Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

(1)

207 PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Urbanisasi di kota besar merupakan surga bagi para investor untuk menanamkan sahamnya dalam kegiatan ekonomi. Mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan perumahan atau real estate, menjadi pemegang saham utama bisnis mall atau pasaraya, menjadi promotor pembangunan tempat-tempat hiburan, atau mengembangkan bisnis perhotelan. Investasi dalam kegiatan sektor formal kebanyakan diterima dan difasilitasi oleh kepala daerah kabupaten atau kota. Alasan yang dikemukakan oleh kepala daerah adalah kabupaten atau kota mereka membutuhkan dana segar untuk memacu pembangunan di daerahnya.

Bagi urban yang tidak memiliki modal dan keterampilan yang memadai terpaksa terjun menjalankan usaha sektor informal, entah menjadi tukang batu, tukang sol sepatu, tukang patri, penjual nasi, pedagang barang-barang bekas, dan pebisnis sektor informal lainnya. Para pekerja sektor informal ini menempati ruang-ruang publik yang terlarang menurut ketentuan peraturan daerah. Mereka terpaksa berdagang atau menjalankan aktivitas ekonomi informal, sebagai strategi untuk bertahan hidup.

Bab ini menjelaskan tentang mengapa banyak pekerja yang memilih bekerja pada sektor informal, khususnya sebagai pedagang kaki lima (PKL). Selain motif menjadi PKL, bagian berikut juga menunjukkan data tentang kontribusi ekonomi PKL, baik terhadap keluarga, kelompok masyarakat marginal lainnya, maupun terhadap pendapatan asli daerah. Pada bagian akhir dipaparkan tentang seluk beluk kehidupan PKL di Semarang dan dijelaskan bahwa menjadi PKL merupakan salah satu strategi untuk bertahan hidup (survival).


(2)

A. Motif Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sektor informal (PKL) perkotaan tumbuh dan berkembang berkaitan dengan implementasi model pembangunan barat yang tidak ramah terhadap masyarakat golongan bawah yang miskin, tidak terampil (un-skill), dan berpendidikan rendah.

Menurut Sutomo (1993), munculnya sektor informal perkotaan menunjukkan bahwa penerapan model pembangunan di barat dimana pertumbuhan industri di kota yang diharapkan dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi dan mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang berpindah dari pedesaan, ternyata tidak cocok dengan kondisi Indonesia, karena proses pembangunan yang terjadi, terbukti tidak disertai dengan transformasi sektoral dari agraris ke sektor industri atau formal.

Rachbini dan Hamid (1994:121) dalam penelitiannya mengenai ekonomi informal perkotaan di Surabaya dan Jakarta, menyimpulkan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewirausahaan yang mereka miliki. Ada tiga faktor yang menyebabkan mereka masuk ke sektor informal.

Pertama, tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha sektor ini.

Kedua, persyaratan modal relatif kecil.

Ketiga, potensi keuntungan cukup baik. Penelitian Rachbini dan Hamid (1994) juga menemukan bahwa banyak dijumpai istri pegawai dan karyawan rendahan membuka usaha sektor informal sebagai usaha sampingan keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini tampak bahwa usaha sektor informal yang dilakukan para ibu dan karyawan rendahan, terbukti berperan sebagai penyangga ekonomi keluarga di sektor formal yang subsisten.


(3)

Catatan Mustafa juga menunjukkan hal serupa. Sektor informal menjadi tempat berlindung bagi komunitas penduduk Suralaya yang mayoritas beretnik Betawi, yang telah dimarginalisasi atau dipinggirkan oleh kekuatan dunia luar yang dominan dan perubahan sosial yang tak dapat dihindari di wilayah di mana mereka berdomisili (Mustafa 2008:102).

Alisjahbana (2006:3-9) dalam penelitiannya, mengemuka-kan tujuh faktor yang menyebabmengemuka-kan atau melatarbelamengemuka-kangi para urban memilih sektor informal sebagai aktivitas pekerjaan untuk menggantungkan hidup.

Pertama, terpaksa atau tiada pekerjaan lain. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mau tidak mau dan suka tidak suka, satu-satunya pilihan yang ada adalah bekerja di sektor informal. Sebagian responden yang diwawancarai, menyatakan bahwa mereka terjun di sektor informal bukan karena tertarik, melainkan karena keadaan terpaksa demi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan ini merupakan satu-satunya pekerjaan yang bisa digunakan untuk memperoleh penghasilan, sehingga dilakukan oleh para PKL.

Kedua, dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak sedikit yang menjadi PKL karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) ketika terjadi krisis moneter. Dampak krisis moneter 1997 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis lainnya menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan memberhentikan sebagian besar karyawannya. Di antara karyawan yang diberhentikan, ada yang memperoleh pesangon dan ada juga yang tidak. Bagi mereka yang memperoleh pesangon, dengan berbekal sedikit modal mereka terjun ke jalan menjadi PKL. Pilihan menjadi PKL barangkali merupakan pilihan sementara, tetapi ketika banyak diantara mereka yang telah menikmati pekerjaan dan hasilnya, maka menjadi PKL merupakan satu-satunya pilihan guna menyambung hidup.


(4)

Ketiga, mencari rezeki halal. Di mata golongan masyarakat miskin perkotaan, gengsi tampaknya tidak lagi dihiraukan. Ketika tidak ada upaya lain yang lebih baik, maka PKL menjadi kunci penyelamat. Yang penting bagi mereka adalah mencari rezeki secara halal sesuai dengan ketentuan agama, norma hukum, dan tata tertib masyarakat. Daripada mereka melakukan pekerjaan haram atau tidak patut, misalnya meminta-minta, menipu, atau merampok, lebih baik mereka bekerja sebagai pedagang kaki lima.

Keempat, mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Banyak pekerja pabrik atau perusahaan yang memilih keluar dari pekerjaannya dengan menekuni usaha sendiri. Mereka yang memiliki keterampilan, misalnya membuat stempel memilih menjadi PKL karena merasa tidak senang bekerja di pabrik. Bagi mereka, bekerja dengan orang lain dipandang hanya menjadi beban. Mereka melirik kaki lima sebagai tempat mengais rezeki, di mana mereka bisa mengatur pekerjaannya sendiri. Profit yang diperoleh bersifat langsung dan dapat dinikmati segera. Hasil atau keuntungan tidak dapat dinikmati segera, jika mereka bekerja di pabrik atau perusahaan. Bahkan dengan melepaskan diri dari genggaman kaum kapitalis, para PKL dapat meningkatkan etos kewirausahaannya.

Kelima, menghidupi keluarga. Sejumlah PKL banyak yang berjualan VCD, kaset, striker, topi, kacamata, dan asesoris lainnya. Berdagang barang-barang tersebut dipandang para PKL sebagai pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan. Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, umumnya hasil atau keuntungannya digunakan untuk menghidupi keluarga, membiayai sekolah anak-anaknya, membantu biaya sekolah adik-adiknya, atau bahkan mengirimi uang kepada orangtua yang ada di desa.

Hal ini sesuai dengan penelitian Sethuraman (1981) yang menemukan bahwa sebanyak 72,29% pekerja sektor informal


(5)

melakukan usahanya dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Resmi (1995:63) menemukan hal yang sama bahwa PKL bekerja tiap hari tidak lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari anggota keluarganya. Adanya tanggungan keluarga yang harus dihidupi menjadi motivasi kuat mengapa para PKL mampu bertahan di jalan menghadapi kekerasan dari aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Keenam, pendidikan rendah dan modal kecil. Banyak orang yang memilih menjadi PKL karena tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga siapapun dapat masuk kesana. Sebagaimana diungkapkan Firdausy (1995:1), bahwa sektor informal mempunyai karakteristik usaha yang relatif tidak memerlukan modal besar, keterampilan tinggi, relatif mudah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat beresiko kecil. Dengan demikian, para urban memilih menjadi PKL, selain karena tidak membutuhkan syarat pendidikan, keahlian, dan keterampilan khusus, juga tidak membutuhkan modal yang besar. Justru semangat dan daya tahan yang tinggi yang diperlukan bagi siapapun yang berhasrat masuk menjadi PKL merupakan motif utama mengapa para urban tetap bertahan di jalan.

Ketujuh, kesulitan kerja di desa. Langkanya kesempatan kerja di desa dan tiadanya kesempatan kerja di kota bagi yang tidak berpendidikan dan tidak terampil, menjadi alasan mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL. Bagi kaum urban atau migran, kota merupakan tujuan akhir ketika mereka tidak dapat tertampung di desa, dan kota, meskipun padat, masih bisa dicari titik celahnya, untuk dimasuki oleh para urban dengan menjadi pedagang kaki lima (PKL). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Mustafa (2008:9) bahwa kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal, karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenuhi di desa.


(6)

Tidak jauh berbeda dengan beberapa hasil penelitian tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para urban bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pedagang kaki lima, motif para pedagang kaki lima (PKL) yang bekerja di Semarang pun bervariasi. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh motif mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL, yaitu (1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha mandiri, (3) tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah menjadi tradisi keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja lebih mudah, dan (7) karena usia sudah tua.

Modal kecil atau terbatas menjadi motif dominan mengapa pedagang kaki lima (PKL) bekerja pada sektor informal dan nekat berdagang di daerah terlarang. Seperti diakui Minasat (49 tahun ), pedagang aneka loster atau ventilasi cor yang berlokasi di Sampangan: “ya, bagaimana lagi ya mas, karena modal kecil dan usaha ini lumayan besar keuntungannya, maka saya nekat bekerja sebagai pedagang yang menempati tepi jalan ini” (wawancara dengan Minasat, 20 Juni 2010).

Kecilnya modal sebagai alasan PKL berdagang di tepi jalan juga dibenarkan bu Hermin (42 tahun): “modal saya kecil mas, saya dan keluarga butuh hidup…sehingga terpaksa bekerja sebagai pedagang nasi dengan membuka lapak di Sampangan” (wawancara dengan bu Hermin, 20 Juni 2010).

Ketika ditanya, mengapa Satrio Wibowo (29 tahun) bekerja sebagai pedagang kaki lima, jawabannya adalah karena ingin usaha sendiri. Sebagai seorang pedagang, Satrio berkeinginan untuk membuka rumah makan megah di tengah kota, sebuah cita-cita yang bukan tidak mungkin akan dapat terwujud asal keinginan tersebut didukung oleh kerja keras.

Mbah Sabar (60 tahun) yang sudah puluhan tahun berdagang es tape santan di Basudewo memiliki modal yang tidak begitu banyak untuk menjalankan usahanya. Modal kerjanya hanya 1,5 juta rupiah dan yang menarik, mbah Sabar


(7)

tidak pernah hutang. “Wis dicukup-cukupke mas, wong cilik yo ngene iki isane”, demikian tutur mbah Sabar. Menurut mbah Sabar, berapa pun uang yang dipunyai akan habis, sehingga dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting adalah bagaimana cara mengelola uang tersebut. “Kita harus pandai-pandai mengaturnya”, kata mbah Sabar. Meskipun memiliki penghasilan yang tidak seberapa, mbah Sabar dalam berdagang es tape santan, dibantu seorang anak laki-laki dalam melayani pembeli. Anak ini bukan anaknya sendiri, tetapi mbah Sabar sangat memperhatikan kebutuhannya. Dalam seharinya anak tersebut diberi upah Rp10.000,00, sedangkan untuk makan, minum, dan tidur ditanggung oleh mbah Sabar.

