Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat
urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin
tinggal di wilayah perkotaan (Morrell, dkk. 2008:1). Sebagian
penduduk miskin perkotaan bekerja pada sektor informal, yang
pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning and
Roesad 2006). Sektor informal menjadi pilihan terakhir warga
urban (kota) maupun tenaga kerja pedesaan yang tidak
berpendidikan dan tidak berketerampilan yang tidak terserap di
sektor formal (Bhowmik 2005; Noer Effendi 2005).
Para urban yang tidak berpendidikan dan tidak terampil
terpaksa masuk ke sektor informal, dilaporkan pula oleh
Sethuraman dan Davis dalam penelitiannya di Ghana. Menurut
Sethuraman (1976), para urban yang tidak memiliki
keterampilan yang memadai terjun ke sektor informal
disebabkan oleh ketidakmampuan sektor formal menyerap
mereka. Demikian pula, Davis (2008) menyebutkan bahwa
pedagang kaki lima merupakan bagian tak terpisahkan dari

sektor ekonomi informal. Sektor ekonomi informal ini tumbuh
di negara-negara berkembang, termasuk di Ghana, karena
pembangunan ekonomi yang direncanakan tidak menciptakan
pekerjaan yang mencukupi untuk mengurangi tingkat
pengangguran.
Sepanjang tahun 1990-an, situasi ketenagakerjaan
di
Indonesia tidak menguntungkan bagi pekerja. Hal ini terjadi
karena ketidakmampuan sektor formal dalam menyerap tenaga
kerja ke dalam pasar nasional (Suharto 2008). Sektor informal
menjadi katup pengaman dalam menghadapi masalah angkatan
kerja yang tidak terserap dan terlempar dari sektor formal sejak
1

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

terjadinya krisis ekonomi (Ari 2008:12). Krisis yang
menghantam bangunan ekonomi Indonesia mengakibatkan
jumlah pengangguran mencapai titik kritis. Hal ini terjadi
karena selama krisis berlangsung, para pekerja

sektor
konstruksi, perdagangan, industri, dan keuangan, banyak ke
luar atau meninggalkan pekerjaan, karena mereka di-PHK atau
perusahaan tidak beroperasi lagi karena bangkrut atau
dilikuidasi (Noer Effendi 2005).
ILO (1998) memperkirakan bahwa sekitar 5,4 juta pekerja
formal yang bergerak di bidang jasa, manufaktur, dan
konstruksi diberhentikan dari pekerjaannya sebagai akibat krisis
ekonomi pada tahun 1997-1998. Kondisi serupa juga terjadi di
Thailand. Krisis ekonomi yang melanda Thailand dan tingginya
biaya hidup, menyebabkan pedagang kaki lima menjadi solusi
bagi mereka yang menganggur yang terkena dampak krisis
(Nirathron 2006).
Kenaikan harga barang dan jasa membuat para penganggur
dan mereka yang miskin sulit melakukan penyesuaian diri,
apalagi untuk bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti.
Solusinya adalah mereka masuk ke sektor informal agar dapat
bertahan hidup (Bhowmik 2005).
Selama krisis ekonomi tersebut, terbukti bahwa sektor
informal tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat

berkembang pesat sebagai sektor ekonomi selain sektor formal.
Hal ini disebabkan oleh adanya faktor permintaan dan faktor
penawaran. Dari sisi permintaan, krisis ekonomi mengakibatkan
pendapatan riil masyarakat turun, sehingga terjadi pergeseran
permintaan masyarakat dari barang-barang sektor formal atau
impor ke barang-barang sederhana buatan sektor informal. Dari
aspek penawaran, akibat banyak orang dikeluarkan (dipecat)
dari pekerjaan di sektor formal selama masa krisis, ditambah
lagi dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapatkan

2

BAB I
Pendahuluan

pekerjaan tersebut, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke
sektor informal meningkat.
Relatif kuatnya daya tahan sektor informal selama krisis,
disebabkan pula oleh tingginya motivasi pengusaha kecil sektor
tersebut mempertahankan kelangsungan usahanya. Hal ini

dapat dipahami, sebab bagi banyak pelaku ekonomi dari
kalangan masyarakat golongan ekonomi lemah, sektor informal
merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan penghidupan
mereka.
Berbeda dengan mereka yang bekerja pada sektor formal,
para pengusaha kecil sektor informal sangat adaptif menghadapi
perubahan situasi dalam lingkungan usaha mereka. Sementara
itu, banyak pengusaha menengah ke atas yang bangkrut tidak
mampu beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang tidak
menguntungkan. Rumah makan Bakul Deso dan bengkel mobil
Suzuki “Pulung Abadi” di Semarang pada tahun 2011 gulung
tikar.
Jauh sebelum ini, beberapa pasar Swalayan juga bangkrut,
seperti Golden Swalayan yang gulung tikar, karena kalah
bersaing dengan Pasaraya Sri Ratu, demikian pula Mickey
Mouse Swalayan di Depok Semarang, dan Matahari Swalayan di
depan pasar Johar Semarang. Ada juga beberapa hotel yang
bangkrut, yaitu hotel Siranda, yang tempatnya berada di pusat
kota Semarang dan hotel Rama yang berada di belakang pasar
Johar. Hotel Dibya Puri, hotel Jelita, dan hotel Patimura di

dekat pasar Johar juga diragukan apakah dapat bertahan di
tengah persaingan bisnis perhotelan di Semarang.
Para pedagang kecil, karena keuletan dan kemandiriannya
masih dapat melanjutkan usahanya meskipun krisis ekonomi
melanda Indonesia. Tukang sol sepatu di sekitar pasar Johar
merupakan pekerja sektor informal, yang sudah puluhan tahun
masih eksis. Pedagang barang-barang klitikan di beberapa
tempat di Semarang juga dapat bertahan dari krisis. Banyak di
3

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

antara mereka yang eksis hingga kini dengan menempati lokasi
PKL barang klitikan di jalan Barito dan Kokrosono.
Sejak kebijakan desentralisasi yang memberi kewenangan
kepada daerah untuk meningkatkan penghasilannya melalui
pendapatan asli daerah (PAD), sektor ekonomi informal dalam
posisi yang tidak menguntungkan, karena kebijakan pemerintah
daerah lebih berpihak kepada para investor yang mengelola
kegiatan ekonomi formal (Morrell 2008). Pemerintah kota

Semarang merupakan salah satu contoh daerah yang lebih
memusatkan perhatian pada kepentingan investor. Tumbuh
pesatnya bisnis hotel, ritel, properti, kuliner, dan pusat-pusat
hiburan merupakan indikasi dari hal ini.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, pemerintah kota
Semarang mendukung penciptaan kebijakan pemerintah yang
pro-investasi, yakni dengan menciptakan iklim yang kondusif
bagi investor dalam negeri dan luar negeri dalam segala hal
(Perda Nomor 6 Tahun 2010). Sesuai dengan kebijakan
SETARA dari walikota Semarang, pemerintah pada tahun 2010
mentargetkan kerjasama pengelolaan aset dengan investor
sebesar
75%
(http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content
&task=view&id=34&Itemid=53). Pemihakan kepada investor
tidak terelakkan, karena pemerintah daerah menggunakan
paradigma neoliberalisme dalam melaksanakan aktivitas
pembangunan (Mulyaningsih, dkk. 2009).
Saad-Filho and Johnston (2005) meyakini bahwa manusia

dan masyarakat dunia saat ini hidup dalam abad neoliberalisme.
Sistem neoliberal dipahami sebagai a modified or revived form

of traditional liberalism, especially one based on belief in free
market capitalism and the rights ofthe individual (Thorsen
2009:3). Pendek kata, sistem neoliberal merupakan sort of

