PENGARUH SUDUT SERANG DAN ASPEK RASIO PADA PLAT LENGKUNG TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR.

(1)

PENGARUH SUDUT SERANG DAN ASPEK RASIO PADA PLAT LENGKUNG TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata 1 Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Teknik

Oleh:

Nama : Herry Dwi Leksono NIM : 5250403020

Prodi : Teknik Mesin S1 Jurusan : Teknik Mesin

FAKULTAS TEKNIK


(2)

ii

Pembimbing I Dr (Ing). Ir. Harwin Saptoadi, MSE dan Pembimbing II Samsudin Anis, S.T, M.T.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sudut serang dan aspek rasio pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor menggunakan analogi perpindahan kalor dan massa. Manfaat yang diambil dalam penelitian ini adalah dapat diketahui seberapa besar pengaruh sudut serang dan aspek rasio pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor.

Spesimen terbuat dari naphthalene yang dicetak dalam bentuk plat lengkung dengan variasi sudut serang, variasi lebar plat dan variasi kecepatan aliran udara. Sudut serang bervariasi dari 30o sampai 60o, lebar plat bervariasi dari 3 cm sampai 6 cm dan kecepatan aliran udara divariasikan dengan pengaturan pembukaan katup blower dari ¼ sampai 1. Dengan mengukur pengurangan massa

naphthalene yang menguap dapat dihitung koefisien perpindahan massa kemudian

dihubungkan dengan koefisien perpindahan kalor.

Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin kecil sudut serang pada plat lengkung akan meningkatkan nilai koefisien perpindahan kalor, sedangkan semakin besar aspek rasio menurunkan nilai koeffisien perpindahan kalor. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa meningkatnya bilangan Reynolds (Re) akan meningkatkan pula bilangan Nusselt (Nu).

Berdasarkan penelitian, untuk meningkatkan laju perpindahan kalor pada aplikasi teknik yang menggunakan plat lengkung dapat dipilih sudut serang yang kecil dan aspek rasio yang besar. Laju perpindahan kalor juga dapat ditingkatkan lagi dengan menambah kecepatan aliran udara.


(3)

dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Drs. Supraptono, M.Pd Basyirun, S.Pd, M.T

NIP. 131125645 NIP. 132094389

Pembimbing I Penguji I

Dr (Ing). Ir. Harwin Saptoadi, MSE Dr (Ing). Ir. Harwin Saptoadi, MSE

NIP. 131628011 NIP. 131628011

Pembimbing II Penguji II

Samsudin Anis, S.T, M.T Samsudin Anis, S.T, M.T

NIP. 13203194 NIP. 13203194

Penguji III

Drs. Ramelan, M.T NIP. 130529948

Mengetahui Dekan Fakultas Teknik

Prof. Dr. Soesanto NIP. 130875753


(4)

iv

ª Sesungguhnya sholatku, hidup dan matiku kuserahkan pada Allah SWT (Al-Qur’an)

ª Sebaik-baik manusia adalah orang yang dapat memberikan manfaat untuk orang lain (Al-Hadist).

ª Sampaikanlah kebenaran walaupun itu pahit (Al- Hadist).

ª Sesungguhnya dalam hidup dan mati jantungku akan kuberikan untuk negeri ini (Abraham Lincoln).

This scription dedicated to : My Father, My Mother, My Eld brother, Bude Sekun Alm and My Country.

Herry Thanks to:

Special thanks to Allah SWT, Muhammad SAW(sang pangeran Cinta),Bapak, ibu dan kakak (terima kasih untuk

cinta, kasih sayang, toleransi, pengertian dan semua dukungan), Bani H. Abdul Kohar, keluarga besar Amat

Sobirin, K.H Dimyati Al-Hafidz dan keluarga, K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), K.H Khamim Jazuli (Gus

Miek) for Dzikrul Ghafiilin, guru-guruku mulai dari TK sampai kuliah (terima kasih atas ilmu yang diberikan), My

best friend Gemblong (matur nuwun mblong wis gelem dadi kancane nyong awet cilik), teman-temanku: di Ponpes Miffal (Gus Aqil, Gus Nawir, Gus Pong, Alm. Kang

Jenal, Kang Olek, Kang Haris, Kang Amad, Zidan), di Teknik Mesin UNNES (Bangun, Wawan, Ikhsan, Kuwat), di


(5)

(6)

vi

segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya dengan judul “ Pengaruh Sudut Serang dan Aspek Rasio pada Plat Lengkung Terhadap Koefisien Perpindahan Kalor”.

Skripsi ini disusun dalam rangka menyelesaikan Studi Strata I (S1) yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tersusunnya skripsi ini bukan merupakan satu hasil dari usaha segelintir orang, karena setiap keberhasilan manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Oleh karena itu dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Soesanto, Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Pramono, Ketua Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas

Negeri Semarang.

3. Dr (Ing). Ir. Harwin Saptoadi, MSE, Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan, wejangan-wejangan, petunjuk dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Samsudin Anis, S.T, M.T, Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

7. Staf pengajar Teknik Mesin Universitas Gajah Mada.

8. Semua pihak tanpa terkecuali yang talah banyak membantu mulai dari penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, dengan tangan terbuka dan tanpa mengurangi makna serta esensial skripsi ini, semoga apa yang ada dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagai mana mestinya.

Semarang Mei 2007


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 2

C. Penegasan Istilah ... 3

D. Tujuan Penelitian... 4

E. Manfaat Penelitian... 5

F. Batasan Masalah ... 5

G. Sistematika Sekripsi ... 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori ... 7

1. Proses Perpindahan Kalor... 7

2. Dasar-dasar Konveksi... 9


(9)

B. Hipotesis ... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 32

B. Variabel Penelitian ... 32

C. Alat dan Bahan ... 33

1. Bahan Penelitian... 33

2. Alat Penelitian... 33

D. Pengumpulan Data... 34

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

2. Langkah-langkah Penelitian... 34

3. Pengambilan Data ... 36

4. Diagram Alir Penelitian ... 38

E. Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian... 42

1. Data Hasil Pengujian ... 42

2. Data Perhitungan ... 47

B. Pembahasan ... 56

1. Pengaruh Sudut Serang... 56


(10)

x BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(11)

2.1 Perpindahan kalor ... 7

2.2 Perpindahan kalor secara konduksi melalui dinding datar ... 8

2.3 Perpindahan kalor konveksi pada elemen dx ... 10

2.4 Mekanisme perpindahan kalor konveksi... 13

2.5 Berbagai daerah lapis batas di atas plat datar... 14

2.6 Distribusi kecepatan pada daerah lapis batas ... 17

2.7 Lapis batas termal fluida dingin yang mengalir dipermukaan panas... 19

2.8 Medan aliran fluida melintasi silinder pada kecepatan rendah ... 21

2.9 Titik separasi ... 22

2.10 Koefisien drag untuk silinder dan bola ... 24

2.11 Variasi koefisien perpindahan kalor lokal sepanjang keliling silinder ... 25

2.12 Nilai Nusselt rata-rata pada α = 0o... 28

2.13 Nilai Nusselt rata-rata pada α = 45o... 28

2.14 Variasi nilai Nusselt rata-rata terhadap berbagai sudut serang (α ) ... 29

2.15 Grafik hubungan Nu dengan Re untuk α = 10o dan α = 20o... 29

2.16 Pengukuran kecepatan... 30

3.1 Geometri spesimen... 33

3.2 Desain eksperimen ... 35

3.3 Terowongan Angin ... 35

3.4 Diagram alir penelitian... 38


(12)

xii

4.5 Grafik hubungan h dengan Re pada sudut serang 60o... 54

4.6 Grafik hubungan h dengan Re pada sudut serang 30o... 54

4.7 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspek rasio ½ ... 55

4.8 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspek rasio 2/3 ... 55

4.9 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspek rasio 1 ... 55

4.10 Grafik hubungan Nu dengan Re pada sudut serang 90o... 55

4.11 Grafik hubungan Nu dengan Re pada sudut serang 60o... 55


(13)

3.1 Instrumen Pengambilan Data ... 36

3.2 Faktor Konversi Satuan... 39

4.1 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio ½... 42

4.2 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio 2/3... 44

4.3 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio 1... 45

4.4 Data Hasil Perhitungan pada Aspek Rasio ½ ... 51

4.5 Data Hasil Perhitungan pada Aspek Rasio 2/3 ... 52


(14)

xiv

A. Foto Terowongan Angin ... 64

B. Alat Ukur ... 65

C. Foto Spesimen ... 66

D. Tabel Sifat-sifat Udara pada Tekanan Atmosfer... 67


(15)

A. Latar Belakang Masalah

Proeses perpindahan kalor pada plat banyak digunakan dalam aplikasi teknik seperti pada sirip pendingin mesin sepeda motor, komponen elektronika, kondensor, solar collector dan lain sebagainya.

Solar collector adalah seperangkat alat yang digunakan untuk menyerap

panas dari matahari. Peranan solar collector sangat penting untuk menyerap kalor dari lingkungan melalui proses radiasi dan konveksi. Pada proses konveksi besarnya kalor yang diserap ditentukan oleh nilai koefisien perpindahan kalor konveksi.

