Korelasi Kualitas Tidur Dengan Nyeri Kepala Primer Pada Siswa Siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amlapura Di Kabupaten Karangasem.

(1)

KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI

KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH

MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA

KABUPATEN KARANGASEM

AGUS ANTARA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

i

KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI

KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH

MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA

KABUPATEN KARANGASEM

AGUS ANTARA NIM : 1014068103

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA

KABUPATEN KARANGASEM

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

AGUS ANTARA NIM : 1014068103

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 3 PEBRUARI 2015

Pembimbing I,

dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) NIP 195610101983121001

Pembimbing II,

Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) NIP 195503211983031004

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS NIP 194612131971071001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP 195902151985102001


(5)

iv

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Penguji : dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) Dr. dr. D. P.G. Purwa Samatra, Sp. S (K) Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K)


(6)

v

Dengan ini saya nyatakan bahwa tesis dengan judul “Korelasi Kualitas Tidur dengan Nyeri Kepala Primer pada Siswa-siswi Sekolah Menengah Negeri 1 Amlapura Kabupaten Karangasem” adalah memang benar karya asli saya dan pernyataan ini dapat dipertanggungjawabkan di kemudian harinya.

Denpasar, 19 Pebruari 2015 Yang membuat pernyataan,


(7)

vi

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada pembimbing karya akhir ini, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) dan Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) atas segala bimbingan, masukan dan saran khususnya terkait penyusunan karya akhir ini. Kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingannya khususnya yang berkenaan dengan statistik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M. Kes, Sp. OT (K) atas ijin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah

Ucapan terima kasih juga kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And., FAACS selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu


(8)

vii

Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana FK UNUD/RSUP Sanglah.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MARS dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, dr.Wayan Sutarga, MPHM atas ijin, tempat dan fasilitas yang sudah diberikan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah,dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K) atas kesempatan mengikuti pendidikan ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp. S (K) dan Dr .dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) atas bimbingan, saran dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian hingga ujian akhir tesis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah pada periode 2006-2014 dan dr. A. A. B. N. Nuartha Sp. S (K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah periode 2014-2019, yang telah memberikan kesempatan untuk


(9)

viii

Kedokteran Universitas Udayana pada saat penulis diterima sebagai PPDS neurologi dan Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) selaku Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas kesempatan, fasilitas yang diberikan serta dorongan yang tiada henti kepada penulis untuk mengikuti dan segera menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Kepada dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S sebagai pembimbing akademik, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, didikan, nasehat, motivasi dan petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan.

Kepada seluruh Supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K), dr. A. A. B. N. Nuartha, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K), dr. I. G. N. Budiarsa, Sp. S, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp. S (K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp. S (K), Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K), Dr. dr. Anna Marita G. Sinardja, Sp. S (K), dr. A. A. A. Meidiary, Sp. S, dr. I Komang Arimbawa, Sp. S, dr. I. B. Kusuma Putra, Sp. S, dr. Desak. Ketut. Indrasari Utami, Sp. S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K), dr. Kumara Tini, Sp. S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp. S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp. S, dr. I. A. Sri Indrayani, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I. A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S dan dr. Sri Yenni


(10)

ix

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Lina Kamelia, Sp. S, dr. Yosi P. Silalahi, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I Dewa Ngurah Agung Satriawan, Sp. S, dr. Desie Yuliani, Sp. S dan dr. I Gusti Martin Widanta, M. Biomed, Sp. S yang selalu memberi bimbingan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada semua teman sejawat PPDS-1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan pengertian teman-teman selama penulis mengikuti pendidikan ini, khususnya kepada dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp. S, dr. Bhaskoro A. W. Nugroho, dr I. A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S, dr. Sri Yenni Trisnawari, M. Biomed, Sp. S dan dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp. S. Terima kasih kepada dr. Octavianus Darmawan, dr. Ni Made Dwita Pratiwi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi dan dr. Ayuna Putri Sundari atas bantuannya dalam karya akhir ini. Terima kasih kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah I Wayan Sika Priantha, Ni Putu Oka Swardani, Ni Kadek Arie Ardhiani, Amd, Akun., Ni Made Febriyanti, S. E., dan Ni Wayan Ayu Sukyartini, S. E. atas kerjasama dan bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.

Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura dan Bapak Wakasek Drs. I Nyoman Kanten atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan karya akhir ini.


(11)

x

kasih sayang, doa, nasehat, semangat dan dorongan. Terima kasih kepada saudara-saudara tercinta dan seluruh keluarga besar atas doa dan bantuannya.

Penulis menyadari bahwa karya akhir ini jauh dari kata sempurna baik dari aspek materi maupun penyajiannya, sehingga tetap mengharapkan kritik dan saran dalam perbaikan karya akhir ini.

Terakhir penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak, bila dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap yang kurang berkenan dihati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.

“Ilmu pengetahuan adalah antidot dari segala ketakutan”

Denpasar, Pebruari 2015


(12)

xi

Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan penyakit yang sering dijumpai pada remaja. Keduanya berhubungan secara resiprokal. Prevalesi NKP pada remaja cukup tinggi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan timbulnya NKP antara lain kualitas tidur yang buruk, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan. Gangguan tidur pada remaja sering dikaitkan dengan penurunan prestasi belajar di sekolah dan rendahnya angka kelulusan siswa. Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua tertinggi angka ketidaklulusan siswa dari seluruh kabupaten/kota di Bali. Masih sedikitnya data mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP khususnya di Bali melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.

Penelitian ini merupakan analitik observasional potong lintang dengan pengambilan sampel secara simple random sampling. Analisis deskriptif untuk menentukan karakteristik subyek sedangkan korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dilakukan dengan uji koefisien kontingensi. Data dianalisis dengan programSPSS 16.0 for windows.

Sampel sebanyak 96 orang siswa ini diambil pada bulan September 2014 di SMA Negeri 1 Amlapura didapatkan proporsi kualitas tidur buruk dan NKP yang tinggi (71,87% dan 85,41%) sedangkan kualiatas tidur yang buruk dengan NKP berkorelasi sedang (r = 0,421 dan p < 0,01).

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur buruk akan meningkatkan kemungkinan menderita NKP.


(13)

xii

Primary headache and sleep disturbance are common in adolescent. This two phenomenon has resiprocal relationship. Primary headache prevalence in adolescent is high. There are several factor related to primary headache such as: poor sleep quality, obesity, depression, anxiety, psychological stress and fatique. Sleep disturbance in adolescent assosiated with their low achievement and take an efect to low passing grade in school. The rate of high school unpassing grade students in Karangasem Regency taking second place in Bali.

There are lack of data about the correlation between sleep disturbance and primary headache in adolescent especially in Bali. This research background is to determine relationship between sleep quality and primary headache.

This is an observasional study with cross sectional design and use simple random sampling. Descriptive analysis was performed to determine the correlation between sleep quality and primary headache.

We collected data from ninety six high school students in SMA Negeri 1 Amlapura during September 2014. The reseach found that high proportion of poor sleep quality and primary headache (71,87% and 85,41%), showing significantly moderate positive correlation between poor sleep quality and primary headache (p <0,01; r = 0,421)

This study showed that subject with poor sleep quality more likely suffering primary headache.


(14)

xiii

HALAMAN SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI... ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... xi

ABTRACT... xii

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN... xvii

DAFTAR TABEL... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1. Tujuan Umum ... 7

1.3.2. Tujuan Khusus ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1. Manfaat Akademis... .... 7

1.4.2. Manfaat Praktis... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA.. ... 9

2.1. Kronobiologi dan Irama Sirkadian... 9

2.2. Arsitektur, Anatomi, dan Fisiologi Tidur... 12

2.2.1 Arsitektur tidur... 12


(15)

xiv

2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja……….. 22

2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur………... 29

2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja 29 2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP.. 34

2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP…. 37 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 46

3.1. Kerangka Berpikir ... 46

3.2. Konsep Penelitian ... 48

3.3. Hipotesis Penelitian ... 48

BAB IV METODE PENELITIAN……….. 49

4.1. Rancangan Penelitian……….. 49

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 49

4.3. Ruang Lingkup Penelitian……….. 49

4.4. Penentuan Sumber Data ... 50

4.4.1. Populasi Target ... 50

4.4.2. Populasi Terjangkau ... 50

4.4.3. Kriteria Inklusi ... 50

4.4.4. Kriteria Eksklusi ... .... 50

4.5. Sampel ... .... 51

4.5.1. Besar Sampel ... 51

4.5.2. Teknik Pengambilan Sampel ... .... 51

4.6. Variabel Penelitian ... .... 51

4.6.1. Identifikasi Variabel ... .... 51

4.6.2. Definisi Operasional Variabel ... 52

4.7. Instrumen Penelitian ... 57

4.8. Prosedur dan Alur Penelitian ... 59


(16)

xv

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 67

6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja ... 69

6.3 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP ... 73

6.4 Korelasi Faktor-faktor lain dengan NKP... 78

6.4 Limitasi dan Kelebihan Penelitian ... 80

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA... 83


(17)

xvi

Halaman

2.1 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur ………… 15

2.2 Sirkuit bangun-tidur (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan ventral; (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS……….. 17

