PDF ini ANALISIS SEBARAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEGIATAN PELAYANAN REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN BERDASARKAN RIFASKES 201 | . | Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia 1 PB

ANALISIS SEBARAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEGIATAN PELAYANAN
REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN BERDASARKAN RIFASKES 2011
Hosizah
Dosen Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
hozisah@esaunggul.ac.id, ozi19sah@ymail.com
Abstrak
Informasi dapat menjadi alat untuk membuat keputusan dan kebijakan, perencanaan kesehatan, manajemen, dan
evaluasi program serta layanan termasuk perawatan pasien yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kinerja
dan hasil pelayanan kesehatan.Informasi kesehatan merupakan sumberdaya strategis dalam fasilitas pelayanan
kesehatan yang sumber datanya berasal dari rekam medis/kesehatan atau paradigma baru bahwa rekam medis
dikenal dengan informasi kesehatan. Sampai saat ini penyelenggaraan rekam medis dan informasi kesehatan di
fasilitas pelayanan belum optimal, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya SDM pengelola masih belum berlatar
belakang pendidikan minimal D3 RMIK. Dari total 685 RSU sebagai respoden pada Rifaskes 2011 sebesar
35,2% RSU masih belum memiliki tenaga Perekam Medis (PM atau PMIK) dan hampir terjadi pada RSU di
seluruh Propinsi di Indonesia kecuali DI Yogyakarta. Walaupun 98,5% RSU sudah tersedia Unit Kerja RMIK,
namun pimpinan unit sebesar 55,1% bukan lulusan D3 RMIK. Penyampaian laporan RM berkala kepada
pimpinan RS sebesar 7,6% RSU tidak dilakukan, Audit Kuantitatif RM sebesar 47,1% RSU belum melakukan
dan sebesar 53,1% pada Audit Kualitatif RM.

1. Pendahuluan
Organisasi pelayanan kesehatan, seperti

rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas) atau fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya membutuhkan informasi sebagai dasar
pengambilan keputusan. Hal tersebut sesuai
pernyataan Sauerborn bahwa informasi dapat
menjadi alat untuk membuat keputusan dan
kebijakan, perencanaan kesehatan, manajemen,
dan evaluasi program serta layanan termasuk
perawatan pasien yang lebih baik, sehingga
dapat meningkatkan kinerja dan hasil pelayanan
kesehatan secara keseluruhan (Sauerborn R,
2000), seperti kutipan berikut ini:
“information is not an end in itself, but a means
to better decision in policy making, health
planning, management, and evaluation of
programmes and services including patient
care, thus improving overall health service
performance and outcome”. (Sauerborn R,
2000)
Abdelhak juga menjelaskan bahwa informasi

kesehatan merupakan sumberdaya strategis
dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Para
pekerja dan manajer di bidang kesehatan perlu
memahami kebutuhan dan nilai informasi
kesehatan yang baik agar dapat membantu
dalam perencanaan dan pengambilan keputusan,
seperti dikutip pada pernyataan berikut ini
“Related to issues of leadership, health workers

and managers need to understand the need for
and value of having good health information to
help with planning and decision making
(Abdelhak, 2010).
Informasi seperti uraian di atas sekarang dikenal
dengan informasi kesehatan yang sumber
datanya berasal dari dari rekam medis/kesehatan
atau paradigma baru bahwa rekam medis
dikenal dengan informasi kesehatan.
American Health Information Management
Association (AHIMA), menjelaskan bahwa

informasi kesehatan mencakup informasi mulai
lahir sampai dengan meninggal yang berasal
dari rekaman individu pasien sampai dengan
data agregat pada populasi pasien hingga
menjangkau dunia, seperti dikutip sebagai
berikut
“Health
information
includes
information from birth to death and from the
individual patient record to aggregate data on a
patient population that can span globe”
(AHIMA, 2010).
Rekam Medis sebagai himpunan fakta
tentang kehidupan seorang pasien dan riwayat
penyakitnya,
termasuk
keadaan
sakit,
pengobatan saat ini dan lampau yang ditulis oleh

para praktisi kesehatan dalam upaya mereka
memberikan pelayanan kesehatan (Huffman,
1999), di dalamnya tercantum nama pasien,
alamat, usia, diagnosis, length of stay (LOS),
pelayanan, tarif kamar dan penunjang, dokter
yang merawat dan lain-lain.

