yang harus disediakan
untuk membiayai gaji tenaga kerja, alat-alat
yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa
hasil yang akan dicapai dari suatu organisasi.

diagnosis yang berdasarkan tanda, gejala dan
pemeriksaan laboratorium selama kehidupan;
diagnosis diferensial yaitu penentuan satu dari
beberapa penyakit yang mungkin menyebabkan
timbulnya gejala-gejala; dan diagnosis fisik
yaitu diagnosis berdasarkan informasi yang

didapat dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
Di Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa
Tengah, diagnosis ditegakkan setelah melalui
beberapa tahapan, yaitu anamnesis, pemeriksaan
fisik, uji laboratorium (jika dibutuhkan), dan
pemberian tindakan (jika dibutuhkan).
Diagnosis ditegakkan dengan menuliskannya
diberkas rekam medis pasien. Setelah diagnosis
ditegakkan, barulah petugas pengkodean
mengkode diagnosis tersebut. Kemudianmengentry-kan kode diagnosis tersebutke dalam
SIMPUS menggunakan komputer yang terdapat
di masing-masing BP. Kode diagnosis tersebut
di-entry-kan pada kolom isian “Diagnosis
ICPC” dan “Diagnosis ICDX” di SIMPUS.
Tidak terdapat permasalahan terkait material
dari pengkodean berupa diagnosis di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah.

4. Machine
Machine atau alat yang digunakan terkait
pengkodean diagnosis di Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah meliputi berkas rekam
medis dan SIMPUS.
Berikut ini adalah gambar berkas rekam medis
yang digunakan di Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah.

3. Material
Material pengkodean berupa diagnosis.
Menurut Dorland (2012), diagnosis merupakan
penentuan sifat penyakit atau membedakan
satu penyakit dengan yang lainnya. Diagnosis
dibagi juga menjadi: diagnosis klinis yaitu

Gambar 1.rekam medis yang digunakan di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah

61

Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Maret 2015

Berkas rekam medis berbahan kertas karton
berukuran 21,5 cm x 16,5 cm. Terdiri atas satu
lembar dengan 2 halaman yaitu halaman muka
dan belakang.
Kode yang ditentukan atas diagnosis yang
ditegakkan ditulispada kolom isian “Anamnese”
di berkas rekam medis tersebut menggunakan
ballpoint. Kode yang ditentukan meliputi
kode ICD-10 dan ICPC.Berkas rekam medis
digunakan sebagai tempat menuliskan diagnosis
yang telah ditegakkan beserta kodenya.
Tidak terdapat permasalahan terkait machine dari
pengkodean yang berupa berkas rekam medis di
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah.
Selain berkas rekam medis, yang termasuk
machine dari pengkodean di Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah berupa
SIMPUS. SIMPUS digunakan untuk mengentry-kan kode diagnosis ICD-10 dan ICPC
yang telah dituliskan di berkas rekam medis.
SIMPUS dioperasikan mengguna-kan perangkat
komputer yang terdapat di masing-masing BP.
Namun, tidak semua perangkat komputer
tersebut dapat digunakan dengan semestinya.
Seperangkat komputer yang terdapat di BP Gigi
tidak dapat digunakan karena rusak. Sehingga,
petugas peng-kodean di BP Gigimenumpang
di kedua BP lainnya (BP Umum dan BP KIA).
Hal tersebut sesuai dengan hasil observasi atau
pengamatan peneliti yang disajikan dalam tabel
Check list Observasi berikut ini.
tabel 1
Check List observasi
No

Item observasi

Y

1

Petugas pengkode-anmeng-entry-kan
kode diagnosis ke SIMPUS.

P

2

Terdapat seperang-kat komputer yang
dapat digunakan untuk meng-entrykan kode diagnosis ke dalam SIMPUS.

