Hubungan Pain Self Efficacy, Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Low Back Pain (LBP) atau nyeri punggung bawah bukan merupakan
diagnosis untuk suatu penyakit namun merupakan istilah untuk nyeri yang
dirasakan di area anatomi yang terkena dengan berbagai variasi lama terjadinya
nyeri (Andini, 2015). LBP adalah kondisi ketidaknyamanan yang disertai adanya
keterbatasan aktivitas dan nyeri apabila melakukan pergerakan dan mobilisasi
(Noor, 2013). Menurut Walker (2012 dalam Phonna, 2015) LBP merupakan salah
satu keluhan muskuloskeletal yang paling umum di jumpai, dimana banyak orang
pernah
mengalaminya
di
sepanjang
kehidupan
mereka.
World
Health
Organization (WHO) menyatakan kira-kira 150 jenis gangguan muskuloskeletal
di derita oleh ratusan juta manusia yang menyebabkan nyeri dan inflamasi yang
sangat lama serta disabilitas atau keterbatasan fungsional.
Global Burden of Disease Study 2013 menunjukkan bahwa LBP adalah salah satu
penyebab spesifik terkemuka
hidup dengan kecacatan (Du et al., 2016).
Dibandingkan dengan 291 kondisi kesehatan lainnya, para peneliti menemukan
bahwa LBP menyebabkan kecacatan lebih global dari masalah kesehatan lainnya .
Hampir satu dari 10 orang di seluruh dunia menderita LBP. Sekitar 80 % dari
populasi pernah mengalami LBP selama hidupnya. Prevalensi LBP di Eropa
Barat, rata-rata adalah 15 %, dan di wilayah Afrika Utara /Timur Tengah 14,8 %.
Tingkat terendah ditemukan di Karibia, di mana tingkat prevalensi 6,5 %, dan di
Central Amerika Latin adalah 6,6 % (Hoy et al., 2014). Sebuah tinjauan sistematis
1
Universitas Sumatera Utara
2
global telah dilaporkan bahwa prevalensi LBP itu berhubungan dengan usia antara
30 dan 60, dan wanita umumnya memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Secara khusus, individu berusia antara 20 dan 59 memiliki
prevalensi LBP dari 19,6%, dan prevalensi yang lebih tua adalah 25,4%. Keluhan
utama pasien dengan LBP adalah nyeri, cacat, dan mengurangi produktivitas serta
biaya medis yang tinggi. Institute of Medicine memperkirakan bahwa kerugian
tahunan langsung karena LBP adalah 34 miliar dolar di Amerika Serikat (Du et
al., 2016).
Prevalensi penyakit muskuloskeletal di Indonesia berdasarkan pernah
didiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis
atau gejala yaitu 24,7 persen sedangkan di provinsi Lampung angka prevalensi
penyakit musculoskeletal berdasarkan diagnosis dan gejala yaitu 18,9 persen
(Riskesdas, 2013). Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan di dapat jumlah data penderita
LBPpada periode Januari-Desember 2016 sebanyak 1295 penderita.
Sebagian besar LBP terjadi akibat gangguan muskuloskeletal dan diperberat
oleh aktivitas. Pasien biasanya mengeluh nyeri yang tersamar pada tulang
belakang bagian bawah dan berlangsung selama beberapa tahun (Noor, 2013).
Setiap pasien akan memiliki perilaku yang berbeda terhadap nyeri karena
intensitas nyeri dan toleransi setiap orang terhadap rasa nyeri sangat beragam
(Robinson & Saputra, 2016). Nyeri bersifat subyektif dan tidak ada dua individu
Universitas Sumatera Utara
3
yang mengalami kesamaan rasa nyeri dan respon yang sama pada individu (Mc
Caffery, 1999 dalam Black & Hawks, 2009).
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang. Pengukuran intensitas nyeri masih bersifat subyektif
dan individual. Pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah dengan
menggunakan respon fisiologi tubuh dan perilaku nyeri (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015). Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri dan
perilaku tertentu yang terkait dengan nyeri akan terjadi (Fordyce, 1976 dalam
Harahap, 2006).
Fordyce (1976 dalam Harahap, 2006) menyatakan bahwa pasien yang mengalami
nyeri pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat di observasi.