Beberapa
peraturan
perundangan
mewajibkan adanya rekam medis pada setiap
fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain UU
No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
Permenkes No.340 tahun 2010 tentang
Klasifikasi Rumah Sakit, Permenkes 269 tahun
2008 tentang Rekam Medis, Keputusan Menkes
RI No. 129 tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Keberadaan pendidikan bidang Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK) di

Indonesia sebagai pemasok SDM RMIK yang
dimulai tahun 1989 jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan rs dan fasilitas pelayanan
kesehatan. Sampai saat ini dari 33 institusi
penyelenggara
pendidikan
RMIK
baru
meluluskan sekitar 5.976 orang sehingga
sebagian besar rs atau fasilitas pelayanan
kesehatan belum memiliki tenaga professional
RMIK sesuai Kepmenkes 377 tahun 2007
tentang Standar Profesi Perekam Medis dan
Informasi Kesehatan.
Komitmen pemerintah untuk menyediakan
pelayanan kesehatan masyarakat semesta
(universal health coverage) melalui UU No. 40
tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) yang akan dimulai pada akhir tahun
2014 sangat membutuhkan Profesional RMIK,
bertanggungjawab dalam penentuan keakuratan
kodefikasi dan klasifikasi penyakit/ tindakan
sesuai ICD-10 dan ICD-9-CM (Sedyaningsih,
2012).
Indonesia, sebagai negara anggota WHO
melalui
Kementerian
Kesehatan
telah
mewajibkan instansi pelayanan kesehatan untuk
menerapkan standar klasifikasi penyakit dan
masalah kesehatan ICD-10. Kewajiban ini
diperkuat dengan diberlakukannya 2 (dua) buah
surat keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Dir.
Jen. Pelayanan Medik no. HK.00.05.1.4.00744
tentang Penggunaan ICD 10 di RS yang
ditetapkan tanggal 19 Februari 1996, dan
diberlakukannya SK Menteri Kesehatan RI no.

50/MENKES/SK/I/1998 tentang Pemberlakuan
Klasifikasi Statistik Internasional mengenai
Penyakit Revisi Kesepuluh yang ditetapkan pada
tanggal 13 Januari 1998.
Sebagai tindaklanjut terbitnya SK tersebut
di atas, Dit. Jen Pelayanan Medik telah
menggelar pelatihan ICD-10 kepada berbagai
rumah sakit di Indonesia. Demikian juga, Dit.
Jen. Pembinaan Kesehatan Masyarakat telah
menerbitkan buku pedoman Penyusunan

Laporan Puskesmas tentang Morbiditas (LB-1)
berdasarkan Daftar Tabulasi Morbiditas ICD-10
dan Gejala Penyakit (Dep. Kes. 1998). Hal
tersebut dilakukan agar memudahkan dalam
pengolahan data morbiditas dan mortalitas
sehingga informasi yang dihasilkan akan tepat
dan akurat dalam rangka penyusunan program
kesehatan.
Meskipun Kementerian Kesehatan telah

melaksanakan
berbagai
pelatihan
dan
mengeluarkan
pedoman
namun
dalam
kenyataannya
masih
banyak
ditemukan
beberapa instansi pelayanan belum menerapkan
SK tersebut. Tuntutan keadaan tersebut
mendorong keingintahuan tentang sebaran SDM
dan kegiatan pelayanan RMIK di rumah sakit
dan puskesmas.
2. Tujuan
1) Diketahuinya sebaran SDM RMIK
(Perekam Medis) di RSU di seluruh

propinsi di Indonesia .
2) Diketahuinya sebaran keberadaan unit
(bagian) rekam medis di RSU.
3) Diketahuinya sebaran pimpinan unit
rekam medis di RS dengan latar
belakang pendidikan D3 RMIK.
4) Diketahuinya sebaran pengolah data
dengan latar belakang pendidikan D3
RMIK.
5) Diketahuinya sebaran adanya SPO
penyimpanan dan pemusnahan RM di
RS.
6) Diketahuinya sebaran adanya buku
Pedoman Penyelenggaran RM.
7) Diketahuinya sebaran penggunaan ICD10 dalam pencatatan kasus mortalitas
(multiple cause of death).
8) Diketahuinya sebaran adanya master
data base pasien (Kartu Indeks Utama
Pasien/KIUP atau terkomputerisasi).
9) Diketahuinya

sebaran
adanya
penyampaian laporan rekam medis
berkala kepada pimpinan RS.
10) Diketahuinya sebaran audit rekam
medis secara kualitatif dan kuantitatif.
11) Diketahuinya sebaran SDM RMIK
(Perekam Medis) di Puskesmas
berdasarkan jenis Puskesmas.
12) Diketahuinya penggunaan ICD-10 di
puskesmas.
3. Kerangka Konsep
Sebaran SDM dan kegiatan RMIK
berdasarkan data hasil Rifaskes 2011 meliputi

data karakteristik dan unit rekam medis di RS
dan Puskesmas akan diolah dan dianalisis
dengan perangkat komputer untuk memperoleh
peta sebarannya seperti terlihat pada bagan
Input, Proses dan Output berikut ini:


