HAM DAN POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI I (1)

HAM DAN POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

OLEH DR. IZA FADRI,SIK,S.H.,M.H
DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

ABSTRACT
Currently, human rights is getting a crucial issue not onlyon the national level
buat also the international. Since 1999, the attention of human rights and law
enforcement in Indonesia has increased significantly.
The government institution which often involved directly with the human rights
issue is the police. The issue of human rihts is always integrated with the law
enforcement need a legal frame work for the application in the field.
Human right violations are not only done by the member of the society but also
by the law upholders. In many cases, the use of forces by the police in critical situations
are permitted by the law for example to protect the public security and police officers
them selves. What is the kind of human rights violation by the police andwhat does the
society know about the definition of human rights violation?
In this paper, we tried to discuss the police duty and issue of human rights
violation in Indonesia and the consequences of violating the human rights based on the
legal frame-work of the Indonesian law.


Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

BAB I
PENDAHULUAN

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah tuhan yang maha esa meliputi hak
untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan,
hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau
diramaps olehsiapapun. Sejak bulan januari tahun 1999, perhatian terhadap hak asasi
manusia (HAM) dan penegakan hukumnya di Indonesia menunjukkan arah peningkatan
yang menggembirakan. HAM telah dinyatakan sebagai salah satu kebutuhan yang
mendasar dalam konsep pembangunan kemanusian terhadap seluruh masyarakat. Saat ini
HAM merupakan permasalahan yanghangat dalam tingkatan nasional suatu negara
maupun internasional. HAM bukan lagi dianggap sebagai masalah domestik atau dalam
negeri tetapi HAM sudah menjadi permasalahan yang bersifat universal dan masyarakat
internasional.
Perubahan politik yang diawali dengan pergantian rezim di Indonesia telah
membuka


informasi

terhadap

pelanggaran

hukum

yangdilakukan

oleh

otoritas/pemerintah atau pelanggaran hukum yang tidak direspon oleh negara sebagai
kejahatan internasional atau yang dapat dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia.
Pelanggaran HAM terjadi karena kekuasaan yangdidominasi oleh otoritas kekuasaan,
dalam situasi tersebut pelanggaran HAM oleh polisi atau perjabat pemerintahan lainnya
sering terjadi dalam masyarakat seperti perampasan hak milik pribadi dengan alasan
digunakan untuk kepentingan umum, penculikan dan pembunuhan aktivis HAM dan lainlain. Sejak turunnya Suharto dari kursi kepresidenan telah membuat penegakan hukum di
Indonesia menjadi titik sentral dan selalu menjadi perhatian dalam bentuk

penegakkannya.
Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau ketentuan yangtelah ada
akan mudah dan cepat mendapat reaksi serta sorotan dari masyarakat, apalagi apabila
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

penyimpangan tersebut dilakukan olehaparat penegak ukum yang berakibat munculnya
pelanggaran HAM. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah kritis dan mempunyai
kepedulian dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungan
dengan penegakan hukum dan mengenai sesuatu yang yang menyimpang dari HAM, hal
tersebut tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus
ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan
partisipasi masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB II
HAM DAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA

1. KONSEP HAM
Secara mendasar HAM sebagai suatu konsep telah diakui secara internasional
namun terkadang konsepsi tersebut menjadi bias dan dipersepsikan secara sepihak

sehingga kita sering melihat bahwa setiap pihak yang berhadapan masing-masing
mengklaim dirinya sedang menegakkan HAM-nya, untuk itu perlu agar HAM sebagai
konsep maupun definisi disatukan dalam makalah ini. Akan tetapi memang perlu
diperhatikan bahwa konsepsi HAM mempunyai jangkauan yang luas dan komplek,
tetapi kenyataannya hanya menyentuh para aparat pemerintahan saja khususnya para
penegak hukum. Batas antara kewenangan tugas alat negara/penegak hukum yang
merupakan representasi negara sebagai otoritaskekuasaan dan penyelenggara negara
dengan poelanggaran HAM sangat tipis, untuk itu perlu pemahaman yang mendalam
dari penegak hukum dan alat negara terhadap konsep HAM.
Hukum HAM memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi dan kelompok
pribadi dengan pemerintah dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hakhak asasi dan kebebasan pribadi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

