REKONSTRUKSI DASAR-DASAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN IPS-SD BERDASARKAN PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME.

(1)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ……….………….. PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ……….. PERSEMBAHAN……… MOTTO ……….. ABSTRAK ………. ABSTRACT ……….. KATA PENGANTAR ……… DAFTAR ISI ……….……. DAFTAR TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN ………. BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……… B. Masalah Penelitian ………. C. Pertanyaan Penelitian ……….….……….. D. Tujuan Penelitian ………..………. E. Manfaat Penelitian……….. F. Variabel dan Definisi Operasional ……… BAB II : PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN IPS

A. Konstruktivisme: Kerangka Pemikiran ………. B. Perspektif Konstruktivisme tentang Hakikat Anak/Siswa dalam

Konteks Pendidikan IPS-SD ………..……… C. Perspektif Konstruktivisme dalam Pendidikan IPS: Historis

Epistemologis ……….. D. Signifikansi Pendapat Siswa sebagai Bidang Kajian dan sebagai

Dasar Pemikiran PIPS ……….…… E.

F. Pendidikan IPS-SD dalam Perspektif Yuridis-Konstitusional …… BAB III : METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian ……….. B. Metode Pengumpulan Data ……….. C. Teknik Pengolahan, Analisis, dan Validasi Data ………..

1. Pengolahan Data ……….. 2. Analisis dan Interpretasi Data ……… 3. Validasi Data ……….

ii iii iv v vi vii viii xii xiv 1 11 13 14 15 16 20 27 32 55 62 66 67 69 69 69 71


(2)

BAB IV : GAGASAN KONTEKSTUAL KURIKULUM PENDIDIKAN IPS-SD KONSTRUKTIVISTIK

A. Konteks Penelitian ………. B. Kompetensi Pendidikan IPS-SD ……….

1. Kompetensi Personal ……… 2. Kompetensi Sosial ……… 3. Kompetensi Intelektual ……….. C. Pola Pengorganisasian dan Struktur Materi PIPS-SD ………….

1. Pola Pengorganisasian Materi ……… 2. Struktur Materi ……….. D. Pola Penataan Lingkungan Kelas Pembelajaran PIPS-SD …….

1. Pola Penataan Lingkungan Psikologis Kelas ……….. 2. Pola Penataan Lingkungan Sosial Kelas ………. BAB V : REKONSTRUKSI DASAR-DASAR PEMIKIRAN KURIKULUM

PENDIDIKAN IPS-SD BERDASARKAN PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME

A. Parameter Rekonstruksi: Konteks Rekonstruksi dan Rekonstruksi Kontekstual……….

B. Rekonstruksi Kompetensi Pendidikan IPS-SD ………. 1. Kompetensi Personal ………. 2. Kompetensi Sosial ……….. 3. Kompetensi Intelektual ……….. C. Rekonstruksi Pola Organisasi dan Struktur Isi Kurikulum Pendidikan

IPS-SD ………...

1. Konteks Rekonstruksi Isi Kurikulum Pendidikan IPS-SD ……. a. Konteks Personal Siswa ……….. b. Konteks Interpersonal/Sosiokultural ……… c. Konteks Sosial, Budaya, dan Historis Masyarakat ……….. 2. Pola Organisasi Isi Kurikulum Pendidikan IPS-SD ……… 3. Struktur Isi Kurikulum Pendidikan IPS-SD ……….

a. Struktur Substantif ……….. b. Struktur Sintaktik ……….. c. Struktur Normatif ……….. D. Rekonstruksi Pola Penataan Lingkungan Psikologis dan Sosial

Kelas Pembelajaran ……….……….. 1. Kelas sebagai Konteks Psikologis dan Sosiokultural………….. 2. Peran Guru dalam Penataan Iklim Kelas……….. 3. Strategi Pembelajaran dalam Penataan Iklim Kelas……… 4. Bahan dan Media Belajar dalam Penataan Iklim Kelas………..

74 81 81 92 111 133 134 148 156 156 172 186 190 194 207 223 241 242 242 249 250 251 258 264 266 269 284 285 288 292 295


(3)

BAB VI : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan ……… 2. Rekomendasi ………. DALIL ……… KEPUSTAKAAN ……….. BIOGRAFI PENULIS ……….. LAMPIRAN ………

300 302

306 311 323 353


(4)

DAFTAR

TABEL, GAMBAR, DAN BAGAN

Tabel:

1. “Target Pencapaian” (TP) dan “Daya Serap Kurikulum” (DSK) kelas I s.d VI Tahun Pelajaran 2002-2003 (dalam %) …………... 2. “Nilai Ebtanas Murni” (NEM) Kelas VI Tahun Pelajaran 1999-2003 3. Pokok bahasan/ Sub pokok Bahasan dalam Kurikulum PIPS-SD 1994/1999 Berkaitan dengan Kompetensi Geografis ………... 4. Pokok bahasan/Sub pokok Bahasan dalam Kurikulum PIPS-SD 1994/1999 Berkenaan dengan Kompetensi Pemahaman dan Kesadaran Waktu ……….. 5. Pokok bahasan/ Sub pokok Bahasan dalam Kurikulum PIPS-SD

1994/1999 Berkaitan dengan Logika-Matematika ………. 6. Struktur Materi Formal dalam Kurikulum PIPS-SD 1994/1999 ….. 7. Struktur Materi Non-Formal dalam PIPS-SD ………. 8. Rumusan Kompetensi Pendidikan IPS-SD ……… 9. Jalinan Organisasi Tematikal dalam Pendidikan IPS-SD ………… 10. Rekonstruksi Struktur Materi Pendidikan IPS-SD Berdasarkan

Tema ………....

Gambar :

1. Tiga perspektif konstruktivisme dalam kontinum dimensi internal-eksternal ………. 2. Model teoretik kajian gagasan kurikulum PIPS dalam perspektif

konstruktivisme dan pandangan pada siswa ……….. 3. Model hipotetik tentang hakikat anak dalam kaitan transaksional

antara perspektif personal, sosial, dan intelektual ………. 4. Perspektif konstruktivisme dalam Implementasi Kurikulum

Pendidikan IPS-SD ……… 5. Teori Rekapitulasi Kesadaran Manusia model Herbartian ………. 6. Definisi PIPS-SD dalam konteks dinamika

sosiohistoris-epistemologis ………. 7. Denah sekolah dan denah rumah yang dibuat siswa kelas IV dan

V………..…………. 8. Garis Waktu “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” (PIPS-SD

kelas V ) ……… 78 79

119

126

131 150 160 193 255 271 272

21

26

31

33 46

53

124


(5)

9. Dukungan, kesempatan, dan mediasi guru dalam proses penciptaan lingkungan sosial pembelajaran yang komunikatif, interaktif, transaksif, dan partisipatif ……… 10. Rekonstruksi Kompetensi Dasar dalam PIPS-SD konstruktivistik... 11. Gagasan rekonstruksi pola organisasi materi PIPS-SD yang konstruktivistik ……….……… 12. Rekonstruksi fungsi struktur isi kurikulum PIPS-SD sebagai

mediasi belajar siswa ……… 13. Rekonstruksi struktur materi Pendidikan IPS-SD berdasarkan

perspektif konstruktivisme ……… 14. Klasifikasi aktivitas belajar, kondisi, belajar, dan hasil belajar

menurut (diadaptasi dari Gagne) ………..

Bagan :

1. Paradigma penelitian dasar-dasar pemikiran PIPS-SD dalam perspektif konstruktivisme ……….………. 2. Jalinan hubungan antara berbagai faktor dalam penciptaan

suasana psikologis kelas pembelajaran yang menyenangkan dan membetahkan ………. 3. Gagasan dasar rekonstruksi pola penataan lingkungan psikologis

dan sosial kelas pembelajaran PIPS-SD yang konstruktivistik …… 173 240

256

262

270

295

73

158


(6)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang ideal hakikatnya selalu bersifat “antisipatoris” dan “prepatoris”, yakni selalu mengacu ke masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001a; 2001b). Sungguhpun demikian, apa dan bagaimana pendidikan ideal dengan sifatnya yang antisipatoris dan prepatoris seperti itu, berbeda bagi setiap bangsa dalam melihat dan menghadapi masa depannya. Bagi bangsa Indonesia, kondisi, tantangan, dan masalah masadepan yang harus dihadapi berkaitan dengan pengembangan kualitas dan kemandirian manusia Indonesia yang memungkinkannya mampu dan proaktif menjawab tantangan globalisasi, baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Pendidikan yang ideal bagi bangsa Indonesia, setidaknya menurut Undang-Undang no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (psl. 3); serta secara aktif mengembangkan kapasitas siswa untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (psl. 1:1). Berpijak pada pemikiran itu pula, maka setiap komponen dalam sistem pendidikan nasional (dasar pemikiran; prinsip penyelenggaraan dan pengelolaan; jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; kurikulum; pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; partisipasi masyarakat; dan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi) secara sinergis dan integratif harus mengacu dan mendukung tercapainya kondisi pendidikan ideal dimaksud.

Sayangnya, dari hasil refleksi kritis dan mendalam atas pemikiran dan praktik pendidikan yang terjadi di Indonesia hingga dewasa ini, Buchori (2001a) menengarai bahwa sifat sistem pendidikan ideal yang antisipatoris dan prepatoris seperti itu telah kehilangan momentum untuk mengikhtiarkan pembentukan dan pengembangan kesadaran akan harkat dan martabat bangsa. Dalam analisis dan refleksinya, Buchori mencatat bahwa fenomena tersebut terjadi semenjak tahun 1960-an, di mana sejak itu sistem pendidikan Indonesia telah kehilangan watak kultural yang patut dibanggakan.