Solar collector ada yang berbentuk plat datar dan ada pula yang berbentuk

plat lengkung. Untuk solar collector yang bergerak mengikuti gerak matahari proses konveksinya akan mendapat sudut serang yang berbeda-beda pada pagi, siang atau sore hari. Namun seberapa besar pengaruh sudut serang terhadap koefisien perpindahan kalor konveksi secara teoritis masih sulit dihitung.

Koefisien perpindahan kalor konveksi merupakan fungsi yang rumit dari aliran fluida, sifat-sifat termal medium fluidanya dan geometri sistemnya. Harga koefisien perpindahan kalor konveksi pada suatu permukaan pada umumnya tidak seragam, tergantung pada lokasi tempat mengukur suhu fluida.


(16)

Tersedia empat cara umum untuk menentukan harga koefisien perpindahan kalor konveksi :

1. Analisa dimensional yang digabungkan dengan percobaan-percobaan.

2. Penyelesaian matematik yang eksak terhadap persamaan-persamaan lapis batas.

3. Analisa aproksimasi terhadap lapis batas dengan metode integral. 4. Analogi antara perpindahan kalor dan massa.

Pola aliran fluida pada permukaan plat dapat berupa aliran laminar dan turbulen. Aliran turbulen memberikan koefisien perpindahan kalor konveksi yang tinggi karena pola aliran yang tidak teratur, sedangkan aliran laminar relatif kecil.

Studi yang dilakukan oleh banyak peneliti untuk meningkatkan koefisien perpindahan kalor konveksi antara lain dengan melakukan variasi geometri, posisi, kecepatan dan arah aliran fluida. Akan tetapi, studi yang melibatkan sudut serang pada plat lengkung masih sulit ditemukan.

Studi ini akan meneliti pengaruh sudut serang dan aspek rasio terhadap koefisien perpindahan kalor rerata pada plat lengkung dengan menggunakan analogi perpindahan kalor dan massa.

B. Permasalahan

Dari latar belakang masalah di atas penulis ingin mengetahui besarnya pengaruh sudut serang, aspek rasio dan kecepatan fluida. pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor konveksi


(17)

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh sudut serang (α ) pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor ?

2. Seberapa besar pengaruh aspek rasio (W/L) pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor ?

3. Seberapa besar pengaruh kecepatan udara (U) pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor ?

C. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pemahaman dalam penelitian, agar menjadi jelas dan tidak terjadi salah tafsir, maka perlu adanya penegasan istilah-istilah dalam judul tersebut, yaitu :

1. Sudut serang adalah sudut antara aliran bebas dengan garis sumbu (White, Hal : 426, 1994). Yang dimaksud dengan sudut serang disini adalah sudut yang terbentuk antara aliran fluida dengan garis sumbu dari plat lengkung yang dialiri fluida tersebut.

2. Aspek rasio adalah perbandingan antara lebar dan panjang suatu benda (White, Hal : 351, 1994). Jadi yang diamksud aspek rasio di sini adalah adalah perbandingan antara lebar dan panjang dari plat lengkung.


(18)

konstanta yang menunjukan jumlah panas yang mengalir melintasi satu satuan luas jika gradien suhunya satu, biasanya dinyatakan dengan lambang (h).

Pengertian keseluruhan dari penelitian yang berjudul “Pengaruh Sudut Serang dan Aspek Rasio pada Plat Lengkung Terhadap Koefisien perpindahan kalor” adalah melihat pengaruh sudut serang terhadap koefisien perpindahan kalor konveksi pada plat lengkung dengan beberapa aspek rasio.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini mencakup apa yang menjadi sasaran dan harapan dari penulis untuk:

1. Memperdalam wawasan dan ilmu pengetahuan tentang perpindahan kalor khususnya pada perpindahan kalor konveksi.

2. Mendapatkan nilai koefisien perpindahan kalor pada berbagai sudut serang, aspek rasio dan kecepatan udara pada plat lengkung.

3. Mengetahui seberapa besar pengaruh sudut serang (α ) pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor.

4. Mengetahui seberapa besar pengaruh aspek rasio (W/L) pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor.

5. Mengetahui seberapa besar pengaruh kecepatan udara (U) terhadap koefisien perpindahan kalor.


(19)

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan dalam bidang teknologi untuk kemajuan lembaga.

2. Sebagai bahan rujukan atau referensi bagi penelitian sejenis atau penelitian pengembangan yang lebih luas.

3. Menambah pengetahuan dan wawasan praktis bagi peneliti tentang perpindahan kalor, khususnya peran sudut serang dan aspek rasio pada plat lengkung terhadap koefisien perpindahan kalor.

F. Batasan Masalah

Penelitian ini hanya dibatasi untuk perpindahan kalor konveksi pada plat lengkung dengan variasi sudut serang, aspek rasio dan kecepatan udara.

G. Sistematika Skripsi 1. Bagian Awal

Bagian awal terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, abstraksi, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar, daftar tabel, daftar lampiran.

2. Bagian Isi Skripsi

Bagian ini terdiri dari 5 bab, yaitu:


(20)

BAB II : Landasan teori, yang mencakup tentang teori dasar perpindahan kalor, dasar-dasar perpindahan kalor konveksi, teori tentang lapis batas, teori tentang pola aliran yang melintasi silinder, analogi perpindahan kalor dan massa, penyelidikan pengaruh sudut serang terhadap koefisien perpindahan kalor rerata pada prisma segi empat oleh Reiher (1925), Hilpert (1933) dan Igarashi, hipotesis.

BAB III : Metodologi penelitian, yang mencakup desain penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan, meliputi deskripsi data, analisis data dan pembahasan hasil analisis data.

BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dari data dan analisis serta saran yang merupakan sumbangan pemikir.

3. Bagian Akhir


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Proses perpindahan kalor

Menurut Kreith (1991 : 4), perpindahan kalor (gambar 2.1) dapat didefinisikan sebagai berpindahnya suatu energi dari satu daerah ke daerah lain akibat adanya perbedaan suhu pada daerah tersebut. Di dalam perpindahan kalor dikenal tiga macam cara yang berbeda, yaitu : konduksi, konveksi, dan radiasi.

Gambar 2.1 Perpindahan kalor (www.grc.nasa.gov)

a. Perpindahan kalor konduksi

Menurut Kreith (1991 : 4), perpindahan kalor konduksi (gambar 2.2) adalah proses dimana panas mengalir dari daerah yang bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu rendah di dalam suatu medium (padat, cair atau gas) atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan


(22)

secara langsung. Secara umum rumus laju aliran secara konduksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

x T kA q

∂ ∂ −

= ... (2-1) keterangan :

q = laju aliran panas (W)

k = konduktifitas termal bahan (W/m.˚C)

A = luas penampang (m²)

T/∂x = gradien suhu terhadap penampang tersebut, yaitu laju perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas

Tanda negatif (-) diselipkan agar memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa kalor mengalir ke tempat yang lebih rendah dalam skala suhu.

Gambar 2.2 Perpindahan kalor secara konduksi melalui dinding datar x

L T panas


(23)

b. Perpindahan kalor konveksi

Menurut Kreith (1991 : 5), perpindahan kalor konveksi adalah proses transport energi dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi dan gerakan mencampur. Konveksi sangat penting sebagai mekanisme perpindahan energi antara permukaan benda padat dan cairan atau gas. Perpindahan kalor secara konveksi ini dari suatu permukaan yang suhunya di atas suhu fluida sekitarnya berlangsung dalam beberapa tahap yaitu: Pertama, panas akan mengalir dengan cara konduksi dari permukaan ke partikel-partikel fluida yang berbatasan. Energi yang berpindah dengan cara demikian akan menaikkan suhu dan energi dalam partikel-partikel fluida tersebut.

Laju perpindahan kalor antara suatu permukaan plat dan suatu fluida dapat dihitung dengan hubungan:

q = hA ∆T ... (2-2) dimana; q = Laju perpindahan kalor secara konveksi (W)

A = Luas perpindahan kalor (m²)

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi rerata (W/m2.oC) ∆T = Beda antara suhu permukaan Ts dan suhu fluida T (oC)

2. Dasar-Dasar Konveksi

a. Persamaan dasar konveksi

Perpindahan kalor konveksi per satuan luas pada suatu elemen dx (gambar 2.3) adalah :


(24)

2 ) ( " m W T T h

q = x s ... (2-4)

dimana : hx = koefisien perpindahan kalor konveksi pada jarak x dari

lingir depan, C m W o 2

Ts = temperatur permukaan,oC

T = temperatur aliran bebas,oC

Perpindahan kalor total pada seluruh luasan As adalah :

s

A q dA

q

s "

= ... (2-5)

s x A

s T h dA

T q

s

∫ −

=( ∞) Watt... (2-6)

Jika h merupakan koefisien perpindahan kalor konveksi rerata

untuk seluruh permukaan, maka perpindahan kalor total juga dapat dinyatakan dengan ungkapan:

)

( −

=hA T T

q s s Watt ... (2-7) L

∞ ∞ T

U ,

x dx

) (

"=h TT

q x s

s

s T

A ,


(25)

Dari kedua persamaan tersebut di atas maka koefisien perpindahan kalor rerata adalah :

C m

W dA h A

h A x s o

s

s 2

1

= ... (2-8) Koefisien perpindahan kalor konveksi sebenarnya dipengaruhi oleh:

1) Keadaan dan sifat aliran, 2) Sifat-sifat fluida,

3) Geometri sistem atau permukaan, 4) Lokasi pengukuran temperatur fluida.

