Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

(1)

Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang pembangunan kota Semarang baik secara fisik maupun nonfisik dan bagaimana posisi pedagang kaki lima (PKL) di tengah-tengah hiruk pikuk pembangunan kota Semarang, khususnya pembangunan infrastruktur kota yang diawali dari masa

kepemimpinan walikota Soekawi Soetarip hingga

kepemimpinan Soemarno HS. Sebelum dideskripsikan

bagaimana PKL berjuang mempertahankan hidup di tengah kegiatan pembangunan yang dirancang pemerintah kota, berikut dikemukakan sejarah perkembangan kota Semarang, faktor geografi dan demografinya, serta kebijakan pemerintah dalam hal industri, perdagangan dan jasa yang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah kota dalam melakukan penataan PKL.

A. Semarang sebagai Kota Dagang dan Jasa

Kota Semarang merupakan kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa, selain Jakarta, Cirebon, Tegal, Jepara, dan

Surabaya. Semarang berperan penting, karena letak

geografisnya yang strategis, yakni berada di tengah-tengah kepulauan Indonesia. Kota Semarang juga unik dan indah. Semarang secara geografis terletak pada posisi 6º.50´- 7º.10´ Lintang Selatan dan garis 109º.35´- 110º.50´ Bujur Timur. Menurut van Bemmelen, kira-kira 500 tahun yang lalu, keadaan kota Semarang jauh berbeda dengan kondisi sekarang . Di kala itu, garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunungsawo Simongan, dan bukit-bukit kecil lainnya. Dalam proses


(2)

berjalannya waktu, terjadilah pendangkalan dan endapan lumpur, sehingga timbullah suatu dataran baru, yang di kemudian hari dikenal kota bawah dan kota atas. Adanya kota atas dan kota bawah inilah yang membuat Semarang menjadi unik dan indah.

Ketika seseorang memasuki kota Semarang, akan terlihat suatu pemandangan indah, suatu garis pantai dengan latar belakang gedung-gedung dan bukit-bukit yang mengelilingi kota, ditambah lagi jika udara cerah akan tampak pula dari kejauhan gunung Ungaran, gunung Merbabu, bahkan pula gunung Merapi dan Telomoyo jika seseorang berada di kota atas.

Jika berkendaraan ke arah timur menuju Demak, dari kejauhan akan tampak pula gunung Muria dan apabila bersepeda ke arah barat menuju Mijen atau Kendal akan tampak dari kejauhan gunung Sindoro. Keindahan kota Semarang yang menakjubkan, maka tidak salah ketika kiranya orang Belanda menyebutnya sebagai Venesia dari timur (Tio

t.th.:7). Rinkes menyebut kota Semarang sebagai “de oude stat”.

Pada zaman Hindu dahulu di daerah Gereja Blenduk sekarang masih berupa lautan. Semarang memiliki sungai yang namanya unik, yaitu sungai Kaligarang.

Van Bemmelen menjelaskan bahwa secara geologis, muara sungai Kaligarang merupakan suatu pelabuhan alam bagi daerah Semarang yang letaknya di belakang pulau terkenal yaitu bukit Bergota dan Mugas. Realitasnya, pulau tersebut merupakan pulau Tirang yang merupakan satu kesatuan pulau di daerah perbukitan Bergota dan Mugas. Pada abad XV daerah tersebut masih berupa jazirah. Mengapa pulau tersebut dinamakan pulau Tirang? Menurut perkiraan Tio (t.th:7), daerah tersebut merupakan rawa-rawa tempat bermuaranya sungai-sungai di daerah itu, dan akibatnya lumpur-lumpur yang


(3)

nelayan disebut “Trang” atau “Tirangan” atau karena daerah

tersebut terdapat banyak tiram, yaitu sejenis spesies laut catrea

imbricata, sehingga pulau tersebut dinamakan pulau Tirang. Pada tahun 1678, seorang Belanda, Cornelis Speelman mencatat betapa ramainya pelabuhan Semarang, melebihi pelabuhan Jepara yang terletak di sebelah timur Semarang. Bahkan berabad-abad yang lalu hingga abad ke XVI, di pantai utara Jawa terdapat beberapa pangkalan dagang penting yang sering disinggahi kapal-kapal pedagang dari mancanegara. Salah satu pelabuhan penting yang disinggahi adalah pelabuhan Jepara. Namun seiring berjalannya waktu, banyak pedagang dari Arab, Tiongkok dan India yang singgah di pelabuhan Semarang, karena letaknya yang strategis, alami, indah, dan datarannya subur.

Pendapatan pajak yang diperoleh dari Semarang pada tahun 1677 melebihi pendapatan serupa yang diperoleh dari pelabuhan Jepara, sehingga penguasa Belanda pada tahun 1708 menginstruksikan semua pejabat penting dan catatan-catatan yang berkaitan dengan perdagangan pada waktu itu untuk dipindahkan ke Semarang. Dari catatan sejarah diketahui pula bahwa pada zaman Mataram kuno kira-kira abad VIII, Semarang sudah dikenal sebagai kota pelabuhan penting, yang jika dilihat sekarang kira-kira terletak di sekitar pasar Bulu di kaki bukit Bergota, yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan di belakang gereja Kathedral) dan bukit Mugas, yang sekarang terdapat gedung PTP dan gedung Unisbank di belakang pom bensin hingga ke daerah Telogobayem. Di sebelah selatan dan barat Bergota terdapat bukit Candi dan Simongan, yakni daerah sekitar Gedong Batu sekarang dan pada waktu itu banyak pendatang dari daratan Tiongkok yang singgah dan bermukim di sana.


(4)

Para urban dan warga asli kota Semarang pasti akan

berusaha mencari tahu apa arti atau makna “Semarang”. Ada

beberapa versi mengenai asal mula nama Semarang.

Pertama, pada awal abad ke 16 pulau Tirang sudah dihuni oleh banyak penduduk dan di sana ada sedikit pohon asem. Konon, karena pohon asem atau asam itu jarang atau arang, maka daerah yang ada pohon tersebut dinamakan Semarang.

Kedua, cikal bakal Semarang di pulau Tirang, diperkirakan kawasan tersebut terlerak di bukit Bergota dan Mugas, tumbuh beberapa pohon asem (asam+tirang = Semarang).

Ketiga, ada seorang kiai bernama Ki Pandan Arang, tinggal di suatu tempat di tepi pantai dekat bukit Bergota yang subur, pohonnya cukup banyak dan rindang. Di kemudian hari, daerah itu disebut dengan Semarang.

Kedatangan Ki Pandan Arang di pulau Tirang ini, disebutkan dalam Serat Kandaning Ringgit Purwo (SKRP) naskah KBG nomor 7 sebagai berikut.

Sinigeg wau rumiyin Kucapen pulo Tirang Ki Pandan Arang kang nami Kalanya duk tinuding Dateng sunan Bonang iku Kinen truko puniko

Ing Tirang Amper anenggih Duk semana akatah telukanira

Dalam bahasa Indonesia, artinya adalah sebagai berikut. Dipotong dahulu ceritera itu

Kisah pulau Tirang

Ki Pandan Arang namanya Pada waktu ditunjuk Oleh sunan Bonang


(5)

Yaitu di Tirang Amper Pada waktu itu banyak orang Yang takluk kepadanya.

