Hubungan Pain Self Efficacy, Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan Chapter III VI

BAB 3
KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar
variabel (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan pain self efficacy, intensitas nyeri
dan perilaku nyeri pada pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Ahles dan koleganya (1983
dalam Ardinata, 2007) mengkategorikan lima dimensi dari nyeri yang dialami.
Kelima dimensi ini meliputi: dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif , dan
behavior (perilaku). Sebagai tambahan McGuire dan Sheidler (1993 dalam
Ardinata, 2007) menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi keenam
dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi dari fenomena
nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis (Ardinata, 2007). Dimensi
sensori, perilaku dan kognitif adalah dimensi yang akan dihubungkan dengan
ketiga variabel dalam penelitian ini.
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan intensitas nyeri. Intensitas
nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor

dari nyeri yang dirasakan. Pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah
dengan menggunakan respon fisiologi tubuh dan perilaku nyeri.Ketika pasien

41
Universitas Sumatera Utara

42

berada dalam beberapa tingkat rasa sakit, perilaku tertentu yang terkait dengan
nyeri akan terjadi.
Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilakuyang dapat
diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai
cara mengkomunikasikan kelingkungan bahwa seseorang tersebutmengalami atau
merasakan nyeri (Fordyce,1976 dalam Ardinata, 2007). Perilaku nyeri adalah
segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan
ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi. Perilaku nyeri dapat
dimanifestasikan dengan berbagai cara yang meliputi mengeluh, merintih,
menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan berubah posisi. Intensitas nyeri
mempengaruhi berbagai perilaku nyeri. Ketika pasien berada dalam beberapa
tingkat nyeri sudah pasti perilaku berhubungan dengan nyeri yang terjadi

(Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Pasien dengan intensitas nyeri yang tinggi
juga akan mengekspresikan perilaku nyeri yang tinggi pula.
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan
oleh pasien terhadap proses berpikirnya atau pandangan pasien terhadap dirinya
sendiri (Ahles et al, 1983 dalam Ardinata, 2007). Kognitif ini dimaksudkan untuk
membantu pasien mengenali respon emosional terhadap nyeri yang dipengaruhi
oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan gangguan yang berasal dari nyeri
kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005 dalam Aritonang, 2010). Salah satu
kemampuan kognitif adalah self efficacy. Adanya self efficacy diharapkan dapat
mempengaruhi intensitas nyeri dan perilaku nyeri. Self efficacy adalah rasa

Universitas Sumatera Utara

43

kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut
dalam situasi yang spesifik.
Hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri dan perilaku nyeri
merupakan hubungan berbanding terbalik. Pasien dengan pain self efficacy yang
tinggi biasanya ditandai dengan rendahnya tingkat stress dan kecemasan sehingga

dapat menurunkan intensitas dan perilaku nyeri. Sedangkan pasien dengan pain
self efficacy yang rendah dapat mengakibatkan perilaku nyeri yang tinggi. Pasien
yang memiliki pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri
dan perilaku nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien dengan pain self efficacy
rendah akan menunjukkan intensitas nyeri dan perilaku nyeri yang tinggi.
Berdasarkan pemaparan konsep diatas, maka peneliti membuat kerangka
penelitian ini seperti skema di bawah ini:
Intensitas Nyeri

Pain Self Efficacy

Perilaku Nyeri

Skema 3.1 Kerangka penelitian hubungan pain self efficacy, intensitas nyeri
dan perilaku nyeri pada pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Keterangan :
: Variabel yang diteliti

Universitas Sumatera Utara


44

3.2 Defenisi Operasional
Pada bagan ini akan diuraikan mengenai defenisi operasional masing-masing
variabel penelitian.
Tabel 3.2.1. Defenisi Operasional
Variabel

Definisi

Alat Ukur

Hasil
Ukur

Pain Self
Efficacy
Questionnaire
( PSEQ)


Tingkatan:
Rasio
1. 0-20
dikategorikan
pain self
efficacy
rendah

Operasional
Pain Self
Efficacy

Rasa kepercayaan
individu dalam
kemampuannya
untuk mentolerir
rasa sakit,
mengatasi rasa
sakit, dan
berpartisipasidalam

kegiatan seharihari meskipun
mengalami nyeri

Skala
Ukur

2. 21-40
dikategorikan
pain self
efficacy
sedang
3. 41-60
dikategorikan
sebagai pain
self efficacy
tinggi.

Intensitas Nyeri

Gambaran tentang

seberapa parah
nyeri yang
dirasakan oleh
individu.

Numeric Pain
Rating
Scale
(NPRS)

Dinyatakan
dalam
rentang 0-10.
0 = tidak ada
nyeri
1-3 = nyeri
ringan
4-6 = nyeri
sedang
7-10 = nyeri

berat

Rasio

Universitas Sumatera Utara

45

Perilaku Nyeri

Segala sesuatu
yang dilakukan
oleh seseorang dan
setiap perubahan
kebiasaan ketika ia
mengalami nyeri
yang dapat
diobservasi.

Pain

Behavior
Observation
Protocol
(PBOP)
menggunakan
skala likert
yang diberi
tiga nilai
yaitu
0 = tidak ada,
1 = kadangkadang dan
2= selalu

Dibagi
menjadi tiga
tingkatan
yaitu:
1. rendah
(0-3)
2. sedang

(4-7),
3. tinggi
(8-10).

