Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

(1)

Dalam bab ini dijelaskan tentang kondisi perjuangan pedagang kaki lima (PKL) yang demikian solid dengan modal sosial yang mereka miliki, baik yang bersumber dari bonding social capital maupun bridging social capital, tidak lagi diteruskan, karena proyek pembangunan fisik berupa normalisasi sungai Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh APBD Provinsi Jateng, APBN pemerintah pusat, dan bantuan JICA Jepang, telah menghancurluluhkan tempat yang mereka jadikan untuk tumpuan hidup.

Perpecahan di kalangan PKL, membuat PKL tidak berdaya menghadapi proyek pembangunan. Bertahan dengan tetap berada di bangunan atau lapak, tidak mungkin mereka lakukan, karena semua bangunan, jalan di tepi sungai, dan bahkan pohon-pohon besar pun ditumbangkan demi menata sungai Banjir Kanal Barat yang kelak akan dijadikan sebagai sarana wisata air, selain untuk mengendalikan banjir di kota Semarang. Kepentingan yang lebih besar itulah yang menjadi alasan Pemkot Semarang memaksa PKL harus pindah ke tempat relokasi yang sudah disediakan pemerintah.

Untuk memahami bagaimana akhirnya PKL sebagai komunitas ekonomi rakyat kecil tergusur dan harus pindah ke tempat lain, dalam uraian berikut secara berturut-turut dikemukakan kekerasan simbolik dan represi yang dilakukan pemerintah, kemudian dampak proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, serta masih menguatnya modal sosial yang dimiliki PKL, meskipun PKL yang berada di tepi sungai terpaksa menyingkir dari lokasi berdagang.


(2)

A. Dari Kekerasan Simbolik hingga Kekerasan Langsung

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), telah menyepakati sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik (Fahmal 2006:66-67). Sepuluh prinsip itu adalah sebagai berikut.

Pertama, partisipasi, dalam arti bahwa setiap warga didorong untuk menggunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kedua, penegakan hukum, yaitu menegakkan hukum secara adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Ketiga, transparansi, yakni menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui pelayanan penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Keempat, kesetaraan, yakni memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.

Kelima, daya tangkap, yakni meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.

Keenam, wawasan ke depan, yaitu membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga masyarakat dalam seluruh proses pembangunan,


(3)

sehingga warga masyarakat memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya.

Ketujuh, akuntabilitas, yaitu meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Kedelapan, pengawasan, yaitu meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.

Kesembilan, efisiensi dan efektivitas, yaitu menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

Kesepuluh, profesionalisme, yaitu meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dan biaya yang terjangkau.

Pemerintah daerah sudah seharusnya melakukan fungsinya dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Beberapa pemerintah daerah ada yang telah dapat menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Kabupaten Sragen, kabupaten Jembrana, kabupaten Bantul, kota Yogyakarta, dan kota Surakarta merupakan sekian dari kota dan kabupaten di Indonesia yang berhasil memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah yang sadar akan dirinya sebagai agen masyarakat memang dapat menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang memiliki kinerja seperti itu. Apalagi jika walikota atau bupati yang terpilih terlibat money politic dan bersekongkol dengan


(4)

pihak pengusaha, sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan lebih berpihak kepada kelas atas seperti birokrat daerah dan pengusaha, sementara keberpihakannya kepada rakyat kecil tidaklah begitu besar atau bahkan dalam beberapa kebijakan yang diambil bisa saja pemerintah daerah yang dikelola pemimpin seperti itu lebih banyak memusuhi rakyat kecil yang sumbangan ekonominya tidak signifikan bagi daerah. Itulah sebabnya, cukup banyak kepala daerah yang bertindak halus dan penuh rasa cinta kepada pihak-pihak yang memuluskan jalannya menuju pemimpin nomor satu di daerah dan bertindak kasar penuh rasa benci kepada rakyat kecil yang dipandang mengotori, membuat tidak indah dan asri, serta merusak citra daerah, seperti halnya pedagang kaki lima (PKL) liar.

Pemerintah dapat saja memiliki kebijakan yang berbeda dalam mengelola kehidupan masyarakat dan menyelenggarakan pembangunan. Apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah tersebut bisa berdampak positif maupun negatif bagi warga atau kelompok masyarakat. Ada kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah, tetapi ada juga kelompok masyarakat lainnya yang dirugikan atau setidaknya merasa dirugikan karena kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah.

Secara teoretik sudah banyak konsep mengenai pemerintahan yang baik berikut azas-azas dan prinsip-prinsipnya. Semua azas dan prinsip tersebut dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam realitasnya, pemerintah kota Semarang (terutama pada masa kepemimpinan Soekawi Soetarip) tidak mampu menghasilkan kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan,


(5)

dan para pedagang kecil, termasuk PKL liar atau yang tidak terorganisasi.

Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap, wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi dalam kenyataannya tidak digunakan.

Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya ada juga lapisan masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil-hasil pembangunan, seperti kelompok marginal di jalanan (pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan PKL). Pengemis, gelandangan, dan anak jalanan dalam perspektif pemerintah kota, digolongkan dalam kelompok penyandang tuna sosial, sedangkan PKL meskipun tidak termasuk penyandang tuna sosial, tetapi mereka tergolong kelompok marginal atau terpinggirkan, karena dianggap kelompok masyarakat yang sulit diatur dan sulit dikendalikan.

Pemerintah merupakan representasi negara, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Dalam relasi negara-rakyat, Pemkot Semarang termasuk dalam posisi negara yang memiliki sumber daya kekuasaan, sedangkan PKL berada dalam status rakyat yang tidak memiliki sumber daya kekuasaan. Dalam relasi ini, Pemkot (representasi dari negara) dalam posisi dominan dan superordinat, sementara PKL (representasi rakyat) sebagai pihak yang terdominasi dan subordinat. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Pemkot harus dipatuhi dan diikuti PKL, termasuk ketika mereka harus dipindahkan karena telah menempati ruang publik.


(6)

Pihak dominan dengan segala kekuasaan yang dimiliki acapkali menggunakan kekerasan meskipun kadang mereka tidak menyadari atau pun telah disadarinya dengan tujuan untuk menaklukkan pihak yang didominasi atau terdominasi. Dominannya kekerasan sebagai cara untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah dirasakan sejak pemerintahan Orde Baru (Gultom 2003). Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan senantiasa bersifat koersi, dibarengi tindak kekerasan dan pemaksaan.

Dalam kaitannya dengan PKL, Pemkot Semarang telah melakukan apa yang disebut dengan kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolis adalah pemaksaan sistem simbolisme dan makna (kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah (Jenkins 2004:157). Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil.

Selama hal tersebut diterima sebagai sesuatu yang sah, kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan dan memberinya kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka. Hal ini diraih melalui proses salah mengenali (misrecognition), yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang menjadikan mereka absah di mata pemeluknya.

Dalam memaksakan kekerasan simbolik ini, pihak dominan menggunakan instrumen pengetahuan, sebagai wujud dari terbentuknya relasi dominasi, sehingga membuat relasi itu tampak alamiah (natural) di mata pihak yang terdominasi (Bourdieu 2010:50). Kekerasan simbolik ini dilembagakan melalui perantaraan kesepakatan yang tidak bisa diberikan oleh pihak terdominasi kepada si dominan ketika skema-skema yang digunakan oleh pihak terdominasi untuk memahami dan menilai diri atau yang digunakan untuk menilai pihak


(7)

dominan. Kekerasan negara dalam bentuk simbolik ini menciptakan kebutuhan akan perlunya peraturan perundangan dan lembaga peradilan sebagai instrumen pembenar tindakan negara (Gultom 2003).

Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda nomor 11 tahun 2000. Sebagaimana disampaikan Bourdieu, kata-kata dapat digunakan sebagai (1) alat melakukan kekerasan dan paksaan, (2) alat intimidasi dan penyelewengan, (3) tanda dan keadaban, sikap merendahkan diri dan jijik (Thompson 2003).

Dalam Perda tersebut terdapat kata-kata atau kalimat yang menandakan Pemkot melakukan kekerasan dan paksaan terhadap pedagang kaki lima. Judul dari Perda tersebut sudah menunjukkan tanda kekerasan simbolis, yaitu Peraturan Daerah kota Semarang tentang Pengaturan dan Pembinaan

Pedagang Kaki Lima. Kata “pengaturan” dan “pembinaan”

menunjukkan relasi kuasa yang timpang, di mana Pemkot berada pada posisi dominan dan sangat berkuasa melakukan apa saja terhadap PKL. Pedagang pun dibuat seakan-akan apa yang dilakukan Pemkot terhadapnya memang absah dilakukan, termasuk membongkar tempat usaha, menyita barang dagangan atau peralatan, dan mencabut izin tempat usaha, sebagaimana diatur dalam pasal 13 Perda ini.

Kalimat yang mencerminkan kekerasan dan paksaan terhadap PKL tidak hanya dapat dicermati dalam pasal 13, tetapi hampir semua pasal, kecuali pasal 6 yang mengatur tentang hak PKL, mencerminkan kekerasan simbolik tersebut.

Kekerasan simbolik tersebut tampak pula dalam stigma negatif yang dilontarkan pihak Pemkot dengan menggunakan media massa lokal ketika mereka melakukan penertiban dan penggusuran terhadap PKL Basudewo. Harian Suara Merdeka yang terbit tanggal 29 Mei 2010 dalam headline-nya menulis


(8)

judul besar “PKL Basudewo Langgar Peraturan”. Penulisan headline ini jelas atas permintaan Pemkot Semarang menanggapi demonstrasi PKL Basudewo yang menolak penggusuran dan relokasi. Pihak Pemkot menganggap PKL Basudewo telah melanggar ketentuan SK Walikota Nomor 511.3/16/2001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi PKL di Kota Semarang, karena menempati lahan yang tidak ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan SK Walikota tersebut.

Stigma negatif juga ditunjukkan terhadap PKL Kokrosono, sebagaimana ditulis Harian Semarang tanggal 10 Juni 2010.

“PKL liar Kokrosono segera ditertibkan”, inilah bunyi headline

dari Harian Semarang, yang memberi penilaian negatif sekaligus memaksakan ideologi Pemkot bahwa PKL Kokrosono memang liar dan harus menerima penertiban. Stigma negatif yang diberikan Pemkot terhadap PKL Basudewo dan Kokrosono memberikan bukti bahwa permainan kata-kata yang disampaikan Pemkot memberikan suatu legitimasi kepada Pemkot bahwa Pemkot memang berhak mengendalikan, mengatur, dan menertibkan PKL yang mereka pandang liar, sulit diatur, dan melanggar peraturan.

Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang. Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung (Salmi 2003:31). Termasuk dalam aktivitas kekerasan langsung adalah pemusnahan etnis (genocide), pembunuhan massal, penculikan, penyiksaan, perkosaan, dan pengusiran secara paksa. Penertiban dan penggusuran merupakan bagian dari kekerasan langsung berupa pengusiran secara paksa.

Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk


(9)

memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang, sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011, meskipun di sisi lain Pemkot menyediakan ratusan shelter untuk tempat berdagang bagi PKL, sebagaimana yang dialami para PKL yang melakukan aktivitas ekonomi di bundaran Simpang Lima dan di jalan Menteri Soepeno.

Pemkot Semarang tidak hanya menertibkan dan menggusur PKL di tiga lokasi yang diteliti, tetapi juga menertibkan dan menggusur PKL lainnya yang ada di Kota Semarang. Petugas Satpol PP pada hari Kamis tanggal 21 Oktrober 2010 melakukan penertiban dan pembongkaran lapak terhadap pedagang kaki lima yang berdagang di jalan Anton Sujarwo Srondol Semarang (Wawasan, Sabtu Wage, 23 Oktober 2010, Halaman 13).

Pada tanggal 10 April 2011 petugas Satpol PP Kota Semarang membongkar lapak-lapak PKL yang berada di atas saluran di Perumnas Tlogosari Semarang (Semarang Metro, Senin, 11 April 2011, Halaman C). Seluruh pedagang kaki lima

(PKL) “tiban” di sepanjang kawasan Simpang Lima hingga bundaran Taman Soepeno ditertibkan dan sejak 23 Juli 2011 dipindahkan ke Stadion Diponegoro (Semarang Metro, Jumat, 22 Juli 2011, Halaman A).

Demikian pula, untuk menertibkan PKL yang berdagang di ruang publik, Satpol PP kota Semarang melakukan razia PKL di sejumlah tempat di kota Semarang, seperti di daerah Kampung Kali, Taman KB, Jalan dr. Kariadi, di depan Kantor DPD Golkar Jateng, dan Jalan Tamrin (Semarang Metro, Kamis, 17 November 2011, Halaman C).

Aktivitas penertiban dan penggusuran terhadap PKL beberapa di antaranya dapat dipahami, karena ada PKL yang menempati wilayah atau daerah larangan yang dapat menyebabkan banjir, seperti halnya pembongkaran lapak di


(10)

Tlogosari, karena menempati saluran sungai. Namun terlepas dari semua itu, aktivitas penertiban yang disertai dengan tindakan fisik, yakni dengan membongkar paksa bangunan, lapak, dan terkadang barang dagangan PKL, merupakan representasi dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh Pemkot Semarang. Kekerasan fisik ini, meskipun kadang tidak disadari oleh petugas Satpol PP, dilakukan Pemkot sebagai kelanjutan dari kekerasan simbolik, yakni untuk menegakkan Perda nomor 11 hahun 2000.

Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau negara, seperti yang diperlihatkan Pemkot Semarang terhadap pedagang kaki lima (PKL), yang oleh mereka dianggap melanggar Perda, merupakan cara yang efektif untuk membuat rakyat, dalam hal ini PKL mematuhi peraturan atau kebijakan Pemkot. Kekerasan yang dilakukan Pemkot tersebut, menurut Douglas dan Waksler menggambarkan perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang atau bertahan yang disertai dengan penggunaan kekuatan terhadap orang lain (Pitaloka 2004:10).

Kekerasan negara dapat memengaruhi individu-individu yang ada dalam kekuasaannya untuk melakukan kekerasan serupa. Individu-individu tersebut akan kehilangan kemampuan berpikir dan menilai secara kritis. Eichmann melihat ada perasaan tidak bersalah pada diri pelaku kekerasan atau kejahatan (Pitaloka 2004:17). Bagi petugas Satpol PP yang menjalankan tugas Pemkot, apa yang mereka lakukan, dalam bahasa Eichmann, tidak lebih dari sekadar tanggung jawab terhadap tugas dan sikap patuh serta loyal kepada penguasa, bukan sebuah kejahatan meskipun mereka tahu tindakannya menimbulkan banyak korban.

Kekerasan atau kejahatan seperti itu, merupakan wujud dari banalitas kejahatan (Pitaloka 2004). Kekerasan yang dilakukan pedagang kaki lima (PKL) dengan cara beradu mulut, menghalang-halangi petugas, mendorong petugas, menyandera


(11)

kendaraan petugas, sebagaimana diperlihatkan PKL Sampangan dan Basudewo, tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan negara, dalam hal ini adalah pemerintah kota Semarang melalui aparatnya, yaitu petugas Satpol PP.

