Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien

BAB II
KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN NEGARA

A.

Pengantar
Hukum ekonomi Indonesia masih membutuhkan peraturan perundang-

undangan dan upaya harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional juga
sangat diperlukan agar bisa mengakomodir berbagai macam kebutuhan dalam
pengelolaan ekonomi nasional yang sekarang ini telah berubah sebagai akibat dari
fenomena baru dalam dunia bisnis, baik pada skala nasional, regional, maupun
internasional.
Pembenahan mendesak di bidang ekonomi adalah landasan yuridis sistem
ekonomi nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Agar perekonomian nasional dapat dikelola dengan baik maka diperlukan suatu
pedoman jelas, misalnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
berlandaskan konstitusi. Sebab hingga saat ini masih ditemukan multi penafsiran atas
Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Sebagai contoh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai salah satu pelaku usaha yang didirikan oleh negara berdasarkan Pasal 33
UUD 1945 64 memiliki fungsi dan peran strategis dalam pembangunan ekonomi

nasional karena BUMN telah memasuki hampir ke semua sektor ekonomi yang ada.

64

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut “hajat
hidup orang banyak” harus dikuasai oleh negara, dan implementasi penguasaannya antara lain
ditafsirkan dilakukan oleh pelaku ekonomi, yaitu BUMN. Pandji Anoraga, BUMN Swasta dan
Koperasi, Tiga Pelaku Ekonomi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 90.

Sampai pada 31 Desember 1997 saja BUMN mengelola aset sekitar Rp 461,6 trilyun
dan beberapa diantaranya bahkan menguasai industri hulu yang sangat vital dan
strategis. 65
Sebenarnya Pasal 33 UUD 1945 adalah suatu amanat dari Proklamasi dan
UUD 1945 mengenai perekonomian nasional Pancasila. Yang dimaksudkan dengan
ini adalah suatu susunan perekonomian Indonesia, yang pusatnya adalah kemakmuran
rakyat. Yang dimaksud dengan ini adalah mendahulukan tercapainya kemakmuran
rakyat, dan di atas itu dibangun secara berencana hal-hal dan bidang-bidang lain dari
kehidupan rakyat. 66
Sejak operasionalisasi BUMN menghadapi banyak persoalan dan tantangan
besar, misalnya sebagian besar BUMN menderita kerugian yang cukup signifikan

karena dikelola secara tidak efisien dan produktivitas yang rendah sehingga aneka
65

Harian Kompas, 27 April 1998, hal. 9.
Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 259. Lihat juga Bacelius Ruru
yang mengemukakan bahwa latar belakang filosofi dari UU BUMN adalah pada legimitasi keberadaan
BUMN yang berada pada Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan latar belakang sosiologis adalah bahwa
pelaksanaan peran BUMN dalam perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
belum optimal; peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dunia usaha; dan tuntutan liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi. Sementara latar belakang
yuridis adalah TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, yang perlu menata BUMN
secara efisien, transparan, dan profesional; dan keberadaan dan pengelolaan BUMN ditetapkan dengan
Undang-undang. Fondasi yuridis kedua adalah Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) 2002, yang
mengamanatkan perlunya mempersiapkan penyusunan RUU BUMN hingga menjadi Undang-undang
BUMN. Fondasi yuridis ketiga adalah peraturan perundang-undangan pra UU BUMN masih belum
mampu memberikan landasan hukum yang kuat; belum dapat memberikan kejelasan hukum terhadap
arah pengembangan BUMN; tersebar dalam berbagai peraturan, baik dalam yang berbentuk UU
maupun PP; dan peraturan-peraturan tentang BUMN yang ada masih belum terunifikasi dalam suatu
UU. Peraturan-peraturan BUMN yang sebelumnya ada yaitu: UU No. 19 Prp Tahun 1960 tentang
Penyeragaman Bentuk Hukum BUMN menjadi PN; UU No. 9 Tahun 1969 tentang Penyederhanaan