Kota Semarang merupakan kota lama. Kota ini diperkirakan sudah berdiri sejak zaman Hindia Belanda. Tio (t.th.:8-9) dengan mengutip pandangan Amen Budiman, menyebutkan bahwa Semarang lahir pada tahun 1398 tahun saka atau tahun 1476 masehi, yakni diawali dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Bergota yang pada waktu itu masih berupa jazirah bernama Tirang. Pemuda yang di kemudian hari diketahui bernama Ki Pandan Arang bertugas mengislamkan penduduk yang bermukim di daerah Tirang. Dengan berjalannya waktu, pengikut Ki Pandan Arang bertambah banyak hingga di daerah Tirang makin banyak penduduk yang beragama Islam.

Ki Pandan Arang I yang nama lainnya adalah Ki Pandanaran diangkat sebagai penguasa pertama kota Semarang. Ki Pandan Arang meninggal pada tahun 1496, dimakamkan di Karang Winara (sekarang namanya Bubakan) dan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda makam tersebut dipindahkan ke Mugas hingga sekarang. Keturunan Ki Pandan Arang, yaitu Kiai Pandan Arang II atau Sunan Tembayat ditunjuk oleh pemerintah kerajaan Demak sebagai Bupati Semarang yang pertama pada tanggal 2 Mei 1547 dan meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran agama Islam. Pada tanggal 29 April 1978, sidang paripurna DPRD kota Semarang menetapkan tanggal 2 Mei 1547 sebagai hari jadi kota Semarang.

Dari legenda atau kisah di atas, diketahui bahwa pada zaman dahulu di Semarang banyak tumbuh pohon asam atau asem. Pohon ini banyak manfaatnya. Buah, daun maupun batangnya, dapat digunakan untuk bumbu masak, obat, dan keperluan rumah tangga lainnya. Pohon asem yang dahulu banyak tumbuh di jalan-jalan di kota Semarang seperti jalan


(6)

Pemuda, jalan Gajahmada, jalan Ahmad Yani, dan jalan MT. Haryono, sekarang mulai berkurang jumlahnya. Karena tuntutan pembangunan, jalan-jalan harus dilebarkan dan pohon asem yang rindang tersebut diganti pohon lainnya, seperti angsana yang tentu manfaatnya tidak sebanyak pohon asem, kecuali hanya sebagai pelindung dari sinar matahari ketika musim panas. Hampir di ruas jalan-jalan utama di kota Semarang ditanami pohon angsana, padahal selain manfaatnya kurang, pohon ini mudah patah ketika datang angin kencang.

Secara topografis, kota Semarang terdiri atas daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Daerah pantai 65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25% dan 37,78% merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 15-40%. Kondisi lereng tanah kota Semarang dibagi menjadi empat jenis kelerengan.

Pertama, lereng I (0-2%) meliputi kecamatan Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan Tugu, serta sebagian wilayah kecamatan Tembalang, Banyumanik, dan Mijen.

Kedua, lereng II (2-5%), meliputi kecamatan Semarang

Barat, Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur,

Gunungpati, dan Ngaliyan.

Ketiga, lereng III (15-40%), meliputi area Kaligarang dan kali Kreo (yang berada di kecamatan Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), dan sebagian wilayah kecamatan Banyumanik, serta kecamatan Candisari.

Keempat, lereng IV (lebih dari 50%), meliputi sebagian wilayah kecamatan Banyumanik sebelah tenggara dan sebagian wilayah kecamatan Gunungpati, terutama di sekitar Kali Garang dan Kali Kripik.


(7)

Kota bawah yang berupa pantai dan dataran rendah, memiliki kemiringan antara 0% hingga 5%. Kota bawah yang sebagian besar tanahnya terdiri atas pasir dan lempung, banyak digunakan untuk jalan, pemukiman atau perumahan, bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang, dan persawahan.

Lahan yang ada di kota Semarang digunakan untuk kepentingan ekonomi maupun nonekonomi. Pola tata guna lahan terdiri atas perumahan, tegalan, kebun campuran, sawah, tambak, hutan, perusahaan, jasa, industri, dan lainnya, dengan sebaran perumahan sebesar 33,70%, tegalan sebesar 15,77%, kebun campuran 13,47%, sawah 12,96%, tambak 6,96%, hutan 3,69%, perusahaan 2,42%, jasa 1,52%, industri 1,26% dan penggunaan lainnya yang meliputi jalan, sungai, dan tanah kosong sebesar 8,25% (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).

Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Semarang tahun 2000-2010, telah ditetapkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya, kawasan lindung setempat, dan kawasan rawan bencana. Kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya adalah kawasan dengan kemiringan lebih dari 40%, yang tersebar di wilayah bagian selatan; kawasan lindung setempat adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan waduk, dan sempadan mata air; dan kawasan lindung rawan bencana adalah kawasan yang mempunyai kerentanan bencana longsor dan gerakan tanah.

Kawasan yang dikembangkan untuk kepentingan budidaya meliputi rencana kawasan perdagangan dan jasa, rencana kawasan pemukiman, perdagangan dan jasa, rencana kawasan pendidikan, rencana kawasan pemerintahan dan perkantoran, rencana kawasan industri, rencana kawasan olahraga, rencana kawasan wisata atau rekreasi, rencana kawasan perumahan dan


(8)

pemukiman, rencana kawasan pemakaman umum, rencana kawasan khusus (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).

Untuk kepentingan penelitian ini akan dijelaskan rencana kawasan perdagangan dan jasa, rencana kawasan pemukiman, perdagangan dan jasa, dan rencana kawasan industri. Kawasan perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang didominasi pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan komersial perdagangan dan jasa pelayanan. Pengembangan kawasan ini untuk mendukung perwujudan kota Semarang sebagai sentra perdagangan dan jasa dalam skala regional dan nasional.

Kawasan perdagangan dan jasa ditetapkan tersebar pada setiap Bagian Wilayah Kota (BWK), terutama di pusat-pusat BWK guna mengurangi tingkat kepadatan dan beban pelayanan di pusat kota. Arahan pemanfaatan ruang kawasan perdagangan dan jasa dapat dicermati pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Arahan Pemantapan Kawasan Perdagangan dan Jasa

No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi

1 .

Kawasan perdagan gan dan jasa modern

Kegiatan perdaga-ngan dan jasa dengan standar regional/ nasional/ interna-sional Kawasan PETAWA-NGI Rencana investasi berskala besar dalam bentuk Kawasan Niaga modern dan Taman Rekreasi Kota.

Pengembangan kawasan ini dilakukan tanpa menghilangkan kantong pemukiman yang telah ada 2 . Kawasan perdagan gan khusus Kegiatan perdagan gan dan jasa dengan karakter khusus Kawasan Pasar Johar, Kawasan Pasar Agro Kegiatan perdagangan dan jasa dengan karakter khusus yang berada di pusat kota, dengan tetap mempertahankan keberadaannya karena merupakan ciri kota Semarang

3 .

Perdagan gan dan jasa skala subkota

Kegiatan perdaga-ngan dan jasa

Pusat-pusat BWK

Pengembangan perdagangan dan jasa baru skala subkota diarahkan untuk memacu perkembangan daerah


(9)

No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi selatan, khususnya di daerah Pedurungan, Tembalang, Banyumanik, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, dan Tugu 4 . Pasar tradisional Kegiatan perdagan

gan di

kawasan perkampu ngan nonurban

Mijen dan Gunungp ati

Pasar formal ditingkatkan kualitasnya, terutama dalam hal sarana pasar, bidang pemasaran, keuangan, serta peningkatan kapasitas pasar dan renovasi pasar. Pasar formal diharapkan juga mampu menampung dan berperan dalam memecahkan

permasalahan pedagang informal. Selain itu, juga diharapkan mampu menertibkan pasar-pasar informal agar menunjang pengisian pasar-pasar formal yang ada. 5 . Pasar loak Kegiatan perdagan gan Pasar Barito dan Kokroson o

Pasar ini perlu dicarikan lokasi yang legal dengan tetap mempertimbangkan kekhasan kegiatan yang ada.

Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Dari arahan pemantapan kawasan perdagangan dan jasa sebagaimana terdapat dalam tabel di atas, tampak bahwa perhatian pemerintah kota Semarang terhadap eksistensi, pertumbuhan, dan perkembangan sektor informal masih kurang. Kalau ada, masih terbatas pada penataan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima yang berada di sentra PKL Barito dan Kokrosono, yang sehari-harinya menjual barang-barang bekas, seperti onderdil mobil dan sepeda motor, tape recorder, dongkrak, dan lain-lain, meskipun di beberapa kios juga menjual barang-barang baru.


(10)

Demikian pula, pasar-pasar krempyeng yang zaman dahulu terkenal dengan tradisi bazaar ditertibkan agar bisa masuk mengisi kios di pasar tradisional. Orientasi pemerintah kota Semarang adalah mengintegrasikan pasar-pasar informal, termasuk para pedagangnya ke dalam struktur pasar tradisional yang sudah ada. Contoh yang paling riil adalah penertiban pedagang pasar informal yang berdagang di sekitar pasar Bulu.

Mereka ditertibkan karena dianggap menimbulkan

kekumuhan dan kelancaran lalu lintas. Kini pasar Bulu sudah bersih dari pedagang pasar informal. Pasar krempyeng yang berada di belakang pasar Bulu juga ditertibkan. Para pedagang diharapkan sebisa mungkin bergabung dengan para pedagang yang sudah berjualan di pasar Bulu.

Perhatian kepada pedagang kaki lima (PKL) liar yang jumlahnya dari waktu ke waktu makin meningkat, tampaknya masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya rencana kota dalam membuatkan sentra PKL sesuai dengan kekhasan mereka, kecuali dibuatnya sentra PKL baru (itu pun bersifat relokasi dan renovasi) di jalan Menteri Soepeno. Pemerintah kota Semarang memang telah membuatkan tempat untuk berdagang atau menjual jasa bagi para PKL, yaitu di Kokrosono dan pasar Waru, hanya saja di dua lokasi ini tempatnya tidak memadai bagi para pedagang. Selain kedua tempat ini kumuh dan kotor, sentra PKL ini ibarat sungai, apa pun bisa ditampung, padahal PKL memiliki karakteristik sendiri-sendiri, yang tidak mungkin ditempatkan dalam satu wadah, seperti halnya sampah yang dibuang ke sungai.

Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa, Pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara komprehensif, sebagai berikut.

Pertama, pengembangan fungsi rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa dilakukan di kawasan pusat


(11)

kota (Central Bussiness Distric/CBD) Peterongan-Tawang-Siliwangi atau PETAWANGI.

Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.

Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan, dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap

mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan

permukiman dan pariwisata.

Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun, apartemen, atau kondominium.

Sejalan dengan cita-cita menjadikan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa, pemerintah kota juga mengembangkan kawasan industri. Kawasan industri ini merupakan kawasan yang didominasi pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan-kegiatan di bidang industri, seperti pabrik dan pergudangan. Meskipun demikian, sesuai dengan RTRW kota Semarang 2010-2030, pengembangan kawasan industri dibatasi agar visi kota Semarang yang lebih mengembangkan sektor tersier, yaitu perdagangan dan jasa dapat terwujud.

Kawasan industri di Semarang dibagi dalam enam kawasan, yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri Tugu, kawasan industri Candi, kawasan industri dan pergudangan Tanjung Emas, kawasan industri Mijen, dan kawasan industri Pedurungan. Kawasan industri ini dilakukan secara terpadu dengan lingkungan sekitarnya, dengan memperhatikan radius atau jarak dan tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan serta upaya pencegahan pencemaran terhadap kawasan di sekitarnya.


(12)

Dari waktu ke waktu, penduduk kota Semarang bertambah. Tahun 2009 sudah mencapai angka 1.506.924 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,71%. Kota dengan penduduk satu juta lebih, seperti kota Semarang, dikategorikan sebagai kota besar (Sisk 2002:54). Data perkembangan penduduk kota Semarang dari tahun 2005 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Jumlah Penduduk Kota Semarang Tahun 2005-2009

No. Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan

(%) Laki-laki Perempuan Jumlah

1. 2005 705.627 713.851 1.419.478 1,45

2. 2006 711.755 722.270 1.434.025 1,06

3. 2007 722.026 732.568 1.454.594 1,43

4. 2008 735.457 746.183 1.481.640 1,86

5. 2009 748.515 758.409 1.506.924 1,71

Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Peningkatan jumlah penduduk kota Semarang tersebut dipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi. Pada tahun 2009, penduduk yang lahir sebanyak 25.262 orang, penduduk yang meninggal 10.373 orang, penduduk yang pindah atau keluar 34.172, dan penduduk yang datang atau masuk ke kota Semarang sebanyak 38.518 orang. Data selengkapnya mengenai perkembangan penduduk kota Semarang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. Perkembangan Penduduk Kota Semarang tahun 2005-2009

No. Tahun Penduduk (jiwa)

Lahir Mati Datang Pindah

1. 2005 19.504 8.172 38.910 29.107

2. 2006 21.445 9.023 42.714 32.557

3. 2007 22.838 10.018 43.151 35.180

4. 2008 24.472 10.018 44.187 37.128

5. 2009 25.262 10.373 35.518 34.172

Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010:26)

Dari data statistik penduduk di atas, terlihat bahwa dari kategori penduduk yang lahir, mati, datang, dan pindah, yang paling banyak adalah penduduk yang datang atau bermigrasi ke kota Semarang; sedangkan yang paling sedikit adalah yang meninggal dunia atau mati. Banyaknya penduduk yang datang


(13)

ke kota Semarang dapat dipahami, karena Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah, yang juga merupakan kota perdagangan

dan jasa, menjanjikan “gula-gula” berupa pekerjaan yang

bervariasi yang dapat dimasuki oleh para pendatang.

Sebagaimana analisis yang dibuat oleh BPS kota Semarang (2009), daya tarik kota Semarang bagi pendatang di antaranya karena kota Semarang merupakan kota perdagangan, jasa, industri, dan pendidikan. Kebanyakan para urban ini datang dari kota-kota di sekitar provinsi Jawa Tengah, yang dahulunya mengambil kuliah di perguruan tinggi yang ada di kota Semarang yang kemudian tidak kembali ke kota asalnya atau para warga desa dari kota-kota di Jawa Tengah yang ingin mengubah nasib atau mungkin sebagian karena habis masa tanam, lalu mengisi waktu luang dengan bekerja sebagai pedagang bakso dan mie ayam di kota Semarang.

PDRB kota Semarang (berdasarkan harga yang berlaku) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni berturut-turut dari tahun 2005, 2006, 2007,

2008, dan 2009 adalah Rp23.208.224.000.000,00;

Rp26.624.244.000.000,00; Rp30.515.737.000.000,00;

Rp34.540.949.000.000,00; dan Rp38.459.815.000.000,00 (BPS 2009).