Keinginan untuk mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain dalam bekerja, merupakan dorongan atau motif mengapa banyak orang terjun ke sektor informal, khususnya bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL). Mbah Sumiyati (65 tahun) misalnya, yang beralamat di jalan Dorowati 6, memilih berjualan nasi gule di Kokrosono. Ketika ditanya mengapa menjadi PKL yang beradagang nasi gule di Kokrosono, mbah Sum, panggilan akrabnya, memberi jawaban demikian: “saya sudah tua mas…mau kerja apalagi, bisanya ya jualan nasi, modalnya tidak banyak, tetapi keuntungannya lumayan” (wawancara dengan mbah Sum, Minggu, 3 Oktober 2010).

Pada awal memulai usahanya, mbah Sum membutuhkan modal 3 juta rupiah, untuk beli gerobak 2 juta rupiah dan peralatan lainnya 1 juta rupiah. Kata mbah Sum, “ini belum termasuk biaya untuk bahan dagangan”. Modal tersebut tidak pinjam, tetapi merupakan modal sendiri. Menurut mbah Sum, dengan berjualan sendiri, meski ia dibantu seorang pelayan, mbah Sum merasa seperti majikan, tidak harus tergantung kepada orang lain, apalagi menjadi “suruhan” (pembantu) orang lain. “Usaha mandiri lebih enak mas”, imbuh mbah Sum.


(8)

Mbah Salim (67 tahun) yang sebelumnya pernah menjadi tukang becak, memilih bekerja sebagai pedagang kaki lima, karena selain sudah tua umurnya, juga tidak ada pilihan lain. “ya, bagaimana lagi mas, umur sudah tua…keterampilan tidak ada, ya dagang saja mas. Begini ini mas, dagang kaca mata dan barang rongsokan, meskipun hasilnya kecil…yang penting bisa untuk hidup…(wawancara dengan mbah Salim, 3 Oktober 2010). Mbah Salim pasrah dengan nasibnya sebagai pedagang kaki lima. Satu-satunya pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai pedagang kaki lima, apalagi jualan di Kokrosono ramai pembeli. Jika dilihat dari etos kewirausahaan yang demikian tinggi, maka para PKL sesungguhnya dapat disebut sebagai pengusaha, hanya saja mereka tidak tergolong pengusaha besar yang memiliki modal besar, mempunyai jumlah karyawan ribuan, tempat produksi barang-barang permanen, memiliki jaringan ekonomi yang kuat, dan mempunyai akses terhadap birokrasi pemerintah dan lembaga finansial. Para PKL memang memiliki modal, itu pun jumlahnya tidak banyak, demikian pula alat-alat produksi yang dimiliki juga tidak memadai. Para pedagang nasi di Sampangan misalnya, alat-alat produksi yang dipunyai di antaranya: meja, kursi, tempat nasi, sayur, dan lauk pauk, kompor gas, piring, sendok, garpu, dan peralatan lain yang mendukung usahanya.

Tidak seperti halnya pengusaha besar yang memiliki tanah dan pabrik, para PKL yang berdagang nasi hanya mempunyai lapak dan tanah untuk mendirikan lapak merupakan milik pemerintah. Tanah yang mereka tempati pun tidak memiliki alas hak. Di Sampangan terdapat seorang pedagang yang menggunakan mobil untuk berdagang, yaitu penjual pakan burung. Lainnya, menggunakan lapak yang mudah dibongkar untuk menjalankan usahanya.

Para pengusaha besar mempunyai jumlah karyawan ribuan, sedangkan para PKL hanya memiliki 2 hingga 3 orang yang


(9)

membantu mereka berdagang atau menjalankan usahanya. Banyak juga PKL yang tidak memiliki karyawan, karena usahanya dilakukan secara mandiri atau sendiri tanpa bantuan orang lain, seperti halnya PKL liar yang berdagang di Kokrosono.

Tidak jauh berbeda dengan para PKL yang berdagang di Sampangan, PKL yang menjalankan usaha di Basudewo dan Kokrosono juga memiliki modal yang kecil. Rata-rata mereka tidak memiliki kios. Sedikit di antara mereka yang memiliki kios semi permanen untuk berjualan. Di Basudewo hanya ada 7 orang pedagang yang memiliki kios semi permanen, yakni seorang pedagang nasi, dan 2 orang yang menjalankan usaha bengkel sepeda motor, dan 4 orang pedagang mebel.

Dari sekian pedagang, ada di antara mereka yang menggunakan mobil dan sepeda motor roda tiga merk Tossa untuk tempat berdagang. Di Basudewo ada 2 pedagang yang menggunakan mobil untuk berdagang, yakni pedagang kebutuhan sehari-hari, seperti roti, snack, air mineral, gula, rokok, dan lain-lain. Di Kokrosono hanya ada 1 orang yang menggunakan mobil untuk berdagang dan 2 orang menggunakan sepeda motor roda tiga untuk berjualan. Lainnya menggunakan lapak yang mudah dibongkar. Di Kokrosono kebanyakan pedagang berjualan dengan cara lesehan, yakni menggelar tikar atau alas seadanya untuk menempatkan barang dagangan.

Inilah tipikal PKL, yang oleh penguasa kota dipandang sebagai pengganggu ketertiban, tetapi jika dilihat dari sisi ekonomi, mereka adalah para pejuang dan entrepreneur yang tangguh, sebab dengan modal kecil dan peralatan seadanya, mereka tetap mampu bertahan hidup. Mereka tidak mengenal krisis, seperti halnya para pengusaha besar di Indonesia yang bangkrut gara-gara krisis moneter tahun 1997. Ini berarti tingkat kompetisi dan keuletan para PKL tidak kalah


(10)

dibandingkan para pengusaha besar, terbukti bisnis mereka masih berlanjut meskipun harus hidup dalam suasana was-was, karena sewaktu-waktu bisa mengalami penertiban dan penggusuran dari Satpol PP.

Motif para pedagang kaki lima (PKL) menjalankan usaha perdagangan dan jasa informal umumnya berkaitan dengan aspek ekonomi. Yang dimaksudkan dengan ekonomi dalam penelitian ini adalah bagaimana para pedagang kaki lima (PKL) dengan sumber daya yang terbatas, seperti pendidikan yang umumnya rendah, keterampilan tidak ada, dan modal usaha (kapital) kecil, dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus tergantung kepada orang lain. Para pedagang kaki lima (PKL) yang menjalankan usaha di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono pada umumnya didorong untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, membeli pakaian, dan lain-lain.

Kebutuhan keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan minum, tetapi juga untuk biaya pendidikan anak-anak. Seperti dituturkan pak Mulyono (47 tahun), pedagang alat-alat pertukangan, pertanian dan rumah tangga yang sehari-hari berdagang di Kokrosono, di bawah ini.

“saya berdagang di sini…ya terpaksa pak, kalau tidak untuk memenuhi kebutuhan keluarga tidak mungkin saya lakukan. Cari pekerjaan susah, saya sudah cukup tua, misalnya kerja di proyek…tenaga saya sudah tidak kuat lagi, apalagi saya pernah sakit lumpuh, pernah hampir mati…ya kerja jualan seperti ini saja pak. Saya dan istri harus menghidupi empat anak, semuanya sekolah, yang tiga sudah kuliah, sedangkan satunya yang paling kecil masih di SMA. Bapak tahu sendiri…bayar kuliah dan sekolah sangat mahal…untung otak anak saya encer pak dan tahu diri kalau orang tuanya tidak punya. Saya tidak pernah menabung, karena hasil penjualan, selain untuk kulakan, dipakai untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan kuliah dan sekolah anak-anak. Untuk bayar


(11)

uang gedung (sumbangan pembinaan lembaga) saja jutaan pak…saya harus utang dengan menggandaikan 6 sepeda motor yang saya miliki” (wawancara dengan Mulyono, tanggal 24 September 2011).

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 15. Pak Mulyono sedang melayani pembeli

Sebab-sebab, motif, kondisi, latar belakang, atau alasan mengapa seseorang atau sekelompok orang terjun ke ekonomi sektor informal sebagaimana sudah diuraikan di atas sebagian besar berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial, misalnya persoalan PHK, pengangguran, kemiskinan, kewirausahaan, langkanya lapangan kerja, dan lain-lain. Para pedagang yang bekerja sebagai PKL, rela berpanas-panas dan berhujan-hujan, semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Motif lain sebagaimana dilihat Hernando de Soto, menghindari pajak misalnya, tidak terjadi di PKL yang diteliti. Hernando de Soto sebagaimana dikutip Azuma and Grossman (2008) menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang khususnya negara-negara miskin, beban pajak yang berat, fee, kinerja birokrasi yang buruk, dan dorongan penyuapan,


(12)

menyebabkan seorang pengusaha masuk ke sektor informal. Demikian pula yang ditemukan Sookram and Watson (2008) bahwa kebanyakan penghasilan yang tidak dilaporkan dari sektor informal merupakan hasil dari upaya hati-hati untuk menghindari pajak.

Sookram and Watson (2008) juga menyebutkan bahwa beban pajak yang tinggi, regulasi pemerintah yang membebani, dan pertimbangan waktu, menyebabkan pengusaha terlibat dalam aktivitas sektor informal. Salah satu pedagang kaki lima yang berjualan di Kokrosono, tepatnya di pinggir jalan dekat dengan bantaran sungai Banjir Kanal Barat, tampaknya dapat digolongkan dalam kategori yang disebutkan Soto, Sookram dan Watson.

Sektor usaha ekonomi informal ini dilakukan oleh suami isteri, dan kadang dalam aktivitas penjualan dibantu oleh putrinya yang sedang kuliah di sebuah universitas besar di Semarang. Di antara pedagang kaki lima yang lain, mereka (suami isteri) secara sekilas, dapat digolongkan ke dalam pedagang kaki lima (PKL) kaya, karena: (1) PKL tersebut berdagang dengan menggunakan dua mobil yang sifatnya mobile, dapat dipindahkan kemana saja, (2) barang dagangannya, berupa peralatan rumah tangga, seperti pacul, bendo, sabit, drei, cetok, kunci dan gembok almari dan pagar, kuas, pisau, gunting, meteran, dan lain-lain.

Setelah dilakukan wawancara yang mendalam, ternyata dugaan bahwa yang bersangkutan bekerja di jalanan adalah untuk menghindari pajak, tidaklah benar. Orang Jawa mengatakan, “nek ndelok uwong, ojo didelok lahire wae”, artinya kalau melihat orang jangan dilihat lahiriahnya saja. Pak Mul dan istri yang berdagang alat-alat pertukangan, pertanian, dan peralatan rumah tangga lainnya ini, jika dilihat sepintas dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena barang dagangan ditempatkan di dua mobil bekas miliknya, sementara


(13)

pedagang lainnya meletakkan barang-barang dagangannya di atas tanah hanya dengan beralaskan tikar atau terpal. Pada saat diwawancarai, pak Mul sedang ditagih seorang pengusaha Cina, tetapi belum bisa bayar. “Nanti ya om, dagangannya baru sepi”, kata pak Mul ketika ditagih pak Antoni, sang pemasok barang.

Pak Mul bisa membeli mobil, tetapi bukan mobil baru. Mobil dibeli dengan harga 25 juta rupiah, yang satu harganya 15 juta rupiah dan satunya lagi 10 juta rupiah. Mobil ini digunakan untuk mengangkut barang dagangan sekaligus untuk “dasaran” atau tempat menjual barang.

