Sejarah dan Pengaruhnya terhadap Pola Hubungan Malaysia-Indonesia.

SEJARAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA HUBUNGAN MALAYSIAINDONESIA
Oleh: GPB Suka Arjawa
Dalam sejarahnya, ada beberapa pola yang menyangkut hubungan Malaysia-Indonesia.
Di masa Orde Lama, kedua negara sangat jelas berpola antagonistik, dengan konsepsi
”Ganyang Malaysia” seperti yang dikobarkan oleh Presiden Soekarno. Aktor yang
menjadi bintang saat itu tidak lain adalah Soekarno yang mencurigai pembentukan negara
itu sebagai antek imperialis Inggris yang berupaya ”mengepung” Indonesia. Soekarno
memompakan semangat itu kepada rakyat Indonesia. Pada masa awal Orde Baru, pola
hubungan antagonistis itu berubah menjadi upaya perbaikan. Orde Baru justru
mengecam politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama yang dipandang terlalu
agresif. Indonesia memelopori pembentukan kerjasama negara-negara Asia Tenggara
(ASEAN) dimana Malaysia menjadi salah satu anggotanya. Pada masa pertengahan Orde
Baru, pola hubungan kedua negara sangat positif. Pemerintahan Malaysia di bawah
Mahathir Muhammad, sangat mengormati pemerintahan Presiden Soeharto karena tidak
adanya sikap konfrontasi lagi, Malaysia mampu berkosentrasi membangun negara.
Stadion Negara yang tahun 1977 benar-benar berlumpur, menjadi mentereng kemudian.
Kasus saling klaim di Pulau Sipadan dan Ligitan, tidak digubris saat itu.
Pada masa awal Orde Reformasi, hubungan kedua negara menjadi sedikit abu-abu: tidak
terlalu mesra juga tidak terlalu konflik. Ini disebabkan karena Kasus Kepulauan Sipadan
dan Ligitan ternyata dimenangkan oleh Malaysia dalam sidang Mahkamah Internasional.
Setelah Orde Reformasi berjalan hampir sewindu, mulailah suasana abu-abu itu mulai

bergeser ke arah antagonistik. Cukup banyak kasus sosial yang melibatkan masyarakat
Indonesia di malaysia yang menjadi masalah. Hukuman cambuk, hukuman mati para
tenaga kerja Indonesia serta pelanggaran kedaulatan (bagi pihak Indonesia) dari Malaysia
membuat Indonesia sering protes dengan kelakuan tersebut. Masalah klaim-mengklaim
produk budaya, seni dan sebagainya sering membuat Indonesia kecewa. Tidak pelak
kemudian, pola hubungan itu sering terlihat antagonis, meski pejabat Indonesia
mencoba membangun perimbangan suasana. Terakhir, minggu-minggu ini masyarakat
Indonesia terusik, tidak puas, dan kecewa karena salah seorang pejabat tinggi Malaysia
menjelek-jelekkan, bahkan menghina bekas presiden Indonesia B.J. Habibie.
Pertanyaannya, apakah pola sejarah itu yang kemudian berpengaruh terhadap hubungan
kedua negara sekarang?
Itulah persoalannya. Banyak yang mengatakan bahwa negara itu (Malaysia) kini telah
mulai mampu meningkatkan taraf hiduo rakyatnya ke arah negara yang sudah maju.
Pembangunan yang dilakukannya cukup berhasil meningkatkan taraf hidup sekitar 28
juta penduduknya. Indikator kemajuan itu, secara sederhana bisa dilihat dari
kemampuannya untuk memndahkan Ibu Kota ke wilayah Patra Jaya, membangun
Menara Kembar, membangun stadion sepakbola yang megah, menanam bebagai
berbagai investasi (termasuk perbankan) di luar negaranya, sampai dengan
menyelenggarakan lomba Formula 1. Belum lagi para penelitinya yang kini gencar