Ada dua penyebab gerakan atau aliran fluida yang akan menentukan pola perpindahan kalor konveksi, yaitu :

1) Fluida mengalir karena terdapat perbedaan massa jenis akibat

perbedaan temperatur atau gaya sentrifugal. Mekanisme perpindahan kalor konveksi dalam hal ini disebut konveksi bebas (natural, alamiah). 2) Fluida mengalir karena mendapat energi dari luar (misalnya : pompa,

blower, fan, compresor). Mekanisme perpindahan kalor dalam hal ini disebut konveksi paksa.

Aliran fluida dibedakan dalam dua macam, yaitu :

1) Aliran internal, yaitu jika fluida mengalir di dalam pipa atau saluran. 2) Aliran external, yaitu jika fluida mengalir sejajar permukaan rata atau

aliran yang melintasi pipa atau aliran yang melintasi pipa dalam arah tegak lurus sumbu pipa.


(26)

Aliran juga dapat dibedakan menjadi dua keadaan, yaitu :

1) Aliran laminer, yaitu jika pengaruh gaya internal fluida lebih kecil dari pengaruh gaya viskos atau gaya geser antar partikel fluida. Dalam aliran laminar, fluida bergerak dalam lapisan-lapisan, dengan masing-masing partikel fluida mengikuti lintasan yang lancar dan kontinyu. 2) Aliran turbulen, yaitu jika pengaruh gaya internal lebih besar dari

pengaruh gaya viskos. Dalam aliran turbulen, lintasan masing-masing partikel berbentuk zig-zag serta tidak teratur.

b. Mekanisme perpindahan kalor konveksi

Mekanisme perpindahan kalor konveksi (gambar 2.4) adalah kombinasi antara perpindahan kalor konduksi dan perpindahan massa atau partikel fluida. Pada daerah aliran yang sangat dekat dengan permukaan terdapat daerah aliran yang dipengaruhi oleh perubahan kecepatan yang disebut daerah lapis batas (boundary layer). Dalam daerah ini terdapat lapisan partikel-partikel yang menempel diam pada permukaan (diasumsikan tidak terjadi slip), sehingga akan terjadi perpindahan kalor secara konduksi dan mengakibatkan kenaikan tingkat energi partikel tersebut. Di atas lapisan partikel yang diam ini terdapat lapisan partikel-partikel yang bergerak menurut garis lintasan alirannya dengan kecepatan U2. Karena ada perbedaan tingkat energi terhadap partikel-pertikel di

bawahnya, maka akan terjadi perpindahan kalor konduksi, dan tingkat energinya menjadi E2. Dengan demikian partikel-partikel fluida ini sambil


(27)

bergerak akan membawa energi. Karena partikel-partikel pada lapisan di atasnya mempunyai tingkat energi yang lebih rendah, maka berlangsung juga perpindahan kalor konduksi yang mengakibatkan partikel-partikel fluida mempunyai tingkat energi E3. Demikian seterusnya sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat kombinasi antara perpindahan kalor secara konduksi dan perpindahan energi melalui massa yang bergerak. Pada aliran laminer, partikel bergerak menurut lintasannya, dengan kecepatan yang rendah. Oleh karena itu, kontribusi konduksi lebih dominan dari kontribusi oleh aliran massa. Pada aliran yang turbulen partikel-partikel bergerak dengan kecepatan yang relatif tinggi dan bergerak dengan lintasan yang tidak teratur, sehingga kontribusi aliran massa lebih dominan dari pada konduksi antar partikel.

0

=

∂ ∂ =

y x

Y T q

Karena fluida pada umumnya mempunyai sifat-sifat thermal yang rendah, maka aliran dibuat turbulen atau dipercepat gerakannya untuk meningkatkan laju perpindahan kalor. Namun gaya hambatan aliran akan Gambar 2.4 Mekanisme perpindahan kalor konveksi (Prajitno, 2005)

E2

E3

E4

U2 U2

U3 U3


(28)

meningkat, sehingga energi yang diperlukan untuk mengalirkan fluida menjadi semakin besar.

c. Aliran viskos (kental)

Pada gambar 2.5 aliran di atas plat rata terlihat bahwa mulai dari tepi depan plat terbentuk suatu daerah dimana pengaruh gaya viskos (viscous force) makin meningkat. Gaya-gaya viskos ini biasa diterangkan dengan gaya geser (shear stress) τ antara lapisan-lapisan fluida. Jika

tegangan ini dianggap berbanding dengan gradien kecepatan (velocity

gradient) normal, maka kita dapatkan persamaan dasar untuk viskositas,

dy dU

μ

τ = ... (2-9)

Gambar 2.5 Berbagai daerah lapis batas di atas plat datar (Koestoer,2002)

Konstanta proporsionalitas μ disebut viskositas dinamik (dynamic viscosity). Satuannya yang khas ialah newton-detik per meter persegi, tetapi tidak ada banyak satuan untuk menyatakan viskositas, dan kita harus


(29)

berhati-hati dalam memilih kelompok yang konsisten dengan formulasi yang digunakan.

Daerah aliran yang terbentuk dari tepi depan plat, dimana terlihat pengaruh viskositas disebut lapis batas (boundary layer). Untuk menandai posisi y dimana lapis batas itu berakhir dipilih suatu titik sembarang, titik ini biasanya dipilih sedemekian rupa pada koordinat y dimana kecepatan menjadi 99% dari nilai arus bebas.

Pada permulaan, pembentukan lapis batas itu laminar, tetapi pada suatu jarak kritis dari tepi depan, tergantung dari medan aliran dan sifat-sifat fluida, gangguan-gangguan kecil pada aliran itu membesar dan mulailah terjadi proses transisi hingga aliran menjadi turbulen. Daerah aliran turbulen dapat digambarkan sebagai kocokan rambang dimana gumpalan fluida bergerak kesana kemari ke segala arah. Transisi dari aliran laminar menjadi turbulen terjadi apabila, (Holman, Hal : 193, 1988).

5 10 5x x U x U

>

= ∞

μ ρ

υ ... (2-10) dimana U= kecepatan aliran bebas, m/s

x = jarak dari tepi depan, m

υ = μ/ρ = viskositas kinematik, m2/s

Pengelompokan khas di atas disebut angka Reynoldss, dan angka ini tidak berdimensi apabila untuk semua sifat-sifat di atas digunakan perangkat satuan yang konsisten,

υ x U

x = ∞


(30)

Walaupun untuk tujuan analisis angka Reynoldss kritis untuk transisi di atas plat rata biasa dianggap 5 x 105, dalam situasi praktis nilai kritis ini sangat bergantung pada kekasaran permukaan dan tingkat “keturbulenan” (turbulence level) arus bebas. Jika terdapat gangguan besar dalam aliran itu, transisi mungkin sudah mulai terjadi pada angka

Reynoldss serendah 105, dan pada aliran tanpa fluktuasi

(perubahan-perubahan kecepatan), transisi ini mungkin baru mulai pada Re = 2 x 106 atau lebih. Pada kenyataannya proses transisi ini mencakup suatu jangkauan angka Reynoldss, transisi ini selesai dan menjadi aliran turbulen pada angka Reynoldss dua kali angka pada waktu transisi mulai, (Holman, Hal : 194, 1988).

Kesulitan pokok dalam penyelesaian analisis aliran turbulen ialah bahwa sifat-sifat pusaran ini berbeda-beda dalam lapis batas, dan variasinya hanya dapat ditentukan dari data percobaan. Semua analisis aliran turbulen pada akhirnya harus mengandalkan data percobaan karena tidak ada teori yang benar-benar memadai untuk meramalkan tingkah laku aliran turbulen, (Koestoer, Hal : 2, 2002).

d. Lapis batas hidrodinamis

Lapis batas hidrodinamis adalah daerah dekat dengan permukaan yang fluidanya masih dipengaruhi oleh perubahan kecepatan (gambar 2.6). Tebal lapis batas hidrodinamis adalah jarak dari permukaan sampai batas kecepatan lokal sebesar 99% dari kecepatan aliran bebas.


(31)

Gambar 2.6 Distribusi kecepatan pada daerah lapis batas (Prajitno, 2005) Hasil analisis dimensi yang dilakukan oleh Prandtl (1904) untuk plat rata menunjukan bahwa tebal lapis batas hidrodinamis dapat dinyatakan dengan :

) , , ,

(U x

f ρ μ

δ = ∞ ... (2-12)

dengan x = jarak dari lingir depan, m ρ = massa jenis fluida, kg/m3 μ = viskositas dinamis, kg/(m.s)

U = kecepatan aliran bebas, m/s

Karena terdapat lima parameter, dan tiga dimensi asal (kg, m, s), maka dapat dibentuk dua parameter non dimensi. Tebal lapis batas hidrodinamis dapat dinyatakan dalam bentuk tak berdimensi, yaitu :

) (Rex

f x =

δ ... (2-13) Ungkapan di atas menyatakan bahwa tebal lapis batas hidrodinamis pada jarak x dari lingir depan ditentukan oleh bilangan Reynoldss setempat. Dari berbagai cara penyelesaian diperoleh bahwa, (Prajitno, Hal : 7, 2005)


(32)

x

C x = Re

δ ... (2-14) Secara fisik dapat difahami bahwa fluida yang mengalir dengan kecepatan tinggi atau mempunyai viskositas kecil, daerah lapis batas hidrodinamis akan tipis, dan laju perpindahan kalor akan tinggi.

