Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB II

(1)

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang

dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah

melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton, Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi, modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama, dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang


(2)

unsur-unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital.

Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima (PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).

Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road

map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep

resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.

A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik

Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah, dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik, khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata

“publik” dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika dikaitkan dengan istilah “privat”. Istilah publik dapat dirunut

dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani

Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat

disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno

menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat


(3)

(2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat sebagai berikut.

Publik Privat

Polis Rumah tangga

Kebebasan Keharusan (necessity)

Pria Wanita

Kesetaraan Kesenjangan

Keabadiaan Kesementaraan

Terbuka Tertutup

Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons 2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut. Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan antara kekuasaan publik dan dunia privat.

Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus

mempromosikan kepentingan publik adalah dengan

menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami


(4)

sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan posisi dan peran negara di dalamnya.

Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey, menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1) sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas, (5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10) sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.

Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya


(5)

berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7) manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik, dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005).

Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15) menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,

sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil

(outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses. Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik.

Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12).

Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo 2007:13).

Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi kehidupan penduduk negara secara substansial.


(6)

Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999) memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means)

dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana

untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton

sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan

memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok. Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward (dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok secara keseluruhan.

Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang atau kelompok tertentu.

Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu, yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan


(7)

bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara (governance), mengatur interaksi antara negara dengan rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara. Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara, sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti

mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai.

Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.

Gambar 1. Dimensi Tugas Negara

Sumber: Nugroho (2009:12)

Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada

Memimpin


(8)

kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso (2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh publik dapat tercapai.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya

kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan

tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai.

Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani, sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha (2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah, dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.

Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena

pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan. Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali

menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik


(9)

Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik, ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan

perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis

Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.

Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun 2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun 2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.

“ pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak


(10)

masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat”.

Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat usaha sesuai dengan izin penempatan.

Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b) pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan prasarana PKL.

Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam

manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan

permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.


(11)

Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.

Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang, pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan, sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL. Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL terhadap Perda.

Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan

pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan

kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do”. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan

pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson


(12)

kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”.

Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang sering diwujudkan dalam bentuk pajak.

Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan

atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan

ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat (Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut, pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL).

Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson, bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu, kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang


(13)

digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau merealisasikan tujuan dan sasaran.

Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah. Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan publik dapat diketahui ke mana arahnya.

Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada arena politik disebut politisi.

Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya

berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform

mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005) disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun


(14)

mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun.

Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau

pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam

perdagangan demokratik.

Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons 2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi. Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan (Anderson 2000).

Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society,

political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.


(15)

Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya. Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi, resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan, perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres, Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan, kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan, keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran, kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.

Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya, misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan

Institutions, Processes, Behaviors

Social and Economic Conditions

Public Policy

Society Political System Public Policy

A B

C D


(16)

pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik yang diambil.

Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang

ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi

masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi

oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum, sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural.

Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik, pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan, kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru, partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak


(17)

PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI) Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan pedagang kaki lima.

Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya, dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan

manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang

pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan pemerintahan (Parsons 2005).

John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005) meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan, kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para


(18)

ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan pengambilan keputusan (Parsons 2005).

Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang (Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah

dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver.

Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut

termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist.

Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.


(19)

Sumber: Parsons (2005:26) Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga

komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi

kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi

kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,

dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output),

berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi.

Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,

keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting)

institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005).

Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005). Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.


(20)

Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan, diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi. Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.

Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi, dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial. Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan

contoh dari model stagist untuk proses kebijakan.

Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian, membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku Organisasi.

Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas.

Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons

2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan

pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.


(21)

Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang dihadapi.

Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan. Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa dilaksanakan.

Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon

mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan

yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan, memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan, ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal, yakni pengetahuan adalah kekuasaan.

Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai


(22)

seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan. Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon, karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib, religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika masyarakat mengutamakan pembelajaran.

Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005) terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2) sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper (dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada

pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat

bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi, nilai, teori, dan solusi.

Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005).

Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank


(23)

menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara ilmiah.

Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek, masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan tatanan spontan (Parsons 2005).

Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan tanpa campur tangan negara.

Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli (Hayek dalam Parsons 2005)


(24)

Pada era 1990-an berkembang paradigma komu-nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.

Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).

Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini

menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga, organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga, dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya fragmentasi masyarakat modern.


(25)

Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL, tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing-masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan pemerintah kota Semarang.

Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons

2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam

memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005)

berpendapat bahwa “daripada meninggalkan nalar sebagai

informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang

terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang

terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk

dalam komunikasi intersubjektif”.

Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era


(26)

pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya, ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis, teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal, mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode analisis baru dan proses institusional baru yang dapat

mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna

merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye (2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu

institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan

game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu

model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational

model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial maksimum (Dye 2002:16).

Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep

keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki

dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2) di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya


(27)

memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling efisien.

Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan

Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat

1.establishment of complete set of operational goals

with weights

3.preparation of complete set of alternative

policies

2.establishment of complete inventory of other values and of resources with

weights

4. preparation of complete set

of predictions of benefits and

costs for each alternative 5.calculation of net expectation for each alternative 6.comparison of net expectations and identification of alternatives with highest net expectation Output Pure rationality policy Input all resources needed for pure rationality process All data needed for pure rationality process


(28)

bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu (1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3) kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita yang dikandung dalam kebijakan tersebut.

Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa, tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi

kebijakan sebagai “what happens after a bill becomes law”,

artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009), implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh


(29)

lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn, sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007) menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.

Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya.


(30)

Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan

perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan

perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-pasal yang dapat dikaji di antaranya Pasal-pasal 68 sampai dengan 85. Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak, maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69 Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha, bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13 hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak.

Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.

Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991). Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga pilar, yaitu:

(1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan

kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk membuat program dapat berjalan,

(2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi

rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan dilaksanakan,

(3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan,

pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).


(31)

Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan, yaitu:

(1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang

dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar,

(2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran

dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana dan desain program,

(3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan

mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja,

(4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau

pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target (Winarno 2007).

Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke dalam peraturan dan regulasi yang operasional.

Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana, dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan


(32)

keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan publik.

Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002).

Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki

komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat-pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional,

dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA)

memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL). Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan PKL.

Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007) mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.


(33)

Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan. Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan. Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007). Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis, tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam-macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.

Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif, maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten. Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana

kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan

mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai.

Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik


(34)

sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons 2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho 2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan.

(1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai

kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,

(2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai

konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu,

(3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai

konsekueksi alternatif di masa mendatang,

(4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang

konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan alternatif kebijakan,

(5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam

memecahkan masalah.

Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:

(1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif

mencapai hasil yang diharapkan,

(2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan


(35)

(3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menimbulkan masalah,

(4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat

kebijakan,

(5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu

kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target kebijakan,

(6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan

tersebut tepat untuk suatu masyarakat.

Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan (Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t¹, maka hasil O akan muncul pada t². Setiap hipotesis ini didasarkan pada pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.

Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn 2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam pandangan analis kebijakan, yaitu:

1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan,

apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator dan pemerintah,

2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah

sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,


(36)

3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah kebijakan dalam kurun waktu tertentu,

4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi

yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program bisa berbeda.

B. Tinjauan tentang Modal Sosial

Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang, yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field 2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk tujuan produktif (de Soto 2006).

Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah. Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan

sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah kapital atau modal sosial.

Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione,


(37)

et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan

menulis tentang The Rural School Community Center.

Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka,

dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial, tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia, fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut.

1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial

James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan prestasi anak.

Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010) melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan

lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop

out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid


(38)

Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-anak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru. Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010).

Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas, melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubungan-hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama.

Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut.

Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.


(39)

Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut (Field 2010).

Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer. Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field 2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu. Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama. Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara kerjasama (modal sosial) dengan individualisme.

Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali

oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima pengurangan hukuman.


(40)

Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat

bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (

free-rider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawan-karyawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki.

Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakan-akan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas

kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar,

sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang

cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan

kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor, membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi

calon-calon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman

(dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk


(41)

berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh

pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka

bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan organisasi lain yang mendukungnya.

Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata, modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan struktur sosial.

Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman


(42)

2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah rasional.

2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial

Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone. Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok keluarga atau sahabat.

Masyarakat yang terus menerus menonton televisi menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program pemerintah Italia bagian utara.

Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital

in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan. Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan


(43)

institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut

Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction)

berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan

jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan

warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka,

menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada

pemerintah.

Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik, mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor, memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan datang (Field 2010:50).

Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang

terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital.

Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini, Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang


(1)

PKL terhadap kebijakan relokasi dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 8. Respon PKL terhadap Kebijakan Relokasi

D. Kerangka Berpikir

Dari uraian kajian teori di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah, terutama dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan lebih berorientasi kepada neoliberalisme. Paradigma tersebut jelas bertentangan dengan isi pembukaan UUD 1945, terutama dalam kaitannya dengan fungsi pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah negara Indonesia yang telah terintegrasi ke dalam kapitalisme internasional, dalam kegiatan pembangunan nasional lebih mengutamakan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dalam praktik kebijakannya, pemerintah lebih banyak mengambil strategi memacu peningkatan investasi dan berkolaborasi dengan investor atau produsen yang

1 2

3 4

Adaptation Shock

Defensive Acceptance


(2)

sumbangannya besar (well-endowed producer) yang dapat membantu upaya negara mencapai tujuannya. Tidak mengherankan jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat diikuti oleh pemerintah daerah dengan lebih banyak mendorong dan menciptakan iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhan sektor formal daripada perkembangan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL).

Mereka yang bekerja pada sektor formal, utamanya para investor dan produsen well-endowed yang mendapatkan perhatian besar dari pemerintah daerah. Sementara itu, para pengusaha atau pekerja sektor informal, yang dinilai sumbangannya kecil baik untuk GNP, GDP, maupun PAD kurang mendapatkan dukungan yang memadai. Kebijakan daerah melalui berbagai peraturan yang diterbitkan cenderung tidak memihak pada kepentingan para pekerja sektor informal, sehingga para pekerja sektor informal khususnya PKL tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

Dalam kenyataannya, pemerintah daerah cenderung menempuh kebijakan yang menyebabkan terjadinya domestifikasi atau penjinakan terhadap para pekerja sektor informal, khususnya PKL liar. Tidak jarang cara kekerasan, baik simbolis maupun langsung, dipakai pemerintah untuk menertibkan para PKL liar.

Para PKL yang banyak menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada sektor informal tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah. Perlawanan ini diduga tidak dapat dilakukan sendiri secara individual, sebab dalam kenyataannya para PKL yang umumnya


(3)

tidak terdidik (un-educated) dan tidak terampil (un-skill) tidak memiliki sumberdaya kekuasaan. Dalam relasinya dengan pemerintah, posisi PKL lemah. Diduga ada suatu modal sosial, yang lahir dari interaksi sosial dalam struktur sosial yang dikembangkan oleh PKL yang terbangun melalui bonding social capital dan bridging social capital, yang mendorong para PKL bertindak kolektif melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Perlawanan (resistensi) yang dilakukan PKL adalah perlawanan rakyat kecil, yang tujuannya adalah untuk menyambung hidup atau mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival). Gambar berikut memperjelas bagaimana kerangka berpikir dari penelitian ini.

Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian

Domestifikasi

Kekerasan Simbolik dan

Langsung

PKL liar

Modal Sosial

Resisten terhadap Kebijakan

Survival PKL Kebijakan


(4)

E. Rangkuman

Sektor informal merupakan sektor ekonomi yang eksis tidak hanya pada masa krisis ekonomi, tetapi juga berlanjut terus menjadi bagian dari kehidupan ekonomi nasional. Pandangan bahwa sektor informal merupakan transisi menuju sektor formal tidak selamanya benar, karena dalam kenyataan di negara-negara berkembang, sektor ini tumbuh dan berkembang seperti busa penyerap tenaga kerja yang berasal dari pedesaan atau pun pekerja urban, yang karena keterbatasannya tidak mungkin diserap seluruhnya oleh sektor formal.

Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu jenis dari pekerja sektor informal merupakan fenomena riil dari keberadaan sektor informal yang tidak bisa dilihat semata-mata sebagai pekerja transisional, yang nantinya diharapkan menjadi pengusaha sektor formal. Mereka kebanyakan berpendidikan rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, modal kecil, teknologi yang digunakan rendah, pekerjaan sering ditangani sendiri atau dibantu oleh keluarganya, dan tidak memiliki akses terhadap lahan atau kredit. Banyak di antara mereka menjadi PKL sebagai satu-satunya harapan untuk menggantungkan hidup. Ada di antara mereka yang sukses secara ekonomi dan mungkin bisa beralih pada pekerjaan sektor formal, namun jumlahnya tidak banyak. Keterbatasan pemerintah untuk menyediakan lahan strategis bagi kelangsungan hidup PKL merupakan salah satu kendala mengapa banyak PKL yang menempati ruang publik yang sesungguhnya tidak boleh digunakan untuk berdagang.

