KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN KEAMANAN MANUSIA KASUS DOWRY MURDER DI INDIA.

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN KEAMANAN MANUSIA
( STUDI KASUS : DOWRY MURDER DI INDIA )
Putu Titah Kawitri Resen
Program Studi Hubungan internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana
E-mail : kawitriresen@yahoo.com

ABSTRACT

This article attempts to explain dowry murder as one example violence against
women. By relating this issue with the concept of violence and human security,
this article shows that dowry, as a gift given by the bride’s family to the

groom’s family has become source of violence against women, both direct
violence and also cultural violence. These forms of violence lead to the
absence of peace. Dowry in India has also become the threaths to women as a
vurnerable group in society. In human security concept, dowry murder has
threathened personal security and community security, two among seven
components of human security.
Keywords :dowry murder, women, violence, human security


1. Pendahuluan
Dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer, konsep-konsep dasar
seperti keamanan, kekerasan, dan perdamaian tidak lagi semata-mata didominasi oleh
pandangan tradisional yang menekankan pada negara dan kekuatan militer. Kekerasan,
keamanan dan perdamaian juga meliputi kekerasan yang menjadi isu dalam ranah

domestik. Oleh karena itu, isu kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu isu
yang tercakup di dalam kajian Hubungan Internasional. Selain itu, kekerasan terhadap
perempuan juga menjadi sebuah fenomena global karena dapat terjadi dimana saja di
seluruh belahan dunia. Di ranah internasional isu kekerasan terhadap perempuan
dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Perempuan, dalam masyarakat modern dan masyarakat tradisional, rentan
terhadap kekerasan baik yang bersifat kriminal maupun yang bersumber dari tradisi.
Menurut data WHO diperkirakan bahwa secara global satu dari lima perempuan
dalam hidupnya pernah menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan. Data
lainnya yang terkait dengan kasus perkosaan menyebutkan bahwa di beberapa negara
seperti Kanada, Selandia baru, Inggris, dan Amerika Serikat perbandingannya adalah
satu dari enam perempuan. Di Afrika Selatan, kondisinya jauh lebih parah karena 40
persen dari gadis-gadis yang berusia 17 tahun atau dibawah itu telah menjadi korban

perkosaan atau percobaan perkosaan. Sayangnya, kekerasan yang dialami oleh
perempuan juga kerapkali terjadi di rumah mereka sendiri. Sebagai contoh, pemerintah
Rusia memperkirakan bahwa 14.000 perempuan dibunuh oleh pasangan ataupun
kerabat mereka di tahun 1999. Namun sayangnya, pemerintah Rusia belum memiliki
undang-undang khusus untuk menangani kasus kekerasan domestik (Vlachovà dan
Biason,2005 : 9).
Melihat pada bentuk kekerasan dan jumlah perempuan yang mengalami
kekerasan membawa kita pada konsep perdamaian dalam arti yang lebih luas.
Maksudnya ialah ketiadaan perang, tidak lantas meniadakan kekerasan dalam segala
bentuknya. Hal ini disebabkan karena resiko kematian perempuan akibat kekerasan
domestik hampir sama atau bahkan lebih besar dengan resiko kematian yang
disebabkan oleh penyakit maupun perang. Seperti yang dikutip oleh Vlachovà dan
Biason( 2005 ) bahwa kaum perempuan yang berada pada rentang usia 15 tahun
hingga 44 tahun cenderung terluka atau meninggal akibat kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki daripada akibat penyakit kanker, kecelakaan lalulintas, malaria dan
perang.
Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan akibat tradisi dan perdamaian
dalam arti luas, dowry murder di India dapat menjadi salah satu contohnya. Tradisi

pernikahan yang mensyaratkan keluarga pengantin perempuan untuk menyediakan

dowry (maskawin) untuk keluarga pengantin laki-laki menjadi pendorong bagi

terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dapat berujung pada kematian
perempuan tersebut. Dowry murder yang muncul sebagai sebuah fenomena baru di
tahun 1980-an justru terjadi ketika pemerintah India telah mengeluarkan undangundang larangan memberi dan menerima dowry

dalam pernikahan yang disebut

dengan Dowry Prohibiton Act 1961. Dowry Prohibiton Act 1961 ini kemudian di
amandemen di tahun 1984 dan 1986 (Oldenburg, 2002:viii). Dowry Prohibiton Act ini
dimaksudkan untuk menghapuskan menghapuskan satu-satunya sistem pernikahan
yang disahkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Bahkan jauh sebelumnya, Mahatma
Gandhi gencar melakukan kampanye anti sistem dowry dalam pernikahan melalui
tulisan-tulisannya di majalah Harijan dan Young India (Gandhi,2002:129). Dalam
kampanye-kampanyenya, Gandhi yang terkenal sebagai pecinta damai menyerukan
agar masyarakat India menikah didasarkan atas dasar saling cinta dan kasih sayang.
Pemberian hadiah sebagai syarat dalam pernikahan menurut Gandhi adalah sebuah
kebiasaan yang kejam karena sangat bertentangan dengan prinsip kasih sayang. Dalam
setiap kampanye yang dipimpinnya, Gandhi menghimbau golongan kasta tinggi
sampai golongan harijan, mulai dari Bombay sampai desa-desa terpencil di Gujarat,

Maharashtra dan Bengal untuk saling mendekati dan melakukan kawin silang serta
menikah atas dasar kasih sayang dan sukarela ( Wolpert,2001:274).
Meskipun telah ada usaha oleh pemerintah India untuk menghapus praktik
dowry dalam pernikahan, sayangnya usaha–usaha tersebut belum membuahkan hasil

yang positif. Jumlah kematian perempuan di India yang disebabkan oleh maskawin
justru terus menunjukkan peningkatan hingga saat ini.

Tradisi dowry

dalam

pernikahan di India telah jelas menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan yang
mengancam kehidupan mereka baik secara individu maupun secara kolektif. India
sendiri adalah sebuah negara demokrasi besar yang telah lama merasakan perdamaian,
kemerdekaan

dan kebebasan dari penjajahan, namun demikian kemerdekaan dan

kebebasan India tidak secara langsung mampu menghilangkan penindasan terhadap

kaum perempuannya. Tradisi dowry di era modern justru semakin menyebabkan

perempuan kehilangan hak asasinya sebagai manusia yang menjadi salah satu syarat
bagi terciptanya perdamaian.

