Praktek Money Laundering Dalam Hubungannya Dengan Sistem Perbankan Online(Studi Pada PT Bank Sumut)

BAB II
BENTUK-BENTUK PRAKTEK MONEY LAUNDERING
DALAM SISTEM PERBANKAN ONLINE

A. Money Laundering
1. Sejarah Money Laundering
Masalah pencucian uang atau money laundering sebenarnya telah lama
dikenal, yaitu semenjak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan
perusahaan laundry (pencucian pakaian). Perusahaan ini dibeli oleh para mafia dan
kriminal di Amerika Serikat dengan dana yang mereka peroleh dari kejahatannya.
Selanjutnya perusahaan laundry ini mereka pergunakan untuk menyembunyikan uang
yang mereka hasilkan dari hasil kejahatan gfdan transaksi ilegal sehingga tampak
seolah-olah berasal dari sumber yang halal. 43
Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari
usaha kejahatannya dengan memakai si genius Meyer Lansky, orang Polandia.
Lansky, seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu
(laundry). Demikianlah asal muasal muncul nama money laundering. 44
Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930
di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi
sebagai salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian
43


N.H.T Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, cet.1, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002, hal.6
44
J.E Sahetapy, Bisnis Uang Haram, www.khn.go.id diakses hari Kamis tanggal 2 Agustus
2012, jam 15.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

pakaian atau disebut laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha
pencucian pakaian ini berkemabang maju dan berbagai perolehan uang hasil
kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian
pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian, dan hasil usaha
pelacuran.
Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang
mencapai miliaran rupiah. Karenanya kemudian muncul istilah “narco dollar”, yang
berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik. 45
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan,
dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang

disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen lalu lintas
keuangan yangdapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul
suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau
bergerak melampaui batas yuridiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank
yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana
hasil kejahatan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai
sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau
bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat
ketat.

45

A.S Mamoedin, Analisis Kejahatan Perbankan, Cetakan Pertama, Jakarta: Rafflesia, 1997,
hal.291-292

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan statistik IMF

46


hasil kejahatan yang dicuci melalui bank

diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US $1.500 miliar per tahun. Sementara
itu, menurut Associated Press kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius,
prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan
untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini
mampu menyerap nilai US$600 miliar per tahun. Ini berarti sama dengan 5% GDP
seluruh dunia.
Namun

menurut

Michael

Camdessus

(Managing

Director


IMF),

memperkirakan volume dari cross-border money laundering adalah antara 2%
sampai dengan 5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Bahkan batas
terbawah dari kisaran tersebut, yaitu jumlah yang dihasilkan dari kegiatan narcotics
trafficking, arm trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan
yang sejenis dengan kejahatan tersebut, dicuci di seluruh dunia setiap tahun mencapai
jumlah hampir US$ 600 milyar. 47
Selain itu menurut Financial Action Task Force (FATF), perkiraan atas
jumlah uang yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap
narkoba (illicit drug trade) berkisar US$ 300 miliar dan US$ 500 miliar. 48
Besarnya pasar perdagangan gelap di Kanada diperkirakan antara $7 miliar
sampai dengan $10 miliar. Menurut para ahli bahwa antara 50%-70% dari hasil
46

Yunus Husein, Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita, dalam
Perkembangan Perbankan”, Mei-Juni 2001, hal.31-40
47
US Govenment, Secretary of The Treasury dan Attorney General, The National Money

Laundering Strategy 2000, March 2000, hal.6-7
48
Ibid, hal.4

Universitas Sumatera Utara

penjualan narkoba tersedia untuk dicuci dan kemudian diinvestasikan. Apabila
diasumsikan bahwa 50%-70% uang yang dicuci di Kanada berasal dari perdagangan
gelap narkoba, jumlah uang haram (illicit funds) yang dicuci di Kanada setiap tahun
adalah antara $5 miliar dan $ 14 miliar. 49
Berkenaan dengan sejarah istilah money laundering, Jeffry Robinson
mengemukakan sebagai berikut :
“The lifeblood of drug dealers, fraudsters, smugglers, kidnappers, arms
dealers, terrorist, extortionist, and tax evaders, myth has it that the term was
coined by Al Capone, who, like his arc rival George ‘Bugs’ Moran, used a
string of coin operated Laundromats scatted around Chicago to disguise his
revenue from gambling, prostitution, racketeering and violation of the
Prohibition laws. “ 50

2. Pengertian Money Laundering

Pengertian money laundering telah banyak dikemukakan oleh para ahli
hukum. Menurut Welling, money laundering adalah :
“Money laundering is the process by which one counceals the existence,
illegal source, or illegal application of income, and than disguises that
income to make it appear legitimate.” 51
Sedangkan Fraser mengemukakan bahwa :
“ Money laundering is quite simple the process through with ‘dirty’ money
proceed of crime, is washed through ‘clean’ or legitimate sources and
interprises so that the ‘bad guys’ may more safe enjoy their ill gotten gains“ 52

