Aksesibilitas Tak Terbatas (Film Dokumenter Tentang Potret Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di Kota Surakarta) JURNAL
commit to user
AKSESIBILITAS TAK TERBATAS
(Film Dokumenter Tentang Potret Aksesibilitas Penyandang Disabilitas di Kota Surakarta)
Hery Mardianto Chatarina Heny Dwi Surwati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Accessibility is very important for disabled people because like other citizens of the country, they also deserve equality, same rights and obligations as well in contributing to society. However in reality, the implementation is far from what expected and still a lot of parties don’t show their concern yet towards the issue. Government, as the owner of authority and administer of public policy for its citizen both in national and regional level, definitely responsible in the availability of facilities and public services that accessible for disabled people. Besides of that, policies that concerned toward the disabled people also are needed. The policies can help reducing discrimination and negative stigmas experienced by disabled people to never ever happen again in future.
However, out of the concerns that could be delivered by various parties, the role of disabled people itself is very important to create an inclusive city with unlimited accessibility.
(2)
commit to user
Pendahuluan
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, pasal 1 (ayat 1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998, khususnya pasal 1 (ayat 1) dengan tegas menyatakan bahwa sebagaimana warga masyarakat lainnya, penyandang disabilitas berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya. Implementasi dilapangan menunjukkan bahwa, belum banyak yang menyadari betapa pentingnya menyediakan prasarana dan sarana aksesibilitas standar bagi penyandang cacat. Tuna daksa merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam alat penggerak, tuna netra merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam melihat, tuna rungu merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam mendengar dan tuna grahita merupakan seseorang dengan keterbatasan dalam intelektualitas sehingga untuk beraktivitas mereka tidak dapat melakukannya dengan mudah sehingga memerlukan alat bantu khusus. Keterbatasan dalam beraksesibilitas bagi para penyandang disabilitas tersebut merupakan hal yang mendasar bagi mereka untuk melakukan segala bentuk aktivitas terutama di tempat umum atau ruang publik. Karena itu, aksesibilitas fisik dalam pelayanan publik serta fasilitasnya perlu untuk dimaksimalkan sesuai dengan kebutuhannya agar aksesibel dan ramah bagi para penyandang disabilitas.
Bagi panyandang disabilitas tuna daksa, mereka membutuhkan ruang publik yang ada ramp dengan kemiringan 1 : 12 antara tinggi dan alas, pintu dengan lebar 90 cm, toilet yang sesuai dengan kursi roda, serta telepon umum yang rendah. Bagi tuna netra, yang paling dibutuhkan ialah sistem audio, seperti talking lift, arsitektur yang memilki braile di handel tangga, warning block di jalan umum, braile di keybord, titik handphone, dan lain sebagainya. Bagi tunu rungu yang dibutuhkan ialah visualnya, seperti bel peringatan kebakaran, ada lampu yang kedap-kedip, bahasa isyarat dan running text. Sedangkan bagi tuna grahita yang diutamakan ialah keselamatan, maka yang dibutuhkan ialah
(3)
commit to user
pembuatan bangunan yang tidak memiliki sudut lancip, tetapi dibuat dengan sudut tumpul.
Selain itu, aksesibilitas non fisik ini juga sangat penting bagi penyandang disabilitas, karena selain fasilitas publik yang harus aksesibel, kualitas pelayanan pun harus aksesibel atau dapat dijangkau dan dipahami oleh para penyandang disabilitas.
Dan yang wajib menyediakan aksesibilitas serta fasilitas yang ramah terhadap difabel tersebut tentulah pemerintah. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya masih banyak fasilitas-fasilitas publik di Indonesia yang belum aksesibel bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
Hal ini tercermin melalui sarana transportasi umum yang tidak bersahabat dengan penyandang disabilitas, tidak adanya trotoar yang mendukung bagi penyandang disabilitas, tempat parkir kendaraan yang tidak cocok bagi penyandang disabilitas, elevator yang terlalu sempit, sarana sanitasi yang tidak mendukung, dan juga jalanan yang licin serta tidak rata yang tidak dapat dilewati oleh penyandang disabilitas. Hukum berjalan tanpa implementasi yang layak. Hukum dan kebijakan dibuat dengan sanksi yang tidak pernah dilaksanakan. Masalahnya juga menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan jenis penyandang disabilitas dimana kebutuhan setiap penyandang disabilitas tidak selalu sama.
Sebagai pemangku jabatan sekaligus sebagai penyedia fasilitas dan pelayanan umum bagi masyarakat, pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tentunya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam ketersediaan fasilitas dan pelayanan umum yang aksesibel dan ramah bagi kaum difabel.