Aliran dibagi menjadi tiga daerah lapis batas yang ditentukan oleh bilangan Reynoldss kritis, Rec, yaitu (Prajitno, Hal : 7, 2005) :

1) Daerah laminer : 0 < Rex < 2. 105 2) Daerah transisi : 2. 105 < Rex < 2. 106 3) Daerah turbulen : Rex > 3.106

Daerah transisi dipengaruhi oleh :

1) Bentuk permukaan,

2) Keadaan permukaan,

3) Tingkat gangguan.

Karena dipengaruhi oleh perubahan kecepatan, maka gradien

kecepatan dalam lapis batas, ≠ 0

∂ ∂

y

y U

. Tegangan geser pada permukaan

dinyatakan dengan

0

=

∂ ∂ =

y s

y U

μ

τ .

Tegangan geser dapat juga dihitung dengan persamaan lain, yaitu (Prajitno, Hal : 8, 2005) :

2 2 1

=Cfx U

s ρ


(33)

Dari kedua persamaan di atas, maka koefisien gesek permukaan pada jarak x dapat dihitung dengan persamaan :

0 2

2

= ∞ ∂

∂ =

y fx

y U U

C υ ... (2-16)

Koefisien gesek rerata pada permukaan sepanjang L menjadi :

dx C L C

L fx

f =

0 1

... (2-17)

Gaya hambatan yang bekerja pada permukaan : 2

2 1

=wLC U

F f ρ ... (2-18)

dengan w = lebar permukaan, m.

e. Lapis batas termal

Jika temperatur permukaan Ts berbeda dengan temperatur bebas

T , maka terdapat lapis batas termal yang tebalnya δt. Menurut definisi, tebal lapis batas termal (gambar 2.7) adalah jarak dari permukaan sehingga (Ts – T) = 0,99 (TsT).

Gambar 2.7 Lapis batas termal fluida dingin yang mengalir di permukaan panas (Prajitno, 2005)


(34)

Perpindahan kalor konduksi pada permukaan sama dengan kalor yang dikonveksi oleh fluida, sehingga pada permukaan berlaku persamaan Fourier dan Newton, yaitu :

) ( 0 ∞ = − = ∂ ∂

h T T

y T

k x s

y

f ... (2-19)

dengan kf = konduktifitas fluida, W/(m oC)

Persamaan di atas dapat disusun dalam bentuk tak berdimensi, yaitu : ≡ = = ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ ∂ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − ∂ = ∞ x f x y s s Nu k x h x y T T T T 0

Bilangan Nuselt... (2-20)

Secara grafis, bilangan Nuselt adalah gradien temperatur pada permukaan. Jika distribusi temperatur dalam daerah lapis batas diketahui, maka koefisien perpindahan kalor setempat dapat dihitung dengan persamaan : 0 = ∂ ∂ = y f x y k

h θ ... (2-21)

dengan : ∞ −− = T T T T s s θ

Koefisien perpindahan kalor rerata untuk permukaan sepanjang L :

= Lhxdx L h

0 1

... (2-22)


(35)

)

( −

=wLh T T

q s ... (2-23)

f. Aliran fluida yang melintasi silinder

Aliran fluida yang melintasi silinder (gambar 2.8) pada umumnya dalam arah normal terhadap sumbu silinder. Pembentukan lapis batas dimulai dari titik stagnasi depan yang kecepatannya nol dan tekanannya maksimum.

Gambar 2.8 Medan aliran fluida melintasi silinder pada kecepatan rendah (Prajitno, 2005)

Tekanan maksimum terdapat pada titik stagnasi depan, dan berangsur-angsur turun dengan bertambahnya x atau θ. Oleh karena itu lapis batas yang terbentuk dipengaruhi oleh gradien tekanan yang negatif

dan gradien kecepatan yang positif dalam arah x atau <0

dx dp

dan

0

>

dx dU

. Tetapi sampai pada jarak tertentu terdapat ∞ =0

dx dU


(36)

0

=

dx dp

, dan sesudah itu terjadi pengurangan kecepatan lagi atau >0

dx dp

dan ∞ <0

dx dU

. Posisi pada saat terjadi ∞ =0

dx dU

disebut titik separasi, dan

di daerah yang mempunyai >0

dx dp

terjadi pembalikan arah aliran.

Gambar 2.9 Titik separasi (Prajitno, 2005)

Posisi titik separasi (gambar 2.9) ditentukan oleh bilangan

Reynoldss berdasarkan diameter silinder, ReD =

μ ρUD

.

1) Untuk ReD≤2.105 (laminer), titik separasi terjadi pada θ ≈80o, dan

2) Untuk ReD ≥2.105 (turbulen), titik separasi terjadi pada θ ≈140o

Akibat aliran fluida yang melintasi silinder atau bola, pada permukaan bekerja gaya tahan (drag force) yang disebabkan oleh dua hal yaitu :


(37)

2) Gaya tahan akibat perbedaan antara tekanan di sisi depan dan sisi belakang jika di sisi belakang terjadi wake.

Pada bilangan Reynoldss yang rendah (ReD < 4), gaya tahan

didominasi akibat gesekan, tetapi pada bilangan Reynoldss tinggi (ReD >

5000), gaya tahan didominasi akibat perbedaan tekanan. Koefisien gaya tahan CD didefinisikan sebagai (Prajitno, Hal : 53, 2005):

2 2 1

=

U A

F C

f D D

ρ ... (2-24) dengan : FD = Gaya tahan

Af = Luas bidang frontal

= D.L (untuk silinder yang panjangnya L)

= 14πD2 (untuk bola)

ρ = densitas fluida

U = kecepatan aliran fluida ketika mendekati silinder atau bola Koefisien drag untuk silinder dan bola ditentukan oleh bilangan

Reynoldss atau CD = f(ReD) seperti terlihat pada gambar 2.10. Pada

bilangan ReD > 2 x 105 terjadi penurunan CD secara drastis akibat


(38)

Gambar 2.10 Koefisien drag untuk silinder dan bola (Prajitno, 2005)

g. Koefisien perpindahan kalor dalam fluida yang melintasi silinder Koefisien perpindahan kalor lokal dapat dilihat pada gambar 2.11. Variasi koefisien perpindahan kalor relatif tinggi dimulai pada titik stagnasi (θ =0), dan berkurang dengan bertambahnya θ akibat lapis batas yang makin tebal. Pada bilangan Reynoldss rendah atau aliran laminer, koefisien perpindahan kalor mencapai minimum pada titik separasi sekitar

o

80

θ . Pada bilangan Reynolds yang makin tinggi, terjadi kenaikan

koefisien perpindahan kalor yang tajam pada o

90

θ akibat transisi dari

laminer ke turbulen. Selanjutnya koefisien perpindahan kalor turun lagi akibat lapis batas yang makin tebal dan mencapai minimum ke dua pada

o

140

θ ketika terjadi separasi aliran. Di bagian belakang terjadi lagi

kenaikan koefisien perpindahan kalor karena terjadi percampuran yang sangat efektif di daerah wake.


(39)

θ-Degrees from stagnation point

Gambar 2.11 Variasi koefisien perpindahan kalor lokal sepanjang keliling silinder (Prajitno, 2005)

3. Analogi Perpindahan kalor dan Massa

Hubungan perpindahan kalor dengan perpindahan massa dapat diperoleh dengan mengikuti (Incropera, Hal : 363, 1990):

3 2 3

2

Pr St Sc

St = m ... (2-25)

dengan : St = bilangan Stanton pada perpindahan kalor Pr = bilangan Prandtl

Stm = bilangan Stanton pada perpindahan massa


(40)

Koefisien perpindahan kalor diperoleh dengan asumsi bilangan Reynoldss kedua sistem dan faktor j yang sama, yaitu:

3 2 3 2 Pr Sc U h Uc h m p =

ρ ... (2-26) 3 2 Pr⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ =h c Sc

h mρ p ... (2-27)

dengan : h = koefisien perpindahan kalor (W/m2oC) hm = koefisien perpindahan massa (m/s)

ρ = massa jenis udara (kg/m3

)

p

c

= panas jenis udara (J/kg.oC)

Koefisien perpindahan massa dihitung dengan persamaan:

N m M A p T R m h . . . . Δ

= & ... (2-28) Laju kehilangan massa (m&) dihitung dari perbandingan massa yang

hilang dengan lama waktu yang digunakan. A adalah luas permukaan dan Δp

adalah pp. p merupakan tekanan uap jenuh naphthalene dipermukaan

benda uji pada suhu ruang dan p adalah tekanan naphthalene di aliran udara bebas (=0). R adalah konstanta gas universal (=8314 N.m.kmol-1.K-1), dan MN

adalah berat molekul naphthalene (C10H8, C = 12,01 dan H = 1,008).

Temperatur dihitung berdasarkan temperatur udara lingkungan rerata.

