Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB XI
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pedagang kaki lima (PKL) sebagai bagian dari entitas ekonomi sektor informal tidak bisa dipandang remeh, karena keberadaannya memiliki kontribusi positif bagi kelangsungan hidup (survival strategy) mereka. Kontribusi ekonomi PKL di Semarang cukup signifikan dalam menopang pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pedagang, bahkan keberadaan PKL juga menjadi kontributor bagi kelangsungan hidup kelompok masyarakat marginal lainnya, seperti tukang parkir dan pengemis. Meskipun tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi pendapatan asli daerah (PAD) bila dibandingkan besarnya kontribusi sektor ekonomi formal, namun keberadaan sektor ekonomi informal, utamanya PKL menjadi tempat menampung pengangguran dari para urban nonterampil (unskill) dan kurang berpendidikan (unliterated). Eksistensi PKL di Semarang juga tidak membebani anggaran pemerintah kota, sebab dengan jiwa kewirausahaan dan sikap pantang menyerahnya, mereka dapat berusaha sendiri tidak tergantung pada belas kasihan dari pihak lain, sehingga mampu menopang hidup dan kehidupannya. Tanpa intervensi apa pun dari pemerintah mereka bisa hidup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi jika pemerintah memiliki kepedulian dalam membina usaha mereka.
Kedua, menjadi pedagang kaki lima (PKL) pada umumnya merupakan cara termudah untuk menggantungkan hidup. Para PKL di kota Semarang adalah tenaga kerja yang tidak terampil, kurang berpendidikan, tidak memiliki akses bantuan dari
(2)
pemerintah dan tidak memiliki akses kredit kepada Bank. Mereka butuh makan dan menghidupi keluarganya. Lapangan kerja (formal) yang disediakan Pemkot tidak memadai dan tidak mampu menampung seluruh angkatan kerja yang ada di Semarang. Keterbatasan yang dimiliki, menjadikan banyak tenaga kerja unskill dan uneducated yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja sektor formal. Salah satu cara agar kelompok masyarakat yang serba kurang ini bisa hidup, maka mereka harus bekerja. Sektor yang dapat mereka masuki sesuai dengan karakteristik mereka adalah sektor informal, khususnya perdagangan kaki lima. Dengan bekerja sebagai PKL, kelompok masyarakat marginal ini dapat menjaga kelangsungan hidupnya (survival), memberi makan keluarganya, dan memberi penghidupan keluarganya selagi mereka masih mampu dan kuat berdagang di jalanan. Dengan demikian, menjalani hidup sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu cara atau strategi survival kelompok masyarakat marginal.
Ketiga, kebijakan Pemkot Semarang yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima adalah RTRW kota Semarang tahun 2000-2010 (ditetapkan berdasarkan Perda nomor 5 tahun 2004), RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 (ditetapkan berdasarkan Perda nomor 14 Tahun 2011), RPJPD kota Semarang (ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2010), dan Perda nomor 11 tahun 2000 tentang PKL. Kebijakan Pemkot tersebut, utamanya Perda RTRW dan RPJPD diarahkan untuk mewujudkan visi Kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa yang berskala internasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perda-perda tersebut substansinya juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam dua Perda yang mengatur penataan ruang tersebut, tidak mengatur secara komprehensif bagaimana PKL ditata sedemikian rupa, termasuk penempatannya, yang memungkinkan mereka dapat menjalankan aktivitas ekonomi secara bebas, sehingga
(3)
kesejahteraan mereka terjamin. Perda-perda tersebut lebih berorientasi kepada kepentingan pemodal dan terbukti dalam berbagai kebijakan Pemkot, para pengusaha perhotelan, pasar swalayan, ritel, perumahan, pusat hiburan, dan pusat-pusat kuliner berskala besar dapat dengan mudah memperoleh izin dan menjalankan usahanya. Tanah-tanah yang diminati pemodal dapat dengan mudah diperoleh. Sementara itu, PKL yang tidak memiliki modal sebesar para kapitalis, tidak dengan mudah mengakses tanah yang dapat mereka manfaatkan untuk berdagang. Akibatnya, mereka berdagang di tempat-tempat kosong yang ramai atau dekat dengan konsumen, meskipun tanah-tanah tersebut tidak boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi. Perda Nomor 11 Tahun 2000 yang mengatur PKL pun, tidak memberi jaminan kepada PKL untuk bebas menjalankan aktivitas ekonominya. Perda tersebut justru memberangus eksistensi PKL, karena yang diatur lebih banyak menyangkut kewajiban dan larangan, daripada hak-hak yang dipunyai PKL. Hal ini berbeda dengan kebijakan Pemkot Surakarta, di mana dalam Perda yang mengatur tentang PKL, Pemkot memiliki kewajiban untuk mengembangkan usaha PKL. Dalam kaitan ini, walikota berkewajiban memberikan pemberdayaan, berupa: (1) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (2) pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan prasarana PKL. Itulah sebabnya, ketika terjadi relokasi PKL Monjari ke lokasi PKL Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak terjadi gejolak, bahkan PKL secara sukarela bersedia pindah.