Dalam teori HAM (Hak Asasi Manusia), negara ialah pemangku kewajiban, sedangkan masyarakat ialah pemangku hak. Identifikasi pemangku kewajiban dan hak ini merupakan konsekwensi instrumen-instrumen hukum, utamanya instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi di Indonesia. Dalam hal pemenuhan aksesesiblitas fisik dan non fisik bagi penyandang disabilitas, Indonesia secara khusus telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities yang kemudian menjadi UU No. 19 tahun 2011
(4)
commit to user
tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pemerintahan Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil (UU No. 12 tahun 2005) dan Politik dan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU No. 11 tahun 2005), dimana kedua instrumen ini sangat tegas menentang tindakan diskriminasi dan menjamin prinsip universalitas dalam pelayanan publik.
Namun, pemerintah bukanlah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Menurut Sunarman, Direktur Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Prof. Dr. Soeharso Solo, syarat agar sebuah kota layak disebut kota ramahdifabel adalah selain adanya peran aktif pemerintah sebagai pemangku jabatan yang peduli terhadap nasib difabel dengan kebijakan-kebijakannya yang ramah difabel, perlu pula adanya dukungan dari masyarakat serta partisipasi aktif dari para difabel itu sendiri.
Dan kota Solo merupakan salah satu kota di Indonesia yang mendukung adanya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Terbukti dengan diterbitkannya Perda No.2 Tahun 2008 yang mengatur tentang hak-hak difabel, banyaknya tempat rehabilitasi dengan fasilitas yang memadai serta peran aktif dari para difabel yang tergabung dalam pergerakan-pergerakan dan selalu aktif menyuarakan hak-hak diabel.
Fakta-fakta tersebut memang menggambarkan bahwa Kota Surakarta
memang pantas mendeklarasikan diri sebagai „Kota Ramah Difabel‟. Namun
pertanyaan besar selalu muncul menyertai fakta-fakta tersebut di atas. Di samping itu, dalam pelaksanaan pembangunan aksesibilitas penyandang disabilitas tersebut pasti muncul kendala-kendala dan hambatan-hambatan serta permasalahan lain yang harus segera diatasi.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah :
“Apakah para penyandang disabilitas di Surakarta merasakan dampak yang positif dari pembangunan fasilitas dan pelayanan publik di Surakarta serta
(5)
commit to user
bagaimana sesungguhnya potret aksesibilitas penyandang disabilitas di Indonesia?
Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini adalah :
Menunjukkan bahwa Aksesibiltas sangatlah penting bagi para penyandang disabilitas guna memenuhi kebutuhan mereka serta untuk mewujudkan suatu kota yang inklusi dan eamah terhadap difabel.
Tinjauan Pustaka a. Komunikasi
Menurut Onong (2001: 9) komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.
Little John (John, 1989: 5) mendefinisikan komunikasi sebagai “communication is the process by which we understand others and it turn endeavor to be understood by them. It is dynamic, constantly, changing and shifting in response to the total situation.”
Berdasarkan paparan di atas, pikiran dan atau perasaan seseorang baru akan diketahui oleh dan akan ada dampaknya kepada orang lain apabila ditransmisikan dengan menggunakan media primer tersebut, yakni lambang-lambang. Dengan perkataan lain, pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol) (Uchjana, 2001: 12).
Menurut Harold Lasswell, terdapat lima unsur dalam proses komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, antara lain (Mulyana, 2005: 62):
(6)
commit to user
1. Sumber (source), yaitu semua pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi.
2. Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima, baik itu verbal atau non-verbal.
3. Saluran atau media, yaitu alat yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesan kepada penerima.
4. Penerima (receiver), yaitu orang yang menerima pesan dari sumber. 5. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut.
Onong (2001: 11) membagi proses komunikasi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
b.Film Dokumenter Sebaga Bentuk Komunikasi
John Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas (Effendy, 2002: 11). Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Kunci utama dari dokumenter adalah penyajian fakta. Kekuatan utama yang dimiliki film dokumenter terletak pada rasa keontentikan, bahwa tidak ada definisi film dokumenter yang lengkap tanpa mengaitkan faktor-faktor subyektif pembuatnya. Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter.
(7)
commit to user
Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan kan sangat tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu (Sumarno, 1996: 13).
DA. Peransi (1996: 15) mengatakan bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas, menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu.