“Panjenengan kalau melihat saya, pasti mengira saya orang kaya ya pak…Bapak percaya atau tidak, hingga kini saya belum punya rumah…rumah ada tetapi ngontrak pak. Saya punya 4 anak, 2 di antaranya kuliah, 1 orang sekolah di SMA, dan seorang lagi masih duduk di bangku SD. Penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak. Utang saya banyak pak…tabungan uang saja saya tidak punya. Memang saya punya 6 sepeda motor…semuanya saya gadaikan 5 juta rupiah untuk membayar kuliah anak saya. Saya juga utang 10 juta rupiah untuk sewa kios di blok C Kokrosono. Untuk itu, saya harus utang rentenir, tiap bulannya harus membayar Rp1.250.000,00 selama 1 tahun. Bapak bisa bayangkan bagaimana beban yang harus saya tanggung” (wawancara dengan Mulyono, 24 September 2011).

Pedagang kaki lima jenis ini, juga dijumpai di wilayah penelitian yang lain, yakni seorang pedagang pakan burung dan ikan di Sampangan serta pedagang rokok dan makanan kecil di Basudewo.

Di Semarang, pedagang yang menggunakan mobil untuk berjualan juga banyak dijumpai di lokasi PKL Kartini, jalan Kusumawardani, jalan Kelud Utara, dan beberapa tempat lainnya. PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil, tidak hanya berdagang barang-barang peralatan rumah tangga


(14)

dan pertanian, tetapi juga berdagang sayur-sayuran, pakaian jadi, boneka, peralatan elektronika, dan yang lainnya.

Pedagang disebut terakhir ini, mulai marak di kota Semarang, terutama setelah PKL yang berdagang atau menjalankan usaha di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan Pahlawan dipindahkan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno pada tahun 2010. Pada akhir tahun 2011, PKL tidak terorganisasi yang biasa berjualan di jalan Menteri Soepeno dipindah lagi ke lokasi baru, yaitu di depan Stadion Diponegoro.

Sikap akomodatif pemerintah kota Semarang, terutama sejak dipegang walikota yang baru, yaitu Soemarmo, membuat para PKL leluasa berdagang apa saja dengan menggunakan lapak atau sarana berdagang yang bermacam-macam. Satu di antaranya adalah berdagang dengan menggunakan mobil untuk berjualan. Para PKL yang menggunakan mobil sebagai sarana berdagang dapat menjalankan usaha di lokasi PKL yang baru, yakni di jalan Menteri Soepeno (yang kemudian pindah lagi ke Stadion Diponegoro). Gambar berikut menunjukkan sepasang suami istri penjual beras dengan mobil sebagai sarana dagang.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 16. Seorang penjual beras dengan mobilnya


(15)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 17. Para pengunjung yang berdesak-desakan di

sentra PKL jalan Menteri Soepeno pada hari Minggu

Dalam perkembangannya, PKL mobile bertambah banyak, terutama yang menjalankan usaha berdagang sayur-sayuran. Di Semarang, mereka yang berdagang sayur-sayuran jumlahnya lebih dari 100 pedagang. “Benar pak, jumlahnya kurang lebih ada 100 pedagang”, kata Sunarto. Di Pasar Projo Ambarawa, Kabupaten Semarang, para pedagang sayur-sayuran tersebut jumlahnya kurang lebih 150 orang. Pagi sekali, sekitar jam 02.00 mereka sudah berkumpul di pasar untuk “kulakan” sayur -sayuran dan jam 04.00 atau 05.00 mereka sudah meluncur mendekati para pelanggannya.

Dalam dua atau tiga tahun terakhir, di Semarang muncul fenomena baru, yaitu PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil untuk sarana berjualan. Mereka kebanyakan tidak termasuk PKL miskin yang bekerja sekedar untuk bertahan hidup. Mobil yang dipakai bervariasi, ada yang menggunakan mobil Toyota Kijang, mobil Avanza, mobil Suzuki Futura, mobil sedan, mobil Daihatzu Zebra, dan banyak di antaranya yang menggunakan motor roda tiga merek Tossa yang sudah diubah bentuknya untuk keperluan berdagang.


(16)

Dagangan yang mereka jual bervariasi, mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, makanan kering, minuman, beras, pakaian, hingga alat-alat perkakas rumah tangga dan pertanian.

Dari mobil yang digunakan, penampilan penjual, dan volume barang dagangan, tampak bahwa para pedagang ini tidak tergolong kelompok masyarakat miskin. Setidaknya mereka membutuhkan modal besar untuk berdagang. Tidak diketahui apakah mereka berjualan dengan menggunakan mobil untuk mencari keuntungan semata-mata karena sulitnya bersaing dengan pelaku usaha sektor formal atau ada suatu strategi meraih untung tanpa dikenai pajak yang membebani mereka. Jika mereka berdagang untuk mencari untung, dengan menghindari pajak, maka benar kiranya apa yang diteliti oleh Sookram dan Watson bahwa banyak pengusaha terjun ke sektor informal agar dapat menghindari pajak.

Pedagang kaki lima mobile ini memiliki motif yang bermacam-macam. PKL yang sarana berdagangnya menggunakan mobil, umumnya didasari oleh motif untuk mendekati konsumen (dalam arti ekonomi). Demikian juga PKL sayur-sayuran yang menggunakan sepeda motor, motif utamanya adalah “jemput bola”, yaitu mendekati konsumen agar dagangannya cepat laku (Handoyo 2011). Selain karena cepat laku, pedagang sayur berdagang berkeliling, juga disebabkan oleh faktor lainnya, seperti mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya, lebih bebas, tidak ada retribusi, dan tidak terpengaruh oleh cuaca dagangan tetap laku.Lama kelamaan karena sering datang ke perumahan, maka pedagang sayur akhirnya memiliki pelanggan. Adanya pelanggan inilah yang membuat kelangsungan usahanya tetap terjaga. Gambar berikut menunjukkan seorang pedagang sayur keliling yang sedang melayani pembeli di sebuah perumahan.


(17)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 18. Seorang Pedagang Sayur Keliling sedang

melayani pembeli

B. Kontribusi Ekonomi Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sektor informal, khususnya PKL, dalam sistem ekonomi kontemporer (modern) bukanlah suatu gejala negatif sebagaimana argumen yang menolak PKL, tetapi lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional (Effendi 1997:1). Pedagang kaki lima (PKL) sebagai korban dari kelangkaan kesempatan kerja produktif di kota, sehingga PKL dipandang sebagai jembatan terakhir bersama berkembangnya proses urbanisasi (Mustafa 2008:57).

Dukungan mengenai peran positif dari PKL disuarakan pula oleh Morrell,dkk (2008:7) dalam kajiannya tentang sektor informal di kota Surakarta dan Manado. Hasil penelitian di Surakarta menunjukkan bahwa aktivitas sektor informal tidak hanya mengisi fungsi ekonomi, tetapi juga memberikan pendidikan, mobilitas sosial, dan meningkatkan jaminan bagi


(18)

anak-anak mereka. Harris sebagaimana dikutip Amin (2005) menunjukkan bukti bahwa efisiensi yang dimiliki oleh sektor informal dapat mengurangi tingkat kemiskinan urban.

ILO juga menemukan bahwa sektor informal mampu menyerap migran pedesaan (Amin 2005). Demikian pula, Kutcha-Helbling sebagaimana dikutip Kayuni and Richard I.C. Tambulasi (2009:81) dalam sebuah penelitian tentang pedagang kaki lima di Malawi, Afrika, mengungkapkan bahwa sejumlah besar sektor informal memiliki konsekuensi serius terhadap aktivitas sektor privat, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta konsolidasi demokrasi. Kayuni and Richard I.C. Tambulasi (2009) pun yakin bahwa sektor informal memainkan peran kritis dalam pembangunan sebuah bangsa.

Aspek positif dari sektor informal dan PKL khususnya, dapat dilihat dari kontribusi nyata yang diberikan sektor informal terhadap penyerapan tenaga kerja, GDP, dan lain-lain. Meskipun banyak pihak yang memandangnya sebagai pencipta kemacetan dan pengganggu ketertiban kota, namun sumbangan positif sektor informal dan PKL tidak diragukan.

Menurut catatan Bromley (2000), pedagang kaki lima (street vendors) berkontribusi pada aktivitas ekonomi dan penyediaan layanan. Nirathron (2006) dalam penelitian tentang PKL di Bangkok menghasilkan tiga temuan (1) PKL menciptakan kesempatan untuk memerangi kemiskinan, (2) PKL merupakan sarana untuk mengakumulasi modal, dan (3) PKL mendukung penghasilan dan keterampilan kewirausahaan. Pada tahun 1993 World Bank melaporkan bahwa sektor formal hanya mampu menampung 32% dari populasi tenaga kerja, sedangkan sisanya 68% ditampung di sektor informal. Becker (2004:3) menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor informal adalah 70% di Sub Afrika Sahara, 62% di Afrika Utara, 60% di Amerika Latin, dan 59% di Asia. Ini menunjukkan


(19)

bahwa sektor informal menampung angkatan kerja lebih banyak daripada sektor formal.

Studi terbaru yang dilakukan oleh Schneider menunjukkan bahwa sektor informal di negara-negara berkembang memberi kontribusi kepada GDP sebesar 20% hingga 70% (Sookram and Watson 2008). Di Amerika dan Jepang, sumbangan sektor informal terhadap GDP hanya 10%, tetapi di negara-negara berkembang seperti Meksiko dan Thailand sumbangannya kepada GDP jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 50% dan 70% (Quintin 2008).

Gerxhani (2004) dalam penelitiannya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan studi Schneider dan Sookram mengenai sumbangan sektor informal terhadap GNP. Di Asia, sumbangan sektor informal terhadap GNP sebesar 35%, di Amerika Latin sebesar 39%, dan di Afrika sumbangannya sebesar 44%. Data yang dikumpulkan UNESCAP dan UN-HABITAT (2008) menunjukkan bahwa di Asia, sekitar 65% dari lapangan kerja non-agricultural adalah di sektor pertanian dan kontribusi sektor informal terhadap PDRB Asia sebesar 31%.

Di India, mayoritas besar tenaga kerja bermatapencaharian dari sektor informal (Saha 2009). Hal ini dapat dilihat dari survai nasional terbaru yang menginformasikan bahwa pada tahun 2004-2005 angkatan kerja sektor informal sebanyak 422 juta pekerja atau 92% dari total angkatan kerja sebesar 457 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja sektor informal tersebut, mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima sebanyak 10 juta orang, 250.000 orang diantaranya ada di Mumbai. Pedagang kaki lima ini, menurut Saha (2009) memainkan peran penting dalam perekonomian urban di India dengan menyediakan pekerjaan, pendapatan, dan kontribusi lainnya. Tidak jauh dengan data pekerja sektor informal di India, di Venezuela pekerja yang terjun ke sektor informal lebih dari


(20)

50% dan 30% di antaranya melakukan kegiatan perdagangan (Jaffe, et al. 2007).

