Penyebaran Rabies Dan Analisis Korelasi Kejadiannya Pada Anjing Dengan Manusia Di Kabupaten Bangli Tahun 2009-2014.

(1)

i

PENYEBARAN RABIES DAN ANALISIS KORELASI KEJADIANNYA PADA ANJING DENGAN MANUSIA DI KABUPATEN BANGLI

TAHUN 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

oleh

FINDRI ANDRIANI NIM 1109005074

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

ii

PENYEBARAN RABIES DAN ANALISIS KORELASI KEJADIANNYA PADA ANJING DENGAN MANUSIA DI KABUPATEN BANGLI

TAHUN 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

oleh

FINDRI ANDRIANI NIM 1109005074

Menyetujui / Mengesahkan :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr Drh I Wayan Batan, MS drh I Made Kardena, MVS

NIP 19600227 198603 1 002 NIP 19790310 200312 1 001

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA

Dr drh Nyoman Adi Suratma, MP NIP 19600305 198703 1 001


(3)

iii

Setelah mempelajari dan menguji dengan sungguh-sungguh kami berpendapat bahwa tulisan ini baik ruang lingkup maupun kualitasnya dapat diajukan sebagai skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.

Ditetapkan di Denpasar, tanggal ………

Panitia Penguji,

Dr Drh I Wayan Batan, MS Ketua

drh I Made Kardena, MVS drh AA Gde Jayawardhita, MKes

Sekretaris Anggota

drh Ni Wajan Leestyawati Palgunadi, MSi Dr drh I Nyoman Suartha, MS


(4)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 01 April 1993 di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah anak bungsu dari dua bersaudara pasangan Bapak Wahyudi dan Ibu Ijanah. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Sejahtera Desa Mertani Kecamatan Karanggeneng dan tamat tahun 1999, dilanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Mertani II dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Karanggeneng dan lulus pada tahun 2008, dan melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Lamongan dan lulus pada tahun 2011. Pada Juli 2011, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar, Bali melalui jalur SNMPTN Tulis. Selama duduk di bangku kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus baik internal maupun eksternal. Penulis melakukan penelitian mulai bulan Desember 2014 hingga Januari 2015, dibidang observasi dengan judul “PENYEBARAN RABIES DAN ANALISIS KORELASI KEJADIANNYA PADA ANJING DENGAN MANUSIA DI

KABUPATEN BANGLI TAHUN 2009-2014” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (S.KH) pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.


(5)

v ABSTRAK

Rabies atau penyakit anjing gila merupakan suatu penyakit virus yang disebabkan oleh genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae bersifat akut serta sangat berbahaya dan mengakibatkan kematian karena mampu menginfeksi sistem saraf pusat yakni otak dan sumsum tulang belakang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kawasan rabies, penyebaran rabies dan korelasi antara kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009-2014.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Data kejadian rabies pada anjing dan manusia yang telah dikumpulkan kemudian digambar pada peta wilayah Kabupaten Bangli. Selanjutnya data tersebut ditabulasi. Analisis data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, uji normalitas, homogenitas, dan analisis korelasi. Uji normalitas dilakukan dengan

Shapiro Wilk, uji homogenitas dengan Lavene Statistic, analisis korelasi dilakukan dengan uji Spearman.

Dari data yang diperoleh kejadian rabies pada anjing pertama kali ditemukan bulan Oktober 2009 di Desa Bebalang, Kecamatan Bangli. Sedangkan kasus pada manusia bulan April 2010 di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku. Total kasus rabies pada anjing dari tahun 2009 sampai 2014 sebanyak 124 kasus dan pada manusia lima orang. Berdasarkan uji normalitas data, diperoleh hasil sebaran data kejadian rabies pada anjing tidak normal terjadi pada Tahun 2009 (0,001<0,05) dan manusia Tahun 2010 (0,024<0,05). Dari uji homogenitas yang dilakukan diperoleh hasil bahwa varian data rabies pada anjing tidak homogen (0,000<0,05). Sedangkan hasil varian data rabies pada manusia homogen (0,267>0,05). Dari uji Spearman yang dilakukan nilai koefisiensi yang diperoleh adalah -0,213. Sedangkan nilai probabilitasnya +0,318.

Dapat disimpulkan bahwa ada korelasi negatif yang nyata antara kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009 sampai 2014. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya kejadian rabies pada anjing namun tidak diikuti dengan kejadian rabies pada manusia.


(6)

vi ABSTRACT

Rabies is a viral disease caused by Lyssavirus of Rhabdoviridae family which is acute and extremely dangerous. Rabies causes a death because it is able to infect the central nervous system (brain and spinal cord). This research was done to recognize rabies territory, its dissemination and its correlation between the cases in dog and human, in Bangli Regency from 2009 and until 2014.

The descriptive analysis method had been used in this study. The data of rabies cases in dog and human has been obtained and illustrated in the Bangli regency area’s map. Then the data were tabulated. The descriptive analysis, normality test (Shapiro Wilk test), homogeneity test (Lavene Statistic test), and correlation analysis (Spearman test) had been performed.

Data showed that rabies was firstly occured on October 2009 in Bebalang village, Bangli region. Whereas in human, rabies firstly appeared in Jehem village, Tembuku region on April 2010. Data shows that a total number of rabies cases in dog was 124 cases and in human was 5 cases from 2009 until 2014. Shapiro Wilk test revealed that the data were not normally distributed for a case of rabies in dog in 2009 (0,001 < 0,05) and human in 2010 (0,024 < 0,05). Based on Lavene Statistic test, it can be conclude that the data variance was not homogeneous for a case of rabies in dog (0,000 < 0,05), whereas the data variance in human was homogeneous (0,267 > 0.05). Spearman test result shows that the correlation coefficient was – 0,213 with the significance index 0,318.

It can be concluded that there was a significant negative correlation between rabies cases in dog and human, in Bangli regency from 2009 and until 2014. This is means that the increase rabies cases in dog was followed by a decrease number of cases in human.