Rasio

3.3 Hipotesa
Berdasarkan kerangka penelitian terdapat enam hipotesa:
3.1 Hipotesa alternatif 1 terdapat hubungan antara pain self efficacy dan
intensitas nyeri.
3.2 Hipotesa null1 yaitu tidak terdapat hubungan antara pain self efficacy dan
intensitas nyeri.
3.3 Hipotesa alternatif 2 terdapat hubungan antara pain self efficacy dan
perilaku nyeri.
3.4 Hipotesa null2 yaitu tidak terdapat hubungan antara pain self efficacy dan
perilaku nyeri.
3.5 Hipotesa alternatif 3 terdapat hubungan antara intensitas nyeri dan
perilaku nyeri..
3.6 Hipotesa null3 tidak terdapat hubungan antara intensitas nyeri dan
perilaku nyeri.


Universitas Sumatera Utara

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi yang mengidentifikasi hubungan pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti
(Notoatmodjo,2005 dalam Setiadi, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien low back pain yang menjalani rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi
Medan.
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan
objekyang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005
dalam Setiadi, 2007). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien low back pain
yang menjalani rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penentuan sampel
ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

46
Universitas Sumatera Utara

47

Keterangan:
n

= Besaran sampel
= Standar normal deviasi untuk α

P

= Prediksi proporsi berdasarkan literature atau hasil pilot study

d

= Deviasi dari prediksi proporsi atau presisi absolute (absolute precision)

Perhitungan sebagai berikut:

Dengan menggunakan rumus confidance level dan tingkat kesalahan yang di
pilih yaitu 0.05 maka jumlah yang diperoleh 39 orang, kemudian peneliti
menambahkan jumlah responden sebanyak 10% sehingga total sampel yang
diteliti adalah sebanyak 43 responden.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode non
probability sampling melalui teknik purposive sampling, yaitu penentuan sampel
dengan kriteria yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2007) dari pasien low back
pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini
yaitu pasien dengan low back pain yang di diagnosa oleh dokter, menderita low
back pain minimal 3 bulan, memiliki kesadaran penuh, mampu berkomunikasi
dengan baik, bersedia menjadi responden penelitian.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan .
Pemilihantempat ini karena rumah sakit RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan

Universitas Sumatera Utara

48

rumah sakit pendidikan yang mendukung pengembangan dalam bidang penelitian
sehingga memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan
Juni 2017.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan oleh peneliti setelah mendapatkan persetujuan dari
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dari RSUD Dr. Pirngadi
Medan, serta mendapatkan surat etik dari komisi etik penelitian kesehatan fakultas
keperawatan USU untuk melakukan penelitian.
Peneliti menyerahkan lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu harus
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Jika
responden bersedia untuk diteliti maka responden terlebih dahulu harus
menandatangani lembar persetujuan (Informed concent). Jika responden menolak
untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya. Penelitian ini tidak
mengakibatkan kerugian/resiko bagi responden (nonmaleficence). Untuk menjaga
kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar
pengumpulan data yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya akan diberi
kode tertentu (anonymity). Kerahasiaan informasi responden dan kelompok data
tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian (confidentiality).
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data demografi
kuesioner pain self efficacy, kuesioner intensitas nyeri dan lembar observasi
perilaku nyeri yang didasarkan pada tinjauan pustaka.

Universitas Sumatera Utara

49

4.5.1

Data Demografi

Terdiri dari kode, usia, jenis kelamin, status pernikahan, suku bangsa,
pendidikan terakhir, pekerjaan dan lama terdiagnosa LBP. Data demografi ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden, deskripsi frekuensi, dan
presentasi demografi responden.
4.5.2

Kuesioner Pain self efficacy

Untuk mengidentifikasikasi pain self efficacy, peneliti menggunakan
menggunakan skala differensial semantik Pain Self Efficacy Questionnaire
(PSEQ) yang didesain oleh Nicholas pada 1989. Kuesioner ini pernyataan akan
diberi skor 0 sampai 6. Skor 0 mengindikasikan bahwa klien sangat tidak yakin
sampai skor 6 mengindikasikan bahwa klien sangat yakin. Skor tertinggi dalam
instrumen ini adalah 60 sedangkan skor terendah nol. Sebesar 60 dibagi ke dalam
tiga kelas yaitu self efficacy yang rendah, self efficacy sedang dan self efficacy
yang tinggi, maka diperoleh panjang kelas sebesar 20. Dengan p=20, dan nilai
terendah 0 sebagai batas bawah kelas interval pertama, maka self efficacy
dikategorikan atas interval sebagai berikut:
0-20 = self efficacy rendah
21-40 = self efficacy sedang
41-60 self efficacy tinggi
4.5.3

Kuesioner Intensitas Nyeri

Numeric Pain Rating Scale yaitu instrumen yang digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri pasien dalam rentang 0-10. 0 berarti tidak ada nyeri dan 10 berarti

Universitas Sumatera Utara

50

nyeri paling hebat. Skala ini memberikan pasien kebebasan total dalam
mengidentifikasi beratnya nyeri yang dirasakan.
Tingkat nyeri didapatkan melalui laporan dari diri pasien dengan
menyebutkan angka pada skala nyeri NRS (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Potter
& Perry, 2005). Hasil pengukurannya adalah skor 0 termasuk kategori tidak ada
nyeri, skor 1-3 termasuk pada skala nyeri ringan, skor 4-6 termasuk skala nyeri
sedang, dan skor 7-10 termasuk kategori nyeri berat (Serlin, dkk, 1995 dalam
Harahap, 2007).
4.5.4