(7)

Padahal, sebelum itu pendidikan Indonesia telah mampu membentuk dan menghasilkan tokoh yang patut diteladani. Lebih jauh dikatakan Buchori, bahwa semenjak itu pula pendidikan di Indonesia tak lebih menjadi kepanjangan tangan birokrasi dalam upaya menanamkan kepentingannya. Ditandai dengan makin menurunnya daya juang generasi di dalamnya dan menipisnya semangat kritis yang telah terbangun. Sistem pendidikan yang kemudian terejawantah dalam kurikulum pendidikan nasional tak ubahnya seperti mesin, sedangkan remote control-nya sepenuhnya berada di birokrasi. Institusi sekolah sama sekali tak memiliki ruang dan daya untuk mengembangkan diri, hanya mengabdi semata-mata pada keputusan dari atas yang lebih sering tak tepat pemikiran dasar maupun praktik pelaksanaannya. Tentang salah kaprah dunia pendidikan di Indonesia tersebut, Buchori menunjuk pada diabaikannya pendidikan kepribadian siswa. Tingkat prestasi, keberhasilan, dan kesuksesan siswa pun, semata diukur dari perolehan nilai yang didapat siswa bersangkutan. Akibatnya jelas, evaluasi program dan evaluasi siswa memiliki ruang masing-masing.

Hasil analisis dan refleksi Supriyoko (2001) juga mengungkapkan bahwa pendidikan nasional gagal atau tidak berhasil menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan tulus dan berkemampuan profesional. Akibatnya, kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, khususnya di bidang sosial dan budaya dicirikan oleh semakin hilang dan menjauhnya jatidiri bangsa dari perilaku masyarakat, utamanya para elite, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil studi Koster (2000), juga mengungkap bahwa dari pembentukan sikap, watak, dan kepribadian siswa, ternyata pendidikan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat diamati dari kecenderungan terjadinya kenakalan remaja, kemerosotan moral, dan perilaku menyimpang dari etika kehidupan dan budaya bangsa. Sekolah yang diharapkan menjadi salah satu wahana terjadinya proses transformasi nilai-nilai dan norma-norma sebagai bagian dari pembentukan kepribadian siswa belum menjadi kenyataan. Padahal sekolah dituntut sebagai agen perubahan dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang tidak hanya pandai secara akademik, yang mempunyai keahlian, keterampilan, dan kemampuan intelektual dalam memecahkan masalah, tetapi juga mempunyai integritas moral yang baik.

Apabila pendidikan dimaknakan sebagai usaha sadar dan terencana, melalui pewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi tercapainya tujuan pendidikan ideal, maka kurikulum dipandang sebagai salah satu komponen yang memiliki kedudukan dan peran vital dan strategis di dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Karena kurikulum merupakan dasar dan acuan pemikiran, sikap,


(8)

dan tindakan atau kerangka kerja bagi setiap tenaga pendidikan, khususnya guru di dalam mengambil setiap keputusan interaksional dan transaksional di dalam melaksanakan dan mengelola pembelajaran di kelas. Selain itu, karena kurikulum juga dapat membantu guru dan pengembang program memilih dan mengevaluasi bahan belajar, aktivitas belajar, serta mengkoordinasikan beragam pengalaman belajar siswa di dalam kelas, bagi tercapainya tujuan pendidikan ideal yang dimaksudkan.

Dalam konteks pemikiran seperti itu pula, maka konstruksi kurikulum pun secara ideal seharusnya bersifat antisipatoris dan prepatoris bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal. Akan tetapi, hingga dewasa ini pun kurikulum pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu menjadi instrumen yang efektif bagi terwujudnya suatu pendidikan nasional yang ideal, yang memberdayakan manusia dan masyarakat Indonesia. Menurut hasil analisis dan refleksi kritis Hasan (2002), seorang pakar dan pengamat pendidikan (juga pakar Pendidikan IPS) persoalannya adalah karena,

Pendidikan kita seringkali hanya sebatas transfer ilmu dan tidak membangun karakter anak didik. Siswa tidak diberi kesempatan untuk merefleksikan dan memposisikan dirinya dalam sistem pendidikan yang semata-mata untuk kepentingan dunia kerja. Kegiatan refleksi yang di dalam pendidikan itu sangat penting, kini telah kehilangan tempat, karena pendidikan kita seringkali hanya berupa transfer ilmu…kurikulum berdasarkan kompetensi juga tidak mengarah ke sana (pembentukan karakter) dan masih berbasis disiplin ilmu... (Pikiran Rakyat, 29 Nopember 2002:20).

Refleksi Suyanto (2003) terhadap terjadinya perubahan kurikulum juga menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia, hingga dengan kurikulum 1994/1999 ternyata tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi tidak bermakna bagi kehidupannya. Menurutnya, pendidikan di Indonesia--mengutip pendapat Freire--mengikuti “banking concept of education”. Artinya, guru hanya mendepositokan banyak informasi yang diturunkan dari berbagai cabang ilmu kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakan untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa. Analisis Lombok (2003) terhadap faktor-faktor strategis yang dipandang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan dasar (SD), salah satunya adalah faktor kurikulum. Menurutnya, kelemahan pokok kurikulum yang hingga kini masih dipandang menjadi sasaran kritik tajam adalah rendahnya tingkat relevansi, kurang memberi pengalaman belajar kepada siswa untuk membentuk kompetensi, dan lebih ”content oriented”. Padahal, dari total alokasi waktu belajar satu tahun yang berlaku selama ini menurut Lombok yang tertinggi bila dibandingkan dengan Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Di Indonesia seorang siswa menghabiskan waktu untuk belajar di kelas selama 1.428 jam pelajaran, di Korea Selatan 1.156 jam, di Jepang


(9)

1.050 jam, dan di Cina 1.124 jam. Artinya terdapat indikasi bahwa efektivitas belajar dan mutu proses pembelajaran tidak berjalan seiring dengan alokasi waktu yang tersedia untuk belajar.

Pendidikan IPS sebagai salah satu komponen programatik di dalam kurikulum sekolah, sesungguhnya banyak diharapkan untuk mendukung tercapainya tujuan ideal pendidikan. Karena seperti dikemukakan oleh NCSS (1979:x), bahwa tidak ada satupun cabang kurikulum sekolah yang lebih sentral daripada PIPS. Sejarah dan pertumbuhan penting dari PIPS semenjak abad lampau merupakan sebuah catatan yang sangat membanggakan, serta memberikan suatu keyakinan bahwa PIPS hingga kini tetap sangat dibutuhkan bagi anak. Stanley (1985:7) di dalam mengantar buletin NCSS no. 75 berjudul “Review of Research in Social Studies Education 1976-1983”, juga berpandangan bahwa “sungguhpun semua matapelajaran di sekolah bernilai atau berharga bagi anak, akan tetapi tidak ada yang lebih mendasar dan lebih penting daripada pendidikan IPS”.

Akan tetapi, tampaknya implementasi kurikulum PIPS juga dihadapkan pada persoalan yang sama.Sejumlah aspek yang dipandang sebagai korelat-korelat kurang efektifnya PIPS-SD di dalam mendukung tercapainya tujuan ideal pendidikan, tercermati dari berbagai hasil penelitian dan analisis-reflektif pakar PIPS. Hasan (1993; 1996; 2002) misalnya memandang bahwa materi PIPS-SD kurang memuat masalah sosial, budaya, dan nilai dalam hidup keseharian anak, lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan (sumber keilmuan) daripada realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber nilai ajukan bagi anak, terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar anak. PIPS-SD juga belum sepenuhnya dipandang mampu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal yang sudah seharusnya menjadi kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang. Hasil studi Suhartini (2001) juga menemukan bahwa kaitan fungsional antara materi PIPS-SD (khususnya sejarah) dengan khasanah pengetahuan awal anak hanya berkisar antara 66.22%-70.61%, kurang peduli terhadap pre-disposisi nilai-nilai personal anak, lebih didominasi oleh penyajian informasi daripada membangkitkan rasa ingin tahu anak, serta kurang mengandung nilai-nilai yang dapat dihayati dan diamalkan.

Hasil kajian lapangan yang peneliti lakukan, juga memperlihatkan hal yang sama. Dari 41 siswa kelas IV, 17 orang (41%) yang mengatakan PIPS sebagai matapelajaran yang paling disukai/disenangi; dan dari 43 siswa kelas V, hanya 9 orang


(10)

(21%) yang mengatakan PIPS sebagai matapelajaran yang paling disukai/disenangi. Lebih memprihatinkan lagi, ketika para siswa diminta untuk mengurutkan peringkat minat mereka terhadap matapelajaran di SD, untuk kelas V terdapat 13 orang (36%) yang menempatkan PIPS pada urutan 1 s.d 3, dan pada siswa kelas V hanya 8 orang (21%) yang menempatkan PIPS pada urutan 1 s.d 3. Dilihat dari perspektif gender, dari keseluruhan siswa kelas IV dan V, tampak bahwa siswa laki-laki lebih menaruh minat terhadap PIPS daripada siswa perempuan dengan perbandingan 14:9 (40%:20%) dengan menempatkan PIPS dalam urutan 1 s.d 3. Rendahnya apresiasi siswa SD terhadap PIPS menurut mereka, karena “pelajaran tersebut (IPS) saya tidak bisa lebih mengerti, karena pelajarannya agak sulit”; “pelajaran IPS itu paling sulit”; “pelajaran IPS itu banyak yang harus dihafalkan”; “pelajaran IPS itu sangat sulit dan banyak yang tidak mengerti”’. Materi PIPS yang paling tidak disukai oleh siswa adalah “Sejarah”, karena dipandang terlalu banyak yang harus dihafalkan sehingga sulit memahaminya (tokoh, angka tahun, nama dan lokasi kerajaan, dsb). Pernyataan senada juga dikatakan oleh guru IPS, “IPS itu pengetahuan sedunia, semua harus dipelajari dan dikuasai. Jujur saja, pengetahuan saya terbatas dan tidak mampu menguasai itu semua”.