4

BAB I
Pendahuluan

revival of liberalism atau salah satu jenis dari kebangkitan
liberalisme.
Ideologi neoliberal berasal dari Washington Consensus yang
mengkampanyekan bahwa dengan pasar bebas, umat manusia
akan memasuki gerbang pintu keemasan yang membahagiakan
(Wibowo 2010). Imperatif neoliberalisme tersebut berakar dari
filsafat ekonomi neoliberal yang mereduksi manusia sematamata sebagai makhluk ekonomi atau homo oeconomicus.
Pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus diaplikasikan

ke dalam semua aspek hidup manusia, bahkan sampai pada
pengorganisasian masyarakat.
Diversifikasi homo oeconomicus ke dalam semua aspek
kehidupan manusia dan pengorganisasian masyarakat inilah
yang membedakan mazhab neoliberal dari aliran liberalisme
klasik. Mazhab neoliberal memandang manusia semata-mata
sebagai makhluk ekonomi, maka tidak salah kiranya jika aliran
ini berpihak kepada kebijakan yang mendukung liberalisasi
perdagangan, privatisasi, deregulasi, iklim kompetisi, serta
liberalisasi finansial dan perbankan (Sumodiningrat 2009:36;
Notonagoro 2011). Berdirinya hotel-hotel besar, pasar swalayan,
mall, dan apartemen merupakan aplikasi dari kebijakan
neoliberal pemerintah.
Sebagai konsekuensi dari paradigma neoliberal, pemerintah
Indonesia lebih banyak mengandalkan investor yang
menjalankan sektor formal ketimbang sektor informal dalam
memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana ditengarai
Kameo (2011:18), strategi dan kebijakan pembangunan di
Indonesia belum berpihak kepada mayoritas masyarakat pelaku
ekonomi, sehingga tidak terjadi pemerataan kesempatan untuk

turut berpartisipasi dalam proses penciptaan nilai tambah.
Sektor informal
dipandang tidak terlalu signifikan
kontribusinya bagi pendapatan nasional Indonesia, sehingga
dalam setiap kebijakan pemerintah lebih berfungsi mengatur
5

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

sektor informal ketimbang memberdayakannya. Padahal betapa
pun kecilnya, sektor informal, khususnya pedagang kaki lima
memiliki kontribusi dalam aspek ekonomi.
“Kita memang pedagang kecil pak…keberadaan kita tidak
dianggap oleh pemerintah, padahal meskipun kecil, selama
ini kita juga membayar iuran secara rutin…berarti ada
uang yang masuk ke kas pemerintah..., meskipun sedikit
uang kita kan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah”,
demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak
Achmad, Minggu, 13 Juni 2010).


Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu pelaku
sektor informal yang diperlakukan pemerintah secara tidak
seimbang. Cukup banyak pemerintah daerah yang tidak
mengakui PKL sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi yang
mendukung kinerja ekonomi daerah. Hal ini dibuktikan dari
masih banyaknya PKL liar yang tidak didaftar atau dilegalisasi
oleh pemerintah. PKL dipandang bagian dari problem
perkotaan, sehingga
kebijakan pemerintah daerah tidak
berpihak kepadanya. Hal ini didukung oleh penelitian Kadir
(2010) yang menunjukkan bahwa PKL dianggap sebagai
penyebab permasalahan kota, sehingga harus disingkirkan dari
atau tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas ekonomi di
ruang publik yang dipandang akan mengganggu kenyamanan
masyarakat.
Anggapan bahwa PKL sebagai pengganggu ketertiban,
keindahan, dan kebersihan kota, menyebabkan perilaku aparat
pemerintah tidak ramah, memusuhi PKL, bahkan tidak jarang
melakukan tindakan represif, brutal, dan mengorbankan PKL
(Ramli 1992; Bromley 2000; Roever 2005). Umumnya pemegang

otoritas dan elit kota di negara-negara Afrika, Asia, dan
Amerika Latin mengeluhkan keberadaan PKL sebagai masalah
utama di kota-kota mereka (Bromley 2000). Itulah sebabnya,
banyak elit kota yang berkeinginan agar PKL dibersihkan dari
ruang publik, karena dianggap sebagai pengganggu keindahan
6

BAB I
Pendahuluan

dan ketertiban kota (Mulyaningsih, dkk. 2009). Namun
demikian, PKL yang lebih banyak menjajakan barang murah (di
antaranya barang-barang bekas) dan jasa yang terjangkau
biayanya, sangat dibutuhkan oleh warga kota yang memiliki
penghasilan pas-pasan (Destombes 2010:23). PKL dibenci oleh
penguasa, tetapi di lain pihak mereka dirindukan oleh warga
kota yang memiliki pendapatan rendah.
Perlakuan pemerintah kota Semarang terhadap PKL tidak
jauh berbeda dengan sikap dan perlakuan pemerintah kota
terhadap PKL di negara berkembang lainnya di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Di Semarang, problematika PKL ini menjadi
pekerjaan rumah dan dilema bagi pemerintah kota. Di satu sisi,
pemerintah kota menginginkan kota harus bersih, indah, dan
nyaman, sehingga dapat menjadi ruang publik yang sehat bagi
seluruh warga kota. Pada sisi lain, PKL butuh hidup dan
menghidupi keluarganya, oleh karenanya mereka tidak dengan
mudah dipindahkan dari tempatnya mencari rezeki.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya, PKL di Semarang
menempati lokasi di daerah pusat perkantoran, pusat bisnis,
pusat perbankan, pendidikan, pariwisata, rumah sakit, serta
pasar (tradisional dan modern). Konsentrasi PKL berada di
Barito, Kalisari, Jalan Batan Selatan, kampus Universitas
Diponegoro (kampus atas dan bawah), kampus Universitas
Negeri Semarang, rumah sakit dr. Kariyadi, rumah sakit Panti
Wiloso, rumah sakit Telogorejo, rumah sakit Roemani, rumah
sakit Elisabeth, dan rumah sakit Tugu, Stasiun Kereta Api
Poncol dan Tawang, Kantor Bank Indonesia, bundaran Simpang
Lima dan sekitarnya, jalan Ahmad Yani, jalan Menteri Soepeno
(dahulu berada di jalan Pahlawan), jalan Pandanaran, jalan
Pemuda, jalan Sampangan, jalan Basudewo, jalan Kokrosono,
jalan Kartini, sekitar pasar tradisional (Johar, Bulu, Peterongan),
di sekitar stadion Diponegoro, dan pusat-pusat keramaian
lainnya.
7

