Analisis Semiotik Parjambaran Pada Upacara Adat Saurmatua Di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Provinsi sumatera utara dewasa ini mencatat adanya suku Batak dan Suku Melayu
sebagai suku tertua. Dalam suku Batak terdapat beberapa sub-suku-suku yang
membentuk suku Batak yaitu Toba, Karo, Simalungun, Angkola /Mandailing, dan
Pakpak.
Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku-suku Batak (Payung Bangun 1995:95)
mengemukakan beberapa daerah domisili asli penduduk setiap sub-suku-suku
bangsa batak yaitu:
1. Toba mendiami daerah induk yang meliputi daerah tepi danau Toba,
pulau Samosir, dataran tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, Daerah
antara Barus, Sibolga,dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran.
2. Karo mendiami daerah induk yang meliputi Dataran Tinggi Karo,
Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian daerah Dairi.
3. Simalungun mendiami daerah induk Simalungun.
4. Angkola/Mandailing mendiami daerah induk angkola dan Sipirok,
sebagian dari Sibolga, Batang Toru dan bagian Utara Padang Lawas
dan,
5. Pakpak yang mendiami daerah induk Dairi.


Universitas Sumatera Utara

Setiap masyarakat pada Sub-suku Batak secara khususnya memiliki pola
kehidupan yang berbeda-beda dan tempat tinggal yang berada di berbagai daerah
serta

memiliki struktur geografis yang berbeda-beda juga dengan sub-suku

lainnya. Sehingga terciptalah disetiap masyarakatnya aturan dan pola hidup yang
berbeda dengan kelompok sub-suku lainnya. Akan tetapi dibalik perbedaan itu
ada juga beberapa kesamaan, hal inilah yang menjadi sebuah kekayaan di dalam
suku Batak tersebut serta perbedaan itu jugalah yang menjadi pembanding sifat
setiap sub-suku tersebut. Budaya yang terbentuk oleh kelompok-kelompok
masyarakat sub- suku tersebut, kini sudah mulai bercampur aduk dengan subsuku lainnnya dan pastinya, budaya asli di dalam suatu sub-suku kian berkembang
dan memiliki reformasi pada kebuadayaan yang dibentuknya dan hal ini juga
sangat berhubungan dengan waktu. Tak lazim salah satu adalah faktor pernikahan
dan juga faktor perpindahan penduduk yang disebut dengan migrasi.
Selain faktor tersebut, keaslian dari pada tatanan adat dan budaya
masyarakat suku Batak saat ini dalam kehidupan sehari-harinya sudah mulai
dipengaruhi oleh masuknya ajaran-ajaran agama-agama baru-baru ini, seperti

agama Islam dan agama Kristen yang kian berkesan dan memiliki pengaruh yang
kuat pada masyarakatnya. Hal ini juga berpengaruh pada keaslian kolektifitas
budaya itu sendiri dan bahkan sudah hilang di setiap masyarakat sub-suku Batak
lainnya. Tetapi penulis tidak berfokus pada agama/kepercayaannya namun penulis
lebih fokus kepada budaya yang mulai memiliki ketertinggalan dan kian
tersurutkan oleh agama-agama tersebut. Dengan itulah penulis membuat suatu
latar belakang dalam penulisan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara

Generasi muda saat ini seharusnya sudah mengambil posisi dan tetap melanjutkan
apa yang sudah dimulai.

Hal ini sendiri menjadi perhatian penulis akan

perubahan budaya itu dan bukan saja hanya menjadi sebuah budaya yang
dijalankan secara simbolis akan tetapi kewajiban dan sebuah keharusan pemuda/i
nya lah untuk selalu mendampingi dan mendukung terlaksanakan nya aktifitas
kebudayaan dan adat/istiadat yang sudah lama dibentuk oleh nenek moyangnya
dan adanya pemahaman akan simbol-simbol dalam budaya, adat dan istiadat