Perilaku nyeri yang dapat dinilai ketika seseorang mengalami nyeri meliputi 5
parameter, (1) guarding yaitu menjaga area yang sakit, (2) braching yaitu
pergerakan anggota tubuh yang kaku, (3) Rubbing yaitu meraba atau menyentuh
area tubuh yang sakit, (4) grimacing yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5)
sighing yaitu menghela napas (Harahap, 2007). Perilaku ini adalah cara pasien
berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri. Burns
et al (2011) menemukan bahwa pasien dengan LBP kronis dengan kondisi pikiran
dan perasaan tertekan melakukan aktivitas sehari-hari (misalnya duduk, berdiri
dan berjalan) menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap intensitas nyeri
dan perilaku nyeri pasien (Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001 dalam Burns
et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
4
Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional
yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu
diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan
kognitif (Chong, 1999 dalam Aritonang, 2010). Kognitif ini dimaksudkan untuk
membantu pasien mengenali respon emosional terhadap nyeri yang dipengaruhi
oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan gangguan yang berasal dari nyeri
kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005 dalam Aritonang, 2010). Salah satu
kemampuan kognitif adalah self efficacy.
Self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat
menunjukkan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik. Ekspektasi self
efficacy sangat penting karena pasien seharusnya percaya bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan respon yang diharapkan agar dapat membawa
perubahan. Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya
untuk mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri (Koenig et al., 2014).
Individu dengan self efficacy tinggi tetap tenang dan tidak cemas ketika
menghadapi situasi sulit dan mengelola pikiran mereka dalam pola analitis. Self
efficacy juga mempengaruhi bagaimana individu mengatasi kekecewaan dan
tekanan dalam mencapai tujuan hidupnya (Cervone & Pervin, 2012). Individu
dengan self efficacy tinggi dapat mengelola dan mengatasi rasa nyeri yang dialami
sehingga mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki
pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan
Universitas Sumatera Utara
5
sebaliknya pasien dengan pain self efficacy rendah akan menunjukkan intensitas
nyeri yang tinggi.
Self
efficacy
lebih
mengarahkan
pada
penilaian
individu
akan
kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya
(Bandura, 1994 dalam Pasaribu, 2016). Berdasarkan penelitian Pasaribu (2016)
pasien yang memiliki pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan perilaku
nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien dengan pain self efficacy rendah akan
menunjukkan perilaku nyeri yang tinggi.
Kepercayaan terhadap self efficacy memengaruhi bagaimana individu
mengatasi tekanan dalam hidupnya. Secara umum fungsi manusia difasilitasi oleh
suatu kendali pribadi. Self efficacy merupakan faktor kognitif bagaimana orang
bertingkah laku dalam situasi tertentu seperti nyeri tergantung kepada resiprokal
antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang
berhubungan dengan keyakinan dia mampu melakukan sesuatu yang memuaskan
atau tidak. Sehingga peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan
antara pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri. Secara khusus peneliti
ingin meneliti hubungan pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan antara pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana pain self efficacy pada pasien low back pain ?
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2 Bagaimana intensitas nyeri pada pasien low back pain ?
1.3.3 Bagaimana perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.3.4 Bagaimana hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri pada pasien
low back pain ?
1.3.5 Bagaimana hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri pada
pasien low back pain ?
1.3.6 Bagaimana hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri pada pasien low
back pain ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum
Untuk mengidentifikasi hubungan antara pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.4.2
Tujuan khusus
1.4.2.1 Mengidentifikasi pain self efficacy pasien low back pain di RSUD
Dr.Pirngadi Medan.
1.4.2.2 Mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien low back pain di RSUD
Dr.Pirngadi Medan.
1.4.2.3 Mengidentifikasi perilaku nyeri pada pasien low back pain di RSUD Dr.
Pirngadi Medan.
1.4.2.4 Mengidentifikasi hubungan pain self efficacy dan intensitas nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
1.4.2.5 Mengidentifikasi hubungan pain self efficacy dan perilaku nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
7
1.4.2.6 Mengidentifikasi hubungan intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien
low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan tambahan
pengetahuan
bagi
pendidikan
keperawatan
dalam
pemberian
intervensi
keperawatan terkait dengan pain self efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri
pada pasien low back pain.
1.5.2
Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan
dan memudahkan
perawat dalam melakukan pengkajian dan manajemen nyeri dalam memberikan
intervensi keperawatan terkait dengan pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain.