(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karuniaNya penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “PENYEBARAN RABIES DAN ANALISIS KORELASI KEJADIANNYA PADA ANJING

DENGAN MANUSIA DI KABUPATEN BANGLI TAHUN 2009-2014” dapat terselesaikan. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

2. Bapak Dr. drh. I Wayan Batan, M.S selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak drh. I Made Kardena, S.KH, MVS selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak drh. I Made Dwinata, M.Kes selaku pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.


(8)

viii

5. Para dosen penguji yang telah memberi masukan yaitu drh. AA Gde Jayawardhita, M. Kes, drh. Ni Wajan Leestyawati Palgunadi, M.Si dan Dr. drh. I Nyoman Suartha, MS.

6. Bapak dr. Pujana dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Ibu drh. Ni Ketut Aryani Parmeti dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Bapak Ngakan dan Bapak Sudarma dari Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Bangli, dan Ibu Sri Rahayu dari Dinas Peternakan Perikanan Kabupaten Bangli yang telah membantu kelancaran dalam pengambilan data skripsi.

7. Bapak dan Ibu dosen, staf pimpinan dan pegawai pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas segala bimbingan dan bantuannya selama mengikuti masa perkuliahan sehingga penulis dapat meraih gelar sarjana kedokteran hewan.

8. Kedua orang tua yang saya sayangi dan cintai, Bapak Wahyudi dan Ibu Ijanah. Terima kasih banyak atas do’a yang tak pernah putus, serta motivasi dan didikan yang selama ini sudah diberikan dengan penuh dengan kesabaran dan pengertian.

9. Kakak tercinta Eko Yuli Ardianto, ATT III, ST bersama Istri Kak Desy Dwi Natalia, Amd. Keb dan ponakanku Alshaffa Zidane Ardesta yang tanpa henti memberi dukungan baik secara moril dan materil , pandangan dan segala kasih sayang sebagai saudara sekaligus sahabat.

10.Saudara sepupu saya Eti Yulistiana yang selalu memberi dukungan, perhatian, teman berbagi suka dan duka setiap langkah perjalanan selama


(9)

ix

merantau di Bali dalam menempuh pendidikan yang sama di Universitas Udayana.

11.Seluruh keluarga besar saya di Lamongan Ayah Rifai, Adik Windy, Ibu Ika Suliana, Amd. Keb, Bapak Masirun, Abah Karmuji, Ibu Afifah, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

12.Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu ada dan memberi semangat dalam suka maupun duka Ferbian, Eka Aprilia, Chela, Rayni, Tri Adi, Rendi, Elisabeth, Trisna, Kak Sukron, Miftahus, Hieronimus, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

13.Seluruh civitas akademika, Warga Muslim Veteriner, para senior dan juniorku di FKH. Terimakasih banyak atas dukungan, semangat, dan kerja samanya.

14.Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2011 yang menemani perjuangan penulis selama mengikuti jenjang perkuliahan dan praktikum dari awal hingga akhir di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Terima kasih atas segalanya.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu segala kritik dan saran penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Sebagai akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 29 Januari 2015


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iv

ABSTRAK ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1Etiologi Penyakit Rabies ... 4

2.2 Penyebaran Rabies ... 5

2.3 Patogenesis Rabies ... 6

2.4 Masa Inkubasi ... 6

2.5Penyakit Rabies pada Hewan ... 7

2.6 Gejala Klinis ... 9

2.6.1 Gejala Klinis pada Anjing ... 9

2.6.2 Gejala Klinis pada Manusia ... 10

2.7 Diagnosa Rabies ... 11

2.8 Kerangka Konsep ... 12

BAB III MATERI DAN METODE ... 14

3.1Materi Penelitian ... 14


(11)

xi

3.1.2 Alat Penelitian ... 14

3.1.3 Bahan Penelitian ... 14

3.2Metode Penelitian ... 14

3.2.1 Cara Pengumpulan Data ... 14

3.2.2 Prosedur Penelitian ... 15

3.2.3 Analisis dan Penyajian Data ... 15

3.3Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

4.1 Hasil ... 16

4.2 Pembahasan ... 25

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Simpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1. Anjing desa ... 27 Gambar 4.2. Peta penyebaran rabies ... 28 Gambar 4.3. Pemasangan baliho rabies ... 30

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Kejadian Rabies pada Anjing ... 17 Tabel 4.2. Kejadian Rabies pada Manusia ... 20 Tabel 4.3. Kejadian Rabies pada Anjing dan Manusia ... 24


(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies atau penyakit anjing gila merupakan suatu penyakit virus yang bersifat akut serta sangat berbahaya dan mengakibatkan kematian karena mampu menginfeksi sistem saraf pusat yakni otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit rabies disebabkan oleh genus Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Penularan rabies terjadi karena adanya gigitan hewan pembawa rabies (HPR) yang terinfeksi kepada hewan sehat ataupun manusia (Dodet et al., 2008). Hal ini dapat terjadi karena virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui kontak antara air liur HPR terinfeksi dengan membran mukosa, saluran pernafasan, dan luka akibat gigitan pada kulit hewan mamalia atau manusia. Kontak langsung yang umum terjadi adalah melalui gigitan hewan pembawa (Dharmojono, 2001).

Rabies merupakan penyakit zoonosis tertua yang menginfeksi anjing (Dharmawan, 2009). Penyakit ini menimbulkan dampak mortalitas yang tinggi pada manusia. Data WHO menunjukkan bahwa penyakit rabies menimbulkan kematian 55.000 orang di dunia pada tahun 1998 (Knobel et al., 2005). Diperkirakan jumlah kejadian rabies di seluruh dunia sekitar 35.000 kasus (Yatim, 2004). Dan menduduki urutan ke 12 daftar penyakit yang mematikan (Mattos dan Rupprecht, 2001).