Studi Kertih (Lasmawan, 2002:6) juga menemukan bahwa kondisi pembelajaran PIPS-SD dewasa ini masih diwarnai oleh penekanan pada aspek pemerolehan pengetahuan, dan masih sedikit sekali mengacu pada pelibatan siswa dalam proses belajar itu sendiri. Kajian Hidayanto (2003) juga mengungkapkan bahwa salah satu kendala yang dihadapi PIPS-SD di lapangan ialah fakta bahwa kemampuan guru dalam mengimplementasikan kurikulum juga belum memuaskan, karena guru kurang mampu menyusun rancangan pembelajaran yang efektif, efisien, menarik. Hal ini tampak dalam kecenderung guru menggunakan metode secara spekulatif dan sembarangan, tidak berdasarkan pada analisis kesesuaian antara tipe isi pelajaran dengan tipe kinerja (performansi) yang menjadi sasaran belajar. Kemampuan guru mengemas dan mengembangkan materi pembelajaran sejalan dengan tuntutan keluasan dan kedalaman materi juga jarang difungsikan secara optimal. Menurut Hidayanto, hal tersebut disebabkan oleh karena guru harus berhadapan dengan materi IPS yang memiliki cakupan sangat kompleks, dengan cakupan isi pembelajaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan tujuan yang akan dicapai, dan siswa yang membawa seperangkat sikap, kemampuan awal, dan karakteristik perseorangan lainnya ke dalam situasi pembelajaran. Situasi tersebut, menurutnya kerap menyulitkan guru untuk melakukan strukturisasi dan sistematisasi materi pelajaran secara cermat berdasarkan tipe isi dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran. Sungguhpun penulis tidak setuju dengan alasan Hidayanto tersebut, namun temuannya menjelaskan


(11)

fakta bahwa kemampuan profesional guru dalam mengemas materi, merancang pembelajaran, melakukan analisis kebutuhan belajar, dan kemampuan memilih dan menggunakan metode pembelajaran masih rendah.

Kelemahan kemampuan mengemas dan mengembangkan materi, tampaknya tidak hanya ditemukan pada guru. Hasil analisis Mulder (2000) terhadap buku-buku teks PIPS-SD juga menemukan hal serupa. Menurut Mulder paradigma yang digunakan oleh para penulis dalam menyusun dan mengorganisasi materi, cenderung bernuansa “ideologis”. Artinya, senantiasa memposisikan negara sebagai institusi yang “monolitis”, menguasai dan melingkupi individu dan masyarakat. Masalah-masalah sosial pun direduksi menjadi sebatas persoalan individu dan masyarakat. Akibatnya kata Mulder, materi-materi tersebut tidak membantu siswa untuk belajar berpikir kritis dan reflektif tentang kehidupan bermasyarakat secara demokratis, terutama di sekeliling pengalaman langsung.

Studi Nurkhoti’ah dan Kamari (2003) juga menemukan bahwa dalam pembelajaran IPS di SD, masih banyak guru yang belum menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran secara optimal dan kegiatan di kelas masih banyak didominasi oleh guru. Sebagian besar siswa tidak tertarik terhadap pelajaran IPS yang terlihat dari ekspresi jenuh, bosan, dan bersikap pasif dalam menerima pelajaran. Sikap tidak senang menerima pelajaran IPS juga disebabkan karena penyajiannya lebih banyak memuat aspek kognitif dan terpusat pada hafalan, dan guru juga tidak mampu mengemas materi yang dapat mengembangkan kemampuan siswa berpikir kreatif, objektif dan logis. Akibatnya, pelajaran IPS lebih memberi kesan sebagai pelajaran hafalan yang membosankan dan kurang membangkitkan motivasi siswa untuk giat belajar, yang akhirnya mempengaruhi perolehan hasil belajar mereka.

Sementara itu, dalam analisisnya terhadap rendahnya mutu pendidikan, Hidayanto dan Subijanto (2002), dan Wahyudi (2003) menunjuk pada faktor kurang tertatanya lingkungan kelas pembelajaran secara kondusif, sebagai penyebab lemahnya tingkat implementasi kurikulum. Iklim kelas pembelajaran belum dikembangkan secara memadai, dan umumnya guru dan kepala sekolah belum mengenalnya. Mereka juga menyayangkan bahwa perhatian terhadap aspek ini agak terabaikan. Hal ini menurut mereka bisa dilihat dari nihilnya wacana iklim lingkungan pembelajaran pada penataran-penataran guru, serta minimnya penelitian pada bidang ini di dunia pendidikan Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan, mereka menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang kuat antara prestasi siswa di suatu kelas dengan suasana batin atau lingkungan psikososial yang tercipta di kelas tersebut. Karena itu menurut mereka, meskipun guru mempunyai kemampuan


(12)

mengajar yang baik, tetapi jika tidak didukung oleh lingkungan kelas pembelajaran dan motivasi diri siswa yang merupakan aspek-aspek dari lingkungan psiko-sosial kelas pembelajaran, maka hasil proses pembelajaran pun tidak akan optimal. Bahkan di Amerika, menurut mereka sekalipun berbagai perbaikan pendidikan telah dilakukan dengan menempuh berbagai bidang garapan, tetapi hasilnya belum memuaskan. Hal itu disebabkan di antaranya karena perbaikan-perbaikan itu belum atau hanya sedikit menyentuh aspek iklim kelas.

Berbagai persoalan di atas, kemudian terakumulasi dalam bentuk terjadinya “de-ideologisasi terhadap PIPS. Maksudnya, bahwa PIPS telah mengalami proses penurunan kepercayaan, kepedulian, keyakinan, sebagai matapelajaran yang penting bagi siswa, baik untuk kepentingan melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau kepentingan nyata dalam kehidupan keseharian. Proses de-ideologisasi tersebut terjadi baik di kalangan siswa, orang tua, maupun masyarakat. Sejumlah indikasi yang memperlihatkan kecenderungan seperti itu antara lain, munculnya pandangan dan sikap siswa bahwa matapelajaran PIPS kurang menyenangkan dan membosankan, kurang relevan dengan kebutuhan/kenyataan, dan pada diri siswa melahirkan sikap negatif dan kurang percaya diri (Drost, 2001). Pendidikan IPS juga dipandang kurang memberikan basis bagi siswa untuk berefleksi kritis dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat (Hasan, 2002). Pada diri para orang tua siswa, maupun masyarakat berkembang pandangan dan sikap yang memandang matapelajaran PIPS sebagai matapelajaran "kelas dua" (Sumaatmadja, 2003).

Terjadinya “de-ideologisasi” terhadap PIPS tersebut, memang bukan disebabkan oleh kondisi internal-mikro PIPS semata, melainkan juga karena kondisi eksternal-makro yaitu politik pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sain dan teknologi, serta mentalitas masyarakat (khususnya masyarakat intelektual) Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta dan teknologi. Sungguhpun begitu, terjadinya de-ideologisasi tadi jelas berpengaruh negatif terhadap eksistensi PIPS sebagai salah satu program pendidikan untuk anak. Konsekuensi lebih jauh dari terjadinya ideologisasi terhadap PIPS tersebut antara lain adalah sangat rendahnya minat dan hasrat anak/siswa untuk memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni (Drost, 2001:251-255).

Dalam kontinum perkembangan filsafat pendidikan atau dalam istilah O’neil (2001) “ideologi pendidikan”, terjadinya proses de-ideologisasi sebuah filsafat/ideologi merupakan proses alamiah. Bahwa kedudukan dan peran sebuah filsafat/ideologi pendidikan mengalami pasang-surut, sejalan dengan tuntutan dan dinamika internal


(13)

yang terjadi di dalam dunia pendidikan dan komunitasnya, juga dinamika konteks eksternal—sosial, budaya, politik, sejarah, dsb. Dalam pengertian seperti itu, maka kelahiran, kemajuan dan kemunduran sebuah filsafat/ideologi pendidikan, sesungguhnya bersifat siklikal, sebagai “konsensus-responsif” dunia pendidikan dan komunitasnya terhadap kondisi, tantangan, dan masalah yang dihadapi, internal maupun eksternal (Brubacher, 1947; Brameld, 1955; Lapp, et.al., 1975; O’Neil, 2001).

Munculnya persoalan-persoalan dihadapi oleh PIPS di atas, jelas bukan sebatas persoalan di tingkat instrumental, metodologikal, atau praktikal. Melainkan sudah pada tataran paradigmatik, yakni kekurangakurasian paradigma yang digunakan sebagai kerangka pemikiran di dalam mengembangkan konstruksi kurikulum PIPS-SD (Winataputra, 2001a-b; Hursh & Ross, 2000). Dari hasil kajian penulis terhadap kurikulum PIPS-SD, baik kurikulum 1994 (dengan perubahannya tahun 1999), maupun (konsep) KBK PIPS-SD 2004, terlihat bahwa ketiga kurikulum tersebut masih sangat kental dengan orientasi paradigma “esensialisme”. Salah satu indikasinya dapat dicermati dari “definisi” yang digunakan. Menjadikan definisi sebagai tolok ukur untuk menentukan orientasi paradigmatik kurikulum PIPS-SD, dapat dirujuk pada pandangan Kuhn (2001; Gardner, 1975:10), bahwa definisi merupakan “paradigma simbolik” atau “generalisasi simbolik”, yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah kerangka pemikiran, pendekatan, dan penjelasan yang menentukan batas-batas dari fenomena atau realitas tertentu yang dimaksudkan oleh definisi tersebut, dalam hal ini adalah fenomena kurikulum PIPS-SD.

Di dalam konsep dokumen kurikulum PIPS-SD Berbasis Kompetensi dinyatakan bahwa,

Pengetahuan sosial adalah bahan kajian yang terpadu yang merupakan

penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan disiplin ilmu sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, dan ekonomi yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pembelajaran. (Depdiknas, 2002: 3, cetak miring dan tebal dari penulis).

Ditegaskan oleh Hasan (1996a: 64-65) bahwa definisi yang menyatakan bahwa PIPS sebagai “simplifikasi ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu sosial yang diajarkan di sekolah, adalah definisi yang dikembangkan dari pandangan esensialisme”; atau dikembangkan menurut tradisi “social studies taught as social sciences” (Barr, Barth, & Sermis, 1977). Indikasi kurikulum PIPS yang esensialistik juga tampak pada pemberian penekanan pada penguasaan siswa atas “kompetensi dasar bidang keilmuan” (Hasan, 1996a-c, 2002, 2003; Barr, Barth, & Sermis, 1977); atau yang sejalan dengan “garis


(14)

berpikir keilmuan” atau “seperti telah ditetapkan oleh para ilmuwan sosial” Wignyosoebroto, 2001; Somantri, 2001).