Tekanan uap naphthalene p (N/m2) merupakan fungsi temperatur T

(K) dihitung dengan persamaan (Anis, 2003, dikutip dari Ling dkk., 1994):

T p 13,564 3729,4


(41)

dan bilangan Schimdt dihitung dengan persamaan:

2165 , 0 0743 , 8

T

Sc= ... (2-30)

4. Pengaruh Sudut Serang pada Prisma Segi Empat Terhadap Koefisien Perpindahan Kalor

Penyelidikan harga koefisien perpindahan kalor rerata khususnya untuk prisma segi empat baru terbatas pada sudut serang 0o dan 45o saja, yakni seperti yang dilakukan oleh Reiher (1925) dan Hilpert (1933). Dalam penyelidikan eksperimentalnya, Igarashi meneliti hal tersebut pada berbagai sudut serang α dan menentukan pada sudut berapa terjadinya nilai Nusselt maksimum dan minimum. Harga nusselt rata-rata prisma segi empat untuk

α =0o dan 45o dari Igarashi ditunjukan dalam gambar 2.13 di bawah ini yang dibandingkan terhadap Reiher dan Hilpert seperti yang dikutip oleh Jacob dalam buku teksnya.

Dapat dilihat pada gambar 2.12 bahwa untuk sudut α = 0o hasil yang diperoleh Igarashi berbeda antara Reiher dan Hilpert dan nilainya 40% lebih tinggi dari Hilpert. Sedangkan pada sudut α= 45o (gambar 2.13) hasilnya mendekati Reiher. Persamaan umum yang dapat digunakan untuk kasus ini adalah (Koestoer, Hal : 39, 2002):

• Untuk α = 0o; Nu =0,14Re0,66... (2-31)


(42)

Gambar 2.12 Nilai Nusselt rata-rata pada α = 0o (Koestoer, 2005)

Gambar 2.13 Nilai Nusselt rata-rata pada α = 45o (Koestoer, 2005)

Gambar 2.14 di bawah ini menunjukan variasi nilai Nusselt rata-rata terhadap berbagai sudut serang yang berbeda. Di atas sudut α= 12o nilai

Nusselt rata-rata semakin berkurang dengan bertambahnya sudut serang α ,


(43)

20o-25o nilai Nusselt rata-rata mencapai maksimum dan di atas α= 25o akan berkurang kembali dengan bertambahnya sudut serang α .

Gambar 2.14 Variasi nilai Nusselt rata-rata terhadap berbagai sudut serang α (Koestoer, 2005)

Nilai Nusselt rata-rata sebagai fungsi bilangan Reynoldss untuk sudut serang α= 10o dan α = 20o dapat dilihat pada gambar 2.15 di bawah ini. Dan korelasi yang didapat Igarashi dinyatakan dengan hubungan sebagai berikut (Koestoer, Hal 40, 2002):

• Untuk α = 10o; Nu =0,15Re0,64... (2-33)


(44)

Gambar 2.15 Grafik hubungan Nu dengan Re untuk α= 10o dan α = 20o (Koestoer, 2005)

5. Kacepatan Fluida

Gerakan fluida yang melalui pipa atau saluran setiap satuan waktu merupakan kecepatan aliran tersebut (gambar 2.16).

ρ

p

U = 2Δ ... (2-35)

dimana : U = kecepatan aliran fluida (m/s) g = percepatan gravitasi (m/s2)

p

Δ = p2 – p1

p2 = tekanan dinamis fluida (Pa)

p1 = tekanan statis fluida (Pa)

ρ = massa jenis fluida (kg/m3


(45)

Gambar 2.16 Pengukuran kecepatan (White, 1994)

B. Hipotesis

Berangkat dari teori bahwa koefisien perpindahan kalor konveksi merupakan fungsi yang rumit dari aliran fluida, sifat-sifat termal medium fluidanya, dan geometri sistemnya, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut : 1. Ada pengaruh sudut serang (α ) terhadap koefisien perpindahan kalor.

2. Ada pengaruh aspek rasio (L/W) terhadap koefisien perpindahan kalor. 3. Ada pengaruh kecepatan udara (U) terhadap koefisien perpindahan kalor.

p


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen, yaitu melakukan pengujian terhadap obyek untuk menghasilkan data mentah berupa perubahan massa, waktu pengujian, tekanan kecepatan aliran udara dan suhu sebagai parameter untuk menghitung koefisien perpindahan kalor. Penelitian ini memberikan gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai hubungan antara sudut serang dan aspek rasio terhadap koefisien perpindahan kalor.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah : a. Variasi sudut serang (α)= 90o, 60o, 30o.

b. Variasi aspek rasio (W/L) = ½, 2/3, 1.

c. Variasi pembukaan katup ¼, ½, ¾, 1 untuk mendapatkan variasi kecepatan aliran udara (U).

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah koefisien perpindahan kalor konveksi (h) atau dapat diwakili bilangan Nusselt (Nu).


(47)

C. Alat dan Bahan 1. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah naphthalene yang dicetak dalam bentuk plat lengkung (gambar 3.1),dengan L 6 cm dan W divariasikan dari 3 cm hingga 6 cm.

Gambar 3.1 Geometri spesimen

2. Alat Penelitian

Alat – alat yang digunakan adalah : a. Blower (3 phase, 2 HP)

b. Terowongan angin

c. Timbangan digital

d. Manometer U

e. Thermocople

f. Themperature pressure analyser

g. Jangka sorong h. Jeruji (6 buah) i. Isolatip

j. Tool set

L W


(48)

D. Pengumpulan Data

1. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret pada tahun 2007 di Laboratorium Fenomena Dasar Mesin Jurusan Teknik Mesin dan Laboratorium Analitik Jurusan Kimia UNNES.

2. Langkah-langkah penelitian a. Pembuatan spesimen

Pembuatan spesimen berupa plat lengkung naphthalene adalah

sebagai berikut :

1) Membuat cetakan plat lengkung dari pipa paralon.

2) Mencairkan naphthalene dengan cara memanaskannya sampai

mencapai suhu sekitar 80o.

3) Biarkan cairan naphthalene kurang lebih 5 menit sampai uapnya

berkurang.

4) Tuangkan cairan naphthalene ke dalam cetakan, lepaskan cetakan

sebelum naphthalene mengeras.

5) Potong naphthalene sesuai dengan ukuran, kemudian haluskan. b. Pelaksanaan penelitian

Spesimen berupa plat lengkung naphthalene dengan sudut

serang(α ) 30o hingga 90o (gambar 3.2) diuji dalam terowongan angin (gambar 3.4). Udara dihembuskan dengan kecepatan berlainan sesuai


(49)

dengan posisi pembukaan katup dalam jangka waktu 30 menit atau 45 menit.

Pengukuran geometri menggunakan jangka sorong dan massa plat lengkung naphthalene ditimbang pada timbangan digital. Pengukuran suhu

T1 dan T2 menggunakan thermocople dan dibaca pada themperature

pressure analyzer. Pengukuran tekanan aliran udara menggunakan manometer U. Semua instrumen yang digunakan terkalibrasi sesuai dengan teknik standar yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya.

U

α

Gambar 3.2 Desain eksperimen

Gambar 3.3 Terowongan angin

Themperature Pressure Analyzer

Thermocople

Blower

Katup Hisap

Manometer U Motor Listrik

Seksi Uji Terowongan

Angin Sisi Keluar


(50)

3. Pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan menimbang massa naphthalene

sebelum dan sesudah pengujian, kemudian mencatat nilai yang tertera pada

manometer U dan themperature pressure analyzer. Nilai tersebut dicatat

dalam tabel 3.1 selama pengujian. Data-data yang diambil adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Instrumen pengambilan data

α Posisi

pembukaan katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

¼

=

Δp T1 = T2 =

½

=

Δp T1 = T2 =

¾

=

Δp T1 = T2 =

90o

1

=

Δp T1 = T2 =

¼

=

Δp T1 = T2 =

60o


(51)

α Posisi pembukaan

katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

=

Δp T1 = T2 =

¾

=

Δp T1 = T2 =

1

=

Δp T1 = T2 =

¼

=

Δp T1 = T2 =

½

=

Δp T1 = T2 =

¾

=

Δp T1 = T2 =

30o

1

=


(52)

4. Diagram alir penelitian

Gambar 3.4 Diagram alir penelitian Massa akhir N m M A p T R m h . . . . Δ = & 3 2 Pr⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡

=h c Sc

h mρ p

Kesimpulan

END

Laju perubahan massa

Bahan naphthalene

dengan variasi aspek rasio (W/L)

START

Massa awal

Udara dihembuskan dengan 4 variasi kecepatan pada sudut

serang (α ) 90o

Udara dihembuskan dengan 4 variasi kecepatan pada sudut

serang (α) 60o Udara dihembuskan

dengan 4 variasi kecepatan pada sudut


(53)

E. Analisis data

Data yang diperoleh dari eksperimen merupakan data mentah, yang kemudian dianalisa dan dihitung dengan persamaan-parsamaan di bawah ini untuk mendapatkan bilangan Reynolds, nilai koefisien parpindahan kalor dan bilangan Nusselt.

Data yang diperoleh adalah:

1. Massa naphthalene (m) sebelum dan sesudah pengujian dalam satuan gr. 2. Beda tekanan aliran udara (Δp) yang dibaca pada manometer U dalam satuan

cm kolom air.

3. Temperatur udara yang diukur dengan thermocople dan dibaca pada

themperature pressure analyzer dalam satuan oC.

Untuk mengolah data hasil pengujian dilakukan konversi untuk

mendapatkan satuan dalam satu arah. Konversi yang dimaksud adalah menyamakan satuan untuk mendapatkan satuan koefisien perpindahan kalor (W/m2oC).

Tabel 3.2 Faktor konversi satuan No. Parameter

Satuan awal

Satuan akhir

Faktor konversi 1.

2 .3

Massa naphthalene

Tekanan aliran udara Waktu

gr

cm kolom air menit

kg N/m2 s

10-3 98,06 60

Setelah data dikonversi kemudian dimasukan dalam persamaan sebagai berikut:


(54)

1. Menghitung kecepatan udara

ρ

p

U = 2Δ ... (3-1)

2 2 1

1A U A

U = ... (3-2) 1

U = kecepatan udara dalam pipa (m/s)

1

A = luas penempang pipa (m2) D = 3 inch = 0,0762 m

2

U = kecepatan udara dalam terowongan angin (m/s)

2

A = luas penampang terowongan angin (m2) D = 0,25 m

2. Menghitung laju pengurangan massa naphthalene

t m

m& = Δ ... (3-3)

3. Menghitung luas permukaan plat lengkung

W L

A )

2 (π

= ... (3-4)

4. Menghitung bilangan Reynolds

υ

UL

=

Re ... (3-5)

Dimana L adalah panjang karakteristik benda uji.

5. Menghitung tekanan uap jenuh naphthalene

T p 13,564 3729,4

log = − ... (3-6)

6. Menghitung bilangan Schmidt

2165 , 0 0743 , 8 T


(55)

7. Menghitung koefisien perpindahan massa

N m

M A p

T R m h

. .

. .

Δ

= & ... (3-8)

8. Menghitung koefisien perpindahan kalor

3 2

Pr⎥⎦

⎤ ⎢⎣ ⎡

=h c Sc

h mρ p ... (3-9)

9. Menghitung bilangan Nusselt

k hL

Nu= ... (3-10)


(56)

BAB IV

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data hasil pengujian

Dari penelitian yang dilakukan maka diperoleh data eksperimen. Data hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 4.1, 4.2, 4.3 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio ½

α Posisi pembukaan katup p Δ (cm kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

1,7 26 26

1,7 26 26

1,6 27 27

1,5 27 27

¼

=

Δp 1,625

62,8420 62,6562 0,1858

=

1

T 26,5 T2 =26,5

45

6,3 22 22

6,3 23 23

6,2 23 23

6,4 23 23

½

= Δp 6,3

63,0880 62,8731 0,2149

=

1

T 22,75 T2 =22,75

45

7,8 23 23

7,7 23 23

7,8 23 23

7,5 23 23

¾

= Δp 7,7

60,0904 59,8700 0,2204

=

1

T 23 T2 =23

45

8,9 26 26

9,0 25 25

8,9 25 25

8,9 25 25

90o

1

=

Δp 8,925

60,5696 60,3485 0,2211

=

1

T 25,25 T2 =25,25

30

1,6 28 27

1,5 27 27

1,6 27 27

60o ¼

1,6

53,5893 53,3185 0,2708

27 27 45


(57)

α Posisi pembukaan katup p Δ (cm kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit) =

Δp 1,575 T1 =27,25 T2 =27

6,2 23 23

6,4 23 23

6,5 23 23

6,5 23 23

½

= Δp 6,4

54,6250 54,3510 0,2740

=

1

T 23 T2 =23

45

7,8 22 22

7,7 23 23

7,8 23 23

7,4 23 23

¾

=

Δp 7,675

58,5065 58,2299 0,2766

=

1

T 22,75 T2 =22,75

45

8,5 25 25

8,7 25 25

8,9 25 25

8,5 25 25

1

=

Δp 8,65

54,5439 54,3132 0,2307

=

1

T 25 T2 =25

30

1,5 22 22

1,6 24 24

1,6 26 26

1,5 27 27

¼

=

Δp 1,55

58,9570 58,7406 0,2164

=

1

T 24,75 T2 =24,75

45

6,3 21 22

6,4 22 22

6,0 22 22

6,3 22 22

½

=

Δp 6,25

54,9019 54,6336 0,2683

=

1

T 21,75 T2 =22

45

7,7 23 23

7,8 23 23

7,7 22 23

7,3 22 22

¾

=

Δp 7,625

57,6153 57,3525 0,2628

=

1

T 22,5 T2 =22,75

45

8,6 22 22

8,8 22 22

8,8 22 22

8,5 22 22

30o

1

=

Δp 8,675

53,3459 53,1560 0,1899

=

1

T 22 T2 =22


(58)

Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio 2/3

α pembukaan Posisi katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

1,5 24 24

1,7 24 24

1,6 24 24

1,7 24 24

¼

=

Δp 1,625

76,8417 76,6502 0,1915

=

1

T 24 T2 =24

45

5,9 23 23

5,9 23 23

5,9 23 23

5,9 23 23

½

= Δp 5,9

75,8970 75,6154 0,2816

=

1

T 23 T2 =23

45

8,0 23 23

8,0 23 23

8,0 23 23

8,2 23 23

¾

=

Δp 8,05

77,4793 77,2739 0,2054

=

1

T 23 T2 =23

30

8,8 20 20

8,5 21 21

8,8 21 21

8,9 22 22

90o

1

=

Δp 8,75

76,2538 76,0854 0,1684

=

1

T 21 T2 =21

30

1,6 24 24

1,6 24 24

1,6 24 24

1,5 24 24

¼

=

Δp 1,575

77,2125 76,9605 0.2520

=

1

T 24 T2 =24

45

5,9 22 22

5,9 23 23

5,9 23 23

6,0 23 23

½

=

Δp 5,925

69,3881 69,0805 0,3076

=

1

T 22,75 T2 =22,75

45

7,4 22 22

8,2 23 22

8,0 23 23

8,1 23 23

¾

=

Δp 7,925

77,6803 77,6502 0,2266

=

1

T 22,75 T2 =22,5

30

8,5 22 22

8,5 22 22

60o

1

8,6

69,8865 69,6592 0,2273

22 22 30


(59)

α pembukaan Posisi katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

8,6 22 22

=

Δp 8,55 T1 =22 T2 =22

1,6 23 23

1,6 23 23

1,5 23 23

1,5 24 24

¼

=

Δp 1,55

70,2546 70,0,126 0,2420

=

1

T 23,25 T2 =23,25

45

5,9 23 23

5,9 23 23

5,9 23 23

5,9 23 23

½

= Δp 5,9

68,1419 67,8240 0,3179

=

1

T 23 T2 =23

45

7,8 22 23

7,9 23 23

7,8 23 23

7,8 23 23

¾

=

Δp 7,825

67,7540 67,4253 0,3287

=

1

T 22,75 T2 =23

45

8,5 22 22

8,6 22 22

8,8 22 22

8,5 22 22

30o

1

= Δp 8,6

70,7486 70,5175 0,2311

=

1

T 22 T2 =22

30

Tabel 4.3 Data Hasil Pengujian pada Aspek Rasio 1

α pembukaan Posisi katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

1,5 23 23

1,4 23 23

1,5 23 23

1,5 23 23

¼

=

Δp 1,475

91,1774 90,9473 0,2301

=

1

T 23 T2 =23

45

5,9 23 23

5,9 24 24

5,9 24 24

6,0 24 24

½

=

Δp 5,925

90,1347 89,7736 0,3611

=

1

T 23,75 T2 =23,75

45 90o


(60)

α pembukaan Posisi katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

7,7 23 23

7,7 23 23

7,8 23 23

=

Δp 7,75 T1 =22,75 T2 =22,75

8,4 23 23

8,5 24 24

8,4 24 24

8,4 24 24

1

=

Δp 8,425

91,5427 91,2769 0,2658

=

1

T 23,75 T2 =23,75

30

1,5 23 23

1,4 23 23

1,6 23 23

1,5 24 24

¼

= Δp 1,5

93,9742 93,7254 0,2488

=

1

T 23,25 T2 =23,25

45

6,0 24 24

5,9 24 24

5,9 24 24

5,9 24 24

½

=

Δp 5,925

95,8090 95,4020 0,4070

=

1

T 24 T2 =24

45

7,9 23 23

7,8 23 23

7,8 23 23

7,8 23 23

¾

=

Δp 7,825

94,4276 94,0552 0,3719

=

1

T 23 T2 =23

45

8,5 24 24

8,4 24 24

8,4 24 24

8,5 24 24

60o

1

=

Δp 8,45

96,1987 95,8945 0,3042

=

1

T 24 T2 =24

30

1,5 23 23

1,4 23 23

1,5 23 23

1,5 23 23

¼

=

Δp 1,475

94,7594 94,4990 0,2604

=

1

T 23 T2 =23

45

5,9 24 24

6,0 24 24

5,9 24 24

5,9 24 24

30o

½

=

Δp 5,925

95,1158 94,7255 0,3903

=

1

T 24 T2 =24


(61)

α pembukaan Posisi katup

p

Δ (cm

kolom air)

m1(gr) m2(gr) Δm(gr) T1(oC) T2(oC) t(menit)