juga oleh kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta serta
mengusahakan dan menjamin iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia
namun juga memperhatikan kepentingan neara sebagai representasi masyarakat dalam
mengelola organisasi masyarakat (negara). Secara ideal hukum HAM harus
memperhatikan harmonisasi kehidupan masyarakat dalam negara sehingga ada batas
yang jelas antara penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Secara faktual penegakan

hukum yang dilakukan oleh negara merupakan rangkaian penegakan HAM, namun
apabila negara yang diwujudkan oleh otoritas kekuasaan/pemerintah tidak
menjalankan fungsinya maka secara faktual pula telah terjadi pelanggaran HAM.

2. PRAKTIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia disebabkan oleh beberapa
indicator-indikator antara lain:
a.

Pendekatan pembangunan pada masa orde baru yang mengutamakan “Security

Approach” dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Caracara refresif yang digunakan oleh pemegang kekuasaan dapat mengakibatkan terjadinya
pelanggaran HAM, antara lain;
1)

Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas, tanpa

berdasarkan hukum.
2)


Penerapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang

dianggap ekstrim.
3) Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP.
4)

Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat,

karena dikhawatirkan akan menjadi oposan pemerintah.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

b. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan orde baru, dengan pemusatan kekuasaan pada
pemerintah pusat yang nota bene pada figure seorang presiden, telah mengakibatkan
hilangnya kedaulatan rakyatatas negara sebagai akibat dari penguasaan pra pemimpin
negara terhadap rakyat sehingga menimbulkan peluang pelanggaran HAM dalam bentuk
pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas masyarakat dan pengekangan hak
politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan
kekuasaannya.

c.

Kualitas layanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya “good

governance” yang ditandai dengan transparansi diberbagai bidang, akuntabilitas,
penegakan hukum yang berkeadilan, dan demokratisasi. Serta belum berubahnya
paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat
bukan pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan
cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia seperti:
1) Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitan dengan kesejahteraan
lahir dan bathin yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraannya.
2) Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan dengan jaminan, perlindungan,
pengakuan hukum, dan perlakuan yang adil dan layak.
3) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
4) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus bagi anak-anak, orang tua dan penderita cacat.
5) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak.


Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

d. Konflik horizontal dan konflik vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan
yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan,
maupun oleh aparat seperti:
1) Pembunuhan.
2) Penganiayaan.
3) Penculikan.
4) Pemerkosaan.
5) Pengusiran.
6) Hilangnya mata pencaharian.
7) Hilangnya rasa aman, dll.
e.

Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklarasikan Hak Asasi Manusia yang pada
intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan

kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan
agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin, namun faktanya adalah bahwa instrument
tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran
hak asasinya dalam bentuk:
1)

Kekerasan berbasis gender bersifat phisik, seksual atau psikologis;

penganiayaan, pemerkosaan, dan berbagai jenis pelecehan.
2) Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
3) Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
4) Perdagangan wanita.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

f.

Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun piagam hak asasi manusia telah memuat


dengan jelas mengenai perlindungan hak asasi anak namun kenyataannya masih sering
terjadi perlanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah:
1)

Kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala bentuk

kekerasan fisik dan mental.
2) Menelantarkan anak.
3) Perlakuan buruk.
4) Pelecehan seksual.
5) Penganiayaan.
6) Mempekerjakan anak dibawah umur.
g.

Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka

berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk:
1)

Perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan bahwa


hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat.
2) Menjauhnya rasa keadilan.
3)

Terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidakpercayaan kepada

perangkat hukum.

3. UPAYA PENCEGAHAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA
1.

Pendekatan security yang terjadi di era orde baru dengan mengedepankan upaya

refresif menghasilkan stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh terulang kembali, untuk itu
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus
dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat,
bahkan berdampak terhadap timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu
desentralisasi melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai
jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindak
lanjuti dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.
3. Reformasi aparat pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan
masyarakat dengan cara mengadakan reformasi di bidang struktural, invromental, dan
kultural mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk
mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah
air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggara hak asasi manusia
baik oleh sesame kelompok masyarakat dengan cara menyelesaikan akar permasalahan
secara terencana, adil dan menyeluruh.
5.