Lembar Observasi Perilaku Nyeri

Lembar observasi perilaku nyeri dengan menggunakan The Pain Behavior
Observation Protocol (PBOP). PBOP ini terdiri dari 5 item : (1) guarding yang
mana mengacu kepada penjagaan area tubuh yang sakit, (2) braching yang mana
mengacu pada kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela atau pergerakan yang
kaku, (3) rubbing yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan pada
bagiantubuh yang sakit, (4) grimacing yang mana mengacu pada guratan wajah
dalam mengekspresikan rasa nyeri seperti, kening berkerut, menyipitkan mata,
mengatupkan bibir, menyingkap sudut mulut dan merapatkan gigi, (5) sighing
yang mengacu kepada pernafasan atau menghela nafas (Keefe& Smith, 2002
dalam Harahap, 2006). Perilaku nyeri diobservasi secara langsung pada saat
pasien menunjukkan delapan task yang disesuaikan dari protokol Keefe dan Block
pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi
selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua
menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan

Universitas Sumatera Utara

51

sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit (Keefe & Block, 1982; Keefe
& Smith, 2002 dalam Harahap 2006).
Tingkat perilaku nyeri menggunakan skala Likert dengan nilai 0= tidak ada,
1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Jumlah skor merupakan penjumlahan dari lima
item tersebut. Skor tertinggi mengindikasikan ekspresi perilaku nyeri yang
tertinggi. Untuk menginterpretasikan skor PBOP, jumlah skor perilaku nyeri
dibagi menjadi tiga tingkatan meliputi rendah (0-3), sedang (4-7), dan tinggi (810).
4.6 Validitas dan Reliabilitas
Alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar adalah
alat ukur yang telah melalui uji validitas dan reliabilitas (Hidayat, 2007 dalam
Pasaribu, 2016). Validitas menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sebuah
instrumen dikatakan valid jika instrumen mampu mengukur apa yang seharusnya
diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Alat ukur yang digunakan
adalah alat ukur yang sudah baku yang telah melalui uji validitas dan reliabilitas.

Reliabilitas adalah adanya konsistensi hasil apabila pengukurandilaksanakan
oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda sehingga dapat digunakan
untuk penelitian berikutnya (Setiadi, 2007).
4.6.1

Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ)
Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self

Efficacy Questionnaire (PSEQ) yang didesain oleh Nicholas pada tahun 1989.
Kuesioner ini sudah divalidkan oleh dosen keperawatan medikal bedah dan

Universitas Sumatera Utara

52

dosen keperawatan jiwa USU dengan hasil 1 dan hasil reliabilitas kuesioner pain
self efficacy menunjukkan hasil 0.82 (Cronbach alpha).
4.6.2

Numeric Pain Rating Scale (NPRS)
Instrumen Numeric Pain Rating Scale (NPRS) digunakan untuk mengukur

intensitas nyeri yang diadopsi dari McCafferyet al pada tahun 1989. Berdasarkan
hasil dari studi Gloth, et. al (2001) menyebutkan bahwa skala nyeri NPRS
menunjukkan reliabilitas lebih dari 0,95 dan juga pada uji validitasnya
menunjukkan r = 0,90.
4.6.3

Pain Behavior Observational Protocol (PBOP)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri adalah Pain

Behavior Observation Protocol (PBOP) pertama kali dikemukakan oleh Keefe
dan Block tahun 1982 (Harahap, 2006). Uji intereter reliabilitas PBOP
menunjukkan hasil uji reliabilitas 0.98 (Cronbach alpha).
4.7 Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mengajukan permohonan
surat ijin untuk melakukan penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara kemudian mengajukan permohonan izin ke tempat penelitian
RSUD Dr. Pirngadi Medan.Setelah meminta izin dari kepala ruangan, peneliti
akan menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan
sebelumnya. Kemudian peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang
tujuan, manfaat penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Peneliti meminta
calon responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk persetujuan
bersedia menjadi responden .

Universitas Sumatera Utara

53

Peneliti

menjelaskan

cara

pengisian

data

demografi,

pain

self

efficacy,intensitas nyeri dan perilaku nyeri. Setelah itu responden dapat mengisi
data demografi, kuesioner Pain Self efficacy Questionnaire. Setelah selesai
mengisi kuesioner pain self efficacy, peneliti meminta responden mengisi
kuesione rintensitas nyeri dengan menggunakan Numeric Rating Scale.Kemudian
peneliti mengobservasi perilaku nyeri responden selama sepuluh menit
berdasarkan protokol PBOP yang terdiri dari duduk selama satu menit dan
kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian
diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama
satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit. Waktu
yang diperlukan untuk menjawab kuesioner pernyataan adalah sebanyak 10-20
menit. Setelah kuesioner diisi, kuesioner dikumpulkan oleh peneliti, peneliti mulai
mengolah dan menganalisa data.
4.8 Analisa Data
Setelah semua kuesioner terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui
beberapa tahap. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2010) pertama editing, yaitu
pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut serta memastikan
bahwa semua jawaban telah di isi sesuai petunjuk. Kedua coding, yaitu mengubah
data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan tertentu
dengan memberi kode pada kuesioner. Ketiga entry data, yaitu jawaban-jawaban
dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode dimasukkan ke dalam
program software komputer. Keempat cleaning, yaitu pengecekan ulang dan
pembersihan data dari kesalahan. Dan kelima saving, yaitu proses penyimpanan

Universitas Sumatera Utara

54

data. Langkah selanjutnya yaitu pengolahan data dengan menggunakan program
statistika, yaitu: SPSS.
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis secara univariat dan bivariat.
4.8.1 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan
persentasi dari data demografi dan semua variabel penelitian yaitu: pain self
efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien low back pain dengan
jenis data numerik dengan skala pengukuran rasio.
4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara pain self efficacy
dengan intensitas nyeri, hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri dan
hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri pada pasien low back pain.Uji
statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Product Moment
Pearson’s (Pearson’s). Menurut Dahlan (2004dalam Aritonang, 2010) Uji
Pearson’s ini digunakan jika mememenuhi syarat yaitu, data terdistribusi normal
dan sampel memenuhi. Jika ditemukan data tidak terdistribusi normal maka
diusahakan normal, jika tetap tidak terdistribusi normal maka analisa data
dikembalikan ke nonparametrik dengan menggunakan Spearman .
Uji Normalitas data dilakukan sebelum data diolah berdasarkan model
penelitian yang diajukan. Uji normalitas data bertujuan untuk mendeteksi
distribusi data dalam suatu variabel yang akan digunakan di dalam penelitian.

