Analisis Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Sempadan Pantai Daerah Pantai Cerita Pandeglang Banten Oleh PT. Mutiara Hitam Pertiwi

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan meningkatnya intensitas
pembangunan di segala bidang, menyebabkan permasalahan dan konflik di bidang
pertanahan juga semakin meningkat. Permasalahan yang paling utama adalah
terbatasnya ketersediaan lahan, terutama di kota-kota besar. Kondisi yang demikian
memberikan alasan bagi para investor untuk merambah wilayah pesisir atau pantai
dan menjadikannya sebagai tempat kegiatan usaha, mengingat selama ini wilayah
pantai belum banyak tersentuh maupun dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan
wilayah pantai tersebut meliputi kegiatan berbasis ekonomi, diantaranya sebagai
lahan industri, rekreasi/wisata, bangunan hotel dan resort, pemukiman, pertanian, dan
sebagainya. Sementara itu, wilayah pantai merupakan kawasan dengan ekosistem
yang khas karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menyangga
kehidupan masyarakat pantai, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan.1
Wilayah pesisir atau pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap
perubahan, baik perubahan alam maupun perubahan akibat ulah manusia. Fenomena
yang terjadi saat ini sungguh sangat memprihatinkan dan membuat hati miris, dimana

eksploitasi wilayah pantai hanya demi kepentingan pemilik modal besar. Sekitar 80%
wilayah pantai telah dikuasai oleh swasta, termasuk pengusaha. Mereka dengan
1

Arika, Yovita dan Triana, Neli. 2002. Ketika Pantura Jateng Terjamah Abrasi.
http://www.kompas.com

1

Universitas Sumatera Utara

2

leluasa mengubah pantai, termasuk mendirikan bangunan di wilayah pantai dengan
cara mereklamasi pantai.2 Selain itu kelestarian lingkungan dan ekosistem pesisir
yang kaya tidak menjadi prioritas utama lagi. Desakan kebutuhan ekonomi telah
menyebabkan wilayah pantai yang seharusnya menjadi wilayah penyangga daratan
menjadi tidak dapat mempertahankan fungsinya sehingga kerusakan lingkungan
pantai pun terjadi. Kondisi ini terjadi di pantai selatan Jabar, dimana keadaannyanya
semakin mengkhawatirkan akibat adanya aktivitas masyarakat setempat serta

eksploitasi sumber daya alam seperti pasir besi.
Pantai-pantai di seluruh wilayah Indonesia mestinya terbuka untuk
kepentingan umum. Namun ketika hotel-hotel, resort, cottage serta pemukiman
mewah semakin menjamur dibangun di sepanjang pantai, maka pantai tidak lagi
menjadi ruang publik dan terbebas dari monopoli pihak bermodal besar. Seperti yang
terjadi di sepanjang pantai Anyer atau pantai-pantai di Bali, bangunan atau properti
yang seharusnya dibangun paling minim berjarak 20 m dari garis batas air pasang,
ternyata berdiri dan berpagar kokoh serta begitu mepet dengan bibir pantai bahkan
sampai menjorok ke laut.
Kondisi tersebut memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan pantai
dan kehidupan nelayan tradisional. Dampak lainnya adalah nelayan kecil atau
tradisional merasa diabaikan hak-haknya, karena adanya bangunan-bangunan tersebut
di sepanjang pantai telah jelas akan menutup akses nelayan kecil atau tradisional
terhadap ruang laut. Mereka akan kesulitan mendapatkan tempat untuk merapatkan
2

Ibid

Universitas Sumatera Utara


3

perahunya. Padahal nelayan tradisional yang merupakan komunitas terbesar
masyarakat pantai yang pada akhirnya akan menjadi komunitas yang paling dirugikan
dalam kasus seperti ini. Disamping itu dampak kerusakan lingkungan pantai dan
pesisir yang cukup parah akan menghilangkan fishing ground dan mempengaruhi
kehidupan nelayan tradisional di daerah tersebut yang akhirnya memerparah
kemiskinan nelayan.
Fenomena banyaknya bangunan-bangunan di sepanjang pantai dan kerusakan
lingkungan pantai serta kepentingan nelayan tradisional yang termarjinalkan harus
segera mendapat perhatian sekaligus penangan serius. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan pantai lebih jauh, diperlukan adanya kawasan sempadan pantai. Daerah
yang disebut sebagai sempadan pantai tersebut harus dijadikan daerah konservasi.
Dalam ketentuan Keppres No. 32 Tahun 1990, diatur perlindungan sempadan pantai
sejauh 100 meter. Peraturan yang telah ada tersebut, hendaknya ditaati,
ditegakkan,dan ditindaklajuti dengan aturan-aturan pelaksana dibawahnya baik di
tingkat pusat maupun daerah.
Seringkali penggunaan istilah ”pantai” dan “pesisir” tidak didefinisikan
dengan jelas dan pasti. Apabila ditinjau secara yuridis tampaknya kedua istilah
tersebut harus diberi pengertian secara jelas. Pemaknaan kembali kedua istilah

tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan keraguan atau ketidakpastian, baik
dalam perumusan suatu peraturan maupun dalam pelaksanaannya. Berikut ini definisi
“pantai dan “pesisir :3

3

Diraputra, Suparman A. 2001. Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.Bogor:
PKSPL IPB.

Universitas Sumatera Utara

4

“Pantai adalah daerah pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan.
Sedangkan garis pantai adalah garis air yang menghubungkan titik-titik
pertemuan antara air pasang tertinggi dengan daratan. Garis pantai akan
terbentuk mengikuti konfigurasi tanah pantai/daratan itu sendiri”.
“Pesisir adalah daerah pertemuan antara pengaruh daratan dan pengaruh
lautan. Ke arah daratan mencakup daerah-daerah tertentu di mana pengaruh

lautan masih terasa (angin laut, suhu, tanaman, burung laut, dsb). Sedangkan
ke arah lautan daerah pesisir dapat mencakup kawasan-kawasan laut dimana
masih terasa atau masih tampak pengaruh dari aktifitas di daratan (misalnya
penampakan bahan pencemar, sedimentasi, dan warna air)”
Dari definisi pantai dan pesisir tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
pesisir mencakup kawasan yang lebih luas dari pengertian pantai. Dalam konteks ini
dapat pula dibedakan antara „tanah pantai” dan “tanah pesisir”. Berikut ini definisi
“tanah pantai” dan “tanah pesisir”. Tanah pantai adalah tanah yang berada antara
garis air surut terendah dan garis air pasang tertinggi, termasuk ke dalamnya bagianbagian daratan mulai dari garis air pasang tertinggi sampai jarak tertentu ke arah
daratan, yang disebut sebagai „sempadan pantai.
Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang
Pengelolaan, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan
bagi pengamanan dan pelestarian pantai. Kawasan sempadan pantai berfungsi untuk
mencegah terjadinya abrasi pantai dan melindungi pantai dari kegiatan yang dapat
mengganggu/merusak fungsi dan kelestarian kawasan pantai. Daerah sempadan
pantai hanya diperbolehkan untuk tanaman yang berfungsi sebagai pelindung dan
pengaman pantai, penggunaan fasilitas umum yang tidak merubah fungsi lahan
sebagai pengaman dan pelestarian pantai sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


5

1) Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah
pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.
2) Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari
titik pasang tertinggi kearah darat.
Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang
disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk :
a) keperluan negara;
b) keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya;
c) keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan
lain-lain kesejahteraan;
d) keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu; dan
e) keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
Kawasan/garis pantai tersebut berdasarkan data yang ada, untuk seluruh

wilayah ndonesia mencapai 81.800 km dan termasuk salah satu garis pantai yang
paling panjang di dunia.4
Kawasan pantai tersebut menurut Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebut sebagai sisi darat dari garis laut terendah
dan merupakan bagian dari ruang daratan.

4

Andik Hardiyanto, Pembaruan Agraria di Sektor Perairan dalam Tim Lapera, Prinsipprinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, (Yogyakarta : Lapera Pustaka
Utama, 2001), hal. 277.

Universitas Sumatera Utara

6

Kawasan sepanjang pantai merupakan kawasan penting dalam penguasaan
dan penggunaan tanahnya karena selain dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan
kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan,
perikanan/tambak, industri dan pertambangan, sumber energi, tempat penelitian dan
percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih

tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan
atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan.
Sedang di sisi lain, kawasan pantai juga tidak tertutup kemungkinan ada yang
hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena longsor
atau karena pengerukan laut, tertimbun atau gempa bumi (tsunami) atau sebaliknya
dapat saja bertambah luas karena munculnya tanah timbul akibat gelombang laut,
selain itu, kawasan pantai juga dapat ditimbun (reklamasi) untuk kepentingan
tertentu.
Bahkan belakangan muncul kecendrungan "pengkaplingan" kawasan pantai
oleh masyarakat nelayan kampung, juga pengkaplingan untuk proyek perumahan di
kawasan pantai, proyek pengembangan energi (PLTGU, misalnya), sehingga
mengakibatkan rusaknya ekosistem pantai seperti habisnya hutan mangrove.5
Mengingat urgennya fungsi dan manfaat kawasan pantai yang sebagian dapat
dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia
namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem
sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka
5

Andik Hardiyanto, Ibid , hal.. 282.