mendorong berjalan/berjalan lancarnya budaya itu di tengah masyarakat yang
mengadopsi budaya tersebut serta akan tetap menjaga budayanya sebagai jati
dirinya.
Ada suatu keunikan pada kehidupan pola pikir masyarakat Batak yang mungkin
tidak akan pernah dijumpai pada masyarakat lain dan merupakan bagian falsafah
yang diwariskan oleh nenek moyangnya yaitu pembagian status masyarakat atas
tiga golongan secara fungsional dan masih tetap berjalan sampai sekarang ini pada
kelima sub-etnis masyarakat Batak (Peraturen Suka Piring dan Jonson Pardosi
1990 : 16), pembagian status tersebut adalah :
1. Golongan Sabutuha yaitu para turunan lelaki dari satu leluhur atau
lahir dari perut yang sama. (Istilah dalam karo = senina ; pakpak =
dengan sebeltek; simalungun = senina ; dan angkola/mandailing =
kahanggi).
2. Golongan Boru yaitu pihak penerima dara/ gadis. (istilah Karo = Anak
beru ;Simalungun = anak boru ; Angkola/Mandailing = anak boru
dan Pakpak = berru.

Universitas Sumatera Utara

3. Golongan Hulahula yaitu pihak pemberi dara / gadis.Istilah dalam

Karo = kalimbubu ; Simalungun = tondong ; Angkola/Mandailing =
mora.
Posisi/golongan itu pada setiap individu bisa saja berubah posisi, tergantung pada
hubungannya dengan

individu yang lain, dan perubahan itu dimiliki semua

individu.
Pada masyarakat Batak Toba ketiga kelompok diatas disebut dengan dalihan na
tolu (tungku nan bertiga ) yang di refleksikan dengan tungku. Secara gambaran
aslinya, dalihan (tungku) terdiri dari tiga kaki dan masing-masing memiliki
hubungan yang sangat kuat dan saling ketergantungan antara kaki yang satu
dengan kaki lainnya supaya dapat berfungsi dengan baik. Dalihan na tolu yang
menjadi falsafah masyarakat Batak Toba dijabarkan sebagai berikut :
1. Somba marhulahula artinya sembah/menyembah mengandung arti
bahwa setiap individu dalam masyarakat Batak harus menyembah
Hulahulanya (saudara semarga ibu) karena hulahula(semarga ibu)
adalah pemberi berkah.
2. Elek marboru artinya elek atau mengayomi mengandung arti bahwa
setiap individu dalam masyarakat pada borunya harus mengayomi

borunya (saudara perempuan) karena boru (perempuan) lah yang
membantu segala sesuatu kebutuhannya.
3. Manat mardongan tubu artinya manat atau hati-hati mengandung arti
setiap masyarakat pada dongan tubunya harus memiliki sifat sopan dan

Universitas Sumatera Utara

santun pada kerabat yang tergolong pada dongan tubunya. Karena
merekalah yang menjadi pribadinya.
Dalam perwujudan dalihan na tolu ini dapat kita temui pada kehidupan sehariharinya, disaat bertemu dengan orang asing yang belum dikenal setelah
mengatakan horas akan muncul pertanyaan pertama yaitu “aha do margam ?”
artinya “apa margamu (merupakan identitas) ?” dan dari situlah akan lahir tutur
kekerabatan melalui dalihan na tolu yang menciptakan sistim tersebut, selain itu
mereka juga lebih menampakkannya pada saat pelaksanaan sebuah upacara adat
atau acara lainnya.
Ada sebuah keunikan sekaligus menjadi kebanggaan pada masyarakat Batak
secara umum, misalnya ketika masyarakat Batak khususnya sub suku Batak Toba
dalam pola hidup bersosialisasi, jika seseorang akan melakukan sebuah kegiatan,
secara spontan orang di sekitarnya akan bereaksi spontan dan melakukan diskusi
untuk saling berbagi, meskipun belum berkenelan sebelumnya akan tetapi sebuah

pembicaraan akan menunjukkan ikatan yang kuat meskipun belum pernah
bertemu dengan nya sebelumnya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan salah satu faktor
yang menjadi budaya masyarakatnya, dan

sejak kelahiran seseorang sudah

disambut dan mendapat peran/posisi pada sistem falsafah masyarakat Batak Toba
yaitu dalihan na tolu, hingga berakhirnya hidup/kematian seseorang ditengah
masyarakatnya secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari tradisi-tradisi
upacara adat yang harus dilaksanakan, dan adat itu sendiri menciptakan secara
tidak langsung adanya aktvitas yang mempererat tali persaudaraan, selain itu juga
ada sebuah persepsi dalam masyarakat Batak yaitu bawasanya sebuah hutang