2.Kerangka Pemikiran
Untuk menjelaskan pokok permasalahan diatas, penulis menggunakan dua
konsep yaitu konsep kekerasan dan perdamaian serta konsep keamanan manusia.
Konsep Kekerasan
Kekerasan memiliki definisi yang sangat luas dan memiliki keterkaitan erat
dengan perdamaian. Dalam satu pandangan, kekerasan bisa jadi merupakan akibat dari
tindakan atau serangkaian tindakan dari seorang aktor atau pelaku. Di lain pihak,
kekerasan bisa jadi merupakan hasil dari serangkaian aktivitas sebuah institusi atau
struktur, yang mana salah satunya dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan ( Roberts,
2008;17).
Johan Galtung menciptakan tiga dimensi kekerasan, yaitu kekerasan langsung,
kekerasan struktural, dan kekerasan kultural ( Susan, 2009;118). Kekerasan langsung
ialah kekerasan yang melibatkan aktor pelaku yang mengharapkan akibat dari
terjadinya kekerasan tersebut. Kekerasan ini dilakukan denngan sengaja oleh individu
atau secara kolektif. Kekerasan langsung dapat dibedakan menjadi kekerasan verbal

dan fisik. Penganiayaan dan pembunuhan dapat dikategorikan sebagai kekerasan
langsung. Kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural merupakan kekerasan
yang datang dari struktur sosial yang ada antara manusia, diantara kelompok-kelompok
manusia ( masyarakat ), antara kelompok-kelompok

masyarakat ( aliansi-aliansi

regional ) di dunia. Kekerasan struktural tidak selalu disengaja. Bentuk kekerasan
struktural yang utama muncul dari bidang ekonomi dan politik yaitu represi dan
eksploitasi. Bisa dikatakan kekerasan ini terlaksana melalui proses. Sistem patriarki
misalnya adalah kekerasan struktural dimana superioritas laki-laki atas perempuan
menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan kultural atau kekerasan
budaya adalah segala aspek budaya yang terdapat dalam agama, ideologi, bahasa dan
seni, ilmu pengetahuan dan hukum

serta dalam media dan pedidikan

yang

membenarkan atau melegitimasi kekerasang langsung dan kekerasan tidak langsung


(Galtung,1996;9). Kekerasan kultural menjadikan kekerasan langsung dan kekerasan
struktural tampak terasa benar atau setidak-tidaknya dipandang sebagai sesuatu yang
tidak salah (Galtung,1990;291).
Tiga tipologi kekerasan yang dikemukakan Galtung diatas terkait erat dengan
konsep perdamaian. Galtung membedakan perdamaian kedalam perdamaian negatif dan
perdamaian positif. Secara singkat, perdamaian negatif dapat dijelaskan sebagai
ketiadaan kekerasan langsung, sedangkan perdamaian positif ialah ketiadaan kekerasan
langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural ( Webel dan Galtung,2007;31).
Dalam tulisan ini, konsep kekerasan yang dikemukakan oleh Johan Galtung
digunakan untuk menjelaskan ketiadaan perdamaian positif akibat tradisi dowry yang
melahirkan kekerasan langsung dan kekerasan kultural terhadap perempuan.
Konsep Keamanan Manusia
Konsep keamanan manusia hadir sebagai sebuah konsep keamanan yang tidak
hanya fokus terhadap keamanan negara, tetapi juga menjadikan tiap individu manusia
yang ada didalamnya sebagai obyek keamanan yang sama pentingnya dengan negara.
Hal ini disebabkan karena berakhirnya Perang Dingin ternyata tidak menghadirkan
perdamaian dalam arti yang positif. Justru era paska Perang Dingin bentuk hubungan
antar negara terbentuk karena adanya ancaman baru dan permasalahan yang menembus
batas negara dan sulit ditangani atau bahkan tidak terselesaikan (Tadjbakhsh dan

Chenoy,2007;1 ). Ancaman yang dimaksud merupakan ancaman-ancaman yang dapat
menyebabkan manusia mendapatkan kesulitan, atau bahkan menyebabkan kematian,
seperti kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, atau

bencana alam.

Menurut

MacLean, Black & Shaw ( 2006) keamanan yang dimaksud oleh konsep ini adalah
keamanan yang akan dapat dicapai bila manusia memiliki freedom from want dan
freedom from threat, yang berarti bahwa manusia akan memperoleh keamanan ketika

mereka dapat terhindar dari ancaman yang mengganggu keberlangsungan hidup
mereka, termasuk juga kebebasan untuk menjalankan hidup.
dalam Laporan UNDP tahun1994, didefinisikan sebagai berikut:

Keamanan manusia,

Keamanan manusia dapat dikatakan memiliki dua aspek, pertama,
keamanan dari ancaman –ancaman yang bersifat


kronis seperti

kelaparan, penyakit, dan penindasan. Selain itu, keamanan manusia
juga berarti perlindungan dari gangguan yang berbahaya dalam
kehidupan sehari-hari apakah itu di rumah, di kantor maupun dalam
komunitas. (UNDP,1994).

Definisi keamanan manusia yang lainnya di berikan oleh Sharbanaou Tadjbakhsh dan
Anuradha M. Chenoy ( 2007 ) sebagai berikut:
Keamanan manusia merupakan perlindungan bagi individu-individu
dari resiko-resiko yang mengancam kemanan fisik dan psikologis,
martabat dan kesejahteran mereka.

Apa yang menjadi penting dalam definisi ini ialah ketika obyek yang dituju adalah
individu, maka keamanan yang dimaksud itu bukan hanya sekedar kondisi bertahan
hidup, namun juga mencakup kesejahteraan dan martabat manusia. Oleh karena itu
lingkungan yang dikategorikan mampu menyediakan keamanan manusia bagi
penduduknya adalah lingkungan yang memungkinkan individu-individu didalamnya
untuk menjalani kehidupan yang stabil dan mampu menentukan kehidupan mereka

sendiri ( Tadjbaksh dan Chenoy, 2007 ).
Laporan UNDP tahun 1994 juga menyatakan bahwa terdapat tujuh kategori
keamanan manusia, yakni keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan,
personal, komunitas, dan politik ( UNDP, 1994).