B. Dampak Proyek Jatibarang dan Normalisasi Sungai Banjir Kanal Barat

Waduk Jatibarang dibangun di sungai Kreo kota Semarang bagian barat daya, sekitar 13 kilometer sebelah hulu dari muara Kali Garang, mencakupi kelurahan Kedungpane, Jatibarang, Kandri, dan Jatirejo.

Pembangunan waduk serbaguna Jatibarang dilakukan dengan tujuan:

1. untuk mengendalikan banjir di kota Semarang, dengan menampung debit banjir Kali Garang periode 50 tahun, 2. menyediakan suplai air sebesar 2.40 m³ per detik untuk

penyediaan air baku kota Semarang dan mempertahankan aliran Banjir Kanal Barat,

3. optimalisasi fungsi bendung Simongan sebagai prasarana pensuplai air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) kota Semarang sebesar 2.40 m³ per detik mengaliri daerah irigasi dan mempertahankan limpasan Banjir Kanal Barat,

4. untuk konservasi sumber daya air, mencakupi pengawetan air melalui tampungan sebesar 20.4 juta m³ dan konservasi daerah aliran sungai (DAS) Kali Garang,

5. penyediaan tenaga listrik sebesar 1.500 KW (Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana 2009).

Pembangunan waduk Jatibarang dengan tipe Rockfill Dam setinggi 77 meter, diharapkan dapat diselesaikan pada tahun


(12)

2014. Selesainya pembangunan waduk Jatibarang ini diharapkan dapat mengurangi potensi banjir, mengatasi masalah rob di kota Semarang, mengurangi penggunaan air tanah, mengurangi permasalahan amblesan (land subsidence) dan menyediakan air baku untuk air minum.

Waduk ini juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik mini hidro sebesar 1,5 MW. Selain itu, juga dapat dikembangkan untuki tujuan wisata, apalagi lokasi waduk sebelumnya juga merupakan objek wisata terkenal di kota Semarang, yaitu objek wisata gua Kreo.

Pembangunan waduk ini diresmikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto di Semarang pada tanggal 15 Oktober 2009. Pembangunan waduk didanai oleh dana pinjaman dari pemerintah Jepang melalui program Loan IP-534 Integrated Water Resources and Flood Management for Semarang. Program IP-534 ini merupakan program terintegrasi, yang terbagi atas tiga komponen, yaitu komponen A normalisasi Kali Garang dan Banjir Kanal Barat, komponen B pembangunan bendungan Jatibarang, dan komponen C penataan dan peningkatan sistem jaringan drainase Kali Semarang, Kali Asin, dan Kali Baru.

Kegiatan lintas sektor ini ditangani bersama antara pemerintah pusat, melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, pemerintah provinsi Jawa Tengah dan pemerintah kota Semarang.

Pembangunan waduk Jatibarang sesungguhnya bukan program tiba-tiba, tetapi sudah lama direncanakan oleh pemerintah. Tahap studi pengembangan sudah dimulai sejak tahun 1969, yaitu dengan mengkaji pengembangan wilayah sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana (Jratunseluna). Kajian ini dilakukan oleh PT. Indah Karya bekerjasama dengan JICA.


(13)

Kedua konsultan ini merekomendasikan perlunya membangun waduk serbaguna untuk mendukung pengembangan wilayah dan mengurangi potensi banjir di kota Semarang. Dalam rangka pembangunan waduk, pemerintah membuat terowongan pengelak, yang dimaksudkan untuk mengelakkan air sungai di sekitar atau yang melintasi lokasi bendungan selama masa pembangunan bendungan. Bendungan pengelak sendiri, terdiri dari bendungan pengelak (coffer dam) utama, portal inflet dan outlet serta terowongan pengelak sepanjang 441 m. Terowongan tersebut didesain untuk dapat mengatasi banjir selama 25 tahun dengan besaran 280 m³ per detik.

Sebelum waduk Jatibarang dibangun, Gubernur Jawa Tengah telah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada pemerintah kota Semarang berdasarkan nomor surat 593/13/69 tertanggal 11 Juli 2006. Setelah diteliti oleh Tim Koordinasi dan Tata Cara Pemberian Izin Lokasi kota Semarang, walikota menyetujuinya dan menerbitkan surat keputusan nomor 593/224 tanggal 29 Agustus 2006 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Waduk Jatibarang, Normalisasi Banjir Kanal Barat, dan Drainase Perkotaan seluas 223,58 hektar.

Lokasi tersebut terletak di Kelurahan Kandri dan Kelurahan Jatirejo Kecamatan Gunungpati serta Kelurahan Kedungpane dan Kelurahan Jatibarang Kecamatan Mijen Kota Semarang. Luas tanah yang dimohonkan dalam penetapan lokasi pembangunan waduk seluas 223,58 hektar ternyata lebih besar daripada luas lahan yang akan dibebaskan, yaitu 189,35 hektar (Dahlan 2007). Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika lahan yang akan dibebaskan berkembang dari rencana awal, sehingga tidak perlu lagi harus mengajukan permohonan penetapan lokasi tambahan.


(14)

Pembangunan waduk Jatibarang meliputi lokasi di mana waduk dibangun (dam axis), areal genangan, sabuk hijau (green belt) dan jalan penghubung (acces road) yang terletak di empat kelurahan dalam dua kecamatan, yaitu Kedungpane dan Jatibarang di Kecamatan Mijen serta Kandri dan Jatirejo di Kecamatan Gunungpati.

Dalam areal waduk yang letaknya persis berada di kawasan wisata goa Kreo, kelurahan Kandri, berdasarkan studi ahli genangan tertinggi, tidak akan menggenangi objek utama kawasan wisata tersebut. Sungai utama yang dibendung untuk keperluan pembangunan waduk Jatibarang adalah Kali Kreo. Waduk membendung Kali Kreo di Dusun Talun Kacang Kelurahan Kandri Kecamatan Gunungpati atau tepatnya di sebelah utara lokasi wisata Goa Kreo.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 60. Objek wisata Goa Kreo yang terkena dampak


(15)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 61. Lahan yang digunakan untuk pembangunan

waduk Jatibarang

Lokasi pembangunan waduk, selain melintasi area sungai, juga mencakupi lahan milik warga masyarakat. Luas lahan milik warga masyarakat yang terkena dampak pembangunan waduk adalah 189,35 hektar (Dahlan 2007). Lahan sawah byang dibebaskan seluas 47,01 ha atau 24,83%, sedangkan lahan tegalan yang dibebaskan seluas 142,21 ha atau 75,17%. Lahan yang terkena pembebasan terluas adalah kelurahan Kedungpane, yaitu 77,61 ha atau 40,99%, sedangkan yang paling sempit adalah berada di Kelurahan Jatibarang, seluas 15,91 ha atau 8,40%. Luas lahan yang terkena dampak pembangunan waduk Jatibarang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(16)

Tabel 17. Jumlah Warga dan Luas Lahan yang terkena Dampak Pembangunan Waduk

Kelurahan Lahan Sawah Tegalan Total

WTD

Total Luas Lahan

(ha)

WTD Luas

(ha)

WTD Luas

(ha)

Kedungpane 25 9,15 40 68,46 65 77,61

Jatibarang 8 2,72 8 13,19 16 15,91

Kandri 71 22,08 67 39,86 138 61,94

Jatirejo 32 32 46 20,73 78 33,89

Jumlah 136 47,01 161 142,21 297 189,35

Sumber: Dahlan (2007)

Dalam rangka pembangunan waduk Jatibarang, pemerintah juga telah melakukan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat sebagai bagian dari mega proyek waduk Jatibarang. Proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat menelan biaya Rp317.763.468.673,20 dibiayai oleh dana APBN, APBD Jateng, dan JICA Jepang. Proyek normalisasi tersebut dimulai bulan Oktober 2009 dan direncanakan selesai pada bulan November 2012. Proyek ini dalam pelaksanaannya dikerjakan oleh PT WASKITA, BAP, dan PT WIKA.