4. Metodologi Penelitian
4.1. Sumber Data
Sumber data adalah hasil rifaskes 2011,
meliputi Data Karakteristik RS dan Puskesmas,
Data Unit (bagian) Rekam Medis meliputi SDM
dan kegiatan RMIK di rs dan puskesmas.

terakreditasi sampai dengan pertengahan tahun
2011., 209 RSU terakreditasi 5 jenis pelayanan,
72 RSU terakreditasi 12 jenis pelayanan, dan 68
RSU terakreditasi 16 jenis pelayanan.
5.1. Sebaran Perekam Medis di Rumah Sakit
Indonesia
Dari 685 RSU sebagai responden
dalam Rifaskes 2011 yang tersebar di seluruh
propinsi di Indonesia, 1 RSU missing data
sehinggal total sebanyak 684 RSU. Jumlah
Perekam Medis (PM atau PMIK) dibagi menjadi
4 kategori yaitu: Tidak ada PM, PM antara 1-10
orang, PM antara 11-20 orang dan PM lebih dari
20 orang. Distribusi ketersediaan tenaga PM dari
total 684 RSU dapat dilihat pada tabel 5.1
berikut ini.
Tabel 5.1: Distribusi Ketersediaan
tenaga PM di RSU berdasarkan Rifaskes 2011

4.2. Pengolahan dan Analisis Data
Data akan diolah dan dianalisis dengan
perangkat komputer menggunakan analisis
spasial dan overlay guna mendapatkan sebaran
SDM dan kegiatan RMIK di rs dan puskesmas
di 33 provinsi di Indonesia.
5. Hasil dan Pembahasan
Total RSU Pemerintah yang menjadi
responden pada Rifaskes 2011 sebanyak 707.
Data yang dianalisis sejumlah 685. Selisih
terjadi karena adanya RS Pemerintah yang tidak
memenuhi kriteria inklusi, antara lain berdiri
sesudah Januari 2010 atau berubah status dari
RSU BUMN menjadi RS Swasta. Rumah Sakit
Umum Pemerintah yang dianalisis meliputi 16
RSU Pemerintah Kelas A, 145 RSU Pemerintah
Kelas B, 323 RSU Pemerintah Kelas C, dan 201
RSU Pemerintah Kelas D. Dari sejumlah
tersebut,
336
diantaranya
tidak/belum

Dari tabel 5.1 diketahui bahwa masih
sebanyak 241 RSU tidak ada tenaga PM atau
sebesar 35,2% dan hanya 6 RSU (0,95) tenaga
PM lebih dari 20 orang.
Sebaran tenaga PM di seluruh RSU
propinsi di Indonesia dapat dilihat pada gambar
5.1 berikut ini:

Gambar 5.1: Sebaran Jumlah PM di RSU Indonesia berdasarkan Rifaskes 2011

Berdasarkan Gambar 5.1 di atas dapat
dijelaskan bahwa satu-satunya propinsi dari
semua RSU yang dijadikan responden pada
Rifaskes 2011 sudah memiliki tenaga PM adalah
DI Yogyakarta, sebesar 60% (6 dari total 10
RSU) PM antara 1-10 dan 10% (1 dari total 10
RSU) memiliki tenaga PM di atas 20 orang.
Propinsi Maluku sebagai urutan pertama sebagai
propinsi dimana RSU tidak memiliki tenaga PM
sebesar 86% (12 dari total 14 RSU), selanjutnya
Maluku Utara sebesar 83% dan Sulawesi Utara
sebesar 81%.
Pada Peraturan Pemerintah No.32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,
menjelaskan bahwa Perekam Medis sebagai
kelompok Tenaga Kesehatan pada jenis
keterapian fisik. Selanjutnya di dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No.377 Tahun
2007 tentang Standar Profesi Administrator
Informasi Kesehatan dijelaskan bahwa Perekam
Medis adalah profesi yang memfokuskan
kegiatannya pada data pelayanan kesehatan dan
pengelolaan sumber informasi pelayanan

kesehatan dengan menjabarkan sifat alami data,
struktur dan menterjemahkannya ke berbagai
bentuk informasi demi kemajuan kesehatan dan
pelayanan kesehatan perorangan, pasien dan
masyarakat.
Pada UU No. 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, pasal 47 ayat 2 dijelaskan bahwa
rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya
oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan. Begitu juga pada Standar
Pelayanan RS, Standar Pelayanan Minimil RS,
Standar Akresitasi RS bahwa Rekam Medis
perlu dikelola dengan baik oleh SDM yang
professional atau sesuai standar profesinya. Hal
ini sesuai dengan Permenkes RI No.
1796/Menkes/PER/VIII/2011 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan.
Dengan demikian kebutuhan tenaga
PM di Indonesia masih tinggi. Data
menunjukkan bahwa lulusan D3 Rekam Medis
dan Informasi Kesehatan sejak tahun 1993-2010
sekitar 4.406 orang dari total kebutuhan tenaga

rekam medis dan informasi kesehatan kurang
lebih 25.580 orang terdiri dari 16.780 orang
untuk rumah sakit dan 8.800 orang untuk
puskesmas (Kurikulum Inti D3 RMIK, 2011).
5.1.1. Sebaran PM berdasarkan Kelas RSU
Berdasarkan kelas RSU terdiri dari Kelas
A, B, C dan D, maka sebaran ketersediaan PM
dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini:
Tabel 5.2: Distribusi Ketersediaan PM
berdasarkan Kelas RSU hasil Rifaskes 2011