Di Bali, kasus rabies pada anjing pertama kali dilaporkan terjadi di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan kasus pada manusia dilaporkan terjadi bulan November tahun 2008 di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta. Bali sebelumnya termasuk wilayah bebas rabies. Berdasarkan kajian kasus rabies pada manusia dan hewan, diperkirakan penyakit rabies masuk ke Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada bulan April 2008 (Putra et al., 2009). Penyakit rabies saat itu terus menyebar menular secara cepat hingga bulan Juni 2010 di seluruh kota dan Kabupaten Bali. Hal ini jelas tertuang dalam


(14)

2 Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati Badung, Peraturan Menteri Pertanian, serta

Office Internatinal of Epizootica (OIE) (Putra, 2010).

Kasus rabies di Kabupaten Bangli pertama kali teridentifikasi pada anjing di Desa Bebalang, Kabupaten Bangli tahun 2009. Setelah itu kasus rabies muncul setiap bulan secara rutin di berbagai Desa di Kabupaten Bangli (Lestyorini, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Batan et al., 2014), diketahui bahwa kasus rabies paling banyak ditemukan di Desa Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli yakni sebanyak delapan kasus. Kasus rabies pada manusia pertama kali teridentifikasi di Banjar Tambahan Tengah, Desa Jehem Tembuku pada bulan April 2010 (Nasution, 2011).

Salah satu hewan pembawa rabies yang paling banyak menyebarkan penyakit rabies ke manusia dan pada hewan berdarah panas adalah anjing (Menezes, 2008). Yayasan Yudistira melaporkan, pada tahun 2009 populasi anjing di Provinsi Bali sekitar 540.000 ekor, dengan perbandingan antara jumlah populasi anjing dengan manusia sebesar 1:6. Interaksi antara anjing dan manusia di Bali sangat tinggi. Keadaan ini dapat meningkatkan peluang penyebaran rabies melalui gigitan. Hal ini juga didukung oleh rendahnya kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit rabies (Suartha et al., 2014).

Anjing memiliki peranan khusus bagi manusia. Selain sebagai hewan yang dipelihara di rumah, anjing juga menjadi teman dekat. Anjing di Bali sesekali juga dimanfaatkan sebagai hewan korban pada upacara yang dikenal dengan bhuta yadnya (mecaru). Pada upacara tersebut masyarakat Hindu Bali mengorbankan anjing bangbungkem (anjingnya berwarna coklat tua, cermin hidung serta rambut di sekitarnya, dan ujung ekor yang berwarna hitam) (Dharmawan, 2009).

Hingga saat ini laporan mengenai hubungan penyakit rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli belum banyak dipublikasikan. Informasi ini penting untuk mengetahui korelasi atau pola hubungan kejadian rabies pada anjing dengan manusia. Kabupaten Bangli khususnya Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani merupakan kawasan pelestarian anjing ras Kintamani. Jika rabies sampai menjangkit anjing Kintamani di Desa Sukawana, maka hal tersebut dapat


(15)

3 merugikan upaya pelestarian anjing Kintamani. Selain anjing, Kintamani merupakan kawasan wisata andalan yang banyak dikunjungi dan kejadian rabies di Kintamani Bangli dapat menjadi berita yang merugikan bagi usaha pariwisata masyarakat Bangli. Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui penyebaran dan korelasi kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Kawasan-kawasan mana saja yang terdapat kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009-2014?

2. Bagaimana penyebaran kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009-2014?

3. Bagaimana korelasi antara kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009-2014?.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kawasan rabies, penyebaran rabies dan korelasi antara kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli tahun 2009-2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan informasi mengenai kejadian, pola penyebaran dan korelasi kejadian rabies pada anjing dan manusia di Kabupaten Bangli dari tahun 2009 sampai dengan 2014.


(16)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Penyakit Rabies

Rabies merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dari family

Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus memiliki bentuk seperti peluru, terdiri dari asam nukleat (RNA), protein, lemak, dan karbohidrat. Inti virus dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid berkombinasi dengan inti dan membentuk nukleokapsid. Virus rabies memiliki ukuran 180 nm dengan diameternya 75 nm, di permukaannya terdapat bentuk-bentuk paku (spikes) yang panjangnya sekitar 9 nm (Dharmojono, 2001).

Virus rabies mengandung lipida yang mudah dilarutkan dengan pelarut lemak seperti sabun, ether, kloroform, ethanol 45-70 %, dan preparat iodine. Sifat dari virus rabies sendiri dapat bertahan hidup pada bangkai hewan yang tertular rabies selama 24 hari dan di dalam air sampai 3 tahun. Penyakit rabies dapat ditularkan pada hewan berdarah panas yaitu anjing, kucing, kera, rakun, kelelawar. Namun, di Indonesia kelelawar tidak dapat menularkan rabies dikarenakan jenis kelelawar yang ada di Indonesia merupakan pemakan buah (Dharmawan, 2009).

Penyakit rabies memiliki virus yang tahan terhadap pemanasan dengan derajat celcius tertentu. Seperti pada pemanasan 56oC, virus dapat bertahan sampai 30 menit dan dalam kondisi pemanasan kering sampai dengan 100oC masih dapat tahan hidup selama 2-3 menit. Dan jika disimpan dalam gliserin 50%, virus dapat tahan hidup sampai satu tahun. Di dalam gliserin yang tidak diencerkan, virus dapat tahan hidup beberapa lama dalam suhu kamar dan tahan berbulan-bulan dalam temperatur 4oC. Dalam keadaan kering beku dengan penyimpanan 4oC virus dapat tahan sampai bertahun-tahun, dan penyimpanan suhu -70oC virus tahan sampai waktu tak terbatas. Di dalam air liur dengan suhu udara panas, virus dapat tahan selama 24 jam. Waktu paruh kurang lebih 4 jam pada temperatur 40oC, dan 30 detik pada temperatur 60oC (Dharmawan, 2009).


(17)

5

Berdasarkan sifatnya, virus rabies dibagi menjadi 2 jenis, yaitu virus liar dan virus fixed. Virus liar adalah virus yang diisolasi di alam dari penderita rabies. Memiliki masa tunas dan daya tular yang bervariasi dan mempunyai kemampuan untuk memasuki kelenjar air ludah. Sedangkan, virus fixed adalah virus yang didapat dari cara pembiakan virus liar di laboratorium pada hewan percobaan. Virus fixed memiliki masa tunas yang lebih pendek dan tidak memasuki kelenjar air ludah, selain itu virus ini tidak memiliki kemampuan membentuk badan Negri (Akoso, 2007).