49

Ibid
Jeffry Robinson, The Laundryman. Simon&Schuster, 1994. Hal.3
51
Sarah N.Welling, “Smurfs, Money Laundering and the United States Criminal Federal Law”
Dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss, The Money Trail (Confiscation of Proceed of Crime.
Money Laundering and Cash Transaction Reporting), Sydney: The Law Book Company Limited, 1992,
hal.201
50


Universitas Sumatera Utara

Pamela H.Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime : Casesand
Materials, defenisi money laundering diberikan pengertian sebagai berikut :
“Money Laundering is the concealment of the existence, nature of illegal
source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if
discovered” 53
Demikian juga dengan yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary,
54

money laundering diartikan sebagai berikut :
“Term used to describe investment or other transfer of money flowing from
racekteering, drug transactions, adn either illegal sources into legitimate
channels so that its original source can not be traced.”

Dari beberapa defenisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud pencucian
uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap
uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud

menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama
memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga
apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu, maka keuangan
itu telah berubah menjadi uang sah.

52

David Fraser, Lawyer, Guns and Money, Economics and Ideology on The Money Trail, dalam
op.cit.,Brent Fisse, David Fraser and Graeme Coss, hal.66
53
Pamela H.Bucy, White Collar Crime : Case and Materials, St.Paul Minn: West Publishing
Co.,1992, hal.128
54
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St.Paul Minn : West Publishing
Co.,1991, hal 611

Universitas Sumatera Utara

Pengertian pencucian uang yang termuat dalam The United Nation

Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of
1988 (Konvensi PBB) disahkan pada tanggal 19 Desember 1988 di Vienna, yang
kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1997 pada
tanggal 31 Desember 1997. Secara lengkap pengertian money laundering tersebut
adalah :
“The convertion of transfer of property, knowing that such property is derived
from any serious (indictable) offence of offences, or from act of participation
in such offence of offences, for the purpose of concealing or disguising the
illicit of the property or of assisting any person who is involved in the
commission of such an offence of offences to evade the legal consequences of
his action; or the concealment or disguise of the true nature, source, location,
disposition, movement, rights with respect to or ownership of property,
knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence of
offences of from an act participation in such an offence or offences”.

Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan,
memindahkan,dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi
kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering atau pencucian uang
pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat

dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang legal.
Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang
melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber
yang sah/legal.

Universitas Sumatera Utara

Money Laundering atau pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang
haram

yaitu

uang

yang

berasal

dari


kejahatan,

dengan

maksud

untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau
otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara
terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system)
sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai
uang halal. 55

3. Proses Money Laundering
Secara sederhana terdapat 3 (tiga) tahap dalam proses money laundering,
yaitu placement, layering dan integration. 56
Placement merupakan upaya menempatkan atau memasukkan dana atau
instrumen keuangan lainnya yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan pada
sistem keuangan yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini terdapat
pergerakan fisik dari uang tunai atau surat berharga, misalnya melalui penyelundupan
uang tunai atau instrumen keuangan dari suatu negara ke negara lain,
menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang
diperoleh dari hasil kegaitan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai atau

55

http://www.interpol.go.id/en/transnational-crime/money-laundering/97-kerugiannegara-akibat-pencucian-uang diakses tanggal 20 Nopember 2012 pukul 10.15 WIB
56
http://budi399.wordpress.com/2010/05/08/tindak-pidana-pencucian-uang-money
laundering/ diakses hari Kamis, tanggal 2 Agustus, jam 15.00

Universitas Sumatera Utara

instrumen keuangan dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan
di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau ditukarkan ke dalam valuta asing.
Inilah tahap yang paling rawan dari proses pencucian uang, karena proses inilah yang
paling mudah dideteksi.
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku
tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement
diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan
menggunakan Laporan Transaksi yang Mencurigakan (Suspicious Transaction
Report atau STR). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Laporan transaksi
tunai yang diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang berjumlah
kumulatif sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih, baik dalam
rupiah maupun valuta asing. Suatu jumlah yang dianggap oleh sementara orang
sebagai jumlah yang terlalu besar.
Proses placement ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang
membawa uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia
sejumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau lebih baik dalam rupiah maupun
valuta asing untuk melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian
Direktorat Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK.