Pada tabel 5.3 diketahui bahwa data
responden terdapat 1 missing data sehingga total
responden adalah 683 RSU. Dari 683 RSU
hampir 50% tidak/belum terakreditasi, dan
hampir 50% pula dari RSU yang tidak/belum
terakreditasi belum memiliki PM. Hal ini diduga
ada korelasi kebutuhan PM dengan persyaratan
yang ditetapkan dalam akrediasi RS.
5.1.3. Sebaran Unit Kerja RMIK di RSU
Sebaran Unit Kerja RMIK di RSU
berdasarkan status akreditasi RS dan kelas RSU
dapat dilihat pada 5.4.
Tabel 5.4: Distribusi Unit Kerja RMIK
berdasarkan Status Akreditasi RS dan Kelas
RSU hasil Rifaskes 2011

Pada tabel 5.2 di atas diketahui bahwa
persentase terbesar RSU yang belum ada PM
adalah rumah sakit kelas D sebesar 58,7%.
Walaupun hanya 12,5% pada rumah sakit kelas
A ternyata masih ada yang belum memiliki PM.
5.1.2. Sebaran PM berdasarkan Status
Akreditasi RSU
Berdasarkan Status Akreditasi RSU
terdiri dari Tidak/belum Terakreditasi dan
Terakrediasi 5 jenis pelayanan, 12 jenis
pelayanan dan 16 jenis pelayanan maka
distribusi Ketersediaan PM dapat dilihat pada
tabel 5.3 berikut ini:
Tabel 5.3: Distribusi Ketersediaan PM
berdasarkan Status Akreditasi RSU hasil
Rifaskes 2011.

Pada tabel 5.4 di atas dapat dijelaskan
ada 1 missing data sehingga total responden
sebanyak 684 RSU. Sebagian besar RSU sudah
memiliki Unit Kerja RMIK yaitu sebesar 95,8%,
hanya 4,2% RSU tidak memiliki Unit Kerja
RMIK.
RSU dengan kelas D adalah yang
terbanyak belum memilki Unit Kerja RMIK
baik dengan status akreditasi maupun tidak
terakrediasi.
5.1.4. Sebaran Ka. Unit Kerja RMIK lulusan
D3 RMIK
Sebaran Ka. Unit Kerja RMIK di RSU
berdasarkan status akreditasi RS dan kelas RSU
dapat dilihat pada tabel 5.5.
Pada tabel 5.5 di bawah ini dapat
dijelaskan ada 33 missing data sehingga total
responden sebanyak 652 RSU. Persentase RSU
sebesar 55,1% Ka. Unit Kerja RMIK bukan
lulusan D3 RMIK sedangkan 44,9% adalah
lulusan D3 RMIK. Persentase hampir sama
antara RSU yang terakreditasi dan tidak
terakreditasi juga pada semua kelas RSU baik
kelas A, B, C dan D. Hal ini diduga kompetensi
lulusan D3 RMIK belum bisa memenuhi
kebutuhan RSU dalam mengelola Unit Kerja
RMIK.

Tabel 5.5: Distribusi Ka. Unit Kerja RMIK
Lulusan D3 RMIK berdasarkan Status
Akreditasi dan Kelas RSU pada Rifaskes 2011

5.1.5. Sebaran Pengolah Data dengan Latar
Belakang D3 RMIK
Sebaran Pengolah Data dengan Latar
Belakang D3 RMIK berdasarkan status
akreditasi RS dan kelas RSU dapat dilihat pada
tabel 5.6.
Tabel 5.6: Distribusi Pengolah Data dengan
Latar Belakang D3 RMIK berdasarkan Status
Akreditasi dan Kelas RSU pada Rifaskes 2011

Pada tabel 5.6 di atas dapat dijelaskan
ada 33 missing data sehingga total responden
sebanyak 652 RSU. Sebagian besar RSU atau
sebesar 68,1% tenaga pengolah data adalah
lulusan D3 RMIK dan hanya sebesar 31,9%
bukan lulusan D3 RMIK.
Persentase lebih besar RSU yang
terakreditasi yang memanfaatkan tenaga
pengolah data lulusan D3
RMIK dibandingkan RSU
yang tidak terakreditasi,
kecenderungan kelas RSU
A dan B juga lebih besar
dibandingkan kelas C dan
D. Hal ini sesuai dengan
satu di antara kompetensi
lulusan D3 RMIK adalah
mengolah
data
yang
dibutuhkan
dalam
pengambilan keputusan.