Universitas Sumatera Utara

7

berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, ditentukan bahwa kawasan
sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan perlindungan
setempat.6
Pada Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dinyatakan bahwa
perlindungan sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari
kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai. Semula oleh UUPA tidak ada
diatur mengenai sempadan pantai tersebut apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah,
selanjutnya berdasarkan Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas sebidang tanah yang
seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri
dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni
1997, antara lain dinyatakan bahwa permohonan hak atas tanah yang seluruhnya

merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan
6

Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan
lindung/kawasan perlindungan setempat.

Universitas Sumatera Utara

8

bahwa permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan
dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan
selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan
kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.
Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pentagunaan Tanah yang menyebutkan

bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya
dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan, dengan catatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus
sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh
mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.
Bahkan secara khusus dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2004 diatur bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan
bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan
waduk dan atau sempadan sungai harus memperhatikan :
a) kepentingan umum dan;
b) keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan
ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.
Dalam hal ini penguasaan atas tanah menjadi faktor penting untuk dapat
memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut
ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah tersebut. A.P

Universitas Sumatera Utara

9

Parlindungan menyatakan, “dikuasai” dan “dipergunakan” harus dibedakan, dalam
arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan daripada dikuasai dan kedua kata tersebut
tidak ada sangkutpautnya dalam hubungan sebab akibat.7
Sekalipun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai,
namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yangdianut oleh Pemerintah
melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat,
dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya
maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya.
Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara
perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah. Perselisihan
mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena
pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.8
Dalam

kaitan

ini,

peraturan

perundang-undangan

memandang

diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada kawasan pantai asal disesuaikan
penggunaannya dengan fungsi kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sedang
masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan
penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.
Kemudian perkembangan terakhir, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang

7

AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Penataan Ruang Bandung : Mandar
Maju, 1993, hal. 42
8
BF. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta :
Toko Gunung Agung, 2005, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

10

diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007. Pengaturan tentang pengelolaan wilayah
pesisir tersebut tentunya menyangkut wilayah pantai. Hal ini perlu ditelusuri
ketentuan yang mengatur tentang obyek pantai dalam Undang Undang Nomor 27
Tahun 2007, sebab bisa jadi pengaturan atas obyek pantai berlainan antara satu
peraturan

perundangan

menimbulkan

konflik

dengan

peraturan

kepentingan

terutama

perundangan

lainnya,

konflik antara

sehingga

lembaga

yang

menanganinya.
Hal ini dapat dimengerti karena dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 juga diatur adanya perizinan dengan bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3) yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), sementara
dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dapat juga diberikan hak atas tanah
oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional.
Wilayah pantai dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai
kepentingan, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat dalam rangka
memanfaatkan wilayah pantai dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam kaitan ini, pemanfaatan sumber daya pantai dan ekosistemnya melalui
peraturan

perundang-undangan

memiliki

kedudukan

penting

dalam

upaya

memperkecil, mencegah, atau bahkan menghindarkan terjadinya tumpang-tindih
kewenangan dan benturan kepentingan.
Perlu diingat bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pantai bersifat
lintas sektoral karena sektor kelautan melingkupi kewenangan beberapa institusi
negara yang memiliki bidang kerja yang berkaitan dengan laut, misalnya

Universitas Sumatera Utara

11

perhubungan, pariwisata dan budaya, energi dan sumber daya mineral,serta kelautan
dan perikanan. Problemnya, institusi-institusi tersebut tidak memiliki platform dan
arah kebijakan pembangunan yang sejalan dalam bidang kelautan. Masing-masing
institusi negara berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang jelas. Seperti yang
terjadi di