7,8 23 23

7,7 23 23

7,7 23 23

7,8 23 23

¾

=

Δp 7,75

95,9177 95,4699 0,4478

=

1

T 23 T2 =23

45

8,6 22 22

8,4 23 23

8,5 23 23

8,4 23 23

1

=

Δp 8,475

95,3937 94,7255 0,2779

=

1

T 22,75 T2 =22,75

30

2. Data perhitungan

Data hasil pengujian kemudian diolah untuk mendapatkan variabel yang akan diamati yaitu, kecepatan aliran udara (U), koefisien perpindahan

kalor (h), dan selanjutnya dilakukan generalisasi dalam bentuk

non-dimensional yaitu bilangan Reynolds (Re) dan Nusselt (Nu). Berikut adalah contoh perhitungan pengolahan data mentah dan selanjutnya disajikan data hasil perhitungan (tabel 4.4, 4.5 dan 4.6):

Diketahui :

p

Δ =6,4cm kolom air=627.584N/m2

T = 23oC = 296 K

m

Δ =0,3740gr=0,3740x10−3kg

t = 45 menit = 2700 s

Sifat-sifat udara pada temperatur 296 K, di dapat dari tabel sifat-sifat udara pada tekanan atmosfer (Holman, 1991)


(62)

3 / 1962 ,

1 kg m

=

ρ

C kg kJ cp =1,0057 / .o

s m

x10 /

3396 ,

15 −6 2

=

υ

C m W k =0,0259 / .o

7091 , 0 Pr =

a. Menghitung kecepatan udara

ρ

p U = 2Δ

s m m kg m N

U 32,3924 /

/ 1962 , 1 / 584 , 627 . 2 3 2

1 = =

2 2 1

1A U A

U =

(

)

⎥⎦⎤= ⎢⎣

(

)

⎥⎦⎤ ⎢⎣ ⎡ 2 2 2 25 , 0 4 0762 , 0 4 / 3924 ,

32 m s π m U π m

s m U2 =3,0370 /

b. Menghitung laju pengurangan massa naphthalene

t m m& = Δ

s kg x s kg x

m 13,8518 10 /

2700 10 3740 ,

0 −3 8

= =

&

c. Menghitung luas permukaan plat lengkung

W L A ) 2 (π = 2 4 10 26 , 28 03 , 0 ) 06 , 0 2

( m m x m

A= π = −

d. Menghitung bilangan Reynolds

υ

UL

=


(63)

0581 , 879 . 11 / 10 3396 , 15 ) 06 , 0 ( / 0370 , 3 Re 2 6 = = s m x m s m

e. Menghitung tekanan uap jenuh naphthalene

T p 13,564 3729,4

log = −

296 4 , 3729 564 , 13

logp= −

2 / 2188 ,

9 N m

p=

f. Menghitung bilangan Schmidt

2165 , 0 0743 , 8 T Sc= 3554 , 2 ) 296 ( 0743 , 8 2165 , 0 = = Sc

g. Menghitung koefisien perpindahan massa

N m M A p T R m h . . . . Δ = & s m kmol kg m x m N K kmolK Nm s kg x

hm 0,0748 /

/ 164 , 128 . 10 26 , 28 . / ) 0 2188 , 9 ( 296 . / 8314 . / 10 8518 , 13 2 4 2 8 = − = −

h. Menghitung koefisien perpindahan kalor 3 2 Pr⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡

=h c Sc

h mρ p

3 2 7091 , 0 3554 , 2 . / 10 0057 , 1 / 1962 , 1 . / 0748 ,

0 3 3

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣

= m s kg m x kJ kg C

h o

C m W h=200,3329 / 2.o


(64)

i. Menghitung bilangan Nusselt

k hL Nu=

0927 , 464 .

/ 0259 , 0

) 06 , 0 ( /

3329 ,

200 2

= =

C m W

m C

m W

Nu o


(65)

α m&x10 (kg/s) m

1,5410 6,8815 299,5 28,26 0,70814 2,3494 5.909,3869 12,9394 0,0365 96,4945 220,9773

3,0117 7,9592 295,75 28,26 0,70919 2,3559 11.796,9408 8,9955 0,0600 160,8648 372,6231

3,3312 8,1629 296 28,26 0,70912 2,3554 13.029,8052 9,2188 0,0611 163,4951 378,4314

90o

3,6030 12,2833 298,25 28,26 0,70849 2,3516 13.914,3340 11,4743 0,0733 194,4865 447,0773

1,5189 10,0296 300,13 28,26 0,70972 2,3484 5.803,7367 13,7355 0,0503 132,4300 302,7032

3,0370 10,1418 296 28,26 0,70912 2,3554 12.011,0476 9,2188 0,0748 200,3329 463,6978

3,3242 10,2444 295,75 28,26 0,70919 2,3559 13.021,0149 8,9955 0,0773 206,2090 477,6572

60o

3,5465 12,8166 298 28,26 0,70856 2,3520 13.715,2912 11,2004 0,0783 207,9315 478,3481

1,4998 8,0148 297,75 28,26 0,70863 2,3524 5.808,2666 10,9327 0,0500 133,0478 306,3107

2,9946 9,9370 294,88 28,26 0,70944 2,3574 11.920,7612 8,2530 0,0815 219,3008 519,4497

3,3133 9,7333 295,75 28,26 0,70919 2,3559 12.978,3193 8,9955 0,0735 197,0594 456,4634

30o


(66)

α m&x10 (kg/s) m

1,5334 7,0925 297 37,68 0,70884 2,3589 5.963,7523 10,1648 0,0357 95,3653 220,0585

2,9160 10,4296 296 37,68 0,70912 2,3554 11.405,7734 9,2188 0,0577 154,5349 357,6920

3,4061 11,4100 296 37,68 0,70912 2,3554 13.322,7644 9,2188 0,0637 170,5660 394,7981

90o

3,5373 9,3562 294 37,68 0,70968 2,3589 13.995,8059 7,5677 0,0652 176,0785 439,9586

1,5096 9,2148 297 37,68 0,70884 2,3589 5.817,8078 10,1643 0,0469 125,2733 289,0723

2,9207 11,3925 295,75 37,68 0,70892 2,3559 11.440,4904 8,9955 0,0645 172,9297 400,5690

3,3770 12,5888 295,63 37,68 0,70923 2,3561 12.913,9579 8,8857 0,0721 193,4057 448,1717

60o

3,5103 12,6277 295 37,68 0,70940 2,3572 13.809,2053 8,3554 0,0767 206,4112 479,2225

1,4953 8,8444 296,25 37,68 0,70905 2,3550 5.840,4452 9,4473 0,0484 129,4943 299,5242

2,9160 11,7740 296 37,68 0,70912 2,3554 11.405,7700 9,2188 0,0651 174,3539 403,5659

3,3565 12,1741 295,75 37,68 0,70919 2,3559 13.147,5352 8,9550 0,0719 192,8146 446,6321

30o


(67)

α m&x10 (kg/s) m

1,4580 8,5222 296 56,52 0,70912 2,3554 5.769,3811 9,2188 0,0314 84,0960 194,6539

2,9265 13,3740 296,75 56,52 0,70891 2,3542 11.397,8826 9,9202 0,0459 122,5519 283,0088

3,3404 13,2518 295,75 56,52 0,70919 2,3542 13.084,4707 8,9955 0,0500 133,9895 310,3698

90o

3,4897 14,7667 296,75 56,52 0,70891 2,3542 13.591,9741 9,9202 0,0507 135,3679 312,6044

1,4710 9,2814 296,25 56,52 0,70905 2,3550 5.745,5326 9,4473 0,0332 88,8214 205,4298

2,9279 15,0740 297 5652 0,70884 2,3589 11.387,2890 10,1648 0,0506 135,1563 311,8776

3,3582 13,7740 296 56,52 0,70912 2,3554 13.135,4142 9,2188 0,0507 135,8839 314,5218

60o

3,4949 16,9000 296,75 56,52 0,70891 2,3542 13.611,8088 9,9202 0,0580 154,8587 357,6146

1,4580 9,6444 296 56,52 0,70912 2,3554 5.769,3811 9,2188 0,0355 92,0779 220,0706

2,9279 14,4555 297 56,52 0,70884 2,3589 11.387,2810 10,1648 0,0485 129,5471 298,9341

3,3404 16,5851 296 56,52 0,70912 2,3554 13.065,7903 9,2188 0,0611 163,6409 378,7692

30o


(68)

50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re 50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re 50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re h(W /m 2 o C) h(W /m 2 o C) h(W /m 2 o C) 50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Aspek Rasio1 Aspek Rasio 2/3 Aspek Rasio1/2

h(W /m 2 o C) 50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Aspek rasio 1 Aspek rasio 2/3 Aspek rasio 1/2

h(W /m 2 o C) 50 100 150 200 250

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Aspek rasio 1 Aspek rasio 2/3 Aspek rasio 1/2

h(W

/m

2

o C)

Gambar 4.1 Grafik hubungan h dengan Re pada aspekrasio 1/2

Gambar 4.2 Grafik hubungan h dengan Re pada aspekrasio 2/3

Gambar 4.3 Grafik hubungan h dengan Re pada aspekrasio 1

Gambar 4.4 Grafik hubungan h dengan Re pada sudut serang 90o

Gambar 4.5 Grafik hubungan h dengan Re pada sudut serang 60o

Gambar 4.6 Grafik hubungan h dengan Re pada sudut serang 30o


(69)

100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Nu

Aspek rasio 1 Aspek rasio 2/3 Aspek rasio 1/2

100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re Nu 100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re Nu 100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re Nu 100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Nu

Aspek rasio 1 Aspek rasio 2/3 Aspek rasio 1/2

100 200 300 400 500 600

5000 7000 9000 11000 13000 15000

Re

Nu

Aspek rasio 1 Aspek rasio 2/3 Aspek rasio 1/2

Gambar 4.7 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspekrasio 1/2

Gambar 4.8 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspekrasio 2/3

Gambar 4.9 Grafik hubungan Nu dengan Re pada aspekrasio 1

Gambar 4.10 Grafik hubungan Nu dengan Re pada sudut serang 90o

Gambar 4.11 Grafik hubungan Nu dengan Re pada sudut serang 60o

Gambar 4.12 Grafik hubungan Nu dengan Re pada sudut serang 30o


(70)

B. Pembahasan

1. Pengaruh sudut serang

Data penelitian pada gambar 4.1, 4.2 dan 4.3 menunjukan bahwa besarnya koefisien perpindahan kalor (h) pada sudut serang 90o, 60o dan 30o

memberikan hasil yang berbeda. Pada sudut serang 30o mempunyai nilai

koefisien perpindahan kalor paling besar, kemudian diikuti sudut serang 60o dan 90o.