Kaum perempuan berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang

sama bagi semua ahak asasi manusia di bidang, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,
dan bidang lainnya, termasuk hak untuk hidup, persamaan, kebebasan dan keamanan
pribadi, perlindungan yang sama menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja
yang adil. Untuk itu badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi
terhadap perempuan, lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan
sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984,
mengaktifkan fungsi Komnas anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus dibuat
peraturan perundang-undangan yang memadai yang menjamin perlindungan hak asasi
perempuan dengan mencantumkan sanksi yang memadai terhadap semua jenis
pelanggarannya.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

6. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua
jaminan hak asasi manusia yang tersedia bagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan
dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka
berinteraksi didalam masyarakat, anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau
hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak
merupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda
dengan orang dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka
menumbuhkan suasana phisik dan psikologis yangmemungkinkan anak berkembang
secara normal dengan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan
perlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakkan secara
professional tanpa padang bulu.
7. Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan
adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan
kepadanya dengan memberikan layanan yang baik dan adil kepada masyarakat penari
keadilan, memberikan perlindungan kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum,
menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan
hukum.
8. Perlu adanya control dari masyarakat (social control) dan pengawasan dari lembaga
politik terhadap upaya-upaya penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh
pemerintah.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah telah meletakkan
landasan hukum yang kuat dalam usaha penegakan HAM di Indonesia, berbagai
kebijakan tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain:
a.

Hak-hak tersangka/terdakwa telah dilindungi dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun

1981).
b. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

c.

UU No. 23 Tahun 2001 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.]
d.

PP No. 24 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik,

Penuntut Umum Dan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
e.

PP No. 2 Tahun 200 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi

Dalam Pelanggaran HAM Berat.

BAB III
TUGAS POLRI

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memuattugas pokok
Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelaksanaan kepada masyarakat, untuk itu Polri dituntut
harus senantiasa tampil simpatik dan menyenangkan hati masyarakat, sedangkan dalam
tugas penegakan hukum Polri harus tegas, kuat dan perkasa walaupun terpakasa dengan
menggunakan kekerasan.
Kepada polisi diberikan peran tertentu yang tidak diberikan kepada orang lain.
Kepadanya diberikan kekuatan dan hak yang tidak diberikan kepada orang biasa. Oleh
karena keistimewaan tersebut, kepada polisi dihadapkan tuntutan-tuntutan yang tidak
diminta dari warga negara biasa. Polisi harus berani menghadapi bahaya dan kekerasan,
sedang rakyatdibenarkan menghindari bahaya tersebut. Sebagai manusia biasa, polisi
akan menghadapinya dengan perasaan takut, marah, kecurigaan, dibanding dengan orang
lain pada pekerjaan yang berbeda. Polisi dituntut untuk memberikan respon terhadap

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

emosi-emosi tersebut secara memadai, seperti menunjukkan keberanian, keuletan dan
kehati-hatian.
Polisi sebagai hukum yang hidup berusaha untuk menerapkan peraturan
perundang-undangan teoritik ditengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hal ini
sangatlah berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa, hakim, pejabat
lembaga pemasyarakatan dan advokat. Polisi terjun langsung untuk mencari dan
mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat dan nyawa di dalam kehidupan
masyarakat. Polisi biasanya menghadapi berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam
menyelesaikan pekerjaannya, maka penilaian terhadap polisi didasarkan pada bagaimana
ia mampu membuat pilihan tindakan yang benar untuk tujuan yang benar. Secara singkat,
polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagi bagian yang integral dari
pekerjaannya. Pekerjaan polisi yang boleh menggunakan kekerasan ditujukan untuk
mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitu kelangsungan hidup manusia.
Dihadapkan kepada tuntutan yang demikian itu banyak pekerjaan polisi yang secara
moral menjadi problematik.
Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibnas mempunyai posis yang
sentral dalam melaksanakan tugas sebagai representasi kekuasaan dan dalam
melaksanakan tugasnya tersebut telah diatur tentang penggunaan kekerasan baik secara
nasional maupun internasional, dimana penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut dapat berpotensi menjadi pelanggaran terhadap HAM. Polri
sebagai aparat penegak hukum, dalam melaksanakan tugasnya secara yuridis, polisi
kadang kala dalam situasi yang kritis atau genting dapat menggunakan kekerasan dalam
menjalankan wewenangnya dan hal tersebut mungkin dapatdibenarkan oleh hukum
terutama saat polisi harus menangkap atau menahan pelaku kejahatan. Penggunaan
kekerasan oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum dan
kamtinas telah diatur dan diakui antara lain:
1. Dalam Pasal 3 Code of Conduct for Law enforcement officials (1979) dinyatakan
bahwa petugas penegak hukum diperkenankan menggunakan kekerasan sepanjang
penggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional dan bersifat fungsional atau
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