2.3 Skema sirkadian manusia………. 18

2.4 Jalur yang menghubungkan retina, SCN, dan badan pineal…. 19 2.5 Struktur anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala……….. 34

3.1. Bagan kerangka berpikir... 46

3.2. Bagan konsep penelitian... 48

4.1. Bagan rancangan penelitian... 49


(18)

xvii

ARAS :Ascending Reticular Activating System ATP :Adenosin Triphosphat

cAMP :cyclic Adenosin Monophosphat BPS : Badan Pusat Statistik

CDH :Chronic Daily Headache

CGRP :Calcitonin Gene Related Peptide CSD :Cortical Spreading Depression DASS :Depression Anxiety Stress Scale DMH :Dorsomedial Hypothalamic

DSM :Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder DSP :Delayed Sleep Phase

DSPS :Delayed Sleep Phase Syndrome EDS :Excessive Daytime Sleepiness EEG : Elektroensefalografi

EOG : Elektrookulografi EMG : Elektromiografi

ESS :Epworth Sleepness Scale GABA :Gamma Aminobutyric Acid HARS :Hamilton Anxiety Rating Scale HPA :Hypothalamus Pituitary Adrenal


(19)

xviii IMT : Indeks massa tubuh

LC :Locus Coeruleus

LDT :Lateral Dorsal Tegmental MSLT :Multiple Sleep Latency Test NKK : Nyeri kepala klaster

NKP : Nyeri kepala primer NREM :Non Rapid Eye Movement OSA :Obstructive Sleep Apnea PAG :Periaquductal Greymatter PP :Pedunculopontine Tegmental PSQI :Pittsburg Sleep Quality Index

REM :Rapid Eye Movement

NPRS :Numeric Pain Rating Scale NREM :Non Rapid Eye Movement SCN :Suprachiasmatic Nucleus

SD :Sleep Deprivation

SLD :Sub Lateral Dorsal SMA : Sekolah Menengah Atas

SPDH : Skala Penilaian Pepresi Hamilton SPZ :Subparaventrikular Zone


(20)

xix SWA :Slow Wave Activity

SWS :Slow Wave Sleep

TMN :Tuberomamillary Nucleus TNC :Trigeminal Nucleus Caudalis TTH :Tension Type Headache VBM :Voxel Based Morphometry VIP :Vasoactive intestinal polypeptide

VLPAG :Ventrolateral Peri-aquaductal Graymatter VLPO :Ventrolateral Preoptic


(21)

xx

Halaman

2.1. Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur….. 14

2.2. Faktor-faktor yang mencetuskan NKP……….. ……. 31

2.3. Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala... 32

2.4 Klasifikasi nyeri kepala yang dikaitkan dengan komponen tidur……….. 36

2.5 Beberapa peranan melatonin dalam patofisiologi nyeri kepala……… 43

5.1 Karakteristik subyek penelitian………. 61

5.2 Kualitas tidur berdasarkan jenis kelamin ……….62

5.3 Kualitas tidur berdasarkan IMT ………. 63

5.4 Proporsi NKP berdasarkan jenis kelamin ……….. 63

5.5 Korelasi kualitas tidur dengan NKP ……….. 64


(22)

xxi

Halaman Lampiran 1 Informasi Pasien... 92 Lampiran 2 Formulir Persetujuan Tertulis... 94 Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data... 95 Lampiran 4 Hasil Penelitian... 104


(23)

1

1.1 Latar Belakang

Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan dua fenomena yang sering dialami oleh segala usia dalam praktik sehari-hari.

Gangguan tidur dan nyeri kronik, salah satunya nyeri kepala, telah lama mendapatkan perhatian. Kedua hal tersebut berhubungan secara resiprokal. Nyeri kepala dapat timbul karena pola tidur yang tidak sehat, sedangkan gangguan tidur bisa terjadi karena nyeri kepala (Doufas dkk., 2012).

Data prevalensi NKP di Indonesia menunjukkan bahwa NKP merupakan salah satu keluhan tersering yang dialami di praktik klinik. Adapun pengamatan terhadap jenis penyakit pasien yang berobat jalan di praktik klinik selama tahun 2003, nyeri kepala menduduki tempat teratas dengan proporsi sekitar 42% dari seluruh pasien neurologi (Sjahrir, 2009).

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dengan 26,67% di antaranya adalah remaja. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 di daerah Bali sendiri jumlah penduduk remaja adalah sekitar 611,033 dari 3.890.757 juta jiwa (atau sekitar 15,70%). Kabupaten Karangasem merupakan kabupaten dengan luas daerah nomor 3 di Bali memiliki penduduk 408,7 ribu jiwa. Besarnya penduduk remaja akan berpengaruh pada pembanguan dari aspek sosial, ekonomi maupun demografi saat ini dan yang akan mendatang. Remaja perlu mendapat perhatian serius karena remaja masuk dalam usia sekolah dan usia kerja dan


(24)

berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan dan sosial (BPS, 2010; Wahyuni dan Rahmadewi, 2011).

Masalah kesehatan yang sering dialami remaja adalah nyeri kepala. Pada penelitian internasional berbasis populasi anak dan remaja melaporkan tingginya prevalensi nyeri kepala pada golongan tersebut yaitu berkisar antara 23-51%. Tingginya prevalensi nyeri kepala pada remaja tentunya berimbas pada kehidupan remaja tersebut dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup mereka yang salah satunya dapat dinilai melalui penurunan prestasi di sekolah (Falafigna, dkk., 2010;King dkk., 2011).

Lewis (2002) melakukan penelitian epidemiologi terhadap 9000 orang anak-anak dan remaja, mendapatkan prevalensi nyeri kepala anak usia 7 tahun sekitar 37%-51% dan prevalensi pada remaja usia 15 tahun berkisar 57%-82%.

Suatu penelitian observasional mengenai chronic daily headache (CDH) di Kanada terhadap 70 orang remaja laki-laki dan perempuan berusia kurang dari 18 tahun mendapatkan hasil bahwa 77% peserta penelitian mengalami rekurensi nyeri kepala sebelum berkembang menjadi CDH. Migren dantension tipe headache (TTH) kronik merupakan 2 jenis NKP terbanyak diderita pada penelitian tersebut (Seshia dkk, 2008).

Penelitian mengenai nyeri kepala pada usia remaja yang dilakukan di Medan oleh Sjahrir dan Nasution (2003) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mendapatkan hasil perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (88% dan 78%).


(25)

Prevalensi migren mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala pada populasi umum (Adnyana, 2012).

Nyeri kepala primer pada remaja dapat bersifat kronik dan berkaitan dengan keluaran yang tidak menguntungkan. Suatu studi kohort yang dilakukan terhadap 103 subyek dengan waktu pengamatan selama 8 tahun menyimpulkan bahwa remaja yang mengalami perubahan menjadi CDH memiliki skor disabilitas lebih tinggi (Wang dkk., 2009).

Penelitian di Denmark memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mencetuskan migren dan TTH dianta awitan umur, menstruasi, kehamilan, penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal, gaya hidup yang mencakup aktivitas fisik, merokok, konsumsi kopi, alkohol, stres mental dan pola tidur. Pada penelitian tersebut stres mental, konsumsi alkohol dan pola tidur berkorelasi sangat signifikan dengan timbulnya migren dan TTH. Sedangkan studi di Brazil pada 200 orang responden yang mengalami kekambuhan migren, sekitar 81% responden memiliki masalah tidur (Rassmusen, 1993; Fukui dkk., 2008).

Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis bagi manusia. Tidur yang tidak adekuat dan berkualitas buruk dapat menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis (Craven dan Hirnle, 2000).

Dampak fisiologis dan psikologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, kelelahan, respon motorik terganggu, penurunan daya tahan tubuh, stres, depresi dan cemas (Moldolfsky, 2001).


(26)

Gangguan tidur telah lama dikaitkan dengan nyeri, termasuk nyeri kepala. Namun demikian belum banyak penelitian yang memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan tidur pada penderita NKP (Houle dkk., 2012).

Sancisi dkk. (2010) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 105 pasien dengan NKP episodik, mendapatkan prevalensi gangguan tidur terutama insomnia cukup tinggi pada penderita nyeri kepala tersebut.

Beberapa penelitian telah memberikan informasi yang mendukung hubungan antara gangguan tidur dan nyeri kepala pada populasi umum. Namun penelitian yang memberikan informasi mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP pada populasi remaja masih terbatas.