2.2 Penyebaran Rabies

Penyakit rabies telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia sejak tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi dan rabies pada manusia pertama kali dilaporkan oleh E.V. de Haan pada tahun 1894 (Soeharsono, 2002). Sampai saat ini masih belum berhasil diberantas, bahkan daftar wilayah tertular semakin panjang. Pemberantasan di Indonesia sendiri kasus rabies tidak akan menurun bahkan daerah yang awalnya merupakan wilayah bebas semisal Bali kini menjadi daerah endemis dan telah mengakibatkan korban meninggal pada manusia dengan tingkat kesakitan yang sangat tinggi.

Di Provinsi Bali kasus rabies pertama kali pada bulan November tahun 2008 ditemukan di Kedonganan Kabupaten Badung. Hal ini tertuang dalam keputusan Menteri Pertanian No. 1637.I/2008 tertanggal 1 Desember 2008 yang menyatakan Bali secara resmi tertular rabies. Pada kajian kasus rabies manusia dan hewan, diperkirakan penyakit rabies masuk ke semenanjung bukit Kabupaten Badung pada bulan April tahun 2008 (Putra et al., 2009a). Pada awalnya kasus penyakit rabies dilaporkan hanya terjadi pada daerah Semenanjung Badung, tetapi kemudian tersebar ke semua wilayah Bali (Putra et al., 2009b). Penyakit rabies saat itu terus menyebar menular secara cepat hingga bulan Juni 2010 di seluruh kota dan Kabupaten Bali. Penyempurnaan program penanganan kasus rabies telah dilakukan (Putra, 2010; Dinas Peternakan Provinsi Bali, 2010). Tetapi, pada kenyataanya kasus rabies tidak dapat dikendalikan (Putra dan Gunata, 2009).


(18)

6

Terdapat dua macam siklus penularan rabies yaitu siklus silvatic (cylvatic cycle) dan siklus rabies di lingkungan pemukiman penduduk (urban cycle). Siklus urban rabies biasanya terjadi pada anjing liar yang bebas tanpa pemeliharaan khusus. Di negara maju, pemahaman masyarakat terhadap rabies sangat tinggi dan pemeliharaan hewan pembawa rabies (HPR) sangat bagus, maka jarang dijumpai adanya siklus penularan urban yaitu antar hewan domestik. Di Indonesia umumnya kasus rabies bersifat siklus urban yaitu melalui gigitan anjing, kucing dan monyet. Namun, yang paling berperan menularkan rabies adalah anjing. 2.3 Patogenesis Rabies

Penyakit rabies bersifat fatal karena menyerang susunan sistem saraf pusat. Virus rabies ditularkan melalui gigitan hewan yang terinfeksi dan kemudian masuk ke dalam tubuh melalui kulit. Selain itu penularan dapat terjadi karena cakaran, jilatan hewan, dan transplantasi kornea dari pendonor yang terinfeksi (Mattos and Rupprecht. 2001). Setelah virus masuk ke dalam tubuh kemudian bereplikasi di otot atau jaringan ikat penderita yang penyebarannya melalui sistem saraf dan kelenjar air ludah selanjutnya masuk ke dalam sistem saraf pusat otak (Childs and Real, 2002).

Sesampainya di otak, virus kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam bagian neuron. Predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir setiap organ tubuh penderita dan berkembang biak pada jaringan seperti kelenjar ludah dan lain-lain.

2.4 Masa Inkubasi

Masa inkubasi pada virus rabies sangat bervariasi tergantung jenis inang yang diserangnya sehingga dapat menimbulkan gejala klinis. Pada anjing dan kucing misalnya kedua hewan ini memiliki waktu inkubasi virus rabies kurang lebih selama 2 minggu, tetapi ada juga yang dari 10 hari sampai dengan 8 minggu. Sedangkan pada manusia terjadi selama dua sampai tiga minggu dan paling lama


(19)

7

memakan waktu satu tahun. Ada pendapat yang lain mengatakan bahwa masa inkubasi dapat terjadi pada manusia selama lebih dari 10 tahun. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya jumlah virus yang masuk melalui luka, kedalaman luka gigitan, jumlah banyaknya luka jamak dan tunggal, dekat atau jauhnya luka dengan sistem susunan saraf juga mempengaruhi masa inkubasi virus rabies pada tubuh (Dharmawan, 2009).

Semisal contoh gigitan di daerah kepala, muka ataupun leher tempat ini mempunyai masa inkubasi kurang lebih sebulan. Sedangkan gigitan pada daerah lengan tangan dan jari memiliki masa inkubasi 40 hari jauh lebih singkat daripada daerah gigitan tungkai, kaki dan jari yang memakan waktu hampir dua bulan lamanya. Tingkat infeksi dari kematian yang paling tinggi yaitu gigitan di daerah wajah daripada gigitan di daerah lengan dan tangan, paling rendah gigitan di tungkai dan kaki (Jackson, 2003). Selain itu masa inkubasi virus dihubungkan dengan seks dan umur yaitu wanita mempunyai masa inkubasi yang pendek dibandingkan dengan pria serta masa inkubasi pada anak lebih pendek daripada dewasa (Widodo, 1993).