Sesuai teori aliran fluida yang melintasi silinder lapis batas yang terbentuk dipengaruhi oleh gradien tekanan yang negatif dan gradien kecepatan yang positif dalam arah x. Tetapi sampai pada jarak tertentu terdapat gardien tekanan dan gradien kecepatan dalam arah x sama dengan nol terjadi daerah aliran terpisah, kemudian terjadi lagi pengurangan kecepatan sampai pada gradien tekanan menjadi positif dan gradien kecepatan negatif dalam arah x terjadi pembalikan arah aliran.

Dari teori di atas dapat dipahami bahwa pada plat lengkung dengan sudut serang 30o dimungkinkan terjadi daerah aliran terpisah (separated flow region) dan daerah pembalikan arah aliran, sehingga memungkinkan terjadi resirkulasi aliran udara pada permukaan benda uji yang mengakibatkan pola aliran menjadi tidak teratur (timbulnya wake) sehingga pengurangan massa menjadi lebih banyak, dengan demikian koefisien perpindahan kalor besar. Pada plat lengkung dengan sudut serang 60o terjadi kecenderungan yang sama dengan plat lengkung dengan sudut serang 30o, namun resirkulasi aliran udara


(71)

serang 90o dapat dikatakan bahwa tidak terdapat daerah aliran terpisah pada permukaan benda uji sehingga memungkinkan tidak terjadi reisrkulasi aliran udara. Hal ini mengakibatkan pengurangan massa menjadi lebih sedikit sehingga koefisien perpindahan kalor kecil.

Secara umum kenaikan koefisien perpindahan kalor pada sudut serang 30o adalah 3,4% terhadap sudut serang 60o dan 20,1% terhadap sudut serang 90o.

2. Pengaruh aspek rasio

Data penelitian pada gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 menunjukan bahwa besarnya koefisien perpindahan kalor (h) pada aspek rasio ½ , 2/3 dan 1 memberikan hasil yang berbeda. Pada aspek rasio ½ mempunyai nilai koefisien perpindahan kalor paling besar, kemudian diikuti aspek rasio 2/3 dan 1.

Semakin besar aspek rasio pada plat lengkung koefisien perpindahan kalor cenderung menurun dengan bertambahnya lebar plat. Penurunan ini diakibatkan karena luas permukaan yang semakin besar, meskipun massa yang berkurang lebih banyak pada plat lengkung yang mempunyai aspek rasio besar, namun bertambahnya pengurangan massa tersebut tidak sebanding dengan bertambahnya luas permukaan plat.

Penurunan nilai koefisien perpindahan kalor pada plat lengkung dengan aspek rasio yang besar tidak mengakibatkan laju perpindahan kalornya menurun, laju perpindahan kalor justru meningkat akibat luas permukaan yang


(72)

semakin besar. Hal ini menunjukan bahwa meskipun nilai koefisien perpindahan kalor menurun namun perluasan permukaan plat lengkung masih efektif untuk meningkatkan laju perpindahan kalor.

Secara umum penurunnan koefisien perpindahan kalor pada aspek rasio ½ adalah 6,56% terhadap aspek rasio 2/3 dan 28,45% terhadap aspek rasio 1.

3. Pengaruh kecepatan

Peningkatan kecepatan aliran akan berpengaruh terhadap koefisien perpindahan kalor. Peningkatan kecepatan yang ditunjukan melalui bilangan Reynolds memperlihatkan kenaikan koefisien perpindahan kalor.

Peningkatan koefisien perpindahan kalor yang dipengaruhi oleh kecepatan aliran mengindikasikan bahwa pengurangan massa pada permukaan plat lengkung akan meningkat akibat meningkatnya momentum fluida. Momentum tersebut dihasilkan oleh gaya-gaya inersia yang semakin dominan pada permukaan plat lengkung akibat meningkatnya kecepatan aliran dibandingkan dengan gaya viskosnya.

4. Profil bilangan Nusselt

Kenaikan bilangan Reynolds (Re) dikuti oleh kenaikan bilangan Nusselt (Nu) baik pada berbagai variasi sudut serang maupun pada berbagai variasi aspek rasio. Hubungan bilangan Nusselt dan bilangan Reynolds menggambarkan kofisien perpindahan kalor tak berdimensi sebagai fungsi


(73)

bilangan Reynolds. Gambar 4.7 sampai 4.12 memperlihatkan hal tersebut dimana peningkatan bilangan Reynolds akan diikuti meningkatnya bilangan Nusselt.


(74)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengujian dan analisis dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Semakin kecil sudut serang, semakin besar nilai koefisien perpindahan kalor.

Secara umum kenaikan koefisien perpindahan kalor pada sudut serang 30o

adalah 3,4% terhadap sudut serang 60o dan 20,1% terhadap sudut serang 90o . Hal ini dimungkinkan karena sudut serang yang kecil akan menyebabkan terjadi resirkulasi aliran udara pada permukaan plat lengkung sehingga pola aliran menjadi tidak teratur (timbul wake ).

2. Semakin besar aspek rasio, semakin kecil nilai koefisien perpindahan kalor. Secara umum penurunnan koefisien perpindahan kalor pada aspek rasio ½ adalah 6,56% terhadap aspek rasio 2/3 dan 28,45% terhadap aspek rasio 1. Hal ini dimungkinkan karena peningkatan pengurangan massa tidak sebanding dengan peningkatan luas permukaan plat lengkung, sehingga luas permukaan yang besar cenderung menurunkan nilai koefisien perpindahan kalor. Namun, penurunan koefisien perpindahan kalor tidak mengakibatkan laju perpindahan kalor menurun, laju perpindahan kalor justru meningkat karena peningkatan luas permukaan plat lengkung.


(75)

3. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, semakin besar nilai koefisien perpindahan kalor. Hal ini dimungkinkan karena peningkatan kecepatan aliran udara akan menyebabkan peningkatan momentum fluida.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1. Penggunaan plat lengkung untuk aplikasi teknik sebaiknya mempunyai sudut

serang yang kecil agar diperoleh nilai koefisien perpindahan kalor yang besar.

Hal ini mungkin dapat diterapkan pada solar collector yang bergerak

mengikuti gerak matahari, sehingga penyerapan panas tidak hanya efektif melalui proses radiasi saja, tetapi juga melalui proses konveksi.

2. Untuk mendapatkan laju perpindahan kalor yang maksimal sebaiknya dipilih

plat lengkung yang mempunyai aspek rasio besar. Meskipun mempunyai nilai

koefisien perpindahan kalor yang kecil, namun peningkatan luas permukaan akan meningkatkan laju perpindahan kalor.


(76)

DAFTAR PUSTAKA

Anis, Samsudin, 2003, Analisa Perpindahan Kalor pada Plat Datar dengan Leading Edge Berbentuk Persegi, Jogjakarta : Universitas Gajah Mada.

Holman, J.P., 1991, Perpindahan Kalor, Ed. 6, Jakarta : Erlangga.

http://www.hq.nasa.gov/office/oig/hotline.html

Incropera, F.P. dan DeWitt, D.P., 1996, Fundamentals of Heat Transfer, Ed. 3, New York : John Willey & Sons.

Koestoer, Raldi Artono, 2002, Perpindahan Kalor Untuk Mahasiswa Teknik, Jakarta : Salemba Teknika.

Kreith, Frank, 1991, Prinsip-prinsip Perpindahan Panas, Jakarta : Erlangga. Prajitno, 2005, Hand Out Perpindahan Kalor Lanjut, Ed. 2 Jogjakarta :

Universitas Gajah Mada.


(77)

(78)

Lampiran A.1 Manometer u


(79)

Lampiran B.1 Themperature pressure analyzer


(80)

Lampiran C.1 Plat lengkung dari naphthalene


(81)

(82)

(83)

(1)

Lampiran A.1 Manometer u

Lampiran A.2 Blower 3 phase, 2 Hp Lampiran A


(2)

Lampiran B.1 Themperature pressure analyzer Lampiran B


(3)

Lampiran C.1 Plat lengkung dari naphthalene

Lampiran C.2 Plat lengkung dengan variasi aspek rasio Lampiran C


(4)

(5)

(6)