Untuk keperluan pengerjaan proyek, ketiga pelaksana proyek membangun perkantoran dan gudang alat-alat berat di sempadan sungai Kaligarang dan sungai Sampangan, yaitu sungai kecil yang mengalir dari perumahan Sampangan. Pedagang kaki lima (PKL) Sampangan yang lokasinya terletak persis di pinggir sungai Sampangan mau tidak mau harus digusur, karena lokasinya menjadi tempat perlintasan kendaraan proyek.

Untuk keperluan pembangunan atau normalisasi sungai Kaligarang (terletak dari kantor proyek ke arah utara hingga bendung Simongan) dan sungai Banjir Kanal Barat (terletak dari bendung Simongan ke arah utara menuju laut Jawa), semua bangunan dan aktivitas penduduk yang berada di pinggir sungai harus dipindahkan ke lokasi lain, agar tidak mengganggu pekerjaan proyek dan rencananya memang daerah pinggir


(17)

sungai akan dijadikan sebagai salah satu dari tempat wisata air yang dapat dinikmati oleh masyarakat kota Semarang khususnya dan masyarakat lainnya.

PKL Basudewo yang menempati tepi sungai Banjir Kanal Barat mulai dari pojok selatan jembatan Lemah Gempal hingga ke ujung utara jembatan Banjir Kanal Barat juga direlokasi ke tempat lain. Demikian pula, PKL liar Kokrosono yang berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat mulai dari jembatan Banjir Kanal Barat hingga ke arah utara berbatasan dengan rel kereta api diminta untuk tidak berjualan di dekat proyek.

Gambar berikut mengilustrasikan bagaimana proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat harus dijalankan dan karena pekerjaan fisik penggalian tanah di dalam sungai, pemotongan pohon dan perataan tanah yang ada di pinggir sungai baik sisi kanan maupun kiri, dengan truk-truk dan begu lalu lalang melewati tepi sungai, hingga menyebabkan para PKL yang berada di tepi sungai tidak bisa beraktivitas lagi.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 62. Kantor Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang


(18)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 63. Kondisi Sungai Kaligarang yang belum

dinormalisasi

Aktivitas proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang dimulai dari pengerukan tanah dan lumpur sebagaimana terendap di sungai selama puluhan tahun berlangsung terus, pagi, siang maupun malam. Alat-alat berat, truk pengangkut, begu, dan beton-beton pelapis pinggiran sungai ditempatkan di sisi kiri dan kanan sungai. Praktis kondisi ini membuat para pedagang tidak bisa lagi berjualan, karena tempat mereka berdagang selama ini sudah tidak bisa dipakai lagi. Di Basudewo misalnya, tepi jalan di kanan maupun di kiri sungai telah rata, tidak ada bangunan yang tersisa. Demikian pula, di Kokrosono, pengerukan sungai, pembuatan talut, dan perapian jalan di tepi sungai, menyebabkan para pedagang tidak leluasa lagi melakukan aktivitas perdagangan.


(19)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 64. Perataan Tanah Lokasi PKL Basudewo untuk

normalisasi sungai

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 65. Pembangunan talut tepi sungai Kaligarang


(20)

Untuk memperkokoh sungai, maka di tepi kiri kanan sungai dibuat talut memanjang dari arah selatan ke utara. Talut tersebut selain untuk memperkuat sungai agar tidak mudah menggerus tanah di sisi kiri dan kanan, juga untuk merapikan sungai agar indah dipandang mata.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 66. Pengerjaan Talut Sungai Banjir Kanal Barat

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 67. Talut Sungai Banjir Kanal Barat dekat PKL


(21)

C. PKL Terpinggirkan, Modal Sosial Tidak Hilang

Daya tahan, sikap resisten, dan ketidakpatuhan PKL terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemkot Semarang, sebagaimana ditunjukkan PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah karena adanya modal sosial yang mereka miliki, terutama kohesi sosial dan jaringan sosial yang mereka miliki. Proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dikerjakan dengan dibantu aparat Satpol PP untuk membersihkan lokasi dari para pedagang, menyebabkan para pedagang pergi secara perlahan, pindah ke tempat yang telah disediakan, atau berpindah ke tempat lain yang tidak diketahui, membuat PKL tidak berdaya dan seperti halnya relasi kuasa antara negara dan rakyat, yang memposisikan rakyat pada pihak yang lemah dan tak berdaya, maka PKL sebagai representasi rakyat tak berdaya menghadapi kekuatan negara tersebut.

Negara dengan aparatur represifnya, seperti halnya pemerintah kota Semarang dengan Satuan Tugas Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atas nama Peraturan Daerah memiliki legitimasi untuk menata, mengatur, menertibkan, bahkan menggusur pedagang kaki lima (PKL). Bagi PKL yang tidak patuh terhadap Peraturan Daerah, Pemkot dapat mengusirnya ke luar dari tempat PKL berdagang, seperti yang selama ini dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, serta beberapa PKL lainnya yang menempati ruang publik.

Pedagang Kaki Lima (PKL) di Semarang memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS). Organisasi ini eksis karena didukung oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kota Semarang. Sinergi kedua lembaga ini mampu memberikan bantuan,


(22)

pendampingan, dan fasilitasi kepada para PKL yang bermasalah dengan Pemkot Semarang.

Selain organisasi supra (karena dua lembaga ini cakupannya meliputi seluruh kota Semarang), di kalangan masing-masing PKL juga memiliki organisasi. PKL Sampangan sudah sejak lama mempunyai organisasi atau paguyuban PKL, hanya aktivitasnya telah berhenti sejak terjadinya penggusuran. Memang ada ketua baru, yaitu Satrio yang menggantikan ketua lama, tetapi karena ketua baru tersebut kurang peka terhadap kebutuhan anggota PKL, maka anggota PKL pun tidak aktif dan tidak peduli terhadap eksistensi organisasi. Arisan yang selama ini dilakukan secara rutin (tiap bulan), tidak lagi dilakukan, meskipun beberapa anggota menginginkan diadakannya arisan.

Di Sampangan, organisasi PKL ada, namun seperti tidak ada organisasi, karena sejak penggusuran, para anggota tetap berdagang di sekitar lokasi proyek, tetapi tidak ada tindakan bersama (kolektif) yang berkaitan dengan masa depan mereka. Mereka menggantungkan nasibnya kepada PPKLS yang diketuai Rini. Perlindungan dan pendampingan yang dilakukan oleh PPKLS menyebabkan mereka masih mampu bertahan di tengah pembangunan dan penataan sungai oleh proyek.

PKL Basudewo sudah lama memiliki paguyuban PKL, tetapi juga tidak eksis. Baru setelah PKL dikoordinasi pak Achmad, mereka memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Lestari Makmur (PPLM). Paguyuban PKL Basudewo ini telah didaftarkan pada Kantor Kesatuan Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Kota Semarang. Mereka memiliki AD-ART organisasi dan aktivitas paguyuban ini selama dalam masa-masa penertiban dan penggusuran cukup aktif mengadakan pertemuan dengan para anggotanya. Sampai mereka pindah ke Kokrosono, hingga kini mereka masih melakukan pertemuan dengan anggota


(23)

meskipun junlahnya tidak sebanyak ketika mereka masih berada di Basudewo.