Keempat, kebijakan penataan PKL di Semarang yang lebih ditekankan pada relokasi, yang disertai dengan kekerasan, baik simbolik maupun langsung (fisik) menimbulkan perlawanan (resistensi) dari para pedagang di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono. Perlawanan PKL terhadap Pemkot dilandasi oleh
(4)
alasan atau faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah yaitu (1) adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap self interest, meskipun tidak semuanya seperti itu, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula. Respon-respon yang ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk kepentingan bertahan hidup (survival), utamanya adalah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari (kebutuhan fisiologis).
Kelima, resistensi yang ditunjukkan PKL terhadap Pemkot Semarang bermacam-macam. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa resistensi PKL mengambil dua bentuk, yaitu perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan nonkekerasan. Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan PKL dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu, menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, memblokade jalan, serta menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan lapak PKL. Perlawanan nonkekerasan diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL ini bukan merupakan tindakan
(5)
spontanitas dan bersifat individual, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi aktivitas mereka.
Keenam, perlawanan (resistensi) PKL bukan merupakan tindakan individu, tetapi tindakan kolektif yang dipicu oleh adanya diskrepansi antara harapan, yakni keinginan untuk tetap dapat berdagang di lokasi yang ditempati selama ini dan adanya kenyataan, berupa kebijakan Pemkot yang merelokasi PKL ke tempat lain. Kepemimpinan yang disertai semangat pengorbanan dari ketua PKL, penasihat PKL, dan ketua PPKLS menjadi modal personal yang menjadi titik masuk bagi kepercayaan (trust) yang diberikan oleh anggota kelompok PKL kepada ketua PKL. Norma, seperti membayar iuran untuk rapat dan kegiatan-kegiatan paguyuban yang lain serta kehadiran dalam rapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota paguyuban PKL. Norma inilah yang memberi suntikan motivasi bagi pengurus paguyuban PKL berjuang menegosiasi Pemkot agar PKL diizinkan atau setidaknya dibiarkan bekerja di tepi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat. Kekompakan, perasaan saling memiliki dan berbagi dalam tubuh organisasi internal mereka, membuat PKL memiliki bonding social capital yang dapat diandalkan, dan menjadi penguat bagi sikap resisten mereka terhadap Pemkot. Jaringan sosial yang dibangun oleh ketua PKL dengan asosiasi PKL yang lebih besar; sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti LBH, Pattiro; lembaga kemahasiswaan di Kota Semarang; personil Kepolisian, Dinas Pasar, dan Satpol PP, memberikan tambahan kekuatan bagi pedagang kaki lima untuk melakukan perlawanan kepada Pemkot Semarang. Bridging social capital inilah yang memberi kekuatan mengapa PKL mampu bertahan di lokasi yang sudah digusur oleh Pemkot. Hal lain yang membuat PKL bertahan di lokasi, membangkang terhadap perintah Pemkot serta melawan petugas ketika ditertibkan dan digusur adalah kondisi
(6)
kemiskinan, kerentanan, dan ketidakberdayaan secara ekonomi yang jalin-menjalin menjadi satu dengan kebijakan Pemkot yang tidak akomodatif, seperti penertiban dan penggusuran yang dilakukan terhadap PKL, membuat PKL memiliki alasan kuat untuk bertahan di lokasi. Hanya dengan bekerja sebagai PKL di tempat yang sudah lama memberi makan tanpa ada usikan, mereka dapat bertahan hidup di tengah pembangunan kota yang tidak berpihak kepada mereka. Mencari rezeki di pinggir jalan yang banyak dipadati orang, meskipun PKL tahu hal itu melanggar peraturan, terpaksa mereka lakukan, sebab hanya dengan bekerja di tempat tersebut mereka dapat uang untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan keluarga. berian dan semangat pengorbanan yang ditunjukkan ketua PKL, yang kemudian menjalar kepada pengurus lainnya, merupakan modal sosial yang tak terhingga yang memperkokoh tekad anggota PKL untuk melakukan tindakan bersama (kolektif) melawan kebijakan Pemkot yang tidak aspiratif dan akomodatif terhadap kepentingan mereka. Modal sosial inilah yang disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan atau sacrifice of social capital.