1.5.3 Penelitian Keperawatan
Dalam bidang penelitian keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti
hubungan pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri pada jumlah
sampel yang lebih bervariasi dan lebih banyak.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Low Back Pain (LBP) atau nyeri punggung bawah bukan merupakan
diagnosis untuk suatu penyakit namun merupakan istilah untuk nyeri yang
dirasakan di area anatomi yang terkena dengan berbagai variasi lama terjadinya
nyeri (Andini, 2015). LBP adalah kondisi ketidaknyamanan yang disertai adanya
keterbatasan aktivitas dan nyeri apabila melakukan pergerakan dan mobilisasi
(Noor, 2013). Menurut Walker (2012 dalam Phonna, 2015) LBP merupakan salah
satu keluhan muskuloskeletal yang paling umum di jumpai, dimana banyak orang
pernah
mengalaminya
di
sepanjang
kehidupan
mereka.
World
Health
Organization (WHO) menyatakan kira-kira 150 jenis gangguan muskuloskeletal
di derita oleh ratusan juta manusia yang menyebabkan nyeri dan inflamasi yang
sangat lama serta disabilitas atau keterbatasan fungsional.
Global Burden of Disease Study 2013 menunjukkan bahwa LBP adalah salah satu
penyebab spesifik terkemuka
hidup dengan kecacatan (Du et al., 2016).
Dibandingkan dengan 291 kondisi kesehatan lainnya, para peneliti menemukan
bahwa LBP menyebabkan kecacatan lebih global dari masalah kesehatan lainnya .
Hampir satu dari 10 orang di seluruh dunia menderita LBP. Sekitar 80 % dari
populasi pernah mengalami LBP selama hidupnya. Prevalensi LBP di Eropa
Barat, rata-rata adalah 15 %, dan di wilayah Afrika Utara /Timur Tengah 14,8 %.
Tingkat terendah ditemukan di Karibia, di mana tingkat prevalensi 6,5 %, dan di
Central Amerika Latin adalah 6,6 % (Hoy et al., 2014). Sebuah tinjauan sistematis
1
Universitas Sumatera Utara
2
global telah dilaporkan bahwa prevalensi LBP itu berhubungan dengan usia antara
30 dan 60, dan wanita umumnya memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Secara khusus, individu berusia antara 20 dan 59 memiliki
prevalensi LBP dari 19,6%, dan prevalensi yang lebih tua adalah 25,4%. Keluhan
utama pasien dengan LBP adalah nyeri, cacat, dan mengurangi produktivitas serta
biaya medis yang tinggi. Institute of Medicine memperkirakan bahwa kerugian
tahunan langsung karena LBP adalah 34 miliar dolar di Amerika Serikat (Du et
al., 2016).
Prevalensi penyakit muskuloskeletal di Indonesia berdasarkan pernah
didiagnosis oleh tenaga kesehatan yaitu 11,9 persen dan berdasarkan diagnosis
atau gejala yaitu 24,7 persen sedangkan di provinsi Lampung angka prevalensi
penyakit musculoskeletal berdasarkan diagnosis dan gejala yaitu 18,9 persen
(Riskesdas, 2013). Berdasarkan survey awal yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan di dapat jumlah data penderita
LBPpada periode Januari-Desember 2016 sebanyak 1295 penderita.
Sebagian besar LBP terjadi akibat gangguan muskuloskeletal dan diperberat
oleh aktivitas. Pasien biasanya mengeluh nyeri yang tersamar pada tulang
belakang bagian bawah dan berlangsung selama beberapa tahun (Noor, 2013).
Setiap pasien akan memiliki perilaku yang berbeda terhadap nyeri karena
intensitas nyeri dan toleransi setiap orang terhadap rasa nyeri sangat beragam
(Robinson & Saputra, 2016). Nyeri bersifat subyektif dan tidak ada dua individu
Universitas Sumatera Utara
3
yang mengalami kesamaan rasa nyeri dan respon yang sama pada individu (Mc
Caffery, 1999 dalam Black & Hawks, 2009).
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh seseorang. Pengukuran intensitas nyeri masih bersifat subyektif
dan individual. Pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah dengan
menggunakan respon fisiologi tubuh dan perilaku nyeri (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015). Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri dan
perilaku tertentu yang terkait dengan nyeri akan terjadi (Fordyce, 1976 dalam
Harahap, 2006).
Fordyce (1976 dalam Harahap, 2006) menyatakan bahwa pasien yang mengalami
nyeri pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat di observasi.