Universitas Sumatera Utara

Layering diartikan sebagai kegiatan memindah-mindahkan hasil kejahatan
dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya
dapat dikaburkan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui
serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui
sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan
sebanyak

mungkin

rekening-rekening

perusahaan-perusahaan

fiktif

dengan

memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak
kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang.
Proses layering ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan yang
mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR) seperti diatur dalam Pasal
13 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
No.10 Tahun 2008. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank
sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan
transaksi keuangan yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil
dan karakteristik nasabah serta kebiasaan nasabah termasuk transaksi yang patut
diduga dilakukan dengan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
No.8 Tahun 2010).
Integration yaitu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci
kemudian diinvestasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak

Universitas Sumatera Utara

berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi
sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan
kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses
integration ini dideteksi dengan CTR atau STR.
Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut laporan yang disampaikan
oleh penyedia jasa keuangan sangat penting untuk digunakan sebagai upaya
melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia jasa keuangan yang
dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda
paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Denda pidana ini sudah tentu diputuskan
melalui proses pengadilan. Pasal 8 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010 menjelaskan bahwa selain itu,
apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, misalnya penyedia
jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu per tiga. Korporasi tersebut dapat
juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau
pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Pasal 5 Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010
menjelaskan untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat,
karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta mengingat
begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian.

Universitas Sumatera Utara

4. Modus Money Laundering 57
a. Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah
transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
b. Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecahmecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.
c. U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan
memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening
asalnya.
d. Cuckoo Smurfing, upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan
mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga
yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa
dana yang diterimanya tersebut merupakan “proceed of crime”.
e. Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status
kepemilikan dari aset/barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa
terdeteksi oleh sistem keuangan.
f. Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau
instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan.
g. Underground Banking/Alternative Remittance Services, yaitu kegiatan
pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar
kepercayaan.
h. Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya
identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak
pidana.
i. Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari
hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujua untuk mengaburkan sumber asal
dananya.
j. Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan
menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya
identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan 58
Apabila tidak diperoleh penjelasan yang memuaskan maka transaksitransaksi di bawah ini harus dipandang sebagai transaksi keuangan mencurigakan :
57

Pedoman Standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme bagi Bank Umum berdasarkan Surat Edaran No.11/31/DPNP
58
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, BooksTerrace & Library,
Bandung:2008.

Universitas Sumatera Utara

(a) Setoran tunai yang cukup besar dalam satu transaksi atau kumpulan dari
transaksi, khususnya apabila :
- transaksi dari kegiatan usaha yang biasa dilakukan oleh nasabah tidak tunai
tetapi dalam bentuk lain seperti cek, bank draft, letter of credit, bills of
exchange atau instrument lain.
- setoran ke dalam suatu rekening semata-mata agar nasabah dapat melakukan
transaksi bank draft, transfer atau instrument pasar uang yang dapat
diperjualbelikan.
(b) nasabah atau kuasanya berupaya menghindari untuk berhubungan secara
langsung dengan PJK.
(c) penggunaan nominee accounts, trustee accounts dan client accounts yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan dan tidak konsisten dengan kegiatan usaha
nasabah.
(d) penggunaan banyak rekening dengan alasan yang tidak jelas.
(e) penyetoran dalam nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi, dan
kemudian dilakukan penarikan secara sekaligus.
(f) sering melakukan pemindahan dana antar rekening pada Negara/wilayah yang
berbeda.
(g) adanya jumlah yang hamper sama antara dana yang ditarik dengan yang disetor
secara tunai pada hari yang sama atau hari sebelumnya.
(h) penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang tidak aktif.

Universitas Sumatera Utara

(i) penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang baru menerima dana
yang tidak diduga dan tidak biasa dari luar negeri.
(j) nasabah yang memperlihatkan kehati-hatian yang berlebihan terutama terhadap
kerahasiaan identitas atau kegiatan usahanya, atau nasabah yang menundanunda untuk memberikan informasi dan dokumen pendukung mengenai
identitasnya.
(k) nasabah yang berasal dari atau yang mempunyai rekening di Negara yang
dikenal sebagai tempat pencucian uang atau Negara yang kerahasaiaan
banknya sangat ketat.
(l) adanya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat
tinggi dan secara tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong
tidak aktif.
(m)pembayaran atas pembelian saham yang dilakukan melalui transfer dari
rekening atas nama pihak lain.

6. Faktor Pendukung Maraknya Pencucian Uang
Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah tercapai memang telah
mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan teknologi di satu pihak telah
membawa banyak dampak positif bagi pembangunan, namun di lain pihak kemajuan
yang telah tercapai juga mengakibatkan munculnya berbagai masalah dan akibat
negatif yang merugikan. Kemajuan justru seringkali menjadi lahan yang “subur” bagi
berkembangnya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih atau white collar crime.