Kehidupan sosial dalam arti interaksi sosial yang telah berlangsung lama di Basudewo tidak lagi terjadi, karena anggota PKL telah bercerai berai. Pertemuan intensif yang dahulu ada guna membahas nasib PKL, tidak ada lagi. Iuran untuk rapat dan mengadakan aksi bersama, juga tidak ada. Perjuangan mempertahankan lokasi berdagang tidak tampak lagi, karena anggota PKL telah terpecah pandangannya mengenai perlunya bertahan di lokasi atau bersedia pindah ke lokasi baru.

Sebagian PKL sudah pindah ke lokasi baru, karena takut akan intimidasi dari pihak pemerintah, sebagian lagi pindah tetapi tidak diketahui kemana mereka pindah, sebagian kecil bertahan di lokasi, dan akhirnya karena lokasi PKL sudah tidak dapat lagi digunakan untuk berdagang, maka anggota PKL yang tersisa bersedia pindah ke Kokrosono. Namun demikian, di tempatnya yang baru, pak Achmad selaku ketua PKL Basudewo (sekarang bernama PPLM) masih menjalankan aktivitas organisasi meskipun tidak seaktif dahulu.

PKL Kokrosono yang letaknya berada di tepi sungai Banjir Kanal Barat, sesungguhnya juga telah menjadi anggota organisasi dari paguyuban PKL yang dilegalisasi oleh pemerintah kota. Mereka sejatinya sudah diberi tempat berupa kios di sebelah utara rel kereta api, tetapi kios tersebut tidak dimanfaatkan untuk berdagang. Ada beberapa PKL yang bersedia pindah dan menjalankan aktivitas ekonomi di gedung PKL Kokrosono tersebut, tetapi sebagian besar PKL kembali berjualan di tepi jalan dekat sungai Banjir Kanal Barat.

Kios di gedung PKL diterima, tetapi hanya digunakan untuk menempatkan dan menyimpan barang dagangan. Konon menurut pedagang yang bersedia diwawancarai, kios tersebut sempit dan sepi dari pembeli. Meskipun sebagian PKL memiliki kartu anggota paguyuban PKL, tetapi karena mereka


(24)

membandel tetap beraktivitas di pinggir jalan dekat tepian sungai Banjir Kanal Barat, maka mereka tidak mendapatkan fasilitas dari Pemkot. Bahkan mereka juga tidak ditarik retribusi. Mereka tergolong ke dalam PKL liar. Selain PKL Kokrosono, di mata Pemkot, PKL Sampangan dan PKL Basudewo juga termasuk dalam kategori PKL liar.

Pemkot Semarang menyadari bahwa PKL memiliki modal organisasi yang cukup kuat, sehingga dalam melakukan penertiban, banyak cara atau strategi yang ditempuh Pemkot. Cara yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari cara persuasif hingga cara kekerasan telah mereka lakukan. Cara persuasif, misalnya dengan membujuk PKL agar pindah dari tempatnya telah dilakukan. Camat dan Kepala Kelurahan melakukan berbagai pendekatan, termasuk memberi surat peringatan kepada PKL, namun tidak diindahkan oleh PKL. Cara-cara kekerasan akhirnya ditempuh Pemkot, mulai dari menakut-nakuti, memberikan ancaman, memecah belah PKL, hingga merobohkan secara paksa bangunan dan lapak yang digunakan PKL untuk berdagang.

Pembangunan waduk Jatibarang yang berskala nasional dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh Pemerintah pusat, Provinsi, Kota dan dibantu oleh JICA Jepang, dengan alat-alat berat, seperti begu dan buldoser telah meratakan tanah di kanan kiri sungai. Perataan tanah dan penggalian lumpur di dalam sungai yang dilakukan pihak proyek, tidak dapat dicegah oleh PKL, karena memang apa yang dilakukan oleh pelaksana proyek sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga para pedagang yang jumlahnya tinggal sedikit menyingkir dari lokasi. Hanya beberapa PKL yang masih bertahan di lokasi. Cara yang terakhir inilah yang membuat nyali sebagian besar PKL runtuh dan banyak di antara mereka yang pindah ke tempat lain.


(25)

Modal sosial yang telah dibangun para PKL, seperti organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk sarana perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang tidak runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi ini masih ada, baik di Sampangan maupun di Basudewo (yang sekarang sudah pindah ke Kokrosono). Mega proyek pembangunan waduk dan normalisasi sungai secara fisik telah memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega proyek tersebut tidak mampu menghancurkan modal sosial yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan (sacrifice of social capital) yang telah melekat pada komunitas PKL Basudewo yang diketuai oleh Achmad, menjadi identitas dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono.

PKL Sampangan nyatanya masih bertahan dan bisa beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL Basudewo, yang sekarang telah pindah ke gedung PKL Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya yang baru. Interaksi antar pedagang juga masih terjalin hingga kini. Hampir tiap malam, mereka bertemu di gedung H tempat mereka beraktivitas ekonomi.

PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi, meskipun di tengah-tengah keterbatasan lahan yang kini sudah diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih berlangsung antar anggota paguyuban PKL. Norma reprositas masih nampak. Hal ini terlihat, ketika ada pedagang yang sakit atau keluarganya meninggal dunia, mereka beramai-ramai menengok dan menjenguknya. Masih berlangsungnya interaksi antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL yang didasarkan atas trust di antara mereka, menandakan bahwa modal sosial PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur sosial dan anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya tahan PKL


(26)

di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.

D. Modal Sosial memperkuat Daya Tawar

Pedagang kaki lima (PKL) merupakan segmen masyarakat yang berada pada lapisan menengah bawah. Mereka tidak memiliki sumber daya kekuasaan seperti halnya kelompok lapisan atas atau elit. Pendidikan mereka rata-rata rendah. Jikalau ada yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas, jumlahnya tidak banyak. Berbeda dengan lapisan elit, baik elit politik maupun ekonomi, rata-rata berpendidikan lebih tinggi, minimal sarjana. Keterampilan yang dimiliki para PKL juga tidak memadai, baik keterampilan yang menunjang usaha, seperti manajemen, keuangan, dan pemasaran maupun keterampilan hidup lainnya. Akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi yang dimiliki PKL juga relatif terbatas, bahkan boleh dikata tidak ada. Kapital yang dipunyai PKL pun tidak sebanding dengan modal yang dimiliki elit ekonomi dan politik.

Bagi PKL, lahan untuk beraktivitas ekonomi merupakan persoalan rumit, tetapi bagi elit ekonomi atau pengusaha besar bukan menjadi persoalan yang berarti, karena dengan uang yang dimiliki serta koneksi dengan para pejabat daerah, mereka bisa menyewa atau membeli lahan tanpa ada hambatan. Jaringan sosial yang dimiliki para elit ekonomi dan politik cukup luas dan bisa digunakan untuk memperkokoh status dan kedudukan mereka, sementara PKL hanya memiliki jaringan sosial terbatas, yakni dengan para PKL lainnya. Itulah sebabnya, dalam relasi kuasa antara PKL (yang mewakili golongan menengah bawah) dan elit ekonomi dan politik (yang merupakan representasi golongan atas), tidak seimbang. PKL berada pada posisi subordinat, yakni sebagai pihak yang


(27)

dikuasai, sedangkan elit ekonomi dan politik berada posisi superordinat, yaitu sebagai pihak yang menguasai.

Adanya kepentingan yang lebih besar dalam bingkai pembangunan ekonomi yang berbasis ideologi neoliberal, menjadikan banyak pemerintah daerah (kabupaten dan kota) lebih mengutamakan pembangunan yang menguntungkan pihak investor (Morrell 2008). Tidak heran kiranya jika hotel-hotel berbintang berdiri menjulang langit di tengah kota dan bahkan ada pula yang berada di dekat pusat pemerintahan.