Universitas Sumatera Utara

55

Data yang baik dan layak untuk membuktikan model penelitian tersebut adalah
data yang memiliki distribusi normal. Dalam penelitian ini uji normalitas
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui hasil uji normalitas
adalah dengan membandingkan data yang didapat dengan data yang berdistribusi
normal yang memiliki mean dan SD yang sama. Jika tes yang dilakukan
menghasilkan signifikan (p0.05), maka data tersebut memiliki distribusi
normal.Hasil analisa akan dibaca berdasarkan tabel hasil uji interpretasi. Tabel
hasil uji interpretasi terdiri dari nilai r, nilai p dan arah korelasi.
Untuk menafsirkan hasil pengujian statistik tersebut digunakan kriteria
penafsiran (Dahlan, 2001) sebagai berikut:
Tabel 4.8.2.1Hasil uji interpretasi korelasi
No
1

2

Parameter
Kekuatan Korelasi

Nilai p

Nilai
0.000-0.199

Interpretasi
Sangat rendah

0.200-0.399

Rendah

0.400-0.5.99

Sedang

0.600-0.799

Kuat

0.800-1.000
P0.05
3

Arah korelasi

+ (positif)

- (negatif)

Tidak terdapat korelasi yang
bermakna
antara
dua
variabel yang diuji.
Searah. Semakin besar nilai
suatu variabel, makin besar
pula nilai variabel lainnya.
Berlawanan arah. Semakin
besar nilai suatu variabel,
semakin kecil nilai variabel
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan hasil serta pembahasan mengenai hubungan
pain self efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien low back pain di
RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian telah dilaksanakan mulai dari tanggal 22
Mei 2017 sampai dengan 22 Juni 2017 di Poli Neurologi RSUD Dr.Pirngadi
Medan dengan jumlah responden sebanyak 43 pasien.
5.1 Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini menguraikan karakteristik data demografi
responden, pain self efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri dan hubungan
pain self efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien low back pain.
5.1.1 Analisis Univariat
5.1.1.1 Karakteristik Demografi Responden
Karakteristik responden yang diuraikan mencakup usia, jenis kelamin,
pendidikan, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan dan
lama terdiagnosa LBP. Penelitian ini menemukan bahwa usia responden
penelitian berada pada rentang usia >60 tahun dengan rata-rata usia 64.35
(SD=10.261). Lebih dari setengah responden penelitian (65,1%) berjenis kelamin
perempuan, yaitu 28 orang. Berdasarkan Tingkat pendidikan terakhir kurang dari
setengah responden (44,2%) adalah berpendidikan SMA. Mayoritas responden
(97,7%) sudah menikah. Suku batak adalah suku terbanyak diantara responden
(72,1%). Lebih dari setengah responden (53,5%) tidak memiliki pekerjaan. Dan
56
Universitas Sumatera Utara

57

berdasarkan lama terdiagnosa LBP semua responden menderita LBP
kronis yaitu >3 bulan.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Demografi
pada Pasien Low Back Pain (n=43)
No.

Karakteristik Responden
1. Usia
21-40 tahun
41-60 tahun
>60 tahun
(mean=64.35, SD=10.261,
min-max=38-80)
2. Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
3. Status pernikahan
Menikah
Belum menikah
4. Suku bangsa
Batak
Jawa
Padang
Melayu
Nias
Minang
Manado
5. Pendidikan terakhir
SD
SMP
SMA
D2
D3
S1
6. Pekerjaan
PNS
Pedagang
Buruh
Tidak bekerja

Frekuensi

Persentase

2
11
30

47,0
25,6
69,8

28
15

65,1
34,9

42
1

97,7
2,3

31
7
1
1
1
1
1

72,1
16,3
2,3
2,3
2,3
2,3
2,3

8
8
19
2
2
4

18,6
18,6
44,2
4,7
4,7
9,3

12
6
2
23

27,9
14,0
4,7
53,5

Berlanjut

Universitas Sumatera Utara

58

Lanjutan
No.
7.

Karakteristik Responden

Frekuensi

Persentase

1
6
2
1
2
1
5
3
6
4
1
4
3
1
1
1
1

2,3
14,0
4,7
2,3
4,7
2,3
11,6
7,0
14,0
9,3
2,3
9,3
7,0
2,3
2,3
2,3
2,3

Lama terdiagnosa LBP
3.5 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan
10 bulan
1 tahun
2 tahun
3 tahun
5 tahun
6 tahun
8 tahun
10 tahun
11 tahun
15 tahun
18 tahun
20 ahun

5.1.1.2 Pain Self Efficacy pada Pasien Low Back Pain
Pain self efficacy pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien low back
pain memiliki tingkatan pain self efficacy tinggi dengan mean 49,74 (sd= 7,105).
Mean, SD, min-max dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Pain Self Efficacy pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi
Medan (n=43)
Variabel

Mean

Pain Self Efficacy

49,74

Standar Deviasi
1,670

min-max
33-58

Berdasarkan kategori pain self efficacy ditemukan hasil mayoritas
responden (83,7%) memiliki pain self efficacy yang tinggi diikuti pain self