P

3

Semua perangkat komputer dapat digunakan untuk meng-entry-kan kode
diagnosis ke dalam SIMPUS.

t

P

Penggunaan SIMPUS dalam pelaksanaan
pengkodean diagnosis tersebut telah sesuai
dengan Menkes (2008) tentang kebijakan dasar
pusat kesehatan masyarakat, bahwa puskesmas
menggunakan konsep wilayah dan sistem
informasi manajemen puskesmas (SIMPUS)
untuk kodefikasi.
62

Namun, masih terdapat beberapa permasalahan
terkait penggunaan SIMPUS sebagai alat untuk
meng-entry-kan kode diagnosis. Beberapa
permasalahan tersebut meliputi, kurang
lengkapnya kode (baik kode ICD-10 maupun
ICPC) yang tersedia dan istilah atau terminologi
yang digunakan dalam database SIMPUS
belum sesuai dengan istilah diagnosis atau
istilah medis.
Berdasar hasil studi dokumentasi, kode ICD10 belum tersedia untuk diagnosis amubiasis,
artritis, filariasis, flu burung, frambusia, gagal
jantung, gangguan neurotik, gigitan ular, gout,
hepatitis virus, infeksi post-partum, keputihan,
botulismus, keracunan organo-fosfat, luka
bakar, migren, penyakit paru obstruktif kronik,
serumen, sirosis hati, skizofrenia dan gangguan
psikotik kronik lain, servicitis karena chlamydia.
Kode ICPC belum tersedia untuk diagnosis
abortus yang diinduksi, takut terserang HIv/
AIDS, takut terserang penyakit menular seksual
pada perempuan, takut terserang penyakit
menular seksual pada laki-laki, nyeri di jantung,
dada rasa tertekan/berat, infark miokard akut,
arthritis reumatoid, sindrom leher, epilepsi,
infeksi teng-gorokan, penyakit jantung iskemik,
fobia, keadaan cemas, depresi, reaksi stres akut,
trauma. Sedangkan istilah yang belum sesuai
dengan istilah diagnosis atau istilah medis
“pusing”, “deman”, “kecelakaan”, “batuk”,
“asma”, “kencing manis”, dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan petugas pengkodean
menjadi kurang tepat dalam menentukan kode
diagnosis yang akandi-entry-kan. Jika petugas
pengkodeantidak menemukan kode yang sesuai
dengan data diagnosis, maka akan memilih
kode yang hampir serupa untuk mengkode data
diagnosis tersebut atau mencari padanan istilah
untuk data diagnosis tertentu agar sesuai dengan
istilah dalam database SIMPUS.
Masalah lainnya adalah kemampuan
mengkonversi kode ICD-10 dan ICPC secara
otomatis dengan hanya sekali meng-entry-kan
diagnosis yang belum dimiliki oleh SIMPUS.
Hal ini menyebabkan petugas pengkodean
masih harus meng-entry-kan kode diagnosis
pada masing-masing kolom isian “Diagnosis
ICPC” dan “Diagnosis ICDX”. Akibatnya kode
yang di-entry-kan pada kolom isian “Diagnosis

Niko Tesni Saputro, dkk. Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis ...

ICPC” terkadang belum setara/sesuai dengan
yang di-entry-kan pada kolom isian “Diagnosis
ICDX”.

5. Method
Method terkait pengkodean diagnosis di
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah
meliputi cara penentuan kode diagnosis dan
Standard Operating Procedure (SOP).
Selama ini petugas pengkodeandalam
menentukan kode diagnosis hanya menggunakan
panduan daftar tabulasi kode diagnosis
yang sering terjadi di Puskesmas Mojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah sebagai acuan dalam
mengkode, bukan buku ICD-10 dan/atau ICPC.
Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara
yang dilakukan terhadap Responden 1sebagai
berikut.
Kan sudah ada panduannya, mas... jadi kita
hanya ikuti panduan itu saja.(responden 1)
Hal ini belum sesuai dengan beberapa peraturan
terkait acuan pengkodean suatu diagnosis.
Berdasarkan Menkes (1998) dan Menkes
(2006), bahwaICD-10merupakan acuan yang
digunakan di Indonesia untu kmengkode
diagnosis.
Selain itu, belum dibuat Standard Operating
Procedure (SOP) secara tertulis terkait kegiatan
pengkodean diagnosis. Hal ini sesuai dengan
hasil observasi atau pengamatan peneliti yang
disajikan dalam tabel Check list Observasi
sebagai berikut.
tabel 2.
Check List observasi
No

Item observasi

1

Terdapat SOP secara tertulis
terkait kegi-atan pengkodean data
diagnosis.