Universitas Sumatera Utara

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,, terutama di bidang
komunikasi, permesinan, dan transportasi mempunyai dampak pada modus operandi
suatu kejahatan.
Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi
oleh

perkembangan

teknologi,

sehingga

semakin

sukar

pengungkapannya.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau
seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi
kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status
sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar.
Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya,
seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan
pribadi atau kelompoknya saja. Modus kejahatan inilah yang dikenal dengan
kejahatan kerah putih atau white collar crime.
Dewasa ini, kejahatan kerah putih sudah mencapai taraf

yang sangat

membahayakan. Kejahatan yang dilakukan pun sudah tidak lagi mengenal batas-batas
negara (transnasional). Bentuk kejahatannya pun semakin canggih dan sangat
terorganisasi sehingga sangat sulit dideteksi oleh para penegak hukum. Para pelaku
kejahatan ini selalu berusaha untuk menyelamatkan uang hasil kejahatannya dengan
berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui pencucian uang. Salah satu sasaran
pokok pencucian uang ini adalah dengan melalui industri keuangan, khususnya
perbankan.

Universitas Sumatera Utara

Industri perbankan

merupakan sarana efektif untuk dijadikan sumber

pencucian uang dan juga sebagai mata rantai nasional dan internasional dalam proses
pencucian uang.

59

Hal ini disebabkan sarana perbankan cukup banyak menwarkan

jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul suatu dana. Keadaan demikian ada yang memang telah
dikondisikan oleh undang-undang suatu negara, seperti halnya yang dianut Swiss,
Austria, Karibia, negara-negara Amerika Latin dan neegara-negara Asia Timur
dengan perbankan yang berskala internasional.
Praktek pencucian uang adalah merupakan salah satu kejahatan yang cepat
berkembang, hal ini dikarenakan begitu banyaknya faktor-faktor yang menjadi
pendorong maraknya perkemabngan kegiatan pencucian uang di berbagai negara.
Prof.Dr.St.Remy Sjahdeini, SH mengungkapkan sedikitnya ada 9 faktor pendorong,
yaitu : 60
a. Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini terjadinya globalisasi
memang mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat memanfaatkan
sistem financial dan perbankan internasional untuk melakukan kegiatannya.
b. Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi. Perkembangan
teknologi ini mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling mendorong
berkembangnya pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi seperti
internet misalnya, dapat memgakibatkan hilangnya batas-batas antar negara.
c. Faktor ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan ini
mengakibatkan kesulitan bagi pihak berwenang untuk menyelidiki suatu
rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara yang ilegal.
d. Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di suatu
negara untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank dengan nama
samaran atau tanpa nama atau anonim.
59

N.H.T Siahaan, op.cit., hal 21
Sutan Remy Sjahdeini, “Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-faktor Penyebab dan
Dampaknya Bagi Masyarakat, “Jurnal Hukum Bisnis (Volume 22. No.3 Tahun 2003”) hal.12-16
60

Universitas Sumatera Utara

e. Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu electronic money atau
e-money, yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian yang dilakukan melalui
jaringan internet ini biasa disebut sebagai cyber-laundering.
f. Faktor keenam adalah karena dimungkinanya praktek pencucian uang dengan
cara yang disebut layering atau pelapisan. Dengan cara ini, pihak yang
menyimpan dana di bank bukanlah pemilik sesungguhnya dari dana itu.
deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah
dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di
sebuah bank.
g. Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan
kerahasiaan hubungan antara lawyer dengan kliennya, dan antara akuntan
dengan kliennya.
h. Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah yang bersangkutan
tidak bersungguh-sungguh untuk meberantas praktek pencucian uang yang
dilakukan melalui sistem perbankan negara tersebut.
i. Faktor kesembilan adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan
pencucian uang di sebuah negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan
tidak memiliki undang-undang tentang pencucian uang yang menentukan
perbuatan pencucian sebagai tindak pidana.

7. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Perlunya kebijakan formulasi perundang-undangan yang baru di bidang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dilatarbelakangi oleh
adanya kebutuhan di dalam negeri, yaitu untuk meningkatkan efektifitas penegakan
hukum, khususnya penegakan hukum pidana pencucian uang melalui pendekatan anti
pencucian uang (anti money laundering strategy). Pengungkapan tindak pidana dan
pelakunya dilakukan melalui penelusuran transaksi keuangan atau aliran dana (follow
the money). Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru juga
diperlukan guna menyesuaikan dengan standar internasional serta memenuhi
kewajiban Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai
Anti Korupsi Tahun 2003, dengan lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 2006 dan

Universitas Sumatera Utara

Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi, dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 2009. 61
Penelusuran transaksi keuangan atau aliran dana merupakan cara yang paling
mudah untuk memastikan terjadinya kejahatan, menemukan pelakunya dan tempat
dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas
dari pemikiran dan keyakinan bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan
life-blood of the crime. Artinya, hasil kejahatan merupakan “darah” yang menghidupi
tindak kejahatan itu sendiri sekaligus merupakan titik terlemah dari mata rantai
kejahatan.
Upaya memotong mata rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan dan
juga akan menghilangkan motivasi para pelaku untuk mengulangi kejahatan.
Motivasi hilang karena pelaku terhalang dan sulit untuk menikmati hasil
kejahatannya. Pelaku tidak lagi memiliki kemampuan untuk melanjutkan kegiatannya
karena modalnya telah disita dan dirampas untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dengan pendekatan follow the money ini, selain dapat menelusuri dan
menyelamatkan aset hasil kejahatan untuk kepentingan negara, dalam beberapa
kasus, aliran dana yang berhubungan dengan suatu transaksi keuangan dapat pula
menghubungkan suatu kejahatan dengan pelaku utamanya (intellectual dader),