Di Vietnam, sektor informal berperan sebagai sumber matapencaharian dan peningkatan pendapatan setelah krisis keuangan tahun 1998 (Tran 2000). Di Bangkok, jumlah orang yang bekerja di sektor informal diperkirakan 390.600 pekerja, 26.733 orang diantaranya bekerja sebagai pedagang makanan jalanan (Nirathron 2006). Seperti halnya di Vietnam, selama krisis ekonomi di Thailand, PKL dipandang sebagai solusi bagi para penganggur dan biaya hidup yang tinggi. PKL dan sektor informal lainnya berfungsi bagai busa (sponge) yang mampu menyerap surplus tenaga kerja yang terlempar dari sektor formal.

Beberapa kajian dan penelitian di atas memberikan bukti bahwa sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL) merupakan pelaku ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh dan kontribusinya cukup besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Dalam perspektif makro, sektor informal dan PKL memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi para migran pedesaan maupun warga perkotaan, serta mengurangi atau menekan kemiskinan. Dalam perspektif mikro, sektor informal dan PKL meningkatkan pendapatan bagi pelakunya, memberikan jaminan kehidupan bagi keluarga dan anak-anaknya, serta memupuk dan mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sektor informal di Indonesia masih mendominasi seluruh angkatan kerja. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, penduduk yang menggantungkan diri pada sektor informal sebagai sumber utama pekerjaan dan penghasilan diperkirakan 60% dari total tenaga kerja (Suharto 2002:116).


(21)

Kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan sebagai pelumas ekonomi nasional. BPS menunjukkan bahwa sektor informal menyumbang sekitar 74% terhadap kesempatan kerja pada tahun 1985, meskipun pada tahun-tahun berikutnya cenderung berkurang, yaitu 72% pada tahun 1990, 65% pada tahun 1998, dan pada tahun 2002 turun lagi menjadi 49% dari 91.647.166 tenaga kerja (Mulyanto 2007).

Pada tahun 1993, persentase rumahtangga miskin yang bekerja di sektor informal sangat tinggi, yakni 74% dari total rumahtangga miskin (Suharto 2002). Sektor informal Indonesia yang diwakili oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto (PDB) tahun 2005 dan 19 persen dari total ekspor (Samhadi 2006:33).

Meskipun diindikasikan sebagai perusahaan berskala kecil, tetapi kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan. Pada tahun 2004, BPS memperkirakan bahwa jumlah entitas bisnis yang dikategorikan sebagai entitas non-legal (usaha mikro, kecil, dan menengah) adalah 17 juta unit bisnis, dengan total pekerja informal 30 juta dan total produksi senilai Rp537 milyar (Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42).

Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) terhadap PDRB Surabaya pada tahun 2003 adalah sebesar Rp292.363.548.750,00 atau 0,57% dari nilai total PDRB kota Surabaya (Zakik 2006:103). Di kota Semarang, Dinas Pasar menginformasikan bahwa pedagang kaki lima (PKL) menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 1,5 milyar pada tahun 2004 dan tahun 2005 sumbangannya meningkat menjadi 6 milyar rupiah (Simpul Semarang dalam http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid =22432).

Pada tahun 2009, Pemkot Semarang mentargetkan pendapatan dari retribusi sewa lahan dan kebersihan PKL sebesar Rp1.560.400.500,00 dan realisasinya sebesar


(22)

Rp1.394.308.200,00. Jika dibandingkan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) pada tahun yang sama sebesar Rp1.369.670.792.942,00, maka persentase kontribusi ekonomi PKL terhadap PAD sebesar 0,102%. Jumlah pendapatan dari retribusi PKL pada tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan. Data pendapatan dari retribusi PKL dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 11. Pendapatan Pemkot Semarang dari Retribusi PKL

Tahun Target (dalam Rupiah) Realisasi (dalam Rupiah)

2009 1.560.400.500,00 1.394.308.200,00

2010 2.060.399.000,00 1.587.798.725,00

2011 2.517.949.401,00 1.684.885.650,00

2012 2.832.693.750,00 -

Sumber: Wawancara dengan Pak Azis (Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Kota Semarang) tanggal 31 Januari 2012

Realisasi retribusi PKL tahun 2011 di atas lebih besar daripada realisasi sumbangan ekonomi PKL tahun 2009 dan 2010. Realisasi retribusi PKL tersebut juga lebih tinggi daripada realisasi retribusi PKL tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana dilaporkan Kamal (2008), retribusi PKL tahun 2001 sebesar Rp1,1 juta; tahun 2002 sebesar Rp1,3 juta; tahun 2003 sebesar Rp1, 5 juta dan tahun 2004 sebesar Rp1,6 juta. Tahun 2004 retribusi PKL mencapai angka Rp1,6 juta melebihi realisasi retribusi PKL tahun 2009 sebesar Rp1,4 juta. Namun dengan mengabaikan pengecualian pada tahun 2009, sumbangan ekonomi PKL terhadap pendapatan asli daerah kota Semarang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ini artinya, keberadaan PKL adalah riil memberi manfaat, sehingga fasilitasi dan pembinaan terhadap PKL sangat diperlukan agar mereka dapat mengembangkan usahanya, demi memenuhi kebutuhan keluarga dan pada gilirannya memberi sumbangan positif bagi perekonomian kota Semarang.

Sumbangan ekonomi PKL kepada pendapatan asli daerah (PAD) Kota Semarang, tidak hanya berasal dari PKL yang sudah terorganisasi atau dilegalisasi oleh Pemkot, tetapi juga ditarik


(23)

dari PKL yang tidak terorganisasi atau liar. PKL Sampangan dan Basudewo yang pada saat penelitian (tahun 2009-2011) dipandang liar, sesungguhnya mereka memiliki izin untuk berjualan yang dikeluarkan Camat setempat dan ditarik retribusi sebesar Rp1.000,00 per hari. Retribusi ini dihentikan, sejak ada kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot pada tahun 2009.

Selama tahun 2009-2011 terjadi beberapa kali penertiban dan penggusuran di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, dengan tujuan supaya PKL bersedia pindah ke lokasi yang telah disediakan Pemkot, namun kebijakan Pemkot tersebut ditentang dan diabaikan oleh PKL. Untuk memudahkan proses relokasi tersebut, Pemkot tidak menarik retribusi hingga mereka bersedia pindah. PKL Basudewo yang akhirnya bersedia direlokasi ke sentra PKL Kokrosono, kini sudah ditarik retribusi oleh Pemkot. “Sejak pindah ke sini, kita sudah ditarik iuran pak”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak Achmad, Rabu, 8 Pebruari 2012).

Penarikan retribusi kepada PKL, baik yang sudah terorganisasi maupun yang belum, menunjukkan bahwa PKL memiliki kontribusi terhadap capaian pendapatan asli daerah (PAD) kota Semarang meskipun jumlahnya tidak terlalu signifikan.

Meskipun tidak sebesar kontribusi ekonomi PKL Surabaya, tetapi sumbangan PKL Semarang cukup signifikan, karena besaran retribusi PKL tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah kota untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Ini menunjukkan, bahwa meskipun sikap pemerintah kota terkadang ambivalen, tetapi keberadaan sektor informal, khususnya PKL tetap diperhitungkan karena sumbangannya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) cukup signifikan.

Jikalau tidak memberikan sumbangan yang besar dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) seperti yang


(24)

diperlihatkan beberapa kota besar lainnya, namun penghasilan PKL dapat digunakan oleh pedagang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung kehidupan kelompok marginal lainnya, seperti tukang parkir, pengemis, dan pengamen. Keberadaan PKL juga tidak membebani anggaran pemerintah kota, bahkan dilihat dari aspek penyerapan tenaga kerja tidak terdidik, PKL memberi kontribusi dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan stabilitas ekonomi kota.

Dari penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, tampak bahwa kontribusi ekonomi PKL cukup signifikan untuk membangun ekonomi keluarga dan masyarakat sekitar. Kontribusi yang paling dominan adalah membangun ekonomi keluarga. Yang dimaksud dengan membangun ekonomi adalah bagaimana PKL yang secara sosiologis merupakan strata atau lapisan kelas menengah ke bawah mampu memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menggunakan sumber daya terbatas yang ia miliki.

Ekonomi adalah perilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi untuk kemudian menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada para individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat (Samuelson dan William D. Nordhaus 1994:5). Dalam konsep ekonomi ini terdapat komponen penting, yakni (1) individu atau kelompok memiliki sumber daya yang terbatas atau langka, (2) keinginan dan kebutuhan individu atau kelompok masyarakat tidak terbatas, (3) mereka dihadapkan pada berbagai pilihan, (4) untuk menggunakan sumber daya serta melakukan kegiatan produksi dan konsumsi.

Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu pelaku ekonomi di sektor informal, dihadapkan pada keterbatasan yang dimiliki, seperti pendidikan yang relatif rendah,


(25)

keterampilan yang kurang, tidak memiliki sumber daya yang memadai, misalnya tanah dan bangunan, sementara mereka harus hidup dan menghidupi keluarganya, sehingga sesuai dengan konsep ekonomi tersebut, mereka harus memilih tetap berada di kota dengan segala keterbatasan yang dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau harus kembali ke desa asal tetapi dengan lapangan pekerjaan yang makin sempit yang belum tentu dapat menampung mereka.

Ini adalah sebuah dilema sekaligus pilihan sulit bagi para PKL. Umumnya para PKL sudah cukup lama tinggal di kota Semarang dan sebagian besar telah berkeluarga dan mempunyai tanggungan keluarga. Pilihan yang mungkin bagi mereka adalah tetap tinggal di kota meskipun terpaksa harus mencari pendapatan dengan memanfaatkan ruang publik yang dilarang oleh pemerintah kota.

Sejak puluhan tahun yang lalu, utamanya setelah banyak berdiri perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan, maka daerah Sampangan, yakni pasar dan sekitarnya sangat ramai menjadi lalu lintas kendaraan dan orang, tidak hanya pada pagi hari tetapi juga pada malam hari. Ibarat sarang madu, Sampangan menjadi pilihan bagi para pedagang untuk berjualan, demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sebelum terjadinya penggusuran besar-besaran pada bulan Maret 2010, wilayah Sampangan, khususnya daerah pinggir sungai Kaligarang, cukup banyak para pedagang yang menjalankan aktivitas ekonomi, terutama adalah berdagang nasi di malam hari. Jumlah pedagang pada saat penggusuran tidak kurang dari 30 orang. Atas nama proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjirkanal Barat, pemerintah provinsi Jateng memberi perintah kepada pemerintah kota untuk membersihkan wilayah Sampangan yang padat dipenuhi para PKL. Alhasil, pada bulan Maret 2010, PKL Sampangan digusur. Seluruh bangunan semi permanen


(26)

dan lapak mereka diratakan dengan tanah, dan sejak itu mereka pindah sementara ke arah selatan (bergeser sedikit, kurang lebih 15 meter dari lokasi semula).

Pasca penggusuran, pedagang yang menjalankan usaha pada malam hari tidak kurang dari 10 orang, tetapi dengan berjalannya waktu kini sudah ada 15 orang yang masih berdagang nasi dan usaha lainnya pada malam hari. Mereka yang berdagang pada malam hari di antaranya adalah warung tenda biru, warung sederhana, warung penyet monggo mampir, warung lombok ijo mbak Tari, warung sate, warung ayam goreng bang Zuri, warung bebek goreng pak Ragil, warung penyet mbak Yani, depot ayam goreng, warung nasi gandul, warung seafood Lamongan. Selain warung makan tersebut, juga turut membuka usaha, yaitu penjual pakan burung dan penjual kue terang bulan.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 19. Para PKL Sampangan yang berdagang pada

malam hari

Pada siang hari, lapak yang ada digunakan PKL untuk berdagang gado-gado dan es cendol. Jumlah pedagang makanan


(27)

dan minuman ini tidak banyak. Sebagian besar lapak dimanfaatkan PKL untuk membuka usaha bengkel sepeda dan sepeda motor, tambal ban, serta las listrik dan tukang drat. Sesuai kesepakatan para PKL, mereka berbagi tempat dan waktu.

