KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Pendahuluan
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
didefinisikan sebagai perihal atau sifat keras; paksaan; perbuatan
seseorang atau sekelompok orang, yang menyebabkan cidera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang
lain
(Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
http://kamusbahasaindonesia.org/kekerasan).

Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan diartikan sebagai penggunaan
kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Presiden RI,
“Perlindungan
Perempuan
Dari

Ancaman
Kekerasan
Seksual,”
http://presidenri.go.id/perempuan-dan-anak/perlindungan-perempuan-dari-ancamankekerasan-seksual.html).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan adalah
penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan
terhadap diri sendiri, perseorangan atau sekelompok orang yang
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma atau perampasan
hak (1999). Sedangkan menurut Undang-undang Penghapusan KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1
ayat 1, kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan
atau pentelantaran
rumah tangga, termasuk ancaman untuka
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Perempuan dan Anak Sebagai Korban Tindak Kekerasan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus membayangi

kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Menurut Komisi Nasional

Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, setiap dua jam terdapat tiga
perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Hal ini
mengindikasikan adanya 35 perempuan yang menjadi korban
kekerasan seksual setiap harinya (Komnas Perempuan, “Lembar Fakta
Catatan
Tahunan
(Catahu)
2016
Komas
Perempuan,”
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Lembar-FaktaCatatan-Tahunan-_CATAHU_-Komnas-Perempuan-2016.pdf).

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Ansk,
Yohana Yembise, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah
mencapai tahap darurat. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan (selanjutnya KTP) yang ditemukan oleh Komite Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada
tahun 2015 sebesar 321.752 bersumber pada data kasus/perkara yang

ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PABADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra
Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Pada tahun 2014 KTP di
ranah personal mencapai 8.626 kasus, dengan 3 kasus terbanyak
meliputi kekerasan terhadap isteri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan
dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak
perempuan (843 kasus atau 10%).
Komnas Perempuan mengidentifikasi KTP dan Anak yang terjadi di
Indonesia, yaitu: perkosaan; intimidasi seksual termasuk ancaman
atau percobaan perkosaan; pelecehan seksual; eksploitasi seksual;
perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; prostitusi paksa;
perbudakan seksual; pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung,
pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan
sterilisasi, penyiksaan seksual; penghukuman tidak manusiawi
bernuansa seksual/diskriminatif; praktik tradisi bernuansa seksual
yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan kontrol
seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan
agama.

Komnas Perempuan, menyebutkan kekerasan seksual dan pelecehan
seksual sebagai bentuk kekerasan yang paling menonjol, sehingga

sejumlah kalangan menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi
darurat kekerasan seksual (BBC Indonesia, “Kasus kekerasan seksual masih
bermunculan,,”ww.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160516_indonesia_keke

Pada umumnya korban kekerasan seksual mengalami
kesulitan melaporkan kasus yang terjadi kepada mereka, dan masih
banyak korban yang tidak tahu harus melapor ke mana dan menerima
intimidasi dari pelaku.
rasan_seksual).

Menurut Direktur Rifka Annisa (sebuah organisasi Pembela Hak-hak
Perempuan di Yogyakarta), Nur Hasyim,
“Angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia
sebenarnya sangat tinggi. Kasus-kasus ini cenderung disimpan
atau ditutup oleh korbannya karena dianggap sebagai aib. Selain
terkait persoalan tabu, juga karena dukungan social yang tidak
tersedia bagi korban di masyarakat, karena budaya perkosaan
atau rape culture, yang kuat di dalam masyarakat kita, yang
tendensinya adalah menyalahkan korban atau blaming the
victim.” Dalam banyak kasus, kata Nur Hasyim, rape

culture atau budaya perkosaan masih melekat, di mana para pria
meyakini bahwa mereka boleh melecehkan dan bahkan
memperkosa perempuan. Budaya ini juga menjadikan
kebanyakan korban perkosaan disalahkan kembali oleh
masyarakat, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya
pelecehan atau perkosaan.” (Voa Indonesia, “Indonesia Darurat
Kekerasan terhadap Perempuan,”http://www.voaindonesia.com/a/indonesiadarurat-kekerasan-terhadap-perempuan/3324692.html)