Demikian pula, banyak gedung mall berdiri di tengah hingga pinggiran kota. Perumahan mewah dan perumahan dengan harga cukup tinggi banyak dibangun tidak hanya yang berdekatan dengan pusat kota, tetapi juga di pinggiran kota hingga memasuki wilayah pedesaan. Alfamart dan Indomart, toko kecil serba swalayan banyak dijumpai di kampung-kampung. Tidak sedikit toko Alfamart berdiri berhadapan atau berdampingan dengan toko Indomart dalam jarak yang sangat dekat, di tengah-tengah toko atau warung warga masyarakat setempat. Izin-izin untuk mendirikan bangunan serba modern tersebut tampaknya mudah diperoleh pengusaha besar.

Sementara itu, pelaku ekonomi sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL), tidak mudah mencari rezeki di kota. Pendidikan mereka rendah. Keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor formal, tidak mereka punyai. Lahan tidak punya. Akses terhadap fasilitas kota juga tidak ada. Mereka tergolong orang yang tidak berdaya. Mereka yang paling terpinggirkan dalam level ekonomi ini cenderung relatif tidak berdaya ketika dihadapkan pada beberapa pengaruh utama yang memengaruhi kehidupan mereka (Giddens 2003). Pengaruh itu misalnya kemauan politik pemerintah yang berpihak kepada investor. Itulah sebabnya, wajar kiranya jika mereka rentan ditertibkan dan digusur oleh aparat represif kota. Ini menunjukkan


(28)

perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap golongan masyarakat bawah atau pinggiran.

Kota Semarang dalam waktu ke depan hendak dibangun sebagai kota metropolitan yang sejajar dengan perkembangan kota metropolitan lainnya di Indonesia. Hal ini merupakan ungkapan dari visi SETARA atau Semarang Kota Sejahtera dari walikota Semarang, Soemarmo HS. Visi SETARA walikota Soemarmo HS dengan sapta programnya, yang meliputi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, rob dan banjir, pelayanan publik, tata ruang dan infrastruktur, kesetaraan dan keadilan gender, pendidikan serta kesehatan, mengarahkan program fisik pemerintah kota Semarang yang memengaruhi keberadaan pedagang kaki lima (PKL), khususnya mereka yang melakukan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.

Program besar Pemkot, yang didukung oleh anggaran APBD provinsi Jawa Tengah dan APBN pemerintah pusat, yaitu berupa pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, membuat Pemkot lebih banyak memusatkan perhatian pada proyek-proyek besar penataan fisik kota Semarang sebagai upaya mewujudkan Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang Berbudaya menuju Masyarakat Sejahtera. Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan banjir Kanal Barat yang telah diprogramkan sejak lama oleh Pemkot, untuk mengendalikan banjir di kota Semarang, membawa konsekuensi kepada relokasi PKL yang selama ini melakukan aktivitas ekonomi di tepi sungai tersebut.

Upaya menata kota Semarang tidak hanya melulu pada program pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, sebagai upaya untuk mengendalikan banjir dan rob di Kota Semarang, tetapi juga penataan fisik ruang Kota Semarang secara keseluruhan yang


(29)

didasarkan pada RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031. Penataan fisik, seperti penataan infrastruktur jalan-jalan protokol, pembuatan taman-taman kota, dan penciptaan ruang terbuka hijau, semua itu dimaksudkan untuk meraih perhatian investor agar bersedia menanamkan sahamnya untuk pengembangan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

Tujuan besar Pemerintah kota Semarang, yakni menjadikan kota Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa, membutuhkan dana besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Hanya para pemodal (investor) yang mampu memenuhi keinginan Pemkot Semarang, bukan pedagang kaki lima (PKL). Tidak heran jika, kebijakan Pemkot Semarang lebih berpihak kepada investor ketimbang PKL, demi tujuan menjadikan kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa. Dalam beberapa hal, sikap Pemkot tersebut tidak semuanya salah. Alasannya adalah, pembangunan membutuhkan biaya yang tidak kecil.

Keberpihakan Pemkot Semarang kepada investor, salah satunya tampak dari izin yang diberikan kepada investor untuk membuka usaha perhotelan dan apartemen di kota Semarang. Dalam 15 tahun terakhir, berdiri banyak hotel di kota Semarang, beberapa di antaranya berada di pusat kota. Hotel yang sudah berdiri lama adalah hotel Graha Santika, hotel Santika, hotel Plaza, hotel Grand Candi, hotel Grasia, hotel Muria, hotel Jelita, hotel Patimura, dan hotel Patrajasa. Sementara itu, hotel baru yang telah berdiri, yaitu hotel Ibis, hotel Novotel, hotel Gumaya, hotel Dafam, hotel Olimpic, hotel Pandanaran, hotel Horison, hotel Ciputra, hotel Siliwangi, hotel Amaris, hotel Quest, hotel Belle View, hotel Wizz, dan beberapa hotel kecil lainnya.

Pada akhir tahun 2011, Pemkot memberikan izin kepada pemodal besar untuk mendirikan apartemen Mutiara Garden


(30)

dan Star di dekat pusat kota. Demikian pula, Pemkot Semarang mengizinkan berdirinya mall dan pasar modern, seperti Matahari Mall, Citraland Mall, Java Super Mall, E-Plaza, Pasaraya Sri Ratu, Pusat Grosir Makro, ACE Mall, dan “ritel” lainnya, seperti Alfamart dan Indomart yang menyebar hampir di semua kecamatan yang ada di kota Semarang.

Kebutuhan akan investasi dan obsesi menjadikan Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa juga melatarbelakangi Pemkot Semarang memberi izin kepada pengusaha untuk membuka usaha kuliner, seperti MacDonald, Kentucky Fred Chicken (KFC), rumah makan Cianjur, rumah makan Nglaras Roso, rumah makan Lombok Ijo, rumah makan Tan Goei, rumah makan Borobudur, rumah makan Padang Nusantara, rumah makan Sederhana, rumah makan Mak Engking, Festifal Makanan Manggala, Pujasera GAPURA, Kedai Beringin, dan rumah makan besar lainnya.

Dunia hiburan pun berkembang pesat seiring dengan upaya Pemkot dalam menggenjot investasi. Pusat-pusat karaoke berdiri dan menjadi tempat melepas penat bagi warga Kota Semarang pada malam hari. Vina House, Star Quin, Family Fun Karaoke, Happy Puppy, dan tempat-tempat hiburan lainnya, menjanjikan kegembiraan bagi warga kota yang ingin melepas lelah setelah seharian bekerja di kantor. Perkembangan hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan, menjadikan kota Semarang seakan tak pernah tidur, karena sepanjang hari hingga malam selalu hidup dan beraktivitas. Semua itu karena didasarkan pada upaya pemrintah kota Semarang untuk menarik investor agar menanamkan sahamnya di kota Semarang guna mengakselerasi terwujudnya visi Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa, para investor diuntungkan oleh Pemkot karena karena kebijakan pro-investasi Pemkot; sedangkan


(31)

kelompok masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima (PKL), menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang pro-neoliberal.

Kebijakan Pemkot Semarang terhadap eksistensi kelompok masyarakat kecil tidak semuanya merugikan mereka. Sebagai upaya mempercantik wilayah Simpang Lima dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, Pemkot membuat shelter-shelter yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki lima. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para pedagang yang telah lama berjualan di tepi bundaran Simpang Lima, seperti pedagang nasi dan minuman. Pedagang lain tentu tidak bisa menempati shelter di Simpang Lima, karena selain tempatnya terbatas, juga hanya diberikan kepada pedagang nasi dan minuman yang lama menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar bundaran Simpang Lima.