Perilaku nyeri yang dapat dinilai ketika seseorang mengalami nyeri meliputi 5
parameter, (1) guarding yaitu menjaga area yang sakit, (2) braching yaitu
pergerakan anggota tubuh yang kaku, (3) Rubbing yaitu meraba atau menyentuh
area tubuh yang sakit, (4) grimacing yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5)
sighing yaitu menghela napas (Harahap, 2007). Perilaku ini adalah cara pasien
berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri. Burns
et al (2011) menemukan bahwa pasien dengan LBP kronis dengan kondisi pikiran
dan perasaan tertekan melakukan aktivitas sehari-hari (misalnya duduk, berdiri
dan berjalan) menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap intensitas nyeri
dan perilaku nyeri pasien (Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001 dalam Burns
et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
4
Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional
yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu
diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan
kognitif (Chong, 1999 dalam Aritonang, 2010). Kognitif ini dimaksudkan untuk
membantu pasien mengenali respon emosional terhadap nyeri yang dipengaruhi
oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan gangguan yang berasal dari nyeri
kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005 dalam Aritonang, 2010). Salah satu
kemampuan kognitif adalah self efficacy.
Self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat
menunjukkan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik. Ekspektasi self
efficacy sangat penting karena pasien seharusnya percaya bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan respon yang diharapkan agar dapat membawa
perubahan. Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya
untuk mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri (Koenig et al., 2014).
Individu dengan self efficacy tinggi tetap tenang dan tidak cemas ketika
menghadapi situasi sulit dan mengelola pikiran mereka dalam pola analitis. Self
efficacy juga mempengaruhi bagaimana individu mengatasi kekecewaan dan
tekanan dalam mencapai tujuan hidupnya (Cervone & Pervin, 2012). Individu
dengan self efficacy tinggi dapat mengelola dan mengatasi rasa nyeri yang dialami
sehingga mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki
pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan
Universitas Sumatera Utara
5
sebaliknya pasien dengan pain self efficacy rendah akan menunjukkan intensitas
nyeri yang tinggi.
Self
efficacy
lebih
mengarahkan
pada
penilaian
individu
akan
kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya
(Bandura, 1994 dalam Pasaribu, 2016). Berdasarkan penelitian Pasaribu (2016)
pasien yang memiliki pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan perilaku
nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien dengan pain self efficacy rendah akan
menunjukkan perilaku nyeri yang tinggi.
Kepercayaan terhadap self efficacy memengaruhi bagaimana individu
mengatasi tekanan dalam hidupnya. Secara umum fungsi manusia difasilitasi oleh
suatu kendali pribadi. Self efficacy merupakan faktor kognitif bagaimana orang
bertingkah laku dalam situasi tertentu seperti nyeri tergantung kepada resiprokal
antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang
berhubungan dengan keyakinan dia mampu melakukan sesuatu yang memuaskan
atau tidak. Sehingga peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan
antara pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri. Secara khusus peneliti
ingin meneliti hubungan pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan antara pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana pain self efficacy pada pasien low back pain ?
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2 Bagaimana intensitas nyeri pada pasien low back pain ?
1.3.3 Bagaimana perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.3.4 Bagaimana hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri pada pasien
low back pain ?
1.3.5 Bagaimana hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri pada
pasien low back pain ?
1.3.6 Bagaimana hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri pada pasien low
back pain ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum
Untuk mengidentifikasi hubungan antara pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain ?
1.4.2
Tujuan khusus
1.4.2.1 Mengidentifikasi pain self efficacy pasien low back pain di RSUD
Dr.Pirngadi Medan.
1.4.2.2 Mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien low back pain di RSUD
Dr.Pirngadi Medan.
1.4.2.3 Mengidentifikasi perilaku nyeri pada pasien low back pain di RSUD Dr.
Pirngadi Medan.
1.4.2.4 Mengidentifikasi hubungan pain self efficacy dan intensitas nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
1.4.2.5 Mengidentifikasi hubungan pain self efficacy dan perilaku nyeri pada
pasien low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Universitas Sumatera Utara
7
1.4.2.6 Mengidentifikasi hubungan intensitas nyeri dan perilaku nyeri pada pasien
low back pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan tambahan
pengetahuan
bagi
pendidikan
keperawatan
dalam
pemberian
intervensi
keperawatan terkait dengan pain self efficacy, intensitas nyeri dan perilaku nyeri
pada pasien low back pain.
1.5.2
Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini akan menjadi bahan masukan
dan memudahkan
perawat dalam melakukan pengkajian dan manajemen nyeri dalam memberikan
intervensi keperawatan terkait dengan pain self efficacy, intensitas nyeri dan
perilaku nyeri pada pasien low back pain.
1.5.3 Penelitian Keperawatan
Dalam bidang penelitian keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti
hubungan pain self efficacy, perilaku nyeri dan intensitas nyeri pada jumlah
sampel yang lebih bervariasi dan lebih banyak.
Universitas Sumatera Utara