meneliti ilmu-ilmu sosial dasar, seperti perburuan naskah kuno Melayu. Terasa, ketika
ilmuwan itu telah mencari, mengeksplorasi lmudasar yang merupakan identitas diri dari
mayoritas warga Malaysia, ini merupakan pertanda bangsa yang sudah maju, mampu
memenuhi keperluan yang lain.
Pada konteks inilah harus dilihat bahwa Malaysia sebenarnya ingin menyatakan
keunggulan dirinya dibanding dengan negara-negara lain dimanapun yang ada di
sekitarnya. Dalam hal hubungan dengan Indonesia, kemungkinan besar pengalamanpengalaman sejarah itulah yang ikut mempengaruhi hubungan kedua negara sekarang ini.
Seperti yang telah dicatat sejarah, Indonesia boleh dikatakan pernah melecehkan
Malaysia dengan konsepsi semangat ”Ganyang Malaysia” itu. Fakta sejarah juga
melihat saat itu bahwa angkatan perang Indonesia saat itu merupakan yang terkuat di
Asia Tenggara saat itu, mempunyai penduduk paling besar dan paling berpengaruh di
kawasan. Kemungkinan peristiwa itu sangat mempengaruhi nilai-nilai generasi baru
pemimpin Malayasia sekarang sehingga mempunyai pendirian semacam mencoba
menaikkan nilai harga dirinya terhadap Indonesia. Peristiwa inilah yang memungkinkan
negara itu untuk mengatasi Indonesia saat ini dengan berbagai pola dan caranya.
Gangguan-gangguan seperti upaya pelanggaran perbatasan, klaim produk budaya,
penyebutan orang ”Indon” (yang katanyaa merendahkan) bagi pekerja Indonesia di sana,
sampai dengan sebutan merendahkan bagi B.J. Habibie itu, adalah upaya untuk
mengatasi Indonesia.
Kepercayaan diri Malaysia itu dimulai setelah berhasil memenangkan kasus Sipadan

dan Ligitan. Dan yang lebih kelihatan lagi, segala gertakan yang dilakukan negeri Jiran
tersebut terjadi pada saat Indonesia sedang tidak mampu mengatasi berbagai persoalan
sosial dan politik yang terjadi. Fakta inilah yang seolah menjadi pintu masuk bagi upayaupaya Malaysia untuk melakukan gangguan seperti itu.
Kalaupun misalnya apa yang diungkapkan diatas benar, sesungguhnya tidaklah pantas
Malaysia berbuat demikian. Upaya Presiden Soeharto membentuk ASEAN dan
mengubah haluan politik luar negerinya dari radikal menjadi lunak terarah, sudah bisa
dikatakan sebagai cara menghilangkan pola konflik seperti yang terjadi pada masa
Presiden Soekarno. Berbagai kerjasama yang dilakukan antar kedua negara pada masa
Orde Baru, misalnya pertukaran mahasiswa sampai dengan siaran bersama radio dan
televisi kedua negara, merupakan bukti bahwa kedua negara telah menghilangkan semua
yang ada di masa lalu. Maka, ketika mantan pejabat malaysia melakukan pelecehan
terhadap mantan pejabat Indonesia atau banyak suporter sepakbola negeri itu yang
melakukan pelecehan kepada lagu kebangsaan Indonesia Raya, ini adalah sikap arogan
yang tidak tahu sopan-santun bertetangga antar negara. Upaya-upaya itu bisa saja berbau
provokatif yang mungkin saja mempunyai maksud tersembunyi di balik tindakannya.
Karena itu, sudah sepantasnya pemerintah Indonesia melakukan protes keras kepada
Malaysia. Melarang para pekerja Indonsia bekerja di Malaysia bisa saja dipakai sebagai
salah satu cara. Membiarkan tindakan demikian secara terus menerus justru semakin
menumpuk kekecewaann kepada masyarakat Indonsia. Dan ketika kekecewaan itu telah
terakumulatif pada tingkat yang lebih tinggi, yang dikhawatirkan tragedi seperti di jaman


Orde Lama akan bisa terjadi lagi. Atau masyarakat Indonesia harus ”jengah”, mampu
mengejar prestasi melebihi apa yang dicapai Malaysia. ****
Penulis, Staf Pengajar FISIP Universitas Udayana