Mereka yang berdagang dan menjual jasa di siang hari boleh menggunakan lapak yang sama yang digunakan oleh pedagang malam hari hanya sampai jam 15.00; sedangkan PKL yang berdagang pada malam hari baru akan menyiapkan barang dagangan sore setelah aktivitas PKL siang hari sudah selesai. PKL yang berdagang pada malam hari biasanya selesai jam 23.00 atau ketika dagangannya sudah habis. Kebersihan lokasi berdagang ditanggung bersama. PKL yang berdagang pada siang hari, selesai berdagang segera membersihkan sampah supaya PKL malam hari dapat berdagang dengan nyaman, begitu pula sebaliknya, PKL malam hari selesai beraktivitas juga membersihkan lokasi berdagang dan membuang sampah.

“kita memang sudah ada kesepakatan pak, lapak bisa digunakan bersama oleh pedagang, bahkan siapa pun yang ingin berdagang di sini…tentu tidak semuanya bisa tertampung…yang diutamakan adalah mereka yang dahulu digusur dan boleh berdagang di sini. Aturannya, yang pagi dan siang boleh berdagang sampai jam 15.00 dan mereka harus sudah membersihkan lapak, sedangkan malam harinya digunakan kita yang menjalankan usaha warungan” (wawancara dengan Agus, Minggu, 15 Januari 2012).

Pada malam harinya, mereka yang berdagang nasi tidak pernah sepi dari pembeli, apalagi lokasi sentra PKL Sampangan ramai dan padat lalu lintas. Di sekitar lokasi tersebut, terdapat toko besar, seperti Super Swalayan yang juga tidak pernah sepi dari pembeli. Toko-toko kecil juga ada, seperti toko alat tulis kantor, toko mebel, toko penjual onderdil motor dan mobil, toko afdruk dan cetak foto, toko sandal dan sepatu, dan


(28)

toko-toko kecil lainnya. Di Sampangan juga terdapat Pusat Kebugaran dan Hiburan Karaoke, yang ramai dikunjungi pengunjung pada malam hari. Adanya pom bensin juga menambah ramainya lokasi PKL Sampangan.

Lokasi PKL Sampangan yang strategis ini juga ditunjang oleh keberadaan perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan, seperti Akademi Sekretaris Santa Maria, Akademi Komputer GEGA (ALFABANK), Stikubank Semarang, IKIP Veteran, Sekolah Tinggi Farming Semarang, Akademi Pelayaran Nasional (AKPELNI) Semarang, UNTAG Semarang, Akademi Pariwisata (AKPARI) Semarang, dan Sekolah Tinggi Ekonomi Semarang (dahulu bernama AKOP Semarang). Di Sampangan dan sekitarnya juga terdapat warung makan yang ditata seperti café selain warung tenda PKL. Jumlahnya juga cukup banyak, mulai dari warung nasi ayam goreng hingga warung nasi padang. Para mahasiswa yang berada di sekitar Sampangan maupun mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan Akademi Kebidanan yang berada di Gunungpati turun ke Sampangan untuk makan atau mencari pusat-pusat hiburan.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 20. Suasana PKL Sampangan yang padat lalu lintas


(29)

Sumber: Dokumen Pribadi. Gambar 21. Para PKL Sampangan yang berjualan di siang hari

Selain untuk menghidupkan perekonomian di wilayah Sampangan, usaha PKL Sampangan juga berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan keluarga PKL. Tukang parkir yang jumlahnya lebih dari 5 orang juga dapat merasakan keuntungan dari aktivitas perdagangan yang dilakukan para PKL.

Pak Muriman (56 tahun) merupakan salah seorang PKL yang cukup berhasil di wilayah Sampangan. Ia telah menikah dua kali. Istri pertama meninggal dunia ketika ia sedang merintis usaha berdagang gado-gado. Dari pernikahan istri pertama (meninggal dunia) dan istri kedua, ia dikaruniai 5 orang anak. Semuanya sudah sekolah, bahkan 2 di antaranya sudah menikah. Bagi masyarakat Sampangan dan sekitarnya, gado-gado pak Man, demikian panggilan akrabnya, terbilang enak.

Pak Man sudah menjalankan usaha jualan gado-gado sejak 20 tahun yang lalu. Pendapatan bersih pak Man tidak kurang dari Rp100.000,00 per hari. Itu terjadi sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 yang lalu. Dari usaha berjualan


(30)

gado-gado, pak Man bisa membeli mobil Katana seharga Rp25.000.000,00, sebuah rumah di Gunung Talang, dan bisa membelikan perhiasan bagi istrinya. Pada awal merintis usaha, modal pak Man Rp5.000.000,00. Tanah tempat usahanya dibeli dengan harga Rp800.000,00 dan ia dirikan warung menghabiskan dana Rp5.000.000,00.

Sebelum krisis tahun 1997 aset pak Man tidak kurang dari Rp100.000.000,00. Sebelum terjadi penggusuran pada tahun 2009, pak Man menjual mobil Katana dan menggantinya dengan membeli mobil Kijang keluaran tahun 1980-an seharga Rp10.000.000 dan dengan tambahan anggaran Rp10.000.000,00, mobil tersebut disulap menjadi mobil yang dapat dipakai untuk mengangkut barang dan gado-gado yang akan dijual. Ketika ditanya mengapa mobil Katana dijual dan diganti mobil bekas yang tahunnya lebih tua, pak Man menjawab seperti berikut.

”mobil Katana hanya bisa digunakan untuk mengangkut barang saja, setelah itu barang harus diturunkan, dimasukkan, dan ditata di dalam lapak…ini tidak efisien mas, karena itu saya jual dan sebagai gantinya saya membeli mobil kijang bekas…harganya sih murah hanya Rp10.000.000,00, tetapi saya desain menjadi tempat berdagang, jadinya kalau dihitung ya…mobil itu senilai Rp20 jutaan. Mobil kijang ini lebih bermanfaat mas, karena dapat saya gunakan untuk mengangkut barang sekaligus saya jadikan sebagai tempat untuk jualan, sehingga saya bisa menghemat tempat. Lagipula kalau ada penertiban, saya bisa langsung membawa pulang mobil tersebut beserta barang-barang dagangan saya” (wawancara dengan pak Muriman, 10 Desember 2010).

Setelah penggusuran pada bulan Maret 2009, pak Man yang biasanya berjualan di tepi bantaran sungai Kaligarang, untuk beberapa saat memindah lokasi berjualan ke arah selatan satu kompleks dengan pasar Sampangan. Kios baru tersebut ia sewa 2 tahun senilai Rp10 juta. Untuk itu, ia harus menjual mobil kijang dan laku Rp16 juta. Sepinya pembeli membuat pak Man kembali lagi ke tempat semula hingga kini. “Sekarang ini,


(31)

dagangan sepi mas…bisa dapat Rp50.000,00 per hari sudah hebat”, demikian pengakuan pak Man.

Dari hasil berjualan gado-gado, pak Man bisa menabung dan sebagian dibelikan sebidang tanah senilai Rp12 juta pada tahun 2006. Dua anak sudah ia nikahkan, bahkan salah seorang menantunya sekarang turut membantu usaha dagang pak Man. Meskipun tidak seramai dahulu, pak Man tetap berdagang di tepi bantaran sungai Kaligarang hingga kini. Warung yang disewa pak Man kini sudah hancur rata dengan tanah sejak kepindahan pasar Sampangan ke lokasi baru, sehingga pak Man kembali berdagang di jalanan untuk sementara waktu. Satu-satunya alasan mengapa pak Man tetap bertahan di jalanan, adalah karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dua puluh lima tahun yang lalu wilayah Sampangan tidak begitu ramai. Perekonomian belum tumbuh seperti saat ini, dikarenakan toko-toko besar dan kecil belum ada. Perguruan tinggi yang ada di sekitar Sampangan baru ada tiga, yaitu Stikubank, Akpari, dan AKA. Pom Bensin yang menjadi tempat transit pengendara mobil dan sepeda motor belum dibangun. Kini dengan telah berkembangnya toko-toko di Sampangan dan sekitarnya serta makin banyaknya perguruan tinggi yang didirikan di sekitar Sampangan, menjadikan Sampangan sebagai sentra ekonomi penting selain pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kota Semarang.

Perekonomian yang tumbuh di wilayah Sampangan, dimungkinkan karena adanya pasar tradisional, Pom Bensin, perguruan tinggi, dan puluhan toko di sekitarnya, selain dinikmati para PKL, juga dirasakan manfaatnya oleh tukang parkir.

Pada siang hari di wilayah Sampangan terdapat 6 tukang parkir, seorang bekerja di depan toko Alfamart, 2 orang di depan pasar, 1 orang di depan warung Soto pak Man, 1 orang di depan toko Swalayan Super, dan seorang lagi mengais rezeki di


(32)

depan PKL Sampangan di tepi bantaran sungai Kaligarang. Tukang parkir yang berjaga pada pagi hari di area PKL Sampangan tidak begitu ramai, karena pada siang hari PKL yang berdagang hanya ada beberapa, seperti penjual gado-gado, penjual minuman, penjual pakan burung, dan beberapa lainnya menjalankan jasa las dan bengkel sepeda motor.

Wilayah Sampangan sangat ramai, terutama pada malam hari. Pada saat ramai, tidak kurang dari 100 sepeda motor diparkir di depan warung-warung makan di Sampangan. Biasanya warung ramai selama tiga hari, yakni hari Sabtu, Minggu, dan Senen. Jika hanya diambil 3 hari saja, maka penghasilan tukang parkir per bulan adalah 3x4x100xRp1.000,00 = Rp1.200.000,00 sebuah penghasilan yang lumayan besar dibandingkan harus bekerja sebagai pelayan toko, yang pendapatan per bulan kurang dari Rp1.000.000,00. Tanpa harus banyak kerja keras, dibandingkan para PKL yang menjual nasi, makanan, dan minuman; tukang parkir hanya bermodalkan seragam kuning dan peluit bisa memperoleh penghasilan lebih baik. Sungguh ironi. Itulah kehidupan di jalanan, yang terkadang jika dipahami rasanya tidak adil bagi PKL yang harus kerja keras dan membutuhkan modal untuk membuka usahanya. Meskipun demikian, para pedagang tidak menaruh perasaan iri kepada tukang parkir. “Biarlah pak, mereka juga butuh makan…rezeki sudah ada yang mengatur”, demikian ungkap mas Agus.

Penghasilan tukang parkir yang berjaga pada siang hari tidak sebesar pendapatan tukang parkir yang bertugas di malam hari. Hal ini disebabkan (1) tidak semua lahan dipakai pedagang, (2) jumlah tukang parkir pada siang hari lebih banyak, dan (3) pada siang hari hanya ada 2 pedagang nasi dan gado-gado, lainnya adalah penjual pakan burung, tukang tambal ban, penjual minuman, tukang las, tukang drat, dan penjual bahan bangunan, yang pengunjungnya tidak seramai pembeli pada malam hari.