Berikut akan dijelaskan secara

singkat mengenai ketujuh kategori tersebut:
a.

Keamanan ekonomi; ancamannya antara lain berupa kemiskinan, pendapatan
yang tidak memadai, dan pengangguran.

b.

Keamanan makanan; yang dapat mengancam keamanan ini antara lain kelaparan,
kekurangan gizi, kekurangan makanan, dan kurangnya akses untuk mendapatkan
makanan.

c.


Keamanan kesehatan; ancaman yang dapat mengganggu keamanan kesehatan
antara lain wabah penyakit dan akses yang sulit untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Tujuan dari keamanan kesehatan adalah untuk mencegah terjadinya
kematian manusia, terutama yang disebabkan oleh penyakit.

d.

Keamanan lingkungan; ancamannya antara lain polusi, penebangan hutan,
ketiadaan sumber daya alam, dan bencana alam.

e.

Keamanan personal; yang menjadi ancaman antara lain perasaan takut, dalam hal
ini takut akan terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan dari
berbagai ancaman, kemudian ancaman berupa serangan dari negara lain seperti
peperangan, ancaman dari terorisme internasional ataupun dari kelompok lain
sepertipada

konflik etnis dan konflik relijius, ancaman dari individu atau

sekelompok orang, kejahatan di jalan, penyanderaan, ancaman terhadap
perempuan berupa kekerasan domestik, penyiksaan dan perkosaan, kekerasan
terhadap anak-anak seperti penyiksaan terhadap anak, perburuhan anak, pelacuran
anakserta ancaman seperti bunuh diri hingga ancaman dari narkoba.
f.

Keamanan komunitas; ancamannya antara lain kegiatan atau aktifitas-aktifitas
tradisional yang memaksa, perlakuan kasar terhadap kaum perempuan,
diskriminasi terhadap kelompok etnis, agama atau kelompok masyarakat tertentu,
pemberontak, dan konflik bersenjata. Keamanan komunitas bukan hanya
dipandang dari bagaimana satu kelompok masyarakat bersosialisasi dengan
kelompok-kelompok masyarakat lain, melainkan juga terkait dengan keamanan
tiap individu anggota dalam satu kelompok dari ancaman kelompok yang
diikutinya.

g.

Keamanan politik, yang dapat dicapai jika dapat mengatasi ancaman berupa
tekanan politik, pelanggaran hak asasi manusia, kediktatoran militer, penyiksaan,
dan juga ketidakadilan.
Konsep keamanan manusia menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab

utama atas keamanan setiap individu masyarakatnya yang sesuai dengan prinsip the
Responsibility to Protect (RtoP) ( Tadjbakhsh & Chenoy, 2007;191).Dengan prinsip

RtoP konsep keamanan manusia tidak menggantikan keamanan negara, melainkan
melengkapinya. Akan tetapi, permasalahan dalam satu negara yang semakin kompleks
menyebabkan negara seringkali tidak mampu atau mungkin tidak mau menjamin
keamanan masyarakatnya. Dalam keadaan yang demikian, berdasarkan prinsip RtoP
ini, maka komunitas internasional harus mengambil peran untuk membantu
menyelamatkan masyarakat di negara tersebut (Tadjbakhsh & Chenoiy,2007;190).

Dengan demikian, konsep keamanan manusia membantu memasukkan permasalahan
dalam suatu negara ke dalam agenda keamanan internasional. Konsep keamanan
manusia dalam tulisan ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana kekerasan
terhadap perempuan dalam kasus dowry murder menjadi ancaman bagi keamanan
manusia.

3. Dowry, Kekerasan Langsung dan Kekerasan Kultural
Secara tradisional dowry yang dalam bahasa tradisional dowry yang lebih
dikenal dengan nama dejjah, daaj, atau sthridhanam dalam bahasa Hindi secara
tradisional merupakan hadiah atau warisan yang diberikan kepada calon pengantin
perempuan dalam sistem perkawinan yang dianut oleh kasta atas India. Hadiah yang
biasanya berupa pakaian, perhiasan, dan alat – alat rumah tangga tersebut diberikan
oleh keluarganya sebelum meninggalkan orangtuanya untuk hidup dengan keluarga
sang suami (Caplan, 1984:217). Dalam konteks budaya India, dejjah atau daa j ini
merupakan cerminan atas kepemilikan harta benda oleh anak perempuan dan bukan
semata-mata sebagai hadiah pernikahan kepada keluarga suami. Dejjah

atau daaj

tersebut lebih merupakan bentuk kasih sayang orangtua kepada anak perempuan
mereka yang akan menempuh kehidupan yang baru.
Saat ini pemberian dowry telah menjadi bagian yang umum dari kebiasaan
pernikahan dari berbagai kasta dan berbagai komunitas di India (Gangoli, 2007:3). Ini
berarti bahwa, praktik pemberian dowry tidak hanya dapat ditemukan pada golongan
kasta Brahmana

dan Kshatrya, namun praktik ini juga dapat ditemukan pada

pernikahan golongan Sudra dan Dalit yang bahkan pada awalnya tidak mengenal
praktik dowry dalam pernikahannya. Bahkan menurut Umar ( 1998) Praktek dowry
juga dapat ditemukan pada pernikahan golongan Muslim dan Kristen di India.
(Umar,1998:140).
Seiring dengan perkembangan jaman dan modernisasi, dowry kini hadir dalam
berbagai bentuk sesuai permintaan keluarga suami. Dalam beberapa penelitian
ditemukan bahwa sejak permulaan dekade 1990-an, dowry

mulai hadir dalam

berbagai bentuk seperti jam tangan emas, TV, lemari es, pendingin ruangan, sepeda