5.1.6. Sebaran SPO Penyimpanan dan
Pemusnahan Rekam Medis
Sebaran Ketersediaan Standar Prosedur
Operasional
(SPO)
Penyimpanan
dan
Pemusnahan
RM
berdasarkan status akreditasi
dan kelas RSU dapat dilihat
pada tabel 5.7. Pada tabel
5.7 di bawah ini dapat
dijelaskan ada 33 missing
data
sehingga
total
responden sebanyak 652
RSU. Sebagian besar RSU atau sebesar 66,0%
sudah memiliki SPO Penyimpanan dan
Pemusnahan RM dan sebesar 34,0% belum
memiliki SPO Penyimpanan dan Pemusnahan
RM.
Persentase lebih besar RSU yang
terakreditasi yang memiliki SPO Penyimpanan
dan Pemusnahan RM dibandingkan RSU yang
tidak terakreditasi, RSU kelas A sebesar 100%
memiliki SPO Penyimpanan dan Pemusnahan
RM dan B juga lebih besar
dibandingkan kelas C dan D.
Kecenderungan RSU kelas D
masih belum melengkapi
penyelenggaraan
RMIK
dengan
SPO
yang
diperlukan, satu diantaranya
adalah SPO Penyimpanan
dan Pemusnahan RM.
SPO sebagai acuan
dalam semua kegiatan pelayanan RMIK,
semestinya SPO harus tersedia dalam
penyelenggaraan RMIK dengan ataupun tanpa
proses akreditasi RS.
Tabel 5.7: Distribusi Ketersediaan Standar
Prosedur Operasional (SPO) Penyimpanan dan
Pemusnahan RM berdasarkan status akreditasi
dan kelas RSU pada Rifaskes 2011

5.1.7. Sebaran Ketersediaan Buku Pedoman
Penyelenggaraan Rekam Medis.
Sebaran Ketersediaan Buku Pedoman
Penyelenggaraan RM (BPPRM) berdasarkan
status akreditasi dan kelas RSU dapat dilihat
pada tabel 5.8.
Tabel 5.8: Distribusi Ketersediaan Buku
Pedoman Penyelenggaraan RM berdasarkan
status akreditasi dan kelas RSU pada Rifaskes
2011.

Pada tabel 5.8 di atas dapat dijelaskan
ada 31 missing data sehingga total responden
sebanyak 654 RSU. Sebagian besar RSU atau
sebesar 82,7% sudah memiliki BPPRM dan
hanya sebesar 17,3% belum BPPRM.
Persentase lebih besar RSU yang
terakreditasi
yang
memiliki
BPPRM
dibandingkan
RSU
yang
tidak
terakreditasi, RSU yang terakreditasi
pada semua kelas persentase semua di
atas 90% memiliki BPPRM.

Pada tabel 5.9 dapat dijelaskan terdapat
33 missing data sehingga total responden
sebanyak 652 RSU. Sebagian besar RSU atau
sebesar 80,2% sudah menggunakan ICD-10
dalam Pencatatan Kasus Mortalitas (multiple
cause of death) dan hanya sebesar 19,8% belum
menggunakan ICD-10 dalam Pencatatan Kasus
Mortalitas (multiple cause of death).
Persentase lebih besar RSU yang terakreditasi
yang menggunakan ICD-10 dalam Pencatatan
Kasus Mortalitas (multiple
cause
of
death)
dibandingkan RSU yang
tidak terakreditasi, RSU
yang terakreditasi pada
kelas A sebesar 100% dan
pada kelas B dan C sebesar
di atas 90%. Pada RSU
yang tidak terakreditasi
kelas D sebesar 47,2%
belum menggunakan ICD10 dalam Pencatatan Kasus Mortalitas (multiple
cause of death). Hal ini dapat diduga bahwa
RSU kelas D belum menyelenggarakan RMIK
secara optimal.
5.1.9. Sebaran Ketersediaan Mater Data
Base Pasien (Kartu Indeks Utama
Pasien atau KIUP/Elektronik)

5.1.8. Sebaran Penggunaan ICD-10
dalam
Pencatatan
Kasus
Mortalitas (multiple cause of
death)
Sebaran
Penggunaan
ICD-10
dalam Pencatatan Kasus Mortalitas
(multiple cause of death) berdasarkan
status akreditasi dan kelas RSU dapat
dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9: Distribusi Penggunaan ICD-10
dalam Pencatatan Kasus Mortalitas (multiple
cause of death) berdasarkan status akreditasi dan
kelas RSU pada Rifaskes 2011.

