Hubungan Pain Self Efficacy, Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Nyeri
2.1.1 Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit didefenisikan
(Black & Hawks,2009). Menurut Potter & Perry (2009) nyeri adalah pengalaman
personal dan subyektifdan tidak ada dua individu yang mengalami kesamaan rasa
nyeri dan respon yang sama pada individu. Mc Caffery (1999 dalam Black &
Hawks, 2009) nyeri sebagai hal yang subjektif dan hanya individu yang
mengalami nyeri tersebut yang akurat dalam mendefenisikan nyeri.Nyeri
didefenisikan

sebagai

pengalaman

sensori

dan

emosional


yang

tidak

menyenangkan bersifat subyektif berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual
dan potensial yang menggambarkan kondisi kerusakan (International Association
for the Study of Pain (IASP), dalam Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
2.1.2

Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi nyeri dan kondisi

patologis.
2.1.2.1 Berdasarkan durasi nyeri
2.1.2.1.1

Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan berlangsung


dalam waktu singkat kurang dari 6 bulan (Black & Hawks, 2009). Nyeri akut
bersifat melindungi, penyebabnya dapat diidentifikasi,berdurasi pendek dan

8
Universitas Sumatera Utara

9

memiliki sedikit kerusakan jaringan serta respon emosional (Potter & Perry,
2009). Nyeri akut biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi
(Prasetyo, 2010). Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebab dan
umumnya dapat diperkirakan (Price, 2005). Nyeri akut dapat diredakan dan
perlahan-lahan akan menghilang ketika kelainan yang mendasarinya disembuhkan
(Robinson & Saputra, 2016).
2.1.2.1.2

Nyeri kronis
Nyeri Kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan

nyeri akut (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Nyeri kronis merupakan nyeri yang

timbul secara perlahan-lahan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama
yaitu lebih dari 6 bulan (Hidayat, 2009). Nyeri dapat berupa hal yang bersifat
kanker atau bukan. Contoh dari nyeri yang bersifat

bukan kanker termasuk

artritis, nyeri punggung (low back pain), nyeri miofasial, sakit kepala dan
neuropatik perifer. Nyeri kronis yang bersifat bukan kanker biasanya tidak
mengancam hidup. Terkadang area yang terkena cedera telah sembuh bertahuntahun lalu, namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan menunjukkan
tidak adanya respon terhadap pengobatan (Potter & Perry, 2009). Nyeri kronis
berlangsung lebih lama dari yang diharapkan,tidak selalu memiliki penyebab yang
dapat diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat bagi
seseorang (Potter & Perry, 2009). Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronis
memiliki neurofisiologis dan tujuan yang lebih kompleks dan sulit dipahami
(Lemone, 2015). Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan
hiperaktivitas

autonom

tetapi


memperlihatkan

gejala

irritabilitas,

Universitas Sumatera Utara

10

kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri
kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya,
menimbulkan distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial
(Price, 2005). Pasien dengan nyeri kronis mungkin menunjukkan suasana hati
depresif dan memperlihatkan perilaku individu dengan penyakit kronis. Seiring
berjalannya waktu dan berlanjutnya manifestasi, kondisi ini menjadi lebih
kompleks dan faktor lain yang memengaruhi manifestasi,perilaku,gejala klien
dengan nyeri kronis (Black & Hawks, 2009).
Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 3 kategori :

1. Nyeri kronis intermitten
Nyeri kronis intermitten (hilang- timbul) yaitu nyeri yang muncul pada
periode tertentu, di waktu yang lain, klien tidak merasakan nyeri. Contohnya sakit
kepala migrain dan nyeri abdomen intermitten yang dihubungkan dengan
gangguan sindrom iritasi bowel (Black & Hawks, 2009).
2. Nyeri maligna kronis
Nyeri maligna kronis disebabkan oleh berkembangnya penyakit yang
mengancam jiwa atau berhubungan dengan terapi. Nyeri kanker merupakan jenis
nyeri maligna kronis (Lemone, 2015).
3. Nyeri nonmaligna kronis
Nyeri nonmaligna kronis merupakan nyeri yang tidak mengancam jiwa
dan tidak terjadi melebihi waktu penyembuhan yang diharapkan. Nyeri punggung
bawah (low back pain),penyebab utama penderitaan dan merupakan penyita
waktu kerja masuk dalam kategori ini (Lemone, 2015).

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.2.2 Berdasarkan lokasi nyeri

2.1.2.2.1

Nyeri superficial
Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk yang pertama adalah

nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajam dan bentuk
kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai rasa terbakar. Nyeri
superficial dapat dirasakan pada seluruh permukaan kulit klien. Trauma
gesekan,suhu yang terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri
superficial ini (Prasetyo, 2010). Contohnya klien dengan luka sayatan dengan
mudah menunjukkan lokasi nyeri (Black & Hawks, 2009).
2.1.2.2.2

Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot,

tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih
sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan
lebih difus (menyebar) berbeda dengan nyeri superficial yang mudah untuk
dilokalisir (Price, 2005).