Universitas Sumatera Utara

besarlah ditengah sebuah keluarga jika tidak melaksanakan ulaon adat (upacara
adat) dalam kehidupan setiap individu. Karena hubungan yang kuat akan
melahirkan komunikasi dan kasih sayang yang kuat melalui upacara adat itu.
Di tengah masyarakat Batak Toba, upacara adat saurmatua adalah salah
satu upacara adat masyarakat Batak yang masih dilaksanakan hingga saat ini,

Saurmatua adalah orang tua sudah memiliki anak laki-laki dan anak perempuan
dan semuanya sudah menikah, serta sudah mendapat cucu dari anak laki-laki
maupun anak perempuannya.
Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan upacara adat saurmatua saat ini sudah
mulai mengalami kepudaran dan salah satu yang menjadi faktornya adalah faktor
ekonomi. Dalam sebuah keluarga, Ekonomi yang mencukupi menjadi tujuan
utama saat ini, dan tidak terlepas dari budayanya, akan tetapi mengingat budaya
dan adat yang mulai pudar. Hal itu bisa kita saksikan langsung, misalnya pada
upacara adat pernikahan. Saat ini upacara adat pernikahan sudah lebih banyak di
laksanakan di gedung-gedung mewah dan sudah jarang di laksanakan di rumah
sendiri. Kemudian ketika makanan yang dulunya di masak bersama kini sudah
tinggal pesan, dan paling mirisnya saat ini adalah waktu pelaksanaan sudah
dibatasi dan masih banyak yang lainnya, hingga akhirnya tidak banyak lagi yang
dapat memahami, kenapa sebuah upacara adat itu harus dilaksanakan.
Untuk itu penulis akan mengkaji simbol/ilmu tanda yang ada pada pelaksanaan
sebuah upacara adat baik secara fungsi dan makna pada upacara adat tersebut.
Penulis menggunakan teori semiotik /ilmu tanda sebagai bahan untuk

Universitas Sumatera Utara


menganalisis makna dan fungsi pada simbol/tanda dalam pelaksanaan sebuah
upacara adat.
Penulis akan menganalisis upacara adat saurmatua dalam masyarakat sub-suku
Batak Toba, terkhusus pada parjambaran sebagai bagian dari

upacara adat

saurmatua dalam acara itu sendiri.
Parjambaran sebagai bagian pada upacara adat saurmatua memiliki hubungan
yang sangat kuat dengan falsafah masyarakat batak, yaitu hubungannya dengan
dalihan na tolu. Melalui parjambaran akan terlihat bagaimana peran dan
penghormatan individu ditengah masyarakat Batak dengan individu lainnya yang
di konsep dalam falsafah dalihan na tolu.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam pembuatan sebuah skripsi merupakan pelengkap dan
termasuk dalam kategori yang sangat penting. Karena dengan perumusan
masalah, maka deskripsi dan gambaran sebuah masalah akan lebih mudah untuk
dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Adapun rumusan masalah yang akan
dikaji dalam skripsi ini adalah :
1.


Bagaimana tahapan-tahapan Parjambaran dalam upacara adat Saurmatua di
Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2.

Apakah bentuk, fungsi dan makna dalam parjambaran pada upacara adat
saurmatua di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian
Mengingat rumusan masalah yang sudah difokuskan, maka penelitian ini
bertujuan untuk :
1.

Untuk mengetahui Tahapan-tahapan Parjambaran pada Upacara Adat
Saurmatua diKecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2.


Mengetahui bentuk fungsi dan

makna dalam tanda parjambaran pada

upacara adat Saurmatua di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang
Hasundutan.

1.4 Manfaat Peneltian
Sebuah hasil dari sebuah penelitian akan sangat berguna baik bagi penulis
maupun pembaca, adapun manfaat penelitian ini adalah :
1.

Untuk melestarikan tradisi Parjambaran pada Upacara Adat Saurmatua di
Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2.

Menambah wawasan tentang Parjambaran bagi penulis dan pembaca pada
Upacara Adat Saurmatua di Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang

Hasundutan secara khusus pada fungsi dan maknanya.