Universitas Sumatera Utara

59

efficacy rendah (16,3%). Data distribusi frekuensi dan persentase pain self efficacy
responden dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pain Self Efficacy pada Pasien Low
Back Pain (n=43)
Tingkatan

Frekuensi

Persentase

Pain self efficacy sedang (21-40)

7

16,3

Pain self efficacy tinggi (41-60)

36

83,7

Peneliti juga menemukan bahwa dari 10 item pernyataan pain self efficacy
ditemukan 3 item pernyataan dengan skor tertinggi adalah pertanyaan nomor 3
(saya dapat bersosialisasi dengan sahabat sesering yang saya mau walaupun saya
mengalami nyeri) dengan mean= 5.48, SD= 0.79, pertanyaan nomor 1 (saya dapat
menikmati hidup, walaupun saya mengalami nyeri) dengan mean= 5.41, SD= 0.98
dan pertanyaan nomor 10 (perlahan-lahan saya mampu melakukan kegiatan,
walaupun saya mengalami nyeri) dengan mean= 5.41, SD= 0.069. Sementara
pertanyaan dengan skor terendah adalah pernyataan nomor 7 (saya dapat
mengatasi nyeri yang saya alami tanpa pengobatan) dengan mean= 2.93, SD=
1.12, pertanyaan nomor 5 (saya dapat melakukan pekerjaan, walaupun nyeri
masih terasa (termasuk dibayar/ tidak dibayar)) dengan mean= 4.81, SD= 1.05 dan
pertanyaan nomor 4 (saya dapat mengatasi rasa nyeri dalam situasi apapun)
dengan mean= 5.00, SD= 0.97. Data mean, SD skor item pernyataan dapat dilihat
pada tabel 5.4 dan tabel 5.5.

Universitas Sumatera Utara

60

Tabel 5.4 Nilai Mean, Standar Deviasi Kuesioner Pain Self Efficacy Tertinggi
(n=43)
Nomor Item

Mean

Standar Deviasi

min-max

3. Saya dapat bersosialisasi dengan
sahabat sesering yang saya mau,

5,49

0,798

3-6

5,42

0,982

3-6

5,42

0,698

4-6

walaupun saya mengalami nyeri.
1. Saya dapat menikmati hidup,
walaupun saya mengalami nyeri
10. Perlahan-lahan saya mampu
melakukan kegiatan, walaupun
saya mengalami nyeri
Tabel 5.5 Nilai Mean, Standar Deviasi Kuesioner Pain Self Efficacy Terendah
(n=43)
Nomor Item

Mean

Standar Deviasi

min-max

2,93

1,121

1-5

4,81

1,052

2-6

5,00

0,976

2-6

7. Saya dapat mengatasi nyeri
yang saya alami tanpa
pengobatan
5. Saya dapat melakukan pekerjaan,
walaupun nyeri masih terasa
(termasuk dibayar/tidak dibayar)
4. Saya dapat mengatasi rasa nyeri
dalam situasi apapun

5.1.1.3 Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain
Intensitas nyeri pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien low back
pain memiliki tingkatan intensitas nyeri sedang dengan mean 5,30 (sd= 1,670).
Mean, SD, min-max dapat dilihat pada tabel 5.6

Universitas Sumatera Utara

61

Tabel 5.6 Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi
Medan (n=43)
Variabel

Mean

Intensitas Nyeri

5,30

Standar Deviasi
1,670

min-max
2-8

Berdasarkan kategori intensitas nyeri ditemukan hasil lebih dari setengah
responden (55,8%) memiliki intensitas nyeri sedang. Data distribusi frekuensi dan
persentase intensitas nyeri responden dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Intensitas Nyeri pada Pasien Low
Back Pain (n=43)
Tingkatan

Frekuensi

Persentase

Intensitas nyeri ringan (1-3)
Intensitas nyeri sedang (4-6)
Intensitas nyeri tinggi (7-10)

7
24
12

16,3
55,8
27,9

5.1.1.4 Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain
Perilaku nyeri pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien low back pain
memiliki tingkatan perilaku nyeri sedang dengan mean 3,70 (sd= 1,372). Mean,
SD, min-max dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.8 Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi
Medan (n=43)
Variabel
Perilaku Nyeri

Mean
3,70

Standar Deviasi
1,372

min-max
1-6

Berdasarkan kategori perilaku nyeri ditemukan hasil lebih dari setengah
responden (51,2%) memiliki perilaku nyeri sedang diikuti perilaku nyeri rendah
(48,8%). Data distribusi frekuensi dan persentase perilaku nyeri responden dapat
dilihat pada tabel 5.9

Universitas Sumatera Utara

62

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi dan Persentase Perilaku Nyeri pada Pasien Low
Back Pain (n=43)
Tingkatan

Frekuensi

Persentase

21
22

48,8
51,2

Perilaku nyeri rendah (0-3)
Perilaku nyeri sedang (4-7)

Ada lima parameter perilaku nyeri meliputi: menjaga (guarding), menahan
nyeri (bracing), meraba bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing) dan
mendesah (sighing). Menahan nyeri (bracing) merupakan perilaku yang sering
muncul (Mean= 1,53, SD = 0, 550), sementara mendesah (sighing) merupakan
perilaku yang jarang muncul (Mean= 0,07, SD = 0,258). Adapun nilai mean dan
standard deviasi masing-masing parameter dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut:
Tabel 5.10 Nilai Mean, Standar Deviasi pada Parameter Perilaku Nyeri (n=43)
Nomor Item