2.1.2.2.3

Nyeri visceral
Nyeri visceral mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ

tubuh. Nosiseptor visera terletak didalam bagian organ dan celah bagian dalam.
Terbatasnya jumlah nosiseptor di area ini menghasilkan nyeri yang biasanya lebih
menyakitkan dan berlangsung lebih lama dari nyeri somatik. Nyeri visera sangat
sulit untuk dilokalisasi dan beberapa cedera pada jaringan visera mengakibatkan
terjadi nyeri yang menjalar,dimana sensasi nyeri berada dia area yang sebenarnya
tidak berkaitan dengan lokasi cedera (Black & Hawks, 2009). Contoh dari nyeri

Universitas Sumatera Utara

12

visceral yaitu apendisitis akut, cholecytitis, penyakit kardiovaskuler, renal kolik
uretra dan lain-lain (Prasetyo, 2010).
2.1.3


Penanganan Nyeri
Untuk mengatasi nyeri beberapa penanganan nyeri yang dapat dilakukan

adalah dengan farmakologis maupun non farmakologis.
2.1.3.1 Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis merupakan penanganan nyeri dengan
menggunakan agen farmakologis. Analgesik merupakan metode penanganan nyeri
yang paling umum dan efektif. Analgesik adalah medikasi yang dikembangkan
untuk meredakan nyeri. World Health Organization (WHO) merekomendasikan
petunjuk untuk penanganan nyeri dalam bentuk tangga analgesik yang membantu
perawatan klien dengan nyeri (Black & Hawks, 2009). Penggunaan analgesik
ditentukan oleh tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan
maka disarankan penggunaan non-opiod (Prasetyo, 2010). Non-opiod mencakup
asetaminofen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (nonsteroid anti-inflammatory
drugs/NSAID) disarankan sebagai langkah utama. Jika nyeri berlanjut dilakukan
penggunaan opiod. Opiod (disebut juga narkotik) merupakan turunan tumbuhan
opium. Obat ini merupakan turunan tumbuhan opium. Obat ini pereda nyeri yang
paling kuat yang tersedia dan terapi pilihan untuk nyeri sedang hingga berat
(Lemone, 2015). Langkah kedua disarankan penggunaan opiod ringan (seperti
kodein) ditambah analgesik non-opiod. Apabila nyeri masih menetap atau

meningkat, langkah ketiga menyarankan penggunaan opiod kuat (seperti morfin)

Universitas Sumatera Utara

13

dengan atau tanpa non-opiod. Medikasi adjuvan (pembantu) dapat dtambahkan
dibagian langkah manapun pada tahap (Black & Hawks, 2009).
2.1.3.2 Non farmakologis
Penanganan non farmakologis digunakan untuk meredakan nyeri terutama
ketika

dikombinasikan

dengan

obat-obat

farmakologi.


Penanganan

non

farmakologis mencakup terapi modalitas fisik dan perilaku kognitif. Terapi
modalitas fisik memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas dan membantu
respon fisiologis. Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi dan
perilaku

klien terhadap nyeri,menurunkan ketakutan dan memberikan klien

kontrol diri yang lebih (Black & Hawks, 2009).
2.1.3.2.1

Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi pada kulit membantu untuk
mengurangi nyeri. Masase/pijatan, mandi dengan air hangat, kantong es dan
stimulasi elektrik pada saraf transkuteneus menstimulasi kulit untuk mengurangi
persepsi nyeri. Stimulasi kutaneus memberikan klien dan keluarga rasa kontrol

terhadap nyeri dan pengobatan dirumah. Penggunaan yang tepat dari stimulasi
kutaneus membantu mengurangi ketegangan otot yang meningkatkan nyeri
(Potter & Perry, 2009).
2.1.3.2.2

Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain
diluar nyeri,yang diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap
nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).Contoh
distraksi adalah mendengarkan musik dan menonton TV, melihat pemandangan.

Universitas Sumatera Utara

14

Misalnya, pasien yang menggunakan rekaman musik untuk distraksi dapat
dinyanyikan disertai lagu,ketukkan irama dengan jari atau kaki,nyalakan musik
(Lemone, 2015). Menonton acara-acara yang bersifat humor atau acara yang
disukai oleh klien akan menjadi teknik distraksi yang dapat mengalihkan
perhatian klien terhadap nyeri yang dialami (Prasetyo, 2010).
2.1.3.2.3

Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan membebaskan mental dan fisik dari

ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri
(Prasetyo, 2010), mengurangi efek stres terhadap nyeri, dan meningkatkan
persepsi pengendalian nyeri. Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan
untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi progresif. Teknik napas
dalam efektif dilakukan ketika klien berbaring atau duduk dengan nyaman,tetap
berada di lingkungan yang tenang. Klien memejamkan mata kemudian menarik
nafas dalam dengan pelan,menahan beberapa detik dan menghembuskan secara
perlahan (Lemone, 2015). Relaksasi progresif mengajarkan klien untuk secara
bertahap mengencangkan kemudian merelaksasi beberapa kelompok otot, dimulai
secara sistemik dari satu area tubuh ke area berikutnya (Black & Hawks, 2009).
Klien diajarkan merapatkan satu kelompok otot (seperti otot wajah), menahan
tegangan selama beberapa detik dan merelaksasikan kelompok otot secara
lengkap, mengulangi aktivitas tersebut ke seluruh tubuh (Lemone, 2015).
2.1.3.2.4 Terapi kognitif
Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang dialami memberikan
pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia

Universitas Sumatera Utara

15

rasakan. Pikiran yang negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian
seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang
dirasakan bertambah buruk (DiMetteo, 1991 dalam Pasaribu, 2016). Keyakinan
klien terhadap efektivitas intervensi yang didapat memengaruhi derajat turun atau
redanya nyeri yang dirasakan. Kepercayaan diri yang ditampilkan mengenai
potensi efektifitas dari intervensi yang diberikan akan memberikan efek yang
signifikan pada kemampuan klien untuk mendapatkan hasil positif dari proses
atau menurunkan nyeri (Black & Hawks, 2009). Pemberian intervensi terapi
kognitif ini adalah meningkatkan cara berfikir klien dengan mengarahkan klien
untuk memahami masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki
kemampuan untuk berperilaku normal Tailor (1995dalam Pasaribu, 2016).Tehnik
kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy (Brannon & Jeist,
2007 dalam Pasaribu, 2016).
2.1.3.3 Pembedahan
Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang sebelumnya tidak dapat
atau tidak berhasil untuk menangani nyeri (Robinson & Saputra, 2016). Intervensi
pembedahan adalah tindakan yang biasa dilakukan bagi pasien yang mengalami
nyeri saraf, misalnya ; sindrom nyeri regional kompleks, nyeri terkait cedera saraf
spinal, atau cedera medula spinalis. Klien membutuhkan pengetahuan yang utuh
terkait implikasi dilakukannya pembedahan terhadap peredaan nyeri. Misalnya
kehilangan fungsi motorik merupakan efek samping yang tidak diinginkan dari
tindakan pembedahan (Lemone, 2015).