Tidur yang tidak adekuat merupakan masalah kompleks yang dialami oleh remaja. Tidur yang tidak adekuat meliputi berkurangnya durasi tidur, kualitas dan konsistensi tidur yang rendah. Berdasarkan penelitian mengenai kecukupan tidur pada anak dan remaja, waktu tidur yang adekuat untuk usia remaja adalah sekitar 9-10 jam tiap malamnya untuk mendapatkan fungsi optimal kemampuan mereka di sekolah, regulasi mood, proses kognitif meliputi ketangkasan reaksi dan atensi, dan kesehatan secara menyeluruh (Moran dan Everhart, 2012).

Dampak dari tidur yang tidak adekuat apabila berlangsung terus menerus dapat menurunkan prestasi belajar dan angka kelulusan remaja di sekolah.

Berdasarkan data ujian akhir nasional dari Disdikpora pada tahun 2014, Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Buleleng untuk angka ketidaklulusan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bali, yaitu 16%.


(27)

Faktor psikososial pada pubertas merupakan stresor eksternal yang mempengaruhi kehidupan usia remaja misalnya meningkatnya keinginan untuk mandiri, tanggung jawab akademik dan meningkatnya aktivitas sosial pada remaja menyebabkan pengurangan durasi tidur. Secara internal, terjadi pula perubahan biologis yang mempengaruhi durasi tidur remaja. Keterlambatan fase sirkadian selama perkembangan usia remaja menyebabkan memanjangnya latensi tidur remaja (Carskadon dkk., 1998; Moran dan Everhart, 2012).

Inkonsistensi dan pengurangan durasi tidur pada remaja mengakibatkan gangguan sosial, pekerjaan dan fungsi lain sehingga dapat digolongkan sebagai suatu Delayed Sleep Phase Syndrome (DSPS) yang tergolong gangguan irama sirkadian menurut International Classification of Sleep Disorder (ICSD-Revised). Akibat durasi tidur tidak adekuat dan kualitas tidur buruk menyebabkan berbagai efek yang beragam mulai dari kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan kesulitan untuk mempertahankan perhatian, kapabilitas kognitif menurun khususnya untuk melakukan aktivitas yang kompleks. Beberapa penelitian mengatakan menurunnya fungsi ekskutif terjadi pada remaja yang lebih sering mengalami kantuk. Pembatasan durasi tidur dan buruknya kualitas tidur yang kronik dapat berpengaruh buruk pada kesehatan remaja secara menyeluruh selain dampaknya pada fungsi kognitif (El Gendy dkk., 2009; Moran dan Everhart, 2012).

Nyeri kepala dan gangguan tidur sering terjadi pada usia remaja dan bisa muncul bersamaan pada satu individu. Nyeri kepala bisa timbul saat tidur, setelah tidur dan diduga berhubungan dengan beragam fase tidur. Penelitian di Italia, seperti yang


(28)

dikutip oleh Linawaty dkk. (2013) menunjukkan anak-anak dan remaja dengan migren diketahui memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak dan remaja yang tidak menderita migren. Hubungan antara kedua fenomena ini membuat beberapa peneliti mengajukan hipotesis peranan faktor kronobiologis pada nyeri kepala khususnya migren. Keterlibatan hipotalamus diduga sangat berperanan dalam hubungan keduanya. Serangan migren dapat berpola sesuai dengan perubahan waktu sirkadian. Hal tersebut yang melandasi kemungkinan keterlibatan mekanisme kronobiologi pada migren.

Beberapa indeks pengukuran telah digunakan untuk menilai kualitas tidur pada berbagai kelompok populasi. Salah satu indeks pengukur kualitas tidur yang lazim digunakan adalah The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) dengan pemeriksaan 7 komponen tidur yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari. Instrumen ini mengukur kualitas tidur secara subyektif dan memberikan dua keluaran yaitu kualitas tidur baik ataupun buruk (Buysse, 1989).

Berdasarkan data yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlunya dilakukan suatu penelitian untuk mencari masalah kesehatan yang mungkin bisa menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan menurunnya prestasi belajar remaja di daerah Karangasem. Terlebih lagi, daerah Bali, khususnya Karangasem, belum memiliki data mengenai masalah kesehatan pada remaja. Tingginya prevalensi nyeri kepala dan gangguan tidur pada remaja serta kurangnya penelitian yang memberikan informasi


(29)

mengenai hubungan tidur dengan nyeri kepala primer melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.2.1 Apakah terdapat korelasi antara kualitas tidur dengan NKP pada remaja? 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui adanya korelasi kualitas tidur dengan NKP pada remaja 1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui proporsi NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura

2. Mengetahui proporsi kualitas tidur siswa-siswi SMA Negeri1 Amlapura

3. Mengetahui korelasi kualitas tidur dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura

4. Mengetahui korelasi faktor-faktor lain dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar proporsi kualitas tidur dan NKP pada remaja serta korelasi antara keduanya sehingga dapat diketahui besarnya masalah untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang.


(30)

1.4.2 Manfaat praktis

Dengan mengetahui adanya korelasi antara kualitas tidur dan faktor-faktor lain dengan NKP pada remaja diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan khususnya dokter dalam menangani NKP yang berhubungan dengan masalah tidur dengan jalan memberikan informasi kepada remaja mengenai pola tidur yang baik. Dalam bidang pendidikan dapat dipakai sebagai sumber data dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa.


(31)

9

2.1 Kronobiologi dan Irama Sirkadian

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki mekanisme jam biologis. Irama biologis tidak hanya meliputi waktu istirahat dan waktu beraktifitas makhluk hidup tersebut, namun kehidupan itu sendiri merupakan proses fisiologi dan ritme biologis memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Bohm, 2012).

Kronobiologi menjelaskan mengenai ritme biologi dan meliputi irama atau siklus tahunan, siklus lunar atau 29,5 hari, harian, ataupun siklus yang berulang di bawah 24 jam. Tubuh manusia memiliki kemampuan internal mengukur waktu dalam tubuh. Sistem sirkadian ini terorganisasi secara pola hirarki dan pacemaker sentral yang mensinkronisasi osilator sirkadian seluler pada badan-badan sel paling perifer. Jam biologis ini meliputi pengaturan irama fungsi-fungsi tubuh seperti tekanan darah, kadar hormonal, temperatur tubuh, dan tentu saja siklus bangun tidur. Osilator sirkadian terdiri dari kurang lebih 20.000 neuron-neuron jam biologis/clock neurons yang terletak di suprachiasmatic nucleus (SCN) daerah ventrolateral. Nukleus ini merupakan “master clock” dalam tubuh manusia yang berlokasi secara bilateral di bagian anterior hipotalamus, di atas kiasma optikum. Bila terjadi kerusakan pada SCN maka irama sirkadian bangun tidur menjadi tidak teratur lagi (Mahdi dkk, 2011; Bohm, 2012).

Selain berfungsi sebagai pengatur fungsi-fungsi fisiologis, SCN juga berperanan penting dalam mensinkronisasi tubuh dengan waktu eksternal, memberikan respon


(32)

terhadap “zeitgeber” utama, yaitu matahari, yang silih berganti dengan keadaan gelap. Setiap manusia memiliki waktu tersendiri dimana waktu sirkadian endogen mengalami sinkronisasi dengan waktu harian yaitu selama 24 jam. Hal ini disebut sebagai kronotipe dan dipengaruhi oleh faktor genetik serta keadaan karakteristik individu, misalnya umur dan jenis kelamin. Penting untuk diketahui bahwa kronotipe masing-masing individu menentukan durasi tidur seseorang, sehingga sering didapati orang dengan waktu tidur lama atau sebaliknya. Siklus gelap terang, irama biologis tubuh, dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kronotipe seseorang (Bohm, 2012).

Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme humoral, fisiologis, dan tingkah laku tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2 faktor yang saling bertolak belakang, yaitu : (1) drive homeostatik untuk tidur yang meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan (2) irama sirkadian yang mempromosikan status terjaga (wakefulness). Faktor sirkadian berarti variasi fisiologis dalam hal tidur-bangun (waktu, durasi, dan karakteristik lain) menurut siklus tertentu seharian. Pada pagi hari setelah bangun pagi, drive homeostatik untuk tidur, secara nyata menjadi sangat rendah bahkan nol, keluaran SCN rendah seperti yang terlihat dalam rekamanintracerebral firing rate. Drive homeostatik secara gradual meningkat sepanjang hari dan perkembangannya dihambat oleh meningkatnya output SCN. Saat pagi,drivehomeostatik yang mulai menurun dibatasi oleh pengaruhcircadian arousal yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk mengantuk yaitu jam 2 dini hari hingga jam 6 pagi dan jam 2 siang hingga jam 6 sore. Periode yang pertama jauh lebih kuat daripada yang kedua (Chokroverty, 2010).