Perempuan masih sering ditempatkan pada posisi yang
“terpinggirkan” atau dirugikan, yang mengakibatkan status
perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Kedudukan
perempuan yang subordinatif dan tergantung baik secara ekonomi

mau pun sosial, menjadikan perempuan dalam posisi rentan terhadap
kekerasan, termasuk dalam menjalankan fungsi reproduksinya. Hak
reproduksi perempuan kurang dihargai, dalam menentukan kapan ia
berkeinginan untuk hamil, jumlah anak yang diinginkan,
keikutsertaan dalam Keluarga Berencana dan jenis alat kontrasepsi
yang dipilih. Banyak kasus KTP yang tidak dilaporkan karena
ketidakberdayaan perempuan seperti rendahnya tingkat pendidikan,

kemiskinan atau hambatan sosial budaya. Pada kasus kekerasan
seksual seringkali pembuktian dan penanganan kasus membutuhkan
proses dan waktu yang lama, karena masyarakat masih menganggap
tabu untuk mengungkapkan kasus kekerasan yang terjadi, apalagi jika
terjadi di area domestik (rumah tangga).
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap
harkat dan martabat perempuan. Kekerasan terhadap perempuan juga
adalah perwujudan ketimpangan historis hubungan-hubungan
kekuasaan di antara kaum laki-laki dan perempuan, yang
mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh
laki-laki dan menjadi penghambat bagi kemajuan mereka. Kekerasan
terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme sosial yang
krusial, yang menempatkan perempuan dalam posisi sub ordinasi
dibandingkan dengan laki-laki.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-55 tahun (4/8/2016), Presiden
Amerika Serikat Barrack Obama menyampaikan seruan untuk
menghentikan seksisme, yang tidak hanya terlihat oleh mata, tetapi
juga yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
“Orang-orang terpenting dalam hidupku selalu perempuan,” ujar

Obama (Majalah Glamour). “Kita harus mengubah sikap yang
membesarkan anak-anak perempuan menjadi pendiam dan anak lakilaki menjadi tegas, yang mengkritik putri-putri kita untuk
menyuarakan diri mereka dan putra-putra kita karena meneteskan air

mata,” ajaknya

(Shierine Wangsa Wibawa, “Luar Biasa, Ini Pandangan Barrack
Obama Tentang Feminisme,” http://jateng.tribunnews.com/2016/08/06/luar-biasa-inipandangan-barack-obama-tentang-feminisme).

Menurut Obama, kewajiban dan tanggung jawab untuk melawan
seksisme tidak hanya berada di tangan perempuan, tetapi juga lakilaki. “Sebuah kewajiban bagi laki-laki untuk melawan seksisme.
Sebagai suami, pasangan, dan pacar, kita harus berusaha keras dalam
menciptakan hubungan yang benar-benar setara,” ujarnya.
Seksisme, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah
perlakuan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena
jenis kelaminnya - “the unfair treatment of people, ecspecially
women, because of their sex; the attitude that causes this” (Fadilla Putri,
“Seksisme

Di


Sekitar

Kita,”

http://rumahkitab.com/seksisme-di-sekitar-kita/).

Seksisme menjadi bahaya yang perlu diwaspadai karena terkadang
tidak kasat mata dan membutuhkan kesadaran bagi kita untuk
menyadari, menghindari, dan jika perlu melawannya. Yang berbahaya
adalah bila seksisme dianggap sebagai sesuatu yang wajar, lumrah
dan seharusnya tidak dipermasalahkan.
Perempuan, meskipun datang dari kalangan profesional, seringkali
diberi label dengan berbagai “label” yang berasal dari area domestik.
Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pujiastuti yang
telah terjun ke dalam dunia profesional selama puluhan tahun
terekpos, media justru tidak menyoroti kompetensi dan profesionalitas
kerja Susi Pujiastuti, melainkan gaya hidupnya yang dianggap
“nyeleneh” untuk perempuan, seperti beratato, merokok, dan kawincerai.
Hingga hari ini, tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis

terus terjadi dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan,
penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah
tangga. Kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan
dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan, kekerasan
di luar hubungan suami dan istri, kekerasan yang berhubungan

dengan eksploitasi, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, di
lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, perdagangan
perempuan dan pelacuran paksa.
Di tengah gencarnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar
lembaga keagamaan dalam mempromosikan budaya anti kekerasan
dan melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan dan advokasi atau
pembelaan bahkan keterpihakan kepada korban kekerasan, apakah
yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia dan organisasi gereja
yang ada di dalamnya seperti kelompok kategorial Dewasa, Bapak,
Ibu, Pemuda, Remaja dan Anak?
Pada tanggal 4 Februari 2001 Dewan Gereja Sedunia (DGD) telah
mencanangkan Dekade Mengatasi Kekerasan (Decade to Overcome
Violence, disingkat DOV): gereja-gereja Mencari Damai dan
Rekonsiliasi (2001-2010).