Dari angka PDRB kota Semarang tersebut, sumbangan sektor perdagangan, jasa dan perhotelan paling besar, yaitu Rp10.884.995.000.000,00 pada tahun 2009 atau 28,30%; disusul industri pengolahan sebesar Rp9.483.637.000.000,00 atau 24,66% dan sektor bangunan sebesar Rp7.453.706.000.000,00 atau 19,38%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat kota Semarang didominasi oleh sektor perdagangan, jasa, dan perhotelan; sektor industri pengolahan, dan sektor bangunan. Tidak salah kiranya ketika pemerintah memiliki visi menjadikan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa.


(14)

Seiring dengan PDRB kota Semarang, laju pertumbuhan ekonomi kota Semarang mengalami peningkatan sejak tahun 2005 hingga 2008, hanya saja pada tahun 2009 mengalami

penurunan. Angka-angka pertumbuhan ekonomi kota

Semarang dari tahun 2005 hingga 2009 berturut-turut adalah 5,14%, 5,71%, 5,98%, 6,03% dan 5,47%. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dapat dipahami, karena pada tahun tersebut banyak peristiwa yang memengaruhi kinerja ekonomi kota Semarang, di antaranya adanya krisis finansial global pada tahun 2008 akhir yang membawa dampak pada kinerja ekonomi tahun 2009, dan juga adanya kebijakan pemerintah pusat menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM).

Berkaitan dengan masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat kota Semarang, terdapat data menarik tentang kemiskinan penduduk. Meskipun kota Semarang terkenal sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah dan pusat perdagangan dan jasa, bukan berarti tidak mengidap penyakit kronis yang disebut kemiskinan. Meskipun banyak program pengentasan kemiskinan yang digulirkan pemerintah, kemiskinan di kota Semarang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, hanya tahun 2009 saja yang turun angkanya. Data kemiskinan penduduk Semarang dari tahun 2005 hingga 2009 selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Rasio Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk Kota Semarang

Uraian Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

Penduduk Miskin

94.246 246.448 306.700 491.747 398.009 Jumlah

Penduduk

1.419.478 1.434.025 1.454.594 1.481.640 1.506.924

Rasio 6,64% 17,19% 21,08% 33,19% 26,41%

Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,70 km². Secara administratif, kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan


(15)

177 kelurahan (BPS 2009:1). Dari 16 kecamatan tersebut, terdapat 2 kecamatan yang mempunyai wilayah terluas, yaitu kecamatan Mijen dan kecamatan Gunungpati. Mijen memiliki luas 57,55 km², sedangkan Gunungpati mempunyai luas 54,11 km². Kedua kecamatan tersebut terletak di bagian selatan yang merupakan daerah perbukitan, sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Kedua kecamatan ini, terutama Gunungpati terkenal sebagai tempat penghasil buah durian berkualitas. Jika musim durian tiba, banyak warga kota bawah berbondong-bondong datang ke Gunungpati untuk mencicipi nikmatnya buah durian.

Kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah kecamatan Semarang Selatan, dengan luas 5,93 km², diikuti kecamatan Semarang Tengah dengan luas 6,14 km². Kota Semarang secara administratif berbatasan dengan kabupaten Kendal di sebelah barat, di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Demak, di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Semarang, dan di sebelah utara dibatasi oleh laut Jawa dengan garis pantai sepanjang 13,6 kilometer.

Kota Semarang mempunyai posisi geostrategi yang bagus, karena berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah, yang terdiri dari empat simpul utama pintu gerbang, yaitu koridor pantai utara, koridor selatan ke arah kota-kota dinamis, seperti Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor timur ke arah Demak dan Grobogan, dan koridor barat menuju kabupaten Kendal.

Dalam perkembangannya, kota Semarang berkembang menjadi kota yang memfokuskan pada perdagangan dan jasa. Berdasarkan lokasinya, kawasan perdagangan dan jasa di kota Semarang menyebar dan pada umumnya berada di sepanjang jalan utama. Kawasan perdagangan modern, terutama terdapat di kawasan Simpanglima, yang merupakan urat nadi


(16)

perekonomian kota Semarang. Di kawasan tersebut, terdapat tiga pusat perbelanjaan modern, yaitu Matahari, Living Plaza (eks Ramayana) dan Mall Ciputra, serta pedagang kaki lima yang berada di bibir bundaran Simpang hingga ujung jalan Pandanaran, jalan Pahlawan (tahun 2010 dipindahkan ke jalan Menteri Soepeno dan sebagian dipindahkan kembali ke sekitar bundaran Simpang Lima), jalan Gajahmada, jalan Ahmad Dahlan menuju rumah sakit Telogorejo, dan jalan Ahmad Yani. Selain itu, kawasan perdagangan dan jasa juga terdapat di sepanjang jalan Pandanaran yang terkenal sebagai pusat jajan dan oleh-oleh khas Semarang.

Kawasan perdagangan dan jasa lainnya terdapat di sepanjang jalan Gajahmada, yang dikenal dengan pusat kuliner; sepanjang jalan Pemuda dengan DP Mall, Paragon City, dan Pasaraya Sri Ratu sebagai pusat perbelanjaannya; sepanjang jalan MT Haryono yang dipenuhi toko-toko besar elektronik, mebel, mobil, sepeda motor, dan lain-lain hingga ke arah selatan terdapat pusat perbelanjaan Java Supermall.

Di jalan Pahlawan ke arah selatan terdapat bank-bank nasional dan kantor pemerintah, termasuk di antaranya kantor Gubernur Jawa Tengah, tempat berkantornya anggota DPRD provinsi Jawa Tengah, kantor Kejaksaan Tinggi, dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

Pusat perdagangan dan jasa juga terdapat di pasar-pasar tradisional, seperti pasar Johar, pasar Bulu, pasar Peterongan, dan pasar Kobong. Pusat perdagangan dan jasa juga meluber hingga ke pinggir kota, seperti Banyumanik dan Ngaliyan. Kedua kecamatan ini sudah berkembang menjadi pusat perekonomian baru di luar sentrum ekonomi di kota bawah yang berada di Simpanglima dan sekitarnya.


(17)

B. Kondisi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono sebelum digusur

Penelitian ini mengambil lokasi PKL di kota Semarang, khususnya di daerah Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, mengingat kota Semarang sebagai kota metropolitan telah berkembang pesat ditandai dengan berdirinya

bangunan-bangunan (mall, hotel, pasaraya) proyek neoliberal.

Perkembangan Semarang tidak hanya ditandai oleh bangunan-bangunan proyek neoliberal tersebut, tetapi juga ditunjukkan oleh pesatnya bisnis properti, dikarenakan secara geografis kota Semarang memiliki keindahan tiada duanya dibandingkan kota-kota lain di Jawa Tengah, yaitu kota pegunungan yang tidak bergunung.

Di Semarang, sudah banyak dikembangkan bisnis properti baik berupa ruko, villa, maupun perumahan. Perumahan yang telah dikembangkan, di antaranya Syailendra Residence, Graha Candi Golf, Permata Batursari Plamongan Indah, Pandanaran Hills, The Fountain Residence, Graha Pesona Jatisari, Bukit Graha Bhakti Asri, Pudak Payung Sejati, dan puluhan perumahan lainnya.

Secara geografi, Semarang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dibagi dalam dua area, yaitu kota bawah, dan kota atas. Kota bawah sering dilanda banjir atau rob, dan kota atas, yang kalau malam hari pemandangannya sangat indah. Kota bawah, secara geografis, tanahnya terdiri atas pasir dan lempung, sehingga lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk jalan, pemukiman atau perumahan, bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang, dan persawahan (Perda Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010).

Kota bawah merupakan pusat pemerintahan, perbankan, perdagangan, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, angkutan


(18)

pusat bisnis pasar modern, sehingga tidak heran jika banyak mall didirikan di kota bawah.