dengan kata lain penggunaan kekerasan merupakan kekecualian yang bersifat tertentu
dan penggunaannya yang bersifat:
a.

Untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b.

Untuk memudahkan serta membantu menangkap/menahan tersangka berdasarkan

prosedur yang melangar undang-undang.
c.

Landasan penggunaan kekerasan adalah asas proporsionalitas.
2.

Dalam kongres PBB tentang Prevention of Crime and Treatment offender di

Havana, Kuba (1990) telah diadopsi prinsip-prinsip dasar yang memuat ketentuan
tentang syarat-syarat penggunaan senjata api, yaitu:
a.

Petuas penegak hukum dapat menggunakan senjata api untuk membela diri, untuk

menghadapi kondisi terbunuh atau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi.
b. Untuk mencegah atau persiapan khususnya terhadap kejahatan yang membahayakan
kehidupan.
c.

Untuk menangkap seseorang dalam kondisi yang berbahaya dalam melawan

kejahatan.
d. Untuk mencegah seseorang melarikan diri dan kecuali dalam kondisi yang mendesak
untuk mencapai tujuan.
3.

Dalam hukum positif juga diatur penggunaan kekerasan oleh Polri dalam

melaksanakan tugas, antara lain:
1)

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa

untuk kepentingan umum pejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri.
2) Dalam KUHP

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

a.

Pasal 50 KUHP yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan.

b. Pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan.
Menyikapi fenomena pelaksanaan tugas kepolisian tersebut maka Polri dalam
merespon situasi harus melaksanakan tugas secara professional. Dari segi yuridis
kewenangan Polri menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan tugasnya secara
internasional telah diatur dan diakui namun harus tetap terkontrol agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh Polri atau Polri digunakan dan dikooptasi oleh
kekuasaan (elit politik).
Nilai kejuangan, aktualisasi dan implementasi nilai-nilai kejuangan yang
dijabarkan melalui doktrin Tribrata dan Catur Prasetya merupakan modal dasar bagi
lembaga Polri. Dalam penjabaran nilai-nilai rersebut telah diciptakan supra struktur yang
menunjang dengan menciptakan lembaga kode etik profesi sehingga pelaksanaan tugas
anggota Polri terukur dengan kodeetik profesi. Selain hal tersebut Mabes Polri juga telah
menerbitkan Juklak dan Juknis tentang pembinaan nilai juang untuk dipedomani dan
dilaksanakan oleh setiap anggota Polri yang diharapkan anggota Polri tidak melakukan
pelanggaran HAM, selain itutuntutan masyarakat untuk menciptakan Polri yang mandiri
secara structural dan instrumental terlepas dari pengaruh politis menciptakan iklim yang
kondusif bagi Polri dalam melaksanakan tugas sehingga dapat dihindari penyalahgunaan
kelembagaan Polri sebagai alat kekuasan dalam pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM.