Definisi PIPS-SD di atas, di dalam konsep kurikulum 2004 memang mengalami perubahan, yaitu: “Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial dan kewarganegaraan” (Depdiknas, 2003:6). Akan tetapi, secara paradigmatik sesungguhnya tidak berbeda dengan maksud yang terkandung di dalam definisi sebelumnya. Hal ini juga jelas dari rumusan tujuannya, “Pengetahuan Sosial mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan

kewarganegaraan melalui pendekatan pedagogis dan psikologis. Di samping bertujuan

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial. Dengan demikian, jelas bahwa apa yang dimaksud kurikulum PIPS-SD “berbasis kompetensi” pun tetap berfokus pada penguasaan “disiplin ilmu”

(science discipline), dengan tetap memberikan penekanan pada penguasaan “

dasar-dasar dan hakikat pengetahuan ilmiah”.

Dalam konteks pendidikan ideal pada era global yang menekankan arti penting ketangguhan, keberdayaan, dan kemandirian manusia dan bangsa Indonesia, jelas kurang efektif dicapai dengan konstruksi kurikulum yang esensialistik. Kondisi tersebut, sama sekali berbeda dari kondisi tahun 1960an ketika pertama kali kurikulum PIPS yang esensialistik-akademik dikembangkan, yang dasar-dasar teoretiknya dikembangkan menurut “teori struktur pengetahuan” (structure of knowledge theory) yang dikemukakan oleh Jerome Seymour Bruner; Joseph Schwab; M. Belth; Paul Hirst; A.R. King, Jr. & J.A. Brownell, dan R. Peters & Paul Hirst (Price, 1962; Gardner, 1975; Kozulin, 1987). Pada era 1960an, orientasi esensialistik-akademik memang dipandang sebagai “single ruling doctrine for curriculum reform” di Amerika Serikat (Tanner & Tanner, dalam Hasan, 1993:96).

Dari sisi siswa, kelemahan utama kurikulum esensialistik terletak pada pandangan bahwa mendidik, mendisiplinkan, dan mengajarkan anak hanya bisa dibenarkan manakala mengikuti prosedur dan standar yang sama seperti yang berlaku pada ilmuwan; dan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan nilai-nilai, dapat ditransmisikan oleh guru kepada para siswa. Dalam hal ini, siswa hanya diperankan sebagai “penerima pasif” (passive recipient) terhadap realitas dan kebenaran yang secara ontologis berada di luar dirinya (Winataputra, 2001a:108; 2001b:19). Sementara menurut pandangan mutakhir, siswa hakikatnya sebagai “subyek pendidikan” (students as a subject of education), sekaligus sebagai “user” dan


(15)

“sasaran akhir” (the ultimate target), yang eksistensi serta segala kapabilitasnya harus diakui dan dihargai (Sumaatmadja, 2002; 2003).

Hasil-hasil kajian mutakhir dari perspektis multikultural yang dilakukan oleh Jegede & Aikenhead (2000), Zamroni (2001), Stanley & Brickhouse (2001), Ogawa (2002), juga sampai pada keyakinan bahwa keniscayaan kurikuler esensialistik semacam itu, dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif anak, mendistorsi atau merusak “genuine concepts”, “indigenous science”, atau “spontaneous

concept” siswa tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari

keseharian pengalaman personal, sosial dan kulturalnya di masyarakat; mencabut siswa dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan penggunaannya; kurang bermakna bagi siswa; dan menunjukkan adanya “hegemoni atau imperialisme pendidikan” atas diri siswa (Ellis, 1998; Jegede & Aikenhead, 2000; Zamroni, 2001; Stanley & Brickhouse, 2001; Ogawa, 2002). Bahkan, lebih jauh lagi dapat mendistorsi atau merusak self-concept siswa yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau karakter siswa (Sumantri, 2002).

Berdasarkan berbagai alasan di atas, dan sejalan dengan terjadinya perubahan paradigma pendidikan semenjak medio 1980an, dari paradigma “Mainstream Academic

Knowledge” ke paradigma “Transformative Academic Knowledge” (Banks, 1995),

maka kurikulum PIPS-SD perlu direkonstruksi sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan mutakhir, yakni konstruktivisme. Signifikansi paradigma konstruktivisme (terutama konstruktivisme Piagetian dan Brunerian) dalam konteks rekonstruksi kurikulum PIPS-SD tersebut, juga sudah menjadi komitmen profesional NCSS sejak tahun 1994. Di dalam dokumen “Expectations of Excellence: Curriculum

Standards for Social Studies” hasil kerja Task Force NCSS 1994, dinyatakan,

Program PIPS membantu anak membangun pengetahuan dasar dan sikap-sikap yang berasal dari disiplin-disiplin akademik sebagai cara-cara yang khas dalam memandang realitas. Setiap disiplin dimulai dari sebuah perspektif khas dan keunikan mengaplikasikan “proses menjadi tahu” (process of knowing) dalam mengkaji realitas…[karena itu] penting bagi anak untuk mengerti, menghargai, dan menerapkan pengetahuan, proses-proses, dan sikap-sikap dari disiplin akademik. Tetapi, belajar berbasis disiplin harus secara simultan ditarik dari berbagai disiplin dalam menjernihkan konsep-konsep tertentu…(NCSS, 1994: 4)

Dalam kaitan ini, Winataputra (2001a :108, 2001b :19) menegaskan bahwa, pandangan konstruktivisme akan menjadi salah satu pilar dari social studies abad 21, menggeser pandangan behaviorisme. Kecenderungan untuk menerima paradigma konstruktivisme juga terlihat di dalam Kurikulum PIPS-SD Berbasis Kompetensi, baik sebagai salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum (Depdiknas, 2002a); maupun dalam pendekatan dan prinsip pengelolaan dan


(16)

pengembangan kegiatan belajar mengajar (Depdiknas, 2002b), sekalipun rumusan definisi PIPS-SD yang digunakan masih kental dengan orientasi paradigma esensialisme. Suyanto (2003) juga memberikan dukungan atas signifikansi paradigma konstruktivisme dalam konteks pemberlakuan KBK, karena dipandang lebih mampu memberikan pengalaman bermakna kepada siswa selama proses belajar mereka, dan bisa melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna pula.

Namun demikian, komitmen untuk menjadikan konstruktivisme sebagai paradigma baru PIPS-SD di Indonesia, belum banyak didukung oleh hasil-hasil penelitian kontekstual. Sejauh yang bisa diakses oleh peneliti, penelitian-penelitian PIPS-SD berdasarkan paradigma konstruktivisme, baru dilakukan di antaranya oleh Farisi (1997), Kamarga (2000) khusus untuk PIPS-Sejarah, Hidayanto (2003), dan Khotiah & Kamari (2003). Penelitian-penelitian itu pun, masih sebatas pada aspek pembelajaran, dan belum menjangkau dimensi-dimensi lain dari kurikulum PIPS-SD. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini menjadi sangat signifikan untuk dilakukan, sehingga komitmen yang sudah dibangun tersebut lebih memiliki dasar-dasar kontekstual yang lebih luas dan beragam untuk kondisi Indonesia.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah pokok di dalam PIPS-SD berkaitan dengan masalah kurikulum. Kurikulum PIPS-SD dipandang belum memberikan tempat bagi siswa untuk melakukan aktivitas refleksi, lebih ”content

oriented”, sangat berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan, dan belum mampu

membentuk karakter siswa. Kurikulum PIPS-SD juga dipandang masih rendah tingkat relevansinya dilihat dari kebutuhan anak dan kurang memberikan pengalaman belajar kepada siswa untuk membentuk kompetensi. Sementara itu, kurikulum dipandang sebagai syarat mutlak dalam pendidikan di sekolah dan mempunyai kedudukan sentral di dalam keseluruhan proses pendidikan (Syaodih, 1997:4). Kurikulum juga dipandang sebagai variabel yang sangat strategis dan menentukan di dalam menata keseluruhan pengalaman belajar sehingga bermakna bagi siswa (Lombok, 2003); dan karenanya harus selalu diubah dan dikembangkan agar sesuai dan relevan dengan dinamika perubahan masyarakat dan harapan siswa (Suyanto, 2003) ; mengakomodasi hasil-hasil penelitian terkini, serta ”state of the art practice ” dalam bidangnya (NCATE dalam Wardhani, 2003).

Masalah-masalah kurikulum tersebut harus segera dicarikan pemecahannya, melalui aktivitas penelitian dan rekonstruksi kurikulum, agar upaya perbaikan proses pendidikan bisa dicapai secara maksimal. Karena hakikat dari suatu aktivitas penelitian


(17)

dan rekonstruksi kurikulum, khususnya di tingkat mikro (sekolah) adalah untuk memaksimalkan efektivitas mengajar dan belajar melalui perubahan konten yang direncanakan, kegiatan dan rencana perbaikan proses pendidikan. Melalui aktivitas penelitian dan rekonstruksi kurikulum pula, para pengelola, praktisi, dan peneliti pendidikan dapat melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan dan perbaikan program-program efektivitas sekolah secara seksama. Efektivitas sekolah yang dimaksudkan adalah pengembangan konsep fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan sebagai kapasitas sekolah untuk memaksimalkan pencapaian pelaksanaan fungsi-fungsi sekolah, sehingga lebih mampu menampilkan kinerjanya apabila diberikan sejumlah masukan (Tola, 2000).

Dalam kaitan ini, masalah-masalah penting yang harus mampu dijawab melalui penelitian dan rekonstruksi kurikulum yang bermutu mencakup: (1) relevansi kurikulum dengan kebutuhan anak dan perubahan yang terjadi di lingkungan strategis pendidikan, (2) proses dan pengalaman belajar yang hendak ditata dalam rangka pembentukan kognisi, afeksi maupun keterampilan psikomotorik, (3) beban muatan kurikulum yang juga terkait erat dengan tuntutan sosio-kultural-ekonomi masyarakat, dan (4) kelayakan kurikulum untuk dapat diimplementasi seperti ketersediaan sarana dan prasarana seperti perpustakaan dan laboratorium yang mendukung implementasi kurikulum (Lombok, 2003).