Kota atas dilihat struktur geologinya sebagian besar lahannya terdiri dari batuan beku. Kota atas yang jauh dari kemungkinan bencana banjir, banyak didirikan hotel dan tempat penginapan meskipun jumlahnya tidak sebanyak hotel yang ada di kota bawah. Namun kota atas kini menjadi idaman bagi penduduk maupun pendatang yang ingin memiliki rumah tempat tinggal. Bisnis properti dengan mendirikan perumahan di kota bawah tidak menarik lagi, karena pemukiman yang dibangun sudah terlalu padat, bising, dan sering dilanda kemacetan. Dalam 20 tahun terakhir ini, bisnis tersebut dialihkan ke kota atas dan daerah periferi, karena selain pemandangannya bagus, juga jauh dari keramaian dan berhawa sejuk.

Perkembangan kota Semarang ini memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa dari kota-kota lain di Jawa Tengah. Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa, disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di kota Semarang.

Dalam 20 tahun terakhir, selain telah berkembang bisnis properti, di kota Semarang juga telah tumbuh bangunan-bangunan hotel dan mall. Jika dahulu hanya ada beberapa hotel, misalnya hotel Patrajasa, Graha Santika, Grand Candi, Rinjani, Siranda (sekarang bangkrut), Rama (sudah bangkrut), Santika, Telomoyo, Muria, Grasia, Jelita, Patimura, dan beberapa hotel kecil lainnya, kini telah berdiri hotel bintang tiga hingga lima, seperti Horison, Ciputra, Novotel, Gumaya,


(19)

Ibis, Pandanaran, Quest, Dafam, Witz, Semesta, Belle View, dan yang lain.

Jumlah mall juga makin bertambah. Dahulu Semarang memiliki Golden Mall (sudah bangkrut), Sri Ratu, Mickey Mouse (sudah bangkrut), Plasa Simpang Lima, dan Ada Mall, sekarang makin lengkap dengan kehadiran DP Mall, Java Super Mall, Paragon City, dan beberapa bangunan pasar modern lainnya yang berada di pinggiran kota. Selain itu juga berkembang bangunan Indomart dan Alfamart di seluruh pelosok kota Semarang. Hal ini menyebabkan Semarang makin siap memasuki gerbang kota perdagangan dan jasa.

Perkembangan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa sudah berlangsung lama, terbukti dengan adanya sentra-sentra perdagangan, seperti Gang Warung sebagai sentra perdagangan kain atau tekstil, Pekojan sebagai sentra penjualan bahan bangunan, Kauman sebagai sentra penjualan pakaian Islam, seragam militer dan pramuka, Kranggan sebagai sentra perdagangan emas, tekstil, dan batik, Gang Lombok sebagai tempat penjualan makanan khas Semarang (Lunpia, Bolang-baling, Kue Keranjang, dan lain-lain), Gajahmada sebagai tempat pertokoan aneka barang dan makanan, Depok sebagai tempat penjualan mebel, perlengkapan rumah tangga, dan pusat jajan, Agus Salim sebagai kawasan pertokoan peralatan dan mesin, Barito dan Kokrosono sebagai sentra penjualan barang-barang bekas (onderdil motor, mobil, dan sepeda serta peralatan kebutuhan sehari-hari), Kawasan Candi Baru sebagai tempat pemukiman, perkantoran, dan pendidikan, Kawasan Simpang Lima sebagai kawasan perdagangan dan hiburan, Pasar Dargo sebagai sentra perdagangan beras, Tugu, Genuk, dan Candi sebagai sentra industri kecil, Kawasan Bendan Ngisor dan Nduwur sebagai sentra perguruan tinggi (AKPELNI, UNTAG, AKFARMING, STIKUBANK, AKA (sudah bangkrut), IKIP Veteran, dan Unika Soegijapranata). Masih banyak sentra


(20)

Dibandingkan kota-kota besar lainnya, kota Semarang relatif aman, sehingga banyak investor yang tertarik menanamkan sahamnya di kota Semarang, baik untuk mengembangkan bisnis properti, perhotelan, pendidikan, kuliner, maupun usaha lainnya.

Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan, maka berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra perdagangan, industri, dan jasa (tekstil, makanan/kuliner,

pendidikan, dan yang lain) mendorong tumbuh

berkembangnya sektor informal, terutama pedagang kaki lima (PKL) yang menjual makanan. Hampir semua tempat di kota Semarang, siang maupun malam hari, bisa dijumpai para PKL yang menjual makanan dan minuman. Pusat-pusat kuliner besar yang biasa dikunjungi warga kota kelas menengah ke atas, di antaranya Manggala Food Festival, Lombok Ijo, Super Penyet, Gajahmada Pujasera atau disingkat Gapura, Bakul Desa (kini telah bangkrut), Kedai Beringin, Marimas Restoran, Pusat Seafood Cianjur, dan yang lainnya.

Jika para pemodal besar bisa mendirikan pusat-pusat kuliner dengan membeli atau menyewa tempat untuk memanjakan lidah warga kota, tidak demikian halnya dengan kelompok pemodal kecil. Para pedagang kecil yang memiliki kejelian dalam melihat peluang pasar, memanfaatkan emperan toko atau pinggir jalan untuk berjualan. Pedagang kecil ini menjalankan usaha kuliner dengan cara mereka sendiri, meskipun kadang harus menempati tempat atau ruang publik. Siang dan malam kota Semarang disemarakkan oleh kehadiran pedagang mie ayam, bakso, seafood, sate ayam, nasi tempe penyet, nasi goreng, nasi gimbal, dan lain-lain. Mereka menempati tempat yang banyak dikunjungi orang, seperti dekat mall, dekat pasar, dekat kampus, dan pusat keramaian lainnya.


(21)

Dalam sektor informal, selain makanan, berkembang pula bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu, pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis sektor informal lainnya.

Usaha sektor informal di kota Semarang sangat bervariasi dan pekerja sektor informal, khususnya PKL banyak

jumlahnya. Penelitian ini tidak dirancang untuk

digeneralisasikan pada populasi lainnya, oleh karenanya PKL yang diteliti dibatasi pada tiga tempat atau lokasi, yaitu PKL yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono.

Tiga tempat tersebut berlokasi di dekat bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. PKL Sampangan menempati area tepi sungai Kaligarang, berada pada jalur ramai lalu lintas. Disebut PKL Sampangan karena mereka berdagang di wilayah Sampangan, tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan (lama). Wilayah Sampangan sangat ramai dan padat manusia, baik siang maupun malam hari. Selain pasar, juga terdapat Akademi Perbankan GEGA atau Alfabank, Akademi Sekretaris Santa Maria, Super Mall, Pom Bensin, dan sejumlah toko besar dan kecil, baik ke arah utara Sampangan maupun ke arah selatan Sampangan.

Wilayah Sampangan ini juga mudah diakses oleh para mahasiswa di kawasan Bendan Ngisor dan Bendan Nduwur. Demikian pula, para penghuni perumahan Kradenan Asri, Puri Sartika, Trangkil Sejahtera, Bukit Sukorejo, dan warga perumahan di wilayah Sekaran dan sekitarnya juga tidak membutuhkan waktu lama untuk mengakses sentra jasa dan perdagangan di Sampangan. Tidak mengherankan jika di Sampangan ini, banyak berdiri usaha warung makanan, seperti


(22)

nasi goreng, gado-gado, nasi gandul, seafood, ayam dan bebek goreng, nasi ayam penyet, dan lain-lain.