kawasan

wisata Bunaken,

tidak hanya

Pemda terlibat dalam

pengelolaannya, melainkan juga melibatkan sejumlah instansi terkait seperti, Badan
Pengelola Kawasan Bunaken di Pemda Sulut, Dinas Pariwisata Sulut, Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (SBKSDA) dan Dinas Kehutanan Sulut.
Tinjauan yuridis sempadan pantai mencakup pula status kepemilikan kawasan
dalam sempadan pantai dan peraturan perundangan yang memuat ketentuan lebar
kawasan sempadan pantai dihitung dari garis pantai. Dari beberapa definisi sempadan
pantai yang telah dikemukan di atas, dapat disimpulkan bahwa kawasan sempadan
pantai

merupakan

kawasan

yang

dikuasai

oleh

Negara

yang

dilindungi

keberadaannya karena berfungsi sebagai pelindung kelestarian lingkungan pantai.
Dengan demikian kawasan sempadan pantai menjadi ruang publik dengan akses
terbuka bagi siapapun (public domain).
Status tanah Negara pada kawasan tersebut mengisyaratkan bahwa negara
dalam hal pemerintah yang berhak menguasai dan memanfaatkannya sesuai dengan
fungsinya. Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan sempadan pantai semata-mata
difokuskan untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi konservasinya serta harus
steril atau terbebas dari kegiatan pembangunan. Pemerintah sebagai pemegang hak
pengelolaan memegang peranan dalam mengendalikan pemanfaatannya tersebut, bisa

Universitas Sumatera Utara

12

dengan jalan kontrol memberikan ijin pemanfaatan bagian-bagian tanah kawasan
pantai pada pihak ketiga berdasarkan perjanjian. Dan Pemerintah atau Pemerintah
Daerah mempunyai kewajiban mengadakan pengawasan terhadap pengelolaan
kawasan pantai oleh pihak ketiga tersebut. Selain pengawasan dan kontrol terhadap
pemanfaatan kawasan sempadanpantai, sebelumnya perlu dilakukan pengetatan
pemberian izin lokasi untuk pemanfaatan tanah pantai.
Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia, setelah
terjadi perubahan paradigma pemerintahan, yakni dengan berlakunya UU No. 22
Tahun 1999, maka tiap daeah tingkat II memiliki wewenang untuk mengelola
wilayah laut selebar 1/3 mil dari lebar laut yang menjadi wewenang propinsi.
Wewenang tersebut, termasuk membuat peraturan tentang penentuan kawasan
sempadan pantai, yang lebarnya ditetapkan sesuai dengan kondisi fisik pantai masingmasing daerah. Walaupun begitu Pemerintah Pusat melalui Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1990, telah menetapkan kawasan sempadan pantai dengan jarak
minimal 100 meter dari pantai pada waktu pasang tertinggi, sebagai pedoman bagi
pemerintah di daerah tingkat II.
Fakta adanya pelanggaran-pelanggaran di kawasan sempadan pantai mungkin
juga dipicu oleh peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara
bersamaan dalam waktu yang sama dan dalam ruang yang sama pula. Hal ini sudah
barang tentu telah membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum yang
ditunjukkan misalnya dengan adanya tumpang-tindih kewenangan dan benturan

Universitas Sumatera Utara

13

kepentingan. Contoh konkret dari disharmoni tersebut adalah ketidakselarasan dan
ketidakserasian antara penerapan UU Kehutanan dan UU Perikanan dalam masalah
konservasi. Inkonsistensi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum juga
menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus diharmonisasikan melalui
kegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum.9 Situasi ini perlu segera disikapi
dengan menyelaraskan berbegai peraturan yang sudah melalui revisi-revisi,
pencabutan atau penerbitan peraturan yang baru.
Garis sempadan pantai ditentukan lebarnya berdasarkan garis pantai yang ada.
Jadi sebelum dilakukan penentuan garis sempadan pantai, terlebih dahulu ditentukan
garis pantainya sebagai acuan penarikan batas kawasan sempadan. Garis pantai
menurut IHO Hydrographic Dictionary (1970) adalah garis pertemuan antara pantai
dan air (lautan). Walaupun secara periodik permukaan laut selalu berubah, suatu
permukaan laut tertentu yang tetap dan dapat ditentukan harus dipilih untuk
menjelaskan posisi garis pantai. Sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, garis pantai didefinisikan sebagai garis air rendah. Oleh karena
itu secara teknis harus dijelaskan juga garis air rendah mana yang dipilih.
Dalam bidang hidrografi biasanya digunakan garis air tinggi (high water line)
sebagai garis pantai. Dalam bidang pertanahan garis pantai yang digunakan
merupakan garis air rendah atau garis pertemuan antara air pasang rata-rata tertinggi
pada saat pasang purnama atau pasang perbani, sehingga terdapat perbedaan dengan

9

Patlis Jason M. Dkk. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia. Jakarta: Bappenas.