Bentuk BUMN menjadi tiga bentuk; PP No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan
Pengawasan Persero, Perum, dan Perjan; PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero; PP No. 13 Tahun
1998 tentang Perum; dan PP No. 6 Tahun 2000 tentang Perjan. Bacelius Ruru, (1) “Pondasi
Revitalisasi: Memahami UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN
INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 129-143.
66

bentuk perusahaan negara ini tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam
persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun internasional. Beberapa faktor yang
menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN tidak efisien sehingga mengalami
kerugian dan menjadi beban keuangan negara antara lain: (i) kaburnya status hukum
dan struktur organisasi BUMN, tidak jelas apakah BUMN merupakan suatu pelaku
ekonomi yang memiliki otonomi penuh ataukah hanya sebagai pelaksana atau bagian
dari struktur organisasi suatu departemen; (ii) mayoritas BUMN tidak memiliki
budaya perusahaan (corporate culture), visi dan misi perusahaan; (iii) kurangnya jiwa
entrepreneur dan profesionalisme SDM yang mengelola BUMN, sehingga kinerja dan
produktivitas sangat rendah: dan (iv) BUMN tidak dikelola dengan prinsip-prinsip
manajemen bisnis yang baik (good corporate governance) sebagai akibat dari campur
tangan pemerintah yang terlalu besar atau dominan dalam operasional perusahaan. 67
Dalam pembahasan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pemerintah

meletakkan posisi BUMN bukan sebagai badan atau lembaga publik, melainkan
sebagai badan usaha atau lembaga privat. “Meski keseluruhan atau sebagian besar
modalnya dimiliki pemerintah, BUMN adalah badan usaha dan bukan instansi
pemerintah. Kekayaan BUMN bukanlah kekayaan negara. Sesuai Pasal 4 UU
67

Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, (Jakarta: Literata Lintas Media,
2003), hal. 11. Bandingkan. Ibrahim R mengatakan bahwa buruknya kinerja BUMN disebabkan oleh
berbagai hal, antara lain; (1) tidak sinkronisasinya berbagai peraturan, seperti UU BUMN, Perseroan
Terbatas, Koperasi, Penanaman Modal, Pasar Modal, Anti Monopoli; (2) terlalu banyak berlindung
di balik misi politik; (3) panjangnya rantai birokrasi pengelolaan; (4) manajemen yang kurang
terkontrol; (5) tidak memiliki perencanaan strategis; (6) standar penilaian kinerja kurang tepat;
(7) kekuasaan departemen teknis sebagai kuasa pemegang saham terlalu besar dan mutlak bisa
memberhentikan direksi tanpa melalui rapat umum pemegang saham; dan (8) jika Menteri berganti
maka kebijakan pasti berubah dengan berbagai alasan. Lihat Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan
Yuridis Keberadaan BUMN; Suatu Tinjauan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No. 1-Tahun 2007.

BUMN, modal BUMN berasal dari ‘kekayaan negara yang dipisahkan’. Status aset
dan kekayaan yang ada di BUMN hasil pengelolaan modal merupakan aset dan
kekayaan BUMN itu sendiri karena keuangan dan kekayaan negara yang ada

di BUMN hanyalah sebatas modal atau saham. 68
Sebenarnya fenomena BUMN berlaku dalam sistem ekonomi manapun,
termasuk kapitalis liberal. Dalam mengawasi dan mengontrol adalah terjaminnya
mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk menindak manajemen bila terbukti tidak
mampu menyediakan pelayanan barang dan jasa secara baik, benar, wajar, dan adil.
Persoalannya adalah menyangkut social accountability yang bersifat politik, sebab
manajemen BUMN biasanya ditunjang berdasarkan kriteria politik. Keterkaitannya
yang begitu erat dengan politik menjadikan BUMN sebagai bagian dari birokrasi
yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan
politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten”, yang
kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju-mundur dan tak mampu bersaing.
Kendala yang dihadapi adalah tidak memiliki grand unified design pengelolaan
ekonomi Indonesia berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, yang diperankan oleh BUMN
bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi untuk
mengimplementasikan hak konstitusional publik. 69