Para PKL yang dahulunya menempati lokasi tepi sungai Kaligarang (tepatnya anak sungai Kaligarang), karena proyek pembuatan waduk Jatibarang, sejak bulan April 2010, lokasi yang mereka tempati diratakan oleh begu dan buldoser. Atas dasar negosiasi antara paguyuban PKL dengan pihak proyek, para PKL diizinkan sementara untuk menempati lahan di sebelah selatan lokasi PKL Sampangan bersebelahan dengan pasar Sampangan (lama).

Di sebelah utara lokasi PKL Sampangan (mestinya masih termasuk daerah penggusuran), berdiri kokoh bangunan untuk jasa makanan, penjahit, mebel, penjualan buah-buahan, dan bengkel las. Jumlah pedagang kaki lima (PKL) Sampangan sesungguhnya masih banyak. Bahkan jika ditelusuri hingga ke arah utara menuju SD Petompon, terdapat PKL dan usaha sektor informal lainnya, seperti penjual nasi, usaha bengkel sepeda motor dan mobil, usaha bengkel las, usaha tambal ban, penjual sticker sepeda motor dan mobil, serta tukang kunci. Namun, karena yang berkaitan langsung dengan penggusuran, berlokasi di tepi sungai Kaligarang, utamanya yang berada di sekitar pasar Sampangan, maka yang dijadikan sebagai unit analisis penelitian hanyalah mereka yang menempati lokasi yang terkena penggusuran. Gambar di bawah ini adalah lokasi PKL Sampangan yang digusur, yang diberi batas pagar bambu.


(23)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 12. PKL Sampangan menempati tepi sungai Kaligarang

Tidak berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo juga menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat, yakni memanjang dari jembatan Lemah Gempal ke arah utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat. Sebelum digusur pada bulan Juni 2010, jumlah PKL Basudewo kurang lebih 100 orang. Dikatakan PKL Basudewo, karena mereka beraktivitas di sepanjang jalan Basudewo.

Wilayah aktivitas PKL Basudewo yang masih digunakan adalah dari ujung selatan, yaitu jembatan Lemah Gempal hingga ke arah utara bagian tengah. Bagian tengah ke arah utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat kosong tidak ada PKL karena sebagian sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono.

Sebagian besar PKL bermatapencaharian sebagai pengrajin mebel. Mebel yang dijual di antaranya kursi, meja, almari, tempat tidur, tempat televisi, dan rak buku. Lainnya sebagai penjual bambu, penjual bensin, penjual makanan warungan (mie ayam, bakso, wedang tape, nasi), bengkel, pengepul barang-barang bekas, jasa angkutan, warung rokok, dan lainnya. PKL Basudewo menarik untuk diteliti, karena mereka


(24)

tidak luput dari kebijakan penataan PKL berkaitan dengan proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, seperti halnya normalisasi sungai Kaligarang yang meminggirkan PKL Sampangan.

Jauh sebelum mengalami penggusuran pada tahun 2010, PKL Basudewo bersama dengan PKL Kokrosono pernah digusur. Bangunan permanen dan semipermanen diratakan dengan tanah pada tahun 2009. Mereka yang mau direlokasi ke Sentra PKL Kokrosono atau Sentra PKL Waru diberi dana tali asih sebesar Rp 500.000,00. Sebanyak 35 orang pedagang atau 35% di antaranya bersedia menerima tali asih dari Pemkot, sehingga dari jumlah 100 orang PKL, tinggal 65 orang yang masih beraktivitas di Basudewo.

Berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo memiliki organisasi yang lebih rapi, apalagi ketua dan pembina kelompok PKL tersebut memiliki relasi yang luas dengan Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter, seperti GMNI, KAMMI, dan lain-lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Pattiro, serta Kepolisian, dan DPRD. Terbentuknya paguyuban PKL Sampangan juga atas inisiatif ketua PKL Basudewo.


(25)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 13. PKL Basudewo menempati area tepi sungai

Banjirkanal Barat sebelum digusur

Berbeda dengan PKL Sampangan dan Basudewo yang memiliki organisasi atau paguyuban (meskipun tidak begitu aktif), PKL Kokrosono (yang dikategorikan liar) tidak memiliki organisasi. Hanya PKL Kokrosono yang terorganisasi saja, yakni mereka yang berjualan di kios-kios yang disediakan pemerintah, yaitu yang menempati gedung PKL Kokrosono blok A hingga H, yang memiliki organisasi yang sudah mapan.

Jumlah PKL Kokrosono liar diperkirakan 100 hingga 120 orang, menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat dari pinggir jembatan Banjir Kanal Barat memanjang ke arah utara hingga rel kereta api. Disebut PKL Kokrosono, karena mereka beraktivitas di sepanjang jalan Kokrosono. Seperti halnya lokasi PKL Sampangan yang padat manusia, area PKL Kokrosono juga padat lalu lintas orang dan kendaraan bermotor, apalagi jalan Kokrosono merupakan jalur menuju pantai Tanjung Mas. Jalan Kokrosono juga merupakan jalur alternatif bagi masyarakat menuju perumahan Tanah Mas yang juga padat penduduk. Area


(26)

berpotongan dengan jalan utama pantai utara (pantura) menuju Monumen Tugu Muda Semarang dan jalan Indraprasta. Di pertigaan menuju Kokrosono juga terdapat Hotel Siliwangi dan Bank Syariah. Hampir tiap hari, pertigaan Banjir Kanal Barat ini selalu dilanda kemacetan, menunjukkan betapa padatnya lalu lintas di sana.

Jenis perdagangan dan jasa yang ditekuni PKL Kokrosono adalah perdagangan kaca mata, helm, kipas angin, tape recorder, radio, kompor gas, peralatan pertanian (cangkul, sabit, dan lain-lain), peralatan tukang (palu, pasah, drei, meteran, dan cetok), barang-barang bekas (roda sepeda, gir, sedel, stang, dan

lain-lain), suku cadang motor (shock bekker, lampu, spion, dan

lain-lain), VCD dan DVD, dan penjual nasi. Selain itu, juga ada bengkel motor dan sepeda, serta jasa reparasi kipas dan alat elektronik lainnya.

Sebagian besar PKL menjual barang dagangan dengan cara lesehan, beberapa diantaranya bertenda. Lainnya, ada yang membawa mobil sebagai tempat untuk berdagang, yaitu penjual peralatan rumah tangga, pertanian dan pertukangan. Di samping mereka yang berdagang secara lesehan (disebut sebagai PKL liar), di sebelah utara rel kereta api juga terdapat PKL yang menempati sentra PKL Kokrosono. Mereka merupakan PKL terorganisasi yang dahulunya berada di pinggir jalan dan sejak penggusuran mereka menempati kios-kios yang disediakan oleh Pemkot. Meskipun ada pembeli, namun lokasi PKL Kokrosono terorganisasi ini tidak seramai lokasi PKL yang menempati areal pinggir jalan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keengganan pembeli disebabkan oleh tidak adanya jembatan yang menghubungkan gedung yang satu dengan gedung lainnya.