Universitas Sumatera Utara

14

garis pantai yang dimaksud dalam aplikasi hidrografi. Fakta yang ada, penentuan
garis pantai di lapangan banyak menghadapi kendala, baik yang berkaitan dengan
karakteristik pantai maupun teknik-teknik penentuannya.10
Namun dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku garis sempadan
pantai ditetapkan dengan acuan garis air tertinggi, seperti ketentuan mengenai
sempadan pantai dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, adalah:”Kriteria kawasan
lindung untuk sempadan pantai yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat”. Pada prinsipnya penentuanletak garis sempadan
pantai diperhitungkan berdasarkan karakterisik pantai, fungsi kawasan, dan diukur
dari garis pasang tertinggi pada pantai yang bersangkutan. Contohnya untuk kawasan
pantai budidaya/non-lindung, perhitungan garis sempadan pantai didasarkan pada
tingkat kelandaian/keterjalan pantai. Sedangkan untuk kawasan pantai lindung, garis
sempadan pantainya minimal 100 m dari garis pasang tertinggi pada pantai yang
bersangkutan.
Gencarnya pembangunan sarana infrastruktur di kawasan pantai yang kurang
memperhatikan daya dukung lingkungan akan menyebabkan kerusakan ekosistem
pantai dan laut. Tentu saja kerusakan ekosistem itu dipicu oleh pola hidup dan
paradigma pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah,

10

Djunarsjah, Eka. 2001. Urgensi Penetapan Batas Laut berkaitan dengan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Bandung: FTSP –ITB.

Universitas Sumatera Utara

15

kurang mengacu pada kaidah kelestarian lingkungan. Apabila kawasan sempadan
pantai dapat difungsikan secara optimal maka kerusakan perairan nasional dapat
diminimalisir. Penentuan garis sempadan pantai yang tegas akan memberikan
manfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini para stakeholder,
beberapa manfaat tersebut yaitu:
1) Menjamin terbukanya akses ruang laut kepada nelayan tradisional,
2) Menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem di wilayah pesisir,
3) Menjamin keamanan bangunan atau infrastrukur lainnya dari jangkauan
bencana tsunami dan penetapan daerah evakuasi jika terjadi bencana,
4) Menjadi patokan penyelenggara pemerintahan dalam menata kawasan
pesisir/pantai.
Pantai Carita Pandeglang Banten terletak tidak jauh dari pantai Anyer yang
terkenal itu. Pantai ini letaknya strategis, terletak di Jalan Raya Pandeglang-Labuan
kecamatan Carita kabupaten Pandeglang Banten. Karena letaknya yang tidak jauh
dari Ibukota, pantai ini merupakan wilayah pariwisata yang banyak dikunjungi
wisatawan lokal ataupun wisatawan mancanegara khususnya pada akhir pekan. Pasca
kejadian tsunami yang menimpa Aceh, wilayah pantai Carita sempat mengalami
penurunan pengunjung karena khawatir akan terjadi hal serupa di pantai carita.
Namun seiring berjalannya waktu, pantai ini kembali ramai dikunjungi.
Kawasan pantai carita sendiri terdiri dari banyak pantai-pantai. Beberapa
dikelola oleh penduduk sekitar, beberapa lagi dikelola oleh perusahan dan didirikan
hotel atau cottage mewah diatasnya. Secara umum, anda akan disuguhi pemandangan