2.5 Penyakit Rabies pada Hewan

Dharmojono (2001) menjelaskan bentuk rabies pada hewan secara garis besarnya terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Bentuk ganas yang dikenal dengan sebutan furious rabies

Bentuk ini sangat berbahaya dan memiliki stadium eksistasi yang panjang . Pada air liurnya terdapat banyak virus rabies dengan jumlah konsentrasi yang tinggi. Adapun proses terbentuknya melalui beberapa taraf diantaranya :

a. Taraf awal (prodormal) atau melankolik

Tahap ini berlangsung sekitar 2-3 hari. Hewan secara kejiwaan tidak normal ditandai dengan perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan menjadi pendiam, suka bersembunyi di tempat dingin dan sunyi, gelisah, berjalan tanpa arah. Hewan mulai berhalusinasi berbuat sesuatu yang tidak ada, mudah terkejut, cepat berontak. Pupil matanya membesar, menjilat serta mengerat benda-benda yang ada


(20)

8

disekitarnya, kesulitan buang air besar atau air kecil, tetapi terkadang libido meningkat. Dalam keadaaan ini suhu tubuh juga meningkat. Pada anjing yang biasa diliarkan tidak diikat perubahan perilaku tahap ini sering tidak terlihat, baru diketahui anjing tersebut tertular rabies pada tahap eksitasi yang menunjukkan perubahan perilaku sangat jelas.

b. Taraf rangsangan (eksitasi)

Pada taraf ini berlangsung selama 3-7 hari lebih lama dari prodormal. Hewan mulai agresif merusak benda-benda yang ada disekitarnya, menyerang hewan atau manusia yang ditemui, menjadi pemburu serta kehilangan arah, sehingga penderita menjadi sangat berbahaya. Jika tidak ada provokasi anjing cenderung lelah, pemurung, dan merasa tampak ketakutan. Awalnya anjing menghindar apabila bertemu dengan orang dan suka bersembunyi di tempat gelap, takut cahaya sehingga jika terkena sinar matahari bereaksi berlebihan seperti mengelak, melolong, mengerang, atau bahkan menyerangnya dengan ganas. Taraf ini berlangsung sampai waktu kecapaian dan tertekan sampai terjadilah taraf selanjutnya.

c. Taraf kelumpuhan (paralisis)

Taraf paralisis berlangsung sangat singkat sehingga sulit dikenali perubahan tingkah laku hewan bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Pada taraf kelumpuhan ini biasanya terjadi pada kaki belakang sehingga hewan sempoyongan dan apabila terjadi pada rahang bawah mengakibatkan mulut hewan tidak dapat menutup, tidak mampu untuk makan dan minum, lidah menjadi menjulur dan air liur keluar terus menerus jika terjadi kelumpuhan pada otot tenggorokan. Kelumpuhan juga sampai menjalar ke membrana nictitan sehingga hewan menjadi bermata juling. Perkembangan selanjutnya penderita menjadi apatis (masa bodoh) terhadap sekitarnya dan jika kelumpuhan sampai ke alat pernafasan maka hewan akan mati. Apabila virus rabies sudah menyerang daerah


(21)

9

kepala dan leher maka kelumpuhan akan cepat berlanjut ke bagian seluruh tubuh karena terjadinya infeksi pada susunan saraf pusat. Sehingga kematian anjing dapat terjadi dalan kurun waktu yang singkat yaitu 2-4 hari kemudian (Dharmawan, 2009).

2. Bentuk jinak atau yang lebih dikenal dengan dump rabies

Bentuk ini agak sulit dikenali karena tidak memperlihatkan adanya keganasan. Baru pada tahap selanjutnya diketahui bahwa ada kelumpuhan pada kedua kaki belakang dan rahang bawah. Selanjutnya terjadi perubahan perilaku dari galak menjadi jinak dan hal ini sangatlah berbahaya. Hewan juga mengalami kejang-kejang yang berlangsung secara singkat dan tidak terlihat. Sehingga kematian pada rabies bentuk jinak terjadi cepat karena sering tidak menunjukkan gejala awal.

3. Bentuk atipik atau tanpa bentuk

Penderita rabies pada bentuk ini tidak memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Hewan mungkin hanya diam dan bersembunyi di tempat yang gelap atau terlindung dari cahaya, tetapi apabila dipegang atau didekati akan menyerang dan menggigit.

2.6 Gejala Klinis

2.6.1 Gejala Klinis Pada Anjing

Anjing biasanya memiliki periode masa inkubasi selama 10 hari sampai 2 bulan/lebih. Pada tahap prodormal anjing akan menghilang dari pemiliknya selama 2-3 hari. Dalam tahap ini dua syndrom rabies akan terlihat yaitu rabies ganas atau jinak. Gejala klinis rabies jinak umumnya akan terlihat lebih cepat sehingga menyebabkan kematian 3-7 hari setelah tahap prodormal diketahui. Dalam tahap ini anjing memperlihatkan perubahan perilaku seperti bersembunyi di sudut yang gelap, bangkit dan berjalan di sekitar tempat istirahatnya, anoreksia, iritasi pada tempat gigitan dan suhu tubuh meningkat.

Sedangkan pada gejala klinis rabies ganas akan cenderung lebih aktif. Anjing akan menjadi sangat agresif dan tidak menurut setelah hari 1-3 saat peningkatan fase eksitasi dan agitasi. Anjing mulai menggigit benda-benda


(22)

10

disekitarnya, menggigit hewan lainnya, bahkan menggigit pemiliknya sendiri. Air liur anjing keluar banyak karena hewan takut untuk menelan salivanya sendiri karena sudah terjadi paralisis dari muskulus deglutitory, suara menggonggongnya keras dan lebih lama akibat paralisis parsial pada pita suaranya. Penyakit rabies pada anjing dapat berkembang dari organ-organ ekstremitas, paralisis terjadi secara umum dan terakhir berakhir dengan kematian dengan lama waktunya antara 1-11 hari.

2.6.2 Gejala Klinis Pada Manusia

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi 5 fase, yakni fase prodormal, neurologik akut, furious, paralitik, dan koma (Soeharsono, 2002). Masa inkubasi rabies pada manusia sangat bervariasi antara 2-8 minggu, tetapi ada juga dari 10 hari sampai 8 bulan atau lebih tetapi rata-rata 6 bulan. Namun ada beberapa ahli yang mengatakan bahwasanya masa inkubasi rabies juga dapat mencapai waktu 5 tahun. Lama tidaknya masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti dosis virus yang masuk melalui gigitan, tempat gigitan, jarak gigitan dengan susunan saraf pusat dan keparahan luka gigitan .