Apabila dikategorisasikan, masalah-masalah kurikulum PIPS-SD tersebut mencakup aspek: (1) landasan (filosofis, psikologis, sosiologis, dan politis) kurikulum (Hasan, 1996a); (2) isi (lingkup dan sekuensi) kurikulum; (3) pembelajaran

(pendekatan, metode, proses) terhadap isi atau muatan kurikulum, termasuk pola penataan lingkungan pembelajaran; dan (4) tujuan atau hasil belajar kurikulum; dan (5)

evaluasi proses dan hasil belajar kurikulum (Taba, 1962; Nasution, 1972; Lapp, dkk. 1975; Longstreet & Shane, 1993; Ibrahim & Karyadi, 1994). Sedangkan dilihat dari dimensinya, mencakup dimensi: (1) ide, gagasan, atau konsepsi; (2) dokumen; (3) kegiatan atau proses; dan (4) hasil (Hasan, 1988; 1994; 2000).

Berdasarkan dimensi dan substansi kajian kurikulum tersebut, serta hasil kajian terhadap persoalan-persoalan PIPS-SD sebagaimana dikemukakan di dalam latar belakang, penelitian ini difokuskan pada kajian terhadap: (1) tujuan; (2) isi; dan (3)

pembelajaran; khususnya dilihat dari paradigma konstruktivisme. Dengan demikian, masalah pokok yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah “tujuan, isi, dan pembelajaran PIPS-SD seperti apa yang harus dikembangkan berdasarkan perspektif konstruktivisme?


(18)

Kajian terhadap aspek tujuan difokuskan pada masalah standar kompetensi atau kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa melalui PIPS-SD. Standar kompetensi atau kemampuan-kemampuan dasar tersebut mencakup kompetensi personal, sosial, dan intelektual, yang memungkinkan siswa mampu membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya di dalam latar kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.

Kajian terhadap aspek isi difokuskan pada masalah pola pengorganisasian dan struktur isi kurikuler, sebagai bentuk pengalaman-pengalaman belajar (pengetahuan, keterampilan, nilai, maupun sikap) yang dipandang signifikan atau bermakna bagi siswa. Dalam pengertian memungkinkan siswa mampu melakukan proses assimilasi, akomodasi, adaptasi, ekuilibrasi, dan rekonstruksi terhadap struktur internalnya ; serta memfasilitasi siswa untuk meraih kompetensi atau kemampuan dasar yang dapat digunakan untuk membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya dalam latar kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.

Sedangkan kajian terhadap aspek pembelajaran difokuskan pada masalah

pola penataan lingkungan psikologis dan sosio-kultural pembelajaran, yang dapat memfasilitasi dan memediasi siswa menguasai struktur materi ; membangun dan mengembangkan kompetensi atau kemampuan dasar; serta melakukan proses assimilasi, akomodasi, adaptasi, ekuilibrasi, dan rekonstruksi terhadap struktur internalnya.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Standar kompetensi atau kemampuan-kemampuan dasar PIPS-SD apa saja yang harus dikuasai dan dikembangkan pada diri siswa berdasarkan perspektif konstruktivisme?

2. Pola pengorganisasian dan struktur isi kurikulum PIPS-SD seperti apa yang harus dikembangkan berdasarkan perspektif konstruktivisme?

3. Pola penataan lingkungan psikologis dan sosio-kultural kelas pembelajaran PIPS-SD seperti apa yang harus dikembangkan berdasarkan perspektif konstruktivisme?


(19)

D. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk “menemukan” (to discover) dan “merekonstruksi” (to reconstruct) sebuah “ide kurikulum” atau “gagasan kurikulum” PIPS-SD yang secara sinergis dikembangkan berdasarkan paradigma konstruktivisme, dan kajian kontekstual terhadap pendapat siswa dan guru tentang aspek-aspek dari kurikulum PIPS (tujuan, materi, dan pembelajaran). Dengan kata lain, penelitian ini secara umum bertujuan untuk menemukan dan merumuskan sebuah ide atau gagasan tentang dasar-dasar pemikiran kurikulum PIPS-SD berdasarkan paradigma baru atau paradigma alternatif, yang memiliki dasar filosofis dan teoretik yang ditegakkan secara mantap dan kuat di atas pandangan tentang siswa sebagai subyek; lebih bermakna (meaningful), lebih manusiawi (humanistic) bagi siswa sebagai subyek dan pengguna PIPS, dan lebih membumi (grounded) karena berpijak pada kelaziman cara dan konteks belajar siswa dan dalam membangun pemahaman, pengertian, nilai, dan sikapnya, serta berpijak pada pengakuan bahwa siswa adalah bagian integral dan bersetara dalam keseluruhan bangunan sistem pendidikan (PIPS).

Secara khusus, penelitian bertujuan untuk: pertama, menemukan dan merumuskan kompetensi-kompetensi PIPS, personal, sosio-kultural, dan intelektual yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, yang dapat digunakan siswa membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya. Kedua, menemukan dan merumuskan pola pengorganisasian dan struktur isi kurikulum sebagai bentuk pengalaman-pengalaman belajar yang dapat memberikan banyak kemungkinan bagi siswa dalam upayanya membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya. Ketiga, menemukan dan merumuskan pola penataan konteks atau lingkungan kelas pembelajaran (psikologis dan sosio-kultural) yang dapat mendukung siswa secara aktif dan mandiri dalam upayanya membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil-hasil penelitian ini bersifat teoretik dan

praktis. Pada tataran teoretik, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan aspek-aspek substantif dari teori konstruktivisme. Khususnya yang berkaitan dengan aspek tujuan (standar kompetensi atau kemampuan-kemampuan dasar); isi (pola organisasi dan struktur); dan pembelajaran (pola penataan lingkungan kelas pembelajaran) PIPS-SD yang konstruktivistik dalam konteks ke-Indonesia-an. Sejauh yang bisa dicermati,


(20)

penelitian-penelitian tentang PIPS-SD dari perspektif teori konstruktivisme frekuensinya masih sangat terbatas, dengan lingkup kajian yang juga terbatas; yakni terbatas pada aspek pembelajaran (pendekatan, metode, model). Temuan dan manfaat yang diperoleh pun menjadi sangat terbatas hanya pada aspek pembelajaran PIPS-SD, juga belum sampai pada upaya merumuskan dan mengembangkan dasar-dasar pemikiran atau teoretik tentang tujuan, isi materi, dan konteks pembelajaran PIPS-SD berdasarkan paradigma konstruktivisme yang spesifik untuk konteks Indonesia.

Dengan demikian, penelitian ini merupakan hal baru, yang berikhtiar untuk melakukan eksplorasi lebih jauh terhadap teori konstruktivisme dalam konteks perumusan dan pengembangan secara sinergis dan integratif tentang tujuan, isi atau muatan materi, dan pembelajaran PIPS-SD, yang lebih kontekstual untuk situasi pendidikan di Indonesia.

Pada tataran praktis, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas praktik pembelajaran

PIPS-SD di Indonesia. Selama ini upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kualitas praktik pendidikan di Indonesia, hanya dilakukan melalui pengembangan pendekatan dan metode pembelajaran, belum sampai pada rekonstruksi secara sinergis dan integratif terhadap aspek tujuan, isi, dan pembelajaran PIPS-SD, yang dipandang merupakan komponen-komponen strategis dalam upaya perbaikan dan peningkatan praktik pembelajaran. Penelitian ini secara praktis merupakan ikhtiar akademik ke arah itu, yakni memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik pembelajaran yang dibangun secara sinergis dan integratif melalui perumusan dan pengembangan terhadap aspek-aspek tujuan, isi, dan pembelajaran PIPS-SD berdasarkan paradigma konstruktivisme.

Oleh karena itu pula, secara praktis hasil-hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh: (1) pakar PIPS-SD: sebagai bahan informasi dan rujukan teoretis, filosofis, dan kontekstual dalam mengembangkan “paradigma alternatif” tentang kurikulum PIPS-SD (tujuan, isi, dan pembelajaran); praktisi PIPS, sebagai bahan informasi dan rujukan praktikal dalam mengembangkan “praktik alternatif”, dan meningkatkan “kualitas proses pembelajaran”, melalui perancangan dan pengembangan tujuan, isi, dan konteks/lingkungan kelas pembelajaran PIPS-SD yang konstruktivistik; (3)

pengembang kurikulum PIPS, sebagai bahan informasi dan rujukan konsep programatik dalam mengembangkan “program-program kurikuler alternatif” yang mampu memfasilitasi setiap upaya siswa membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya secara mandiri; dan (4) pengembang buku ajar PIPS,

sebagai bahan informasi dan rujukan konsep programatik dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas buku-buku ajar PIPS-SD yang mampu memfasilitasi setiap


(21)

upaya siswa membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya secara mandiri.

F. Variabel dan Definisi Operasional

Terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa penelitian ini menggunakan metode kualitatif, khususnya dari tradisi penelitian fenomenologi. Di dalam tradisi penelitian kualitatif-fenomenologis, istilah “variabel” merujuk pada pengertian sebagai “the central concept or idea being explored, discovered, understood, or developed in the

study” (Cresswell, 1994:58), dan bukan sebagai “an event, category, behavior, attribute

that expresses a construct and has different values” (McMillan & Schumacher,

2001:82). Sedangkan istilah “definisi operasional” digunakan dalam pengertian sebagai “a general definition of the central concept or idea” yang bersifat “tentative and evolving throught a study based on information from informants”, dan bukan sebagai sebuah definisi yang ketat, rinci, dan terstruktur tentang peristiwa, kategori, perilaku, atau atribut-atribut yang mengekspresikan sebuah gagasan atau ide sentral yang terdapat di dalam penelitian (Cresswell, 1994:58). Adanya definisi umum dari variabel tersebut, penting agar “define terms so that readers can understand the context in which the words are being used or their unusual or restricted meaning” (Castetter dan Heisler, dalam Cresswell, 1994:106). Definisi operasional tersebut dimaksudkan untuk menjernihkan pemikiran penulis tentang masalah yang diteliti;

memudahkan pengkomunikasian temuan-temuan penelitian dan gagasan-gagasan yang dikembangkan secara akurat; serta membatasi ruang lingkup penelitian dan pembahasan masalah, sehingga dapat meningkatkan derajat ketepatan penelitian yang dilakukan. Hal ini karena suatu konsep atau gagasan yang digunakan dimungkinkan mempunyai lebih dari satu definisi operasional, dan bahwa definisi operasional bersifat unik dalam situasi di mana definisi tersebut harus digunakan (Cresswell, 1994:106).