3. Menambah kekayaan pengkajian budaya dalam pustaka budaya Indonesia
khususnya pada Upacara Budaya Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

1.5 Anggapan Dasar
Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu anggapan dasar. Menurut
Arikunto (1996:65 dalam skripsi Javier), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang
diyakini kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud
kebenaran disini adalah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan
kebenarannya. Penulis dalam pengamatannya memiliki landasan melalui tradisi
yang sudah pernah dijalankan bahwa Parjambaran pada upacara adat Saurmatua
dalam masyarakat Batak Toba yang masih tetap dilaksanakan sampai saat ini
mengharapkan nilai-nilai dalam tradisi ini untuk tidak hilang begitu saja akan
tetapi tulisan ini dapat mempertahankan tradisi yang tetap memiliki nilai-nilai
budaya.

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.6.1 Letak Geografis Kecamatan Doloksanggul.
Kecamatan Doloksanggul terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi
Sumatera Utara dengan luas wilayah 20.020,53 Ha yang terletak pada titik
koordinat 2°09’- 2° 25’ LU - 98°35’- 98° 49’ BT. Kec. Doloksanggul terletak
pada 1000 - 1.500 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Doloksanggul
memiliki 27 desa. Kecamatan Doloksanggul adalah daerah yang menjadi tempat
penelitian tentang Parjambaran pada upacara adat saurmatua.
Kecamatan Doloksanggul terletak dengan batas wilayah :
-

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pollung kabupaten
Humbang Hasundutan.

Universitas Sumatera Utara

-

Sebelah Selatan berbatasan dengan Huta Siranggitgit Kecamatan
parmonangan Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).

-

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siponjot (Silaban) Kecamatan
Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.

-

Sebelah Barat

berbatasan dengan Desa Sibuluan

Kecamatan

Onanganjang Kabupaten Humbang Hasundutan.
Data tersebut bersumber dari situs Resmi Kabupaten Humbang Hasundutan,
www.humbanghasundutankab.go.id

Gbr. 1.0 Peta Kecamatan Dolok Sanggul, sumber: Data dari situs website Kecamatan
Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Universitas Sumatera Utara

1.6.2 Keadaan Penduduk
Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di Kecamatan Didoloksanggul
adalah masyarakat sub-suku Batak Toba yang telah lama mendiami daerah
tersebut. Kecamatan Doloksanggul merupakan daerah adat dan pada umumnya
marga disana didominasi oleh Marga Toga Simamora, Toga Sihombing dan Toga
Marbun sedangkan marga yang lain merupakan marga pendatang. Penduduk yang
berada di Kecamatan Doloksanggul rata-rata mata pencahariannya adalah bertani.
Produk pertanian unggulan di desa ini adalah padi, cabai, kopi dan terong belanda.
Namun demikian, tidak sedikit juga masyarakatnya yang bekerja pada instansi
pemerintahan.
1.6.3 Budaya Masyarakat
Penduduk Kecamatan Doloksanggul mayoritas suku Batak Toba yang
telah lama mendiami Kecamatan Doloksanggul dan terkenal akan budaya Batak
Tobanya. Masyarakat Kecamatan Doloksanggul dapat dikatakan homogen, karena
berasal dari satu suku yaitu suku Batak Toba yang mempunyai ciri khas pada
budaya masyarakatnya.
1.6.3.1 Adat istiadat Masyarakat
Struktur masyarakat Kecamatan Doloksanggul secara umum mengadopsi falsafah
yang diturunkan oleh nenek moyangnya yaitu dalihan na tolu, yang di tafsirkan
oleh tiga buah batu yang menopang tungku saat memasak artinya ketiga tungku
ittu ditafirkan dengan

somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek

marboru. Dari falsafah dalaihan na tolu di atas, masyarakat Batak Toba

Universitas Sumatera Utara

menjalankan itu sebagai aturan dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Selain
itu, hubungan kekerabatan yang di miliki masyarakat sangat erat ini sangat kuat.
Masyarakat Kecamatan Doloksanggul secara khusus dalam kehidupan sehari-hari
memakai bahasa Batak Toba karena lebih mudah dipahami oleh

sesama

masyarakatnya. Penggunaan bahasa Batak Toba sebagai alat komunikasi sesama
suku Batak Toba, senantiasa berlangsung dalam hidup sehari-hari, misalnya
dalam upacara adat, kebaktian gereja, rapat penatua adat. Dengan kata lain,
bahasa daerah dipakai dalam membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam
kehidupan bersama, dalam percakapan sehari-hari, termasuk dalam pelaksanaan
upacara adat.

Universitas Sumatera Utara