61

http://www.fkdkp.org/index.php?option=com_content&view=article&id=29:uu-no-82010mempertegas-peran-perbankan&catid=7:flash-news . Tulisan ini bersumber dari Sambutan Kepala
PPATK, Yunus Husein, saat membuka Pelatihan yang diselenggarakan FKDKP di Jakarta, tanggal 8
Desember 2010 diakses hari Kamis, tanggal 2 Agustus 2012, jam 16.00 wib

Universitas Sumatera Utara

dimana dengan pendekatan konvensional (follow the suspect) hal tersebut sulit untuk
dilakukan.
Pengesahan Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan respon serta langkah yang
progresif terhadap perkembangan tindak pidana pencucian uang yang semakin rumit
dan canggih (complicated and sophiscated). Sasaran dari pembentukan UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun
2010 adalah untuk menjaga stabilitas dan integritas sistem keuangan nasional,
mencegah dan memberantas kejahatan yang melibatkan harta kekayaan yang sangat
besar, meningkatkan koordinasi di antara penegak hukum dalam menangani perkara
tindak pidana, khususnya tindak pidana pencucian uang, serta memenuhi dan
mengikuti standar internasional sebagaimana tercermin dalam Revised 40+9 FATF
Recommendations dan ketentuan dalam anti-money laundering regime yang berlaku
secara internasional (international best practices).
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang No.8 Tahun 2010 mengandung beberapa norma hukum yang lebih baik dan
maju dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.15
Tahun 2002 jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003. Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 2010 diyakini akan menjadikan penegakan hukum di
bidang tindak pidana pencucian uang lebih efektif.

Universitas Sumatera Utara

Substansi Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan industri
perbankan meliputi :
a. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa atau Customer Due
Diligence

atau

CDD

(Pasal

18

Undang-Undang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Dalam Undang-Undang
ditentukan, bahwa ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenali
pengguna jasa dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur, namun
dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, maka ketentuan
mengenai prinsip mengenali pengguna jasa dan pengawasannya diatur dan
dilakukan oleh PPATK.
b. Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib memutuskan hubungan usaha dengan
pengguna jasa (Pasal 22 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010), jika pengguna jasa
menolak untuk mematuhi prinsip mengenali pengguna jasa, atau PJK
meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh pengguna jasa.
Pemutusan hubungan usaha tersebut wajib dilaporkan kepada PPATK sebagai
Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM).
c. Perluasan pelaporan oleh PJK (Pasal 23 Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010), dimana
selain pelaporan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan

Universitas Sumatera Utara

Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), PJK juga wajib melaporkan
transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
d. Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh pihak pelapor dikecualikan dari
ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi pihak pelapor yang bersangkutan
(Pasal 28 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang No.8 Tahun 2010).
e. Pemberian kewenangan kepada PJK untuk menunda transaksi, paling lama 5
(lima) hari kerja (Pasal 26 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010), karena pengguna jasa
melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan harta kekayaan yang
berasal dari hasil tindak pidana, memiliki rekening untuk menampung Harta
Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, atau diketahui dan/atau patut
diduga menggunakan dokumen palsu.
f. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan (Pasal 31 s/d 33 Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun
2010), dimana pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi pihak
pelapor dilakukan oleh lembaga pengawas dan pengatur dan/atau PPATK.
Namun dalam hal pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan tidak
dilakukan atau belum terdapat lembaga pengawas dan pengatur, pengawasan
kepatuhan atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK. Dalam hal
diperlukan, PPATK akan melakukan audit khusus kepada setiap pihak pelapor
termasuk industri perbankan sesuai kewenangan berdasarkan Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun
2010.
g. Ketentuan anti tipping off, dimana diatur bahwa direksi, komisaris, pengurus
atau pegawai pihak pelapor serta pejabat, pegawai PPATK, atau lembaga
pengawas dan pengatur dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau
pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, mengenai LTKM.
Namun demikian, ketentuan mengenai larangan tersebut tidak berlaku untuk
pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur (Pasal 12 ayat
(2) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang No.8 Tahun 2010).
h. Lembaga pengawas dan pengatur dapat meminta LTKM kepada pihak pelapor
sebelum berlakunya Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010 sepanjang berkaitan dengan
pengawasan kepatuhan terhadap kewajiban pelaporan berdasarkan UndangUndang yang baru ini.
i. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi administratif (Pasal 30 UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8
Tahun 2010). Apabila pihak pelapor tidak menyampaikan laporan ke PPATK,
dikenakan sanksi administratif yang berupa peringatan, teguran tertulis,
pengumuman kepada publik, dan/atau denda administrasi.