Pemerintah kota Semarang, seperti halnya pemerintah daerah lainnya, menghadapi dilema berkaitan dengan keberadaan PKL. Di satu sisi, pemerintah harus dapat menyediakan akses dan fasilitas yang dapat menarik investor, yakni dengan membangun kota yang dapat dilihat indah, asri, bersih, nyaman, dan aman untuk iklim usaha; tetapi di sisi lain


(5)

banyak PKL menjalankan aktivitas ekonomi di area atau ruang-ruang publik, seperti di trotoar, di taman, di tepi jalan dekat sungai, dan ruang publik lainnya, sehingga menyebabkan jalan dan ruang publik di kota menjadi semrawut, kotor, tidak asri, tidak tertib, dan tidak terjamin keamanannya.

Dilema ini berkaitan dengan sikap yang harus diambil, apakah harus pro investor yang dalam jangka pendek dapat meningkatkan pendapatan daerah, yakni dengan menertibkan PKL atau membiarkan PKL menjalankan aktivitas ekonominya, tetapi tidak menjamin upaya mewujudkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa.

Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, umumnya berasal dari problem nyata yang dihadapi masyarakat dan tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan sekaligus kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pandangan Hayek, kebijakan yang ditetapkan pemerintah diharapkan dapat memastikan tatanan masyarakat dan perekonomian dapat berjalan tanpa banyak campur tangan dari negara atau pemerintah. Terlalu banyak mengatur keberadaan PKL tentu saja tidak menguntungkan pemerintah kota Semarang, tetapi tidak mengatur sama sekali, pemerintah bisa kehilangan potensi investasi dan pemasukan pendapatan bagi daerah.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah kota Semarang utamanya dalam menangani PKL tidak utuh, bahkan tidak mendasarkan pada pedoman yang jelas, sehingga ada kesan tambal sulam atau bersifat reaktif. Dalam perspektif Machiavelli, kebijakan yang diambil pemerintah kota Semarang cenderung hanya untuk meraih tujuan yang dikehendaki pemegang kekuasaan, yaitu mengejar investasi agar Semarang dalam waktu dekat setara dengan kota-kota metropolitan lainnya. Strategi jangka pendek, yaitu dengan melakukan penertiban dan penggusuran terhadap PKL tidak membuat mereka akomodatif dan patuh memenuhi keinginan


(6)

pemerintah, tetapi justru menimbulkan perlawanan (resistensi) di kalangan mereka.

Resistensi PKL terhadap kebijakan relokasi yang disertai penggusuran merupakan tindakan kolektif, yang hanya terjadi ketika mereka memiliki perasaan bersatu, senasib dalam suka dan duka, serta diorganisasikan untuk melakukan tindakan bersama menentang kebijakan pemerintah. Para PKL yang sudah lama menempati lokasi berdagang, seperti halnya PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono telah menyatu dengan lahan tempat mereka bekerja. Muncullah identitas bersama, yakni PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono, yang tidak mudah dilepaskan dari kehidupan mereka, sehingga memindahkan mereka ke tempat lain merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah.

Interaksi sosial yang berlangsung lama menjadikan PKL seperti sebuah keluarga dengan keintiman hubungan di antara mereka. Relasi sosial yang sudah terbangun lama, dengan nilai-nilai kebersamaan, serta jaringan sosial yang dibangun oleh organisasi atau pun tokoh-tokoh kunci PKL, menguatkan adanya bonding social capital sekaligus terbangunnya jaringan interaksi dengan organisasi lainnya atau menampakkan adanya bridging social capital. Modal sosial inilah yang ditengarai menjadi faktor penguat resistensi PKL terhadap kebijakan pemerintah.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 1 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB I

0 1 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IV

0 2 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB V

0 0 62

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VI

0 2 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB VII

0 1 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB X

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang

0 0 4