Pada fase prodormal gejala yang muncul umumnya bersifat ringan dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Penyakit diawali dengan perasaan tidak tenang serta gelisah kemudian demam, cephalgia, lalu perubahan sensoris di tempat gigitan. Penderita merasa nyeri, panas, dan kesemutan di daerah yang pernah digigit hewan pembawa rabies disertai dengan kesemutan pada bekas luka dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan sensoris. Selain itu nafsu makan menurun, muntah, sakit perut, kondisi tubuh melemah, sakit kepala, merasa kedinginan, terbakar dan gatal.

Fase eksitasi sering diikuti dengan hyperesthesia, kepekaan terhadap sinar dan bunyi, dilatasi pupil dan peningkatan saliva. Perkembangan penyakit diikuti dengan spasmus otot-otot pengunyah, dan penolakan saliva karena kontraksi muskulus. Gangguan fungsi menelan sering terlihat pada sebagian besar pasien sebagai akibat dari kontraksi spasmus muskulus larygopharyngeal ketika melihat air dan berhenti menelan ludahnya. Selanjutnya juga dapat mengakibatkan


(23)

11

spasmus otot-otot respiratorius dan terjadilah kejang umum. Fase eksitasi ini bertahan sampai pasien meninggal. Penyakit biasanya berakhir dalam waktu 2-6 hari dan umumnya diakhiri dengan kematian (Acha dan Szyres, 1987).

Pasien kasus rabies biasanya meninggal pada fase eksitasi. Namun terkadang dapat diganti oleh fase paralisis umum. Otot-otot bersifat progresif dikarenakan terjadi gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresi otot-otot pernafasan. Pada tahap ini fase dapat dilihat dengan perubahan patologis yang dijumpai pada bagian terendah dari medula oblongata.

2.7 Diagnosa Rabies

Hewan yang terinfeksi rabies dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis seperti observasi atas perubahan perilaku hewan dan berdasarkan pemeriksaan observasi. Diagnosa laboratorium harus cepat dan akurat untuk mengevaluasi resiko dari infeksi rabies pada orang yang telah tergigit. Cara yang paling mudah dan cepat untuk mendiagnosa penyakit rabies adalah dengan menemukan adanya badan inklusi pada sel otak atau yang dikenal dengan badan negri.

Pemeriksaan memerlukan preparat sentuh dari jaringan otak hewan yang telah menggigit atau sudah menunjukkan gejala klinis rabies dengan pewarnaan

Giemsa atau pewarnaan Sellers. Metode ini cepat karena hanya memakan waktu 5-10 menit dengan spesifikasi hampir 100 %, hanya saja sensitivitasnya rendah yaitu kesalahan yang dapat terjadi mencapai 30 %. Dalam artian apabila negatif

Negri body pada pewarnaan Seller, belum berarti negatif sehingga diperlukan metode yang lebih sensitif seperti metode IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Technique) atau inokulasi hewan percobaan.

Uji ini cukup akurat karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi mendekati 100%. Hanya saja memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 2 jam dan harus dilakukan di laboratorium dengan perlengkapan canggih karena akan memerlukan mikroskop FAT. Selanjutnya, apabila dari dua metode di atas tidak menemukan hasil maka akan dilakukan uji biologik. Uji ini memerlukan waktu antara 4-21 hari. Saat ini, uji diagnosis rabies juga dapat dilakukan dengan antibodi monoklonal (Astawa et al., 2010).


(24)

12

Selain menggunakan metode di atas, untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi maka dilakukan pula observasi di lapangan untuk mengawal kasus yang diduga kuat rabies maka dilakukan hal-hal berikut yaitu:

 Apabila terdapat hewan yang telah menggigit manusia, maka anjing tersebut harus ditangkap dan diobservasi. Observasi dilakukan selama 10-15 hari dilakukan pada anjing yang walaupun tampak sehat dan telah menggigit orang , tidak diketahui identitasnya dalam artian anjing tak berpemilik dapat langsung dieliminasi dan diperiksa otaknya. Riwayat penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Menurut (Mahardika et al., 2009) terdapat indikasi rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 1 orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 25%. b. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 2 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positis rabies 50%. c. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 3 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 75%. d. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 4 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 100%.  Dilakukan penelusuran terhadap jumlah penderita gigitan oleh hewan yang

sama.

2.8 Kerangka Konsep

Rabies atau anjing gila merupakan penyakit yang bersifat akut dan dapat ditularkan melalui air liur hewan pembawa rabies ke dalam luka gigitan yang ditimbulkan pada hewan lain atau manusia (Knobel et al., 2005). Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia karena bersifat zoonosis dan sangat berbahaya (Wondal et al., 1997).

Penyakit rabies mulai muncul di Bali dan dinyatakan positif terkena pada tahun 2008. Pada awalnya kasus rabies terjadi di Desa Ungasan dan Desa


(25)

13

Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan. Tercatat dari Februari tahun 2011 kejadian rabies pada manusia di Bali sebanyak 122 orang dan terus menyebar tak terkendali. Selain itu rabies di Bali juga menginfeksi dan menyebabkan kematian pada sejumlah anjing (Hemachuda et al., 2002; Mitrabhakdi et al., 2005)

Kasus rabies di Kabupaten Bangli pertama kali teridentifikasi pada anjing di Desa Bebalang, Kabupaten Bangli tahun 2009. Setelah itu kasus rabies muncul setiap bulan secara rutin di berbagai Desa di Kabupaten Bangli (Lestyorini, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Batan et al., 2014), diketahui bahwa kasus rabies paling banyak ditemukan di Desa Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli yakni sebanyak delapan kasus. Kasus rabies pada manusia pertama kali teridentifikasi di Banjar Tambahan Tengah, Desa Jehem Tembuku pada bulan April 2010 (Nasution, 2011).

Tindakan yang dapat dilakukan agar suatu wilayah bebas rabies dapat dengan cara karantina hewan yang ketat, vaksinasi berskala besar dan pemusnahan anjing liar (Weng et al., 2010). Hal ini dapat sebagai langkah untuk menekan terjadinya wabah rabies. Sehingga upaya terhadap pencegahan kasus tidak terabaikan dan menjadi perhatian khusus terhadap kejadian rabies.