Dekade Mengatasi Kekerasan (DMK) harus dimulai dengan
meniadakan sikap mendahulukan cara kekerasan dalam berbagai
konflik dalam keluarga, antar individu, dan antar masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga/keluarga
dan bentuk kekerasan lainnya yang berakibat khususnya bagi
perempuan, pemuda dan anak (Karolina Augustien Kapahang Kaunang,
“Dekade Mengatasi Kekerasan,”
mengatasi-kekerasan.html).

http://www.fteologi.uki-t.ac.id/2009/04/dekade-

Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
PBB Pasal 3, setiap perempuan berhak untuk menikmati dan
memperoleh perlindungan HAM (Hak Azasi Manusia) dan kebebasan
mendasar yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil, atau bidang-bidang lainnya. Hal lain yang termasuk di dalamnya
adalah hak atas hidup; hak atas persamaan; hak atas kemerdekaan dan
keamanan pribadi; hak atas perlindungan yang sama berdasarkan
hukum; hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi’ hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mentak; hak atas

pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik; hak untuk tidak

mengalami penganiayaan atau perlakuan atau penghukuman lainnya
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia
(Institute for Policy Research and Advocacy, “DEKLARASI TENTANG
PENGHAPUSAN
KEKERASAN
TERHADAP
PEREMPUAN,”
http://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=387&lang=en)

Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Kekerasan Terhadap Anak (selanjutnya KTA), merupakan
fenomena gunung es, karena begitu banyak anak yang menjadi korban
kekerasan keluarga, lingkungan mau pun masyarakat, yang sebagian
besar permasalahannya tersembunyi (under reported). Kekerasan
berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut
WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat, yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak
(Mother and Baby Indonesia, “Kekerasan Pada Anak, Bahaya Dampak Kekerasan
Terhadap Anak,” ww.motherandbaby.co.id/article/2013/10/11/996/Kekerasan-padaAnak-2-Bahaya-Dampak-Kekerasan-Terhadap-Anak).

Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang
dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tidak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh
yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Indikator
KTA adalah terdapatnya tanda atau luka akibat penganiayaan fisik,
tindakan kasar yang mencelakakan anak (baik fisik maupun psikis).
Ironisnya, pelaku KTA biasanya adalah orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan anak, seperti ayah, ibu, guru maupun teman
di sekolah.
Di Indonesia, beragam kasus kekerasan terhadap anak terjadi. Tidak
hanya di desa, tetapi juga di kota besar seperti DKI Jakarta Raya.

Seorang pengojek yang hidup di jalanan, mengaku mencabuli 10 anak
di bawah umur dengan terlebih dahulu mengiming-ngimingi korban
dengan uang. Menurut Kapolres Metro jakarta Utara, Susetio
Cahyadi, “Delapan anak sudah dibuatkan BAP (Berita Acara
Pemeriksaan) dan berindikasi korban tersangka. Satu anak perempuan
dan tujuh anak laki-laki” (Jakarta, Kompas, 7/9/2015). Pelaku bahkan
mengaku melakukannya di area rumah ibadah di Jalan Pejuang,
Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari pengakuannya, aksi tersebut
sudah dilakukan sejak Juli 2015.
Seorang bocah berusia 2 tahun 7 bulan, Marvelio Benekdik
Raysuryadi Djuana tewas mengenaskan dengan kepala retak setalah
dibenturkan ke tembok. Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro
Jaya, AKBP Suparmo mengatakan, “Kepala korban dibenturkan tiga
kali ke tembok sampai korban kejang dan dirawat di Rumah Sakit
selama tujuh hari” (http://metro.sindonews.com/read/1088744/170/sadis-bocah-2tahun-tewas-di-tangan-pacar-ayahnya-1456545937).

Seorang ibu (kandung) di Cipulir tega menganiaya, bahkan
menggergaji tangan anaknya yang berusia 12 tahun hingga terluka
parah (http://metro.sindonews.com/read/1019795/170/sadis-ibu-di-cipulir-tega-gergajitangan-anak-kandungnya-1435911130). Kekerasan seksual pada anak adalah
pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan
psikologis.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist
Merdeka Sirait mengatakan, sejak tahun 2010 hingga 2015, lebih dari
10 juta anak menjadi korban kekerasan. 58% di antaranya menjadi
korban kekerasan seksual
(http://metro.sindonews.com/read/1114783/170/kekerasan-anak-masih-jadi-momok-

Kekerasan seksual terhadap anak dapat
dilakukan dalam bentuk tindakan menyentuh atau mencium organ
seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak,
memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada
anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi
yang-menakutkan-1465301215).

batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja dan di mana
saja. Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,
karena tidak adanya karakteristik khusus. Pelaku kekerasan seksual
terhadap anak mungkin dekat dengan anak, yang dapat berasal dari
berbagai kalangan. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga
cenderung memodifikasi target yang beragam, dan siapa pun bisa
menjadi target kekerasan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya
sendiri, sebab itu pelaku kekerasan terhadap anak harus diwaspadai.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab Kekerasan Terhadap
Anak-anak, antara lain:
1. Lemahnya pengawasan orangtua terhadap anak dalam bermain,
nonton TV/Handphone
2. Cacat tubuh (disabled) atau gangguan tingkah laku (autisme)
pada anak
3. Kemiskinan keluarga, kondisi perumahan yang buruk, dan
orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya
4. Keluarga pecah (broken home), anak yang tidak diinginkan atau
anak yang lahir di luar nikah
5. Kondisi lingkungan yang buruk dan kesibukan orangtua
6. Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational
transmission of violence). Banyak anak belajar perilaku
kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa,
mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya.
7. Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial
(pengangguran, kematian, penyakit, isolasi sosial dll) memicu
KTA
Kekerasan dalam bentuk apa pun yang dialami anak akan
membawa dampak. Selain stress dan depresi, KTA juga dapat
menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara

fisik maupun psikis. Dra. Mayke Tedjasaputra M.Psi, Ahli
Psikologi Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
mengatakan, anak yang memiliki pengalaman buruk dengan
perlakukan kasar dan kejam dari orangtuanya, berpotensi sangat
agresif (meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar,
membakar, menarik rambut/telinga, menusuk, membakar) dan
marah kepada lingkungannya.
Selain menjadi agresif, anak yang mengalami kekerasan seringkali
menjadi orang yang mudah takut, sangat cemas, lemah, sulit
bergaul, tidak percaya diri, merasa tidak aman hingga depresi. Pada
dampak kekerasan fisik, KTA akan meninggalkan bekas lebam,
kerusakan fisik, kecacatan hingga kematian. Sedangkan pada
kekerasan seksual, akan menimbulkan trauma sangat mendalam
yang mempengaruhi masa depannya (seperti takut menikah,
penyimpangan orientasi seksual dll), karena perkembangan
kepribadian dan karakter anak terbentuk dari kehidupan yang ia
jalani di rumah.
Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Undang-undang Perlindungan Anak Bab III Pasal 3 dan 4,
setiap anak berhak mendapat perlindungan untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-undang
Perlindungan
Anak,
slandia.law.yale.edu/representingchildren/rcw/jurisdictions/asse/ind
onesia/Indon_Child_Prot.htm). Semua pihak, baik negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Adapun kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat
dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Undang-Undang

Perlindungan Anak Bab IV Pasal 20, 25). Termasuk di dalamnya
perlindungan khusus dalam situasi darurat, bagi anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual,
anak karena satu dan lain hal diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran (Undang-undang Perlindungan Anak Bab IX Pasal
59).
Dengan demikian, masyarakat (dalam hal ini orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, badan usaha dan media massa) memperoleh
kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam
perlindungan anak melalui pemantauan dan pelaporan, karena
setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
terhadap anak (Undang-undang Perlindungan Anak Bab IX Pasal
69). Sikap tegas ini dibutuhkan untuk melindungi seluruh anak
Indonesia dari ancaman kejahatan seksual yang kian merebak
dewasa ini.
Perempuan1 Dalam Perspektif Kristiani
Acuan Kristiani tentang advokasi hak perempuan adalah pada apa
yang diberlakukan Yesus. Ketika melalui proses “pemuridan,” Ia
menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Hal ini terasa
ketika Ia melakukan transformasi kultural melalui proses
1 Istilah perempuan berasal dari bahasa Melayu dengan arti ”empu”, ibu
dan ”puan” bentuk feminin dari tuan, sedangkan istilah wanita berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti elok; cantik; dan karena itu dalam kenyataan
praktik hidup sehari-hari, orang-orang memakai kedua istilah ini secara bersamasama.

pembelajaran pendampingan orang-orang lemah, yang berbasis
pada tafsir praktis nilai-nilai keimanan. Ia mencoba
mempersoalkan keadilan dibalik hukum rajam ke-Yahudian dengan
membela seorang “perempuan yang dituduh berzinah”; Ia
membongkar kemapanan berpikir tentang domestikasi perempuan
dalam kisah Maria dan Marta, Ia membongkar stigma diri seorang
perempuan Samaria yang sudah ditiduri oleh lebih dari satu lakilaki dengan mencoba memberi makna baru pada status sosial
perempuan itu. Ia juga menempatkan perempuan paling banyak
dalam konstelasi pemuridan, meskipun yang tercatat dalam
penuturan Injil-Injil Sinoptik hanyalah 12 murid laki-laki, tetapi Ia
memiliki lebih dari 70 murid yang kebanyakan perempuan. Apa
yang dilakukan Yesus merupakan sebuah gerakan transformasi atas
kemapanan peribadahan yang telah menyempitkan kemanusiaan
tempat yang seharusnya orang berkenalan langsung dengan kasih
dan
keadilan
Allah
yang
tidak
terbatas
itu.
Perjuangan ini tidak terlepas dari apa yang melatar belakangi
kehidupan peribadahan saat itu, yakni kuatnya pengaruh tradisi
Aramic-Yudaisme pada lapisan awal yang di kemudian hari
berasimilasi dengan tradisi umat berlatar belakang Yunani-Romawi
pada lapisan berikutnya.
Pada lapisan pertama ‘perempuan’ di gambarkan sebagai sesama
ciptaan Tuhan yang setara. Kata “Imago Dei” atau “Citra Tuhan”
adalah manusia laki-laki dan perempuan. Namun tradisi semitis
yang patriarkhat menempatkan perempuan secara subordinatif
dalam penerapan peribadahan dan dalam kehidupan sehari-hari
yakni degradasi keberadaan perempuan dari “mahkota ciptaan”
menjadi “penolong” atau dalam metafora yang sangat diskriminatif
“tulang rusuk laki-laki.” Dalam sejarah peribadahan, perempuan
tidak mempunyai posisi sentral fungsi jabatan imamat, atau
pemimpin ibadah, kecuali secara karismatik dalam fungsi nabi
(nabiah) yang tugasnya untuk bernubuat. Posisinya baru diakui