BAB IV
PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan hukum yang
dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yang konkrit, dimana peran Polri
adalah untuk mengkonkritkan hal tersebut. Penegakan hukum mempunyai tujuan
mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan keadilan.
Penegakan hukum yang dilakukan tanpa disertai penegakan terhadap HAM hanya akan
mempertahankan otoritas kekuasaan terhadap kepentingan kekuasaan dan hukum secara
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

luas. Penegakan hukum sangat rentan terhadap perkembangan politik suatu negara
sehingga terkadang hukum dapat dikooptasi untuk kepentingan politik atau penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Polri sebagai salah satu komponen fungsi terdepan dalam penegakan hukum
berhadapan langsung dengan berbagai macam kompleksitas kemasyarakatan didalam
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), namun dalam penegakan hukum
yang dilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya banyak menemui hambatanhambatan, antara lain:
a.

Dalam substansi hukumnya:

1) Tentang ketentuan perundang-undangan yang saling bertentangan;
2) Pembaharuan hukum ternyata belum didahului dengan persamaan persepsi sehingga
ada penyelundupan ketentuan hukum yang tidak benar;
3)

Masih adanya ketentuan hukum positif peninggalan colonial Belanda yang tidak

sesuai dengan perkembangan jaman;
4)

Adanya peraturan perundang-undangan yang belum ada peraturan pelaksananya,

sehingga menyulitkan penegakannya;
5) Tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkap yang dapat mengatur
semua perilaku manusia;
b. Dalam kondisi masyarakat yang dihadapi masih terdapat adanya sikap-sikap dan
perilaku masyarakat yang tidak/kurang menguntungkan untuk terselenggaranya
penegakan hukum yang baik, antara lain:
1)

Kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap pembinaan kamtibnas pada

umumnya, khususnya penegakan hukum.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

2)

Enggan berpartisipasi dalam melaksanakan tugas keamanan yang dilakukan oleh

Polri.
3)

Kurang mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar atau

diganggu.
4)

Kurang mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi

kepentingan-kepentingannya.
5)

Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor

ekonomi, psykis, sosial atau politik.
Dalam rangka menciptakan profesionalisme di bidang penegakan hukum sebagai
suatu core business, kepolisian telah mengembangkan keorganisasian untuk menunjang
hal tersebut. Peningkatan organisasi Reserse secara struktural akan berdamapak terhadap
terciptanya anggota Polri yang lebih professional dibidang penegakan hukum.

BAB V
PENEGAKAN HAM OLEH POLRI
Penegakan hukum mempunyai perbedaan dengan penegakan HAM, penegakan
hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupa ketertiban, kepastian hukum dan
keadilan sedangkan penegakan HAM bertujuan mewujudkan nilai-nilai etika dan moral
didalam kehidupan manusia secara universal, didalam nilai etika dan moral
tersebutsecara implisit terkandung nilai penegakan hukum. HAM sebagai suatu bentuk
kejahatan yang melibatkan otoritas kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok, dengan
implikasinya kejahatan ini sulitdideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran HAM ini
adalah bentuk kooptasi politik terhadap hukum, dalam prakteknya kejahatan ini terjadi
secaraterencana dan sistematis dimana kejahatan atau pelanggaran ini didukung oleh
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