(1)

disekitarnya, kesulitan buang air besar atau air kecil, tetapi terkadang libido meningkat. Dalam keadaaan ini suhu tubuh juga meningkat. Pada anjing yang biasa diliarkan tidak diikat perubahan perilaku tahap ini sering tidak terlihat, baru diketahui anjing tersebut tertular rabies pada tahap eksitasi yang menunjukkan perubahan perilaku sangat jelas.

b. Taraf rangsangan (eksitasi)

Pada taraf ini berlangsung selama 3-7 hari lebih lama dari prodormal. Hewan mulai agresif merusak benda-benda yang ada disekitarnya, menyerang hewan atau manusia yang ditemui, menjadi pemburu serta kehilangan arah, sehingga penderita menjadi sangat berbahaya. Jika tidak ada provokasi anjing cenderung lelah, pemurung, dan merasa tampak ketakutan. Awalnya anjing menghindar apabila bertemu dengan orang dan suka bersembunyi di tempat gelap, takut cahaya sehingga jika terkena sinar matahari bereaksi berlebihan seperti mengelak, melolong, mengerang, atau bahkan menyerangnya dengan ganas. Taraf ini berlangsung sampai waktu kecapaian dan tertekan sampai terjadilah taraf selanjutnya.

c. Taraf kelumpuhan (paralisis)

Taraf paralisis berlangsung sangat singkat sehingga sulit dikenali perubahan tingkah laku hewan bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Pada taraf kelumpuhan ini biasanya terjadi pada kaki belakang sehingga hewan sempoyongan dan apabila terjadi pada rahang bawah mengakibatkan mulut hewan tidak dapat menutup, tidak mampu untuk makan dan minum, lidah menjadi menjulur dan air liur keluar terus menerus jika terjadi kelumpuhan pada otot tenggorokan. Kelumpuhan juga sampai menjalar ke membrana nictitan sehingga hewan menjadi bermata juling. Perkembangan selanjutnya penderita menjadi apatis (masa bodoh) terhadap sekitarnya dan jika kelumpuhan sampai ke alat pernafasan maka hewan akan mati. Apabila virus rabies sudah menyerang daerah


(2)

kepala dan leher maka kelumpuhan akan cepat berlanjut ke bagian seluruh tubuh karena terjadinya infeksi pada susunan saraf pusat. Sehingga kematian anjing dapat terjadi dalan kurun waktu yang singkat yaitu 2-4 hari kemudian (Dharmawan, 2009).

2. Bentuk jinak atau yang lebih dikenal dengan dump rabies

Bentuk ini agak sulit dikenali karena tidak memperlihatkan adanya keganasan. Baru pada tahap selanjutnya diketahui bahwa ada kelumpuhan pada kedua kaki belakang dan rahang bawah. Selanjutnya terjadi perubahan perilaku dari galak menjadi jinak dan hal ini sangatlah berbahaya. Hewan juga mengalami kejang-kejang yang berlangsung secara singkat dan tidak terlihat. Sehingga kematian pada rabies bentuk jinak terjadi cepat karena sering tidak menunjukkan gejala awal.

3. Bentuk atipik atau tanpa bentuk

Penderita rabies pada bentuk ini tidak memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Hewan mungkin hanya diam dan bersembunyi di tempat yang gelap atau terlindung dari cahaya, tetapi apabila dipegang atau didekati akan menyerang dan menggigit.

2.6 Gejala Klinis

2.6.1 Gejala Klinis Pada Anjing

Anjing biasanya memiliki periode masa inkubasi selama 10 hari sampai 2 bulan/lebih. Pada tahap prodormal anjing akan menghilang dari pemiliknya selama 2-3 hari. Dalam tahap ini dua syndrom rabies akan terlihat yaitu rabies ganas atau jinak. Gejala klinis rabies jinak umumnya akan terlihat lebih cepat sehingga menyebabkan kematian 3-7 hari setelah tahap prodormal diketahui. Dalam tahap ini anjing memperlihatkan perubahan perilaku seperti bersembunyi di sudut yang gelap, bangkit dan berjalan di sekitar tempat istirahatnya, anoreksia, iritasi pada tempat gigitan dan suhu tubuh meningkat.

Sedangkan pada gejala klinis rabies ganas akan cenderung lebih aktif. Anjing akan menjadi sangat agresif dan tidak menurut setelah hari 1-3 saat peningkatan fase eksitasi dan agitasi. Anjing mulai menggigit benda-benda


(3)

disekitarnya, menggigit hewan lainnya, bahkan menggigit pemiliknya sendiri. Air liur anjing keluar banyak karena hewan takut untuk menelan salivanya sendiri karena sudah terjadi paralisis dari muskulus deglutitory, suara menggonggongnya keras dan lebih lama akibat paralisis parsial pada pita suaranya. Penyakit rabies pada anjing dapat berkembang dari organ-organ ekstremitas, paralisis terjadi secara umum dan terakhir berakhir dengan kematian dengan lama waktunya antara 1-11 hari.

2.6.2 Gejala Klinis Pada Manusia

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi 5 fase, yakni fase prodormal, neurologik akut, furious, paralitik, dan koma (Soeharsono, 2002). Masa inkubasi rabies pada manusia sangat bervariasi antara 2-8 minggu, tetapi ada juga dari 10 hari sampai 8 bulan atau lebih tetapi rata-rata 6 bulan. Namun ada beberapa ahli yang mengatakan bahwasanya masa inkubasi rabies juga dapat mencapai waktu 5 tahun. Lama tidaknya masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti dosis virus yang masuk melalui gigitan, tempat gigitan, jarak gigitan dengan susunan saraf pusat dan keparahan luka gigitan .

Pada fase prodormal gejala yang muncul umumnya bersifat ringan dan tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Penyakit diawali dengan perasaan tidak tenang serta gelisah kemudian demam, cephalgia, lalu perubahan sensoris di tempat gigitan. Penderita merasa nyeri, panas, dan kesemutan di daerah yang pernah digigit hewan pembawa rabies disertai dengan kesemutan pada bekas luka dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan sensoris. Selain itu nafsu makan menurun, muntah, sakit perut, kondisi tubuh melemah, sakit kepala, merasa kedinginan, terbakar dan gatal.