apabila kondisi darurat, ketika umat harus mengahadapi berbagai
tantangan dan ancaman misalnya dalam peperangan atau darurat
politik seperti pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam
kehidupan domestik ada beberaqpa fungsi penting misalnya
sebagai “istri”, “pembantu”,”budak”.
Pada lapisan kedua di mana konteks tradisi kitab dan surat-surat
pastoral Perjanjian Baru merupakan asimilasi tradisi Yudaisme dan
Yunani-Romawi, menampilkan adanya sebuah upaya transformasi
posisi perempuan dengan pusat pemberitaan pada Yesus, di mana
posisi perempuan dijadikan setara dalam proses “pemuridan
Yesus.” Sayangnya penulisan sejarah pelayanan Yesus dibuat
dalam bentuk ‘kesaksian” atau “pemberitaan” di mana peranan laki
laki dominan sehingga bias gender. Lalu dalam dandanan tradisi
tradisi tersebut posisi perempuan menjadi ngambang dan terpojok.
Hal ini kelihatan sekali dalam etika kehidupan berkeluarga.
Ungkapan “istri harus tunduk pada suami sebagai kepala keluarga,
dan suami harus hormati istrinya” menunjukan kegamangan dan
ketegangan posisi tersebut. Antara kata “tunduk” bagi istri dan
“hormat” bagi suami dalam konteks penulisan surat pastoral abad
Sesudah Masehi merupakan kemajuan besar, suatu proses untuk
menurunkan posisi laki-laki yang otoriter penuh. Namun
sayangnya dii masa depan ketika ayat-ayat ini harus ditafsir dalam
konteks masyarakat patriakhi maka perempuanlah yang ditekan
dan otoritas laki laki menjadi tidak terkendali dimulai dari lingkup
peribadahan dimana otoritas patriakhis disakralkan kemudian
merasuk ke dalam konteks sosio-kultural.
Kekerasan Terhadap Perempuan: Kemapanan dan Kebisuan
Kontribusi Agama: Ambiguitas konsep yang berdampak pada
standar ganda advokasi korban.
Yang paling mendasar dan yang menjadi pengalaman berabad-abad
adalah pada penerapan tradisi keagamaan dalam peraturan

peribadahan. Konsep kesetaraan jender dalam kisah penciptaan
diperhadapkan secara ambigu dengan istilah-istilah subordinatif
seperti ”tulang rusuk”,”penolong”, “perempuan milik keluarga”
atau “tunduk kepada suami”, “apa yang sudah dipersatukan Tuhan
tidak boleh diceraikan manusia” merupakan idiom tradisi
keagamaan yang menghimpit kemanusiaan perempuan untuk
menjadi dirinya sendiri. Konsep konsep ini disakralkan dan amat
mempengaruhi sebagaian besar perilaku bias jender yang
berdampak pada “kekerasan” yang diakui. Yang memprihatinkan
adalah bahwa konsep-konsep ini tumbuh subur dalam kehidupan
sosial kultural umat (Emmy Sahertian, 2015).

Beberapa kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
manifestasinya pada kekerasan fisik mengacu kepada ungkapanungkapan “istri harus tunduk kepada suami,” yang kemudian
dimanfaatkan untuk menjaga kewibawaan agama, sehingga
kebisuan konspiratif ini justru menambah daftar kekerasan
terhadap perempuan yang dimapankan. Banyak perempuan yang
menjadi korban kekerasan menjadi tidak berdaya untuk
memperjuangkan haknya. Bila terpaksa harus bercerai, maka
ungkapan-ungkapan di atas membuat mereka menghentikan
langkah perjuangan untuk membebaskan diri dari lingkaran
kekerasan sistemik tersebut, karena perceraian dalam pemahaman
agama adalah ‘dosa’ atau melanggar amanat Tuhan yang telah
mempersatukan mereka. Beberapa gereja protestan mulai
menyadari akan fakta kekerasan dalam rumah tangga yang
terangkat ke permukaan sebagai kriminal yang tidak cukup
diperbaiki dengan nasehat pastoral, karena kekerasan sistemik yang
berulang secara obsesif membutuhkan terapi hukum, psikologi dan
pastoral, di mana belum tersentuh secara baik bahkan dibiarkan
sehingga merambat dan menular ke mana mana. Ini sebuah
kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga perlu diadvokasi melalui