Tabel 5.10: Distribusi Ketersediaan
Mater Data Base Pasien (Kartu Indeks Utama
Pasien atau KIUP/Elektronik) berdasarkan status
akreditasi dan kelas RSU pada Rifaskes 2011.
terdapat

Pada tabel 5.10 di atas dapat dijelaskan
31 missing data sehingga total
responden sebanyak 654
RSU. Sebagian besar RSU
atau sebesar 79,1% sudah
menggunakan
KIUP/
Elektronik dan hanya
sebesar 20,9% belum
menggunakan KIUP.

Persentase RSU yang tidak terakreditasi
dan kelas RSU C dan D belum menggunakan
KIUP baik manual maupun elektronik.. Hal ini
dapat diduga bahwa RSU kelas C dan D belum
menyelenggarakan RMIK secara optimal.

Para pekerja dan manajer di bidang
kesehatan perlu memahami kebutuhan dan nilai
informasi kesehatan yang baik agar dapat
membantu dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan.

5.1.10. Sebaran
Penyampaian
Laporan
Rekam Medis Berkala Kepada
Pimpinan RS

5.1.11. Pelaksanaan
Rekam Medis

Sebaran Penyampaian Laporan Rekam
Medis Berkala Kepada Pimpinan RS
berdasarkan status akreditasi dan kelas RSU
dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11: Distribusi Penyampaian
Laporan Rekam Medis secara Berkala Kepada
Pimpinan RS berdasarkan status akreditasi dan
kelas RSU pada Rifaskes 2011.

Pada tabel 5.11 di atas dapat dijelaskan
terdapat 31 missing data sehingga total
responden sebanyak 654 RSU. Sebagian besar
RSU atau sebesar 92,4% sudah menyampaikan
laporan RM secara berkala kepada pimpinan RS
dan hanya sebesar 7,6% belum menyampaikan
laporan RM secara berkala kepada pimpinan RS.
Persentase hampir sama penyampaian
laporan RM secara berkala kepada
pimpinan RS antara RSU yang
terakreditasi dengan yang tidak
terakreditasi.
Walaupun
kecil
persentasenya tetapi perlu mendapat
perhatian ternyata laporan kegiatan RM
belum diperlukan pimpinan RS dalam
membuat keputusan atau belum
dijadikan
sebagai
dasar
dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan
Abdelhak
menjelasakan
bahwa
informasi
kesehatan
merupakan
sumberdaya strategis dalam fasilitas
pelayanan kesehatan.

Audit

Kuantitatif

Sebaran Pelaksanaan Audit Kuantitatif
RM berdasarkan status akreditasi dan kelas RSU
dapat dilihat pada tabel 5.12.
Pada tabel 5.12 di bawah ini dapat
dijelaskan terdapat 35 missing data sehingga
total responden sebanyak 650 RSU. Persentase
pelaksanaan audit kuantitatif RM lebih tinggi
RSU terakreditasi dibandingkan dengan RSU
yang tidak terakreditasi. Hal ini diduga terdapat
korelasi antara pelaksanaan
audit kuantitatif RM dengan
standar akreditasi kegiatan
RM. Begitu juga dengan
adanya standar pelayanan
minimal ditegaskan bahwa
satu diantara indikator adalah
angka kelengkapan RM, ini
bisa diperoleh dengan adanya
pelaksanaan audit kuantitatif
RM.
Persentase relatif sama
antara RSU kelas B, C dan D
yang tidak terakreditasi yaitu
rata-rata 63% tidak melaksanakan audit
kuantitatif RM. Sedangkan pada RSU yang tidak
terakreditasi rata-rata 30% sudah melaksanakan
audit kuantitatif RM.
Tabel 5.12: Distribusi Pelaksanaan
Audit Kuantitatif RM berdasarkan status
akreditasi dan kelas RSU pada Rifaskes 2011.

5.1.12. Sebaran
Pelaksanaan
Kualitiatif Rekam Medis

Audit

Sebaran Pelaksanaan Audit Kualitatif
RM berdasarkan status akreditasi dan kelas RSU
dapat dilihat pada tabel 5.13.
Tabel 5.13: Distribusi Pelaksanaan
Audit Kualitatif RM berdasarkan status
akreditasi dan kelas RSU pada Rifaskes 2011.

Pada tabel 5.13 di atas dapat dijelaskan
terdapat 35 missing data sehingga total
responden sebanyak 650 RSU. Persentase
pelaksanaan audit kualitatif RM lebih tinggi
RSU terakreditasi dibandingkan dengan RSU
yang tidak terakreditasi. Hal ini diduga terdapat
korelasi antara pelaksanaan audit kualitatif RM
dengan standar akreditasi kegiatan RM. Begitu
juga dengan adanya standar pelayanan minimal
ditegaskan bahwa satu diantara indikator adalah
angka kelengkapan RM, ini bisa diperoleh
dengan adanya pelaksanaan audit kualitatif RM.
Persentase relatif sama antara RSU kelas B, C
dan D yang tidak terakreditasi yaitu rata-rata
68% tidak melaksanakan audit kualitatif RM.
Sedangkan pada RSU yang tidak terakreditasi
rata-rata 30% sudah melaksanakan audit
kualitatif RM.