Demikian juga, shelter-shelter yang dibangun di sekitar Taman KB atau jalan Menteri Soepeno, hanya diperuntukkan bagi para pedagang makanan dan minuman yang telah lama berdagang di jalan Menteri Soepeno, termasuk pedagang jagung bakar dan pedagang nasi dan minuman, pindahan dari jalan Pahlawan (yang memang harus bersih dari pedagang, demi menciptakan citra bersih, rapi, dan indah kota Semarang). Fasilitas yang diterima para pedagang di bundaran Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno tidak gratis, tanpa adanya usaha dan negosiasi. Mereka mendapatkan fasilitas dan diperbolehkan berdagang berkat dukungan dan bantuan dari PPKLS dan organisasi mereka yang hingga kini masih aktif.

Perlakuan Pemkot terhadap PKL Simpang Lima dan Menteri Soepeno tidak sama terhadap PKL liar yang beraktivitas di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di sekitar bundaran Simpang Lima, di jalan Pahlawan, dan di jalan Menteri Soepeno bernasib baik, karena masih bisa berdagang,


(32)

bahkan mendapatkan fasilitas yang memadai dari Pemkot, tidak demikian halnya bagi PKL liar yang menempati lokasi di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang berdagang di pinggir jalan dekat tepian sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ini dipandang sebagai komunitas yang mengganggu pelaksanaan program-program pembangunan dan peraihan Adipura. Jika PKL yang beraktivitas ekonomi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut tidak ditertibkan dan digusur, maka akan mengganggu pelaksanaan proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Di Sampangan dan Basudewo, sebagian PKL mendirikan bangunan semi permanen, seperti rumah-rumah kios yang berlantaikan keramik atau plester dan dindingnya juga tembok beton, sehingga menyulitkan kendaraan dan alat-alat proyek masuk untuk mengeruk tanah endapan yang ada di sungai. Mereka sudah diperingatkan Pemkot, tetapi PKL tidak menggubrisnya, sehingga untuk memudahkan pengerjaan proyek normalisasi sungai, Pemkot melakukan penertiban dan penggusuran, termasuk meratakan bangunan dan lapak-lapak PKL yang ada di Sampangan dan Basudewo.

Tidak seperti halnya PKL Sampangan dan PKL Basudewo yang memberikan perlawanan disertai kekerasan ketika ditertibkan, Pemkot Semarang lebih mudah melakukan penertiban terhadap PKL Kokrosono karena di Kokrosono tidak ada lagi bangunan permanen dan semi permanen yang digunakan PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun demikian, PKL Kokrosono tetap nekat berdagang, meskipun berkali-kali mereka diperingatkan dan ditertibkan Pemkot.

Akibat dari penggusuran terhadap PKL Sampangan dan PKL Basudewo, maka PKL Sampangan menepi dan mengalah berdagang di sebelah selatan proyek atau tepatnya di sebelah selatan kantor PSDA dan Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang


(33)

dan Banjir Kanal Barat. Itu pun atas negosiasi yang dilakukan oleh PPKLS. Pihak PSDA percaya kepada para pedagang dan membiarkan pedagang berjualan di sekitar proyek, karena sudah ada kesepakatan ketika nanti lahan sudah dirapikan PKL bersedia pindah ke tempat lain. Kepercayaan (trust) inilah yang menjadikan PKL Sampangan masih dapat berjualan di lokasi dekat kantor PSDA. PKL Basudewo yang sudah tidak memiliki alat-alat produksi di Basudewo, karena lokasi mereka sudah rata dengan tanah, akhirnya pindah ke tempat lain. Sebagian pindah ke gedung PKL Kokrosono yang telah disediakan Pemkot, dan sebagian lagi pindah kemana tidak diketahui lagi nasibnya.

Tidak seperti PKL Sampangan dan PKL Basudewo, PKL Kokrosono liar masih tetap menjalankan aktivitasnya, meskipun lokasinya digunakan untuk keluar masuk kendaraan dan alat-alat berat proyek normalisasi sungai. Komunikasi yang baik antara pedagang dengan pihak proyek membuat mereka masih diizinkan berdagang di tengah pengerjaan bangunan talut dan perapian jalan di sisi kiri dan kanan sungai Banjir Kanal Barat. Para PKL pun menyadari, ketika proyek normalisasi sungai selesai, mereka juga akan pindah ke tempat lain atau berdagang di gedung PKL Kokrosono.

Interaksi yang masih berlangsung dengan baik di antara para pedagang, maupun komunikasi yang mereka bangun dengan pihak proyek, merupakan modal sosial yang menjadi daya tawar sekaligus memberikan kekuatan kepada pedagang kaki lima untuk bertahan di lokasi guna menjalankan aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi PKL dan keluarganya.

E. Rangkuman

Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki landasan, di antaranya adalah prinsip-prinsip atau


(34)

asas-asas pemerintahan yang baik. Semua azas dan prinsip tersebut dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam realitasnya, pemerintah kota Semarang (terutama pada masa kepemimpinan Soekawi Soetarip) tidak mampu menghasilkan kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan, dan para pedagang kecil, termasuk pedagang kaki lima liar atau yang tidak terorganisasi.

Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap, wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam realitasnya tidak digunkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya, tidak banyak dinikmati oleh kelompok marginal di jalanan seperti pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan PKL.

Dalam rangka mengejar visi Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa, disadari atau tidak Pemkot telah melakukan kekerasan simbolik dan langsung kepada PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda Nomor 11 Tahun 2000, yang lebih banyak mengedepankan pengaturan kepada PKL ketimbang pemberdayaan terhadap PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.


(35)

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung.

Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011.

Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat tidak akan terlaksana dengan baik jika Pemkot tidak melakukan kekerasan langsung, berupa penggusuran dan pengusiran secara paksa kepada PKL yang berlokasi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut. Mesin-mesin penggusur milik kapitalis didukung oleh aparatus represif pro-kapitalis neoliberalis, telah menghancurkan bangunan dan lapak yang digunakan PKL untuk berdagang.

Tidak adanya alat-alat produksi untuk berdagang membuat individu-individu PKL terpecah kesatuannya, terutama mereka yang berjualan di Basudewo. Sebagian, karena telah diberi uang tali asih bersedia pindah, lainnya pindah ke gedung PKL Kokrosono, dan lainnya lagi pindah entah ke mana tidak diketahui nasibnya. Demikian pula, PKL Sampangan tidak berdaya menghadapi kekuatan kapitalis, sehingga mereka menepi berjualan di sebelah selatan proyek. Meskipun para PKL telah tercerai berai, namun kekuatan mereka yaitu modal sosial yang mereka miliki tidaklah runtuh. Bonding social capital masih ada meskipun kadarnya tidak sekuat ketika PKL masih bersatu di lokasi masing-masing. Demikian pula bridging social capital masih tetap dibangun, meskipun anggota jejaring berkurang junmlahnya. Pindahnya PKL ke tempat lain, seperti halnya yang diperlihatkan PKL Basudewo di gedung PKL


(36)

Kokrosono, hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial, bahkan pak Achmad dan teman-teman mendapat kawan-kawan baru di lokasinya yang baru. Demikian pula, PKL Sampangan hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial, meskipun lokasi lama telah digusur dan berpindahnya pasar Sampangan ke lokasi baru juga tidak memengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial mereka.

Modal sosial PKL, seperti trust, norma reprositas, dan jaringan sosial masih ada meskipun mereka telah ditertibkan dan digusur. Sepanjang masih ada interaksi sosial di antara PKL, modal sosial tersebut tidak akan hilang.


(1)

kelompok masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima (PKL), menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang pro-neoliberal.

Kebijakan Pemkot Semarang terhadap eksistensi kelompok masyarakat kecil tidak semuanya merugikan mereka. Sebagai upaya mempercantik wilayah Simpang Lima dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, Pemkot membuat shelter-shelter yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki lima. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para pedagang yang telah lama berjualan di tepi bundaran Simpang Lima, seperti pedagang nasi dan minuman. Pedagang lain tentu tidak bisa menempati shelter di Simpang Lima, karena selain tempatnya terbatas, juga hanya diberikan kepada pedagang nasi dan minuman yang lama menjalankan aktivitas ekonomi di sekitar bundaran Simpang Lima.