Fase eksitasi sering diikuti dengan hyperesthesia, kepekaan terhadap sinar dan bunyi, dilatasi pupil dan peningkatan saliva. Perkembangan penyakit diikuti dengan spasmus otot-otot pengunyah, dan penolakan saliva karena kontraksi muskulus. Gangguan fungsi menelan sering terlihat pada sebagian besar pasien sebagai akibat dari kontraksi spasmus muskulus larygopharyngeal ketika melihat air dan berhenti menelan ludahnya. Selanjutnya juga dapat mengakibatkan


(4)

spasmus otot-otot respiratorius dan terjadilah kejang umum. Fase eksitasi ini bertahan sampai pasien meninggal. Penyakit biasanya berakhir dalam waktu 2-6 hari dan umumnya diakhiri dengan kematian (Acha dan Szyres, 1987).

Pasien kasus rabies biasanya meninggal pada fase eksitasi. Namun terkadang dapat diganti oleh fase paralisis umum. Otot-otot bersifat progresif dikarenakan terjadi gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresi otot-otot pernafasan. Pada tahap ini fase dapat dilihat dengan perubahan patologis yang dijumpai pada bagian terendah dari medula oblongata.

2.7 Diagnosa Rabies

Hewan yang terinfeksi rabies dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis seperti observasi atas perubahan perilaku hewan dan berdasarkan pemeriksaan observasi. Diagnosa laboratorium harus cepat dan akurat untuk mengevaluasi resiko dari infeksi rabies pada orang yang telah tergigit. Cara yang paling mudah dan cepat untuk mendiagnosa penyakit rabies adalah dengan menemukan adanya badan inklusi pada sel otak atau yang dikenal dengan badan negri.

Pemeriksaan memerlukan preparat sentuh dari jaringan otak hewan yang telah menggigit atau sudah menunjukkan gejala klinis rabies dengan pewarnaan

Giemsa atau pewarnaan Sellers. Metode ini cepat karena hanya memakan waktu

5-10 menit dengan spesifikasi hampir 100 %, hanya saja sensitivitasnya rendah yaitu kesalahan yang dapat terjadi mencapai 30 %. Dalam artian apabila negatif Negri body pada pewarnaan Seller, belum berarti negatif sehingga diperlukan metode yang lebih sensitif seperti metode IFAT (Indirect Fluorescent Antibody Technique) atau inokulasi hewan percobaan.

Uji ini cukup akurat karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi mendekati 100%. Hanya saja memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 2 jam dan harus dilakukan di laboratorium dengan perlengkapan canggih karena akan memerlukan mikroskop FAT. Selanjutnya, apabila dari dua metode di atas tidak menemukan hasil maka akan dilakukan uji biologik. Uji ini memerlukan waktu antara 4-21 hari. Saat ini, uji diagnosis rabies juga dapat dilakukan dengan antibodi monoklonal (Astawa et al., 2010).


(5)

Selain menggunakan metode di atas, untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi maka dilakukan pula observasi di lapangan untuk mengawal kasus yang diduga kuat rabies maka dilakukan hal-hal berikut yaitu:

 Apabila terdapat hewan yang telah menggigit manusia, maka anjing tersebut harus ditangkap dan diobservasi. Observasi dilakukan selama 10-15 hari dilakukan pada anjing yang walaupun tampak sehat dan telah menggigit orang , tidak diketahui identitasnya dalam artian anjing tak berpemilik dapat langsung dieliminasi dan diperiksa otaknya. Riwayat penggigitan ditelusuri dan dicermati ada tidaknya provokasi. Menurut (Mahardika et al., 2009) terdapat indikasi rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 1 orang tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 25%. b. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 2 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positis rabies 50%. c. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 3 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 75%. d. Apabila dalam satu hari ada seekor hewan (anjing) menggigit 4 orang

tanpa provokasi, maka kemungkinan anjing tersebut positif rabies 100%.  Dilakukan penelusuran terhadap jumlah penderita gigitan oleh hewan yang

sama.

2.8 Kerangka Konsep

Rabies atau anjing gila merupakan penyakit yang bersifat akut dan dapat ditularkan melalui air liur hewan pembawa rabies ke dalam luka gigitan yang ditimbulkan pada hewan lain atau manusia (Knobel et al., 2005). Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia karena bersifat zoonosis dan sangat berbahaya (Wondal et al., 1997).

Penyakit rabies mulai muncul di Bali dan dinyatakan positif terkena pada tahun 2008. Pada awalnya kasus rabies terjadi di Desa Ungasan dan Desa


(6)

Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan. Tercatat dari Februari tahun 2011 kejadian rabies pada manusia di Bali sebanyak 122 orang dan terus menyebar tak terkendali. Selain itu rabies di Bali juga menginfeksi dan menyebabkan kematian pada sejumlah anjing (Hemachuda et al., 2002; Mitrabhakdi et al., 2005)

Kasus rabies di Kabupaten Bangli pertama kali teridentifikasi pada anjing di Desa Bebalang, Kabupaten Bangli tahun 2009. Setelah itu kasus rabies muncul setiap bulan secara rutin di berbagai Desa di Kabupaten Bangli (Lestyorini, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Batan et al., 2014), diketahui bahwa kasus rabies paling banyak ditemukan di Desa Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli yakni sebanyak delapan kasus. Kasus rabies pada manusia pertama kali teridentifikasi di Banjar Tambahan Tengah, Desa Jehem Tembuku pada bulan April 2010 (Nasution, 2011).

Tindakan yang dapat dilakukan agar suatu wilayah bebas rabies dapat dengan cara karantina hewan yang ketat, vaksinasi berskala besar dan pemusnahan anjing liar (Weng et al., 2010). Hal ini dapat sebagai langkah untuk menekan terjadinya wabah rabies. Sehingga upaya terhadap pencegahan kasus tidak terabaikan dan menjadi perhatian khusus terhadap kejadian rabies.