(27)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 14. PKL Kokrosono menempati wilayah tepi

sungai Banjir Kanal Barat

Sebagai perbandingan, di dekat sentra PKL Barito yang menjual barang-barang klitikan, terdapat PKL Kartini. PKL Kartini ini secara geografis berada di lokasi yang memiliki tingkat keramaian lalu lintas setara dengan area yang dihuni PKL Sampangan. Disebut PKL Kartini, karena mereka menempati lokasi di jalan Kartini yang padat lalu lintas. Jalan Kartini merupakan penghubung antara jalur dr. Cipto ke sentra PKL Barito. Karena menghubungkan jalan protokol (dr. Cipto), ke arah timur, maka lalu lintas jalan Kartini boleh dikata tidak pernah sepi. Area yang ditempati PKL sesungguhnya merupakan taman, tetapi karena pemerintah kota terkesan membiarkan, sehingga mereka leluasa berdagang. Banyak juga yang diminta untuk pindah ke pasar Waru, tetapi karena lokasinya jauh dan sepi dari pembeli, maka mereka tetap bertahan di jalan Kartini.

PKL yang bertahan hidup di jalan Kartini kurang lebih 110 pedagang dan penjual jasa, mulai dari penjual pakaian, penjual VCD-DVD, penjual bunga, penjual peralatan pertanian dan


(28)

pertukangan, penjual nasi, penjual bakso, penjual es, penjual pakan burung, hingga penjual hewan piaraan, seperti tupai, kelelawar, kera, kelinci, ikan hias, dan burung. Pasar di jalan Kartini dikenal sebagai pasar burung, karena banyaknya burung yang dijual di sana.

Tidak seperti halnya PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, PKL Kartini tiap hari ditarik retribusi. PKL Kartini pun memiliki organisasi yang cukup aktif, seperti halnya organisasi PKL Sampangan dan Basudewo. Setelah sekian lama diizinkan beraktivitas di Jalan Kartini, PKL Kartini akhirnya juga mengalami nasib serupa dengan rekan-rekannya yang berdagang di Sampangan dan Basudewo, yakni digusur dan ditertibkan. Sebagai bagian dari penataan ruang kota Semarang, pada bulan Oktober tahun 2011, Pemkot Semarang menertibkan PKL Kartini, seperti halnya yang dilakukan terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.

Area PKL yang dahulu ramai dikunjungi pembeli, sekarang tidak ramai lagi, karena bangunan dan lapak PKL telah dibongkar oleh petugas Satpol PP kota Semarang. Mereka kini pun mengalami nasib yang sama dengan PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono. Seperti halnya PKL Kokrosono, sebagian PKL Kartini, seperti penjual batu akik, penjual HP bekas, dan penjual burung dengan beralaskan kain dan barang seadanya, masih menjajakan barang dagangan di bekas lokasi PKL yang telah rata dengan tanah.

Para PKL yang berdagang atau menjalankan usaha di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari Sampangan hingga ke Kokrosono, tampaknya memang seperti rerumputan liar yang tidak sedap dipandang mata di tengah-tengah keindahan kota Semarang, tetapi rerumputan liar tersebut sesungguhnya dapat ditata dengan rapi sepanjang ada komitmen dari pihak pemerintah. Sayangnya pemerintah kota Semarang hanya memprioritaskan penataan ruang publik di


(29)

dalam kota, utamanya di jalan-jalan protokol yang melintasi pusat-pusat perkantoran, perbankan, dan bisnis-bisnis besar, seperti jalan Pahlawan, jalan Pemuda, jalan dr. Sutomo, serta jalan yang melingkari bundaran Simpang Lima dan Tugu Muda, sehingga tamansari keindahan kota hanya dapat dinikmati di sekitar pusat kota tersebut.

Daerah-daerah pinggiran, terutama yang terdapat aktivitas PKL, kurang ada perhatian. Penataan tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang banyak digunakan oleh PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi, memang telah dilakukan, tetapi tidak untuk kepentingan PKL. Hal ini tampak dari kebijakan Pemkot, dengan mengusir mereka ke luar dari area tempat di mana mereka sehari-hari berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi lainnya.

Penataan yang dilakukan Pemkot tersebut merupakan rangkaian dari proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jawa Tengah, dan pemerintah Jepang ( proyek JICA). Penataan tersebut sekaligus dimaksudkan sebagai upaya pemerintah kota Semarang untuk mengakselerasi cita-cita menjadikan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

C. Rangkuman

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Semarang memfokuskan diri sebagai Kota Pusat Perdagangan dan Jasa. Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa, pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara komprehensif.


(30)

kota (Central Bussiness Distric/CBD) Peterongan-Tawang-Siliwangi atau dikenal dengan nama PETAWANGI.

Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.

Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan, dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap

mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan

permukiman dan pariwisata.

Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun, apartemen, atau kondominium.

Sesuai dengan RTRW kota Semarang 2010-2030, kota Semarang juga mengembangkan kawasan industri, yang dibatasi pada pengembangan sektor tersier, yaitu perdagangan dan jasa. Untuk itu, kawasan industri di Semarang dibagi dalam enam kawasan, yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri Tugu, kawasan industri Candi, kawasan industri dan pergudangan Tanjung Emas, kawasan industri Mijen, dan kawasan industri Pedurungan.

Pengembangan kawasan industri ini didorong oleh sikap akomodatif Pemkot Semarang kepada para investor. Para investor diundang tidak hanya untuk mengembangkan perdagangan dan industri, tetapi juga pengembangan sektor jasa, termasuk perhotelan. Selain tumbuh hotel-hotel baru, di Semarang juga berkembang pesat pusat perbelanjaan modern besar maupun kecil, pusat-pusat hiburan, dan pusat kuliner, yang sebagian besar berada di kota bawah. Perkembangan industri, perdagangan, dan jasa menjadikan kota Semarang semakin berkembang dan menjanjikan kenikmatan bagi warga


(31)

kota dan para urban yang ingin mengais rezeki di kota Semarang.

Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa, disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di kota Semarang.

Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota

Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan,

berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra perdagangan, industri, dan jasa (tekstil, makanan/kuliner,

pendidikan, dan yang lain) mendorong tumbuh

berkembangnya sektor informal, terutama makanan. Hampir semua tempat di kota Semarang ini, siang maupun malam hari, bisa dijumpai para PKL yang menjual makanan.

Demikian kompleksnya perkembangan Semarang, baik dalam aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya, maka tumbuh pesat pula jenis sektor informal yang dapat dimasuki oleh para pendatang. Dalam sektor informal ini, selain makanan, berkembang pula bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu, pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis sektor informal lainnya. Salah satu yang menonjol dari perkembangan sektor informal di kota Semarang adalah pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL).


(32)

Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari Sampangan hingga Jalan Kokrosono. PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan dinamakan PKL Sampangan, PKL yang berdagang di Basudewo disebut PKL Basudewo, dan PKL liar yang berjualan di Kokrosono disebut PKL Kokrosono. Mereka umumnya para pedagang kecil, mulai dari berdagang nasi, pakan burung, mebel, hingga berjualan barang-barang klitikan, seperti spion, kipas, VCD, kaset, alat pertukangan dan pertanian dan beberapa lainnya membuka bengkel las, bengkel motor dan sepeda, jasa reparasi alat-alat elektronik.

Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat sejalan dengan visi Pemkot menjadikan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa. Pembangunan waduk dan normalisasi sungai yang jalan dekat tepian sungai digunakan para PKL untuk berdagang dan menjual jasa, selain untuk mengatasi banjir, juga untuk pengembangan ekonomi, khususnya ekonomi pariwisata bagi kota Semarang. Itulah sebabnya, Pemkot mendukung proyek pembangunan tersebut, termasuk harus membersihkan bantaran sungai tersebut dari aktivitas PKL.