Mean

Standar Deviasi

min-max

1. Mendesah (sighing)

0,07

0,258

0-1

2. Meringis (grimacing)

0,40

0,541

0-2

3. Menjaga (guarding)

0,79

0,412

0-2

0,93

0,552

0-2

1,53

0,550

0-2

4. Meraba bagian yang nyeri
(rubbing)
5. Menahan nyeri (bracing)

5.1.2

Analisis Bivariat

5.1.2.1 Hubungan Pain Self Efficacy dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Low
Back Pain
Sebelum menentukan uji kolerasi untuk mengidentifikasi hubungan antara
pain self efficacy dengan intensitas nyeri, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
data dengan menggunakan uji Kolmogrov Smirnov pada kedua variabel. Dari

Universitas Sumatera Utara

63

hasil uji, didapat bahwa pada kedua variabel pain self efficacy dan intensitas nyeri
terdistribusi normal dengan nilai p= 0.192 pada pain self efficacy dan intensitas
nyeri dengan nilai p= 0.491. Dengan hasil ini, maka uji yang dilakukan untuk
menganalisa data hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri pada pasien
low back pain adalah korelasi pearson. Pada analisa data didapat nilai koefisien
korelasi pearson atau r= -0.435 dengan p=0.004. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan dengan kekuatan korelasi sedang antara pain self efficacy dengan
intensitas nyeri pada pasien low back pain. Analisa ini menunjukkan adanya
hubungan yang terbalik antara kedua variabel, dimana ketika seseorang memiliki
pain self efficacy yang tinggi maka intensitas nyeri yang muncul ringan dan
sebaliknya jika pain self efficacy rendah maka intensitas nyeri akan tinggi.
Tabel 5.11 Hubungan Pain Self Efficacy dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Low
Back Pain
Variabel

Korelasi
Pain self efficacy

Pain self efficacy
Intensitas nyeri

-0.435 (p=0.004)

Intensitas nyeri
-0.435 (p=0.004)
-

5.1.2.2 Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back
Pain
Sebelum menentukan uji kolerasi untuk mengidentifikasi hubungan antara
pain self efficacy dengan perilaku nyeri, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
data dengan menggunakan uji Kolmogrov Smirnov pada kedua variabel. Dari

Universitas Sumatera Utara

64

hasil uji, didapat bahwa pada kedua variabel pain self efficacy dan perilaku nyeri
terdistribusi normal dengan nilai p= 0.192 pada pain self efficacy dan perilaku
nyeri dengan nilai p= 0.062. Dengan hasil ini, maka uji yang dilakukan untuk
menganalisa data hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien
low back pain adalah korelasi pearson. Pada analisa data didapat nilai koefisien
korelasi pearson atau r= -0.482 dengan p=0.001. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan dengan kekuatan korelasi sedang antara pain self efficacy dengan
perilaku nyeri yang pada pasien low back pain. Analisa ini menunjukkan adanya
hubungan yang terbalik antara kedua variabel, dimana ketika seseorang memiliki
pain self efficacy yang tinggi maka perilaku nyeri yang muncul ringan dan
sebaliknya jika pain self efficacy rendah maka perilaku nyeri akan tinggi.
Tabel 5.12 Hubungan Pain Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Low
Back Pain
Variabel

Korelasi
Pain self efficacy

Pain self efficacy
Perilaku nyeri

-0.482 (p=0.001)

Perilaku nyeri
-0.482 (p=0.001)
-

5.1.2.3 Hubungan Intensitas Nyeri dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back
Pain
Pada analisa data kedua variabel telah diuji normalitas data dengan
menggunakan uji Kolmogrov Smirnov dan kedua variabel terdistribusi normal,
berdasarkan hasil ini maka uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan

Universitas Sumatera Utara

65

intensitas nyeri dengan perilaku nyeri pada pasien low back pain adalah korelasi
pearson. Hasil analisa data didapat nilai koefisien korelasi pearson atau r=0.561
dengan p= 0.000. Hal ini menunjukkan

adanya hubungan dengan kekuatan

korelasi sedang antara intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien low back
pain. Analisa ini menunjukkan adanya hubungan yang searah antara kedua
variabel, dimana ketika seseorang memiliki intensitas nyeri yang tinggi maka
perilaku nyeri yang muncul tinggi dan sebaliknya jika intensitas nyeri rendah
maka perilaku nyeri akan rendah
Tabel 5.13 Hubungan Intensitas Nyeri dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Low
Back Pain
Variabel

Korelasi
Intensitas nyeri

Intensitas nyeri
Perilaku nyeri

5.2

0.561

Perilaku nyeri
0.561 (p=0.000)

=0.000)

-

Pembahasan
Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai karakteristik demografi,

pain self efficacy, intensitas nyeri, perilaku nyeri, hubungan pain self efficacy dan
intensitas nyeri pada pasien low back pain, hubungan pain self efficacy dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain dan hubungan intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Universitas Sumatera Utara

66

5.2.1 Pain Self Efficacy pada Pasien Low Back Pain
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, mayoritas responden (83,7%)
memiliki pain self efficacy yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa responden
memiliki rasa kepercayaan yang kuat untuk dapat menunjukkan perilaku yang
diharapkan selama responden mengalami nyeri. Hal ini sejalan dengan penelitian
Pasaribu (2016) yang menunjukkan bahwa, dua pertiga responden memiliki pain
self efficacy yang tinggi (78,4%). Pada hasil penelitian ini lebih dari setengah
responden berusia >60 tahun. Hal ini didukung oleh teori Chong (1999, dalam
Pasaribu, 2016) menjelaskan bahwa pada pasien kronis yang lebih tua memiliki
metode yang lebih adaptif dibandingkan pasangan usia yang lebih muda. Chong
(1999) juga menjelaskan bahwa, pasien nyeri kronis yang lebih tua tidak
mengalami nyeri yang berat dan memiliki self efficacy yang lebih tinggi sehingga
lebih mampu untuk mengontrol nyeri yang mereka alami.
Semua responden sudah terdiagnosa LBP >3 bulan. Hal ini menunjukan
bahwa semua responden menderita LBP kronis.