(33)

Cahaya mempengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansi yang erat kaitannya dengan dengan pola sirkadian tubuh seperti misalnya kortisol, serotonin, dan terutama melatonin. Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya mengikuti irama sirkadian. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam hari. Namun dengan adanya perubahan fungsi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) berpengaruh terhadap produksi kortisol. Pada beberapa keadaan gangguan aksis HPA, misalnya fibromialgia produksi kortisol diurnal cenderung tidak mengalami peningkatan namun terjadi lonjakan kadar kortisol pada malam harinya. Sedangkan pada sleep deprivation (SD) juga terjadi perubahan kadar kortisol. Kadar kortisol meningkat secara perlahan sepanjang paruh kedua tidur dengan kenaikan tajam sebelum waktu bangun fisiologis (Mahdi dkk, 2011, Bohm, 2012).

Beberapa sitokin dihasilkan secara konsisten mengikuti irama diurnal dengan kadar puncak sepanjang malam terutama saat dini hari, saat dimana kadar kortisol terendah dan melatonin dalam kadar tertinggi. Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin proinflamasi yang kadarnya meningkat pada orang-orang dengan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan aktivitas inflamasi melalui reaktivasi stres. Gangguan fungsi aksis HPA menyebabkan peningkatann kadar IL-6. Sleep deprivation yang terjadi selama 36 jam meningkatkan kadar IL-6. Peningkatan kadar sitokin ini diduga berhubungan dengan kondisi mengantuk dan kelelahan setelah SD (Mahdi dkk, 2011; Prather dkk., 2014).

Produksi melatonin biasanya terjadi di malam hari (secara subyektif). Produksi melatonin mengaktivasi hipotalamus yang pada akhirnya menyebabkan penurunan


(34)

histamin dan oreksin, dua substansi yang meningkatkan kewaspadaan. Melatonin merupakan mediator antara stimulus cahaya eksternal dengan adaptasi fisilogis tubuh sepanjang siang dan malam dan memfasilitasi kecenderungan untuk tidur yang meningkat saat malam dan menurun di kala siang hari (Mahdi dkk, 2011).

Kronotipe remaja adalah cenderung terlambat untuk memulai tidur. Remaja yang berumur 12 tahunan, yang memulai awitan akil balik, mulai mengalami keterlambatan fase tidur dan akan mencapai puncak keterlambatan saat berumur 20 tahun. Roennerberg dan Kuehnle (2004) memperkirakan perubahan irama internal ini sebagai suatu “marker biologis pertama yang menunjukkan akhir fase remaja”. Remaja perempuan cenderung mengalami puncak keterlambatan tidur saat berusia sekitar 19, 5 tahun, sedangkan remaja laki-laki saat umur 20, 9 tahun. Keterlambaan fase tidur laki-laki dibandng wanita akan berlangsung hingga umur 50 tahunan.

2.2 Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur 2.2.1 Arsitektur tidur

Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan neurokognitif terlibat dalam tidur, seperti halnya pula fungsi imunologis (Curcio dkk, 2006; Lange dan Born, 2011).

Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi protein, yang lebih bergeser ke arah proses sintesis. Sintesis protein otak, asam nukleat


(35)

di seluruh tubuh, dan sintesis adenosin triphosphate (ATP) mencapai tingkat yang lebih tinggi pada saat tidur (Lumbantobing, 2008).

Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur. Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).

Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG), tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus, yaitu :

1. Tidur Non-Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu : - Tingkat 1 (tidur ringan)

- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi)

- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat) 2. Tidur REM

Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing, 2008; Chokroverty, 2010).

Pada manusia dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur gelombang lambat atauslow wave sleep(SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 % dari setiap waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium 1-4 sesuai dengan kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-K). Sedangkan


(36)

berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3. Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu tidur keseluruhan. Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010).

Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.

Tabel 2.1

Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun tidur (Chokroverty, 2010)

Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM

Postur Mobilitas Respon terhadap stimulasi Tingkat kewaspadaan Kelopak mata Gerakan mata EEG

EMG (tonus otot) EOG Berdiri, duduk Normal Normal Waspada Terbuka Waking eye movement Gelombang alfa, desinkronisasi Normal Waking eye movement Berbaring Postural shift, immobile Menurun Tidak sadar tapi reversibel Tertutup

Slow rolling eye movement Sinkronisasi Sedikit menurun Slow rolling eye movement Berbaring Immobile, myoclonic jerks Menurun, bahkan tidak berespon Tidak sadar tapi reversibel Tertutup Rapid eye movement

Thetha, saw tooth wave Desinkronisasi Menurun bahkan tidak ada, Rapid eye movement

2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur

Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama mempengaruhi pengaturan temperatur tubuh, metabolisme, dan fungsi imunologi. Pada susunan saraf


(37)

manusia, instruksi genet genetik yang lebih tingg neuronal subkortikal yan yang dijelaskan oleh gamba

Gambar 2.1 Substrat a Hobson, 2002 Jam sirkadian molekul yang berlokasi secara bil tersebut mengandung meka terhadap siklus siang mala

Setelah demikian lam bangun-tidur, ternyata me

netik diekspresikan secara progresif pada leve nggi, sintesis protein, dan hubungan dinamis

ang terlibat dalam membentuk substrat anatomi mbar dibawah ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002

t anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur (Pac on, 2002).

olekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000 bilateral di hipotalamus, tepat di atas kiasma opt

ekanisme “master clock” yang mengatur ritme fis alam selama 24 jam (Pace-Schott dan Hobson, 2002 lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekani

mekanisme irama biologis juga melibatkan strukt

evel transkripsi is antar bagian omi tidur seperti on, 2002).

Pace-Schott dan 20.000 sel-sel SCN optikum. Sel-sel fisiologis tubuh on, 2002).

kanisme kontrol uktur lain selain


(38)

selain SCN yang berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur tersebut antara lain nukleus paraventrikular padasubparaventrikular zone(SPZ), daerah hipotalamus yang menerima sejumlah besar proyeksi dari SCN, dan nukleus dorsomedial hypothalamic (DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ (Pace-Schott dan Hobson, 2002).

Substrat neuanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara berbagai pusat yang terletak di rostral batang otak dan korteks seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh ascending reticular activating system (ARAS) dan jalur inhibisinya yang berproyeksi melalui nukleus-nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral batang otak ke talamus dan basal forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi yang terlibat dalam mekanisme tersebut. Jalur pertama melalui bagian dorsal, yaitu neuron-neuron kolinergikpedunculopontine tegmentalataulateral dorsal tegmental (PPT/LDT) yang mengeksitasi neuron-neuron retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah melalui bagian ventral yang meliputi hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut bermula dari nukleus locus coeruleus (LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus rafe dorsalis yang bersifat serotonergik, nukleus di daerah ventral periaquductal greymatter (PAG) yang bersifat dopaminergik, tuberomamillary nucleus (TMN) yang bersifat histaminergik, serta hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan oreksin dan melanin-concentrating hormone. Kelompok neuron-neuron tersebut lebih aktif saat fase bangun dibandingkan tidur non-REM dan tidak menunjukkan aktivitas selama tidur REM (gambar 2.2 A)


(39)

Ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam sirkuit inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi oleh ARAS disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek distabilisasi oleh neuron-neuron oreksin dan neuron-neuron yang mengandung melanin-concentrating hormone di daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme aktivasi/inhibisi secara spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-neuron VLPO yang aktif saat tidur tersebut menghasilkan neurotransmiter inhibisi gamma-aminobutyric acid (GABA) dan galanin (gambar 2.2 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).

Gambar 2.2 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS (Fuller dkk., 2006)

Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur, aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH yang mengandung banyak neuron oreksin, yang pada akhirnya berproyeksi menuju


(40)

VLPO. Lesi pada daerah DMH menyebabkan penurunan amplitudo sirkadian dan temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat hubungan daerah tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls transinaptik retrograd yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN melalui DMH. Proyeksi ini kemudian diteruskan ke nukleus VLPO di hipotalamus kemudian ke nukleus noradrenergik di LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC (Pace-Schott dan Hobson, 2002).

Gambar 2.3 dan 2.4 di bawah ini menunjukkan skema sirkadian manusia saat siang dan malam dan jalur yang terlibat dalam pengontrolan bangun-tidur mulai dari retina ke hipotalamus (traktus retinohipotalamus).

Gambar 2.3Skema sirkadian manusia (Culebras dkk., 2007)

Serat-serat saraf retinal postgalionik membentuk traktus retinohipotalamik menuju ke SCN. Kemudian ke ganglion servikalis superior yang akhirnya mencapai badan


(41)

pineal. Sistem neuronal di oleh cahaya (Culebras dkk., 2007

Gambar 2.4 Jalur (Shne Impuls lainnya dari superior, dan SPZ. Nukle ini dipengaruhi oleh mel tidur (Shneerson, 2005).

Aktivasi reseptor α konsentrasicyclic adhenos arylalkilamine N-acetyltr Irama harian sekresi me berlokasi di SCN. Gamb SCN dengan sekresi mela

l di retina distimulasi oleh situasi gelap dan da dkk., 2007).

lur yang menghubungkan retina, SCN dan ba hneerson, 2005)

ri sel ganglion retina mencapai daerah pretektu Nukleus kolinergik PPT atau LDT juga berproyeksi ke

elatonin yang menginhibisi aktivitas SCN dan m ).