Film dokumenter adalah salah satu media komunikasi. Film dokumenter sangat tepat digunakan sebagai media komunikasi satu arah, mengingat film dokumenter memuat konten fakta dan dapat lebih relevan untuk diyakini kebenarannya. Dengan format audio-visual, keberadaan film dokumenter berpengaruh dalam pembentukan pemikiran dan sikap khalayak tanpa mempertimbangkan usia. Penyampaian komunikasi dalam film dokumenter ini lebih menitik beratkan pada pemakain narasi dan narasumber, sehingga akan lebih mudah dan cepat dipahami oleh masyarakat. Tampilan visual yang diperlihatkan mengacu pada kejelasan penyampaian informasi realita yang mempunyai kesan sederhana, tegas, minimalis dan berisi sebagaimana umumnya sebuah dokumentasi film. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan. Dari uraian tersebut film dokumenter telah memenuhi komponen komunikasi.
Posisi film dokumenter dalam komunikasi dapat dijelaskan dengan menggunakan model Lasswell. Komuniksai model Harold Lasswell sering diterapkan dalam komunikasi massa, Model tersebut mengisyaratkan bahwa lebih dari satu saluran dapat membawa pesan. Lasswell menggambarkan proses komunikasi dan fungsi-fungsi yang diembannya dalam masyarakat. Harold Lasswell menjabarkan proses komunikasi mempunyai unsur-unsur sebagai berikut, (Mulyana, 2005: 136):
(8)
commit to user
a. Sumber (Who) adalah yang memiliki pesan untuk disampaikan
b. Pesan (Says what) adalah seperangkat simbol verbal ataupun non-verbal yang mewakili gagasan, nilai, atau maksud dari sumber
c. Saluran atau media (In Which Channel) adalah alat untuk menyampaikan pesan kepada penerima
d. Penerima (To Whom) adalah penerima yang mendapatkan pesan dari sumber.
e. Efek (With What Effect?) adalah akibat dari apa yang ditimbulkan pesan komunikasi massa pada khalayak pembaca, pemirsa, atau pendengar.
Dalam film dokumenter, pembuat film dukumenter (who) menyampaikan berbagai macam informasi, dalam penelitian ini adalah informasi tentang masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki sebagai energi alternatif (says what). Informasi ini kemudian disebarkan kepada khalayak melalui sebuah media audio visual, yang dalam hal ini adalah media film dokumenter (in which channel). Kemudian diterima oleh audience yang melihat film dokumenter ini (to whom) dan akan ada akibat atau efek dari informasi yang disampaikan (with what effect). Dengan kata lain, dalam model Lasswell ini, seorang pembuat film dokumeter berfungsi sebagai sumber, sekaligus pemberi pesan melalui saluran berupa film dokumenter.
c. Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas atau sering kali disebut difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang berbeda kemampuan. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan. Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities, penyandang difable dituliskan sebagai penyandang disabilitas, yaitu mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat
(9)
commit to user
berdasarkan kesetaraan dengan lainnya. Hasil survey Pusdatin Depsos (2007) menunjukkan bahwa populasi penyandang cacat adalah sekitar 3,11% dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai sekitar 220 juta jiwa. Itu berarti jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 7,8 juta jiwa. Sebagai warga negara, penyandang disabilitas tentunya juga memiliki hak dan perlakuan yang sama dengan masyarakat pada umumnya termasuk dalam hal pelayanan publik serta aksesibilitasnya.
Menurut Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 yang dimaksud pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
d. Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting.
Aksesibilitas terbagi menjadi dua kategori, yaitu aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik.
Aksesibilitas fisik merupakan aksesibilitas yang berhubungan dengan segala macam akses yang berwujud fisik seperti akses jalan dan ruang publik serta peralatan dan perlengkapan lain yang berguna untuk para penyandang disabilitas. Sedangkan yang dimaksud dengan aksesibilitas non fisik ialah menjangkaunya para penyandang disabilitas terhadap pelayan publik yang sifatnya seperti bahasa pelayanan, sikap dan kualitas penerimaan. Aksesibilitas non fisik ini juga sangat fundamental bagi penyandang disable, karena selain fasilitas publik yang semestinya akses, tetapi juga kualitas
(10)
commit to user
pelayanan yang harus dijangkau dan dipahami oleh para penyandang disabilitas.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode observasi dan wawancara. Pawito (2007: 111) mengemukakan metode observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir (Pawito, 2007: 132).
Sajian dan Analisa Data a. Judul
Aksesibilitas Tak Terbatas b. Lokasi
Solo Raya. c. Durasi
24 menit 56 Detik d. Segmentasai
Masyarakat umum. e. Film Statement
Aksesibilitas terhadap fasilitas dan pelayaanan publik merupakan sesuatu yang mutlak yang dimiliki oleh semua orang tanpa membeda-bedakan siapa penggunanya, bukan pula hanya sebagai suatu pilihan semata, keberadaanya sangat penting karena berkaitan dengan mobilitas yang berpengaruh terhadap kemudahan dalam memenuhi kebutuhan
(11)
commit to user
mereka dan sudah seharusnya diperhatikan sebagaimana halnya mereka yang non disabilitas. Karena itulah, diperlukan partisipasi aktif dari Pemerintah, masyarakat serta para difabel sendiri untuk mewujudkan masyarakat yang inklusi dan lingkungan yang aksesibel.
f. Ringkasan Film
Film Dokumenter “ Aksesibilitas Tak Terbatas “terbagi dalam enam
sekuen.