Modal sosial pengorbanan ini secara teoritis dapat memperkaya konsep modal sosial yang selama ini dikembangkan oleh para teorisi, apalagi modal sosial jenis ini tidak pernah disinggung sama sekali oleh para konseptor modal sosial sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Fukuyama, maupun Bourdieu. Modal sosial pengorbanan dapat digunakan secara positif maupun negatif dalam pembangunan. Secara positif, jenis modal sosial ini dapat menggerakkan tindakan individu maupun kelompok untuk meraih suatu tujuan atau sasaran tertentu tanpa memikirkan apa yang dapat diperoleh oleh aktor. Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pelaksana kebijakan dapat menggunakan modal sosial pengorbanan untuk memacu pembangunan guna mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Merujuk pada konsep subsidiary dari
(7)
Etzioni, pemerintah atau para pendamping pembangunan dapat meraih tujuan pembangunan lebih baik lagi, apabila masyarakat diberi keleluasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri. Dengan demikian, proses pembangunan akan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat yang paling miskin sekalipun.
Ketujuh, pembangunan fisik normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat, yang sudah dirancang matang dalam RTRW ota Semarang dan RPJPD kota Semarang dalam implementasinya harus menata ulang wilayah di sekitar sungai, yang selama ini digunakan oleh PKL untuk berdagang. Pembangunan dan normalisasi sungai yang didanai oleh APBD dan APBN serta didukung oleh JICA Jepang tersebut, membuat PKL yang selama ini bersikukuh tetap berdagang di lokasi tersebut, harus minggir, karena bangunan dan lapak yang mereka gunakan untuk berdagang dihancurkan oleh aparat demi melaksanakan pembangunan yang lebih besar. Proyek pembangunan, yang secara fisik mengubah lahan di tepi sungai, tidak mampu dilawan PKL.
Meskipun sebagian besar PKL terpinggirkan oleh pembangunan proyek normalisasi sungai, tetapi modal sosial yang dipunyai selama ini tidak hilang sama sekali. Trust, norma reprositas, dan jaringan sosial masih nampak. Modal sosial yang telah dibangun para PKL, seperti organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk sarana perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang tidak runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi ini masih ada, baik di Sampangan maupun di Basudewo (yang sekarang sudah pindah ke Kokrosono). Mega proyek pembangunan waduk dan normalisasi sungai secara fisik telah memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega proyek tersebut tidak mampu menghancurkan modal sosial yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan (sacrifice of social capital) yang telah melekat pada komunitas PKL Basudewo yang diketuai oleh
(8)
Achmad, menjadi identitas dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono. Demikian pula komitmen Rini, ketua PPKLS untuk membantu memperjuangkan nasib PKL Sampangan, juga menunjukkan adanya modal sosial pengorbanan yang belum hilang. PKL Sampangan nyatanya masih bertahan dan bisa beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL Basudewo, yang sekarang telah pindah ke gedung PKL Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya yang baru. Interaksi antar pedagang juga masih terjalin hingga kini. PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi, meskipun di tengah-tengah keterbatasan lahan yang kini sudah diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih berlangsung antar anggota paguyuban PKL dan masih berlangsungnya interaksi antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL, menandakan bahwa modal sosial PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur sosial dan anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya tahan PKL di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa. B. Implikasi Teoritis
Pada umumnya para teoretisi ekonomi memandang sektor informal sebagai sektor tradisional. Pelaku sektor informal tidak memiliki sedikit pun sifat-sifat rasional. Mereka umumnya memandang ekonomi sektor informal berada pada masa transisi dalam suatu ekonomi dualis (dualisme ekonomi) sebagaimana pernah diungkapkan Boeke dalam penelitiannya di negara dunia ketiga. Dalam sistem dualis ini, terdapat dua sistem ekonomi yang hidup berdampingan, yaitu ekonomi sektor formal, yang didominasi oleh kekuatan kapitalis dan sektor informal, yang sebagian besar dijalankan oleh kelompok
(9)
miskin dan kaum urban yang tidak lagi mendapatkan kesempatan kerja di daerah asalnya.
Sektor informal selalu dipahami sebagai sektor tidak resmi, ilegal, dan tidak terdaftar; sedangkan sektor formal bersifat resmi, legal, dan didaftar oleh pemerintah. Banyak yang berpandangan bahwa kegiatan ekonomi yang tidak resmi, tidak dipajaki, tidak terorganisasi dengan baik, teknologinya sederhana, banyak di antaranya pekerja tidak dibayar, skala usahanya kecil, dan memiliki dinamika usaha yang luar biasa, semuanya digolongkan ke dalam sektor informal.
Tidak ada pembedaan atau penggolongan lebih lanjut, apakah sektor informal bisa dirinci berdasarkan karakteristiknya. Padahal berdasarkan kenyataan di lapangan, utamanya dari hasil penelitian tentang resistensi PKL di kota Semarang, terdapat PKL yang terorganisasi, yang oleh Pemkot dipajaki seperti halnya sektor formal, dan ia disebut pula sebagai sektor informal (PKL) yang resmi atau tertata; dan di tempat lainnya terdapat PKL liar yang jumlahnya seimbang dengan jumah PKL tertata, menempati hampir semua pelosok kota, yang jauh dari jangkauan pemerintah kota.