5.2. Sebaran Perekam Medis di Puskesmas
Indonesia
Rancangan Rifaskes 2011 adalah studi
potong lintang (cross sectional). Dilakukan
secara sensus terhadap
9005 puskesmas
berdasarkan data dari Dijen BUK dan Pusdatin
2010. Validitas data yang dikumpulkan
memiliki tingkat validitas di atas 80%.

Sebaran puskesmas yang telah memiliki
PM berdasarkan jenis puskesmas dapat dilihat
pada tabel 5.14 berikut ini:
Tabel 5.14: Distribusi Ketersediaan PM
berdasarkan Jenis Puskesmas pada Rifaskes
2011

Semula jumlah Puskesmas yang
dianalisis oleh Rifaskes 2011 sebanyak 8.981
puskesmas yaitu puskesmas yang sudah
berfungsi sebelum Januari 2010 dan sebagai
responden adalah kepala puskesmas, staf
puskesmas terkait dan pengelola informasi
puskesmas.
Dari total responden sebanyak 8.981
puskesmas sebaran PM dapat dilihat pada
gambar 5.2 berikut ini:

Gambar 5.2. Sebaran Ketersediaan PM di
Puskesmas berdasarkan Rifaskes 2011
Pada gambar 5.2 di atas dapat
dijelaskan terdapat 8 missing data, sehingga
total responden hanya 8.973 puskesmas. Dari
total responden 8.973 sebagian besar (90,0%)
pukesmas belum memiliki PM dan hanya 10%
yang sudah memiliki PM. Ketersediaan PM di
puskesmas saat ini masih menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah. Sehingga dapat
diduga belum semua pemerintah daerah yang
memahami pentingnya PM di puskesmas. Hal
ini tentunya menjadi tantangan bagi profesi PM
untuk dapat menunjukkan kompetensi yang
memang diperlukan oleh semua pelayanan
kesehatan. Selain itu tentunya organisasi profesi
dalam hal ini PORMIKI juga mempunya peran
penting dalam mengadvokasi pemerintah daerah
dan jajarannya tentang pentingnya PM di
puskesmas.

Pada tabel 5.14 di atas dapat dijelaskan
bahwa persentase sebaran ketersediaan PM pada
puskesmas perawatan lebih besar dibandingkan
puskesmas non perawatan.
Dari 90% puskesmas yang belum
memiliki PM tersebar hampir di seluruh propinsi
di Indonesia. Sebaran PM di puskesmas seluruh
propinsi dapat dlihat pada gambar 5.3.
Pada gambar 5.3 dapat dijelaskan bahwa
propinsi yang tidak ada PM di puskesmas (100%
tidak ada PM) adalah propinsi Gorontalo,
sedangkan propinsi dengan persentase terbesar
puskesmas ada PM adalah propinsi DI
Yogyakarta sebesar 58,7% (71 dari total 121
puskesmas). Selanjutnya diikuti oleh propinsi
Sumatera Barat sebesar 41,4% (103 dari total
248 puskesmas).
Keberadaan PM di puskesmas saat ini
masih menjadi kebijakan lokal sehingga sangat
bergantung dari sikap pimpinan puskesmas
dalam memahami pentingnya data rekam medis.
Hal ini tentunya belum sejalan dengan
pernyataan pada pasal 7 dan pasal 14 Permenkes
Nomor: 269/Menkes/PER/III/2008 tentang
Rekam Medis. Pasal 7 “Sarana pelayanan
kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan
rekam medis”, pasal 14 “setiap pimpinan sarana
pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas
hilang, rusak, pemalsuan dan/atau penggunaan
oleh orang atau badan yang tidak berhak
terhadap rekam medis”
Para kepala Dinas Kesehatan dan
jajarannya juga bertanggung jawab atas
terselenggaranya rekam medis di sarana
pelayanan kesehatan guna meningkatkan
kualitas pelayanan. Hal ini juga diatur dalam
peraturan yang sama pasal 16, “Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dan organisasi profesi terkait
melakukan pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
Pengelolaan rekam medis di puskesmas
tidak berbeda dengan rs, meliput pendaftaran
pasien, pengelolaan rekam medis,pengolahan
data termasuk koding atau kodefikasi penyakit
dan tindakan.
Sebaran PM berdasarkan penggunaan
ICD-10 di Puskesmas dapat dilihat pada tabel
5.15 berikut ini:
Tabel 5.14: Distribusi Ketersediaan PM
berdasarkan Penggunaan ICD-10 di Puskesmas
pada Rifaskes 2011