(33)

Bu Zuhri merupakan pedagang nasi ayam dan bebek goreng yang sudah cukup lama berjualan di Sampangan, yakni sejak tahun 1993. Ia dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama, kedua, dan ketiga adalah perempuan, sedangkan bungsunya laki-laki. Dari empat anak tersebut, dua sudah menikah, sedangkan dua lainnya belum. Tahun 2000 suami bu Zuhri meninggal dunia, dan sejak saat itu ia harus menghidupi keluarganya sendirian. Dalam berdagang sehari-harinya, bu Zuhri dibantu oleh 2 orang anaknya dan seorang pembantu.

Penghasilan kotor bu Zuhri tiap harinya berkisar Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00. Dari penghasilan kotor tersebut, ia dapat mengambil keuntungan bersih sebesar Rp200.000,00. Uang itu hanya cukup untuk mengontrak rumah, yang dihuni oleh bu Zuhri, kedua anaknya, dua cucunya, dan seorang pembantu. Harta benda yang dipunyai bu Zuhri tidak banyak, yakni satu sepeda motor untuk anak laki satu-satunya dan perhiasan. Dahulu sebelum tempat berdagangnya digusur, bu Zuhri memiliki mobil bak terbuka untuk mengangkut barang dagangan dan sepeda motor.

“Sebelum pindah ke sini, kita punya sebuah mobil bak terbuka…tidak baru sih pak dan sepeda motor Honda Mega-Pro, tetapi karena penggusuran, mobil dan honda dijual untuk membangun lapak di sini pak, ya saya mengalah akhirnya dibelikan sepeda motor butut ini”, kata Agus, anak laki-laki satu-satunya (wawancara dengan Agus, tanggal 17 Desember 2010).

PKL Basudewo memiliki karakteristik yang berbeda dengan PKL Sampangan. Para PKL menempati area persis di tepi sungai Banjir Kanal Barat, dari arah selatan dekat jembatan Lemahgempal menuju arah utara dekat jembatan Banjir Kanal Barat. Pedagang kaki lima (PKL) yang menjalankan usaha di Basudewo jumlahnya kurang lebih 65 orang PKL, 36 orang di antaranya berusaha sebagai pengrajin mebel, lainnya adalah penjual bambu, penjual es tape, penjual mie ayam, penjual bensin eceran, penjual nasi, penjual anak ayam dan burung, penjual rokok dan makanan kecil, dan beberapa di antaranya membuka usaha perbengkelan dan las mobil dan sepeda motor.


(34)

Sebelum terjadi penggusuran besar-besaran pada tahun 2010, aktivitas ekonomi di Basudewo berjalan seperti biasa. Para pengrajin mebel yang kebanyakan berasal dari Mranggen Demak sehari-harinya tidak pernah sepi dari pembeli. Selain harga mebel yang dijual relatif murah, juga kualitasnya tidak kalah dengan mebel yang dijual di toko-toko mebel di Semarang. Demikian pula, mereka yang berdagang nasi, mie ayam, dan rokok tidak pernah sepi dari pembeli. Hal ini dimungkinkan karena lokasi PKL Basudewo berada pada jalur lalu lintas ramai, yaitu berada di antara seberang perempatan Lemah Gempal dan perempatan Banjir Kanal Barat. Di sebelah timur jalan Basudewo juga terdapat beberapa pedagang nasi, pedagang pakan burung, penjual mebel, tukang cukur, show room mobil, dan sebuah Sekolah Dasar, yang keberadaannya turut mendukung keramaian suasana dan aktivitas di sekitar Basudewo.

Pak Achmad merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Basudewo yang memiliki keuletan luar biasa. Sebelum terdampar sebagai PKL, pak Achmad sebelumnya merupakan seorang tukang jahit. Sebelum berdagang di Basudewo, ia merantau ke Jakarta dan menjadi tukang jahit dari perusahaan kain dan jahit ternama, yaitu Nyata Plaza. Dalam seminggunya, ia bisa mengantongi uang tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Setelah tidak lagi dipakai Nyata Plaza, pak Achmad merantau ke Surabaya dan Wonogiri, sebelum akhirnya berjualan nasi bersama istrinya di Basudewo di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Warungnya dibuat semi permanen, separo bahannya adalah batu bata, dinding selebihnya dari bambu dan beratapkan genteng. Lantai warungnya bahkan sudah dikeramik. Untuk keperluan masak, mandi dan cuci, pak Achmad telah membuat sumur di belakang warung, tepatnya di tepi sungai.

Pak Achmad menjadikan warung sebagai tempat usaha, juga sekaligus sebagai tempat tidur dan beristirahat bersama istrinya. Penghasilan pak Achmad per hari adalah Rp100.000,00. Dari sisa-sisa tabungan dan usaha berjualan nasi, pak Achmad bisa membelikan sepeda motor untuk anak-anaknya. Ia juga memiliki beberapa rumah, namun uang untuk


(35)

membeli rumah tersebut diambilkan dari tabungan selama ia bekerja sebagai penjahit di Jakarta. Rumah tersebut ditempati anak-anaknya, sedangkan ia dan istrinya rela berdesak-desakan tidur di warung.

Dari berjualan nasi, pak Achmad bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dari tujuh anaknya, seorang sudah lulus perguruan tinggi (sekarang sudah menjadi guru), seorang kuliah di Undip, seorang lagi masih sekolah di SMA, dan lainnya sudah bekerja. Selain memiliki 7 anak kandung, pak Achmad juga mengasuh seorang anak yang sehari-harinya hidup menumpang bersama pak Achmad. Anak asuh inilah yang sehari-hari turut membantu usaha pak Achmad, selain berdagang anak ayam dan burung. Sikap pasrah, “nrimo ing pandum”, dan jiwa sosialnya yang tinggi, membuat pak Achmad memiliki banyak relasi dan masih bisa bertahan hidup sebagai PKL.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 22. Warung makan pak Achmad di Basudewo Selain pak Achmad, seorang pedagang kaki lima yang memiliki daya tahan luar biasa di Basudewo adalah pak Suliman. Meskipun umurnya sudah 60 tahun, pak Suliman


(36)

memiliki badan cukup kekar dan sehat. Pak “Leman”, panggilan akrabnya, adalah seorang pedagang lulusan SMEA, memiliki seorang istri dan seorang anak (sudah menikah). Selain sebagai pedagang bensin eceran dan makanan kecil, pak Leman juga bekerja sebagai mandor atau bas borong bangunan. Sebelum jadi PKL, jauh sebelumnya pak Leman sudah bekerja sebagai mandor bangunan, bahkan ia juga pernah menjadi penjual nasi. Ia menemani istri sebagai PKL di Basudewo kurang lebih selama 12 tahun.

Seperti halnya pak Achmad, pak Leman juga memiliki warung sederhana, terbuat dari papan dan tripleks, lantainya keramik bekas dan dindingnya dari genting bekas. Warung dibangun sendiri oleh pak Leman. Luas lahan yang ditempati 2x6 meter. Warung digunakan sebagai tempat usaha sekaligus juga tempat tidur, karena pak Achmad dan keluarga tidak memiliki rumah sendiri, hanya menumpang kepada mertuanya. Untuk membuka usaha dagang, pak Leman membuka tabungan senilai Rp5.000.000,00. Penghasilan pak Leman dari berdagang bensin adalah Rp70.000,00 per hari. Dari bekerja sebagai pedagang, pak Leman bisa membeli sebuah sepeda motor merek Honda Megapro. Kebutuhan keluarga pak Leman bisa dipenuhi dari berjualan bensin dan makanan kecil, seperti diungkapkan berikut.

“dari jualan bensin dan usaha saya sebelumnya, selain bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya bisa membeli sepeda motor Mega-Pro merek Honda pak, …istri saya belikan kalung, gelang, dan cincin, tetapi karena ingin punya rumah sendiri, perhiasan istri saya jual dan laku Rp2.500.000,00, lalu pada tahun 1985 saya belikan tanah senilai Rp1.500.000,00; tetapi dasar nasib lagi sial pak…saya kena tipu, karena ternyata tanah yang dijual tersebut bukan milik penjualnya…ya hilanglah uang saya” (wawancara dengan pak Suliman, 11 Mei 2011).

Pak Leman termasuk salah seorang PKL Basudewo yang cukup berani dan mungkin boleh dikata agak dablek. Tempat berdagangnya sudah digusur, tetapi demi menghidupi


(37)

keluarganya, pak Leman tetap berdagang di wilayah Basudewo, meskipun harus pindah tempat di sebelah timur jalan Basudewo tidak jauh dari tempat berdagangnya semula.

“Saya memang sudah diberi tempat di Kokrosono, tetapi jauh dari rumah dan belum tentu laku pak; sedangkan di sini sedikit-sedikit saya bisa dapat penghasilan…ya bisa untuk hiduplah pak”, kata pak Leman.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 23. Pak Suliman dengan barang-barang dagangannya

Tidak seperti halnya lokasi PKL di Sampangan dan Basudewo yang cenderung agak rapi, lokasi PKL liar di Kokrosono lebih semrawut. Lokasi PKL yang terletak di seberang jembatan Banjir Kanal Barat tersebut, memang terbilang strategis. Sebelah barat menuju jalan Siliwangi yang sehari-hari ramai lalu lintasnya, ke arah timur menuju Tugumuda juga ramai, dan demikian pula ke arah utara agak ke timur menuju jalan Indraprasta juga padat lalu lintas. Lokasi PKL Kokrosono menuju utara hingga ke perumahan padat penduduk, seperti Surtikanti, Erowati, Tanggul Mas, Tanah


(38)

Mas, dan lain-lain. Lokasi PKL Kokrosono tiap harinya tidak pernah sepi apalagi pada hari Sabtu dan Minggu.

Para PKL yang berdagang dan menjual jasa yang menjalankan aktivitas ekonomi jumlahnya tidak kurang dari 100 orang (sebelum proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat dimulai). Kini, setelah proyek tersebut berjalan, jumlah PKL berkurang, karena tepi jalan yang berbatasan dengan sungai sudah dipagari seng, sehingga banyak di antara mereka yang tidak beroperasi lagi.

Sumber:Dokumen Pribadi Gambar 24. Suasana PKL Kokrosono sebelum proyek


(39)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 25. Suasana PKL Kokrosono setelah proyek

normalisasi sungai dimulai

Meskipun telah dimulai proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, para PKL Kokrosono masih berdagang seperti biasa. Mereka yang berjualan barang-barang bekas, seperti kaset tape recorder bekas, kipas angin bekas, handphone bekas, dan barang-barang elektronik lainnya masih berjualan meskipun harus berbagi dengan proyek. Gambar di atas menunjukkan, di pinggir jalan berdekatan bantaran sungai yang sudah dipagari seng para pedagang tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pak Haji Mustaqim Abdul Rasyid (60 tahun) merupakan salah seorang dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di Kokrosono. Pak Haji yang sehari-hari berjualan ditemani sang istri, bekerja dengan menjual alat-alat pertukangan, rumah tangga dan pertanian, seperti arit, bendo, gergaji, kunci pagar, gembok, drei, amplas, dan lain-lain. Dalam berdagang pak Haji menggunakan sepeda motor roda tiga merk Tossa buatan China.