Universitas Sumatera Utara

j. Perlindungan bagi pihak pelapor, meliputi :
1) Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, pihak pelapor, pejabat
dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana,
atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Pasal 29 Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8
Tahun 2010.
2) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian
uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk
keluarganya (Pasal 84 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010).
k. Penegak hukum dan PPATK wajib merahasiakan nama atau alamat atau hal
lain yang memungkinkan terungkapnya identitas pihak pelapor dalam proses
peradilan pidana TPPU (Pasal 85 Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010).

Sebagai bentuk implementasi asas legalitas maka dibentuklah UndangUndang yang mengatur mengenai tindak pidana pencucian uang yaitu UndangUndang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selanjutnya demi pemenuhan kepentingan nasional serta penyesuaian standar aturan

Universitas Sumatera Utara

internasional disusunlah Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti atas aturan tindak
pidana pencucian uang yang sama.
Bolmer

Hutasoit

mengemukakan

dalam

tulisannya

bahwa

terdapat

perbandingan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UndangUndang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan UndangUndang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, dapat terlihat seperti pada tabel berikut :

62

Tabel 1
Perbandingan Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang jo. Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan

Undang-Undang

No.8

Tahun

2010

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
62

http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2012/06/27/analisis-perbandingan-uu-tindakpidana-pencucian-uang/ diakses hari Jumat tanggal 3 Agustus 2012 jam 10.00 WIB

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang No.15 Tahun 2002

No.

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang No.8 Tahun

jo.UU No.25 Tahun 2003 tentang

2010 tentang Pencegahan dan

Perubahan atas Undang-Undang No.15

Pemberantasan Tindak

Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pidana Pencucian Uang

Pencucian Uang
1.

Ketentuan Umum



Adanya penambahan defenisi dan perluasan makna
Contohnya :

Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang Pengertian

Tindak

Pidana

Pasal 1 angka 1 bahwa : “Pencucian Uang Pencucian Uang Pasal 1 angka 1
adalah

perbuatan

menempatkan, bahwa “Pencucian Uang adalah

mentransfer,

membayarkan, segala

perbuatan

yang

membelanjakan,

menghibahkan, memenuhi unsur-unsur tindak

menyumbangkan, menitipkan, membawa pidana sesuai dengan ketentuan
ke

luar

negeri,

menukarkan,

atau dalam Undang-Undang ini”.

perbuatan lainnya atas harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga

seolah-olah

menjadi

harta

kekayaan yang sah.”
Pengertian

Transaksi

Keuangan

yang Pengertian Transaksi Keuangan

dilakukan secara tunai dalam Pasal 1 Tunai Pasal 1 angka 6 bahwa
angka 8 bahwa “Transaksi Keuangan yang “Transaksi
dilakukan secara tunai adalah transaksi adalah

Keuangan

Transaksi

Tunai

Keuangan

Universitas Sumatera Utara

penarikan, penyetoran atau penitipan yang yang
dilakukan

dengan

uang

instrumen

pembayaran

dilakukan

melalui

dilakukan

tunai

atau menggunakan

lain

yang dan/atau uang logam”.

Penyedia

dengan

uang

kertas

Jasa

Keuangan”.

Pasal 1 angka 5 diatur dalam 3(tiga) Pasal 1 angka 5 yang awalnya
bagian

hanya 3 (tiga) poin dalam
Undang-Undang lama adanya
penambahan tentang transaksi
keuangan yang mencurigakan
bahwa

“Transaksi

Keuangan

oleh Pengguna Jasa yang patut
diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan
Transaksi yang bersangkutan
yang

wajib

dilakukan

oleh

Pihak Pelapor sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.

Pelapor tidak disebutkan secara rinci Pasal 1 angka 11 bahwa “Pihak
hanya sebatas Penyedia Jasa Keuangan pelapor adalah setiap orang
yang melaporkannya ke PPATK.

yang menurut Undang-Undang
ini

wajib

menyampaikan

laporan kepada PPATK “.

Pasal 2 ayat (1) mengenai hasil tindak Pasal 2 ayat (1) Perluasan hasil
pidana

tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

Pasal 2 ayat (2) yaitu “Harta Kekayaan Pasal 2 ayat (2) yaitu “Harta
yang dipergunakan secara langsung atau kekayaan yang diketahui atau
tidak langsung untuk kegiatan terorisme patut diduga akan digunakan
dipersamakan sebagai hasil tindak pidana dan/atau

digunakan

secara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf langsung atau tidak langsung
n”

untuk

kegiatan

terorisme,

organisasi teroris atau teroris
perseorangan
sebagai

hasil

disamakan
tindak

pidana

seperti pada ayat (1) huruf n.”
Pembagian tindak pidana pencucian uang dan besar pidananya disesuaikan
2

dengan subjek dan pidana pencucian keuangan yang dilakukan. Adanya
pidana pokok, pidana tambahan serta pidana pengganti.