motor, dan mobil mewah ( AIDWA,2003). Selain itu, pihak keluarga laki-lakilah yang
menentukan jumlah dan jenis dowry yang harus disediakan oleh keluarga perempuan.
Menurut Sev’er (2008) permintaan akan dowry bisa terus berlanjut hingga setelah
pernikahan yang biasanya diulang lagi pada hari raya, hari ulang tahun, dan kelahiran
seorang anak, dan pada perayaan-perayaan lainnya.
Dalam kebanyakan kasus, dowry tambahan inilah yang sulit untuk dipenuhi
oleh keluarga calon istri karena untuk menyediakan dowry

sebelum pernikahan

keluarga tersebut sudah mengeluarkan biaya yang sangat banyak. Bayangkan jika
dalam keluarga terdapat lebih dari satu anak perempuan yang harus dinikahkan, maka
keluarga istri tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi tuntutan dowry tambahan
yang diminta oleh keluarga suami.
Kegagalan untuk memenuhi permintaan tambahan dowry tersebutlah yang
menjadi awal dari berbagai tindakan yang oleh Galtung didefinisikan sebagai
kekerasan langsung. Kekerasan yang langsung melibatkan pelaku yaitu suami dan
keluarga suami dan korban yang selalu perempuan. Kekerasan terhadap perempuan
dimulai dari ancaman, penganiayaan fisik dan mental hingga terjadinya tindakan
pembunuhan yang disebut sebagai dowry murder . Bentuk umum tindakan kekerasan
ini adalah dengan menyiramkan minyak tanah ke tubuh sang istri kemudian
menyulutnya dengan api hingga terbakar dan tewas ( bride burning ). Praktek bride
burning lebih dipilih untuk melenyapkan nyawa pengantin perempuan tersebut karena

beberapa alasan. Pertama, minyak tanah sangat mudah didapat dan selalu tersedia
sebagai bahan bakar memasak bagi keluarga kelas menengah ke bawah di India.
Kedua, penyiksaan tersebut dilakukan di rumah, tepatnya di dapur sehingga seringkali
tidak mencurigakan. Sari yang dikenakan oleh perempuan India terbuat dari bahan
yang mudah terbakar sehingga api dengan cepat dapat menjalar dan melalap tubuh
perempuan tersebut dan membunuhnya dengan sedikit bukti atau bahkan tidak ada
bukti pembunuhan. Pembakaran juga dapat menutupi tindakan penganiayaan fisik
yang ditujukan kepada perempuan tersebut oleh suami atau mertua dan ipar-iparnya
sebelum kematiannya. Dengan demikian, penganiayaan yang berujung pada kematian

bisa ditutupi dengan mengakuinya sebagai sebuah kecelakaan biasa ( Oldenburg,
2002; xi).
Kasus kematian perempuan akibat dowry yang seringkali dianggap sebagai sebuah
hal biasa ini tentunya menyiratkan sebuah bukti akan lemah dan rendahnya status
perempuan dalam masyarakat India. Status yang lemah karena struktur sosial
masyarakat membuat kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan
atau bahkan membela diri dalam tindakan kekerasan yang ditujukan padanya. Status
yang rendah karena dowry membuat nyawa seorang perempuan menjadi tidak
berharga dan kematiannya menjadi sia-sia, terlebih lagi setelah kematiannya sang
suami bisa dengan mudah menikah kembali dan mendapatkan dowry

lagi (

Teays,1991).
Kekerasan langsung yang dialami perempuan akibat dari tradisi dowry tentu
saja berkaitan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat India. Nilai-nilai
inilah yang oleh Galtung disebut sebagai kekerasan kultural, yaitu nilai-nilai yang
dapat menjadi pembenaran bagi kekerasan langsung. Rendahnya posisi perempuan
dalam masyarakat patriarki India membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan
yang terutama dilakukan oleh suami mereka sendiri. Sejak kelahirannya, seorang
perempuan dianggap sebagai beban. Lakhani (2004) menjelaskan posisi perempuan
sebagai ”an extra mouth to feed”. Anak laki-laki sebaliknya dipandang sebagai aset
bagi keluarga karena mereka bisa melakukan pekerjaan di ladang, meneruskan nama
keluarga, sebagai perawat orangtua mereka di hari tua, dan menjamin keamanan bagi
keluarga. Sedangkan perempuan diposisikan sebagai mahluk yang harus patuh kepada
suami. Bagi perempuan India, pernikahan hanya sekali seumur hidup dimana
perceraian dianggap sangat tabu dengan demikian betapapun beratnya penderitaan
mereka akibat penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya mereka.
Salah satu nilai yang masih dipegang teguh berkenaan dengan posisi perempuan
dalam keluarga adalah prinsip pativrata . Prinsip ini masih dipegang teguh dan menjadi
pedoman bagi seorang istri dalam membina hubungan dengan sang suami. Prinsip
pativrata dijelaskan oleh seorang penulis India Rahma Mehta,seperti yang dikutip oleh

Wanda Teays (1991 ) sebagai bentuk ketaatan seorang perempuan terhadap suaminya
baik ketika sang suami hidup ataupun mati dan ini merupakan sebuah kewajiban
relijius ( Dharma ) yang tertinggi. Pahalanya datang dalam wujud kepuasan batin
serta akan diterima di kehidupan selanjutnya. Bagi perempuan, mereka telah
dibesarkan dengan prinsip ini sejak kelahirannya sehingga nilai-nilai ini tertanam
begitu kuat. Meskipun telah banyak terjadi perubahan-perubahan sosial, pativrata
tetap menjadi pedoman perilaku perempuan dalam pernikahannya khususnya dalam
sebagian besar masyarakat Hindu.
Penafsiran dari prinsip pativrata diataslah yang dapat menyebabkan perempuan
tidak memiliki daya untuk melawan kekerasan yang ditujukan padanya selama dalam
ikatan pernikahan. Melawan kehendak suami berarti menentang keyakinan relijius.
Selain itu, prinsip pativrata menyebutkan bahwa seorang istri tidak dapat
membicarakan suami apalagi membuka aib suami di depan publik. Adanya tekanan
sosial untuk dipandang sebagai istri yang baik serta untuk menjaga kehormatan suami
dan keluarga membuat kaum perempuan yang mengalami kekerasan akibat dowry
memilih diam dan menerima keadaan mereka. Dalam kasus dowry murder, nilai-nilai
inilah yang bekerja untuk melegitimasi kekerasan langsung yang ditujukan kepada
perempuan di India.
4. Hubungan Dowry Murder dan Keamanan Manusia
Keamanan manusia, meskipun memberi perhatian kepada manusia secara
umum, tetapi juga memberikan perhatian kepada kelompok-kelompok yang rentan,
khususnya perempuan. Alasannya, di masyarakat manapun ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan dapat terjadi. Ketidakamanan personal membayangi kaum
perempuan mulai dari kelahiran dan kematian. Di rumah, mereka menjadi anggota
rumah yang paling terakhir makan. Menjadi yang paling terakhir untuk mendapatkan
pendidikan. Di tempat kerja, perempuan menjadi yang paling terakhir dipekerjakan
dan paling pertama dipecat. Dan dari masa kanak-kanak hingga masa dewasa,
perempuan mengalami kekerasan karena jendernya ( MacFarlane dan Khong, 2006
;146-147).