(40)

Pak Haji yang sudah berjualan kurang lebih 20 tahun lamanya telah menikmati hasil yang luar biasa, yang tidak diduga oleh orang kebanyakan. Meskipun hanya berdagang di pinggir jalan, pak Haji bersama istri sudah 2 kali berangkat ke tanah suci Mekah. Selain memiliki sebuah rumah, beliau juga mempunyai harta benda lainnya, seperti 2 sepeda motor, televisi, perhiasan emas, dan yang lain.

Dari bekerja sebagai PKL, pak Haji memperoleh penghasilan kotor per hari tidak kurang dari Rp500.000,00 di mana Rp100.000,00 ditabung, Rp35.000,00 untuk “sangu” (uang jajan) 2 orang cucunya, dan sebagian lagi digunakan untuk makan dan kulakan. Pak Haji juga menyisihkan sebagian penghasilannya, yakni 10% untuk sedekah atau amal sholeh. Berkaitan dengan amal sholeh ini, pak Haji menuturkan:

“Kerja memang sulit mas, dahulu kalau saya mau, saya bisa jadi tentara…mungkin jika berjalan lancar, pangkat saya sekarang sudah Letnan Kolonel. Karena saya lebih suka berdagang, ya akhirnya seperti ini mas…jualan di pinggir jalan, tetapi alhamdullilah bisa mencukupi kebutuhan istri, anak, dan cucu dan meskipun sedikit-sedikit saya bisa menabung, beli sepeda motor, membelikan perhiasan untuk istri, dan yang penting pula bisa menunaikan ibadah haji bersama istri ke tanah suci Mekkah. Rezeki saya lancar karena saya punya resepnya mas, yaitu harus berani bersedekah…”amal shodaqohe kudu lancar mas nek kepingin rezekine lancar”. Sampai hari ini pun saya masih bisa berjualan dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga” (wawancara dengan pak Haji Mustaqim AR, 3 Agustus 2010).

Sosok pak haji Mustaqim dengan jiwa kedermawanannya menunjukkan bahwa ia memiliki apa yang disebut dengan modal spiritual, meskipun sifatnya individual. Modal spiritual ini adalah kompetensi spiritual yang mengalirkan nilai-nilai, seperti pelayanan, mementingkan orang lain, bijaksana, berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh religi (Tjondro Sugianto 2011). Nilai spiritual seperti pelayanan


(41)

dan mementingkan orang lain, dengan menyisihkan 10% dari penghasilan yang diperoleh pak Haji merupakan realisasi dari penghayatannya sebagai pemeluk agama Islam.

Modal spiritual sesungguhnya tidak mesti berkaitan atau bersumberkan dari religi atau agama tertentu. Banyak juga orang yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia, tetapi memiliki modal spiritual yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Sebagaimana diyakini Jauhari (2007), modal spiritual bukanlah masalah agama atau sistem kepercayaan tertentu, melainkan merupakan suatu kecerdasan hati nurani yang diawali dengan pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebagaimana modal sosial yang dikaji dalam penelitian ini, modal spiritual juga memiliki peran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diperlihatkan pak haji Mustaqim.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 26. Pak Haji Mustaqim dengan barang dagangannya


(42)

Dalam menjalankan usahanya, pak Haji Mustaqim tidak mengalami kesulitan dalam mencari barang dagangan. Relasi sudah dibangun sejak ia berdagang. Arit dan bendo misalnya, bisa diperoleh hanya dengan menelepon pemasok ketika barang habis terjual. Arit dan bendo ini biasanya dipesan dari Cepiring Kendal dan Muntilan Magelang. Kunci, gembok, drei, gergaji, dan barang-barang sejenisnya, ia beli dari seorang pemasok yang berdomisili di Semarang. Pemasok barang mengantar pesanan, setelah ditelepon pak Haji dan seketika itu pula barang-barang dibayar lunas.

Kata pak haji,”hubungan saling percaya saja mas, begitu barang habis, saya telepon dan datang kiriman barang yang saya minta”.

Rantai permintaan (demand) dan penawaran (supply) berlangsung dengan baik, tidak hanya ketika terjadi jual beli di lokasi PKL, tetapi juga berlangsung pada saat pak haji kehabisan barang dagangan. Tidak seperti halnya PKL yang lain, pak haji Mustaqim dalam membeli barang dagangan tidak pernah berhutang, semuanya dibayar dengan uang kontan.

Ketika ditanya, mengapa tidak berhutang saja, pak haji memberi jawaban lugas: “orang hutang itu membuat kita tidak bisa tidur mas, apalagi jika pada saat ditagih kita belum ada uang…wah bisa pusing dan stress kita”.

Pak Haji tergolong seorang PKL dengan jiwa wirausaha yang tinggi. Berkali-kali ia pindah tempat berjualan. Sebelum digusur, pak haji pernah punya tempat usaha permanen di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Namun sejak bangunan tersebut diratakan, barang-barang dagangan pak haji ditempatkan di kios atas (sentra PKL Kokrosono) dan disimpan di rumah. Modal usaha yang digunakan untuk berjualan awalnya tidak banyak, sedikit demi sedikit berkembang hingga akhirnya ia memiliki sarana untuk berjualan. Misalnya, yang semula tidak memiliki sarana motor roda tiga untuk berdagang, sejak tahun 2007 sudah bisa membelinya dengan harga Rp24 juta dan


(43)

berkat keuletan dan sifat hematnya, pak haji juga memiliki stok barang dagangan yang disimpan di rumah dan lokasi PKL Kokrosono sebanyak 3 kios.

Selain pak haji Mustaqim, sosok lain yang juga cukup berhasil dalam menjalankan aktivitas ekonomi di Kokrosono adalah pak Mulyono (47 tahun). Pak Mul mempunyai seorang istri dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang anak telah berkeluarga, seorang lagi masih kuliah di Undip, dan lainnya masih sekolah di SMA dan SD. Pak Mul sudah bekerja cukup lama di Kokrosono. Dua mobil bekas ia gunakan untuk tempat berdagang. Bersama istrinya, ia menjual aneka peralatan rumah tangga, pertanian dan pertukangan.

Dari usaha perniagaan tersebut, pak Mul memperoleh penghasilan per harinya sekitar Rp300.000,00. Dari pendapatan tersebut, Rp50.000,00 disisihkan untuk uang jajan anak-anaknya. Selain memiliki mobil untuk berdagang, pak Mul juga mempunyai 6 sepeda motor. Sepeda motor tersebut kini digadaikan untuk pengembangan usaha. Dahulu pak Mul punya sebuah rumah, tetapi karena usahanya hampir bangkrut, rumah tersebut dijual dan kini ia bersama keluarganya mengontrak rumah di Taru Polo Raya Kelurahan Drono Semarang.

Meskipun acapkali disepelekan keberadaannya dan tidak jarang diusir ketika mereka menempati wilayah terlarang, kontribusi ekonomi PKL tidak diragukan lagi. Contoh lain dari kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) adalah peran ekonomi yang dimainkan oleh pedagang nasi pecel di lokasi PKL jalan Menteri Soepeno (sejak tahun 2012 pindah ke tepi Bundaran Simpang Lima). Salah satunya adalah warung pecel mbok Sador.

Meskipun di tengah-tengah warung lain yang menjajakan nasi yang mungkin banyak diminati para pembeli, seperti nasi sop kaki kambing, nasi soto Makasar, nasi seafood, nasi ayam dan bebek goreng, tetapi nasi pecel yang dijual mbok Sador


(44)

tidak kalah disukai oleh para pembeli. Warung pecel mbok Sador ini semula berlokasi di jalan Pahlawan dekat dengan bundaran Simpang Lima. Program SETARA yang digulirkan Walikota Semarang, membuat mbok Sador harus pindah berdagang di lokasi baru, yaitu sentra PKL jalan Menteri Soepeno dan pindah lagi ke sentra PKL bundaran Simpang Lima. Foto berikut memperlihatkan bagaimana anak mbok Sador berdagang.

Sumber: dokumen pribadi Gambar 27. Anak Mbok Sador dan pembantunya sedang

melayani Pembeli

Kebijakan SETARA atau Semarang Sejahtera dari walikota yang baru (Soemarmo), yang salah satu programnya adalah memperindah dan mempercantik kota dengan menata ruang publik kota agar bisa berperan sebagai city walk, maka jalan-jalan dan trotoir, utamanya di sekitar bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Ahmad Yani, jalan Pandanaran, jalan Gajahmada, jalan Pemuda hingga wilayah Tugu Muda, harus dibenahi dan ditata supaya menjadi tempat yang nyaman bagi


(45)

tepi jalan protokol tersebut harus dipindah. Salah satu PKL yang terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah mbok Sador.

Ketika masih berdagang di jalan Pahlawan, pelanggan mbok Sador tidak kurang dari 100 orang per hari, padahal mbok Sador buka dasar baru dimulai jam 17.30 dan berakhir jam 22.00 atau 23.00. Rata-rata pada jam tersebut, makanan yang dijual telah habis. Dalam berdagang, mbok Sador dibantu seorang anak perempuan, menantu, cucu, dan 3 orang pelayan (seorang pria yang biasa melayani membuatkan minuman dan 2 perempuan yang biasa melayani menyampaikan nasi pecel). Mbok Sador sudah berdagang nasi pecel sejak tahun 1993. Sekarang usahanya dilanjutkan oleh anak perempuannya.

Nasi yang dijual sesungguhnya tidak terlalu istimewa, yakni nasi pecel ditambah beberapa lauk (daging sapi, paru-paru, limpa, babat, telor, tahu, tempe, ikan asing (gereh), sate telur puyuh, dan sate keong), serta krupuk dan bantal (sebutan bagi martabak kecil buatan mbok Sador), namun karena rasanya lumayan enak atau “pas di lidah” menurut penuturan beberapa pelanggan dan harga yang dipatok relatif murah, maka pembelinya banyak berdatangan ke warung pecel mbok Sador.

Para pelanggan mbok Sador tidak hanya dari kalangan kelas bawah dan menengah, banyak di antaranya yang berasal dari kelas atas (ekonomi). Pelanggan kelas atas ini dapat ditilik dari mobil yang mereka kendarai, yang rata-rata tergolong mewah, seperti Toyota Avanza, Honda CRV, dan mobil-mobil sedan versi baru. Mereka yang membeli juga tidak hanya orang Jawa, tetapi juga warga etnis Cina.

Penghasilan kotor mbok Sador per hari berkisar antara Rp 3.000.000,00 hingga Rp4.000.000,00. Salah seorang cucu mbok Sador yang membantu berjualan, digaji Rp1.200.000,00. Dari berdagang nasi pecel ini, mbok Sador bisa membeli 3 rumah, sebuah sepeda motor dan sebuah sepeda motor roda tiga merek


(46)

Tossa. Daya tarik warung nasi pecel mbok Sador tidak hanya bagi para pelanggannya, yang meskipun sudah pindah ke lokasi lain tetap datang membeli, tetapi juga menjadi magnet bagi tukang parkir, pengemis, pengamen, dan seorang penjual rokok dan minuman.

Semula mereka bersama-sama mbok Sador menjalankan aktivitas di jalan Pahlawan, namun setelah jalan Pahlawan dipercantik, mereka pindah bersama-sama di jalan Menteri Soepeno. Ketika mbok Sador pindah lagi ke Bundaran Simpang Lima, mereka juga ikut pindah menyertainya. Ini menunjukkan bahwa mbok Sador merupakan magnit pencari sekaligus pemberi rezeki bagi tukang parkir, pengemis, dan penjual rokok dan minuman.