Hampir semua kepala daerah menginginkan daerahnya bersih, asri, tertib, nyaman, dan aman, dan mereka umumnya menginginkan semua sektor informal, termasuk di dalamnya PKL beralih menjadi pengusaha sektor formal. Hal ini dilakukan agar semua aktivitas ekonomi di wilayah kotanya dapat dikendalikan untuk mendukung pembangunan kota. Harapannya, kota bersih dan asri serta pendapatan dari semua sektor ekonomi dapat diperoleh secara maksimal. Apa yang diinginkan pemerintah kota dan kabupaten tersebut tidak mungkin terjadi, kecuali semua fasilitas kota dapat diakses oleh semua penduduk, termasuk mereka yang tergolong kelompok miskin. Dalam realitasnya, hal ini tidak mungkin terjadi. Terbatasnya kemampuan dan jangkauan pelayanan pemerintah,
(10)
menyebabkan tidak seluruh kebutuhan penduduk dapat dipenuhi secara maksimal, apalagi pertumbuhan penduduk sering tidak dapat diimbangi oleh fasilitas (berupa barang dan jasa) yang disediakan oleh pemerintah. Namun sayangnya, dalam kebijakan pemerintah acapkali berakibat pada pemutusan rantai kehidupan PKL. Mereka dikejar-kejar, digusur, dipindahkan sesuka hati seperti halnya barang yang gampang dipindah, padahal mereka adalah manusia yang juga memiliki harkat dan martabat seperti layaknya manusia lainnya. Mereka butuh hidup dan penghidupan. Untuk itulah, mereka bekerja. Satu-satunya cara menyambung hidup sesuai dengan keterbatasan yang mereka miliki adalah bekerja sebagai PKL. Adalah tidak etis dan tidak bermoral jika kelompok masyarakat yang tidak berdaya ini diputus hidup dan harapannya, hanya karena pemerintah ingin memperoleh keuntungan jangka pendek.
Dalam kaitan dengan PKL liar, jikalau mereka tidak mampu ditata dan dijangkau oleh pemerintah, maka tindakan yang paling baik adalah membiarkannya untuk dapat bekerja di tempat-tempat strategis seraya memberinya kebebasan untuk mengelola usaha dan mengatur lingkungannya agar tetap bersih dan nyaman bagi warga kota. Ketidakhadiran (absent) negara dalam keadaan tertentu, kadang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup suatu kelompok atau komunitas tertentu, meskipun hal ini tidak selamanya harus terjadi. Jikalau negara atau pemerintah terpaksa harus hadir dalam kehidupan kelompok masyarakat miskin, maka kehadirannya harus memiliki keberpihakan kepada golongan masyarakat yang kurang beruntung ini. Keberpihakan kepada kelompok masyarakat berpendapatan rendah ini harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan konkrit, berani, dan tidak sekadar bersifat inkremental (Kameo 2011:22).
Resistensi atau tindakan melawan yang ditunjukkan PKL liar terhadap kebijakan yang ditempuh oleh Pemkot Semarang,
(11)
salah satu sebabnya adalah menjadi PKL merupakan sarana yang paling mudah untuk mencari penghasilan, sekaligus sebagai satu-satunya cara bertahan hidup (survive) bagi kelompok miskin. Kepemimpinan walikota Semarang yang lebih mengedepankan kekuasaan, kurang akomodatif terhadap kehidupan rakyat kecil, lebih responsif dan berpihak kepada pemodal, menyebabkan PKL liar menjadi tidak percaya kepada kepemimpinan walikota. Hal ini menyebabkan kelompok marginal tersebut menjadi tidak patuh terhadap ketentuan dan perintah yang dikeluarkan walikota berkaitan dengan penataan PKL. Hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dengan PKL ini menyebabkan terjadinya ketegangan, gesekan, dan konflik antarmereka ketika pihak pemerintah melakukan tindakan penataan dan penertiban terhadap PKL. Gambaran mengenai dampak kepemimpinan yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat marginal dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 68. Kepemimpinan yang tidak berpihak kepada rakyat menciptakan konflik
Kepemimpinan yang tidak berpihak kepada
rakyat
Hubungan antara Pemimpin
dan Rakyat tidak harmonis Konflik antara
Pemimpin dan Rakyat
Masyarakat tidak patuh dan tidak
(12)
Perlawanan atau resistensi ini sesungguhnya tidak akan terjadi jika Pemkot Semarang memiliki panduankebijakan yang jelas, seperti halnya yang diperlihatkan Pemkot Surakarta ketika merelokasi PKL Monjari ke Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta. Fasilitas yang diberikan oleh Pemkot Surakarta, berupa gerobak dan shelter-shelter untuk tempat berdagang merupakan modal institusional yang berharga, yang menumbuhkan kepercayaan dan kecintaan masyarakat kepada Pemkot Surakarta. Dalam realitasnya, masyarakat miskin atau kurang beruntung yang diberi kebebasan dan kepercayaan dan difasilitasi pemerintah yang mengutamakan kepemimpinan yang berpihak kepada mereka, akan menumbuhkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan atau pun kebijakan yang diambil pemerintah. Masyarakat kelas bawah cenderung hidupnya tertib jika diberi peluang dan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.