Demikian juga, shelter-shelter yang dibangun di sekitar Taman KB atau jalan Menteri Soepeno, hanya diperuntukkan bagi para pedagang makanan dan minuman yang telah lama berdagang di jalan Menteri Soepeno, termasuk pedagang jagung bakar dan pedagang nasi dan minuman, pindahan dari jalan Pahlawan (yang memang harus bersih dari pedagang, demi menciptakan citra bersih, rapi, dan indah kota Semarang). Fasilitas yang diterima para pedagang di bundaran Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno tidak gratis, tanpa adanya usaha dan negosiasi. Mereka mendapatkan fasilitas dan diperbolehkan berdagang berkat dukungan dan bantuan dari PPKLS dan organisasi mereka yang hingga kini masih aktif.

Perlakuan Pemkot terhadap PKL Simpang Lima dan Menteri Soepeno tidak sama terhadap PKL liar yang beraktivitas di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di sekitar bundaran Simpang Lima, di jalan Pahlawan, dan di jalan Menteri Soepeno bernasib baik, karena masih bisa berdagang,


(2)

demikian halnya bagi PKL liar yang menempati lokasi di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang berdagang di pinggir jalan dekat tepian sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ini dipandang sebagai komunitas yang mengganggu pelaksanaan program-program pembangunan dan peraihan Adipura. Jika PKL yang beraktivitas ekonomi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut tidak ditertibkan dan digusur, maka akan mengganggu pelaksanaan proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.

Di Sampangan dan Basudewo, sebagian PKL mendirikan bangunan semi permanen, seperti rumah-rumah kios yang berlantaikan keramik atau plester dan dindingnya juga tembok beton, sehingga menyulitkan kendaraan dan alat-alat proyek masuk untuk mengeruk tanah endapan yang ada di sungai. Mereka sudah diperingatkan Pemkot, tetapi PKL tidak menggubrisnya, sehingga untuk memudahkan pengerjaan proyek normalisasi sungai, Pemkot melakukan penertiban dan penggusuran, termasuk meratakan bangunan dan lapak-lapak PKL yang ada di Sampangan dan Basudewo.

Tidak seperti halnya PKL Sampangan dan PKL Basudewo yang memberikan perlawanan disertai kekerasan ketika ditertibkan, Pemkot Semarang lebih mudah melakukan penertiban terhadap PKL Kokrosono karena di Kokrosono tidak ada lagi bangunan permanen dan semi permanen yang digunakan PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun demikian, PKL Kokrosono tetap nekat berdagang, meskipun berkali-kali mereka diperingatkan dan ditertibkan Pemkot.

Akibat dari penggusuran terhadap PKL Sampangan dan PKL Basudewo, maka PKL Sampangan menepi dan mengalah berdagang di sebelah selatan proyek atau tepatnya di sebelah selatan kantor PSDA dan Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang


(3)

dan Banjir Kanal Barat. Itu pun atas negosiasi yang dilakukan oleh PPKLS. Pihak PSDA percaya kepada para pedagang dan membiarkan pedagang berjualan di sekitar proyek, karena sudah ada kesepakatan ketika nanti lahan sudah dirapikan PKL bersedia pindah ke tempat lain. Kepercayaan (trust) inilah yang menjadikan PKL Sampangan masih dapat berjualan di lokasi dekat kantor PSDA. PKL Basudewo yang sudah tidak memiliki alat-alat produksi di Basudewo, karena lokasi mereka sudah rata dengan tanah, akhirnya pindah ke tempat lain. Sebagian pindah ke gedung PKL Kokrosono yang telah disediakan Pemkot, dan sebagian lagi pindah kemana tidak diketahui lagi nasibnya.

Tidak seperti PKL Sampangan dan PKL Basudewo, PKL Kokrosono liar masih tetap menjalankan aktivitasnya, meskipun lokasinya digunakan untuk keluar masuk kendaraan dan alat-alat berat proyek normalisasi sungai. Komunikasi yang baik antara pedagang dengan pihak proyek membuat mereka masih diizinkan berdagang di tengah pengerjaan bangunan talut dan perapian jalan di sisi kiri dan kanan sungai Banjir Kanal Barat. Para PKL pun menyadari, ketika proyek normalisasi sungai selesai, mereka juga akan pindah ke tempat lain atau berdagang di gedung PKL Kokrosono.

Interaksi yang masih berlangsung dengan baik di antara para pedagang, maupun komunikasi yang mereka bangun dengan pihak proyek, merupakan modal sosial yang menjadi daya tawar sekaligus memberikan kekuatan kepada pedagang kaki lima untuk bertahan di lokasi guna menjalankan aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi PKL dan keluarganya.

E. Rangkuman

Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki landasan, di antaranya adalah prinsip-prinsip atau


(4)

tersebut dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam realitasnya, pemerintah kota Semarang (terutama pada masa kepemimpinan Soekawi Soetarip) tidak mampu menghasilkan kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan, dan para pedagang kecil, termasuk pedagang kaki lima liar atau yang tidak terorganisasi.

Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap, wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam realitasnya tidak digunkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya, tidak banyak dinikmati oleh kelompok marginal di jalanan seperti pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan PKL.

Dalam rangka mengejar visi Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa, disadari atau tidak Pemkot telah melakukan kekerasan simbolik dan langsung kepada PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda Nomor 11 Tahun 2000, yang lebih banyak mengedepankan pengaturan kepada PKL ketimbang pemberdayaan terhadap PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.


(5)

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung.

Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011.

Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat tidak akan terlaksana dengan baik jika Pemkot tidak melakukan kekerasan langsung, berupa penggusuran dan pengusiran secara paksa kepada PKL yang berlokasi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut. Mesin-mesin penggusur milik kapitalis didukung oleh aparatus represif pro-kapitalis neoliberalis, telah menghancurkan bangunan dan lapak yang digunakan PKL untuk berdagang.

Tidak adanya alat-alat produksi untuk berdagang membuat individu-individu PKL terpecah kesatuannya, terutama mereka yang berjualan di Basudewo. Sebagian, karena telah diberi uang tali asih bersedia pindah, lainnya pindah ke gedung PKL Kokrosono, dan lainnya lagi pindah entah ke mana tidak diketahui nasibnya. Demikian pula, PKL Sampangan tidak berdaya menghadapi kekuatan kapitalis, sehingga mereka menepi berjualan di sebelah selatan proyek. Meskipun para PKL telah tercerai berai, namun kekuatan mereka yaitu modal sosial yang mereka miliki tidaklah runtuh. Bonding social capital masih ada meskipun kadarnya tidak sekuat ketika PKL masih bersatu di lokasi masing-masing. Demikian pula bridging social capital masih tetap dibangun, meskipun anggota jejaring berkurang junmlahnya. Pindahnya PKL ke tempat lain, seperti halnya yang diperlihatkan PKL Basudewo di gedung PKL


(6)

dan sosial, bahkan pak Achmad dan teman-teman mendapat kawan-kawan baru di lokasinya yang baru. Demikian pula, PKL Sampangan hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial, meskipun lokasi lama telah digusur dan berpindahnya pasar Sampangan ke lokasi baru juga tidak memengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial mereka.

Modal sosial PKL, seperti trust, norma reprositas, dan jaringan sosial masih ada meskipun mereka telah ditertibkan dan digusur. Sepanjang masih ada interaksi sosial di antara PKL, modal sosial tersebut tidak akan hilang.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4