Pada tabel 5.15 di atas dapat dijelaskan
bahwa sebagian besar puskesmas belum
menggunakan ICD-10.
Koding penyakit dan tindakan baik di rs
maupun di puskesmas sangat diperlukan selain
sebagai laporan morbiditas dan mortalitas juga
berfungsi dalam penetapan tarif dengan pola
pembayaran prospektif. Sebagai komitmen
pemerintah Indonesia saat ini menggunakan
sistem INA-CBG’s dan pola ini yang akan
digunakan pada jaminan kesehatan semesta pada
Januari 2014.
Komitmen
pemerintah
untuk
menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat
semesta (universal health coverage) melalui UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang akan dimulai pada akhir
tahun 2014 sangat membutuhkan Profesional
RMIK, bertanggungjawab dalam penentuan
keakuratan kodefikasi dan klasifikasi penyakit/
tindakan sesuai ICD-10 dan ICD-9-CM
(Sedyaningsih, 2012).

Gambar 5.3. Distribusi PM di Puskesmas Berdasarkan Rifaskes 2011

DAFTAR PUSTAKA
Abdelhak Mervat, et.al, 2010, Health
Information:Management Strategic of
Resource. W.B. Saunders Company.
Austin Charles J, Boxerman Stuart B.,1997.
Information Systems for Health Services
Administration, 5th Ed, ChicagoIllinois, Health Administration Press.
Black, Sena; Powers, Garry; Roche Martin, A
GIS – based approach to community
analysis for targeted marketing, 1994
(Jurnal elektronik) diakses diakses 10
Januari
2013;
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=117
543570
Evans Jim, The Lay of the Land: GIS and
Mapping Software (whether it is for
marketing, routing or research,
mapping software can be a useful tool
for putting some of health care’s current
challenges perspective, 1997. (Jurnal
elektronik) diakses 10 Januari 2013;
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1
17543550
Guillermo Campitelli, 2007. Herbert Simon's
Decision-Making
Approach:
Investigation of Cognitive Processes in
Experts,
Universidad
Abierta
Interamericana,
Buenos
Aires,
Argentina. Artikel elektronik diakses 3
September 2012.
Hair J.F., Anderson R.E, Tatham RL., & Black
W.C., Multivariate Data Analysis. Fifth
Edition., U.S.A: Prentice Hall PTR.
Huffman, Edna K., 1999. Health Information
Management, 10th Ed. Berwyn, Illinois:
Physicians' Record Company.
Jean-Charles Pomerol, Frederic Adam, 2004.
Practical Decision Making – From the
Legacy of Herbert Simon to Decision
Support Systems, Université Pierre et
Marie Curie, 4 Place Jussieu, 75252
PARIS 5, France. Artikel elektronik
diakses 3 September 2012
Kementerian Kesehatan RI, Rencana Strategis
2010-2014, diakses 20 September 2012,
http://www.depkes.go.id

Kementerian Kesehatan RI, Petunjuk Teknis
Penggunaan
Bantuan
Operasinal
Kesehatan, Tahun, 2010, 2011, 2012,
diakses
19
September
2012
http://www.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI, Surat Keputusan
No.192/Menkes/SK/VI/2012
tentang
ROADMAP Rencana Aksi Penguatan
Sistem Informasi Kesehatan diakses 29
September
2012
http://depkes.go.id/downloads/RoadMap
SIK.PDF
Kementerian Kesehatan RI, Surat Keputusan
No.184 tahun 2004 tentang Kebijakan
Dasar Puskesmas. diakses 1 September
2012 http://www.depkes.go.id
Latour Kathleen M., Shirley Eichenwald, 2010.
Health
Information
Management:
Concepts, Principles and Practice.
Chicago Illinois: American Health
Information Management Association
(AHIMA)
Laudon Kenneth C., Laudon Jane P., 2006,
Management Information Systems,
Managing the Digital Firm: Enhancing
Decision Making, Pearson international
edition, Pearson Prentice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey, USA
Lippeveld, T., Sauerborn, R., Bodart, C., 2000.
Design and Implementation of Health
Information Systems, WHO, Geneva.
Prahasta Edi, 2001. Konsep-Konsep Dasar
Sistem Informasi Geografis. Bandung:
Informatika.
Soepardi J., 2012. Human Resources for Health
Information System, Center for Data
and Information Ministry of Health,
Sidang
Ilmiah
IX
Informatika
kedokteran PSIK Gunadarma, DepokJawa Barat.
Turban Efram, Volonino Linda, 2010,
Information Technology for Management:
Improving Performance in the Digital
Management, John Wiley & Sons (Asia) Pte
Ltd