Kelompok masyarakat yang diberi kebebasan, otonomi, dan kepercayaan untuk melakukan apa yang terbaik bagi kehidupannya, akan dapat mengatur dan mengelola kehidupan termasuk usaha mencukupi kebutuhan sendiri. Masyarakat yang mampu mengelola hidup, mengatur diri dan mempunyai banyak pilihan tentang cara-cara mengembangkan kehidupan, pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan mencapai kebahagiaan yang sejati. Ilustrasi mengenai kaitan antara kepemimpinan yang berpihak, rasa percaya masyarakat, kepatuhan dan ketertiban masyarakat, kemampuan masyarakat mengelola diri, dan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut.
(13)
Gambar 69. Peran Kepemimpinan yang berpihak kepada Rakyat terhadap Survival Kelompok Masyarakat Miskin
Resistensi PKL merupakan tindakan rasional bertujuan. Rasional dalam arti bahwa apa yang dilakukan oleh pedagang kelas bawah ini betul-betul dipertimbangkan untung ruginya. Bertujuan, dalam pengertian bahwa apa yang dilakukan pedagang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tindakan perlawanan merupakan tindakan kolektif, maka tujuan yang dikejar juga tujuan kolektif. Perlawanan dan pembangkangan yang dilakukan pedagang tujuannya adalah untuk mempertahankan lokasi berdagang, tidak dipindah ke tempat lain yang belum tentu memiliki prospek yang sama di tempat lama, bahkan harapan lebih jauh mereka adalah memperoleh izin resmi untuk berdagang di tempat yang selama ini telah mereka gunakan.
Para PKL berani melakukan perlawanan terhadap Pemkot, karena tiga hal.
Pertama, alasan melawan adalah demi menyambung hidup (survival) di tengah sulitnya hidup di kota besar.
Kepemimpinan Yang Berpihak kepada Rakyat Masyarakat
percaya
Masyarakat patuh dan
tertib
Masyarakat survive dan sejahtera
Masyarakat dapat mengelola
(14)
Kedua, mereka melawan karena diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi oleh aparat pemerintah. Kekerasan aparat dibalas juga dengan kekerasan oleh pedagang. Inilah yang oleh Arendt disebut dengan banalitas kejahatan atau kekerasan. Kekerasan negara akan memengaruhi individu warga negara untuk berbuat yang sama ketika mereka juga mengalami kekerasan (Pitaloka 2004).
Ketiga, PKL melakukan perlawanan karena adanya kekuatan pendorong, yaitu modal sosial.
Kepercayaan (trust) yang diberikan anggota PKL kepada ketua PKL dan jaringan sosial yang dijalin oleh ketua PKL, merupakan unsur modal sosial yang menjadi penguat bagi PKL melakukan perlawanan kepada Pemkot. Norma berupa kesepakatan untuk menghadiri rapat, ikut demonstrasi, dan membayar iuran untuk membiayai perjuangan dalam rangka mempertahankan lokasi merupakan bagian dari modal sosial yang signifikan bagi upaya perlawanan PKL. Demikian pula, jaringan sosial yang dibangun dengan PPKLS, LBH, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemahasiswaan (intra dan ekstra universiter), dan lembaga lainnya, meneguhkan kekuatan PKL melawan kebijakan relokasi yang ditempuh Pemkot Semarang.
Pengorbanan yang diberikan oleh ketua, penasihat PKL, dan ketua PPKLS baik berupa uang, pikiran, dan tenaga menjadi semen bagi perlawanan PKL. Jiwa kepemimpinan yang disertai semangat pengorbanan ketua PKL menjadi mesin pelumas bagi gerak tindakan kolektif anggota PKL. Modal sosial yang memperlancar (lubricant) dan mempererat (glue) ikatan sosial anggota PKL, dalam penelitian ini disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan (sacrifice of social capital). Dalam teori modal sosial yang dikembangkan para teoretisi selama ini belum pernah disinggung tentang modal sosial dengan pengorbanan, yang hanya ditemukan pada komunitas kaum pinggiran, seperti halnya di komunitas PKL Basudewo. Bukan
(15)
tidak mungkin jenis modal sosial ini ada pada komunitas marginal lainnya atau lahir dari orang-orang yang dengan tindakan pengorbanannya berhasil menggerakkan aksi anggota komunitasnya.