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Seiring dengan perkembangan pesat kota Semarang dalam
15 tahun terakhir, PKL dengan mudah dapat dijumpai, mulai
dari tengah kota hingga pinggiran kota. Keberadaan PKL bagai
jamur di musim penghujan. Mereka tersebar di seluruh
kecamatan yang ada di kota Semarang. PKL yang menempati
ruang-ruang publik di kota Semarang meliputi PKL yang
terorganisasi (sesuai Perda) maupun PKL yang tidak
terorganisasi (tidak sesuai Perda). Menurut data Dinas Pasar
kota Semarang, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 2009
mencapai 11.414 dengan rincian 7.419 sesuai Perda No. 11
Tahun 2000, SK Walikota Semarang Nomor 130.2/339 Tahun
2000 dan SK Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 dan 3.995
PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota tersebut. Rincian
selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Jumlah Pedagang Kaki Lima di Semarang Tahun 2009
No.
Kecamatan
Jumlah PKL
Jumlah PKL
Jumlah
sesuai
tidak sesuai
Total PKL
Perda
Perda
1. Semarang Selatan
593
413
1.006
2. Semarang Utara
856
199
1.055
3. Semarang Tengah
1.742
797
2.539
4. Semarang Barat
635
792
1.427
5. Semarang Timur
1.477
505
1.982
6. Banyumanik
285
199
484
7. Tembalang
189
27
216
8. Candisari
250
63
313
9. Gajahmungkur
181
96
277
10. Gayamsari
212
299
511
11. Pedurungan
355
191
546
12. Genuk
184
121
305
13. Mijen
19
13
32
14. Gunungpati
133
8
121
15. Tugu
36
98
134
16. Ngaliyan
292
174
466
Jumlah
7.419
3.995
11.414
Sumber : Dokumen Dinas Pasar kota Semarang dan Wawancara
dengan Pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012

Pada tahun 2012, jumlah pedagang kaki lima (PKL) di kota
Semarang meningkat menjadi 11.981, yang berarti terjadi
kenaikan sebanyak 567 PKL dari tahun 2009 (wawancara
8

BAB I
Pendahuluan

dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012). Kenaikan tersebut
tidak diketahui berapa peningkatan PKL yang sesuai dengan
Perda dan berapa pula peningkatan jumlah PKL yang tidak
sesuai dengan Perda. Tingkat mobilitas yang tinggi dari PKL liar
atau tidak sesuai dengan Perda, tidak diperhitungkan oleh Dinas
Pasar dalam menghitung kenaikan jumlah PKL, sehingga
jumlah PKL pada tahun 2012 bisa saja melebihi angka statistik
PKL yang disusun oleh Dinas Pasar kota Semarang.
Atas nama pembangunan dan dalam rangka mengejar
pertumbuhan investasi, Pemkot Semarang melakukan penataan
kota dengan fasilitas yang memadai untuk menarik investor.
Untuk memberi rasa aman dan nyaman kepada investor,
Pemkot melakukan penataan PKL dengan mengeluarkan Perda
nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima. Perda PKL tersebut lebih banyak
berfungsi
mengatur
dan
membina
PKL
daripada
memberdayakan PKL. Hak-hak PKL tidak banyak diatur dalam
Perda tersebut. Dari 15 pasal, sebanyak 11 pasal, yaitu pasal 2, 3,
4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 memberikan kewenangan kepada
walikota untuk mengatur, membina, mewajibkan, melarang,
dan menjatuhkan sanksi hukum (pidana) dan administrasi
kepada PKL yang dinilai melanggar ketentuan Perda. Sementara
itu, hak PKL hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 6. Dalam
pasal tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk (1)
mendapatkan pelayanan perizinan, (2) penyediaan lahan lokasi
PKL, (3) mendapatkan pengaturan dan pembinaan.
Ayat (3) dari pasal 6 tersebut sejatinya bukan hak yang
diberikan kepada PKL. Ayat (3) tersebut merupakan bentuk
kewenangan Pemkot untuk menata PKL agar tertib dalam
menggunakan ruang publik dan menjalankan kegiatan ekonomi
yang tidak mengganggu keamanan, ketertiban, dan
kenyamanan masyarakat.

9

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Anatomi Perda nomor 11 tahun 2000 yang lebih banyak
mengedepankan kewajiban, larangan, dan sanksi, menunjukkan
betapa Pemkot kurang berpihak kepada kepentingan ekonomi
masyarakat golongan ekonomi lemah. Seiring dengan kebijakan
menjadikan kota Semarang sebagai pintu gerbang Jawa Tengah,
Pemkot melakukan penataan fisik kota, sehingga ruang publik
di berbagai pojok kota ditata, dirapikan, dan diperindah. PKL
yang menempati ruang publik yang dipandang merusak wajah
kota, ditertibkan. Sebaliknya, pengusaha yang memberi
kontribusi bagi pengembangan kota Semarang sebagai pusat
perdagangan dan jasa, diberi fasilitas untuk mengembangkan
bisnis di kota Semarang.
Perda nomor 11 tahun 2000 menjadi payung hukum bagi
Pemkot Semarang untuk melakukan penertiban terhadap PKL.
Hal ini dilakukan agar keberadaan PKL tidak mengganggu
kebutuhan warga masyarakat lainnya dan kepentingan investor.
Penegakan peraturan yang dilakukan oleh Pemkot dengan
melakukan penertiban terhadap PKL tidak salah, karena
memang sudah sepatutnya pemerintah menertibkan pedagang
yang menempati ruang publik yang dirasa dapat mengganggu
ketertiban dan keamanan. Tindakan penertiban yang disertai
dengan penggusuran dan kekerasan terhadap PKL, merupakan
implementasi Perda yang tidak dapat dibenarkan baik dilihat
dari aspek hukum, hak asasi manusia, maupun rasa keadilan.
Sejak kepemimpinan walikota Sukawi Sutarip hingga
Soemarmo HS, tindakan penertiban disertai penggusuran
terhadap PKL berlangsung secara massif. Beberapa lokasi PKL
pernah mengalami penertiban dan
penggusuran yang
dilakukan oleh Pemkot. Hampir semua tempat yang digunakan
PKL pernah mengalami penertiban dan penggusuran, tetapi dari
sekian tempat yang paling parah dan menimbulkan perlawanan
dari pihak pedagang adalah Kokrosono, Sampangan, dan
Basudewo. Dari tiga wilayah ini, perlawanan yang paling seru
ditunjukkan oleh PKL Basudewo.
10

BAB I
Pendahuluan

PKL Kokrosono, yang lokasinya dekat dengan bantaran kali
Banjir Kanal Barat, pertama kali digusur serta dibongkar
bangunan dan lapaknya pada tahun 2000. Meskipun demikian,
banyak di antara mereka kembali ke tempat usaha semula.
Sesungguhnya mereka sudah dibuatkan tempat usaha baru,
yaitu sentra PKL Kokrosono, yang berada di wilayah utara
Kokrosono (sebelah utara rel kereta api), tetapi karena usahanya
sepi semenjak menempati kios baru, mereka kembali turun ke
jalanan menjajakan barang dagangan atau menjual jasanya.
“Kalau sepi begini…mana bisa hidup…uang dari mana
untuk makan, terpaksa kita jualan di tepi jalan”, demikian
ungkap pak haji Mustaqim (wawancara dengan haji
Mustaqim, 17 Juli 2010).