α-1 dan β-1 adrenergik di badan pineal m adhenosin monophosphat (c-AMP) dan kalsium serta

ltransferase yang mengawali sintesis dan produk melatonin dikontrol oleh “master pacemaker” e bar 2.3 juga menjelaskan hubungan temporal ant elatonin dalam periode 24 jam (Culebras dkk., 2007

dapat diinhibisi

n badan pineal ktum, kolikulus ksi ke SCN. Jalur n menyebabkan

meningkatkan ta mengaktivasi oduksi melatonin. endogen yang antara aktivitas dkk., 2007).


(42)

Substrat neuroanatomi tidur REM dan NREM berlokasi pada bagian susunan saraf pusat yang berbeda. Tidak ada pemisahan antara keduanya dengan pusat pengaturan bangun tidur, namun kedua fase tidur ini dihasilkan oleh perubahan pada sistem interkoneksi neuronal yang dimodulasi oleh neurotransmiter dan neuromodulator. Substrat neuroanatomi tidur REM diperkirakan adalah pada area kecil di tegmentum pontin dorsolateral yaitu sublaterodorsal (SLD) yang berhubungan dengan dorsal subcoeruleus atau perilocus coeruleus alpha. Selama tidur NREM dan fase terjaga, neuron pada SLD akan diinhibisi (hiperpolarisasi) oleh input GABA-ergik dari neuron REM-off GABA-ergik REM yang berlokasi di SLD, mesensefalon dan nukleus retikularis pontin, serta ventrolateral periaquaductal graymatter (VLPAG) seperti halnya dengan neuron REM-off monoaminergik. Neuron-neuron GABA-ergik dan glutaminergik memainkan peranan penting dalam tidur REM. Neuron GABA-ergik bertanggung jawab terhadap inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM. Neuron kolinergik tidak memainkan peranan dalam aktivasi REM (Chokroverty, 2010).

2.3 Gangguan Tidur pada Remaja

2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja

Fase remaja adalah fase tumbuh kembang dengan karakteristik terdapat perubahan penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, dan emosional sesuai perkembangan biologis, serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Pada remaja terdapat perubahan dramatis dalam pola tidur-bangun meliputi durasi tidur berkurang, waktu tidur tertunda, dan perbedaan pola tidur pada hari kerja


(43)

dan akhir pekan sehingga kualitas tidur remaja juga cenderung berkurang (Mindell dan Owens, 2003).

Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian epidemiologi mengungkapkan bahwa jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Ohida dkk., (2004) menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada siswa sekolah menengah bervariasi yaitu 15,3%-39,2%. Sedangkan menurut hasil penelitian Bruni dkk., (1996), prevalensi gangguan tidur pada remaja adalah 73,4%.

Uji tapis gangguan tidur pada anak dilakukan oleh Haryono dkk., (2009) pada remaja usia 12-15 tahun di Jakarta Timur mendapatkan hasil prevalensi gangguan tidur sebesar 62,9% dengan jenis gangguan berupa gangguan transisi tidur-bangun.

Suatu analisis terhadap 28 studi epidemiologi memberikan data bahwa insomnia berhubungan dengan gangguan psikologis yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya depresi, gangguan cemas, alkohol, dan penyalahgunaan obat, penurunan imunitas tubuh, serta percobaan bunuh diri. Gangguan tidur bahkan disebutkan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Leger dkk., 2008).

Gangguan tidur pada remaja dapat berupa kurangnya durasi, kualitas, dan kuantitas tidur. Terdapat kesepakatan antara peneliti mengenai kebutuhan tidur remaja yaitu kurang lebih 9-10 jam setiap malam agar tercapai fungsi biologis tubuh yang optimal seperti misalnya regulasi mood dan fungsi kognitif yang baik. Menurut suatu survei nasional mengenai pola tidur remaja di Amerika serikat, ternyata hanya 20% remaja berumur 11-17 tahun yang memenuhi kebutuhan tidur malam selama 9 jam sedangkan 45% tidur kurang dari 8 jam (Moran dan Everhart, 2012).


(44)

Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa 30% remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan gangguan tidur. Hampir 20% mengeluh mengantuk sepanjang siang hari (daytime sleepiness), 13,8% mengalami tidur non restoratif, 12,4% mengeluh sulit untuk jatuh tertidur, sedangkan 9,25% mengeluh kesulitan mempertahankan tidur (Moran dan Everhart, 2012).

Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14%-33% remaja mengalami masalah tidur, 10%-40% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami SD sesaat dan SD skala menengah (Liu dkk., 2008).

Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20%-57% dalam aspek waktu mulai tidur malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh, dan parameter tidur polisomnografi. Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40%-70% (Liu dkk., 2008). 2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja

Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional. Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur, dan mengantuk di siang hari. Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime sleepiness(EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008).

Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada akhirnya akan menyebabkan SD. Faktor intrinsik dan lingkungan memainkan peranan


(45)

dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian mereka yang cenderung akan menjadi lebih lambat dalam hal keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara fisiologis remaja memang mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa faktor ekternal seperti kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat malam hari membuat keterlambatan fase tidur lebih parah. Demikin pula dengan kegiatan sosial remaja di sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat menyebabkan kecenderungan remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar (Lund dkk., 2010).

Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada anak-anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan pergeseran irama sirkadian. Rerata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6 tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam non-REM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan non-REM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple sleep latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebuuhan tidur remaja. Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi keterlambatan fase sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan secara progresif (Hoban, 2010).


(46)

Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik. Penggunaan komputer atau internet, game video, telepon, lazim digunakan oleh remaja mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan risiko lateni tidur dan mengurangi waktu tidur anak dan remaja (Hoban, 2010;Schochat dkk., 2010).

Pola tidur remaja dipengaruhi pula dengan sangat kuat oleh keterlambatan fase tidur sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama sirkadian terutama tipedelayed sleep phase(DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan gangguan memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut malam dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan terjadinya DSP (Hoban, 2010).

Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang menjelaskan tentang kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami selama periode tidur. Komponen-komponen yang kualitas tidur dapat diukur secara obyektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara subyektif dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan PSQI (Pilcher dkk., 1997).

Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Penurunan kualitas


(47)

tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan, mengantuk di siang hari, dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997).

Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun.

Gangguan ini dapat mempengaruhi aktifitas fungsi sistem saraf pusat yang selama periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk., 2011).

Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas marah, sulit berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme (Lumbantobing, 2008).

Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan salah, dan memilih kata yang salah (Lumbantobing, 2008).


(48)

Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan faktor-faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan, depresi, kelelahan, dan nyeri somatik. Penelitan tersebut menyebutkan bahwa rerata waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan, kecemasan, depresi, kelelahan, dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal tidur,dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi, dan komputer atau internet (Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012).

Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur meningkat. Hiperaktivitas neuroendokrin berkontribusi terhadap kondisihyperarousal


(49)

seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadian-kejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012).

Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindroma DSP adalah adanya keterlambatan waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan, jadwal aktivitas lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan amat sulit bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis, dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008).

Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS. Stadium tidur ini maksimal pada usia kanak-kanak dan menurun sekitar 40% saat dekade kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan gelombang delta dan theta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2 meningkat. Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara signifikan. Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi otak secara fundamental sepanjang masa remaja (Bohm, 2012).


(50)

Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012).

Remaja dengan sindroma DSP akan mengalami SD secara kronik dan akan mengalami “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk bangun secara ekstrem dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini merupakan salah satu faktor yang ditengarai mendasari sindroma ini disamping adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012).

Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan harian dan distres klinik yang signifikan. Suatu penelitian berbasis populasi menyatakan bahwa sebanyak sekitar 10,7% remaja usia 13-16 tahun pernah mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% sedang mengalami insomnia. Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling prominen dari kualitas tidur yang buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga berkontribusi menimbulkan insomnia pada remaja.


(51)

Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindroma DSP, insomnia, dan sleep-related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi hari (Calhoun dan Ford, 2007).

2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur

2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja

Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah kepala termasuk meliputi daerah wajah, tengkuk dan leher (PERDOSSI, 2013).

Beberapa bentuk nyeri kepala yang digolongkan sebagai NKP adalah migren (umum dan aura), TTH, nyeri kepala klaster (NKK), dan yang tergolong NKP lainnya (PERDOSSI, 2013):

Beberapa mekanisme diajukan sebagai dasar patofisiologi migren kronik meliputi inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, defek pada modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus dan kombinasi keempat mekanisme tersebut (Gilman dkk., 2007).

Insiden NKP meningkat dan mencapai puncak di usia 13 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada penelitian berbasis populasi pada remaja umur 11-12 tahun, lebih dari 90% mengalami keluhan NKP jenis apapun dalam setahun (Gilman dkk., 2007).

Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dialami pada populasi umum, demkian pula pada anak dan remaja. Prevalensi nyeri kepala pada populasi usia sekolah berdasarkan 50 penelitian berbasis populasi di Amerika dan Eropa bahwa sekitar 58,7% anak sekolah mengalami nyeri kepala dalam satu bulan. Terdapat tendensi meningkatnya prevalensi NKP pada anak dan remaja sesuai umur 11 tahun


(52)

sampai 17 tahun yaitu 45,2%-78,7%. Nyeri kepala primer yang dialami oleh remaja tidak menunjukkan (Straube dkk., 2013).

Prevalensi migren pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala yang didapat pada populasi umum (Adnyana, 2012).

Berbagai laporan mengenai faktor predisposisi timbulnya NKP yaitu stres, kecemasan, kelelahan, menstruasi, gangguan tidur, relaksasi setelah stres, melewatkan waktu makan, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi, ketinggian, paparan sinar yang berkedip atau cahaya yang benderang, suara yang keras, aroma minyak wangi dan bahan kimia, perubahan postural, aktivitas fisik, batuk, faktor makanan (coklat, keju, minuman beralkohol khususnya anggur merah, jeruk, makanan yang mengandung monosodium glutamat, nitrat atau aspartat), pemakaian dan efek putus obat kokain (Silberstein, 2002; Fragoso, 2003).

Menurut Kutlu dkk. (2010) yang meneliti faktor-faktor pencetus NKP terutama migren di Turki, terdapat berbagai faktor lain sebagai pencetus. Faktor stres psikologis, suara, gangguan tidur dan kelelahan merupakan kontributor pencetus NKP yang paling umum.

Tidur merupakan faktor pencetus yang unik karena di satu sisi kekurangan tidur dapat memprovokasi nyeri kepala, di sisi lain tidur dapat meredakan nyeri kepala. Kualitas tidur yang menurun berhubungan langsung dengan timbulnya serangan migren dan seringkali tidak dapat dijelaskan secara eksklusif oleh komorbiditasnya dengan depresi atau gangguan cemas pada individu yang sama. Terbangun saat malam


(53)

hari yang terjadi secara kronik dan pola timbulnya nyeri kepala saat pagi hari merupakan hal yang mendasari pemikiran bahwa gangguan tidur memicu timbulnya nyeri kepala. Hipotalamus sebagai pusat otonom mengatur homeostatik tubuh dan mengontrol nyeri. Hipotalamus dan area pada batang otak yang terkoneksi secara anatomi bertanggung jawab terhadap gejala kronobiologi pada beberapa jenis nyeri kepala primer. Pada penelitian di Turki ini, gangguan tidur merupakan faktor pemicu NKP tersering yang ketiga setelah stres psikologis dan faktor lingkungan (Alstadhaug, 2006).

Tabel berikut ini mengklasifikasikan faktor-faktor pencetus timbulnya NKP. Tabel 2.2

Faktor-faktor yang mencetuskan NKP (Silberstein, 2002) Faktor-faktor pencetus nyeri kepala primer

1. Faktor internal : - Genetik - Hormonal - Stres - Kecemasan - Kelelahan - Gangguan tidur

- Perubahan pola atau kebiasaan (misalnya pola makan, kebiasaan kerja)

- Perubahan postural - Aktivitas fisik - Batuk

2. Faktor eksternal :

- Makanan (coklat, keju, jeruk, alkohol) dan rokok - Perubahan cuaca

- Kelembaban yang tinggi - Ketinggian

- Paparan cahaya yang berkedip dan benderang - Suara keras


(54)

Beberapa teori telah dikemukakan para ahli untuk menjelaskan patofisiologi nyeri kepala primer khususnya migren. Demkian pula perubahan NKP episodik yang bertransformasi menjadi NKP kronik. Adapun mekanisme yang diperkirakan mendasari proses ini yakni inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, gangguan modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus, dan kombinasi seluruh mekanisme tersebut (Peres dkk., 2001).

Keterlibatan hipotalamus dalam patofisiologi NKK telah diketahui sejak lama. Hipotalamus diperkirakan pula memiliki peranan dalam terjadinya NKP lainnya seperti migren terutama dalam bentuk migren kronik. Beberapa jalur dan sistem seperti jalur hipotalamik-tuberoinfundibular (prolaktin dan hormon pertumbuhan), aksis HPA yang memproduksi kortisol, dan peranan badan pineal dalam patofisiologi migren (Peres dkk., 2001).

Secara umum struktur neuroanatomi yang terlibat dalam patofisiologi NKP dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3

Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala (Silberstein dkk., 2002)

Orde Struktur Keterangan

Pertama Ganglion trigeminalis Berlokasi di fossa cranii media

Kedua Kompleks trigeminoservikal (melalui traktus kuintotalamik)

Trigeminal Nucleus Caudalis (TNC) dan dorsal horn C1, C2 medulla spinalis servikalis (lamina I/II)

Ketiga Talamus Kompleks ventrobasal dan

nukleus medialis


(55)

Selama serangan migren, serabut saraf sensoris melepaskan peptida-peptida yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Serabut saraf yang berasal dari ganglion trigeminovaskular mengandung substansi P, calcitonin gene-related peptide(CGRP), neurokinin A, yang diproduksi apabila sistem trigeminovaskular distimulasi. (Silberstein dkk, 2002).

Peptida-peptida ini bertanggung jawab terhadap suatu respon inflamasi steril pada duramater dan menyebabkan sensitisasi pada serabut saraf sensoris terhadap stimulus non noksius terdahulu (misalnya pulsasi pembuluh darah, atau perubahan tekanan vena). Sensitisasi tersebut bermanifestasi sebagai peningkatan mekanosensitivitas intrakranial dan hiperalgesia yang diperberat dengan batuk atau gerakan kepala yang mendadak. Kadar CGRP ditemukan meningkat pada vena jugularis selama serangan migren berlangsung dan normal kembali setelah pemberian sumatriptan yang kemudian meredakan nyeri kepala.Vasoactive intestinal polypeptide(VIP) dan CGRP merupakan petanda aktivasi saraf parasimpatis intrakranial yang banyak ditemukan pada penderita NKP kronik (Silberstein dkk., 2002).

Nukleus batang otak termasuk di antaranya PAG, LC, dan nukleus rafe dorsalis tidak aktif sebagai respon terhadap timbulnya nyeri kepala. Nukleus noradrenergik dan serotonergik berpartisipasi dalam respon stres, kecemasan dan depresi. Pada penderita migren menunjukkan terjadinya hipersensitivitas sentral terhadap stimulasi dopaminergik yang berhubungan dengan tingkah laku yang terjadi selama serangan migren (menguap, iritabilitas, hipereaktivitas, gastroparesis, mual dan muntah) (Silberstein dkk., 2002).


(56)

Berikut ini adalah ilustrasi secara anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala primer dalam hal ini migren.

Gambar 2.5 Struktur anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala (Silberstein dkk., 2002)

Disamping teori vaskuler dan inflamasi steril tersebut serotonin diduga memainkan peranan penting pada patofisiologi migren. Metabolit utama serotonin, 5-hydroxyindoleaceticditemukan meningkat dalam urin penderita migren. Di lain pihak, kadar serotonin platelet menurun dengan cepat pada serangan migren akut. Penurunan kadar serotonin diduga justru dapat memicu serangan migren (Silberstein dkk., 2002). 2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP

Beberapa perbedaan jenis hubungan antara tidur dan nyeri kepala yang biasa ditemukan dalam praktik sehari-hari, yaitu (Paiva dkk., 1997) :


(57)

1. Gangguan tidur bersifat primer sedangkan nyeri kepala adalah bagian dari gejalanya.

2. Sindrom nyeri kepala bersifat primer yang menyebabkan terjadinya gangguan tidur.

3. Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan gejala dari suatu entitas patologi yang berbeda.

4. Gangguan tidur dan sindrom nyeri kepala terjadi pada satu individu, tanpa ada interaksi antara kedua fenomena tersebut.

Prevalensi gangguan tidur pada penderita nyeri kepala cukup besar. Pada penelitian Paiva dkk. (1997) menunjukkan bahwa 26 dari 49 sampel (53%) yang teridentifikasi mengalami gangguan tidur merupakan penderita nyeri kepala primer.

Boardman dkk. (2005) menunjukkan data bahwa penderita dengan NKP kronik memiliki kemungkinan 17 kali lebih besar mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan populasi normal. Meningkatnya kecenderungan gangguan tidur juga berkorelasi dengan derajat keparahan NKP pada penelitian lainnya (Rain dkk., 2008).