jalur hukum dan HAM di mana "pemisahan berjarak waktu dan
lokasi” atau juga "perceraian" dimungkinkan sebagai pilihan paling
bijaksana dari kondisi kekerasan yang paling buruk (misalnya
Domestic Crime). Namun belum semua gereja mempunyai
pandangan dan pendapat yang sama, sehingga berdampak pada
standar ganda advokasi korban.
Kontribusi Budaya
Kondisi sosio-kultural terbangun karena dibentuk untuk menjawab
interaksi kehidupan bersama dalam suatu konteks atau kawasan
bermukim bersama. Di sini posisi perempuan sebagai bagian dari
medium utama kehidupan berkeluarga amat penting. Pada
masyarakat yang laki-laki dominan, perempuan selalu dijadikan
medium reproduksi untuk memelihara klan oleh karena itu ia
dijadikan makluk domestik melalui gelar gelar romatic dan sakral,
ia juga bisa menjadi medium produktif bila keluarga atau
masyarakat dalam keadaan krisis, ia bisa dimanfaatkan menjadi
medium untuk melobby dan memediasi sumber daya dan kekuatan
atau kekuasaan. Oleh karena itu perempuan sangat rentan terhadap
eksploitasi karena keterampilan hidupnya yang ampuh itu
dilemahkan baik dalam konsep, konstruksi peran maupun dalam
pengambilan keputusan.
Menurut Tissa Balasuriya, sistem budaya patriarkhi yang dikuasai
laki-laki, menentukan tujuan, peran, dan nilai-nilai dari kehidupan
perempuan, karena mereka mendominasi dan atau memonopoli
tugas-tugas kemanusiaan yang paling dihargai. Perempuan dilihat
lebih banyak sebagai ”teman di dapur” atau “pembantu.”
Kepribadian perempuan dipaksa mencari dan menemukan
pemenuhannya dalam hubungannya dengan laki-laki. Laki-laki
adalah norma-norma, perempuan adalah ’pihak lain.’ Pekerjaan

laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal
dibandingkan dengan perempuan. Secara ekonomis, politis dan
sosial kebutuhan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Karena itu, pada umumnya wanita tidak mendapat kesempatan
untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi
perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses
pengambilan keputusan, karena dianggap tidak memahami
pelbagai kebijakan politik dan ekonomi (Tissa Balasuriya,
2004:49-50).
Kontribusi Negara
Tantangan terbesar adalah transformasi kebijakan negara berbasis
jender masih memprihatinkan. Kebanyakan kebijakan itu bias
jender baik dalam kebijakan berupa produk hukum maupun
rancangan pembangunan. Lahirnya UU Penghapusan KDRT,
Perlindungan Anak, Anti Trafficking mestinya bisa dijadikan
kesempatan untuk merekonstruksikan masyarakat yang bias jender
menjadi sebuah kesadaran bersama yang selanjutnya menciptakan
kultur keadilan jender dalam masyarakat. Namun muncul
pertanyaan besar dengan diloloskannya UU no.44/2008 tentang
pornografi di tambah dengan berbagai perda yang berbasis konsep
patriarkhi agamis, karena akan menambah panjang langkah
perjuangan perempuan di Indonesia.
Gerakan Transformasi Simultan
Gerakan transformasi simultan tiga aras penting, yakni agama,
sosio-kultural dan kebijakan negara sedang berproses, perlu
didorong lebih gencar. Di dalam Gereja, kita dapat melakukan
rekonstruksi teologis yang dituangkan secara struktural pada
program di aras nasional, wilayah maupun pada level lokal. Pada
level-level ini ada “desk” yang melihat dan merancang program

secara kategorial perempuan, laki-laki, anak, remaja dan pemuda,
juga ada lansia. Harus dimulai upaya progresif dari kelompok
teologi feminis untuk mensosialisasikan program “membaca Kitab
Suci melalui mata baru (perempuan)” yang cukup berhasil dan
menjaring aktivis dari berbagai kalangan termasuk kaum laki-laki.
Di harapkan gerakan seperti ini akan ikut merekonstruksi sosiokultural masyarakat yang tidak lain adalah umat itu sendiri. Pada
tataran praktis beberapa pusat pendampingan perempuan yang
dilakukan baik dalam bentuk gerakan LSM maupun dalam
program gereja sudah ada meskipun terbentur pada belum
meratanya pemahaman teologik tentang jender dan keadilan jender.
Dalam tataran ini upaya pengembangan jaringan lintas sektor,
lintas agama untuk advokasi mestinya gencar dilakukan. Anna
Julia Cooper, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan,
”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama
dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci”
untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik
laki-laki maupun perempuan.” Akhir kata, penghapusan kekerasan
terhadap perempuan membutuhkan kerjasama dan sinergi dari
berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak,
baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, gereja maupun
masyarakat.