1. Sequence I
Pada sequence ini akan menjelasakan tentang konsep disabilitas dan pentingnya aksesibilitas bagi peningkatan kualitas hidup difabel secara umum di Indonesia.
Film ini dibuka dengan aktivitas penyandang disabilitas di Kota Solo dan penjelasan dari bapak Sunarman (Aktifis Difabel sekaligus Direktur Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat) mengenai konsep aksesibiltas dan karakteristik difabel di Indonesia .
Istilah 'difabel' itu memang lebih mudah untuk masuk ke identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang berbeda yang selama ini orang belum pikirkan, ketika kita mengenal istilah 'difabel' atau different able people' atau kemampuan yang berbeda itu orang melihat apanya yang berbeda? lalu konsekuensinya apa? makanya muncullah kata-kata atau muncullah satu terminologi 'aksesibilitas' yang dimaknai bahwa aksesibilitas itu satu kemudahan bagi teman-teman yang memiliki kemampuan berbeda untuk bisa melakukan aktivitasnya secara mandiri, aman, dan nyaman. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRBM Surakarta, 2 Juni 2014)
Gambar 1 : Aktifitas Difabel di Kota Solo
(12)
commit to user
Gambar 2 : Sunarman
Sumber: Dokumen Pribadi
2. Sequence II
Pada sequence ini akan berisikan tentang penjelasan Pak Sunarman mengenai sejarah awal mula perjuangan dan awal mula munculnya konsep pemenuhan terhadap hak-hak difabel di Kota Solo, termasuk sejarah mengenai Dr. Soeharso yang menjadi inspirasi para pejuang difabel saat ini untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Gambar 3: Memorabilia Prof. Dr. Soeharso
Sumber: Dokumen Pribadi
Konsep tentang pemenuhan dan pelayanan kepada difabel itu sudah dimulai tahun 1954, pada jaman Pak Harso. Konsepnya Pak Harso pada waktu itu cukup luar biasa karena konsep beliau adalah rehabilitasi total dan diakhiri dengan delabelisasi, dan kalau difabel sudah direhabilitasi total maka sebetulnya tidak ada lagi istilah, pada waktu itu, cacat. Kalau orang cacat itu sudah direhabilitasi total maka harus diakhiri dengan delabelisasi, tidak ada lagi kata 'cacat'. Karena mereka dalam konsep P ak Harso itu, sudah kembali menjadi manusia. Maka beliau mengatakan "Sebetulnya di dunia ini tidak ada yang namanya manusia cacat, yang ada hanyalah, manusia. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRMB Surakarta, 2 Juni 2014)
(13)
commit to user
Gambar 4: Aktifitas di BBRSBD Prif. Dr. Soeharso
Sumber: Dokumen Pribadi
3. Sequence III
Pada sequence ini akan berisikan tentang penjelasan Bapak Sunarman tentang pentingnya partisipasi difabel sebagai salah satu syarat terciptanya Kota Ramah Difabel dan penjelasan mengenai syarat terciptanya Kota Ramah Difabel oleh Pak Sunaman dan Bapak Sugi.
Ramah difabel itu tidak hanya partisipasi difabel saja sebetulnya karena tadi konsepnya kan aksesibiltas adalah hak difabel dan hak difabel adalah hak asasi manusia sama seprti yang lain, maka supaya inklusi dan berkelanjutan itu ada empat. Yang pertama ada kebijakan dan sistem yang berpihak kepada difabel. Yang kedua ada partisipasi aktif difabel itu sendiri, yang ketiga adalah ada mekanisme sinergi koordinasi lintas dinas lintas sektor karena isu difabel bukan lagi isu tunggal tetapi isu lintas. Yang terakhir adalah harus ada program dan penganggaran yang jelas setiap tahun untuk memastikan bahwa program dan pelayanan fasilitas publik itu ramah kepada difabel. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRBM Surakarta, 2 Juni 2014)
Gambar 5: Rapat Partisipasi Aktifis Difabel
Sumber: Dokumen Pribadi
Sebuah kota dikatakan dia menghormati warganya yang difabel itu ketika dari pemda plus dewan itu mengeluarkan
(14)
commit to user
satu perda. Di perda itu yang kita merasa hak-hak kita terjamin oleh hukum, oleh undang-undang. (Wawancara Sugianoor, Pengajar Difabel YPAC Surakarta, 10 Juni 2014)
Gambar 6: Sugianoor
Sumber: Dokumen Pribadi
4. Sequence IV
Pada sequence ini akan berisikan tentang Kondisi aksesibilitas di Kota Solo, baik aksesibilitas yang fisik, maupun yang non-fisik. Serta pengakuan dari Tegar, siswa difabel Yayasan Pendidikan Anak Cacat Surakarta yang sering bepergian menggunakan fasilitas transportasi umum di Kota Solo.