Modal sosial pengorbanan ini seperti modal sosial lainnya dapat ditambah, diperbanyak dan diperlakukan sebagai stok barang. Modal sosial pengorbanan akan bernilai positif ketika bertemu dengan kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap kepentingan pedagang. Pemerintah dapat mengembangkan modal kelembagaan (institutional capital), berupa tata kelola kelembagaan dan struktur pemerintahan yang berfungsi mereduksi ketidakpastian, merangsang efisiensi adaptif (termasuk kemampuan sistem untuk mengubah kondisi-kondisi), serta mendorong alokasi sistem dan pola produksi dan konsumsi (Platje 2008:145). Tata kelola pemerintahan yang fleksibel dengan sebanyak mungkin memberikan kebebasan dan otonomi kepada warga masyarakat untuk menjalankan aktivitas apa pun berdasarkan prinsip subsidiary akan memberi peluang bagi berkembangnya usaha dan bisnis sektor informal, khususnya pedagang kaki lima.
Dalam penelitian ini ditemukan suatu dalil bahwa
“semakin banyak orang berkorban untuk bertindak kolektif (modal sosial pengorbanan meningkat) dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang fleksibel, akomodatif, dan berpihak kepada rakyat (modal institusional), maka pembangunan akan dapat berlangsung sesuai yang diharapkan dan masyarakat akan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara optimal”. Ilustrasi bertemunya modal sosial pengorbanan dari komunitas (masyarakat) pinggiran dengan modal institusional pemerintah dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
(16)
Modal Sosial Kolektif (masyarakat dan pemerintah) yang bermanfaat bagi Pembangunan
Gambar 70. Pertemuan Modal Sosial Pengorbanan dari Masyarakat dan Modal Institusional Pemerintah yang memberikan energi positif bagi Pembangunan
C. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian, temuan penelitian, dan implikasi teoritis, maka dalam penelitian disertasi diajukan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, Perda nomor 11 tahun 2000 perlu direvisi, karena substansi pasal-pasal dan ayat-ayatnya bersifat government oriented, dalam arti kepentingan pemerintah lebih diutamakan daripada kepentingan dan kebutuhan pedagang kaki lima (PKL). Ketentuan yang ada di dalam Perda lebih banyak mengatur kewajiban dan larangan bagi PKL, sedangkan
Modal Sosial Pengorbanan dari
Masyarakat
MIP ideal
Modal Institusional Pemerintah (MIP) riil
(17)
pengaturan tentang hak-hak dan pemberdayaan terhadap PKL tidak banyak.
Kedua, pembukaan lahan baru untuk menampung PKL yang dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat. Lahan baru bagi PKL dipandang penting, karena rasio antara luas lahan yang tersedia bagi PKL dengan jumlah PKL tidak seimbang. Keterbatasan lahan untuk berdagang, menyebabkan PKL melakukan pelanggaran dengan menempati tempat-tempat strategis yang terlarang demi menyambung hidup.
Ketiga, merelokasi PKL yang menjalankan usaha di tepi jalan dekat bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat dan tempat-tempat terlarang lainnya ke tempat usaha yang tidak mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan, keindahan, dan kesehatan kota, tetapi yang lokasinya mudah diakses oleh konsumen.
Keempat, pendirian sentra-sentra PKL berbasis tempat dan jenis dagang atau usaha, seperti yang sudah berdiri (di Kalisari sebagai sentra PKL bunga hias, di Barito sebagai sentra PKL barang-barang onderdil mobil dan sepeda motor, di Kokrosono sebagai sentra PKL barang-barang klitikan, seperti onderdil sepeda bekas dan barang-barang elektronik lainnya). Pusat-pusat kuliner yang menampung para pedagang makanan dan minuman, sebagai ciri khas kota Semarang, dapat diperbanyak distribusinya di berbagai sudut kota, sehingga dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru.
Kelima, peningkatan kualitas sumber daya PKL, melalui kegiatan pelatihan dan keterampilan sesuai dengan karakteristik jenis usaha dan dagang mereka. Hal ini penting, karena dapat meningkatkan pendapatan PKL dan menciptakan stabilitas ekonomi perkotaan.
Keenam, pemberian fasilitas kredit kepada PKL. Selama ini PKL yang sebagian besar termasuk golongan masyarakat
(18)
miskin, tidak memiliki akses kredit baik ke lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Dengan kemudahan akses kredit ke lembaga keuangan dan perbankan, akan mendorong kemampuan PKL untuk bertahan hidup dan mengembangkan usaha mereka, sehingga ke depan mereka akan dapat menjadi titik masuk bagi lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru.