Dari tujuh komponen keamanan manusia yang telah dijabarkan diatas, kasus
dowry murder

dapat menjadi ancaman bagi keamanan personal dan keamanan

komunitas perempuan. Menjadi ancaman bagi keamanan personal karena perempuan
secara individu mengalami kekerasan dan penindasan ketika tidak mampu
memberikan dowry tambahan seperti permintaan keluarga suami. Menjadi ancaman
komunitas karena kekerasan ini tidak hanya dialami segelintir individu, namun
menjadi ancaman bagi ribuan perempuan India.
a. Dowry Murder Sebagai Ancaman Bagi Keamanan Personal
Keamanan personal mensyaratkan bahwa setiap individu harus terbebas dari
perasaan takut akan ancaman, baik itu ancaman kekerasan fisik maupun beragam
kekerasan lainnya yang ditujukan padanya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa
keamanan dalam konsep ini tidak hanya diterjemahkan sebagai kondisi yang sekedar
kondisi bertahan hidup namun juga mencakup kesejahteraan dan martabat sebagai
manusia (Tadjbakshs & Chenoy,2007;), dengan demikian dowry murder sebagai
ancaman personal dapat menjelaskan bagaimana kekerasan ini telah menimbulkan
rasa takut serta merendahkan martabat perempuan sebagai individu.
Tradisi dowry di era modern dilabeli sebagai sebuah tradisi yang berbahaya (
Uyl,2005;143). Selain karena jumlah dowry yang dapat terus meningkat, tradisi ini
menyebabkan

setiap harinya 16 perempuan menjadi korban pembunuhan (

Lakhani,2004) .
Salah satu contoh kekerasan akibat dowry adalah kasus Sudha Goel di tahun
1995. Hanya sebulan setelah pernikahannya, Sudha mulai mendapatkan kekerasan
fisik oleh ibu mertua, suami dan adik iparnya karena ia dianggap tidak membawa
dowry yang cukup. Ibu mertuanya kerap menghukumnya sembari meminta dowry

dengan cara memaksanya melakukan pekerjaan rumah diluar batas kemampuannya.
Jenis hukuman ini merupakan tipikal hukuman yang diberikan oleh ibu mertua kepada
menantu perempuannya. Puncak kekerasan terhadap Sudha adalah ketika ia tengah
mengandung, ia dibunuh dengan cara dibakar di dapur dimana kejadian tersebut
kemudian direkayasa sebagai sebuah “kecelakaan dapur “. Sebelum menghembuskan
nafas terakhirnya, Sudha sempat memberitahu para tetangga yang mendatangi lokasi

kejadian bahwa ibu mertuanya yang telah menuang minyak tanah dan membakarnya (
Greenberg, 2003)
Kasus serupa diberitakan oleh majalah Times of India yang memberitakan bahwa
seorang dokter yang bernama Ajay Sharma dengan tega telah menyuntikkan virus
AIDS pada istri dan anak perempuannya karena tidak terpenuhinya permintaan dowry
yang dimintanya. Ketika berita ini diturunkan, istri dan anak perempuan yang
terinfeksi AIDS tersebut tengah bersembunyi di sebuah tempat yang dirahasiakan
karena menghindari prasangka dan cemoohan para tetangga yang menganggap AIDS
sebagai sebuah kutukan ( Times of India, 2004, Se’ver 2008).
Kedua kasus diatas hanya mewakili beberapa gambaran tragis yang harus
dihadapi seorang perempuan sebagai individu di keluarga sang suami. Dalam
kebanyakan kasus disebutkan bahwa perempuan harus menghadapi kekerasan tersebut
sendirian tanpa mendapat bantuan pertolongan dari siapapun, bahkan dari keluarganya
sendiri. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai seorang perempuan di mata
keluarganya sendiri menyebabkan seringkali kedatangan mereka untuk meminta
pertolongan diabaikan. Dengan demikian,banyak yang berpendapat bahwa keluarga
perempuanpun tidak hanya menjadi korban dowry, tetapi turut melakukan kejahatan
tersebut dengan menanamkan pada anak perempuannya untuk tetap menikah apapun
resiko yang dihadapi ( Kiswar,1989). Pendapat ini didukung oleh Aysan Se’ver (
2008) yang menyebutkan bahwa sekali menikah, seorang perempuan diharuskan untuk
tetap menikah. Tidak peduli kekerasan apapun yang dialaminya dalam kehidupan
pernikahan. Secara umum, karanteristik kematian akibat dowry digambarkan oleh
seorang aktivis perempuan India Lotika Sarkar (1991 ) sebagai berikut :
(i)

Korban kematian akibat dowry selalu perempuan

(ii)

Korban kematian akibat dowry kebanyakan berada pada usia
pertengahan 20 tahun

(iii)

Perempuan yang menikah , yang secara penuh tergantung kepada suami
atau keluarganya. Dalam banyak kasus, para perempuan tersebut telah
menjadi ibu atau akan menjadi ibu

(iv)

Dalam mayoritas kasus, kematian terjadi akibat terbakar api-meskipun
beberapa

kasus

menunjukkan

pembunuhan

dilakukan

dengan

penganiayaan atau karena diracun
(v)