Relevan dengan pertanyaan penelitian di atas, beberapa variabel penelitian yang perlu didefinisikan secara operasional adalah:

Standar kompetensi atau kemampuan-kemampuan dasar dimaksudkan sebagai kemampuan-kemampuan dasar PIPS-SD yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa agar mampu membangun sendiri struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya secara mandiri. Kemampuan-kemampuan dasar tersebut mencakup: (a) kemampuan-kemampuan dasar personal (personal competencies); yang akan dikaji dari kemampuan siswa dalam hal: konsep dan pengertian diri; sikap obyektif terhadap diri-sendiri; aktualisasi diri; kreativitas diri; dan penghayatan terhadap


(22)

nilai dan sikap keberagamaan siswa dalam kehidupan personal dan sosialnya; (b)

kemampuan-kemampuan dasar sosial (social competencies); yang akan dikaji dari kemampuan siswa dalam hal: pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai anggota atau bagian dari masyarakat; pemahaman dan kesadaran atas tatakrama/sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat; berkomunikasi; interaksi sosial; bekerjasama dengan sesama; sikap prososial atau altruisme; partisipasi sosial; dan pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan kesederajatan (gender, etnis, dan budaya); dan (c) kemampuan-kemampuan dasar intelektual (intellectual

competencies); yang akan dikaji dari kemampuan siswa dalam hal: berpikir

kritis-reflektif; berpikir kontekstual; berpikir pragmatis; keruangan/spasial (keterarmpilan geografis); pemahaman dan kesadaran tentang waktu; logika-matematika; dan pemahaman dan kesadaran kesejarahan.

Pola pengorganisasian isi kurikulum dimaksudkan sebagai cara atau

pendekatan yang digunakan untuk menyusun dan mengembangkan

pengalaman-pengalaman belajar PIPS-SD yang dapat mengkontribusi cara dan pendekatan siswa di dalam mengorganisasi dan membangun struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya dalam latar kehidupan pribadi, sosial, dan budaya secara mandiri. Isi kurikulum dimaksudkan sebagai muatan pengalaman-pengalaman belajar PIPS-SD (pengetahuan, nilai, dan sikap) yang bermakna (meaningful learning experiences) bagi siswa. Pola pengorganisasian isi kurikulum tersebut akan dikaji dari aspek: tingkat kesesuaian, relevansi, kebermaknaan, dan kelayakannya dilihat dari: (a) konteks personal siswa (konstruksi pengetahuan lama, domain pengalaman, jaringan struktur pengetahuan, identitas sosio-kultural, dan domain psikologi siswa); dan (b) konteks sosial, kultural, dan historikal masyarakat yang menjadi latar kehidupan keseharian siswa dan pengembangan dan implementasi PIPS-SD.

Sedangkan struktur isi kurikulum dimaksudkan sebagai susunan dan

keterkaitan antar pengalaman-pengalaman belajar PIPS-SD, yang dipandang dapat

memfasilitasi siswa secara mandiri dalam membangun struktur pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya dalam latar kehidupan pribadi, sosial, dan budaya. Struktur isi kurikulum yang dimaksudkan mencakup: (1) struktur substantif/konseptual, (2) struktur sintaksis/prosedural, dan (3) struktur normatif/afektual. Ketiga struktur materi PIPS-SD tersebut akan dikaji dari aspek: (a) “kebermaknaan dan kelayakannya” untuk mendukung pembentukan kompetensi-kompetensi dasar PIPS-SD yang hendak dikembangkan; (b) “keseimbangan” komposisi dan distribusi antar struktur materi; dan (c) “sekuensi” dari struktur materi, termasuk “tingkat keluasan” maupun “tingkat


(23)

kedalaman” materi untuk setiap jenjang kelas; (d) “bahan dan sumber” dari mana struktur materi tersebut disusun dan dikembangkan.

Pola penataan lingkungan kelas pembelajaran dimaksudkan sebagai cara

atau pendekatan yang digunakan guru di dalam menciptakan suasana atau iklim

sosiokultural dan psikologis kelas pembelajaran PIPS-SD yang kondusif. Penataan

lingkungan atau iklim sosio-kultural pembelajaran akan dikaji dari aspek: (a)

pendekatan, cara, atau metode” yang digunakan guru di dalam mengelola dan

menciptakan suasana, proses atau aktivitas pembelajaran PIPS-SD yang interaktif, transaksif, dan komunikatif, dan partisipatif; (b) “tingkat interaksi, transaksi, komunikasi,

dan partisipasi” siswa selama proses atau aktivitas pembelajaran PIPS-SD

berlangsung; dan (c) “suasana atau iklim” interaksi, transaksi, komunikasi, dan partisipasi yang terjadi antara guru-siswa atau siswa-siswa selama proses atau aktivitas pembelajaran PIPS-SD berlangsung. Sedangkan penataan iklim psikologis/kejiwaan pembelajaran, akan dikaji dari aspek: (a) “pendekatan, cara, atau

metode” yang digunakan guru di dalam mengelola dan menciptakan suasana kejiwaan

kelas pembelajaran PIPS-SD yang menyenangkan, membetahkan, menarik, dan/atau membangkitkan minat dan antusiasme siswa di dalam kelas dan di dalam melakukan berbagai aktivitas atau tugas belajarnya; (b) hubungan interpersonal yang terjalin antara guru-siswa, siswa-siswa yang penuh kasih, intim, akrab, dan dalam suasana kolegialisme/kesetaraan; dan (c) “tingkat keberminatan, antusiasme, ketertarikan, dan

kebetahan” siswa di dalam kelas dan di dalam melakukan berbagai aktivitas atau tugas


(24)

KEPUSTAKAAN

Aikenhead, G. (2002). Integrating Western and Aboriginal Sciences: Cross-Cultural

Science Teaching. [on line] tersedia di: www.usak.ca.education/people/

aikenhead/researticle.html [20 Pebruari 2002].

Alleman, J.E. & Rosaen, C.E. (1991). “The Cognitive, Social, Emotional, and Moral Development Characteristics of Students: Basic for Elementary and Middle

School Social Studies”. James P. Shaver, Handbook of Research on Social

Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120.

Allwright, D. & Bailey, K.M. (1991). Focus on the Language Classroom: An Introduction

to Classroom Research for Language Teachers. New York: Cambridge

University Press.

Al-Muchtar, S. (1991). Pengembangan Keterampilan Berpikir dan Nilai dalam

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (Suatu Studi Sosial Budaya Pendidikan).

Disertasi tidak diterbitkan, FPS-IKIP Bandung.

Al-Muchtar, S. (2001). Epistemologi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.

Armento, B.J. (1991). “Changing Conceptions of Research on Teaching of Social

Studies”. James P. Shaver, Handbook of Research on Social Studies

Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120. Ausubel, D.P. (1963). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York:

Grune & Stratton.

Baldwin, A. L. (1967). Theories of Child Development. New York: John Wiley & Sons., Inc.

Banks, J.A. & Ambrose, A.C. Jr, (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman, Inc.

Banks, J.A. (1984). Teaching Strategies for Ethnic Studies. 3rd eds. Masschussetts: Allyn & Bacon, Inc.

Banks, J.A. (1995). Transformative Challenges to the Social Sciences Disciplines:

Implications for Social Studies Teaching and Learning..Theory and Research

in Social Education, XXIII(1), 2-20.

Barnes, D.L. & Burgdorf, A.B. (1969). New Approaches to Teaching Elementary Social

Studies. Minneapolis: Burgess Publishing Company.

Barr, R.D., Barth, J.L., & Shermis, S.S. (1977). Defining the Social Studies. Virginia: National Council for the Social Studies.

Barr, R.D., Barth, J.L., & Shermis, S.S. (1978). The Nature of the Social Studies. Palm Spring CA: ETC Publications.

Barr, R.D., Barth, J.L., & Shermis, S.S. (1987). Hakikat Dasar Studi Sosial. Disadur oleh Alma, B. & Haslasgunawan. Bandung: Sinar Baru.

Bar-Tal, D. (1976). Prosocial Behavior: Theory and Research. Washington: Hemisphere Publishing Corporation.

Bell, B. (1993). Children’s Science, Constructivism and Learning in Science. Australia: Deakin University.


(25)

Berger, P.L. and Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise its

the Sociology of Knowledge. New York: Garden City, Anchor Books.

Beyer, B.K. (1979). Teaching Thinking in Social Studies: Using Inquiry in the Classroom. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company & A Bell & Howell Company.

Bloom, B.S. et.al. (eds). (1956). Taxonomy of Educational Objectives: The classification

of educational goals. Handbook I: Cognitive domain. New York, Toronto:

Longmans, Gree.

Bogdan, R. & Biklen, S.K. (1990). Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori

dan Metode. Alih bahasa Munandir. Jakarta: PAU-UT.

Bogdan, R. & Taylor, S.J. (1993). Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian, Alih bahasa A. Khosin Afandi. Jakarta: Usaha Nasional.

Brameld, T. (1955). Education as Power. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Brameld, T. (1966). Philosophy of Education in Cultural Perspective. New York: Holt,

Rinehart and Winston, Inc.

Brassard, L. (2001). “Recapitulation Theory of Cognition”. [on line] tersedia di: http://www.webnow.com/herbart. [29-10-2002]

Brophy. J. & Alleman, J. (1996). Powerful Social Studies for Elementary Studies. Florida: Harcourt Brace & Company.

Brubacher, J.S. (1947). A History of the Problems of Education. New York & London: McGraw-Hill Book Co, Inc.

Bruner, J.S. (1969). After John Dewey, What?. dalam R.D. Archambault. (2d). Dewey on Education: Appraisals. New York: Random-House. 211-227.

Bruner, J.S. (1978). The Process of Education. Cambrigde: Harvard University Press. Buchori, M. (2001a). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.

Buchori, M. (2001b). Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di

Indonesia: Sebuah Renungan. dalam Membangun Masyarakat Pendidikan.

Jakarta: Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP). 1-22.

Burger, M.C. (1970). The Implications of Jerume Bruner’s Structural Recommendation

for the Development of Curriculum in History. New York: The Ohio State

University.

Burke, R.J. & Hill, D.M. (1990). Building Connections with Architecture Social Studies &

The Young Learner. Vol. 9 No. 3 tersedia di:

www.suu.edu/faculty/hilld/pedagogyarticle.html. [10 Juni 2002].