Pada remaja penderita NKP, gangguan tidur merupakan fenomena klinis. Beberapa penelitian yang memfokuskan perhatian pada hubungan antar kedua fenomena ini melaporkan adanya variasi bentuk gangguan tidur seperti misalnya kesulitan untuk jatuh tertidur, frekuensi terbangun malam hari yang sering, terbangun terlalu pagi, dan mengantuk hebat pada siang hari. Data mengenai hubungan antara tidur dan NKP, karakteristik NKP yang timbul, intensitas, durasi dan frekuensi NKP yang dihubungkan dengan kebiasaan tidur pada remaja sangat minimal. Beberapa


(58)

penelitian yang ada dengan metode yang beda-beda sehingga sulit untuk dibandingkan. National Sleep Foundation di Amerika pada tahun 2006 memberikan data bahwa 45% remaja tidak mencapai kebutuhan tidur dalam semalam. Suatu penelitian terhadap 69 remaja berumur 13-17 tahun yang mengidap NKP memberikan data bahwa 65,7% partisipan penelitian tersebut mengalami masalah dengan tidur dengan pemenuhan kebutuhan tidur yang tidak mencukupi (Gilman dkk., 2007).

Sahota dan Dexter mengajukan klasifikasi kompleks mengenai NKP yang berhubungan dengan gangguan tidur seperti yang dikutip oleh Dodick dkk. (2003) padaTabel 2.4berikut ini.

Tabel 2.4

Klasifikasi nyeri kepala terkait dengan komponen tidur (Dodick dkk, 2003) Hubungan antara nyeri kepala dan tidur

Nyeri kepala yang berkaitan dengan tidur (selama atau setelah tidur)

Nyeri kepala yang berkaitan dengan fase-fase tidur Fase III, IV, fase REM : migren

Fase REM: nyeri kepala klaster, hemikrania paroksismal kronik

Durasi tidur dan nyeri kepala Tidur dalam yang berlebihan Kurangnya waktu tidur Kekacauan pola tidur

Nyeri kepala yang diredakan dengan tidur Migren dan jeis kepala lainnya

Gangguan tidur dan nyeri kepala Sleep apneadan nyeri kepala Somnambulisme dan nyeri kepala Parasomnia lainnya dan nyeri kepala Efek nyeri kepala pada tidur

Gangguan pola tidur yang ringan hingga berat Mimpi dan nyeri kepala


(59)

Paiva dkk. (1997) mengajukan klasifikasi mengenai hubungan antara gangguan tidur dan NKP sebagai berikut :

a. Gangguan tidur yang disebabkan oleh nyeri kepala. b. Nyeri kepala yang diinduksi oleh gangguan tidur.

c. Nyeri kepala dan gangguan tidur timbul tumpang tindih misalnya TTH dan insomnia yang diinduksi oleh gangguanmood.

d. Nyeri kepala dan gangguan tidur muncul pada satu individu namun tidak ada interaksi antara keduanya.

2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP

Konvergensi antara gangguan tidur dan NKP secara umum memiliki dasar struktur neuroanatomi dan mekanisme neurofisiologi yang sama, meliputi hipotalamus, serotonin dan melatonin. Aktivasi ARAS di batang otak menyebabkan kita terjaga. Pengaruh neurotransmiter kortikal seperti epinefrin, dopamin, asetilkolin mempertahankan kewaspadaan selama terjaga. Tidur fase NREM dikontrol oleh neuron-neuron GABA di basal otak depan. Generator fase REM terletak di daerah tegmentum pontin dorsolateral. Fase REM diawali oleh pelepasan asetilkolin yang diaktivasi oleh neuron pontin tersebut. Serotonin berasal dari nukleus di daerah rafe dorsalis yang telah diketahui memegang peranan pada migren (Alberti, 2003)

Kadar melatonin menurun pada beberapa jenis NKP terutama migren dan NKK dan nyeri kepala hipnik. Melatonin memiliki efek terapeutik terhadap nyeri kepala primer melalui efek anti oksidan, anti inflamasi, dan anti nosiseptiknya. Mekanisme yang mendasari efek protektif melatonin terhadap nyeri kepala belum sepenuhnya


(60)

jelas. Efek beta endorfin yang mungkin dimiliki oleh melatonin diperkirakan berperanan penting selain mekanisme oksida nitrit dan jalur GABA, glutamat dan opiat endogen. Efek protektif tersebut memungkinkan melatonin digunakan sebagai terapi farmakologi prevensi migren (Bhasyar dkk., 2009).

Melatonin merupakan faktor yang berperanan dalam ritme sirkadian dan mungkin memiliki efek terapeutik terutama pada nyeri kepala klaster. Nukleus noradrenergik LC dan nukleus serotonergik rafe dorsalis mengontrol siklus bangun tidur dan modulasi nyeri. Serotonin terlibat dalam regulasi tidur dan memegang peranan penting dalam patofisiologi migren, namun belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai bagaimana kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Alberti, 2006; Rain dkk, 2008).

Badan pineal adalah organ fotoneuroendokrin yang berbentuk cemara, berada pada pusat otak dibelakang ventrikel ketiga. Organ yang kaya vaskular ini menghasilkan melatonin, peptida (seperti arginin vasotosin) dan sel neuroglial. Stimulus eksternal dikonversi oleh badan pineal dengan jalan menghasilkan hormon melatonin sebagai respon terhadap sinkronisasi homeostasis internal dan lingkungan (Teron, 2002; Peres, 2005).

Lokasi SCN di bagian posterior hipotalamus berhubungan dengan aktivitas korteks oksipital dan nukleus rafe di batang otak sebagai penghasil serotonin. Aktivitas serotonin memiliki ritme sirkadian dan sirkanual dibawah kontrol SCN sebagai pacemaker. Jalur serotonergik seperti traktus serotonergik BF yang bersifat asenden bermula pada nukleus rafe dan berakhir pada area otak yang berbeda termasuk pada SCN di hipotalamus. Stimulasi nukleus rafe akan menginduksi


(61)

pengeluaran serotonin pada SCN dan memulai ritme aktivitas sirkadian. Adanya eksistensi komunikasi anatomi antara SCN dengan nukleus rafe dengan neurotransmisi serotonin mungkin dapat menerangkan hubungan antara tidur dengan NKP (Teron, 2002; Peres dkk,, 2006).

Nyeri kepala primer yang seringkali dihubungkan dengan tidur pada berbagai penelitian adalah migren. Serangan migren pada fase prodromal diawali oleh gangguan fungsional neuronal pada hipotalamus. Gangguan periodisitas sentral di hipotalamus ini dapat dilihat sesuai dengan periodisitas serangan migren, dan adanya perubahan emosional oleh mekanisme jalur sistem limbik yang berhubungan dengan hipotalamus. Gangguan fisiologi bioritmik hipotalamus seperti perubahan hormonal, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, adalah beberapa faktor yang sering memicu serangan migren (Teron, 2002).

Migren dipicu oleh perubahan siklus internal atau eksternal, misalnya perubahan bioritmik hormonal (menstruasi), siklus bangun tidur dan fase tidur, jet lag, kerja shift, faktor geoklimatik (siklus musim, perubahan temperatur tekanan barometri, perubahan siklus gelap terang), gangguan afektif atau emosional, perubahan kebiasaan rutin (pola waktu makan, aktivitas istirahat, akhir pekan). Hal ini menyokong teori gangguan sirkuit serebral dengan mekanisme adaptasi homeostatik (Dodick, 2003).

Trigeminal nucleus caudalisdi pons dan mesensefalon yang diperkirakan sebagai “generator migren” mengaktivasi struktur vaskuler yang memvaskularisasi nukleus ini selama serangan migren. Gejala migren yang berhubungan dengan fase prodromal dan aura kemungkinan disebabkan oleh aktivitas hipotalamus atau kortikal, misalnya


(62)

menguap, peningkatan rasa lapar, kelelahan, perubahan mood, distorsi visual dan sensoris. Hipotalamus terkoneksi dengan sistem limbik, sel-sel melatonin neuronal di badan pineal dan nukleus di batang otak yang mengatur kontrol eferen otonom oleh nukleus traktus solitarius, kontrol motorik dan fase tidur oleh LC, dan modulasi nyeri oleh PAG (Alberti, 2006).

Berdasarkan polisomnografi yang dilakukan pada penderita migren, terdapat hubungan antara nyeri kepala malam hari dengan fase REM. Migren yang terjadi saat terjaga, disebabkan oleh pemanjangan fase 3, 4 dan REM. Suatu studi observasional yang dilakukan oleh Kelman dan Rain (2005) menunjukkan adanya keluhan gangguan tidur pada 1283 penderita migren secara observasional.

Penderita TTH kronik mengalami pengurangan waktu tidur tapi tidak spesifik pada fase tertentu, pemanjangan latensi tidur, seringkali terjaga, peningkatan nocturnal movement, dan penurunan tidur gelombang lambat. Kecemasan dan depresi komorbid dengan TTH sehingga gangguan tidur khususnya insomnia yang menjadi salah satu gejala depresi juga sering dialami terutama oleh penderita TTH kronik. Hal ini menyokong hipotesis adanya hubungan antara NKP, gangguan tidur dan gangguan psikiatrik (Alberti, 2006; Rain dkk, 2008).