Pak Achmad, ketua paguyuban PKL Basudewo juga
membenarkan apa yang disampaikan oleh pak haji Mustaqim.
“Lokasi PKL Kokrosono yang berada di sebelah utara rel
kereta api memiliki 8 bangunan berlantai dua. Memang
kelihatannya enak pak, tetapi di sana banyak bermain para
preman, sehingga para pedagang takut pindah ke sana”,
timpal pak Achmad (wawancara dengan Achmad, 20 Juli
2010).

Sebagai bagian dari penertiban PKL yang menempati
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kaligarang, pemerintah kota
Semarang juga membongkar bangunan atau kios permanen
yang ada di sepanjang sungai Kaligarang. Pada bulan Maret
2010, bangunan atau kios PKL di pinggiran sungai Kaligarang,
tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan lama, juga
dibongkar. Para pedagang dipaksa untuk keluar dari lokasi.
Sebagian PKL pindah ke tempat lain. Namun demikian,
sebagian lainnya kembali menempati tempat usaha mereka
meskipun harus menggunakan lapak atau kios tidak permanen
yang mudah dipasang dan dibongkar. Di tengah-tengah
aktivitas proyek dengan lalu lalang truk-truk pengangkut tanah
galian sungai, mereka tetap melakukan aktivitas ekonomi, baik
pada waktu siang maupun malam hari.
11

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Wilayah Sampangan merupakan tempat favorit para PKL,
karena letaknya strategis, yakni di sekitarnya terdapat Pom
Bensin, Akademi Komputer GEGA, Akademi Sekretaris Santa
Maria, pasar tradisional Sampangan, toko Swalayan Super, serta
beberapa toko lainnya, yang pada waktu siang maupun malam
ramai lalu lintasnya. Daerah periferi atau pinggiran, baik yang
membentang ke arah utara maupun selatan juga sudah
berkembang pesat menjadi daerah pertokoan. Perempatan
Sampangan, yang di dekatnya terdapat pasar Sampangan (lama),
merupakan lokasi yang tidak pernah sepi dari aktivitas ekonomi
sejak pagi hingga malam hari.
Basudewo sebagai sentra PKL mebel digusur Pemkot
Semarang pada bulan Juni dan Desember 2010. Namun
demikian, para PKL tetap nekat menjajakan barang dagangan di
bekas reruntuhan bangunan yang dihancurkan Pemkot.
Meskipun akhirnya mereka harus angkat kaki dari lokasi
berdagang, tetapi di sana sini masih terdapat beberapa pedagang
yang menjajakan dagangannya di tengah lalu lalang kendaraan
proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Akibat penataan tanah di sebelah kanan dan kiri sungai,
sebagian pengrajin mebel pindah ke sentra PKL Kokrosono,
sebagian lagi tidak diketahui lagi kemana mereka harus
menjalankan usahanya, dan sebagian kecil, yaitu pedagang
bensin, penjual minuman, penjual rokok dan makanan kecil,
pengrajin mebel, serta penjual jasa bengkel motor, yang
jumlahnya 5 orang masih nekat berdagang di antara gundukan
tanah, timbunan batu, cetakan beton, dan begu dan alat-alat
berat proyek. Inilah yang disebut dengan tipikal perlawanan
atau resistensi orang-orang pinggiran atau rakyat kecil.
Perlawanan mereka tidak dengan melakukan aksi fisik dengan
membawa senjata tajam atau batu seperti halnya para preman
yang sedang tawuran, tetapi lebih pada sikap membangkang
untuk tetap berjualan di lokasi yang dilarang oleh pemerintah
kota Semarang.
12

BAB I
Pendahuluan

Pedagang Kaki Lima (PKL) yang oleh Dinas Pasar disebut
“PKL tidak sesuai Perda dan SK Walikota” ini (PKL liar)
memiliki karakteristik yang berbeda dengan “PKL yang sesuai
Perda dan SK Walikota” atau PKL terorganisasi, tertata, atau
tertib. PKL liar tidak hanya terdapat di sepanjang sungai
Kaligarang, tetapi juga terdapat di ruas-ruas jalan di kota
Semarang. Kepatuhan mereka terhadap kebijakan pemerintah
oleh pihak Pemkot dinilai lebih rendah ketimbang PKL yang
terorganisasi. Mereka ini tidak disiplin, bandel, dan sulit
diatur”, kata pak Azis, Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Semarang.
Pada saat terjadi penertiban dan penggusuran, para PKL
biasanya bermain kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP.
Ketika tergusur, mereka menepi. Ada beberapa yang melakukan
perlawanan terhadap upaya penggusuran yang dilakukan oleh
petugas Satpol PP. Setelah keadaan reda (aman), mereka
kembali lagi ke tempat berdagang semula, seperti yang
diperlihatkan PKL Kokrosono, Basudewo, dan Sampangan.
Praktik kucing-kucingan ini merupakan taktik yang banyak
digunakan PKL menghadapi tindakan penggusuran dari petugas
Satpol PP. Taktik ini diperlihatkan pula oleh PKL yang
berdagang di jalan Margonda Depok, sebagaimana diteliti oleh
Siswono (2009). Ketika petugas keamanan datang, PKL tidak
berdagang, tetapi begitu mereka pergi, PKL mulai membuka
lapaknya.
Perlawanan PKL memiliki tipikal yang tidak jauh berbeda
dengan kelompok masyarakat kecil lainnya. Motif perlawanan
tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. PKL melawan
kebijakan pemerintah karena
mereka merasa kebijakan
tersebut tidak menguntungkan mereka. Tanpa ruang hidup,
mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sikap membangkang, tidak mau dipindah, dan terkadang
melawan dengan kekerasan mereka lakukan, karena hanya
dengan perlawanan ini mereka dapat bertahan hidup di lokasi
yang selama ini memberi penghidupan kepada mereka.
13

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Perlawanan rakyat kecil, dalam berbagai literatur, banyak
dilakukan oleh kaum buruh dan petani. Gerakan perlawanan
mereka bersifat masif dan banyak juga yang beralih menjadi
gerakan politik.
Dalam penelitian ini dikemukakan gerakan perlawanan
rakyat kecil di Amerika Latin dan di Indonesia untuk melihat
mengapa rakyat kecil berani melakukan perlawanan dan apa
bentuk-bentuk perlawanan mereka. Di Amerika Latin terdapat
banyak gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat bawah. Gerakan perlawanan di Meksiko, Bolivia,
Argentina, Brazil, dan di tempat lainnya, memberikan
kontribusi positif terhadap kebijakan yang diambil pemerintah,
bahkan beberapa di antaranya berhasil mengantarkan
pemimpin gerakan menjadi pemimpin pemerintahan.
Di Argentina terdapat gerakan buruh yang sangat terkenal,
yaitu Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP).
Petras (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2001 meledak aksi
nasional buruh pengangguran yang amat terorganisasi. Lebih
dari 100.000 orang menyusuri 300 jalan raya di seluruh
Argentina. Para buruh pengangguran berhasil mengorganisasi
aksi pendudukan atas jalan raya di seluruh kota Buenos Aires.
Aksi ini berhasil, karena adanya dukungan dan kerjasama
dengan berbagai serikat buruh sektoral. Aksi yang dilakukan
buruh pengangguran ini diikuti pula oleh berbagai komunitas
penduduk dan kelas sosial, seperti pedagang lokal, pegawai
pemerintah daerah, pegawai rumah sakit, guru, pensiunan, dan
kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia.
Bentuk perlawanan yang ditunjukkan buruh pengangguran
dalam aksinya menentang pemerintah bervariasi, mulai dari
pemogokan, pernyataan sikap, demonstrasi, pendudukan,
blokade jalan, dan protes. Perlawanan yang dilakukan buruh
pengangguran disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
bercorak neoliberal, yang ditandai oleh swastanisasi dan PHK
14

BAB I
Pendahuluan

besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya pengangguran
buruh (Petras 2005).
Gerakan perlawanan lain di Amerika Latin yang memiliki
kisah sukses serupa di Argentina adalah Gerakan Petani Tanpa
Tanah di Brazil atau Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem
Terra/Landless Workers Movement, disingkat MST (Wilson
2005; Wolford 2005). Cita-cita utama dari MST adalah (1)
berjuang untuk reformasi agraria yang mendistribusikan tanah
kepada petani yang akan menggarapnya, (2) menciptakan
pembangunan masyarakat yang adil dan setara (Wolford 2005).
Gerakan perjuangan MST mendapatkan dukungan luas dari
berbagai gerakan dan jaringan HAM, agama, dan serikat buruh.
Kemiskinan dan kelaparan di desa-desa dan kota-kota di
Brazil, merupakan penyebab utama mengapa MST berjuang
melawan pemerintah. Kemiskinan penduduk desa dan kota
tersebut, utamanya disebabkan oleh kepemilikan tanah yang
timpang antara kelompok orang kaya dan kelompok masyarakat
miskin. Sebagaimana dilaporkan Wilson (2005), kelompok
petani kecil yang jumlahnya 30,4% dari seluruh petani di Brazil
hanya menguasai 1,5% dari seluruh tanah pertanian yang ada
di Brazil; sedangkan petani kaya atau kapitalis yang jumlahnya
hanya 1,6% dari jumlah petani di Brazil menguasai 53,2% dari
seluruh tanah pertanian di negeri samba tersebut. Penguasaan
tanah yang timpang ini diperparah lagi dengan tidak diolahnya
tanah para petani kaya seluas 42,6%. Di antara pemilik tanah
dengan luas 1.000 hektar ke atas, 88,7% areanya tidak
dimanfaatkan. Tanah-tanah yang ditelantarkan inilah yang
memicu kemiskinan dan kelaparan di Brazil.
Terbentuknya MST disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1)
krisis ekonomi pada akhir tahun 1970-an yang mengantarkan
pada akhir kejayaan industri Brazil, (2) perubahan orientasi
dalam Gereja Katolik, dengan meluasnya teologi pembebasan,
berkembangnya gereja basis, dan hadirnya para uskup, romo,
15

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dan suster progresif, (3) meningkatnya iklim perlawanan
menentang kediktatoran militer pada akhir tahun 1970-an.
Gerakan perlawanan MST dimulai dengan aksi pendudukan
tanah di Brazil di daerah selatan, utara, dan timur laut
sepanjang tahun 1978 hingga 1983. Semua gerakan dilakukan
secara terencana dan diorganisasi oleh para aktivis di tingkat
lokal. Aliansi yang dilakukan oleh MST dengan kelompok
buruh, gereja, Asosiasi Jurnalis Brazil, dan Partai Buruh Brazil
(Partido do Trabalhadores), berhasil mengorganisasi 151.427
keluarga kaum tak bertanah, dan mengambil alih tanah seluas
21 juta hektar (Wilson 2005). Sungguh sebuah pencapaian yang
luar biasa.
Menjelang tahun 1990-an, MST telah memiliki cabang
organisasi di 23 negara bagian, dan sejak tahun 1984 MST
beranggotakan 250 ribu keluarga yang tinggal di 1600 lokasi
pemukiman. Jaringan sosial yang dibangun MST dengan
berbagai elemen masyarakat merupakan salah satu kunci
keberhasilan gerakan perlawanan MST.
Tidak seperti halnya kebanyakan gerakan perlawanan, MST
di Brazil bukan sekedar gerakan perlawanan yang begitu tujuan
tercapai, mereka lalu bubar. MST berhasil membangun model
ekonomi pedesaan di Brazil, yaitu:
1. melakukan reformasi agraria,
2. mengusahakan jaminan pangan bagi rakyat Brazil,
3. memperkuat pertanian keluarga,
4. mempromosikan koperasi agroindustri,
5. meningkatkan standar kehidupan,
6. membuka lapangan kerja,
7. meningkatkan akses atas pendidikan dasar,
8. membangun kebijakan untuk melindungi lingkungan
hidup,
9. pengolahan tanah semi-kering,
10. pengembangan sektor agrikultur publik,
16

BAB I
Pendahuluan

11. pengembangan model teknologi baru, dan
12. mendukung industrialisasi padat karya (Wilson 2005).
Di Indonesia, gerakan perlawanan masyarakat terhadap
pemerintah dan perusahaan yang mendapat perlindungan dari
pemerintah cukup banyak. Dalam penelitian ini, diambil dua
contoh gerakan perlawanan yang menyita perhatian dari media
massa, yaitu gerakan perlawanan masyarakat menentang
keberadaan PT. Indorayon (PT. Toba Pulp Lestari) pada tahun
1988-2000-an dan gerakan perlawanan Paguyuban Buruh
Bangkit (PBB) Serang pada tahun 1999-2000.
Gerakan masyarakat melawan PT. Indorayon berlangsung
di Tapanuli Utara, Sumatera Utara sejak tahun 1988. PT.
Indorayon merupakan perusahaan raksasa penghasil pulp dan
rayon di Indonesia. Untuk penyediaan bahan bakunya,
perusahaan tersebut mengeksploitasi hutan dan lingkungan
secara tidak bertanggung jawab.
Sejak awal berdirinya, PT. Indorayon ditentang dan
diprotes oleh masyarakat. Penolakan tersebut didasarkan atas
ketakutan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan operasi
Indorayon terhadap kelestarian lingkungan hidup dan ekonomi
masyarakat (Situmorang, dkk. 2010).
Dampak operasi PT. Indorayon, utamanya di Kecamatan
Porsea Tapanuli Utara adalah berupa limbah cair, padat, dan gas
yang mencemari air, tanah, dan udara di sekitar wilayah yang
dihuni penduduk Porsea. Dampak serius yang dapat dicatat oleh
Manalu (2009) dan Situmorang, dkk. (2010) adalah (1)
terbunuhnya penduduk yang tidak bersalah, (2) meningkatnya
gangguan kesehatan masyarakat, karena tercemarnya sungai
Asahan dan tercemarnya udara, (3) terancamnya eksistensi
hukum adat dan masyarakat adat Batak, (4) konflik horizontal,
karena pro dan kontra terhadap PT, Indorayon, (5) kerusakan
dan pencemaran lingkungan, serta (5) sawah menjadi rusak dan
kering.
17