Gambar 7: Contoh Aksesibilitas F isik
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 8: Contoh Aksesibilitas Non F isik
(15)
commit to user
Aksesibiltas di Solo itu, masih ada yang akses, tapi masih ada yang belum. Jadi kita kalau mau kemana -mana itu susah, kalau punya duit banyak sih gapapa kan bisa naik taksi, lah kalau ga ada duit? Naik becak aja juga mahal, naik bis kan murah. Itu aja kadang-kadang ada yang bisa kita jangkau, kadang-kadang ada yang enggak. Tujuan tertentu aja kan yang bisa. (Wawancara Tegar, Siswa Difabel YPAC Surakarta, 20 Oktober 2014)
Gambar 9 : Tegar
Sumber: Dokumen Pribadi
5. Sequence V
Pada sequence ini akan berisikan tentang tentang beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi terwujudnya pemenuhan aksisibilitas terhadap penyandang disabilitas di Kota Solo.
Ada kepentingan-kepentingan lain yang juga menjadi pertimbangan, misalnya untuk membangun shelter itu kan butuh ruang, kadang-kadang mengganggu kaki lima, ada pedagang kaki lima yang harus pindah, jadi memang tidak mudah, dan yang butuh waktu lama adalah mengubah mindset dan mengubah kultur atau kebiasaan, misalnya sampai sekarang itu kan ada aksesibiltas tetapi kebiasaan trotoar atau aksesibiltas itu dipakai untuk jualan, untuk parkir.. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRMB Surakarta, 2 Juni 2014)
(16)
commit to user
Gambar 10: Contoh Aksesisibilitas yang disalahgunakan
Sumber: Dokumen Pribadi
Selain itu, kurangnya penegakan hukum serta implementasi dari perda difabel juga menjadi faktor penghambat lain dalam pemenuhan aksesibilitas bagi difabel.
Itu tadi yang kubilang implementasinya yang belum ada, Perdanya ada, implementasinya yang belum kita rasakan. Karena mungkin sosialisasinya juga tidak full. (Wawancara Sugianoor, Pengajar Difabel YPAC Surakarta, 10 Juni 2014)
6. Sequence VI
Pada sequence ini Pada sequence ini Pak Sugi dan Pak Sunarman menjelaskan mengenai konsep 'Aksesibilitas Tak Terbatas' dan harapan serta saran untuk terwujudnya kota yang aksesibel dan ramah bagi difabel.
Tapi bagi kami pengertian aksesibiltas itu suatu cara agar kami bisa mengakses, bisa merasakan, bisa menjalani, bisa menggunakannya sama seperti yang lain. Idealnya memang seperti itu, aksesibilitas tak terbatas, Tapi realitanya yang membuat batasan-batasan hingga akhirnya kita terbatasi ya orang-orang yang punya kekuasaan. Ya mudah-mudahan pemerintah selalu mengakui bahwa difabel itu ada dan juga tidak usah mali-malu mengakui karya-karyanya difabel, terima kami sebagai masyarakat yang biasa gitu, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama yang diatur sama undang-undang. (Wawancara Sugianoor, Pengajar Difabel YPAC Surakarta, 10 Juni 2014)
(17)
commit to user
Gambar 11: Sugianoor membimbing siswa difabel YPAC
Sumber: Dokumen Pribadi
Kepada pemerintah kita harapkan program dan anggaran itu harus progresif, jangan tahun ini ada tapi tahun berikutnya tidak ada, karena masih ada ribuan difabel yang dalam tanda petik belum tersentuh. Saran untuk teman-teman difabel sendiri ya tetap kompak, tetap semangat, jangan sampai dikuasai oleh ego sektoral atau ego kelompok, tapi tetap menyatukan visi gerakan, kemudian juga regenerasi. Saran kepada keluarga difabel, jangan malu, jangan menganggap digabel itu beban, aib, dan sebagainya. Kepada masyarakat, mari kita ubah cara pandang kita kepada difabel bahwa difabel itu adalah bagian dari keragaman, bagian dari keniscayaan yang tidak bisa kita sembunyikan atau kita tolak terus-menerus karena justru di situlah letak ketinggian peradaban dan martabat kita ketika kita bisa meninggikan atau memuliakan martabat mereka yang selama ini kita pandang sebelah mata. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRBM Surakarta, 2 Juni 2014)
Gambar 11: Peringatan Hari Disabilitas Internasional
(18)
commit to user
Kesimpulan
Aksesibilitas merupakan hak difabel dan hak difabel adalah hak asasi manusia dan hak tersebut harus diperoleh oleh para penyandang disabilitas guna memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena itulah upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus menjadi kewajiban seluruh elemen masyarakat agar kota ramah difabel dan inklusi bisa terwujud.