Pain self efficacy membuat

pasien LBP kronis dapat mengontrol nyeri dan belajar untuk hidup dalam pikiran
positif (McCracken & Eccleston, 2003 dalam McGuigan, 2008). Kerangka
berpikir positif menyebabkan pasien termotivasi untuk manajemen diri yang
berkaitan dengan nyeri yang dialami (Kerns et al., 1997 dalam McGuigan, 2008).
Mayoritas Responden sudah menikah (97,7%). Hal ini menunjukkan
bahwa dukungan pasangan sangat berpengaruh terhadap kondisi yang mereka
alami. dukungan sosial dan keluarga secara langsung dapat menurunkan tingkat

Universitas Sumatera Utara

67

stress yang diakibatkan oleh suatu penyakit, dan secara tidak langsung dapat
meningkatkan derajat kesehatan individu atau keluarga. Dengan adanya dukungan
pasangan dapat melindungi pasien dari efek negatif stress dan mampu
memberikan dampak positif pasien (Friedman, 1998 dalam Aritonang, 2010).
Pasangan merupakan bagian dari keluarga. Keluarga adalah suatu unit sosial yang
terdiri atas dua orang atau lebih yang saling terikat secara emosional satu sama
lain. Fungsi keluarga untuk saling tergantung kepada anggota keluarga (Lemone,
2015). Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana perlakuan mereka
terhadap klien mempengaruhi respon nyeri klien. Individu yang mengalami nyeri
seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk
memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan. Walaupun klien tetap
merasakan nyeri, tetapi akan mengurangi rasa kesepian dan ketakutan (Potter dan
Perry, 2009).
Hasil ini penelitian ini menunjukkan ada beberapa hal yang perlu
dipertahankan agar pain self efficacy pasien semakin tinggi berdasarkan distribusi
frekuensi kuesioner pain self efficacy yaitu perawat harus tetap dapat meyakinkan
pasien bahwa saya dapat bersosialisasi dengan sahabat sesering yang saya mau,
walaupun saya mengalami nyeri (pertanyaan nomor 3, mean=5,49, SD= 0,798),
saya dapat menikmati hidup, walaupun saya mengalami nyeri (pertanyaan nomor
1, mean= 5,42, SD= 0,982) dan perlahan-lahan saya mampu melakukan kegiatan,
walaupun saya mengalami nyeri (pertanyaan nomor 10, mean= 5,42, SD= 0,698).
Perawat di RSUD Dr. Pringadi Medan perlu mempertahankan hal tersebut ketiga
hal tersebut sebagai guna untuk mempertahankan pain self efficacy pasien tetap

Universitas Sumatera Utara

68

tinggi dan dengan begitu intensitas nyeri dan perilaku nyeri yang dialami pasien
akan berkurang dan berada diposisi rendah.
Perawat perlu meningkatkan pain self efficacy khususnya 3 hal berikut,
perawat perlu meningkatkan pain self efficacy pada pasien saat mengalami nyeri
sehingga pain self efficacy pasien akan tinggi,(pertanyaan nomor 7, mean= 2,93,
SD= 1,121) saya dapat mengatasi nyeri yang saya alami tanpa pengobatan,
(pertanyaan nomor 5, mean= 4,81, SD= 1,052) saya dapat melakukan pekerjaan,
walaupun nyeri masih terasa (termasuk dibayar/tidak dibayar) dan (pertanyaan
nomor 4, mean= 5,00, SD= 0,976) saya dapat mengatasi nyeri dalam situasi
apapun. Dengan meningkatkan pain self efficacy akan ketiga hal tersebut maka
pain self efficacy pasien akan tinggi dan membantu pasien mengatasi nyeri yang
dirasakan.
5.2.2 Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back Pain
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden
(55,8%) memiliki intensitas nyeri sedang. Berdasarkan jenis kelamin, lebih dari
setengah responden (65,1%) berjenis kelamin perempuan. Pria lebih jarang
melaporkan nyeri dibanding wanita. Hal ini bukan berarti pria jarang merasakan
nyeri, hanya saja mereka jarang memperlihatkan hal itu (Black & Hawks, 2009).
Hal ini sesuai dengan teori Lemone (2015) bahwa perempuan mengalami ambang
nyeri yang lebih rendah dan mengalami intensitas

nyeri yang lebih tinggi

dibandingkan pria. Positron emission tomography (PET) menunjukkan aktivasi
yang lebih besar dari bagian otak berkaitan dengan emosi pada wanita yang

Universitas Sumatera Utara

69

mengalami stimulus nyeri dibandingkan pria (Toomey, 2008 dalam Lemone,
2015). Respon fisiologis ini umumnya terlihat berubah, termasuk hormone seks
dan aktivitas reseptor opioid pada otak. Kadar estrogen yang berfluktuasi
berkaitan dengan siklus menstruasi yang memengaruhi intensitas nyeri yang
dirasakan. Sirkuit yang memfasilitasi respons nyeri berbeda antara pria dan
wanita, terutama system modulatori nyeri opioid. Karena perbedaan ini, wanita
dan pria dapat merespons secara berbeda terhadap analgesic opioid seperti morfin
(Wilson, 2006 dalam Lemone, 2015).
Mayoritas responden adalah suku Batak (72,1%) dan berdasarkan hasil
penelitian ditemukan hasil bahwa lebih dari setengah responden (55,8%) memiliki
intensitas nyeri sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh intensitas
nyeri dengan suku. Jihan (2009 dalam Aritonang 2010) menyatakan bahwa suku
batak merupakan suku yang apresiatif dalam mengungkapkan nyeri yang
dirasakannya. Budaya batak lebih mengeksplorasi respons nyeri dalam bentuk
perilaku nyeri yang memiliki kategori tinggi (Harahap, 2007). Selain itu nilai
diatas juga dipengaruhi oleh penelitian di Sumatera Utara, Medan yang mayoritas
penduduknya bersuku batak. Kurang dari setengah responden (44,2%) tingkat
pendidikannya adalah SMA. Gill (1990, dalam Lemone, 2015) menyatakan bahwa
tingkat pengetahuan berpengaruh dalam menangani nyeri yang dirasakan pasien.
Pengetahuan yang baik mendorong tercapainya manajemen nyeri yang optimal.
5.2.3

Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah responden (51,2%)

memiliki perilaku nyeri sedang. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas

Universitas Sumatera Utara

70

responden telah menikah (97,7%). Dukungan yang diberikan pasangan hidup
dapat mempengaruhi perilaku nyeri pasien. Hal ini ditegaskan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Block dan kolega (1982, dalam aritonang, 2010) bahwa
dukungan pasangan hidup menurunkan perilaku nyeri pasien tersebut.
Mayoritas responden (72,1%) adalah suku batak dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (51,2%) memiliki perilaku
nyeri sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh perilaku nyeri
dengan suku. Selain itu nilai diatas juga dipengaruhi oleh penelitian di Sumatera
Utara, Medan yang mayoritas penduduknya bersuku batak.

(Jihan, 2009 dalam

Aritonang, 2010) menyatakan bahwa suku batak merupakan suku yang apresiatif
dalam mengungkapkan nyeri yang dirasakannya. Hal ini didukung oleh
pernyataan Gill (1990 dalam Lemone, 2015) bahwa orang belajar dari budayanya,
bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri (misal, suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri). Hal ini
juga sejalan dengan yang disampaikan oleh (Lemone & Burk.e, 2008 dalam
Pasaribu, 2016) budaya mempengaruhi makna nyeri, baik itu reaksi verbal dan
nonverbal terhadap nyeri dan juga nilai-nilai yang terdapat dalam suatu budaya itu
sendiri, budaya juga mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang
mentoleransi nyeri, serta cara mengekspresikan nyeri tersebut.

Universitas Sumatera Utara

71

5.2.4 Hubungan Pain Self Efficacy dan Intensitas Nyeri pada Pasien Low Back
Pain
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan dengan kekuatan
korelasi sedang antara pain self efficacy dengan intensitas nyeri dengan arah
korelasi negatif dengan r= -0.435 dan p= 0.004, artinya ketika pasien dengan pain
self efficacy yang tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan
sebaliknya pasien dengan pain self efficacy yang rendah akan menunjukkan
intensitas nyeri yang tinggi. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Cervone & Pervin (2012), Individu dengan self effiacy tinggi tetap tenang dan
tidak cemas ketika menghadapi situasi sulit dan mengelola pikiran mereka dalam
pola analitis. Individu dengan self efficacy tinggi dapat mengelola dan mengatasi
rasa nyeri yang dialami sehingga mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan.
5.2.5 Hubungan Pain Self Efficacy dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back
Pain
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan dengan kekuatan
korelasi sedang antara pain self efficacy dengan perilaku nyeri dengan arah
korelasi negatif dengan r= -0.482 dan p= 0.001, artinya ketika pasien dengan pain
self efficacy yang tinggi akan menunjukkan perilaku nyeri yang rendah dan
sebaliknya pasien dengan pain self efficacy yang rendah akan menunjukkan
perilaku nyeri yang tinggi. Fordyce (1976 dalam Harahap, 2006) menyatakan
bahwa pasien yang mengalami nyeri pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku
yang dapat di observasi. Sehingga seseorang yang menderita nyeri kronis harus
memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri

Universitas Sumatera Utara

72

yang menetap (Chong, 1999). Self efficacy dapat membantu pasien mengenali
bahwa respon emosional terhadap nyeri sangat dipengaruhi oleh pikiran dan
bahwa mereka dapat melatih mengendalikan gangguan yang diproduksi oleh
adanya nyeri kronis yang dialami (Gallagher, 2005 dalam Aritonang, 2010). Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2016) yang
menemukan bahwa adanya hubungan dengan kekuatan korelasi sedang antara
pain self efficacy dengan perilaku nyeri dengan arah korelasi negatif dengan r= 0.512 dan p = 0.01. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Aritonang (2010) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara self efficacy
dengan perilaku nyeri dengan arah korelasi negatif (r= -0.70 dan p=0.01).
5.2.6

Hubungan Intensitas Nyeri dengan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back
Pain
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan hubungan dengan kekuatan

korelasi sedang antara intensitas nyeri dengan perilaku nyeri dengan arah korelasi
positif dengan r= 0.561 dan p= 0.000, artinya ketika pasien dengan intensitas
nyeri yang tinggi akan menunjukkan perilaku nyeri yang tinggi dan sebaliknya
pasien dengan pain self efficacy yang rendah akan menunjukkan perilaku nyeri
yang rendah. Timbulnya nyeri ditandai oleh perilaku nyeri yang terlihat atau
terdengar
Fordyced

(Pillowski,

1994

dalam

Harahap,

2007)

(1976) menyatakan bahwa perilaku nyeri adalah cara pasien

berkomunikasi dengan orang lain bahwa mereka mengalami nyeri. Pada saat nyeri
terjadi, pasien merespon nyeri dengan berbagai cara seperti menjaga,menahan
nyeri, meraba, meringis, dan mendesah. Di antara perilaku nyeri ini, intensitas

Universitas Sumatera Utara

73

nyeri cukup berkorelasi dengan meringis (r=.52, p