Ketujuh, pengembangan institusionalisasi PKL, yakni melakukan pemberdayaan organisasi PKL yang sudah ada dan mengorganisasikan PKL yang saat ini belum memiliki wadah pengembangan usaha PKL.
Kedelapan, perlu dibentuk forum bersama antara pemerintah, pengusaha dan PKL. Forum imi penting, tidak hanya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan interaksi antara ketiga pihak tersebut, sehingga dapat mengeliminasi konflik-konflik yang muncul di antara mereka, tetapi juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan PKL dalam mengelola usaha dan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup.
(1)
Gambar 69. Peran Kepemimpinan yang berpihak kepada Rakyat terhadap Survival Kelompok Masyarakat Miskin
Resistensi PKL merupakan tindakan rasional bertujuan. Rasional dalam arti bahwa apa yang dilakukan oleh pedagang kelas bawah ini betul-betul dipertimbangkan untung ruginya. Bertujuan, dalam pengertian bahwa apa yang dilakukan pedagang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Tindakan perlawanan merupakan tindakan kolektif, maka tujuan yang dikejar juga tujuan kolektif. Perlawanan dan pembangkangan yang dilakukan pedagang tujuannya adalah untuk mempertahankan lokasi berdagang, tidak dipindah ke tempat lain yang belum tentu memiliki prospek yang sama di tempat lama, bahkan harapan lebih jauh mereka adalah memperoleh izin resmi untuk berdagang di tempat yang selama ini telah mereka gunakan.
Para PKL berani melakukan perlawanan terhadap Pemkot, karena tiga hal.
Pertama, alasan melawan adalah demi menyambung hidup (survival) di tengah sulitnya hidup di kota besar.
Kepemimpinan Yang Berpihak kepada Rakyat Masyarakat
percaya
Masyarakat patuh dan
tertib
Masyarakat survive dan sejahtera
Masyarakat dapat mengelola
(2)
Kedua, mereka melawan karena diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi oleh aparat pemerintah. Kekerasan aparat dibalas juga dengan kekerasan oleh pedagang. Inilah yang oleh Arendt disebut dengan banalitas kejahatan atau kekerasan. Kekerasan negara akan memengaruhi individu warga negara untuk berbuat yang sama ketika mereka juga mengalami kekerasan (Pitaloka 2004).
Ketiga, PKL melakukan perlawanan karena adanya kekuatan pendorong, yaitu modal sosial.
Kepercayaan (trust) yang diberikan anggota PKL kepada ketua PKL dan jaringan sosial yang dijalin oleh ketua PKL, merupakan unsur modal sosial yang menjadi penguat bagi PKL melakukan perlawanan kepada Pemkot. Norma berupa kesepakatan untuk menghadiri rapat, ikut demonstrasi, dan membayar iuran untuk membiayai perjuangan dalam rangka mempertahankan lokasi merupakan bagian dari modal sosial yang signifikan bagi upaya perlawanan PKL. Demikian pula, jaringan sosial yang dibangun dengan PPKLS, LBH, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemahasiswaan (intra dan ekstra universiter), dan lembaga lainnya, meneguhkan kekuatan PKL melawan kebijakan relokasi yang ditempuh Pemkot Semarang.
Pengorbanan yang diberikan oleh ketua, penasihat PKL, dan ketua PPKLS baik berupa uang, pikiran, dan tenaga menjadi semen bagi perlawanan PKL. Jiwa kepemimpinan yang disertai semangat pengorbanan ketua PKL menjadi mesin pelumas bagi gerak tindakan kolektif anggota PKL. Modal sosial yang memperlancar (lubricant) dan mempererat (glue) ikatan sosial anggota PKL, dalam penelitian ini disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan (sacrifice of social capital). Dalam teori modal sosial yang dikembangkan para teoretisi selama ini belum pernah disinggung tentang modal sosial dengan pengorbanan, yang hanya ditemukan pada komunitas kaum pinggiran, seperti halnya di komunitas PKL Basudewo. Bukan
(3)
tidak mungkin jenis modal sosial ini ada pada komunitas marginal lainnya atau lahir dari orang-orang yang dengan tindakan pengorbanannya berhasil menggerakkan aksi anggota komunitasnya.
Modal sosial pengorbanan ini seperti modal sosial lainnya dapat ditambah, diperbanyak dan diperlakukan sebagai stok barang. Modal sosial pengorbanan akan bernilai positif ketika bertemu dengan kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap kepentingan pedagang. Pemerintah dapat mengembangkan modal kelembagaan (institutional capital), berupa tata kelola kelembagaan dan struktur pemerintahan yang berfungsi mereduksi ketidakpastian, merangsang efisiensi adaptif (termasuk kemampuan sistem untuk mengubah kondisi-kondisi), serta mendorong alokasi sistem dan pola produksi dan konsumsi (Platje 2008:145). Tata kelola pemerintahan yang fleksibel dengan sebanyak mungkin memberikan kebebasan dan otonomi kepada warga masyarakat untuk menjalankan aktivitas apa pun berdasarkan prinsip subsidiary akan memberi peluang bagi berkembangnya usaha dan bisnis sektor informal, khususnya pedagang kaki lima.