Dan syarat-syarat untuk mewujudkan kota ramah difabel tersebut yang pertama adalah harus ada kebijakan dan sistem yang berpihak kepada difabel. Yang kedua adalah adanya partisipasi aktif dari difabel itu sendiri, yang ketiga harus ada mekanisme sinergi koordinasi lintas dinas dan lintas sektor . Dan yang terakhir adalah harus ada program dan penganggaran yang jelas setiap tahunnya untuk memastikan bahwa program dan pelayanan fasilitas publik itu selalu ramah kepada difabel.
Hal - hal tersebut menunjukkan bahwa perjuangan untuk menciptakan sebuah kota yang ramah terhadap difabel memang tidaklah mudah. Namun. Dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada difabel. Dan partisipasi aktif dari para difabel serta perubahan cara pandang masyarakat yang kini lebih toleran terhadap difabel. Membuat upaya menuju ke arah itu semakin terlihat nyata.
Upaya-upaya seperti inilah. Yang harus terus diperjuangkan demi terwujudnya masyarakat inklusif dan ber-aksesibiltas tak terbatas.
Saran
Saran yang diajukan dan diharapkan untuk terwujudnya suatu kota yang ramah difabel untuk pemerintah serta masyarakat pada umumnya, antara lain:
(19)
commit to user
1. Program dan anggaran untuk pemenuhan sarana dan prasarana penyandanhg disabilitas harus lebih progresif dan berkelanjutan.
2. Implementasi hukum dan kebijakan Perda Difabel harus lebih ditegakkan lagi.
3. Difabel harus lebih percaya diri dan ikut berpartisipasi aktif dalam upaya pemenuhan hak-hak difabel.
4. Keluarga yang memiliki penyandang disabilitas harus lebih suportif dan peduli agar penyandang disabilitas tersebut tidak merasa rendah diri. 5. Masyarakat harus mulai mengubahcara pandang mereka terhadap
penyandang disabilitas agar lebih toleran dan menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
6. Pemerintah dan masyarakat baik yang difabel maupun non difabel harus saling membantu dan bekerja sama agar kota ramah difabel tersebut bisa terwujud.
Daftar Pustaka
Anggoro Suryokusumo, R Ferry. 2008. Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan : Yogyakarta
Ayawaila, Gerzon Ron. 2008. Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press
Barbash, Ilisa.1997. Cross-Cultural Filmaking, Berkeley: University of CaliforniaPress
Bordwell, David & Kristin Thompson. 2004. Film Art an Introduction, McGraw – Hill Companies. Inc, New York.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Effendy, Heru. 2002. Mari Membuat Film. Panduan. Yogyakarta.
Gibson, Franchis. Article 13 of the Convention on Rights of Persons with Disabilities Aright to-Legal Aid?, hal. 1, (http://www.academia.edu/207906/Article_13_
of_the_Convention_on_Rights_of_Persons_with_Disabilities__A_Right _to_Legal_Aid), diakses tanggal 22 April 2014
Konigsberg, Ira.1998. The Complete Film Dictionary. Penguin (Non-Classics)
Lubis, Hendra Arif. 2008. Kajian Aksesibilitas Difabel Pada Ruang Publik Kota Studi Kasus : Lapangan Merdeka. USU Repository. Medan
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remadja Rosdakarya, Bandung
(20)
commit to user
Nichols, Bill.2010. Introduction to Documentary. Indiana: Indiana University Press
Seto, Bimo Andang. 2013. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam Pelayanan Publik Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan di Kota Surakarta. Surakarta
Sumarno, Marselli.1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Sutisno, PCS.1993. Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video. Jakarta: Grasindo
Syafari Firdaus, dkk. 2007. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta
Syafi‟ie, M. Purwanti dan Mahrus Ali. Potret Difabel Berhadapan dengan
Hukum Negara. Yogyakarta: SIGAB, 2014.
Tarsidi, Didi, 2008, Aksesibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat, makalah disampaikan pada FGD Tent ang Draft Raperda Perlindungan Penyandang Cacat Kota Bandung. Diunduh pada bulan Nopember 2010 disitus: http://file.upi.edu/.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994. Nomor 9, Sekretariat Negara. Jakarta
Whittle, Richard 2012. Access to Justice And Article 13 UNCRPD. Sheffiled Hallam University), hal. 5
Wibowo., Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo.
www.wikipedia.org/konsep-good-governance/, diakses tanggal 24/11/2014 jam 20.02 WIB.
(1)
commit to user
Aksesibiltas di Solo itu, masih ada yang akses, tapi masih ada yang belum. Jadi kita kalau mau kemana -mana itu susah, kalau punya duit banyak sih gapapa kan bisa naik taksi, lah kalau ga ada duit? Naik becak aja juga mahal, naik bis kan murah. Itu aja kadang-kadang ada yang bisa kita jangkau, kadang-kadang ada yang enggak. Tujuan tertentu aja kan yang bisa. (Wawancara Tegar, Siswa Difabel YPAC Surakarta, 20 Oktober 2014)
Gambar 9 : Tegar
Sumber: Dokumen Pribadi
5. Sequence V
Pada sequence ini akan berisikan tentang tentang beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat bagi terwujudnya pemenuhan aksisibilitas terhadap penyandang disabilitas di Kota Solo.
Ada kepentingan-kepentingan lain yang juga menjadi pertimbangan, misalnya untuk membangun shelter itu kan butuh ruang, kadang-kadang mengganggu kaki lima, ada pedagang kaki lima yang harus pindah, jadi memang tidak mudah, dan yang butuh waktu lama adalah mengubah mindset dan mengubah kultur atau kebiasaan, misalnya sampai sekarang itu kan ada aksesibiltas tetapi kebiasaan trotoar atau aksesibiltas itu dipakai untuk jualan, untuk parkir.. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRMB Surakarta, 2 Juni 2014)
(2)
commit to user
Gambar 10: Contoh Aksesisibilitas yang disalahgunakan
Sumber: Dokumen Pribadi
Selain itu, kurangnya penegakan hukum serta implementasi dari perda difabel juga menjadi faktor penghambat lain dalam pemenuhan aksesibilitas bagi difabel.
Itu tadi yang kubilang implementasinya yang belum ada, Perdanya ada, implementasinya yang belum kita rasakan. Karena mungkin sosialisasinya juga tidak full. (Wawancara Sugianoor, Pengajar Difabel YPAC Surakarta, 10 Juni 2014)
6. Sequence VI
Pada sequence ini Pada sequence ini Pak Sugi dan Pak Sunarman menjelaskan mengenai konsep 'Aksesibilitas Tak Terbatas' dan harapan serta saran untuk terwujudnya kota yang aksesibel dan ramah bagi difabel.
Tapi bagi kami pengertian aksesibiltas itu suatu cara agar kami bisa mengakses, bisa merasakan, bisa menjalani, bisa menggunakannya sama seperti yang lain. Idealnya memang seperti itu, aksesibilitas tak terbatas, Tapi realitanya yang membuat batasan-batasan hingga akhirnya kita terbatasi ya orang-orang yang punya kekuasaan. Ya mudah-mudahan pemerintah selalu mengakui bahwa difabel itu ada dan juga tidak usah mali-malu mengakui karya-karyanya difabel, terima kami sebagai masyarakat yang biasa gitu, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama yang diatur sama undang-undang. (Wawancara Sugianoor, Pengajar Difabel YPAC Surakarta, 10 Juni 2014)
(3)
commit to user
Gambar 11: Sugianoor membimbing siswa difabel YPAC
Sumber: Dokumen Pribadi
Kepada pemerintah kita harapkan program dan anggaran itu harus progresif, jangan tahun ini ada tapi tahun berikutnya tidak ada, karena masih ada ribuan difabel yang dalam tanda petik belum tersentuh. Saran untuk teman-teman difabel sendiri ya tetap kompak, tetap semangat, jangan sampai dikuasai oleh ego sektoral atau ego kelompok, tapi tetap menyatukan visi gerakan, kemudian juga regenerasi. Saran kepada keluarga difabel, jangan malu, jangan menganggap digabel itu beban, aib, dan sebagainya. Kepada masyarakat, mari kita ubah cara pandang kita kepada difabel bahwa difabel itu adalah bagian dari keragaman, bagian dari keniscayaan yang tidak bisa kita sembunyikan atau kita tolak terus-menerus karena justru di situlah letak ketinggian peradaban dan martabat kita ketika kita bisa meninggikan atau memuliakan martabat mereka yang selama ini kita pandang sebelah mata. (Wawancara Sunarman, Aktifis Difabel PPRBM Surakarta, 2 Juni 2014)
Gambar 11: Peringatan Hari Disabilitas Internasional
(4)
commit to user
Kesimpulan
Aksesibilitas merupakan hak difabel dan hak difabel adalah hak asasi manusia dan hak tersebut harus diperoleh oleh para penyandang disabilitas guna memudahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan mereka. Karena itulah upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus menjadi kewajiban seluruh elemen masyarakat agar kota ramah difabel dan inklusi bisa terwujud.