P

Terdapat SOP secara tertulis
terkait peng-gunaan SIMPUS
untuk kegiatan peng-kodean data
diagnosis.

P

2

Y

t

Hal ini memungkinkan terjadinya ketidakseragaman antara satu petugas dengan petugas
lain dalam melakukan suatu pekerjaan yang
sama, kesalahandanpelayanan di bawahstandar
(substandar).

Menurut Lumenta (2001) dalam Maghfiroh
(2013) SOP adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
SOP memberikan langkah-langkah yang benar
dan terbaik untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi. SOP merupakan consensus
bersama menentukan langkah terbaik dalam
memberikan pelayanan, SOP membantu
mengurangi kesalahan dan pelayanan di bawah
standar (substandar) dengan memberikan
langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui
dalam melaksanakan berbagai kegiatan.

SIMPulaN
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktepatan
pengkodean diagnosis di Puskesma sMojolaban
Sukoharjo Jawa Tengah adalah unsur man,machine,
dan method.Unsur man terkait kegiatan klasifikasi dan
kodefikasi penyakit yang dilakukan oleh profesi yang
tidak memiliki kompetensi dalam hal tersebut dan
dalam meng-entry-kan kode diagnosis dilakukan secara
fleksibel.Unsur machine terkait kurang lengkapnya
kode yang tersedia dan istilah yang digunakan dalam
database SIMPUS belum sesuai dengan istilah
diagnosis atau istilah medis, kemampuan mengkonversi
kode ICD-10 dan ICPC secara otomatis dengan hanya
sekali meng-entry-kan diagnosis yang belum dimiliki
oleh SIMPUS yang digunakan. Unsur method terkait
dengan cara penentuan kode yang hanya mengacu pada
daftar tabulasi penyakit yang sering terjadi dan belum
dibuat SOP terkait pengkodean diagnosis.

daftar PuStaKa
Abdelhak, M., Grostik S. A., Jacob, E. (2010).
health Information of A Strategic resource
2nd edition. Philadelphia: Sunders Company.
Arifin, M. (2012). 5M Dalam Manajemen [internet].
http://indonesianpublichealth.blogspot.com
[diaksestanggal 7 September 2013 pukul
23.10 WIB]
Dorland W. A. Newman. (2012). Kamus Saku
Kedokteran Dorland edisi 28.Alih bahasa: dr.
Albertus Agung Mahode, dr. luqman Yanuar
rachman, dr. Aryandhito widhi Nugroho, dr.
Diana Susanto, dr. husni Muttaqin, dr. leo
rendy. Jakarta:EGC Medical Publisher.

63

Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, ISSN:2337-585X, Vol.3, No.1, Maret 2015

Jeff B, Rano I S, Ninawati. (2013). Analisis
Keakuratan Kode Diagnosis Fracture Femur
Pada Dokumen Rekam Medis Periode Tahun
2012 Di RSUD Tidar Kota Magelang. Jurnal
Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
vol.1. No.2. Hal 39-45.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 377/MENKES/SK/II/2007 tentang
Standar Kompetensi Perekam Medis dan
Informasi Kesehatan [internet].http://www.
depkes.go.id/ [diaksestanggal 27 September
2011 pukul 20:16 WIB]
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang
Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
[internet]. Tersedia dalam http://www.depkes.
go.id/ [diaksestanggal 1 Oktober 2013 pukul
15:04 WIB]
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 50/MENKES/SK/I/1998
tentang Pemberlakuan Klasifikasi
StatistikInternasional Mengenai Penyakit
Revisi Kesepuluh ICD-10 Secara Nasional
di Indonesia [internet].Tersedia dalam
http://www.depkes.go.id/ [diakses tanggal 7
Oktober 2013 pukul 22:28 WIB]
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 844/MENKES/SK/X/2006 tentang
Penetapan Standar Kode Data Bidang
Kesehatan [internet].http://www.depkes.
go.id/ [diakses tanggal 7 Oktober 2013 pukul
22:06 WIB]