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Perlawanan terhadap PT. Indorayon tidak hanya dilakukan
oleh kaum laki-laki, tetapi juga ditunjukkan oleh ibu-ibu,
terutama di desa Sugapa yang merasa tanah adatnya dirampas.
Gerakan perlawanan masyarakat di Tapanuli Utara memperoleh
dukungan dari lembaga-lembaga agama, seperti HKBP HKI,
GKPI, GKPS, dan Gereja Katolik, NGO, baik level lokal,
nasional, maupun internasional, serta tokoh-tokoh intelektual,
seperti Robert Simanjuntak (ITB), Tunggul Sirait (UKI Jakarta),
Alexander Manurung (peneliti tanah agroklimat), Jansen
Silalahi (USU Medan), J.M. Sitanggang (peneliti Agronomi) dan
Bungaran Antonius Simanjuntak (Unimed). Hal ini
menunjukkan bahwa jaringan sosial yang dibangun oleh
gerakan memberikan peran menguatnya tuntutan masyarakat
terhadap pemerintah maupun perusahaan.
Atas dukungan dari berbagai pihak tersebut, masyarakat
mengajukan tuntutan agar PT. IIU ditutup. Tuntutan
masyarakat yang dikenal dengan Tritura Medan itu,
selengkapnya adalah sebagai berikut (1) bebaskan rakyat yang
tidak bersalah, (2) tutup PT. IIU/tolak PT. TPL, dan (3) stop
kekerasan, hentikan kesewenang-wenangan, dan tarik aparat
keamanan dari desa-desa (Situmorang, dkk. 2010:16).
Gerakan perlawanan masyarakat yang memakan waktu
puluhan tahun tersebut memperoleh hasilnya, dengan
ditutupnya untuk sementara waktu operasi PT. Indorayon oleh
Presiden Habibie. Kebahagiaan masyarakat Tapanuli Utara
dengan ditutupnya Indorayon tidak berlangsung lama, karena
pada masa pemerintahan Megawati, PT Indorayon diizinkan
beroperasi kembali dengan nama baru, yaitu PT. Toba Pulp
Lestari. Pemberian izin tersebut, didasarkan pada keterangan
pemerintah, bahwa limbah yang berbahaya bagi penduduk
adalah limbah rayon, sedangkan limbah pulp tidak berbahaya,
sehingga Indorayon diperbolehkan berdiri dengan nama dan
usaha baru, yaitu PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL).
18

BAB I
Pendahuluan

Sikap tidak konsisten dan pemihakan pemerintah terhadap
investor yang telah menyengsarakan rakyat, menimbulkan
perlawanan dari masyarakat. Aksi perlawanan yang
ditunjukkan warga Porsea dan sekitarnya bermacam-macam,
mulai dari aksi duduk di Simpang Siguragura, aksi melarang
masuk kendaraan yang mengangkut bahan dan kayu ke lokasi
PT. TPL, aksi protes ke Kantor Camat Porsea, demonstrasi di
depan Kantor Bupati, DPRD, dan PN Tarutung.
Banyak cara atau strategi yang ditempuh pemerintah dan
perusahaan untuk meredam gerakan perlawanan masyarakat di
Tapanuli Utara, di antaranya adalah melaksanakan program
community development dengan memberi bantuan beasiswa,
pemberian bibit, dan lain-lain, yang tujuannya adalah untuk
meredakan kemarahan kekecewaan masyarakat. Hasilnya, tidak
diduga, masyarakat terpecah menjadi dua, yaitu kelompok yang
pro kehadiran PT. TPL dan kelompok yang kontra PT. TPL.
Pihak perusahaan berharap agar makin banyak kelompok
masyarakat yang pro atau setuju dengan kehadiran PT. TPL.
Selain ditempuh strategi pengembangan komunitas, PT.
TPL juga menerapkan kekerasan guna melumpuhkan gerakan
perlawanan rakyat. Aksi teror, yang disertai penggeledahan dan
penangkapan terhadap sejumlah orang dan kekerasan dari
aparat yang disewa perusahaan, mengakibatkan banyak dari
warga masyarakat yang mati karena tertembak atau ditembak.
Tindakan perusahaan tersebut, menyebabkan gerakan
perlawanan melemah.
Gerakan perlawanan buruh di Serang yang dilakukan oleh
buruh PT. Pelita Enamel Ware Industri (PT. PLE) merupakan
aksi fenomenal yang mendapat sorotan dari publik. Gerakan
perlawanan buruh yang didukung penuh oleh Forum Solidaritas
Buruh Serang (FSBS) dipicu oleh kekecewaan buruh terhadap
upah minimum (UMK) yang terlalu rendah (Cahyono 2010).
Pada tanggal 1 Desember 2005, SP/SBS melakukan aksi unjuk
19

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

rasa dengan mengatasnamakan aliansi. Unjuk rasa tersebut
memiliki tuntutan yang jelas, yaitu menuntut Bupati Serang
agar menaikkan UMK sesuai dengan kebutuhan hidup layak
(KHL).
Demonstrasi demi demonstrasi dilakukan oleh FSBS, hingga
pada tahun 2009, tuntutan buruh Serang terpenuhi, yaitu
diterbitkannya Perda Nomor 7 Tahun 2009 tentang
Ketenagakerjaan. Meskipun telah terbit Perda Ketenagakerjaan,
tetapi karena kesejahteraan buruh belum membaik, dibuktikan
dengan masih rendahnya upah yang mereka terima, FSBS
bersama Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang (ASPSBS)
mengajukan tuntutan dalam salah satu demonstrasi yang
dilakukan, agar pemerintah daerah menaikkan upah minimum
regional yang dapat mensejahterakan buruh.
Gerakan perlawanan wong cilik juga dilakukan oleh para
pedagang kecil dengan cara atau bentuk perlawanan yang
berbeda dengan strategi gerakan yang dilakukan oleh buruh
atau pun petani. Banyak perlawanan buruh dan petani yang
diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara.
Tidak jarang timbul korban jiwa. Sebagai contoh, sengketa
lahan antara penduduk Mesuji Lampung dengan PT. Barat
Selatan Makmur Investindo (BSMI) pada bulan November 2011
telah menewaskan seorang warga dan 6 orang warga lainnya
menderita luka tembak. Konflik dan kekerasan masih berlanjut
dengan perlawanan lebih keras lagi dari pihak penduduk
Mesuji, yang mengakibatkan terbunuhnya 3 orang dari pihak
PT. BSMI (Anonim 2012:13).
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kecil,
memang tidak jarang diakhiri dengan kekerasan. Penelitian
disertasi yang dilakukan oleh Alisjahbana menguatkan
pernyataan tersebut. Dalam
penelitiannya tentang
Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan di Surabaya,
Alisjahbana (2006) menyimpulkan bahwa semakin represif
20

BAB I
Pendahuluan

model penataan yang dilakukan pemerintah, semakin keras pula
perlawanan yang diberikan PKL. Sebaliknya, semakin keras
sikap PKL terhadap pemerintah, berdampak pada semakin keras
pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan
yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori.

Pertama, perlawanan yang dikembangkan untuk menolak
lahirnya Peraturan daerah, dilakukan dengan melakukan
demonstrasi, meminta izin secara paksa kepada camat dan
lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan
LSM dan mahasiswa.

Kedua, perlawanan terhadap program relokasi, berupa
melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban, dan mencari
dukungan LSM dan mahasiswa.

Ketiga, perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan
dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat,
dan melakukan demonstrasi.
Berbagai perlawanan dilakukan oleh wong cilik, apakah
mereka buruh, tani, atau pun pedagang, semuanya adalah
berkaitan dengan persoalan hidup dan penghidupan mereka
atau berhubungan dengan upaya kelompok masyarakat dari
golongan ekonomi lemah untuk bertahan hidup (survival).
Keberanian mereka melakukan perlawanan, didukung oleh
organisasi atau lembaga yang memiliki power untuk melakukan
perlawanan.
Meskipun tidak sebesar gerakan perlawanan yang dilakukan
oleh GPP Argentina, MST Brazil, kelompok masyarakat petani
di Tapanuli Utara dan Kelompok Buruh di Serang, perlawanan
pedagang kaki lima (PKL) yang berlokasi di dekat sungai
Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat, tetap menarik untuk
dikaji, karena dalam beberapa hal memiliki karakteristik yang
tidak berbeda dengan gerakan-gerakan perlawanan lainnya.

21

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Berkaitan dengan kasus perlawanan yang dilakukan oleh
pedagang kaki lima (PKL) di sekitar sungai Kaligarang dan
Banjir Kanal Barat tersebut, muncul pertanyaan, apakah aksi
mereka merupakan “kecerdasan bertahan hidup” atau
merupakan bentuk perlawanan (resistensi) wong cilik, yang
dilakukan oleh PKL menghadapi kebijakan pemerintah kota
yang tidak berpihak kepada mereka. Jika hal tersebut
merupakan bentuk perlawanan (resistensi) rakyat kecil, faktor
apa yang membuat mereka berani melakukan perlawanan.
Problematika inilah yang hendak dikaji dalam penelitian
disertasi ini.
Sebelum uraian ini masuk pada
apa yang menjadi
permasalahan dan tujuan penelitian serta untuk menguatkan
argumen bahwa permasalahan tersebut layak untuk diteliti,
dalam bahasan berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian
yang relevan dengan topik penelitian atau setidaknya yang
mendukung perlunya sebuah penelitian yang memotret
kehidupan pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang.
Pengungkapan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dimaksudkan
(1) untuk mengkaji mengapa penelitian disertasi ini perlu
dilakukan, (2) untuk menentukan posisi atau memastikan
bahwa penelitian disertasi ini berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya.
Banyak penelitian yang memotret permasalahan, eksistensi,
dan masa depan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).
Dalam bagian ini akan ditampilkan beberapa hasil penelitian
yang relevan dengan eksistensi sektor informal, utamanya di
Indonesia, baik yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan
sosial (khususnya modal sosial). Aspek politiknya, yaitu
berkaitan dengan perlawanan atau resistensi PKL terhadap
kebijakan publik yang ditempuh oleh pemerintah daerah juga
dikemukakan, meskipun data penelitian tentang perlawanan
(resistensi) PKL tersebut tidak banyak.
22

BAB I
Pendahuluan

Hamidjojo (2004) dalam penelitian berjudul “Analisis
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi
Kebijakan Penataan, Pembinaan, dan Penertiban Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Surakarta”, menyimpulkan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan dalam
penataan, pembinaan, dan penertiban PKL adalah kondisi
lingkungan, komunikasi, dan perilaku pelaksana, yang
semuanya secara bersama-sama menyumbang 66,22%. Dari
kontribusi 66,22% tersebut, variabel kondisi lingkungan
menyumbang 16,68%, variabel komunikasi menyumbang
35,13%, dan variabel perilaku pelaksana memberi kontribusi
sebesar 14,41%. Dari tiga faktor penyumbang tersebut,
komunikasi memberikan sumbangan yang paling besar yaitu
35,13%.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan pemerintah daerah yang berkenaan dengan
keberadaan PKL, tidak cukup hanya dilakukan oleh aparat
pelaksana saja, tetapi juga perlu menggandeng para PKL,
misalnya dengan memahami bersama peraturan daerah yang
mengatur PKL dan berdialog secara intensif dengan mereka,
sehingga kebijakan penataan dan pembinaan PKL dapat berjalan
tanpa adanya hambatan yang berarti.
Penelitian Hamidjojo baru terbatas pada upaya melihat
faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan dalam penataan, pembinaan, dan penertiban PKL.
Hasilnya ditemukan bahwa kondisi lingkungan, komunikasi,
dan perilaku pelaksana yang menjadi faktor penentu bagi
keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Hamidjojo dalam
penelitiannya sama sekali tidak melihat modal sosial sebagai
variabel yang turut menentukan keberhasilan penataan PKL;
sedangkan penelitian disertasi ini menganalisis modal sosial
sebagai faktor penguat perlawanan (resistensi) PKL terhadap
kebijakan publik yang dibuat Pemkot Semarang.
23

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Wijayanti (2009) dalam penelitian tentang “Outcome
Kebijakan Pasca Relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo Kota
Surakarta”, menunjukkan beberapa simpulan berikut.

Pertama, proses relokasi PKL Banjarsari ke Notoharjo
dilakukan melalui tiga tahap, yaitu sosialisasi, penyiapan tempat
relokasi, dan relokasi itu sendiri.

Kedua, dampak yang ditimbulkan dari relokasi tersebut
adalah (1) PKL memperoleh keamanan, kenyamanan, dan
kepastian berusaha (bekerja) dan beralih statusnya dari PKL
tidak resmi menjadi PKL resmi, yang tidak lagi cemas
mengalami penertiban dan penggusuran dari Satpol PP, (2)
pemerintah memperoleh hasilnya dengan berkurangnya beban
dalam menangani PKL Banjarsasi serta makin rapi, tertib, dan
indahnya wilayah monumen Banjarsari yang selama ini
ditempati PKL, dan (3) berpindahnya PKL ke Pasar Notoharjo
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Semanggi,
yang dahulu masih sepi dan meningkatkan peluang usaha yang
lebih baik dengan menyerap tenaga kerja di pasar Notoharjo
dan wilayah sekitarnya.
Penelitian Wiyanti di atas baru mencermati proses relokasi
PKL Banjarsari ke Pasar Notoharjo dan dampaknya terhadap
status PKL, beban pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi.
Penelitian Wiyanti fokus pada hal-hal positif dari PKL.
Wiyanti memotret relokasi PKL di Surakarta begitu mudah,
tidak seperti halnya penelitian disertasi ini yang lebih memotret
perlawanan PKL terhadap kebijakan pemerintah kota dan
modal sosial ditengarai menjadi faktor penguat bagi perlawanan
(resistensi) PKL.
Dalam penelitian berjudul “Alternatif Kebijakan terhadap
Sektor Informal di kota Pontianak”, Sri Maryuni (2007) menarik
kesimpulan bahwa pemerintah kota Pontianak telah membuat
kebijakan dalam menata dan membina pedagang kaki lima.