Dan syarat-syarat untuk mewujudkan kota ramah difabel tersebut yang pertama adalah harus ada kebijakan dan sistem yang berpihak kepada difabel. Yang kedua adalah adanya partisipasi aktif dari difabel itu sendiri, yang ketiga harus ada mekanisme sinergi koordinasi lintas dinas dan lintas sektor . Dan yang terakhir adalah harus ada program dan penganggaran yang jelas setiap tahunnya untuk memastikan bahwa program dan pelayanan fasilitas publik itu selalu ramah kepada difabel.
Hal - hal tersebut menunjukkan bahwa perjuangan untuk menciptakan sebuah kota yang ramah terhadap difabel memang tidaklah mudah. Namun. Dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada difabel. Dan partisipasi aktif dari para difabel serta perubahan cara pandang masyarakat yang kini lebih toleran terhadap difabel. Membuat upaya menuju ke arah itu semakin terlihat nyata.
Upaya-upaya seperti inilah. Yang harus terus diperjuangkan demi terwujudnya masyarakat inklusif dan ber-aksesibiltas tak terbatas.
Saran
Saran yang diajukan dan diharapkan untuk terwujudnya suatu kota yang ramah difabel untuk pemerintah serta masyarakat pada umumnya, antara lain:
(5)
commit to user
1. Program dan anggaran untuk pemenuhan sarana dan prasarana penyandanhg disabilitas harus lebih progresif dan berkelanjutan.
2. Implementasi hukum dan kebijakan Perda Difabel harus lebih ditegakkan lagi.
3. Difabel harus lebih percaya diri dan ikut berpartisipasi aktif dalam upaya pemenuhan hak-hak difabel.
4. Keluarga yang memiliki penyandang disabilitas harus lebih suportif dan peduli agar penyandang disabilitas tersebut tidak merasa rendah diri. 5. Masyarakat harus mulai mengubahcara pandang mereka terhadap
penyandang disabilitas agar lebih toleran dan menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
6. Pemerintah dan masyarakat baik yang difabel maupun non difabel harus saling membantu dan bekerja sama agar kota ramah difabel tersebut bisa terwujud.
Daftar Pustaka
Anggoro Suryokusumo, R Ferry. 2008. Pelayanan Publik dan Pengelolaan Infrastruktur Perkotaan : Yogyakarta
Ayawaila, Gerzon Ron. 2008. Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press
Barbash, Ilisa.1997. Cross-Cultural Filmaking, Berkeley: University of CaliforniaPress
Bordwell, David & Kristin Thompson. 2004. Film Art an Introduction, McGraw – Hill Companies. Inc, New York.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Effendy, Heru. 2002. Mari Membuat Film. Panduan. Yogyakarta.
Gibson, Franchis. Article 13 of the Convention on Rights of Persons with
Disabilities Aright to-Legal Aid?, hal. 1,
(http://www.academia.edu/207906/Article_13_
of_the_Convention_on_Rights_of_Persons_with_Disabilities__A_Right _to_Legal_Aid), diakses tanggal 22 April 2014
Konigsberg, Ira.1998. The Complete Film Dictionary. Penguin (Non-Classics)
Lubis, Hendra Arif. 2008. Kajian Aksesibilitas Difabel Pada Ruang Publik Kota Studi Kasus : Lapangan Merdeka. USU Repository. Medan
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remadja Rosdakarya, Bandung
(6)
commit to user
Nichols, Bill.2010. Introduction to Documentary. Indiana: Indiana University Press
Seto, Bimo Andang. 2013. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam Pelayanan Publik Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan di Kota Surakarta. Surakarta
Sumarno, Marselli.1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Sutisno, PCS.1993. Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video. Jakarta: Grasindo
Syafari Firdaus, dkk. 2007. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia : Sebuah Panduan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta
Syafi‟ie, M. Purwanti dan Mahrus Ali. Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara. Yogyakarta: SIGAB, 2014.
Tarsidi, Didi, 2008, Aksesibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat, makalah disampaikan pada FGD Tent ang Draft Raperda Perlindungan Penyandang Cacat Kota Bandung. Diunduh pada bulan Nopember 2010 disitus: http://file.upi.edu/.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994. Nomor 9, Sekretariat Negara. Jakarta
Whittle, Richard 2012. Access to Justice And Article 13 UNCRPD. Sheffiled Hallam University), hal. 5
Wibowo., Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo.
www.wikipedia.org/konsep-good-governance/, diakses tanggal 24/11/2014 jam 20.02 WIB.