Bukti-bukti klinis mendasar mendukung hubungan tidur, NKK dan jam biologis tubuh. Penelitian lain memberikan data bahwa pasien NKK dengan obstructive sleep apnea(OSA) akan berisiko mengalami serangan nyeri kepala lebih sering. Perubahan irama sirkadian dan pola sirkanual memicu serangan NKK tersebut. Polisomnogram


(63)

menunjukkan serangan klaster biasanya timbul antara pukul 9 malam hingga 10 pagi pada sekitar 75% kasus (Dodick dkk., 2003; Rain, 2008; Alberti, 2006).

Gejala klinis paling khas dari nyeri kepala klaster ini adalah adanya episode alami. Pasien menggambarkan nyeri kepalanya bermula dan berhenti seperti jam, mengikuti irama sikadian, muncul pada jam tertentu tiap harinya (Rain dkk., 2008).

Nyeri kepala hipnik adalah NKP idiopatik dan sangat jarang, hanya sekitar 0,07%-0,1% dari seluruh penderita NKP, wanita 1,2-1,7 kali lebih sering daripada laki-laki dengan rerata umur dekade 60 tahunan. Serangan nyeri kepala terjadi pada waktu yang sama tiap malam sehingga disebut sebagai “alarm clock headache”. Karakteristik nyeri kepala hipnik adalah nyeri kepala tumpul, bilateral, intensitas sedang. Durasinya sekitar 15-80 menit dengan frekuensi serangan 1-2 kali tiap malam. Fenomena yang menarik terjadi pada penderita nyeri kepala hipnik. Penderita akan menampakkan tingkah laku motorik saat nyeri kepala tersebut muncul, misalnya membaca, menonton televisi, makan, minum, berjalan-jalan, mandi, karena berusaha menghilangkan nyeri kepalanya, namun nyeri kepala tersebut tidak sampai menyebabkan agitasi atau kegelisahan (Alberti, 2006; Diener, 2012).

Patofisiologi nyeri kepala hipnik belum jelas. Serangannya seringkali dihubungkan dengan tidur fase REM dengan bukti-bukti polisomnogram. Beberapa faktor berperanan dalam mekanisme terjadinya nyeri kepala hipnik, salah satunya adalah OSA. Indeks apnea/hipopnea meningkat pada penderita nyeri kepala hipnik berkorelasi dengan penurunan saturasi oksigen. Voxel Based Morphometry (VBM) memberikan gambaran substansia grisea hipotalamus posterior menurun kuantitasnya.


(64)

Hal ini mempengaruhi fungsi hipotalamus sebagai regulator bangun tidur sekaligus pemroses nyeri sentral.

Gangguan kronobiologi pada manusia dibagi menjadi dua jenis, yaitu : (1) gangguan eksternal karena gaya hidup misalnya pekerja shift, sindroma jet lag; (2) gangguan internal atau endogen seperti depresi, kelelahan kronik, fibromialgia dan migren (Peres, 2005).

Tidur yang baik memainkan peranan dalam fungsi restoratif bagi tubuh. Pada manusia, irama sirkadian secara normal muncul pada malam hari bersama-sama dengan sekresi melatonin. Hal ini memunculkan teori bahwa melatonin merupakan fasilitator tidur internal pada manusia yang menginhibisi drive terjaga/bangun dari SCN. Melatonin meningkatkan kecenderungan untuk tidur. Berbagai gangguan neurologi erat kaitannya dengan irama tubuh, harian atau siklus musiman. Maladaptasi terhadap irama tersebut dikaitkan dengan fungsi badan pineal dan sekresi melatonin. Badan pineal adalah organ fotoendokrin yang mengubah stimulus luminasi eksternal menjadi pelepasan hormon yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi antara homeostasis internal dengan lingkungan (Peres, 2005).

Gejala klinis nyeri kepala seringkali berfluktuasi. Beberapa pasien melaporkan nyeri kepala yang dialami spesifik pada periode tertentu dalam sehari. Penderita migren episodik (55%) maupun kronis (62,5%) melaporkan NKP yang dialami saat bangun pagi atau terbangun oleh munculnya nyeri kepala di malam hari. Distribusi serangan migren seringkali sesuai dengan siklus estrogen tiap bulannya. Migren yang berhubungan dengan menstruasi mencapai sekitar 55% kasus (Peres, 2005).


(65)

Penelitian Brun dkk. (1995) menunjukkan penurunan kadar melatonin dalam urin pada wanita penderita migren saat serangan bila dibandingkan pada wanita menstruasi yang tidak mengidap migren. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa melatonin terlibat dalam patofisiologi migren, terutama migren kronis. Peranan melatonin dalam patofisiologi NKP kronik dimungkinkan oleh adanya efek melatonin seperti yang dipaparkan padaTabel 2.5berikut ini.

Tabel 2.5

Beberapa peranan melatonin dalam patofisiologi NKP (Peres, 2005) Efek melatonin

Efek anti inflamasi

Scavengingradikal bebas toksik Inhibisi aktivitas oksida nitrit sintase

Inhibisi pelepasan dopamin Stabilisasi membran

Potensiasi GABA dan analgesik opoid

Proteksi neurotoksisitas glutamat Regulasi neurovaskular

Modulasi serotonin

Melatonin adalah molekul yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi internal tubuh dengan lingkungan. Dalam hubungannya dengan NKP, dalam hal ini migren, melatonin diperkirakan berperanan dalam terjadinya cortical spreading depression (CSD) melalui efeknya terhadap sistem oksida nitrit, GABA, dan glutamatergik. Mekanisme kedua, keterlibatan melatonin dalam patofisiologi migren dan gangguan psikiatri yang komorbid mungkin melalui sistem serotonergik dan dopaminergik (Peres, 2005).


(1)

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by

Nominal

Contingency Coefficient

.421 .000

N of Valid Cases 96

a. Correlation statistics are available for numeric data only.

nyeri_kepala * jenis_kelamin Crosstabulation

Count

jenis_kelamin

Total

1 2

nyeri_kepala 2 9 5 14

1 42 40 82

Total 51 45 96

Directional Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb

Approx. Sig. Nominal by

Nominal

Lambda Symmetric .195 .073 2.191 .028

nyeri_kepala Dependent .000 .000 .c .c psqi Dependent .296 .116 2.191 .028 Goodman and Kruskal

tau

nyeri_kepala Dependent .215 .094 .000d psqi Dependent .215 .088 .000d


(2)

Directional Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. T

Approx. Sig. Nominal by Nominal Lambda Symmetric .000 .000 .b .b

nyeri_kepala Dependent .000 .000 .b .b jenis_kelamin Dependent .000 .000 .b .b

Goodman and Kruskal tau nyeri_kepala Dependent .009 .018 .368c jenis_kelamin Dependent .009 .018 .368c

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. c. Based on chi-square approximation

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .092 .365

N of Valid Cases 96

a. Correlation statistics are available for numeric data only.

Nyeri Kepala dan Depresi

nyeri_kepala * DAS_depresi Crosstabulation

Count

DAS_depresi

Total

1 2

nyeri_kepala 2 6 8 14

1 34 48 82


(3)

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .010 .922

N of Valid Cases 96

a. Correlation statistics are available for numeric data only.

Nyeri Kepala dan Kecemasan

nyeri_kepala * DAS_cemas Crosstabulation

Count

DAS_cemas

Total

1 2

nyeri_kepala 2 6 8 14

1 46 36 82

Total 52 44 96

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .093 .358

N of Valid Cases 96

a. Correlation statistics are available for numeric data only.

Nyeri Kepala dan Stres

nyeri_kepala * DAS_stres Crosstabulation

Count

DAS_stres

Total

1 2

nyeri_kepala 2 5 9 14

1 42 40 82


(4)

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .109 .283

N of Valid Cases 96

a. Correlation statistics are available for numeric data only.

Nyeri kepala dengan Stres

nyeri_kepala * DAS_stres Crosstabulation

Count

DAS_stres

Total

1 2

nyeri_kepala 2 5 9 14

1 42 40 82

Total 47 49 96

Nyeri Kepala dengan Kelelahan

nyeri_kepala * sst Crosstabulation

Count

sst

Total

1 2

nyeri_kepala 2 14 0 14

1 81 1 82

Total 95 1 96

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .042 .678

N of Valid Cases 96


(5)

Nyeri Kepala dengan Jenis Kelamin

nyeri_kepala * jenis_kelamin Crosstabulation

Count

jenis_kelamin

Total

1 2

nyeri_kepala 2 9 5 14

1 42 40 82

Total 51 45 96

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .092 .365

N of Valid Cases 96


(6)

Nyeri kepala dengan IMT

nyeri_kepala * IMT Crosstabulation

Count

IMT

Total

1 2

nyeri_kepala 2 0 14 14

1 7 75 82

Total 7 89 96

Symmetric Measuresa

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .115 .256

N of Valid Cases 96