Tidak dijelaskan pembagian besar pidana Pasal 3 - 6 untuk orang
untuk orang dan korporasi sesuai dengan Pasal 7 – 9
tindak pidana pencucian keuangan yang
dilakukan

meskipun

dalam

Undang-

Undang No.25 Tahun 2003 sudah ada
perubahan memasukkan korporasi sebagai
subjek hukum.
Pasal 8 -12
3.

Pasal 11 – 16

Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak
tindak pidana

pidana

lain

yang

berkaitan dengan tindak pidana
pencucian uang diperluas

4.

Perluasan dan pidana kewenangan PPATK

Universitas Sumatera Utara

Pasal 25 ayat (1) bahwa “Setiap pihak Pasal 14
tidak boleh melakukan segalam bentuk “Setiap orang yang melakukan
campur tangan terhadap pelaksanaan tugas campur
dan kewenangan PPATK.

tangan

pelaksanaan

terhadap

tugas

kewenangan

dan
PPATK

sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,(lima ratus juta rupiah).

Pasal 26

Pasal 44 ayat (1)

“Dalam melaksanakan fungsinya PPATK “Dalam rangka melaksanakan
mempunyai tugas sebagai berikut :
1.a.

mengumpulkan,

fungsi analisis atau pemeriksaan

menyimpan, laporan

dan

informasi

menganalis, mengevaluasi informasi yang sebagaimana dimaksud dalam
diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Pasal 40 huruf d, PPATK dapat
Undang-Undang ini ;

:

2.b. memantau catatan dalam buku daftar 1.a. meminta dan menerima
pengecualian yang dibuat oleh Penyedia laporan
Jasa Keuangan ;

dan

informasi

dari

Pihak Pelapor ;

3. c. Membuat pedoman mengenai tata 2.b. meminta informasi kepada
cara

pelaporan

Mencurigakan ;

Transaksi

Keuangan instansi atau pihak yang terkait ;
3.c. meminta informasi kepada

4. d. Memberikan nasihat dan bantuan Pihak

Pelapor

kepada instansi yang berwenang tentang pengembangan

berdasarkan
hasil

analisis

Universitas Sumatera Utara

informasi yang diperoleh oleh PPATK PPATK ;
sesuai dengan ketentuan dalam Undang- 4.d. meminta informasi kepada
Pihak

Undang ini ;

Pelapor

5.e. mengeluarkan pedoman dan publikasi permintaan

berdasarkan

dari

instansi

kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang penegak hukum atau mitra kerja
kewajibannya

yang

ditentukan

dalam di luar negeri ;

Undang-Undang ini atau dengan peraturan 5. e. Meneruskan informasi
perundang-undangan lain, dan membantu dan/atau hasil analisis kepada
dalam mendeteksi perilaku nasabah yang instansi peminta, baik di dalam
maupun di luar negeri ;

mencurigakan ;

6.f. memberikan rekomendasi kepada 6. f. Menerima laporan dan/atau
Pemerintah

mengenai

upaya-upaya informasi

dari

masyarakat

pencegahan dan pemberantasan tindak mengenai adanya dugaan tindak
pidana pencucian uang ;

pidana Pencucian Uang ;

7.g. melaporkan hasil analisis transaksi 7.

g.

Meminta

keterangan

keuangan yang berindikasi tindak pidana kepada Pihak Pelapor dan pihak
pencucian uang kepada kepolisian dan lain yang terkait dengan dugaan
kejaksaan ;

tindak pidana Pencucian Uang ;

8. membuat dan memberikan laporan 8. h. Merekomendasikan kepada
mengenai hasil analisis transaksi keuangan instansi

penegak

dan kegiatan lainnya secara berkala 6 mengenai

hukum
pentingnya

(enam) bulan sekali kepada Presiden, melakukan

intersepsi

Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga penyadapan

atas

atau

informasi

yang berwenang melakukan pengawasan elektronik dan/atau dokumen
terhadap Penyedia Jasa Keuangan.”

elektronik

sesuai

dengan

ketentuan peraturan perundangundangan ;
9. i. Meminta penyedia jasa

Universitas Sumatera Utara

keuangan untuk menghentikan
sementara seluruh atau sebagian
transaksi yang diketahui atau
dicurigai

merupakan

hasil

tindak pidana ;
10.

j.

Meminta

informasi

perkembangan penyelidikan dan
penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal dan
tindak pidana Pencucian Uang ;
11. k. Mengadakan kegiatan
administratif lain dalam lingkup
tugas

dan

sesuai

tanggung

dengan

jawab

ketentuan

Undang-Undang ini ; dan
12. meneruskan hasil analisis
atau

pemeriksaan

kepada

penyidik.”