Perempuan dalam keadaan sangat tidak berbahagia karena

alasan

tuntutan dowry
(vi)

Kasus kematian akibat dowry dilaporkan dan bahkan dicatat sebagai
kasus kecelakaan atau bunuh diri

(vii)

Kematian kebanyakan terjadi di dalam rumah; korban “kecelakaan”
tersebut biasanya ditutup-tutupi ketika meninggal

(viii) Kasus kematian, ketika dilaporkan pada polisi oleh suami atau keluarga
suami akan dilaporkan sebagai tindakan bunuh diri. Namun ketika
laporan datang dari keluarga perempuan, barulah disampaikan oleh
mereka adanya kecurigaan akan tindakan pembunuhan.
Dari gambaran karakteristik diatas, melalui kecamata konsep keamanan manusia,
kasus kekerasan dowry murder selain menjadi ancaman bagi perempuan secara
personal, juga telah merendahkan martabat perempuan sebagai manusia.
Kematian perempuan akibat kekerasan yang seharusnya mendapat penanganan
sebagai tindakan kriminal, justru diakui hanya sebagai kasus kecelakaan biasa
atau kasus bunuh diri. Kasus ini menunjukkan inferioritas perempuan dalam
masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya nilai kehidupan
seorang perempuan dalam keluarga.
b. Dowry Murder Sebagai Ancaman Bagi Keamanan Komunitas

Dowry murder sebagai ancaman komunitas bisa dianggap sebagai femicide

yaitu pembunuhan terhadap perempuan akibat gendernya ( United Nations,
2006;48). Sejak kemunculan kasus dowry murder sebagai sebuah fenomena baru,
ribuan perempuan telah menjadi korbannya dan kasus ini terus menunjukkan
peningkatan. Jumlah kekerasan dalam kasus dowry murder dapat dilihat pada
table dibawah ini.
Tabel 1. Jumlah Kasus Dowry Murder

Tahun

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

Jumlah

5157

4962

5817

4935

4811

6006

6000

6975

6699

6995

Tahun

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Jumlah

6851

6822

6208

7026

6989

7618

8093

8172

8383

8391

Sumber : National Crime Record Bureau, India
Berdasarkan data statistik diatas, sejak tahun 1991 sampai tahun 2000 sudah
lebih dari 58.357 perempuan mengalami kematian akibat dowry, dengan rata-rata
6000 kasus pertahun. Sedangkan UNDP Report di tahun 1994 mengungkapkan
bahwa kematian perempuan akibat dowry rata-rata berjumlah 9000 kasus
pertahun (UNDP,1994).
Tidak hanya pada kasus kekerasan yang berujung pada pembunuhan, dowry
juga menjadi penyebab tingginya tingkat bunuh diri kaum perempuan. Laporan
tahunan National Crime Record Bureau India menyebutkan rata-rata setiap
harinya terjadi 8 kasus bunuh diri yang disebabkan oleh dowry ( NCBR, 2011).
Tabel 2. Kasus Bunuh Diri Akibat Dowry
Tahun

Kasus Bunuh Diri

2008

3038

2009

2921

2010

3093

Sumber : NCRB 2011

Dari 3039 kasus bunuh diri akibat dowry di tahun 2010, kasus tersebut menimpa
paling banyak perempuan yang berusia 15-29 tahun yaitu sebanyak 2122
kasus.Selain menyebabkan tindakan kekerasan langsung yang berujung pada
pembunuhan, tradisi dowry sebagai ancaman terhadap keamanan komunitas juga
menyebabkan penolakan terhadap kehadiran anak perempuan dalam keluarga.
Hal ini ditunjukan oleh tingginya tingkat aborsi terhadap janin perempuan serta
pembunuhan bayi perempuan yang telah lahir. Ada beberapa metode yang
biasanya digunakan untuk membunuh bayi perempuan misalnya dengan
meminumkan getah beracun dari sejenis tumbuhan tertentu, menjejalkan sekam
pada tenggorokan bayi yang bau lahir, memasukkan cairan tembakau,
meminumkan sup ayam yang pedas dan panas, menutup bayi dengan kain basah,
hingga membiarkan tali

pusarnya lepas hingga mengalami pendarahan lalu

menemui kematiannya ( Roberts, 2008; 34). Dari 12 juta bayi perempuan yang
dilahirkan di India, 1,5 juta bayi tersebut tidak akan bertahan hidup sampai usia
setahun. 850 ribu lainnya tidak akan mencapai usia 5 tahun dan hanya akan
tersisa 9 juta anak perempuan yang bertahan hingga usia 15 tahun (
Lakhani,2004 ). Bahkan saat ini, India sendiri telah kelebihan kurang lebih 31
juta laki-laki akibat tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan
terhadap kaum perempuan, yang salah satu bentuknya muncul dalam bentuk
kekerasan dowry murder .
c. Tanggung Jawab Nasional dan Internasional

Melihat ancaman keamanan personal dan komunitas yang dihadapi kaum
perempuan India, negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan
bagi warganya. Usaha penghapusan tradisi dowry sendiri sudah dilakukan di
tahun 1961 yaitu dengan membuat undang-undang yang diberi nama Dowry
Prohibition Act 1961 yang intinya adalah adalah melarang sistem pernikahan

dengan dowry dan mengajak masyarakat India untuk menikah berdasarkan cinta
( gandava wiwaha ).
Komponen utama Dowry Prohibiton Act 1961

adalah larangan untuk

memberikan dan menerima dowry dalam pernikahan serta hukuman penjarayang
tidak kurang dari 5 tahun bagi mereka yang memberi dan menerima dowry
(S.V,1984 ). Dalam implementasinya, justru pasal ini menjadi kelemahan
undang-undang tersebut. Oleh karena pemberi dan penerima dapat dikenai
hukuman yang sama, tidak ada satu pihakpun yang mengajukan gugatan atas
tradisi ini dan oleh banyak pihak, undang-undang dianggap sebagai toothless bill
karena tidak benar-benar mampu menghanetikan praktek dowry di masyarakat.
Di tahun 1980-an, kasus dowry murder merebak dimasyarakat. Berdasarkan
hasil penelitian beberapa organisasi perempuan seperti Mahila Dakshata Samiti
dan Stri Sanghars di Delhi,ditemukan bahwa beberapa kasus pembakaran
perempuan yang terjadi saat itu sama sekali tidak berkaitan dengan praktik sati ,
namun kebanyakan berkaitan dengan soal dowry dan kematian perempuanperempuan tersebut diakui oleh pihak keluarga sebagai sebuah kecelakaan atau
bunuh diri ( Kelkar,1995). Kasus ini kemudian menjadi perdenatan di Lok Sabha