(1)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 14. PKL Kokrosono menempati wilayah tepi

sungai Banjir Kanal Barat

Sebagai perbandingan, di dekat sentra PKL Barito yang menjual barang-barang klitikan, terdapat PKL Kartini. PKL Kartini ini secara geografis berada di lokasi yang memiliki tingkat keramaian lalu lintas setara dengan area yang dihuni PKL Sampangan. Disebut PKL Kartini, karena mereka menempati lokasi di jalan Kartini yang padat lalu lintas. Jalan Kartini merupakan penghubung antara jalur dr. Cipto ke sentra PKL Barito. Karena menghubungkan jalan protokol (dr. Cipto), ke arah timur, maka lalu lintas jalan Kartini boleh dikata tidak pernah sepi. Area yang ditempati PKL sesungguhnya merupakan taman, tetapi karena pemerintah kota terkesan membiarkan, sehingga mereka leluasa berdagang. Banyak juga yang diminta untuk pindah ke pasar Waru, tetapi karena lokasinya jauh dan sepi dari pembeli, maka mereka tetap bertahan di jalan Kartini.

PKL yang bertahan hidup di jalan Kartini kurang lebih 110 pedagang dan penjual jasa, mulai dari penjual pakaian, penjual VCD-DVD, penjual bunga, penjual peralatan pertanian dan


(2)

pakan burung, hingga penjual hewan piaraan, seperti tupai, kelelawar, kera, kelinci, ikan hias, dan burung. Pasar di jalan Kartini dikenal sebagai pasar burung, karena banyaknya burung yang dijual di sana.

Tidak seperti halnya PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, PKL Kartini tiap hari ditarik retribusi. PKL Kartini pun memiliki organisasi yang cukup aktif, seperti halnya organisasi PKL Sampangan dan Basudewo. Setelah sekian lama diizinkan beraktivitas di Jalan Kartini, PKL Kartini akhirnya juga mengalami nasib serupa dengan rekan-rekannya yang berdagang di Sampangan dan Basudewo, yakni digusur dan ditertibkan. Sebagai bagian dari penataan ruang kota Semarang, pada bulan Oktober tahun 2011, Pemkot Semarang menertibkan PKL Kartini, seperti halnya yang dilakukan terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.

Area PKL yang dahulu ramai dikunjungi pembeli, sekarang tidak ramai lagi, karena bangunan dan lapak PKL telah dibongkar oleh petugas Satpol PP kota Semarang. Mereka kini pun mengalami nasib yang sama dengan PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono. Seperti halnya PKL Kokrosono, sebagian PKL Kartini, seperti penjual batu akik, penjual HP bekas, dan penjual burung dengan beralaskan kain dan barang seadanya, masih menjajakan barang dagangan di bekas lokasi PKL yang telah rata dengan tanah.

Para PKL yang berdagang atau menjalankan usaha di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari Sampangan hingga ke Kokrosono, tampaknya memang seperti rerumputan liar yang tidak sedap dipandang mata di tengah-tengah keindahan kota Semarang, tetapi rerumputan liar tersebut sesungguhnya dapat ditata dengan rapi sepanjang ada komitmen dari pihak pemerintah. Sayangnya pemerintah kota Semarang hanya memprioritaskan penataan ruang publik di


(3)

dalam kota, utamanya di jalan-jalan protokol yang melintasi pusat-pusat perkantoran, perbankan, dan bisnis-bisnis besar, seperti jalan Pahlawan, jalan Pemuda, jalan dr. Sutomo, serta jalan yang melingkari bundaran Simpang Lima dan Tugu Muda, sehingga tamansari keindahan kota hanya dapat dinikmati di sekitar pusat kota tersebut.

Daerah-daerah pinggiran, terutama yang terdapat aktivitas PKL, kurang ada perhatian. Penataan tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang banyak digunakan oleh PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi, memang telah dilakukan, tetapi tidak untuk kepentingan PKL. Hal ini tampak dari kebijakan Pemkot, dengan mengusir mereka ke luar dari area tempat di mana mereka sehari-hari berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi lainnya.

Penataan yang dilakukan Pemkot tersebut merupakan rangkaian dari proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jawa Tengah, dan pemerintah Jepang ( proyek JICA). Penataan tersebut sekaligus dimaksudkan sebagai upaya pemerintah kota Semarang untuk mengakselerasi cita-cita menjadikan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

C. Rangkuman

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Semarang memfokuskan diri sebagai Kota Pusat Perdagangan dan Jasa. Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa, pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara komprehensif.

Pertama, pengembangan fungsi rencana kawasan


(4)

Siliwangi atau dikenal dengan nama PETAWANGI.

Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan

PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.

Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan, dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan permukiman dan pariwisata.

Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun, apartemen, atau kondominium.

Sesuai dengan RTRW kota Semarang 2010-2030, kota Semarang juga mengembangkan kawasan industri, yang dibatasi pada pengembangan sektor tersier, yaitu perdagangan dan jasa. Untuk itu, kawasan industri di Semarang dibagi dalam enam kawasan, yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri Tugu, kawasan industri Candi, kawasan industri dan pergudangan Tanjung Emas, kawasan industri Mijen, dan kawasan industri Pedurungan.

Pengembangan kawasan industri ini didorong oleh sikap akomodatif Pemkot Semarang kepada para investor. Para investor diundang tidak hanya untuk mengembangkan perdagangan dan industri, tetapi juga pengembangan sektor jasa, termasuk perhotelan. Selain tumbuh hotel-hotel baru, di Semarang juga berkembang pesat pusat perbelanjaan modern besar maupun kecil, pusat-pusat hiburan, dan pusat kuliner, yang sebagian besar berada di kota bawah. Perkembangan industri, perdagangan, dan jasa menjadikan kota Semarang semakin berkembang dan menjanjikan kenikmatan bagi warga


(5)

kota dan para urban yang ingin mengais rezeki di kota Semarang.

Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa, disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di kota Semarang.

Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan, berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra perdagangan, industri, dan jasa (tekstil, makanan/kuliner, pendidikan, dan yang lain) mendorong tumbuh berkembangnya sektor informal, terutama makanan. Hampir semua tempat di kota Semarang ini, siang maupun malam hari, bisa dijumpai para PKL yang menjual makanan.

Demikian kompleksnya perkembangan Semarang, baik dalam aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya, maka tumbuh pesat pula jenis sektor informal yang dapat dimasuki oleh para pendatang. Dalam sektor informal ini, selain makanan, berkembang pula bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu, pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis sektor informal lainnya. Salah satu yang menonjol dari perkembangan sektor informal di kota Semarang adalah pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL).

Pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi objek penelitian ini adalah PKL yang menempati lokasi di tepi sepanjang sungai


(6)

hingga Jalan Kokrosono. PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan dinamakan PKL Sampangan, PKL yang berdagang di Basudewo disebut PKL Basudewo, dan PKL liar yang berjualan di Kokrosono disebut PKL Kokrosono. Mereka umumnya para pedagang kecil, mulai dari berdagang nasi, pakan burung, mebel, hingga berjualan barang-barang klitikan, seperti spion, kipas, VCD, kaset, alat pertukangan dan pertanian dan beberapa lainnya membuka bengkel las, bengkel motor dan sepeda, jasa reparasi alat-alat elektronik.

Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat sejalan dengan visi Pemkot menjadikan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa. Pembangunan waduk dan normalisasi sungai yang jalan dekat tepian sungai digunakan para PKL untuk berdagang dan menjual jasa, selain untuk mengatasi banjir, juga untuk pengembangan ekonomi, khususnya ekonomi pariwisata bagi kota Semarang. Itulah sebabnya, Pemkot mendukung proyek pembangunan tersebut, termasuk harus membersihkan bantaran sungai tersebut dari aktivitas PKL.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

0 0 106

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4