Penghasilan tukang parkir dan pengemis yang menyertai mbok Sador pun tidak jauh berbeda ketika mereka menyertai mbok Sador di lokasi lama. Pendapatan tukang parkir per hari tidak kurang dari Rp 100.000,00, demikian pula penghasilan pengemis (seorang ibu tua) tidak kurang dari Rp 50.000,00 per hari; padahal jam kerja mereka juga sama dengan jam dagang mbok Sador. Kurang lebih 6 jam beraktivitas, tukang parkir bisa membawa pulang Rp 2.700.000,00 per bulan setelah dikurangi uang setoran ke pengelola parkir sebesar Rp10.000,00 per hari; sedangkan pengemis tersebut memperoleh penghasilan per bulan rata-rata Rp 1.500.000,00. Penghasilan tukang parkir tersebut melebihi gaji pegawai negeri golongan IIIa yang memiliki jam kerja 9 hingga 10 jam per harinya. Sementara itu, penghasilan seorang pengemis tersebut jauh melebihi upah para sales promotion girl (SPG) di pasar Swalayan dan Mall di Semarang yang hanya Rp 900.000,00 hingga Rp1.000.000,00 per bulan dengan jam kerja 9 hingga 10 jam per hari.

Keberadaan warung nasi pecel mbok Sador memang memberikan tuah bagi tukang parkir dan pengemis tua. Memang rasanya tidak adil, mbok Sador yang berjualan dengan


(1)

kebutuhan keluarga, dengan bekerja di pabrik. Berikut ini penuturan Satrio Wibowo.

“bekerja sebagai pedagang bukan satu-satunya

pak…saya pernah berjualan sate biawak dan ular…sekarang ini jualan sate kambing…itu pun

menurut saya tidak cukup…untung istri mau mengerti

dan bekerja di pabrik…ya sekedar untuk menambah penghasilan keluarga” (wawancara dengan Satrio,

Minggu, 17 Oktober 2010).

Ketika mengalami penggusuran, ada beberapa pedagang kaki lima yang banting haluan untuk dapat menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Pak Armis (45 tahun), pedagang yang cukup lama menempati lokasi Basudewo, adalah salah satu contoh pekerja yang kreatif. Sebelum bekerja sebagai pedagang bensin eceran sekaligus membuka usaha tambal ban sepeda dan sepeda motor, pak Armis pernah bekerja pula sebagai sopir. Setelah terjadi penggusuran besar-besaran di Basudewo pada bulan Desember 2010, pak Armis akhirnya pindah ke lokasi PKL Kokrosono dengan bekerja sebagai pengrajin mebel.

“Saya ini seorang perantau pak…kerja apa saja pernah

saya jalani, jadi sopir, jualan pakaian keliling, jual

bensin, membuka usaha perbengkelan…sebenarnya

jual bensin sambil usaha tambal ban lumayan pak

hasilnya, per hari saya bisa dapat Rp75.000,00…bisa menghidupi keluarga. Tapi pak…sejak lokasi usaha

digusur dan diratakan dengan alat-alat berat, saya

sempat bingung mau kerja apalagi…untung pak

Achmad, ketua PKL Basudewo bersedia mengalah mau pindah ke Kokrosono dengan menempati kios di gedung H, akhirnya saya memilih menjadi pengrajin

mebel…ternyata lumayan hasilnya mas dan mencari

bahan pembuatan mebel juga tidak susah” (wawancara


(2)

orang yang tidak mudah putus asa. Pekerjaan apa saja pernah dilakukan. Setelah digusur dari tempatnya berjualan, ia memilih bekerja sebagai pengrajin mebel hingga kini. Ketika ditanya, mengapa memilih sebagai pengrajin mebel, padahal keterampilan untuk itu belum ia punyai, berikut jawabannya.

“sebelum digusur, sehari-hari saya berdagang kan

dekat dengan pengrajin meubel yang juga menjalankan usaha di Basudewo, jadi tahu bagaimana mereka

membuat kursi, meja, dan almari…ya secara tidak sengaja saya mengamati cara mereka bekerja pak…ee,

tidak tahunya saya tertarik pada pekerjaan tersebut,

ketika saya digusur…ya alhamdulillah…saya

bisa…Tuhan Maha Adil pak, ketika hambanya membutuhkan…saya diberi jalan” (wawancara dengan

pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011).

Situasi pasar yang tidak menentu, membuat PKL memilih strategi dengan variasi jenis pekerjaan yang membuatnya dapat bertahan hidup. Hal ini juga dialami pak Armis. Pekerjaan baru sebagai pengrajin mebel ternyata juga belum menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena sepinya pembeli apalagi reputasi pak Armis sebagai pengrajin mebel belum dikenal. Itulah sebabnya, pak Armis masih mempertahankan pekerjaan lama, yaitu membuka bengkel sepeda motor bersama adiknya di lokasi lama di Basudewo. “Akhir-akhir ini pembeli sepi pak, maka supaya dapur tetap “ngebul” (keperluan hidup terpenuhi) saya membuka usaha lama, yaitu usaha bengkel sepeda motor bersama adik saya”, demikian ungkap pak Armis.

Dalam kasus pedagang kaki lima di Semarang, ditemukan suatu kenyataan bahwa setiap orang sesungguhnya dapat menemukan cara untuk menghadapi tantangan agar dapat bertahan hidup. Hal ini berkaitan dengan strategi survival.


(3)

White sebagaimana dikutip Ibrahim dan Murni Baheram (2009) menyebutkan tiga jenis strategi survival, yaitu:

1. strategi survival sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat bertahan hidup,

2. strategi konsolidasi yaitu strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial,

3. strategi akumulasi, yaitu strategi pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan pemupukan modal.

Strategi survival tersebut ditempuh individu atau kelompok masyarakat, tergantung pada status sosial dan kondisi ekonominya. Strategi apa yang ditempuh juga berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan. Bagi kelompok masyarakat marginal, termasuk di dalamnya PKL, jenis strategi survival yang pertama dan kedua yang dipilih. Kalau pun ada yang menempuh strategi ketiga, yaitu akumulasi, tidaklah banyak.

Pak Haji Mustaqim merupakan contoh PKL sukses yang mewakili strategi ketiga. Ia yang hanya bekerja sebagai pedagang alat-alat pertanian, pertukangan, dan rumahtangga di Kokrosono, tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi juga kebutuhan sosial, seperti berinteraksi dengan tetangga dalam asosiasi rukun tetangga (RT) dan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial dan agama. Bahkan dari pekerjaan yang ditekuni tersebut, pak Haji bersama istrinya dapat menabung dan membeli barang-barang simbol status kelas menengah ke atas, seperti sepeda motor, motor roda tiga, rumah, dan perhiasan.

Contoh lain adalah pak Muriman, pedagang gado-gado di Sampangan, pak Mulyono pedagang alat-alat pertanian,


(4)

saja masih banyak PKL yang sukses dalam bisnisnya. Tidak seperti halnya pak Haji Mustaqim, pak Muriman, pak Mulyono, dan mbok Sador, sebagian besar pedagang kaki lima (PKL) memiliki strategi pertama, yaitu survival dan strategi kedua, yakni konsolidasi, yang semuanya ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup.

Strategi survival atau bertahan hidup seseorang memang bermacam-macam. Satrio misalnya, dibantu istrinya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ia sendiri ketika sebelum digusur, bekerja sebagai penjual sate biawak dan ular, dan setelah penggusuran, beralih menjadi penjual sate kambing. Pak Armis, yang dahulu bekerja sebagai penjual bensin eceran dan usaha tambal ban, sekarang ini bekerja sebagai pengrajin mebel. Hal ini menunjukkan bahwa (1) pedagang kaki lima memiliki daya tahan yang luar biasa ketika menghadapi tantangan dan persoalan hidup serta mereka mampu keluar dari kesulitan, (2) mata pencaharian baru yang mereka tekuni juga tidak jauh dari usaha sebelumnya, yaitu di sekitar usaha ekonomi sektor informal. Sesuai dengan sistem orientasi nilai budaya Kluckhohn sebagaimana dikembangkan oleh Koentjaraningrat, hidup memang dipahami para pedagang kaki lima sebagai sesuatu yang buruk, tetapi masih bisa diperbaiki kalau ingin tetap hidup. Demikian pula yang dialami para pedagang kaki lima yang terkena proyek pembangunan. Mereka tidak mudah putus asa, dan segera beralih pada pekerjaan lainnya yang masih berada pada usaha sektor informal.

D. Rangkuman

Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa motif atau faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para urban


(5)

bekerja di sektor informal atau menjadi pedagang kaki lima (PKL) adalah (1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha mandiri, (3) tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah menjadi tradisi keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja lebih mudah, dan (7) karena usia sudah tua.

Dalam berbagai data statistik pemerintah, tidak banyak dilaporkan konstribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) atau pengusaha kecil yang menjalankan aktivitas ekonomi di sektor informal. Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima seolah diabaikan, mungkin karena terlalu kecilnya sumbangan mereka terhadap APBN, PDRB maupun PAD. Sementara itu, sumbangan ekonomi sektor formal lebih besar dan mudah diukur, sehingga statistik pemerintah akan menampakannya. Kontribusi ekonomi PKL juga sulit ditemui dalam buku-buku atau literatur ekonomi. Paling banter hanya data jumlah tenaga sektor informal yang dapat ditemui pada statistik pemerintah maupun literatur-literatur ekonomi.

Seperti halnya sektor formal, sektor informal, utamanya pedagang kaki lima (PKL) juga memiliki kontribusi ekonomi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi anak-anak atau cucu. Banyak di antara mereka yang memiliki tabungan dan sebagian hasil pendapatannya diinvestasikan untuk membeli rumah, tanah, mobil, sepeda motor, dan peralatan elektronik lainnya.

Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, dan pengemis. Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga memberikan sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.

Sektor informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan mencari penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari,


(6)

mempertahankan kelangsungan hidup (survivalstrategy). Pedagang kaki lima umumnya tergolong masyarakat menengah ke bawah. Bagi orang-orang dari kelompok masyarakat menengah bawah, seperti halnya pedagang kaki lima (PKL), memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan kerja mereka pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja berarti mereka tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia dan selama manusia hidup, dia harus bekerja.

Para PKL menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang mereka sandang dan ketidakmampuannya mengakses pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tinggi, maka mereka mau tidak mau memilih jalan dengan berdagang atau menjual jasa di jalanan atau tempat-tempat umum. Di antara mereka ada yang bekerja menjual makanan (nasi) dan minuman, menjual alat-alat rumah tangga, pertanian dan pertukangan, membuka bengkel, berdagang bensin, dan menjadi pengrajin mebel. Hal itu dilakukan semata-mata untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Para PKL “survive” karena mereka bekerja.

Menjadi PKL bagi kelompok masyarakat strata rendah, merupakan pikihan satu-satunya. Kebanyakan PKL yang diteliti, menjadi PKL merupakan jalan paling memungkinkan untuk dapat menopang hidup mereka. Dari tiga strategi survival yang dipilih, umumnya mereka memilih strategi survival dan strategi konsolidasi. Strategi survival merupakan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat bertahan hidup, sedangkan strategi konsolidasi adalah strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial. Memang ada beberapa PKL yang berada pada strategi akumulasi, yaitu strategi pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan pemupukan modal, namun jumlah mereka yang tergolong pada strategi akumulasi tidaklah banyak.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4