antara tahun 1982-1986 yang menghasilkan dua amandemen. Amandemen
pertama pada tahun 1983 bertujuan untuk mengkriminalisasikan kasus kekerasan
dalam rumah tangga terhadap seorang istri ( Gangoli,2007;.)Dalam amandemen
ini, pelaku kekerasan yang terbukti bersalah akan dikenai hukuman denda dan
penjara sampai dengan 3 tahun. Amandemen kedua pada tahun 1986 dikenal
sebagai Dowry Death Statute yang mewajibkan adanya invetigasi terhadap kasus
kematian permepuan yang mencurigakan dalam jangka waktu 7 tahun
perkawinannya. Di tahun 2005, pemerintah India mengeluarkan sebuah undangundang baru yang disebut dengan Domestic Violence Avct 2005.
Undang-undang ini tidak hanya bertujuan melindungi perempuan dari
kekerasan akibat dowry, namun juga melindungi perempuan dari kekerasan
domestic lainnya seperti fisik, mental, emosional, ekonomi dan seksual.Dalam
undang-undang tersebut disebutkan bahwa jika seorang perempuan mendapatkan
kekerasan, maka ia atau seorang yang mewakilinya dapat melaporkan kasus
tersebut pada petugas-petugas pemerintah diantaranya polisi dan hakim.
Meskipun pemerintah India terlihat cukup serius dalam menangani isu
kekerasan akibat dowry , undang-undang tersebut tidak cukup berhasil untuk
menghenatikan bentuk kekerasan tersebut. Terdapat banyak kelemahan dalam
penerapannya dilapangan yang masih bisa ditemui hingga kini. Pertama,
investigasi yang dilakukan oleh pertugas kepolisian sebagaimana yang
disyaratkan undang-undang seringkali tidak berhasil membawa pelaku kekerasan
ke dalam penjara. Kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai
sebuah pemandangan sehari-hari dan bukanlah sebuah “kasus”khusus yang
memerlukan penyelidikan mendalam. Pen dan Nardos seperti yang dikuti oleh
David Roberts ( 2008 ) menyebutkan bahwa penolakan untuk menangani kasus
dowry bisa jadi disebabkan karena tradisi ini juga dipraktekkan oleh aparat yang

justru bertugas untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, M.N Srinivas ( 1993 )
mengatakan bahwa korupsi di India telah diterima sebagai fact of life dan tidak
ada area kehidupan yang bebas dari korupsi. Penyuapan kepada aparat tidak
menutup kemungkinan mampu mengubah fakta yang sebenarnya dan tindakan
pembunuhan akibat dowry

akan dilaporkan sebagai kasus bunuh diri (

Teays,1991;43). Kedua, nilai pativrata seringkali menyebabkan perempuan
enggan melaporkan kekerasan yang dilakukukan oleh sang suami dan
keluarganya. Dengan menceritakan kekerasan yang dialaminya , itu berarti
bahwa perempan tersebut telah menceritakan aib sang suami di depan publik dan
menceritakan aib suami berarti pelanggaran terhadap nilai-nilai pativrta.
Selain menjadi tanggung jawab nasional, konsep keamanan manusia telah
menempatkan penindasan terhadap kaum yang lemah menjadi salah satu agenda
dalam keamanan internasional. Dowry murder

sendiri telah lama mendapat

perhatian dunia internasional. Pada Konferensi Perempuan Internasional yang
keempat di Beijing Cina tahun 1995, Hillary Clinton menyebutkan bahwa kasus
pembakaran perempuan akibat mas kawin yang dianggap terlalu sedikit
merupakan sebuah pelanggaran hak asasi ( Mansbach dan Raferty, 2008;482).
Terdapat beberapa instrumen internasional berupa customary international
law yang berfungsi melindungi kaum perempuan dari penindasan dan tindakan

diskriminasi yang diantaranya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
atau Universal Declaration of Human Rights ( UDHR ) dan The Declaration for
The Elimination of Violence Against Women (CEDAW). India sebagai salah satu

negara demokrasi yang besar, secara otomatis terikat kepada hokum kebiasaan
internasional tersebut dan pada tanggal 9 Juli 1993 India telah meratifikasi
CEDAW. Sayangnya, instrument internasional ini kurang meiliki kekuatan yang
mengikat akibat diperbolehkannya negara untuk mereservasi pasal yang
dianggap akan menganggu kedaulatan negaranya. Reservasi pasal yang dilaukan
oleh pemerintah India adalah pada protocol tambahan yang memberikan peluang
bagi individu dan organisasi non pemerintah sebuah hak untuk mengajukan
tuntutan dan meminta ganti rugi atas pelanggaran hak asasi manusia yang
ditujukan padanya pada tingkat internasional ( Lakhani,2004).
Simpulan
Konsep perdamaian positif mensyaratkan suatu kondisi yang bebas dari
kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kasus Dowry
Murder menunjukkan bahwa perdamaian dalam arti yang positif tidak mudah