Universitas Sumatera Utara

16

hamparan pasir yang lembut dan air laut yang berombak kecil. Aroma laut yang khas
berpadu sempurna dengan pepohonan rindang di tepian pantai. Suasana yang tepat
untuk berlibur karena letaknya yang dekat dengan selat sunda, dari kejauhan akan
nampak pemandangan anak gunung krakatau yang kokoh berdiri.
Di wilayah pantai carita, mayoritas pantainya berpasir bukan karang sehingga
anda dapat bermain-main dengan pasir dan air. Ombaknya yang tidak sebesar pantai
di wilayah selatan membuat anda tidak perlu terlalu khawatir, ditambah lagi adanya
penjaga pantai di beberapa pantai yang siap siaga menjaga keamanan pengunjung.
Untuk mencapai pantai carita dari Jakarta/Tangerang anda dapat melalui jalan
tol Jakarta-Merak dan keluar gerbang tol Cilegon dan selanjutnya mengikuti petunjuk
arah untuk menuju pantai carita. Bila anda tidak lewat tol, ikuti Jalan Raya JakartaSerang dan ambil arah Cilegon. Sesampainya di Cilegon anda dapat mengikuti
petunjuk jalan menuju pantai Carita. Bila kepadatan jalur terjadi, anda boleh mencoba
jalur alternatif menuju pantai Carita melalui Serang, Palima, Ciomas, Padarincang,
Cinangka. Tidak disarankan memakai jalur alternatif pada malam hari. Secara
keseluruhan, pantai Carita sangat tepat untuk liburan singkat melepaskan diri sejenak
dari kejenuhan. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dan akses yang mudah membuatnya
menja di pilihan tepat untuk liburan singkat.
PT. Mutiara Hitam Pertiwi di Pandeglang Banten mendirikan cottage dengan
cara membeli tanah dari masyarakat, yang jual belinya dilakukan dihadapan camat.
Dalam jual beli ternyata sering terjadi permasalahan yang timbul dari pemilik tanah.
Tanah tersebut abrasi sehingga menimbulkan objek tanah atau kedudukan nilai jual

Universitas Sumatera Utara

17

cottage menjadi murah/kurang nilai jual, Dalam hal ini ada pemilik cottage membuat
bibir pantai dengan di beton untuk menahan deras air. Beberapa pihak yang tidak mau
menjual tanah tersebut karena tidak sesuai dengan harga yang ditentukan oleh PT.
Mutiara Hitam Pertiwi disebabkan nilai objek berkurang dan tidak sesuai dengan nilai
objek yang lama atau sesuai dengan sertifakat yang lama yang terdahulu 76.306 m2
dan sekarang tidak sesuai dengan sertifikat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dibuatlah tesis dengan judul
”ANALISIS YURIDIS

KEPEMILIKAN

HAK ATAS TANAH SEMPADAN

PANTAI DI DAERAH PANTAI CARITA PANDEGLANG BANTEN OLEH PT.
MUTIARA HITAM PERTIWI”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar betaking terse but dilates dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana kedudukan hak atas tanah sempadan pantai PT Mutiara Hitam
Pertiwi yang diperoleh dari jual beli ?

2.

Bagaimana prosedur pendaftaran hak atas tanah sempadan Pantai di daerah
Pantai Carita Pandeglang Banten oleh PT.Mutiara Hitam Pertiwi?

3.

Bagaimana legalitas sertifikat hak atas tanah yang di miliki oleh PT.Mutiara
Hitam Pertiwi yang luasnya sudah berkurang akibat abrasi?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah;

Universitas Sumatera Utara

18

1.

Untuk mengetahui kedudukan hak atas tanah sempadan pantai PT. Mutiara
Hitam Pertiwi yang diperoleh dari jual beli

2.

Untuk mengetahui prosedur pendaftaran hak atas tanah sempadan Pantai di
daerah Pantai Carita Pandeglang Banten oleh PT.Mutiara Hitam Pertiwi.

3.

Untuk mengetahui tentang legalitas sertifikat hak atas tanah yang di miliki oleh
PT. Mutiara Hitam Pertiwi yang luasnya sudah berkurang akibat abrasi.

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan baik secara
teoritis maupun praktis yaitu :
1.

Secara Teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang
diteliti.
b. Diharapkan

dapat

digunakan

sebagai

sumbangan

pemikiran

dan

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada
khususnya dan penelitian ini dapat menambah bahan terutama mengenai
sertipikat ganda.
c. Diharapkan dapat menambah referensi/literature sebagai bahan acuan bagi
penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama
dengan bahan yang telah diteliti.
2.

Secara Praktis

Universitas Sumatera Utara

19

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam penelitian ini.
b. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan
menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan keabsahan
kepemilikan dan peralihan hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang
diketahui, penelitian tentang “ANALISIS YURIDIS KEPEMILIKAN HAK ATAS
TANAH SEMPADAN PANTAI DI DAERAH PANTAI CARITA PANDEGLANG
BANTEN OLEH PT. MUTIARA HITAM PERTIWI”, belum pernah dilakukan.
Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya,
karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini,
dan berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut menunjukkan bahwa penelitian
dengan beberapa Judul tesis yang berhubungan dengan Judul topik dalam tesis ini
antara lain :
1.

Penelitian dengan judul Tinjauan Hukum Terhaadap Pengaturan Dan
Penggunaan Tanah Pada Kawasan Pantai (Studi Di Kecamatan Medan Belawan),
oleh Edi Syahputra, Nim 057011023.