Universitas Sumatera Utara

16

2.1.4 Intensitas Nyeri
2.1.4.1 Pengertian Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Setiap pasien akan memiliki
perilaku yang berbeda terhadap nyeri karena intensitas nyeri dan toleransi setiap
orang terhadap rasa nyeri sangat beragam (Robinson & Saputra, 2016).
Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah
dengan menggunakan respons fisiologik tubuh dan perilaku terhadap nyeri.
Penilaian terhadap klinis nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri
seseorang (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
2.1.4.2 Jenis Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri (tingkat keparahan) dapat dibagi menjadi:
2.1.4.2.1 Nyeri ringan
Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara objektif
mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan adalah
≤ 4.
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala numerik (Backonja et al, 2010
dalam Simamora, 2015).
2.1.4.2.2 Nyeri sedang
Nyeri yang timbul dengan intensitas nyeri sedang. Pada nyeri sedang
secara objektif pasien mendesis, menyeringai dapat menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Skala nyeri

Universitas Sumatera Utara

17

berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja at al, 2010 dalam
Simamora, 2015).
2.1.4.2.3 Nyeri berat
Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada
nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tetapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang. Skala
nyeri di atas 7 dengan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010 dalam Simamora,
2015).
2.1.4.3 Intensitas nyeri pasien low back pain
Low back pain adalah kondisi tidak mengenakkan atau nyeri kronis
minimal 3 bulan disertai adanya keterbatasan aktivitas apabila melakukan
pergerakan dan mobilisasi diakibatkan nyeri (Noor, 2013). Pasien yang
mengalami LBPlebih dari 3 bulan, 80 % akan terus mengalami nyeri. Pasien
dengan LBP kronis memiliki dampak terhadap kualitas hidup dan status kesehatan
pasien (Institute of Medicine, 2011 dalam Starkweather, 2014). Seseorang yang
mengalami LBP kronis tidak hanya menyebabkan masalah fisik namun memiliki
efek merugikan pada keadaan psikologis pasien (Hurri, 1989 dalam Kaczmar,
1993). Pasien kehilangan keyakinan dalam mengontrol rasa nyeri dan
mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari (Lubkin, 1986 dalam Kaczmar,
1993). Ketika pasien LBP melakukan aktivitas akan mempengaruhi intensitas
nyeri pasien. Aktivitas sehari-hari (misalnya duduk, berdiri dan berjalan)

Universitas Sumatera Utara

18

menunjukkan peningkatan terhadap intensitas nyeri dan perilaku nyeri pasien
(Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001 dalam Burns et al., 2011).
2.1.4.4 Pengukuran Intensitas Nyeri

Numerical Pain Rating Scale (NPRS) digunakan untuk mengukur
intensitas nyeri. Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada
nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan
dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat
(McCafferey & Beebe,1993 dalam Phonna, 2015).
2.1.5

Perilaku Nyeri

2.1.5.1 Pengertian Perilaku Nyeri
Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua bagian
yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan perilaku yang dapat
diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak
menyenangkan yang bersifat subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi
disebut dengan perilaku nyeri (Fields, 1987 dalam Harahap 2007). Menurut Wall
(1991 dalam Pasaribu, 2011) perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan
oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang
dapat diobservasi. Perilaku nyeri juga dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau
seluruh output individu yang terobservasi yang menunjukkan adanya nyeri seperti

Universitas Sumatera Utara

19

postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring, mengkonsumsi obat, mencari
pengobatan, dan pencarian kompensasi. Perilaku nyeri merupakan tindakan
berkomunikasi dari ketidaknyamanan (misalnya meringis,penurunan aktivitas)
yang memiliki peran penting dalam mengurangi fungsi tingkat individu dan
memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).
Perilaku nyeri dapat berupa: (1)Respon verbal, meliputi mengeluh,
mendesah, merintih dan mengadukan nyeri yang dialami, (2)Respon non verbal,
meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat
sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar, (3)Sikap badan dan
isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan
menyeringai, (4)Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi
beristirahat .dan berbaring secara berlebihan (Fordyce, 1976 dalam Harahap,
2007)
Menurut Keefe& Smith (2002 dalam Harahap, 2006) pendeskripsian dari
kelima parameter perilaku nyeri adalah : (1) guarding yang mana mengacu kepada
penjagaan area tubuh yang sakit, (2) braching yang mana mengacu pada kekakuan
tubuh yang tidak normal, menyela atau pergerakan yang kaku, (3) rubbing yang
mana mengacu pada sentuhan atau rabaan pada bagiantubuh yang sakit, (4)
grimacing yang mana mengacu pada guratan wajah dalam mengekspresikan rasa
nyeri seperti, kening berkerut, menyipitkan mata, mengatupkan bibir, menyingkap
sudut mulut dan merapatkan gigi, (5) sighing yang mengacu kepada pernafasan
atau menghela nafas.

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.5.2 Jenis Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri kronik secara khusus adalah dasar bahwa sedikitnya ada 2
jenis perilaku nyeri yaitu respondent behavior dan operant behavior.
2.1.5.2.1

Respondent behavior
Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya stimulus

yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan antara stimulus dan
respon. Respon reflektif merupakan respon yang secara otomatis dapat terjadi
walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini dikontrol oleh stimulus nociceptif
yang spesifik, contoh perilaku nyeri reflektif ini adalah sensasi terbakar yang
berhubungan dengan injuri pada kulit ataupun pada otot (Kast, 1998 dalam
Harahap, 2006).
2.1.5.2.2

Operant behavior
Operant behavior tidak selalu berhubungan dengan rangsangan yang

spesifik. Operant behavior terjadi secara langsung dan otomatis terhadap
rangsangan sama seperti perilaku responden. Tipe perilaku nyeri ini tidak
dikontrol oleh rangsangan dan bahkan saat rangsangan tersebut tidak adekuat
tetapi pasien menerima pengaruh dari lingkungan seperti (keberadaan pasangan,
perawat dan keadaan lingkungan) maka perilaku nyeri akan terlihat (Kats, 1998
dalam Harahap, 2006).
2.1.5.3 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri
2.1.5.3.1

Usia
Usia memengaruhi persepsi dan ekspresi individu terhadap nyeri

khususnya anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

21

diantara kelompok ini dapat memengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri
(Hariyanto &Sulistyowati, 2015). Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda
dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan
menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau
mencari perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Pasaribu, 2016).
2.1.5.3.2 Jenis kelamin
Studi klinis menunjukkan bahwa wanita mengalami ambang nyeri yang
lebih rendah dan mengalami intensitas nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pria
(Toomey, 2008 ; Wilson, 2006 dalam Lemone, 2015). Ketika wanita mengalami
menstruasi mengakibatkan kadar estrogen berfluktuasi yang memengaruhi
intensitas nyeri yang dirasakan. Siklus yang memfasilitasi respon nyeri berbeda
antara pria dan wanita,terutama sistem modulatori opiod. Karena perbedaan ini,
wanita dan pria dapat merespons secara berbeda terhadap analgesik opiod seperti
morfin (Wilson, 2006 dalam Lemone, 2015).
2.1.5.3.3 Intensitas nyeri
Indikator tunggal yang paling penting dari intensitas nyeri adalah laporan
mandiri klien tentang nyeri (Black & Hawks, 2009). Willkie et al (1992 dalam
Harahap, 2006) menemukan bahwa perilaku nyeri memiliki hubungan yang
signifikan dengan intensitas nyeri. Buckelew et al (1994 dalam Harahap, 2006)
juga menemukan bahwa perilaku nyeri berkolerasi dengan nyeri yang dilaporkan
sendiri oleh individu. Demikian juga dengan penelitian (Asghary & Nicholas,
2001) menguji self efficacy dengan berbagai perilaku nyeri pada pasien nyeri

Universitas Sumatera Utara

22

kronis menemukan bahwa intensitas nyeri memiliki hubungan yang signifikan
berkorelasi positif dengan perilaku nyeri (Harahap, 2006).
2.1.5.3.4 Self efficacy
Self efficacy memengaruhi individu berespon terhadap nyeri. Self efficacy
merujuk pada keyakinan seseorang dapat mengelola situasi tertentu (Bandura,
1995). Jensen et al (1999 dalam Harahap, 2006) menemukan bahwa perilaku nyeri
pasien memiliki hubungan yang signifikan dengan pasien yang memiliki
keyakinan diri.
2.1.5.3.5 Pengaruh budaya
Setiap respon individu terhadap nyeri sangat dipengaruhi oleh budaya.
Pengaruh budaya memengaruhi perilaku nyeri, ekspresi nyeri standar yang tepat
dan tidak tepat. Pada umunya respon budaya terhadap nyeri dibagi menjadi dua
kategori, yaitu toleransi dan sensitif (Andrew & Boyle, 2008 dalam Lemone,
2015). Misalnya, jika budaya pasien mengajarkan bahwa individu harus
menoleransi nyeri dengan sabar, pasien mungkin terlihat diam dan menolak (atau
tidak meminta) obat nyeri. Jika norma budaya menganjurkan emosional yang
terbuka dan sering, pasien mungkin menangis dengan bebas dan terlihat nyaman
ketika meminta obat nyeri (Lemone, 2015).
2.1.5.3.6 Makna nyeri
Makna nyeri memengaruhi pengalaman terhadap nyeri dan caranya
beradaptasi terhadap nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Kurangnya
pemahaman sumber, hasil, dan makna nyeri dapat memengaruhi secara
berlawanan terhadap pengalaman nyeri (Lemone, 2015).

Universitas Sumatera Utara

23

2.1.5.3.7 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas dapat
meningkatkan persepsi nyeri dan sebaliknya nyeri dapat menyebabkan ansietas.
Selain itu, tensi otot yang umumnya disertai dengan ansietas dapat membuat
sumber nyeri itu sendiri (Lemone, 2015).
2.1.5.3.8 Keletihan, kurang tidur dan depresi
Nyeri mengganggu kemampuan individu untuk tidur dan tetap terjaga
sehingga menimbulkan keletihan. Sebaliknya, keletihan dapat menurunkan
toleransi nyeri. Pada individu yang depresi secara klinis, serotonin menurun,
mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri. Sebaliknya, individu yang tidak depresi
secara klinis juga benar, ketika ada nyeri depresi terjadi (Lemone, 2015).
2.1.5.3.9 Pengalaman masa lalu
Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri. Cara seseorang berespon
terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang
kehidupannya, sehingga individu tersebut lebih mudah menginterpretasikan
sensasi nyeri. Sebaliknya apabila seseorang tidak pernah merasakan nyeri makan
persepsi pertama nyeri dapat menggangu koping terhadap nyeri (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015).
2.1.5.3.10 Gaya koping
Sumber- sumber koping seperti komunikasi dengan keluarga atau
melakukan latihan dapat mengurangi tingkat nyeri. Dalam proses nyeri seseorang
seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek
fisik

dan

psikologis

nyeri.

Namun

nyeri

juga

dapat

menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

24

ketidakmampuan koping baik sebagian maupun keseluruhan (Hariyanto &
Sulistyowati, 2015).
2.1.5.3.11 Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna memengaruhi respon nyeri adalah kehadiran
orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap seseorang yang
mengalami nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).
2.1.5.4 Perilaku nyeri pada pasien low back pain
Pasien yang mengalami LBP lebih dari 3 bulan, 80 % akan terus
mengalami nyeri. Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri, perilaku
tertentu yang terkait dengan nyeri akan terjadi. Pasien yang mengalami nyeri pasti
akan memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat di observasi. Perilaku ini
adalah cara pasien berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang
mengalami nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Pasien dengan LBP
kronis memiliki dampak terhadap kualitas hidup dan status kesehatan pasien
(Institute of Medicine, 2011 dalam Starkweather, 2014). Pasien dengan LBP
kronis ketika melakukan aktivitas sehari-hari menunjukkan peningkatan terhadap
intensitas dan perilaku nyeri pasien (Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001
dalam Burns et al., 2011).
2.1.5.5 Pengukuran Perilaku Nyeri
Instrumen yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri adalah Pain
Behavior Observation Protocol (PBOP), pertama kali dikemukakan oleh Keefe
dan Block tahun 1982 (Harahap, 2006). PBOP terdiri dari lima perilaku nyeri
yaitu guarding, braching, rubbing, grimacing, dan sighing. Perilaku nyeri tersebut

Universitas Sumatera Utara

25

adalah : (1) guarding (terjaga), mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa
terganggu atau pergerakan yang kaku, (2)braching (menahan nyeri), mengacu
pada pergerakan yang statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin
meluas dan distribusi berat yang tidak normal, (3) rubbing (menggosok bagian
yang nyeri), mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang
terpengaruh nyeri, (4) grimacing (meringis), mengacu pada ekspresi wajah yang
dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit, merapatkan
bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) sighing (mendesah), yang
mengacu pada pernafasan atau menghela nafas.Instrumen ini menggunakan
skala(Harahap, 2007 dalam Pasaribu, 2016). Instrumen ini menggunakan skala
Likert (0 = tidak ada nyeri, 1 = sering, 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri
merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas.
Skor tertinggi (10) mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi.
2.2 Self Efficacy
2.2.1 Pengertian Self Efficacy
Self efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam
mengatur dan melaksanakan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik
(Bandura, 1995). Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki
seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi
kehidupannya. Self efficacy dapat berupa bagaimana perasaan seseorang, cara
berfikir, motivasi diri, dan keinginan memiliki sesuatu (Bandura, 1992 dalam
Bandura 1995). Self efficacy yang dirasakan merujuk pada persepsi seseorang
mengenai kapasitas mereka untuk berperilaku pada situasi di masa depan.

Universitas Sumatera Utara

26

Manusia dengan self efficacyyang lebih tinggi berupaya mengerjakan tugas
yang sulit, tetap tenang dan tidak cemas, dan mengelola pikiran mereka dalam
pola analitis, sebaliknya self efficacy yang rendah dapat gagal dalam upaya
menjalankan aktivitas, cemas, mudah menyerah ketika menghadapi situasi yang
sulit, serta gagal berpikir dan berperilaku secara tenang dan analitis (Cervone
&Pervin, 2012). Mereka menafsirkan reaksi stres dan ketegangan sebagai tandatanda kerentanan terhadap kehidupan. Dalam kegiatan yang melibatkan kekuatan
dan stamina, mereka yang lelah, pegal-pegal dan nyeri adalah sebagai tanda
kelemahan fisik (Ewart, 1992 dalam Bandura, 1995). Suasana hati juga
berpengaruh terhadap self efficacy. Suasana hati yang positif meningkatkan
persepsi self efficacy, sedangkan putus asa dapat membuat self efficacy menjadi
rendah (Ewart, 1992 dalam Bandura, 1995).
2.2.2 Proses self efficacy
Menurut Bandura (1995), keberadaan self efficacy pada diri seseorang akan
berdampak pada empat proses, yaitu:
2.2.2.1 Proses kognitif
Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam berbagai
format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam pemikiran sebelumnya dalam
mewujudkan

tujuan.

Pengaturan

tujuan

individu

dipengaruhi

oleh

penaksiranindividu terhadap kapabilitas yang dimilikinya.
2.2.2.2 Proses motivasi
Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam
pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan

Universitas Sumatera Utara

27

mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan. Mereka percaya terhadap apa
yang mereka lakukan dan selalu mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.
2.2.2.3 Proses afektif
Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam mengatasi
stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi yang sulit. Dengan
adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu mengatasi segala persoalan
yang mengancam keberadaannya.
2.2.2.4 Proses selektif
Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya, maka
seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan pemilihan terhadap
pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan memilih pemecahan masalah dan
pencapaian tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
2.2.3

Sumber- sumber self efficacy

Bandura (1995) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan
padaempat hal, yaitu:
2.2.3.1 Pengalaman keberhasilan(mastery experience)
Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besarpengaruhnya
terhadap self-efficacy individu karena didasarkan padapengalaman otentik.
Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan self efficacy individu meningkat,
sementara kegagalan yang berulangmengakibatkan menurunnya self efficacy,
khususnya jika kegagalan terjadi ketika self-efficacy individu belum benar-benar
terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan self-efficacy individu

Universitas Sumatera Utara

28

jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari
keadaan luar.
2.2.3.2 Pengalaman individu lain (vicarious experience)

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan
dan kesuksesan sebagai sumber self efficacy nya. Self efficacy juga dipengaruhi
oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu
lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self efficacy individu tersebut pada
bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan
mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu
tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik.
Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain
meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap
kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai
kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan self efficacy individu mudah
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahamanindividu
tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan
kemampuannya sendiri.
2.2.3.3 Persuasi sosial (social persuasion)
Social Persuasionberhubungan dengan dorongan. Informasi tentang
kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh
biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu
melakukan suatu tugas.
2.2.3.4 Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional)

Universitas Sumatera Utara

29

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas
sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan
fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatuhal
yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderungdihindari.
Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar dan gemetar menjadi isyarat
bagi individu bahwa situasi yang dihadapinyaberada di atas kemampuannya.
2.2.4 Dimensi dan Aspek Self Efficacy
Dimensi Self Efficacy menurut Bandura (1994 dalam Aritonang, 2010)
yaitu:
2.2.4.1 Magnitude
Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh
individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan.
2.2.4.2 Strength
Strength menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu terhadap
tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy yang rendah mudah
ditiadakan oleh pengalaman yang sulit, sedangkan orang yang mempunyai
keyakinan yang kuat akan mempertahankan usahanya walaupun mengalami
kesulitan.
2.2.4.3Generality
Generalitymenunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya berlangsung
dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai macam aktivitas dan perilaku.
2.2.4.4 Outcome expectacy

Universitas Sumatera Utara

30

Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari
perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung
harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya.
2.2.4.5 Expectation efficacy
Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat
menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti
bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan
kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. Seseorang
yang percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan mencapai prestasi
tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.
2.2.5

Pain Self Efficacy
Self efficacy menurut bandura didefenisikan sebagai penilaian orang

tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang
diperlukan untuk mencapai suatu tindakan yang ingin dicapai. Bandura
berpendapat bahwa self efficacy merupakan dasar dalam motivasi manusia,
kesejahteraan dan prestasi individu, terutama karena tingkat motivasi pada
manusia dan tindakan yang lebih didasarkan pada apa yang mereka percaya
daripada hal yang benar secara objektif (Sinfia et al., 2009).
Beberapa tahun terakhir hubungan antara pain self efficacy dan pemulihan
nyeri penderita sakit kronis telah menarik perhatian dalam literature tentang
pemulihan nyeri. Penelitian telah menunjukkan bahwa pain self efficacy terkait
dengan intensitas nyeri, toleransi pada nyeri, fungsi fisik, dan penggunaan
analgetik. Kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan

Universitas Sumatera Utara

31

sehari-hari dikaitkan dengan kinerja dalam melakukan kegiatan tersebut. Self
efficacy berkontribusi pada motivasi pasien dalam strategi mengatasi nyeri secara
positif seperti penguatan otot, relaksasi dan melangkah (Sinfia et al., 2009).
Pain self-efficacy merupakan variabel psikologisyang telah terbukti
berhubungan dengan ketiga aspekfungsi biopsikososial. Pain self efficacy adalah
kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk mentolerir rasa sakit,
mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasidalam kegiatan sehari-hari meskipun
mengalami nyeri. Khususnya individu dengan pain self efficacy lebih tinggi
cenderung untuk melaporkantingkat yang lebih tinggi dari fungsi biopsikososial
dan perilaku nyeri yang rendah. Peneliti telah menunjukkan bahwa peningkatan
pain self efficacy untuk mengontrol nyeri meningkatkan penggunaan strategi
koping, yang menghasilkan mengurangi tingkat kecacatan. Sebaliknya, pain self
efficacyyang lebih rendah berhubungan dengan rendahnya dukungan sosial dan
kecemasan dan gejala depresi yang tinggi. Penelitian juga telah mendukung
pengaruh positif pain self efficacy pada tingkat keparahan penyakit dan fungsi
fisik.Secara keseluruhan, pain self efficacy mempengaruhi fungsi biopsikososial
pada pasien sakit kronis. Fungsi biopsikososial merupakan faktor penting dalam
memprediksi tingkat keparahan nyeri danpain self efficacy untuk memahami
perkembangan kesulitan pasien dengan low back pain dan ketika merancang dan
pelaksanaan program rehabilitasi (Koenig et al., 2014).
Self efficacy mempunyai banyak instrument dalam menilai kegiatan tertentu
yang mungkin tidak relevan untuk semua individu atau kelompok orang dengan
nyeri

kronis,

untuk

mengatasi

kekurangan

instrument

ini

Nicholas

Universitas Sumatera Utara

32

mengembangkan pain self efficacy questionnaire yang meminta responden
menunjukkan nyeri yang mereka alami ketika menilai self efficacy responden.
Kegiatan mengacu kepada pain self efficacy questionnaire dan bersifat umum
(misalnya pekerjaan digaji atau tidak, dan kegiatan sosial) juga menemukan
instrument lain, untuk membuat alat ukur dapat digunakan responden secara luas.
Nicholas menunjukkan bahwa pain self efficacy questionnaire adalah skala
unidimensional dan menggunakan analisis faktor exploratory serta reliabilitas
untuk skala yang tinggi (Sinfia et al., 2009).
Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah pain self efficacy
questionnaire dan pengaruh yang kuat pada nyeri dalam kehidupan sehari-hari.
Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada pasien
dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara dengan hasil
yang memuaskan (Sinfia et al., 2009).
2.2.5.1 Pain self efficacy pada pasien low back pain
Pain self efficacy

adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya

untuk mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasi dalam
kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri (Koenig et al., 2014). Self efficacy
membuat pasien LBP kronis dapat mengontrol nyeri dan belajar untuk hidup
dalam pikiran positif (McCracken & Eccleston, 2003 dalam McGuigan., 2008).
Kerangka berpikir positif menyebabkan pasien termotivasi untuk manajemen diri
yang berkaitan dengan nyeri yang dialami (Kerns et al., 1997 dalam McGuiga.,
2008). Self efficacy yang tinggi memiliki tingkat yang lebih baik dalam
kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan, toleransi untuk kegiatan fisik,

Universitas Sumatera Utara

33

penurunan penggunaan obat-obatan nyeri, dan status pekerjaan lebih baik (Dewan
et al., 1988;. Dolce et al., 1986;. Lackner & Carosella, 1999;Rudy, Lieber, Boston,
Gourley, & Baysal, 2003 dalam McGuigan., 2008).
2.2.5.2 Pengukuran Pain Self Efficacy
Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self
Efficacy Questionnaire (PSEQ) yang didesain oleh Nicholas pada tahun
1989.Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ) adalah kuesioner yang menilai
kepercayaan pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari meskipun mengalami
nyeri. Kuesioner ini berisi 10 item menggunakan skala differensial semantik
dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien diminta untuk menunjukkan pada
skala seberapa yakin pasien mampu melakukan hal yang disebutkan dalam setiap
pernyataan pada kuesioner. Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat
melakukan hal-hal tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat
melakukannya walaupun ia mengalami nyeri.
2.3 Low Back Pain
2.3.1 Pengertian Low Back Pain(LBP)
Low Back Pain (LBP) adalah kondisi yang tidak mengenakkan atau nyeri
kronik minimal 3 bulan yang disertai adanya keterbatasan aktivitas apabila
melakukan pergerakan atau mobilisasi diakibatkan nyeri (Noor, 2013). Menurut
SPMA (2012 dalam Phonna, 2015) LBP adalah nyeri di daerah punggung antara
sudut bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor),
disertai adanya kekakuan pada bagian bawah punggung.

Universitas Sumatera Utara

34

Faktor resiko LBP meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, etnis, merokok,
pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang,
membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan faktor psikososial
(Bimariotejo, 2009 dalam Phonna, 2015). Laki-laki dan perempuan memiliki
faktor resiko sama, tetapi pada usia lebih dari 60 tahun dilaporkan wanita lebih
tinggi angka kejadiannya. Usia merupakan faktor yang memperberat terjadinya
nyeri punggung bawah dimana berhubungan dengan penurunan fungsi-fungsi
tubuh terutama tulang sehingga tidak lagi elastis seperti saat muda. Data
epidemiologi menyatakan faktor risiko memegang peranan penting pada LBP
(Wheeler, 2009 dalam Septi, 2011).
2.3.2 Penyebab Low Back Pain
LBP disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor mekanik dan faktor non
mekanik. Faktor mekanik yang berhubungan dengan LBP yaitu degenerasi
segmen diskus, misalnya osteoartritis tulang belakang atau stenosis tulang
belakang, nyeri diskogenik tanpa gejala radikular, fraktur vertebra segmen atau
osesus, spondilosis disertai atau tanpa adanya stenosis kanal spinal, makro dan
mikro ketidakstabilan spina atau ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan
kelemahan otot, ketidaksamaan panjang tungkai, dan lansia (perubahan struktur
tulang

belakang).Faktornonmekanikseperti

sindrom

neurologis

misalnya

pleksopati lumosakral (regangan) lumbosakral akut dan gangguan sistemik
misalnya neoplasma metastasis, diskus,penyakit metabolik tulang termasuk
osteoporosis. Obesitas, stres, dan depresi juga dapat menyebabkan LBP. Pasien

Universitas Sumatera Utara

35

dengan LBP kronik biasanya mengalami ketergantungan terhadap beberapa jenis
analgesik (Noor, 2013).
2.3.3 Klasifikasi Low Back Pain
Menurut Bimariotejo (2009 dalam Phonna, 2015), berdasarkan perjalanan
kliniknya LBP terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
2.3.3.1 Acute Low Back Pain
Acute low back pain ditandai dengan rasa nyeri yangmenyerang secara
tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai
beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain
dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan mobil atau terjatuh,
rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak
jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang
lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh
sendiri.
2.3.3.2 Chronic Low Back Pain
Rasa nyeri pada chronic low back pain bisa menyerang lebih dari 3 bulan.
Rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya
memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low
back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses
degenerasi discus intervertebralis dan tumor.