untuk dicapai. Dowry murder juga menjadi contoh bagaimana ketiadaan perang

tidak lantas menghentikan sebagala bentuk kekerasan, dalam hal ini khususnya
kekerasan terhadap kaum perempuan. Dowry murder hadir sebagai salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan berupa kekerasan langsung dan kekerasan
kultural.
Dalam kacamata konsep keamanan manusia, dowry murder telah menjadi
ancaman bagi keamanan personal dan keamanan komunitas perempuan. Konsep
ini juga menawarkan bahwa dalam keamanan seharusnya menjadi tanggung
jawab negara dan tanggung jawab internasional, serta menjadikan individu
sebagai agen perubahan. Meskipun telah ada usaha yang dilakukan pemerintah
serta respon dunia internasional terhadap isu kekerasan ini, nyatanya kekerasan
ini sulit untuk dihapuskan. Salah satu alasannya adalah, adanya nilai-nilai yang
dianggap menjadi sumber pembenaran terhadap terjadinya kekerasan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Galtung, Johan. 1996. Peace by Peaceful Means : Peace and Conflict, Development
and Civilization, Oslo : Sage Publication
Gandhi, Mahatma , 2002 Women and Social Injustice, diterjemahkan oleh Siti Farida
dengan judul Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial , Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Gangoli, Geetanjali, 2007 Indian Feminisms , Law, Patriarchies and Violence in India ,
Burlington : Ashgate Publishing Company
MacFarlane, S.Neil.,&Khong, Yuen Foong, 2006, Human Security and the UN, Indiana
: Indiana University Press
MacLean, S. J., Black D.R., and Shaw, T.M.,2006, A Decade of Human Security:
Global Governance and New Multilateralisms, Ashgate Publishing, Hempshire
Mansbach, Richard W. dan Kirsten L. Rafferty, 2008 Introduction to Global Politics,
London : Routledge Press
Oldenburg, Veena Talwar ,2002, Dowry Murder : The Imperial Origins of a Cultural
Crime, New York : Oxford University Press
Roberts, David , 2008, Human Insecurity Global Structures of Violence , New York :
Zed Book
Susan,M.A.,Novri,2009,Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer,Jakarta :
Prenada Media Group
Study of the Secretary General, 2006, Ending Violence Against Women : From Words
to Action,United Nations Publications
Tadjbakhsh, S. & Chenoy, A.M.,2007, Human Security Concept and Implications,
Routledge, New York
Umar,Mohd., 1998, Bride Burning in India : A Socio Legal Study, New Delhi : APH
Publishing Coorporation
Uyl, den Marion , 2005, “Dowry in India : Respected Tradition and Modern
Monstrosity, “dalam Tine Davids and Francien van Driel ( ed. ) , The Gender
Question in Globalization, Burlington : Ashgate Publishing Company
Vlacova, Marie & Biason Lea, 2005, Women in an Insecure World , Switzerland :
Geneva Centre for The Democratic Control of Armed Forces

Webel, Charles & Galtung,Johan, 2007, Handbook of Peace and Conflict Studies, New
York : Routldge
Wolpert, Stanley ,2001, Mahatma Gandhi Sang Penakluk Kekerasan Hidupnya dan
Ajarannya, : PT. Rajagrafindo Persada
ARTIKEL INTERNET :
All India Democratic Women’s Association ( AIDWA), 2003, Resisting Dowry in
India , dapat diakses di www.sabrang.com/cc/archive/2003/febr03/gender.html
Caplan, Lionel. 1984. “Bridegroom Price in Urban India: Class, Caste and Dowry Evil
Among Christians in Madras”, Jurnal Man, New Series, Vol.19 (2), Royal
Anthropological
Institute
of
Great
Britain
and
Ireland
http://www.jstor.org/stable/2802278
Galtung, Johan. 1990, Cultural Violence,Journal of Peace Research,Vol.27,No.3 (
Aug.,1990) dapat diakses di http://www.jstor.org/stable/423472
Greenberg, Judith G. , 1999, Criminalizing Dowry Deaths : The Indian Experience ,
Journal of Gender, Social Policy & The Law, Vol. 11 : 2 ( 13 Mei 2003 ) dapat
diakses
di
www.iiaav.nl/ezines/web/AmericanUniversityJournal/1999/greenberg.pdf
Human Development Report,United Nations Development Program, 1994, New York :
Oxord
University
Press
dapat
diakses
di
http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1994_en_contents.pdf
Kelkar Govind,1995, Women and Structural Violence in India, Women’s Studies
Quarterly, Vol. 13, No.3/4, Teaching about Women and Violence ( FallWinter,1995) diakses di http://www.jstor.org/stable/25164242
Kiswar,Madhu.,1989 Continuing the Dowry Debate, Economic and Political Weekly,
Vol.
24,
No.
49
(
Dec,
1989)
dapat
diakses
di
http://www.jstor.org/stable/4395689
Lakhani, Avnita , 2004, The Elephant In The Room is Out of Control, dapat diakses di
www.Pegasus.rutgers.edu/~rcrlj/articles.pdf/lakhani.pdf
National Crime Records Bureau, Ministry of Home Affairs India, 2011, Accidental
Deaths
and
Suicides
in
India,
dapat
diakses
di
http://ncrb.nic.in/ADSI2010/ADSI2010-full-report.pdf
National Crime Records Bureau, Ministry of Home Affairs India, dapat diakses di
http://ncrb.nic.in

Pratap, Anita ,1995, Killed by Greed and Oppresion, TIME, Sept. 11, 1995, Vol.146,
No.11
dapat
diakses
di
http://www.time.com/time/international/1995/950911/women.india.html
Sarkar, Lotika , 1991, Report on Dowry Deaths and Law Reforms : Amending the
Hindu Marriage Act of 1955, the Indian Penal Code, 1860, and the Indian
Evidence Act, 1872. New Delhi : Law Commission of India dapat diakses di
http://lawcommisisonofindia.nic.in/51- 100/Report91.pdf
Sev’er, Aysan, 2008, Discarded Daughters : The Patriarchal Grip, Dowry Deaths, Sex
Ratio Imbalances &Feoticide in India, Social Sciences & Humanities Research
Council
of
Canada,
diakses
di
https://tspace.library.utoronto.ca/.../1/sever_discarded _daughter.pdf
Srinivas, M.N.,1993, Changing Values in Indian Today, Economic and Political
Weekly,
Vol.28,No.19
(
may
8,
1993)
diakses
di
http://www.jstor.org/stable/4399700
Teays, Wanda , The Burning Bride : The Dowry Problem in India , Journal of Feminist
Studies

in

Religion,

Vol.7,

No.2

http://www.jstor.org/stable/25002154127

(

Fall,

1991)

diakses

di