64

Maghfuroh, K. (2013). Analisis Kode Diagnosis
pada Berkas Rekam Medis dan Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit
berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap
RSUD Panembahan Senopati Bantul
.Karya Tulis Ilmiah(TidakDipublikasikan).
Yogyakarta:Program DIII Rekam Medis
UGM.
Naga, M. A. (2003). Pemanfaatan Kodefikasi
Diagnosis SistemIn ICD-10 bagi Kepentingan
Informasi Media. Jakarta: MR Pustaka.
Puskesmas Mojolaban. (2013). Buku Profil
Puskesmas Mojolaban Sukoharjo Jawa
Tengah Tahun 2013.Jawa Tengah: Puskesmas
Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah
Rismawan, N. (2012). Tingkat Keakuratan Kode
Diagnosis Berdasarkan ICD-10 di Puskesmas
Gondokusuman II Yogyakarta.Karya Tulis
Ilmiah(Tidak Dipublikasikan). Yogyakarta:
Program DIII RekamMedis UGM.
Skurka, M. A. (2003). health Information
Management. Chicago: AHA Press.
Septina M, Sri S, Nurifa’atul M A. (2012). Analisis
Keakuratan Kode Diagnosis Utama Typhoid
Fever Berdasarkan ICD-10 Pada Pasien
Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2011. Jurnal rekam Medis. vol. vI
No. 2. Hal 37-44.

Dokumen yang terkait

KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PENYAKIT BERDASARKAN ICD- 10 DI PUSKESMAS GONDOKUSUMAN II KOTA YOGYAKARTA | Pramono | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 58 194 1 PB

1 2 20

EVALUASI KETEPATAN KODE DIAGNOSIS PENYEBAB DASAR KEMATIAN BERDASARKAN ICD-10 DI RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA | Nuryati | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 41 126 1 PB

0 0 8

HUBUNGAN KELENGKAPAN INFORMASI DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS DAN TINDAKAN PADA DOKUMEN REKAM MEDIS RAWAT INAP | Pujihastuti | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 25 65 1 PB

0 0 5

PENGARUH PENULISAN DIANOSIS DAN PENGETAHUAN PETUGAS REKAM MEDIS TENTANG TERMINOLOGI MEDIS TERHADAP KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS | Sudra | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 99 348 1 PB

0 4 6

TINJAUAN KETEPATAN KODE DIAGNOSIS CEDERA DAN PENYEBAB LUAR CEDERA (EXTERNAL CAUSES) PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT ISLAM “SITI HAJAR” MATARAM | - | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 132 436 1 PB

0 1 9

KAJIAN PENULISAN DIAGNOSIS DOKTER DALAM PENENTUAN KODE DIAGNOSIS LEMBAR RINGKASAN MASUK DAN KELUAR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN WONOGIRI | Mariyati | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 63 214 1 PB

1 1 8

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELENGKAPAN KODE EXTERNAL CAUSE DI RSUD KABUPATEN BREBES | Pratiwi | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 172 575 1 PB

0 0 7

PDF ini PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PUSKESMAS BERBASIS ELEKTRONIK DI PUSKESMAS AMBAL II KABUPATEN KEBUMEN | Santoso | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 1 PB

0 0 4

PDF ini KELENGKAPAN SERTIFIKAT MEDIS PENYEBAB KEMATIAN DAN AKURASI PENYEBAB DASAR KEMATIAN | Wahyuni | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 1 PB

0 1 5

PDF ini STRATEGI KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS BERDASARKAN METODE SWOT | . | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 1 PB

0 1 5