Sumber
:
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2012/06/27/analisisperbandingan-uu-tindak-pidana-pencucian-uang/
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat terdapat perbandingan antara UndangUndang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. UndangUndang No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Undang-Undang No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara
lain :

Universitas Sumatera Utara

1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang
2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif
4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa
5. Perluasan Pihak Pelapor
6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa
lainnya
7. Penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan
8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi
9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap
pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar
daerah pabean
10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik
dugaan tindak pidana Pencucian Uang
11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan
PPATK
12. Penataan kembali kelembagaan PPATK
13. Penambahan

kewenangan

PPATK,

termasuk

kewenangan

untuk

menghentikan sementara Transaksi
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang
15. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak
pidana

Universitas Sumatera Utara

Romli Atmasasmita juga mengemukakan dilema Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang telah mengalami 2 (dua) kali perubahan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang terdapat beberapa ketentuan baru yang perlu mendapat
perhatian para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan kalangan perbankan. 63
Perbedaan pertama adalah titel Undang-Undang. Undang-Undang lama secara
teoretis hukum (doktrin) merupakan lex specialis systematic, yaitu Undang-Undang
administratif (bersifat regulatif) yang diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun
dengan titel baru (Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang), secara teoretis (doktrin) mencerminkan Undang-Undang pidana
khusus (lex specialis) yang bersifat preventive measure dan repressive measures
dalam satu paket. Konsekuensi perubahan ttitel ini adalah Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menempatkan
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai tindak piadna khusus sehingga memerlukan
perhatian, sikap dan tindakan khusus dengan tujuan menghilangkan sumber dan
operasional pencucian uang di Indonesia.
Perbedaan kedua sebagai akibat dari perbedaan pertama, Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No.8 Tahun 2010
telah dengan sangat berani mendelegasikan wewenang publik (bersifat projustitia)
63

http://news.okezone.com/read/2010/11/11/58/392175/dilema-uu-tindak-pidanapencucian-uang diakses hari Jumat tanggal 28 September 2012 jam 11.30 WIB

Universitas Sumatera Utara

kepada sektor privat, yaitu Lembaga Penyedia Jasa Keuangan (LPJK), termasuk
perbankan, untuk melaksanakan “penundaan transaksi” (suspension of transaction)
terhadap seseorang nasabah untuk paling lama 5 (Lima) hari. Perbedaan ketiga,
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
No.8 Tahun 2010 telah memberikan wewenang kepada penyidik tindak pidana asal
(lazimnya penyidik pegawai negeri sipil/PPNS) di bawah koordinasi PPATK untuk
melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan tindak
pidana asalnya (misalnya tindak pidana pabean, imigrasi).
Pemberian wewenang terhadap penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah
tentu akan merepotkan dunia usaha, terutama yang bergerak di bidang ekspor dan
impor, karena mereka akan berhadapan dengan petugas kepabeanan dan perpajakan
selain Polri, Kejaksaan, KPK dan BNN. Perbedaan keempat Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah ketentuan
tentang rahasia bank dalam hal terdapat “transaksi keuangan yang mencurigakan”
dapat dikesampingkan, bahkan sejak proses penyidikan sampai pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Pembukaan rekening bank seseorang yang dicurigai memiliki transaksi
keuangan tersebut merupakan mandatory obligation, tidak dapat ditolak oleh lembaga
penyedia jasa keuangan maupun oleh nasabah yang bersangkutan. Perbedaan kelima,
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
memberikan wewenang kepada PPATK untuk melakukan tindakan penghentian
sementara transaksi selama 5 (lima) hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 15

Universitas Sumatera Utara

(lima belas) hari. Jadi total waktu dimana seseorang (yang dicurigai) tidak dapat
melakukan transaksinya adalah 25 (dua puluh lima) hari. Perbedaan keenam, perintah
pemblokiran rekening tersangka/terdakwa dibatasi lamanya sampai dengan 30 (tiga
puluh) hari sehingga total waktu penundaan, penghentian sementara transaksi sampai
pada pemblokiran adalah 55 (lima puluh lima) hari.
Ketentuan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang tidak jelas membedakan konsekuensi hukum antara tindakan
penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran kecuali hanya
mengatur siapa yang berwenang dan berapa lamanya, sedangkan hal-hal yang
berkaitan dengan prinsip due process of law dan transparansi serta akuntabilitas tidak
diatur secara terperinci sehingga tidak ada due diligence of power terhadap kinerja
lembaga terkait indikasi pencucian uang. Perbedaan ketujuh, Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan
wewenang kepada PPATK untuk meminta keterangan kepada pihak pelapor (LPJK)
dan pihak lain terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketentuan ini mencerminkan perubahan fungsi PPATK dari fungsi
administratif kepada fungsi penegakan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa
lembaga PPATK bukan hanya supporting unit terhadap Polri dan Kejaksaan,
melainkan telah merupakan bagian atau lembaga tersendiri dalam sistem peradilan
pidana (penegakan hukum) di Indonesia. Dari perspektif mikro pencegahan dan