Dalam penelitian ini ditemukan suatu dalil bahwa “semakin banyak orang berkorban untuk bertindak kolektif (modal sosial pengorbanan meningkat) dan didukung oleh kebijakan pemerintah yang fleksibel, akomodatif, dan berpihak kepada rakyat (modal institusional), maka pembangunan akan dapat berlangsung sesuai yang diharapkan dan masyarakat akan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara optimal”. Ilustrasi bertemunya modal sosial pengorbanan dari komunitas (masyarakat) pinggiran dengan modal institusional pemerintah dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
(4)
Modal Sosial Kolektif (masyarakat dan pemerintah) yang bermanfaat bagi Pembangunan
Gambar 70. Pertemuan Modal Sosial Pengorbanan dari Masyarakat dan Modal Institusional Pemerintah yang memberikan energi positif bagi Pembangunan
C. Rekomendasi atau Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian, temuan penelitian, dan implikasi teoritis, maka dalam penelitian disertasi diajukan saran-saran sebagai berikut.
Pertama, Perda nomor 11 tahun 2000 perlu direvisi, karena substansi pasal-pasal dan ayat-ayatnya bersifat government oriented, dalam arti kepentingan pemerintah lebih diutamakan daripada kepentingan dan kebutuhan pedagang kaki lima (PKL). Ketentuan yang ada di dalam Perda lebih banyak mengatur kewajiban dan larangan bagi PKL, sedangkan
Modal Sosial Pengorbanan dari
Masyarakat
MIP ideal
Modal Institusional Pemerintah (MIP) riil
(5)
pengaturan tentang hak-hak dan pemberdayaan terhadap PKL tidak banyak.
Kedua, pembukaan lahan baru untuk menampung PKL yang dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat. Lahan baru bagi PKL dipandang penting, karena rasio antara luas lahan yang tersedia bagi PKL dengan jumlah PKL tidak seimbang. Keterbatasan lahan untuk berdagang, menyebabkan PKL melakukan pelanggaran dengan menempati tempat-tempat strategis yang terlarang demi menyambung hidup.
Ketiga, merelokasi PKL yang menjalankan usaha di tepi jalan dekat bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat dan tempat-tempat terlarang lainnya ke tempat usaha yang tidak mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan, keindahan, dan kesehatan kota, tetapi yang lokasinya mudah diakses oleh konsumen.
Keempat, pendirian sentra-sentra PKL berbasis tempat dan jenis dagang atau usaha, seperti yang sudah berdiri (di Kalisari sebagai sentra PKL bunga hias, di Barito sebagai sentra PKL barang-barang onderdil mobil dan sepeda motor, di Kokrosono sebagai sentra PKL barang-barang klitikan, seperti onderdil sepeda bekas dan barang-barang elektronik lainnya). Pusat-pusat kuliner yang menampung para pedagang makanan dan minuman, sebagai ciri khas kota Semarang, dapat diperbanyak distribusinya di berbagai sudut kota, sehingga dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru.
Kelima, peningkatan kualitas sumber daya PKL, melalui kegiatan pelatihan dan keterampilan sesuai dengan karakteristik jenis usaha dan dagang mereka. Hal ini penting, karena dapat meningkatkan pendapatan PKL dan menciptakan stabilitas ekonomi perkotaan.
Keenam, pemberian fasilitas kredit kepada PKL. Selama ini PKL yang sebagian besar termasuk golongan masyarakat
(6)
miskin, tidak memiliki akses kredit baik ke lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Dengan kemudahan akses kredit ke lembaga keuangan dan perbankan, akan mendorong kemampuan PKL untuk bertahan hidup dan mengembangkan usaha mereka, sehingga ke depan mereka akan dapat menjadi titik masuk bagi lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru.
Ketujuh, pengembangan institusionalisasi PKL, yakni melakukan pemberdayaan organisasi PKL yang sudah ada dan mengorganisasikan PKL yang saat ini belum memiliki wadah pengembangan usaha PKL.
Kedelapan, perlu dibentuk forum bersama antara pemerintah, pengusaha dan PKL. Forum imi penting, tidak hanya untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul berkaitan dengan interaksi antara ketiga pihak tersebut, sehingga dapat mengeliminasi konflik-konflik yang muncul di antara mereka, tetapi juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan PKL dalam mengelola usaha dan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup.