TUNJANGAN NAFKAH PASCA PERCERAIAN STUDI

TUNJANGAN NAFKAH PASCA PERCERAIAN:
STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN
BARAT
Muhamad Isna Wahyudi
Pengadilan Agama Bima
isnawahyudi@gmail.com
Salah satu akibat perceraian yang dialami oleh mantan pasangan suami istri
adalah terkait dengan kondisi ekonomi yang berubah. Selama dalam perkawinan,
masing-masing pasangan saling menanggung biaya hidup bersama. Namun, kondisi
ekonomi pasca perceraian bagi mantan pasangan tentu tidak sebaik ketika masih
dalam perkawinan. Bagi mantan pasangan yang memiliki penghasilan mandiri,
kondisi ekonomi ekonomi pasca perceraian tidak banyak berpengaruh terhadap
kehidupannya. Akan tetapi, bagi pasangan yang tidak memiliki penghasilan mandiri,
atau memiliki penghasilan tetapi sedikit, kondisi ekonomi pasca perceraian akan
sangat berpengaruh terhadap kehidupannya.
Hukum keluarga mengatur masalah tunjangan nafkah pasca perceraian bagi
mantan pasangan. Dalam hukum Barat, mantan pasangan yang lebih mampu secara
nafkah wajib memberikan tunjangan nafkah bagi mantan pasangannya yang tidak
mampu, sampai batas waktu tertentu, yang disebut dengan alimony.
Tunjangan nafkah pasca perceraian dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal
225 yang menyatakan bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya

dinyatakan perceraian, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya
penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan
hidup baginya dari harta pihak yang lain. Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup
tersebut berlangsung sampai dengan kematian mantan suami atau istri sebagaimana
diatur dalam Pasal 227. Namun demikian, berdasarkan Pasal 329b, penetapan
mengenai tunjangan nafkah tersebut dapat diubah atau dicabut oleh hakim.

1

Ketentuan yang termuat dalam KUH Perdata tampaknya diakomodir dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 41 huruf c disebutkan bahwa
akibat putusnya perkawinan karena perceraian pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
Dalam hukum Islam, tunjangan nafkah pasca perceraian hanya diberikan
kepada kaum perempuan, yang mencakup nafkah ‘iddah dan mut’ah. Nafkah ‘iddah
hanya diberikan selama mantan istri melaksanakan masa tunggu, yang berlangsung
kurang lebih tiga bulan. Sementara mut’ah, sebagai pemberian pelipur lara, hanya
sekali diberikan. Mengenai nafkah ‘iddah dan mut’ah ini diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 149 dan 158. Nafkah ‘iddah wajib diberikan oleh suami kecuali

istri nusyuz atau dijatuhi talak ba’in dan dalam kondisi tidak hamil. Sedangkan
mut’ah wajib diberikan oleh suami apabila istri telah dicampuri, tetapi belum
ditetapkan mahar, dan perceraian atas kehendak suami.
Baik hukum Islam maupun hukum Barat, masing-masing mengatur tentang
tunjangan nafkah pasca perceraian, dengan ketentuan yang berbeda. Hukum Barat
tidak membedakan jenis kelamin dalam hal menentukan siapa yang wajib
memberikan tunjangan nafkah pasca perceraian terhadap mantan pasangan, tetapi
siapa yang lebih mampu dalam hal keuangan, dan jangka waktu pemberian tunjangan
nafkah relatif lebih lama. Hal ini sering menimbulkan persoalan, karena dengan
perceraian, maka tidak ada lagi hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban antara mantan pasangan.
Sementara dalam hukum Islam, hanya suami yang memiliki kewajiban untuk
memberikan tunjangan nafkah pasca perceraian, dan kewajiban tersebut muncul
dalam perceraian yang dikehendaki oleh suami (cerai talak). Namun, nafkah ‘iddah
yang hanya diberikan selama tiga bulan, dinilai terlalu sedikit dalam memberikan
tunjangan nafkah, sehingga banyak perempuan yang memperjuangkan untuk
mendapatkan mut’ah dengan jumlah yang besar. Terlebih, di negara-negara muslim
yang tidak mengakui harta bersama dalam perkawinan.
2


Perbedaan konstruksi hukum Barat dengan hukum Islam di atas sangat
dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat di mana hukum tersebut tumbuh.
Masyarakat Barat dengan sistem kekerabatan bilateral, mengakui kesetaraan antara
suami dan istri. Sementara masyarakat Muslim, dalam hal ini Arab Saudi tempat alQur’an diturunkan, mengikuti sistem kekerabatan patrilineal yang melahirkan budaya
patriarki, dalam mana hubungan antara suami dan istri lebih bersifat hierarkis, suami
memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding istri.
Di Indonesia, hak-hak pasca perceraian, tidak hanya terbatas pada tunjangan
nafkah pasca perceraian, tetapi juga mencakup harta bersama. Kompilasi Hukum
Islam mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan pada Pasal 85 sampai
dengan Pasal 97. Berdasarkan pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat
dipahami bahwa hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuanketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan
tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut.
Hukum positif Islam di Indonesia yang mengakui harta bersama dalam
perkawinan tersebut, sebenarnya telah menimbulkan konsep yang berbeda dalam hal
tunjangan nafkah pasca perceraian dengan ketentuan hukum Islam yang telah mapan,
sebagaimana yang tumbuh dan berkembang di negara-negara muslim di Timur
Tengah. Untuk memahami masalah ini kita perlu melihat konteks dalam mana
muncul kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah ’iddah dan mut’ah bagi istri
yang diceraikan.
Pada masa Arabia pra-Islam seorang perempuan yang dicerai tidak memiliki

hak untuk mendapatkan nafkah, sementara laki-laki dibebaskan dari tanggung jawab
keuangan dan hal ini berlangsung terus karena tidak ada sanksi hukum bagi tindakan
mereka. 1 Ketiadaan nafkah pasca perceraian yang terjadi secara bersamaan dengan
ketiadaan ‘iddah bagi perempuan yang dicerai ini telah menyebabkan seorang janda

1

Haifaa A. Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach (New York: ST.
Martin’s Press, 1998), hlm. 3.

3

yang tidak segera menikah mungkin mendapati dirinya mengalami kesulitan
keuangan, terutama jika sedang hamil. 2
Perlu diketahui bahwa pada masa kedatangan Islam, perempuan di Arabia
secara umum benar-benar tidak memiliki status hukum. Mereka dijual ke dalam
perkawinan oleh wali mereka untuk suatu harga yang dibayarkan kepada wali
tersebut, suami mereka dapat mengakhiri perkawinan mereka sesuka hatinya, dan
perempuan hanya memiliki sedikit kekayaan atau hak-hak waris atau tidak sama
sekali. 3 Pada saat itu sebagian besar perempuan menjadi sangat tergantung secara

ekonomi kepada laki-laki, karena di bawah sistem patrilineal sebagian besar
perempuan mengalami pembatasan peran sosial yang hanya berada dalam wilayah
domestik.
Dalam kondisi yang demikian, kewajiban ‘iddah yang diiringi dengan
kewajiban nafkah (mut’ah) atas suami terhadap para istri yang dicerai selama dalam
masa ‘iddah (Q.S. 2: 236-7, 240-1; 33: 49), dapat memberikan perlindungan ekonomi
pasca perceraian bagi para perempuan pada saat itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa di antara maksud lain dari ketentuan ‘iddah adalah untuk meringankan beban
ekonomi perempuan yang dicerai pada saat itu.
Pada umumnya, ayat-ayat al-Qur’an tentang perceraian lebih banyak
mengatur tentang cara-cara pemberian nafkah dan pertanggungjawaban suami lainnya
yang harus dipenuhi terhadap istri yang dicerai dan anak-anaknya. Hal ini secara jelas
menunjukkan bahwa istri dan anak-anak merupakan pihak yang sangat menderita
ketika terjadi perceraian pada saat itu, dan oleh karenanya al-Qur’an mendesak suami
untuk memberikan perlindungan kepada mereka.
Poin yang ingin penulis ajukan di sini adalah terkait dengan kewajiban mut’ah
pada satu sisi, dengan harta bersama pada sisi lain. Antara kewajiban mut’ah dengan
2

John L. Esposito dan Natana J. Delong-Bas, Women in Muslim Family Law, second edition

(Syracuse, New York: Syracuse University Press, 2001), hlm. 14.
3
Noel Coulson and Doreen Hinchcliffe, “Women and Law Reform in Contemporary Islam,”
dalam Women in the Muslim World, editor: Lois Beck and Nikkie Kiddie (Cambridge, Massachussett,
and London, England: Havard University Press, 1978), hlm. 37.

4

harta bersama sebenarnya memiliki fungsi yang sama, sehingga dapat saling
menggantikan. Mut’ah muncul dari latar belakang masyarakat patrilineal, sedangkan
harta bersama muncul dari latar belakang masyarakat bilateral atau parental. Dengan
demikian, dalam konteks Indonesia, kewajiban mut’ah dapat ditiadakan karena telah
tergantikan dengan separuh bagian harta bersama yang menjadi hak bagi istri yang
diceraikan.

5