Universitas Sumatera Utara

36

2.3.4

Patofisiologi Low Back Pain
Tulang belakang merupakan struktur yang kompleks, dibagi ke dalam

bagian anterior dan bagian posterior. Bentuknya terdiri dari serangkaian badan
silindris vertebra, yang terartikulasi oleh diskus intervertebral dan diikat
bersamaan oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Konstruksi punggung
yang unik memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan memberikan perlindungan
terhadap sumsum tulang belakang. Otot-otot abdominal berperan pada aktivitas
mengangkat beban dan sarana pendukung tulang belakang. Adanya masalah
struktur dan peregangan berlebihan pada sarana pendukung ini akan berakibat
pada nyeri punggung (Noor, 2013).
Adanya perubahan degenerasi diskus invertebralis akibat usia menjadi
fibrokartilago yang padat dan tidak teratur merupakan penyebab nyeri punggung
biasa, dimana L4-L5 dan L5-S1 menderita stres mekanis dan menekan sepanjang
akar saraf tersebut (Noor, 2013). Salah satu mekanisme untuk mencegah
kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang membatasi
pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan
munculnya titik picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri
(Meliala dkk, 2003 dalam Nasution 2014).
2.4 Hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri
Self efficacy adalah keyakinanseseorang akan kemampuannya dalam
mengatur dan melaksanakan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik
(Bandura, 1995). Dengan adanya self efficacy diharapkan dapat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

37

intensitas nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
yang dirasakan oleh individu (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Intensitas nyeri
juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang
dirasakan(McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk
mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasidalam kegiatan
sehari-hari meskipun mengalami nyeri (Koenig et al., 2014). Individu dengan self
effiacy tinggi tetap tenang dan tidak cemas ketika menghadapi situasi sulit dan
mengelola pikiran mereka dalam pola analitis. Self efficacy juga mempengaruhi
bagaimana individu mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuan
hidupnya (Cervone & Pervin, 2012). Individu dengan self efficacy tinggi dapat
mengelola dan mengatasi rasa nyeri yang dialami sehingga mempengaruhi
intensitas nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki pain self efficacy yang
tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien
dengan pain self efficacy rendah akan menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi.
2.5 Hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri
Menurut Wall (1991 dalam Pasaribu, 2011) perilaku nyeri adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia
mengalami nyeri yang dapat diobservasi. Perilaku nyeri merupakan tindakan
berkomunikasi dari ketidaknyamanan (misalnya meringis,penurunan aktivitas)
yang memiliki peran penting dalam mengurangi fungsi tingkat individu dan
memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).

Universitas Sumatera Utara

38

Adanya self efficacy dapat mempengaruhi perilaku nyeri. Self efficacy adalah
rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut
dalam situasi yang spesifik. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu
akan kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya
(Bandura, 1994 dalam Pasaribu, 2016).

Hubungan pain self efficacy dengan

perilaku nyeri merupakan hubungan berbanding terbalik. Pasien dengan pain self
efficacy yang tinggi biasanya ditandai dengan rendahnya tingkat stress dan
kecemasan sehingga dapat menurunkan perilaku nyeri. Sedangkan pasien dengan
pain self efficacy yang rendah dapat mengakibatkan perilaku nyeri yang tinggi
(Pasaribu, 2016).
2.6 Hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan
oleh individu (Hariyanto &Sulistyowati, 2015). Intensitas nyeri juga dapat
dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan
(McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Pengukuran intensitas nyeri
sangat subjektif dan individual (Hariyanto &Sulistyowati, 2015). Setiap pasien
akan memiliki perilaku yang berbeda terhadap nyeri karena intensitas nyeri dan
toleransi setiap orang terhadap rasa nyeri sangat beragam (Robinson & Saputra,
2016). Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri sudah pasti perilaku
berhubungan dengan nyeri yang terjadi (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).
Pasien dengan laporan nyeri yang tinggi juga akan mengekspresikan perilaku
nyeri yang tinggi pula (Harahap, Petpichetchian, Kritpraccha 2007). Fordyce,
Fowler dan Lehmann dan kolega (1973 dalam Harahap, 2006) menyatakan bahwa
pasien yang mengalami nyeri pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku yang

Universitas Sumatera Utara

39

dapat dilihat dan diobservasi. Perilaku ini adalah cara pasien berkomunikasi
dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri (Fordyce, 1976 dalam
Harahap,2006).
Perilaku nyeri merupakan suatu aspek yang menyangkut tentang pengalaman
nyeri. Ini adalah keadaan yang tampak jelas kelihatan seperti gerakan anggota
badan atau ekspresi wajah (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Menurut
Harahap (2007) pada prakteknya, perilaku nyeri tidak umum digunakan dalam
mengkaji nyeri pasien. Akan tetapi bagi pasien yang tidak dapat melaporkan atau
mengeluhkan nyerinya dengan mengobservasi perilaku yang diperlihatkan oleh
pasien pada saat pasien mengalami nyeri dapat memberikan pemahaman tentang
nyeri yang dialaminya. Perilaku nyeri ini meliputi berbagai perilaku yang dapat
diobservasi ketika seseorang mengalami nyeri. Perilaku nyeri yang dapat dinilai
ketika seseorang mengalami nyeri meliputi 5 parameter yaitu, (1) guarding yaitu
menjaga area yang sakit, (2) braching yaitu pergerakan anggota tubuh yang kaku,
(3) rubbing yaitu meraba atau menyentuh area tubuh yang sakit, (4) grimacing
yaitu berkaitan dengan ekspresi wajah, (5) sighing yaitu menghela napas
(Harahap, 2007).

Universitas Sumatera Utara

40

Daftar Istilah
Low back pain (LBP) : Nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta
(tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor),
disertai adanya kekakuan pada bagian bawah punggung.
Self efficacy

:

Keyakinanseseorang

akan

kemampuannya

dalam

mengatur dan melaksanakan perilaku yang dituntut dalam
situasi yang spesifik.
Pain self efficacy

: Kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk
mentolerir

rasa

berpartisipasidalam

sakit,

mengatasi

kegiatan

rasa

sehari-hari

sakit,

dan

meskipun

mengalami nyeri.

Universitas Sumatera Utara