24

BAB I
Pendahuluan

Kebijakan yang ditempuh meliputi (1) kebijakan struktural, (2)
kebijakan edukatif, dan (3) kebijakan relokasi.
Wujud dari kebijakan struktural, yaitu adanya ketentuan
tempat yang jelas bagi PKL sebagaimana diatur dalam
Keputusan Walikota Pontianak Nomor 217 Tahun 2000 tentang
Penunjukan Lokasi Pedagang Kaki Lima di kecamatan
Pontianak Barat dan Pontianak Selatan. Penentuan lokasi
berjualan bagi PKL tersebut diperkuat juga oleh Pengumuman
dari Walikota Pontianak Nomor 6 Tahun 2001 tentang
Larangan Membangun tanpa Izin dan Berjualan di Tempattempat Terlarang. Keputusan dan Pengumuman Walikota
tersebut merupakan jabaran dari Perda Nomor 3 Tahun 1990
tentang Penyelenggaraan Kebersihan dan Ketertiban Umum.
Dalam hal kebijakan relokasi, pemerintah kota Pontianak
telah membangun pasar tradisional, yaitu pasar Dahlia dan pasar
Mawar. Sebelum menjadi tempat relokasi PKL, dahulu sebelum
kedua pasar dibangun, tempatnya terkesan kumuh, kotor,
membuat jalan macet, dan tingkat kecelakaan lalu lintas cukup
tinggi. Namun setelah pasar dibangun dan para PKL mulai
menempati kios yang disediakan, lokasi menjadi rapi dan bersih
serta tingkat kecelakaan lalu lintas makin menurun.
Dalam rangka mendukung dua kebijakan di atas,
pemerintah kota Pontianak juga telah melakukan kebijakan
edukatif dengan memberikan bimbingan dan pembinaan
kepada PKL, baik dalam hal manajemen maupun dalam bantuan
permodalan.
Dalam implementasi kebijakan tersebut, pemerintah kota
Pontianak bukannya tidak ada perlawanan dari para pedagang
kaki lima. Perlawanan yang dilakukan PKL, menurut Maryuni
(2007), berupa perlawanan yang dikembangkan untuk menolak
lahirnya Perda, perlawanan terhadap program relokasi, dan
perlawanan terhadap penggusuran.

25

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Implementasi kebijakan penataan dan pembinaan PKL
tersebut memberikan dampak terhadap PKL, pemerintah, dan
masyarakat. Bagi PKL, kebijakan penataan dan pembinaan PKL
berdampak pada penurunan pendapatan mereka karena situasi
yang tidak menentu. Bagi pemerintah, kebijakan penataan dan
pembinaan PKL membuat daerah yang semula ditempati PKL
menjadi lebih tertib, indah, dan aman. Bagi masyarakat umum,
kebijakan pemerintah kota tersebut memberi dampak positif
maupun negatif. Dampak positifnya adalah masyarakat dapat
menikmati keindahan dan kebersihan kota serta terhindar dari
kemacetan. Bagi pengguna jasa PKL, timbul dampak negatif,
yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan barang
kebutuhan sehari-hari dengan harga murah.
Agar kebijakan penataan dan pembinaan PKL lebih efektif
dan efisien, Maryuni (2007) menyarankan perlunya
menggunakan pendekatan society participatory development.
Dalam pendekatan ini, PKL dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan pemerintah kota, termasuk kebijakan relokasi.
Harapan, suara, dan keluhan PKL hendaknya didengar dan
ditindaklanjuti, serta kebijakan penertiban yang selama ini
dilakukan secara represif, perlu diganti dengan kebijakan yang
bersifat persuasif tanpa kekerasan. Untuk mengantisipasi
perlawanan yang dilakukan oleh PKL, disarankan pula agar
pemerintah kota menggunakan pendekatan empowerment,
dengan bertindak persuasif dan lebih banyak menempuh caracara edukatif dalam membina para PKL.
Penelitian Maryuni hampir mirip dengan penelitian
disertasi ini, yakni memotret suatu kebijakan pemerintah
daerah yang berkaitan dengan relokasi terhadap PKL. Maryuni
pun menemukan adanya perlawanan yang dilakukan PKL
terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Penelitian disertasi
ini berbeda dengan hasil penelitian Maryuni, karena penelitian
disertasi ini menganalisis perlawanan (resistensi) PKL dengan
menyertakan faktor yang turut memengaruhi, yaitu modal
26

BAB I
Pendahuluan

sosial dan modal sosial inilah yang tidak dilihat oleh Maryuni
dalam penelitiannya.
Dalam penelitian tentang “Pekerja Sektor Informal dan
Pengembangan Wilayah Kota Binjai”, Tuti Hidayati (2007)
menemukan bahwa pekerja sektor informal di Binjai didominasi
oleh laki-laki, yaitu sebanyak 75 persen. Rata-rata mereka yang
bekerja di sektor informal berumur 40 tahun, 80% di antaranya
berstatus menikah dan 45,45% atau hampir setengahnya
berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Banyaknya lulusan
SMA yang terjun ke sektor informal menunjukkan betapa
sulitnya mencari pekerjaan pada sektor formal.
Responden yang diteliti Hidayati, memiliki tanggungan
keluarga 3 hingga 4 orang. Sebanyak 54,54% responden telah
menekuni usaha di sektor informal selama 1 hingga 4 tahun,
bahkan 15,91% di antaranya telah berdagang atau menjalankan
usaha selama 21 sampai dengan 25 tahun. Jam kerja pekerja
bervariasi, tetapi yang paling besar, yaitu 75% bekerja antara 5
hingga 10 jam per hari. Modal kerja pedagang bervariasi dan
ditemukan bahwa sebagian besar, yakni 56,82% memerlukan
modal antara 1 sampai 5 juta rupiah per bulan. Rata-rata omzet
atau revenue per bulan kurang dari Rp10 juta; 38,64% di
antaranya memiliki omzet 1 sampai dengan 5 juta rupiah dan
yang mempunyai omzet 6 hingga 10 juta rupiah sebanyak
34,09%.
Para pedagang yang diteliti bekerja sebagai penjual
makanan ringan, penjual minuman (termasuk es juice), dan
penjual nasi. Jumlah pembeli rata-rata 21 hingga 30 orang per
hari. Dengan menggunakan sistem SPSS, diperoleh angka rsquare sebesar 0,983, artinya 98,3% variabel pendapatan
responden dapat dijelaskan oleh variasi himpunan variabel
independen, seperti rata-rata jam kerja per hari, modal kerja,
pengalaman usaha, tingkat pendidikan, dan jenis usaha.

27

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dari penelitian Hidayati (2007) juga diperoleh temuan
bahwa keberadaan pedagang sektor informal turut mendukung
pengembangan wilayah, khususnya dalam menyerap tenaga
kerja. Jumlah tenaga kerja yang diserap (sesuai sampel
penelitian) sebanyak 84 orang, artinya 84 orang tersebut
terhindar dari situasi pengangguran. Dari sisi ekonomi, kondisi
ekonomi responden membaik, pendapatan meningkat, dan
kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.
Penelitian Tuti Hidayati tentang pe

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4