sistem sosial lainnyasebagai bagian dari sistem politik negara. Pelanggaran akan
terungkap manakala rezim suatu pemerintahan berakhir atau tumbang sehingga sistem
pendukung lainnya juga tidak berfungsi.
Institusi pemerintah yang sering terlibat langsung dengan permasalahan HAM
adalah Polri. Tujuan strategi Polri dalam menghadapi kejahatan atau pelanggaran HAM
adalah untuk menciptakan anggota Polri yang professional dengan menguasai
pelaksanaan tugas khususnya dibidang penegakan hukum yang mencakup pelaksanaan
tugas dibidang penyelidikan dan penyidikan yang mempunyai aspek yang berhubungan
dengan HAM yang diakui secara internasional sebagai kejahatan internasional. Sebagai
penyidik dan penyelidik yang melaksanakan tugas penyidikan yang merupakan penyidik
utama dalam KUHAP, Polri mempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yang
berhubungan dengan HAM. Dalam menghadapi pelanggaran HAM Polri sebagai aparat
penegak hukum perlu melaksanakannya secara terencana serta didukung oleh
kebijaksanaan strategi yang jelas. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia telah
diintrodusirsuatu mekanisme peradilan dimana penyidikan dan penuntutan merupakan
suatu sub sistem yang berdiri sendiri. Penyidikan sebagai gerbang proses dalam sistem
peradilan pidana dilaksanakan oleh lembaga Polri dan dalam proses penyidikan secara
umum dilakukan oleh Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu sesuai dengan lingkup
kewenangannya, dalam KUHAP pula dinyatakan bahwa Polri merupakan penyidik utama
dan sekaligus sebagai coordinator penyidikan lainnya, walaupun hal tersebut diingkari
oleh beberapa undang-undang lainnya seperti UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan,
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
namun secara menyeluruh penyidikan terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan
penegakan HAM dilakukan oleh Polri.
Secara substansial dan formal kelembagaan Polri pada prinsipnya telah
melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaian penegakan terhadap HAM, namun
dalam praktek masih ditemukan kendala-kendala yang bersifat eksternal dan internal,
untuk menyikapi hal tersebut selain upaya untuk meniadakan kendala eksternal maka
Polri secara kelembagaan perlu membenahi diri secara internal.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

Tugas polisi sangat penting dalam menjaga supremasi HAM dalam kehidupan
sosial sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu:
1.

Polri harus menjaga dan melindungi keamanan masyarakat, tata tertib serta

penegakan hukum dan HAM.
2. Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta menghindari kekerasan
dalam menjaga tata tertib bermasyarakat dengan menghormati supremasi HAM.
3. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus menghormati asas
praduga tak bersalah sebagai hak tersangka sampai dinyatakan terbukti bersalah
olehpengadilan.
4. Polri harusmematuhi norma-norma hukum dan agama untuk menjaga supremasi
HAM.
Dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam melakukan pemeriksaan, polisi
kadangkala mempunyai hambatan-hambatan dalam menjaga supremasi HAM, tetapi
polisi tetap harus menghormati hak-hak tersangka, yaitu antara lain:
1. Hak untuk dilakukan pemeriksaan dengan segera, penuntutan di pengadilan.
2. Hak untuk menjelaskan kepada penyelidik dan hakim dengan bebas.
3. Hak untuk mempunyai penerjemah.
4. Hak untuk didampingi pengacara/penasehathukum dalam setiap pemeriksaan.
5.

Hak WNA untuk menghubungi Kedutaan negaranya ketika mereka menjadi

tersangka dalam suatu kasus kejahatan.
6. Hak untuk menghubungi dokter.
7.

Hak untuk didampingi pengacaraketika tersangka ditahan dan untuk

mendampinginya selama proses di pengadilan.
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

8. Hak untuk dikunjungi oleh keluarganya
9. Hak tersangka untuk dikunjungi oleh penasehat spiritualnya.
10. Hak tersangka atau terdakwa untuk mempunyai saksi dalam pembelaan
terhadapnya.
11. Haka tersangka atau terdakwa untuk menuntut gantirugi.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa pengacara/penasehat
hukum sangat dibutuhkan untuk menyertai tersangka atau terdakwa selama pemeriksaan
oleh polisi sampai mereka dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan, tetapi untuk
kasus subversi, pengacara/penasehat hukum tidak dapat menyertai tersangka tetapi hanya
dapat melihat jalannya pemeriksaan.

BAB VI
PENUTUP
Meningkatkan perhatian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan
hukumnya di Indonesia telah membuat tuntutan untuk menegakkan HAM menjadi
sedemikian kuat baik didalam negeri maupun melalui tekanan dunia internasional. Oleh
karena itu diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah, aparat penegak
hukum, dan elit politik agar penegakan hak asasi manusia berjalan sesuai dengan apa
yang dicita-citakan.
Strategi polri dalam menghadapi pelanggaran HAM dapat dinyatakan sebagai
upaya profesionalitas dibidang penbegakan hukum, penegakkan HAM secara latent
merupakan penegakkan hukum yang baik secara sistematis merupakan strategi
penegakan HAM, selain itu pula anggota Polri perlu diberikan pengetahuan tentang hak
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

dan kewajibannya dalam menegakkan hukum sesuai dengan hukum nasional maupun
standar internasional, sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam
melaksanakan tugas kepolisian.
Untuk menanggulangi semakin meningkatnya serta mencegah agar pelanggaran
hak asasi manusia dimasa lalu tidak terulang kembali dimasa sekarang dan masa yang
akan datang merupakan sudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa
sehingga diharapkan dengan berpartisipasinya masyarakat Indonesia akan mendorong
suasana yang kondusif dan akomodatif terhadap penegakan HAM.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