Universitas Sumatera Utara

20

2.

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asingdalam
Bentuk Joint Usaha (Venture) Setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, oleh Ruben Sianipar, Nim 117011003.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.11 Dalam penelitian suatu permasalahan hukum,
maka relevan apabila pembahasan di kaji menggunakan teori-teori hukum, konsepkonsep hukum dan asas asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk
menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan
untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.12
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini
adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
gejala yang diamati.13 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah
mengedepankan pengujian dan hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

12

Salim H. S, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Rajawali Pers : Jakarta, 2010 ), hal. 54.

13

JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta : Universitas
Indonesia Press, 1996), hal. 203.

Universitas Sumatera Utara

21

luas.14 Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan
dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya
teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.15
Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.16
Adapun teori yang digunakan dengan permasalahan dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua
pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.17 Kepastian hukum
bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah
mensamaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa
hukum. Dalam paham positivisme, kepastian di berikan oleh negara sebagai pencipta
hukum dalam bentuk undang undang. pelaksanaan kepastian di konkritkan dalam
14

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press,
1986), hal. 126.
15
M. Solly Lubis (I), Op Cit, hal. 17.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 35.
17
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung,
1999, hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

22

bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang yang
memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum.
Menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum

yang penting adalah

peraturan dan di laksanakan peraturan itu sebagaimana yang di tentukan. Apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar
pengutamaan kepastian hukum. dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis,
siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang
tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang di perlukannya,
bagaimana cara memperolehnya, hak-hak dan kewajiban serta larangan-larangan apa
yang ada di dalam.18
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut
pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya Kepastian hukum.
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat
suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.19

18

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
(Bandung, Alumni, 1982), hal. 21.
19
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 82-83.

Universitas Sumatera Utara

23

Teori lain yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan, hukum
harus mengandung nilai keadilan bagi semua orang. Mengartikan keadilan memang
tidak mudah. Keadilan diartikan begitu beragam, Ulpianus mengatakan keadilan
adalah kemauan yang bersifat terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang
apa yang semestinya dimiliki. Aristoteles mengartikan keadilan dengan memberikan
kepada seseorang apa yang menjadi haknya (due) atau sesuatu yang menjadi
miliknya. Menurut Hart

keadilan dan moralitas adalah sebagai berdampingan

(koeksistensif), meskipun fakta berbicara bahwa keadilan adalah bagian tersendiri
dari moralitas. Sedangkan David Hume menyatakan bahwa keadilan adalah aturan
aturan di mana barang barang materil (kepemilikan/kemakmuran) ditujukan kepada
individu individu, dan moralitas keadilan terlihat dengan menghormati kepemilikan
itu tanpa melakukan tindakan tindakan memperoleh barang orang yang diperoleh
secara tidak sah dan dikembalikan kepada pemiliknya.20

2.

Konsepsi
Dalam bahasa Latin, kata conceptio (didalam bahasa Belanda : begrip) atau

pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan
”definisi” yang didalam bahasa Latin adalah definitio. Defenisi tersebut berarti
perumusan (didalam bahasa Belanda : “omschrijving”) yang pada hakikatnya
merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang

20

Hari Chand, Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur, 1994,

hal. 225

Universitas Sumatera Utara

24

dikenal didalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.21 Konsepsi adalah salah
satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang
menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan
konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,
antara abstraksi dan realitas.22
Dengan demikian konsepsi dapat diartikan pula sebagai saran untuk
mengetahui gambaran umum pokok penelitian yang akan dibahas sebelum memulai
penelitian masalah yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata yang
menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut
definisi operasional.23
Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan
suatu pengarah, atau pedoman yagn lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang
seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil,
kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi
operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian.24
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
21

Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 6.
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 34
23
Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 28
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta,1986, hal. 133
22

Universitas Sumatera Utara

25

Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian
pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi
operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep
merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.25 Pentingnya defenisi operasional
adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)
dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar
penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
a.

Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagian dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian
yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

b.

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.

25

Koentjaraningrat, 1997, Metode Penelitian Masyarahat (Gramedia Pustaka Utama,Jakarta),

hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

26

c.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.26

d.