Capra, F. (2000). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan

Kebudayaan. M. Thoyibi (pen). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Chaille, C. & Britain, L. (1991). The Young Child as Scientist: A Constructivist Approach

to Early Childhood Science Education. New York: Harper Collins Publishers.

Cherryholmes, C.H. (1991). Critical research and Social Studies Education. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 41-55.

Clark, D. (2000). Herbart's System of Philosophy. [On line] tersedia di: http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/history/history.html. [29-10-2002]

Conrad, C.F. & Haworth, G.H. (eds). (1995). Revisioning Curriculum in Higher Education.


(26)

Cornbleth, C. (1985). Critical Thinking and Cognitive Processes. dalam Stanley, W. (ed). Review of research in Social Studies Education: 1976-1983. New York: NCSS. 11-64.

Cornbleth, C. (1991). Research on Context, Research in Context. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 265-275.

Craib, I. (1992). Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: PT. Rajawali Press.

Cresswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publications.

Cresswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among

Five Traditions. London: SAGE Publications.

Curtis, C.K. (1991). Social Studies for Student At Risk and With Disabilities. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 144-156.

Cusick, P.A. (1991), Students Groups and School Structure. dalam Shaver, J.P. (ed).

Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 276-289

Dahar, R.W. (1991). Teori-teori Belajar. Bandung: penerbit Erlangga.

Delisie, J.R. (1991). Gifted Students and Social Studies. dalam Shaver, J.P. (ed).

Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 175-182.

Dembo, M.H. (1986). Teaching for Learning. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company, Inc.

Dep. P.P. dan K. (1960). Triwarsa: 15 Maret 1957 – 15 Maret 1960. Djakarta: Urusan Naskah/Madjalah Djawatan Pendidikan Umum.

Depdikbud. (1994a). Landasan dan Program Pengembangan. Lampiran I Kepmendikbud Nomor 060/U/1993, tentang Kurikulum Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar). Jakarta:Balitbang-Pusbangkurrandik.

Depdikbud. (1994b). Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Lampiran II Kepmendikbud Nomor 060/U/1993, tentang Kurikulum Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar), Jakarta: Balitbang-Pusbangkurrandik.

Depdikbud. (1994c). Pedoman Belajar Mengajar Sekolah Dasar. Lampiran III Kepmendikbud Nomor 060/U/1993, tentang Kurikulum Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar). Jakarta: Balitbang-Pusbangkurrandik.

Depdiknas. (1999). Suplemen Garis-garis Besar Program Pengajaran Matapelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar. Jakarta: Pusbangkurrandik.

Depdiknas. (2001a). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijaksanaan Umum

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Pusbangkurrandik, Depdiknas

Depdiknas. (2001b). Kurikulum Berbasis Kompetensi Matapelajaran Ilmu Sosial

Sekolah Dasar. Jakarta: Pusbangkurrandik.

Depdiknas. (2002a). Draft Naskah Akademik mengenai Rancangan Undang Undang

Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusbangkurrandik.

Depdiknas. (2002b). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusbangkurrandik, Depdiknas.

Depdiknas. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusbangkurrandik, Depdiknas.


(27)

Dewantara, K.H. (1962). Karja Ki Hadjar Dewantara. (bagian pertama). Yogyakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Dewey, J. (1897). My Pedagogic Creed. tersedia di: www.infed.org/the informal education archives.html [10 Juni 2002].

Dewey, J. (1910). How We Think. tersedia di: www.spartan.ac.brocku.ca/~lward/ dewey/dewey1910.html [10 Juni 2002].

Dewey, J. (1962). Child and Curriculum.The School and Society. London: University of Chicago Press.

Dewey, J. (1963). Experience and Education. New York: Collier Books, Macmillan Publishing Company.

Dewey, J. (1964). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of

Education. New York: Mcmillan Co.

Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem

Ilmu Pengetahuan. P2LPTK-Ditjen Dikti., Depdikbud.

Djamari, (1994). Pendidikan Geografi yang Berwawasan Keimanan dan Ketakwaan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Geografi pada FPIPS IKIP Bandung. Bandung: Depdikbud-IKIP Bandung.

Djumhur, I. & Danasaputra, (1976). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.

Doll, W.E. (1995). Curriculum Possibilities in a “Post”-Future. dalam C.F. Conrad & J.G. Haworth. Revisioning Curriculum in Higher Education. USA: Simon & Schuster Custom Publishing. 58-69.

Drost, J. (2001). Masalah IPS dan IPS, dalam Sindhunata (eds). Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius. 251-255.

Ellis, A.K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. (6th ed). Boston: Allyn & Bacon.

Enwistle, H. (1970). Child-Centered Curriculum. New York: Methuen & Co. Ltd.

Farisi, M.I. (1997). Pengembangan Pembelajaran Pendidipan IPS-SD Berdasarkan

Penggunaan Konsep Siswa. Tesis. IKIP Bandung.

Farisi, M.I. (2003). Pengembangan IPS Berbasis Kompetensi (Historis-Epistemologis

dan Model Pengembangannya).Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No. 20, tahun

XI Edisi Januari-Juni. 36-52.

Faust, D.G. (1997). What Do We Want History To Do? History Matters, January 1997 ed. [On Line] tersedia: http://history.org/nche.html.

Ferguson, P. (1991). Impacts on Social and Political Participation. dalam dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 385-399.

Fouts, J.T. (1990). Female Students, Female Teachers, and Perceptions of the Social

Studies Clasroom. Social Education. Volume 54, no. 7. November/December

edition. 418-420.

Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.

Freire, P. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. A. Prihartono & F.A. Fudiyartanto (pen). Yogyakarta: ReaD dan Pustaka Pelajar. Fullan, M.G. & Stiegelbauer. (1991). The New Meaning of Educational Change. New


(1)

Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 3-15.

MacGregor & Ronald, N. (1992). Post-Modernism, Art Educators, and Art Education. [on line], tersedia di: http://www.ericdigest.org/ [20 Januari 2005].

Mackey, J.A. (1991). Adolescents’ Social, Cognitive, and Moral Development and

Secondary School Social Studies. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of

Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 134-143.

Martorella, P.H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective, Competent,

and Concerned Citizens. Boston, Toronto: Little, Brown and Company.

Martorella, P.H. (1991). “Knowledge and Concept Development in Social Studies”. James P. Shaver, Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: McMillan Publishing Company. 109-120.

Martorella, P.H. (1994). Social Studies for Elemenary School Children: Developing

Young Citizens. New York: Macmillan.

Maxim, G.W. (1987). Social Studies and the Elementary School Child. Columbus: A Bell & Howell Information Company.

McMillan, J.H. & Schumacher, S. (2001). Research in Education: A Concrptual

Introduction. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Mead, G.H. (1934). Mind, Self, and Society. Chicago: University of Chicago Press. Michaelis, J.U. (1976). Social Studies for Children in a Democracy: Recent Trends &

Developments, (6th eds). New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Michie, M. (2001). “Why I Think Indigenous Science Should be Included in the School

Science Curriculum”. Paper presented at the 32nd conference of the

Australasian Science Education Research Association, held in Sydney NSW in July 2001. [on line] tersedia di: www. members.ozemail.com.au/ ~mmichie/indigscience.html. [20 Pebruari 2002].

Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang

Metode-Metode Baru. Alih bahasa Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakata: UI-Press.

Moleong, L.J. (1986). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: P2TK, Depdikbud. Mulder, N. (2000). Individu, Masyarakat, dan Sejarah: Kajian Kritis Buku-Buku

Pelajaran Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Nasution, S. (1972). Kurikulum dalam S. Nasution (ed). Kurikulum, Usaha-usaha Perbaikan dalam bidang Pendidikan dan Administrasi Pendidikan. Jakarta:Depdikbud.

Nasution, S. (1992). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.

NCSS. (1989a). Charting A Course: Social Studies for the 21st Century ( A Report of the Curriculum Task Force of the National Commission on Social Studies in the

Schools. Washington: NCSS.

NCSS. (1989b). In Search of a Scope and Sequence for Social Studies: A Report of National Council for the Social Studies Task Force on Scope and Sequence. Washington: NCSS.

NCSS. (1994). Expectations of Excellence: Curriculum Standards for Social Studies. Washington: NCSS.


(2)

Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 332-342.

Nurkhoti’ah, S. & Kamari (2003). Pembelajaran Terpadu: Solusi Meningkatkan Prestasi Belajar IPS. dalam Jurnal Pendidikan. vol. 4, no. 1, edisi Maret [on line]. Tersedia di http:// 202.159.18.43/jp/. [20 Agustus 2004].

NVCC (2004). Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. [on line] tersedia di: www.nvcc.edu. [27 Agustus 2004].

O’neil, W.F. (2001). Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ogawa, M (2002). Science as the Culture of Scientist: How to Cope with Scientism?. [on line] Diakses di www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/ogawa.htm. [27 Januari 2005] Parker, W.C. (1991). Renewing Social Studies Curriculum. Virginia: ASCD.

Philip, D.C. (1987). Philosophy, Science and Social Inquiry: Contemporary Methodological Controversies in Social Science and related Applied Fields of

Research. Oxford: Pergamon Press.

Piaget, J., & Inhelder, B. (1971). The Psychology of the Child. New York: Basic Books. Pigozzi, J.M. (1999). Implications of the Convention of the Rights of the Child for

Education Activities Supported by UNICEF. [on line]. Tersedia di

www.unicef.org/teachers. [20 Agustus 2004].

Popkewitz, T.S. & Maurice, H.St. (1991). Social Studies Education and Theory:

Science, Knowlwdge, and History. , dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of

Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 27-40.

Presno, V. & Presno, C. (1966). Man in Action Series. California: Educational Book Division Prentice-Hall, Englewood Cliffs.

Price, K. (1962). Education and Philosophical Thought. Boston: Allyn & Bacon, Inc. Purta, J-T, (1991). “Schema Theory and Cognitive Psychology: Implications for Social

Studies”.Theory and Research in Social Education, XIX(2). 189-210.

Pusara (Majalah Pendidikan, Ilmu, dan Kebudayaan). No. 11, edisi Nopember 1984,

Tahun ke-52. Yogyakarta: Yayasan penerbitan Taman Siswa.

Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pendidikan Dasar dan

Menengah. Revisi 27 Desember 2004. [on line] tersedia di:

http//www.depdiknas.go.id. [20 Pebruari 2005].

Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Standar Nasional

Pendidikan. Revisi 31 Desember 2004 [on line] tersedia di:

http//www.depdiknas.go.id. [20 Pebruari 2005].

Ritzer, G. (1987). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Alimandan (pen). Jakarta: PT. Radjawali Press.

Ritzer, G. (1992). Sociological theory. 3rd ed. New York: McGraw-Hill, Inc.

Roth, W.M. (1993). “Metaphors and Conversational Analysis as Tools in Reflection on Teaching Practice: Two Perspectives on Teacher-Student Interactions in

Open-Inquiry Science”.Science Education, 77(4), 351-373.

Roth, W-M. & Roychoudhury, A. (1992). “The Social Construction of Scientific Concepts or the Concept Map as Conscription Device and Tool for Social Thinking in High


(3)

Russell, D.R. (1993). Vygotsky, Dewey, and Externalism: Beyond the Student/Discipline

Dichotomy. [On Line] tersedia: di http://archive.org/web/

20010617154226/http://jac.gsu.edu/Jaconl.html. [20 Maret 2003].

Sanders, J.T (1996). An Ecological Approach to Cognitive Science. Tersedia di http://www.phil.indiana.edu/ejap/1996.spring/contents.html. [20 Maret 2003]. Sanusi, H.M. (1998). Pendidikan Alternatif: Menyentuh Aras Dasar Persoalan

Pendidikan dan èmasyarakatan. Supriadi, D. & Mulyana, R. (eds). Bandung: Grafindo Media Pratama.

Savage, T.V. & Amstrong, D.G (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Saxe, D.W. (1991). Social Studies in Schools: A History of The early Years. New York: State University of New York Press.

Saxe, D.W. (1994). Social Studies for the Elementary Teacher. Boston: Allyn and Bacon.

Schuncke, G.M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring, New York, Toronto: Macmillan Publishing Company & Collier Macmillan Publishers.

Shaver, J.P. eds. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and

Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 3-15.

Silverman, D. (1995). Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text

and Interaction. London: SAGE Publications.

Sjamsudin, H. & Ismaun. (1996). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud-Ditjen Dikti-P2LPTK.

Skeel, D.J. (1995). Elementary Social Studies: Challenges for Tomorrow’s World. Orlando, Florida: Harcourt Brace & Company.

Smith, S. (1986). Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Somantri, N. (1991). “Jatidiri (Identitas) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial-IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIP-Universitas”. Makalah disampaikan

pada Forum Komunikasi FPIPS-IKIP dan JPIPS-FKIP-Universitas se Indonesia, Yogyakarta.

Somantri, N. (1994a). “Memantapkan Jatidiri, Batang Tubuh dan Program Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) serta Sumbangan PIPS dalam Meningkatkan

Sumber Daya Manusia dalam PJP II”. Makalah disampaikan pada Temukarya

Pendidikan Musyawarah Nasional III ISPI, Sawangan-Bogor.

Somantri, N. (1994b). “Masalah dan Prospek Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah

dan LPTK dalam Pembangunan Nasional dan Era Globalisasi”. Disampaikan

pada Seminar Masalah IPS, IKIP Malang.

Somantri, N. (1996a). “Masalah Mengkonsolidasi Disiplin Ilmu Pendidikan dan Disiplin

Pendidikan Bidang Studi dalam Mewujudkan Tujuan ISPI”. Makalah pada Temu

Wicara ISPI di Sumatera Utara.

Somantri, N. (1996b). “Pendidikan IPS Ditinjau dari Perspektif Aktualisasinya”. Makalah pada Diskusi Panel Terbatas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di FPIPS IKIP Jakarta.

Somantri, N. (2001a). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya.


(4)

Somantri, N. (2001b). Masalah Pendidikan IPS dalam Perspektif Global. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober.

Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2001), The Multicultural Question Revisited. Science Education. 85(1). 35-48.

Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2001). The Multicultural Question Recisited. Science Education. 85(1). 35-48.

Stanley, W.B. (1985). Research in Social education: Issues and Approaches. dalam Stanley, W. (ed). Review of research in Social Studies Eucation: 1976-1983. New York: NCSS. 1-10.

Stenhouse, L. (1984). An Inroduction to Curriculum Research and Development. London: Heinemann.

Stopsky, F. & Lee, S.S. (1994). Social Studies in a Global Society. Columbia: Delmar Publ. Inc.

Suhartini, D. (2001). Minat Siswa terhadap Topik-topik Matapelajaran Sejarah dan

Beberapa Faktor yang Melatarbelakanginya. Tesis. Bandung: PPS-UPI.

Sumaatmadja, N. (1997). Konsep Dasar Pendidikan IPS. Jakarta: Universitas Terbuka. Sumaatmadja, N. (2002). Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada Tingkat

Pendidikan Dasar dan Menengah. Makalah Seminar Nasional Pembaharuan

Pendidikan IPS, di Bandung 31 Oktober 2002. 7 halaman.

Sumaatmadja, N. (2003). Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada Tingkat

Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No.20

Tahun XI, edisi Januari – Juni 2003. 28-35.

Sumantri, M. (2002). Pengembangan Potensi Siswa dengan Kurikulum Terpadu untuk

menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar

tetap dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI. Sunal, C.S. & Haas, M.E. (1993). Social Studies and the Elementary/Middle School

Student. Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.

Sunal, C.S. (1991). The Influence of the Home on Social Studies. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 290-299.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Supriyoko, Ki. (2001). Menuai Dampak Pendidikan. dalam Suara Pembaharuan Daily. Suyanto, (2003). Persoalan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. dalam

Didaktika, Senin, 06 Oktober 2003.

Taba, H. (1962). Curriculum Development: Theory and Practice. New York: Harcourt Brace & World Inc.

Taba, H. et.al (1971). A Teacher’s Handbook to Elementary Social Studies: An

Inductive Approach. Massachussetts: Addison-Wesley Publishing Company.

Thomas, R.M. (1979). Comparing Theories of Child Development. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, Inc.

Thornton, S.J. (1991). Teacher as Curricular-Instructional Gatekeeper in Social Studies. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Co. 237-248.


(5)

Tola, B. (2000). Manajemen Sekolah Berbasis Perubahan Kurikulum. dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.025, edisi September. [on line]. Tersedia di www.Depdiknas.go.id/jurnal/43/burhannudintola.html. [20 Agustus 2004]. Tuxworth, E. (1995). Competence Based Education and Training: Background and

Origins. dalam Burke, J. eds. Competency-Based Education and Training.

London-New York: The Palmer Press. 10-25

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. [on line] tersedia di: http//www.depdiknas.go.id. [20 Pebruari 2005].

United Nations. (1924). Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924. tersedia di: www.unhchr.ch/html/menu3/b/k2crc.htm. [10 Juni 2003].

United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. tersedia di: www.hri.ca/uninfo/treaties/1.sthml. [10 Juni 2003].

United Nations. (1959). Declaration of the Rights of the Child. Proclaimed by General Assembly resolution 1386(XIV) of 20 November 1959. tersedia di: www.hri.ca/uninfo/treaties/25.sthml. [10 Juni 2003].

United Nations. (1989). Convention on the Rights of the Child. tersedia di: www.hri.ca/uninfo/treaties/26.sthml. [10 Juni 2003].

Van Cleaf, D.W. (1991). Action in Elementary Social Studies. Boston: Allyn and Bacon. Wahyudi, (2003). Penyusunan dan Validasi Kuesioner Iklim Lingkungan Pembelajaran

di Kelas. dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.43, edisi Juli. [on

line]. Tersedia di www.Depdiknas.go.id/jurnal/43/wahyudi.html. [20 Agustus 2004].

Wardhani, I.G.A.K. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Apa, Mengapa, dan

Bagaimana Implementasinya. dalam Jurnal Pendidikan, vol. 4, no. 1, edisi

Maret. [on line] tersedia di: http:// 202.159.18.43/jp/. [20 Agustus 2004].

Watson, Sr., R.I. (1978). The Great Psychologists. (4th edition). New York: J.B. Lippincott Co.

Wax, M.L. & Wax, R.H. (1971). Great Tradition, Little Tradition, and Formal Education. dalam Anthropological Perspectives on Education. New Yor-London: Basic Books., Inc., Publishers. 3-18.

Wells, G. (2000). Learning and Teaching Scientific Concepts: Vygotsky,s Ideas Revised. [on line] tersedia di: www.marxists.org/archive/vygotsky/ [10 Agustus 2002].

Welton, D.A. & Mallan, J.T. (1987). Children and Their World: Strategies foe Teaching

Social Studies. Boston: Houghton Mifflin Company.

Wignyosoebroto, S. (2001). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Kerangka Menumbuhkan Kepekaan Anak Didik kepada Isu-isu Aktual di

Tengah Perubahan Global. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum

Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober.

Winataputra, U.S. (2001a). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks

Pendidikan IPS). Disertasi, Bandung: PPS-UPI.

Winataputra, U.S. (2001b). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Mengantisipasi Perubahan Sosial di Era Global. Makalah Seminar Nasional dan


(6)

Wiriaatmadja, R. (2002). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Makalah Seminar Nasional Pembaharuan Pendidikan IPS, di Bandung 31 Oktober 2002. Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal

Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, edisi Januari – Juni 2003. 22-27. Wiriaatmadja, R. (tt). Pengembangan Konsep Kesejarahan dalam Peningkatan Mutu

Pendidikan IPS di Sekolah Dasar. Makalah. Bandung: Jurusan Sejarah-FPIPS.

Wyner, N.B & Farquhar, E. (1991). “Cognitive, Emotional, and Social Development:

Early Childhood Social Studies. James P. Shaver, Handbook of Research on

Social Studies Teaching and Learning, New York: McMillan Publishing Company. 109-120.

Zamroni. (2001). School and University Colaboration for Improving Science and

Mathematics Instruction in School. Paper presented in National Seminar on

Science and Mathematic Education. Bandung, August, 21, 2001.

Zevin, J. (1992). Social Studies for the Twenty-First Century. New York & London: Longman.