DAFTAR PUSTAKA

1. A HAMZAH, DR. SH., Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Cetakan
Ke-2, SinarGrafika Offset, 1995.
2.

BALDWIN, R, KINSEY, R, 1982. Police Power and Politics, Namara Group

27/29 Goodge Street, London WIP-IFD, 380, pp. 172.
3. BARDA NAWAWI ARIEF, Prof, DR, SH., Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Cetakan Ke-1, PT. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 1996.
4.

BAYLEY, D.H., 1994. Police for Future, Oxford University Press Inc, New

York, 297, pp.112
5. BINKUM POLDA JATENG, 2003. Data Pelanggaran Disiplin Anggota POlda
Tahun 2001-2003
6. HURST HANUM, Guide to International Human Right Practice, Cetakan Ke-II,
University of Pennsylvania Press, 1994.
7.

HUTAJULU, P.H. 1999. Police and Human Rights on Crime CodePenal, CV.

Sibaya, Surabaya, pp. 24-25.
8.

KELANA, M, 2002, To Understand Indonesian National Police, PTIK-Press,

Jakarta, pp. 111-113.
9.

KOESPARMONO I, 2002, Human Rights and Law, PTIK-Press, Jakarta, pp.

194-197.
10. KOMAR KANTAATMADJA, Prof, DR SH, LLM (ALM)., Beberapa Pemikiran
Memasuki Abad XXII, Angkasa Bandung, 1998.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

11. MARBUN, B.H. Gaktama, C, 2000. Human Rights, a Good Arrange of State
Nation, National Human Right Committee, Jakarta, 98, pp. 141.
12. MOELJATNO, 2001. Crime Code Penal, Bumi Nsabtara, Jakarta, pp. 136.
13. MR. R. TRESNA, Komentar Hir, Cetakan ke-15, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1996.
14. PAUL DE JONG, 1986. Het Blauwe Recht-Op weg Naar een beroepscode van
de politie, Koninklijke Vermande BV-1986, 175.
15. PAUL HOFFMAN, PROF, Kumpulan Diktat Kuliah “The New Due Process”,
oxford university, 1998.
16. PETER BACHR, PIETER VANDIJK, ADNAN BUYUNG NASUTION, LEO
ZWAAK, Instrument Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.
17. PETER R. BACHR, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri,
Cetakan ke-1, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998.
18. PETER DAVIES, Hak-Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1, Cetakan ke-1,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
19. RAMLI ATMASASMITA, Hukum Pidana Internasional, Cetakan ke-1, PT.
Ersesco Bandung, 1995.
20. RALH STEINHARD, PROF, Kumpulan Diktat Kuliah “Human Right
Lawyering”, Oxford University, 1998.
21. SAURYAL, S.S, 1999. Ethics In Criminal Justice, Sam Houston State
University, 633.
22. SITOMPUL, D.P.M, 1999. Hukum Kepolisian Indonesia, CV. Tarsito, Bandung,
156, pp. 111-120.
Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559

23. SITOMPUL, D.P.M, 2000. Beberapa Tugas Dan Peranan Polri, CV. Wanthy
Jaya, Jakarta, 163, pp.137-148.
24. THE ROME CONVENTION STATUTA FOR THE INTERNATIONAL
CRIMINAL COURT.
25. THOMAS BURGENTHAL, International Human Rights Law, Cetakan ke-III,
Wet Publishing, Co, 1995.

Dimuat pada Dignitas” Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume VII No. 1 Tahun 2011, ISSN
1693-3559