Tanah sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proforsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal sepanjang 100
meter dari titik pasang tertinggi kearah darat.27

G. Metode Penelitian
Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Metode
merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang\
berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.28
Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai
usaha untuk

menentukan,

mengembangkan

dan

menguji kebenaran

suatu

pengetahuan.29 Usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah yang disebut
dengan metodologi penelitian.30
Suatu penelitian ilmiah, harus melalui rangkaian kegiatan penelitian yang
dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut :
26

https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah, diakses tanggal 12 Agustus 2016, Jam. 1742
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
28
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional, 1997),
hal. 11.
29
Muslam Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang,
2009, hal. 91
30
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Yogyakarta, 1973, hal. 5
27

Universitas Sumatera Utara

27

1.

Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan suatu pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan

maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten melalui
proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan dan diolah.31
Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris , yaitu suatu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara melihat kepada aspek penerapan hukum itu sendiri ditengah
masyarakat,32ataupun suatu kajian mengenai perilaku masyarakat yang timbul akibat
berinteraksi dengan sistem norma yang ada.33
Penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif maksudnya
dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta
yang

diperoleh

akan

dilakukan

analisis

secara

cermat

untuk

menjawab

permasalahan.34
Dari uraian diatas, maka penilitian ini berusaha mengkaji norma-norma
hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat, dan selanjutnya dihubungkan
dengan ketentuan hukum formal (hukum tertulis) yang ada kaitannya dengan tanah.

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 1
32
Bambang Sungono, 2002,Metode Penelian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.89.
33
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad,Op.cit, hlm.51.
34
Sunaryati Hartono, 1994,Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, hlm.101.

Universitas Sumatera Utara

28

2.

Sumber Data
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini

dilakukan dua cara pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder. Data
tersebut dapat diperoleh melalui:
a. Data Primer
Data primer ini diperoleh dengan cara mengadakan penelitian lapangan yaitu
dengan mengadakan wawancara dengan bertanya secara langsung kepada Informan,
responden, dan para narasumber yang telah ditetapkan sebelumnya. Metode
wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara
yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan, tetapi
tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang sesuai dengan tujuan
penelitian.
Data yang diperoleh melalui pedoman wawancara dari para narasumber
sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)

Agus, SE sebagai Dirut PT. Mutiara Hitam Pertiwi
Syariffudin, SE sebagai Manager HRD
Bapak Aryo Nodya P. sebagai Resident Manager
Bapak Atma sebagai pengawas proyek
Camat Labuan.

b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap
bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.
Dalam penelitian ini bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan
mengikatnya dibedakan atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

29

1.

Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan Keabsahan
Kepemilikan dan Peralihan Hak Atas Tanah
b. Teori hukum Keabsahan Kepemilikan dan Peralihan Tanah.

2.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para
ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan
dengan peneltian ini.

3.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan huku
primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum
sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan
untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian
kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan yang telah
dirumuskan.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat deskriptif analis
maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research). Langkah-langkah tersebut berfungsi untuk mempermudah peneliti
dalam proses pemerolehan data.

Universitas Sumatera Utara

30

4.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang,

Desa Carita, Propinsi Banten.
5.

Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara
sebagai berikut:
a.

Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan
narasumber yang telah ditetapkan, dengan model wawancara langsung (tatap
muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara yang sistematis,
tujuannya agar mendapat data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya
kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di
lapangan.
Para narasumber yang dipilih dalam penelitian yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)

b.

Agus, SE sebagai Dirut PT. Mutiara Hitam Pertiwi
Syariffudin, SE sebagai Manager HRD
Bapak Aryo Nodya P sebagai Resident Manager
Bapak Atma sebagai pengawas proyek
Camat Labuan.

Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,
mempelajari, meneliti, mengidenfikasi dan mengalisis data sekunder yang

Universitas Sumatera Utara

31

berkaitan dengan materi penelitian.35Sehinggadata sekunder yang berkaitan
dengan penelitian dapat diperoleh dengan menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau
literatur, karya ilmiah seperti makalah, jurnal maupun artikel-artikel yang
terdapat pada majalah-majalah maupun koran yang berhubungan dengan tanah
timbul.
6.

Analisa Data
Analisis data adalah merupakan kegiatan dalam penelitian untuk melakukan

kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori yang
telah ditetapkan sebelumnya.36 Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini, akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan
kalimat yang sistematis untuk memberikan gambaran jelas jawaban atas
permasalahan

yang

ada.

Selanjutnya

dilakukan

pengolahan

data

dengan

menggunakan metode deduktif sehingga dapat diperoleh kesimpulan.

35

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm.52.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 183
36

Universitas Sumatera Utara