Rekonstruksi Teologis
Alkitab mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun
langsung digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai
pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi
kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja.
Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam budaya patriarkhal,
sehingga banyak pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum
laki-laki dari sudut pandang patriarkhal. Usaha penafsiran dari

abad ke abad dan penentuan kitab-kitab mana yang diterima oleh
umat (dalam ”kanon”) menunjang pemahaman patriarkhal dan
meniadakan apa yang masih tersirat tentang pengalaman
perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan secara
androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang
membenarkan konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan
Kristen. Apakah pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan
iman dan jati diri Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar
keterikatan kita (pada tradisi-tradisi patriarkhal) serentak
merupakan sumber pembebasan kita, yaitu sumber utama kritik
feminis terhadap penindasan patriarkhal. Inti berita Alkitab dan
iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun
manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah (Marie
C. Barth, 2006:35).
Naskah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris
(andros=laki-laki, sentris=berhubungan dengan inti), ditulis oleh
laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan
terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan
pemberita. Oleh karena itu :
1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), misalnya dikatakan,
”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu
dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan
yang sepadan untuk perempuan.
2. Laki-laki (Ibr : isy) sering dipakai dalam arti manusia, misalnya
dalam perintah Kel. 21:12, 18, 20, 22, 26, 33; kebijaksanaan,
misalnya Ams. 12:25, Mzm. 37:7; rumus berkat Mzm. 1:1,
112:1,5 dsb.; kutukan Ul. 27 dst. Di situ ”perempuan” termasuk
secara tersembunyi atau kurang penting. Hal yang sama terdapat
dalam Perjanjian Baru dengan adelphos, saudara laki-laki dalam
surat rasuli, misalnya, Rm. 8:19, 9:3; 14:10, 13, 15 dsb.

3. Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama
murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.
4. Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki
kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki;
Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).
5. Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya
makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44;
Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan
informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.
6. Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk.
1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah
mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul,
termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1
Kor. 9:5).
Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang
ditemukan dalam Alkitab sendiri :
1. Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun
menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang
jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang
laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut
gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk
ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu
perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang
menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33;
Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah
memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.
2. Sejak Hosea menyamakan Israel dengan seorang istri yang
berzinah (Hos. 2), seluruh sejarah Israel dipandang dalam
kiasan itu. Bnd. Yer. 3:1-2; 2:20-25 dan Yeh. 16. Bila kiasan
Allah sebagai suami dan umat sebagai istri dikenakan pada
Kristus dan Gereja, maka ia dipakai untuk mengesahkan

secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri,
tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).
3. Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki
(wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin
berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).
4. Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu
Yesus sendiri.
5. Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan
Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus
mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang
bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:79; 14:34-36).
Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran
Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak
perempuan:
1. Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai
akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai
“hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai
istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef.
5:22).
2. Sistem dominasi laki-laki mengajarkan sikap yang negatif
tentang tubuh perempuan: pendarahan perempuan adalah najis,
melahirkan sebagai masalah, dan alat-alat reproduksinya sebagai
hal yang kotor. Karena itu perempuan dinyatakan najis selama
haid dan setelah melahirkan (Bil. 12:1-8), dan mereka tidak
diperbolehkan ikut serta dalam ritual-ritual keagamaan selama
masa kenajisan tersebut. Perempuan yang sedang menstruasi
dilarang beribadah di dalam gereja masih dipraktikkan di
beberapa gereja di Afrika, di dalam beberapa gereja di Indonesia
pendeta perempuan yang sedang hamil dilarang memimpin
ibadah di gereja. Bahkan ada gereja yang tidak memperbolehkan
pendeta perempuan melayani sakramen disebabkan pemahaman

yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya
telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap
perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R.
Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut
perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung
kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang
hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan
bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di
masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran
dalam sejarah yang patriarkhal ...” (Rosemary Ruether,
1983:37).
3. Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal
bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah
(Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang
dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti
Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk
Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh
dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa
(Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua
belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan
pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada
Perjamuan Kudus pertama.
4. Ketika Paulus meminta agar perempuan berdiam diri dalam
pertemuan jemaat (1 Kor. 14:34), kita lupa bahwa nasihat itu
ditujukan pada istri yang dapat ”menanyakan suaminya di
rumah” (ay. 35) dan tidak boleh membantah pandangan suami di
depan umum. Terlebih-lebih diabaikan bahwa Paulus mengenal
perempuan yang berdoa dan bernubuat di depan jemaat (11:5).
Nasihat Paulus dipakai sebagai larangan, yakni perempuan tidak
boleh memegang jabatan di gereja (kecuali dalam pelayanan
diakonia-sosial dan dalam pembinaan anak-anak serta
perempuan). Nas yang sama dipakai untuk menolak hak suara
para perempuan dan menghindarkan mereka untuk memilih dan

dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke20 di Barat).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Elisabeth Schussler
Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a
hermeneutic of suspicion,” tafsiran yang meragukan atau
mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa
sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih
terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh
suatu gambaran yang lebih utuh (Elizabeth Fiorenza, 1997: 51-64;
Phyllis A. Bird, 1993:27-28, 32, 35).
Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis
naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk
merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat
Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang
feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai
golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis
dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman
sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk
menentukan sejarah (menjadi full historical subjects). Tentang hal
itu, Rosemary Radford Ruether menyatakan, bahwa apa pun yang
mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap
bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan
ilahi atau kabar baik dari penebus yang otentik.” Prinsip
kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago dei”:
bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan
secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.
“Let woman's claim be as broad in the concrete as the abstract. We take our stand on
the solidarity of humanity, the oneness of life, and the unnaturalness and injustice of
all special favoritism, whether of sex, race, country, or condition. If one link of the
chain is broken, the chain is broken. A bridge is no stronger than its weakest part, and
a cause is not worthier than its weakest element. Least of all can woman's cause afford
to decry the weak. We want, then, as toilers for the universal triumph of justice and

human rights, to go to our homes from this Congress demanding an entrance not
through a gateway for ourselves, our race, our sex, or our sect, but a grand highway
for humanity.” Anna Julia Cooper, A Voice from the South
(https://www.goodreads.com/work/quotes/712870-a-voice-from-the-south)

Kepustakaan
Carol Gilligan, In a Different Voice. Massachusetts : Harvard
University Press, 1936.
Christina S. Handayani – Ardhian Novianto. Kuasa Wanita Jawa.
Yogyakarta : LkiS Pelangi Askara, Cet-2, 2008.
Elisabeth Schuessler-Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Henriette Hutabarat-Lebang, ”Teologi Feminis yang Relevan di
Indonesia,” Bentangkanlah Sayapmu. Hasil Seminar dan Lokakarya
Teologi Feminis. Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (ed.).
Jakarta : Persetia, Cet-1, 1999.
J.B. Banawiratma, “Teologi Feminis yang Relevan di Indonesia,”
Bentangkanlah Sayapmu. Hasil Seminar dan Lokakarya Teologi
Feminis. Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (ed.). Jakarta :
Persetia, Cet-1, 1999.
John Mansford Prior, “Konflik dan Kekerasan Gerakan Yesus dan
Dinamika Perujukan Sosial,” dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis?
Hidup Menggereja Kontekstual. J.B. Banawiratma (ed.). Yogyakarta :
Kanisius, 2000.
Leo D. Lefebure. Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan. Jakarta
: BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006.

Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang
Ibu. Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006.
Miriam Therese Winter, Woman World: A Feminist Lectionary and
Psalter. New York : Crossroad, 1995.
Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a
Feminist Theology. Boston : Beacon Press, 1983.
Tissa Balasuriya, Teologi Siarah. Jakarta : BPK Gunung Mulia,
Cet-3, 2004.

Makalah ini ditulis untuk Buku “Bergereja Dalam Bingkai
Kebangsaan” yang diterbitkan oleh STT Bethel Indonesia (2016)

Background Penulis
Pdt. Maryam Kurniawati D. Min adalah seorang Pendeta Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat. Menyelesaikan
studi Doktor Ministry di STT Jakarta dengan menekuni Pendidikan
Religius Kristiani Untuk Transformasi Sosial (2012). Melayani di
BPK Penabur Jakarta sebagai Pendeta Tugas Khusus dan menjadi
Kepala bagian Kerohanian dan Karakter BPK Penabur Jakarta pada
tahun 2010-2013. Menjadi Ketua Tim Penyusun Kurikulum
Pendidikan Karakter Berbais Nilai-nilai Kristiani BPK PENABUR
pada tahun 2009-2014. Menjadi Pendeta Jemaat GKI Cawang, Jakarta
Timur pada tahun 1991-2007. Menjadi Penulis Buku Pendidikan
Kristiani Multikultural (2004) dan Every Moment, Inspired Living
(2014).

Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN DI TELEVISI (ANALISIS SEMIOTIK DALAM IKLAN SAMSUNG GALAXY S7 VERSI THE SMARTES7 ALWAYS KNOWS BEST)

132 481 19

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26