68

RUU KIP: “BUMN Ingin Tetap Sopan”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 10.
Lihat Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN; Suatu Tinjauan”,

Op.Cit. Dalam hubungan ini, Menteri Negara BUMN Sofyan A Djalil mengatakan, bahwa pengelolaan
BUMN melalui prinsip-prinsip korporasi dinilainya lebih efektif dibandingkan dengan pengelolaan
BUMN dengan menggunakan sistem birokrasi yang dilakukan oleh kementrian BUMN. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk menjadikan perusahaan BUMN yang sehat, berdaya saing tinggi dan
memiliki nilai tambah bagi negara, khususnya bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
69

B.

Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia
Pasal 10 ayat (1) UU BUMN menetapkan bahwa pendirian BUMN diusulkan

oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji
bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. BUMN yang berbentuk
Persero, organnya adalah RUPS, Komisaris, dan Direksi. Sedangkan untuk Perum,
organnya adalah RUPS, Dewan Pengawas, dan Direksi.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (1) memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; (2) mengejar
keuntungan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang
banyak; (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta atau koperasi; dan (5) turut aktif memberikan bimbingan dan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Pengelolaan BUMN dengan sistem tersebut rencananya akan dilakukan pada tahun 2008. Meneg
Sofyan Djalil bahwa menilai pengelolaan BUMN melalui prinsip-prinsip korporasi dapat menciptakan
nilai korporasi (corporate value) yang transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian nantinya BUMN sepenuhnya dapat dilakukan secara korporasi, sebagaimana di negara
Selandia Baru, walaupun saat ini secara undang-undang belum sepenuhnya dilaksanakan secara
korporasi. Selain itu, perlu adanya program ke arah itu, dan perlu pula dilakukan diskusi lebih lanjut
di internal kementrian Negara BUMN, Menteri Keuangan serta pemerintah. Diharapkan BUMN dapat
berupa korporasi yang dikelola berdasar standar koperasi, di mana nantinya kementrian BUMN tidak
akan ada lagi. Untuk itu perlu melakukan beberapa kajian pokok, yakni seperti bagaimana mengurangi
birokrasi BUMN dan dalam waktu mendatang BUMN tidak perlu lagi meminta izin pada kementrian
BUMN. Dengan demikian BUMN dapat membuat keputusan yang terbaik dan segera, dan dapat
dipertanggungjawabkan, sesuai dengan masalah yang dihadapi berdasarkan ketentuan hukum.
Pengelolaan BUMN dinilainya perlu dilakukan secara korporasi, karena banyaknya masalah yang
dihadapi BUMN, seperti yang berkaitan dengan hukum dengan kliennya dan masyarakat seperti
misalnya soal tanah. Dengan sistem korporasi nantinya diharapkan persoalan-persoalan tersebut akan
diselesaikan secara hukum. Lihat “Pengelolaan BUMN dengan Prinsip Korporasi Lebih Efektif”,

Kominfo-Newsroom, 17 Juli 2007.

Berdasarkan prinsip-prinsip korporasi, Pemerintah juga dapat memberikan penugasanpenugasan khusus kepada BUMN, namun harus mendapatkan persetujuan dari RUPS/Menteri,
dan penugasan khusus tersebut dapat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan.70
1. Sejarah Ringkas
Seiring dengan konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959, Pemerintah
telah mengambilalih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda.71
Ketika itu pemerintah menginginkan dan berharap agar perusahaan-perusahaan Belanda
yang telah diambil-alih dapat dikelola dan dikembangkan oleh para pengusaha swasta
pribumi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa para pengusaha swasta pribumi saat
itu belum memiliki kemampuan untuk menanganinya karena keterbatasan modal usaha
dan sumber daya manusia. Sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang bersedia membeli
dan mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda tersebut ditolak Pemerintah dengan
alasan pengusaha etnis Tionghoa tidak boleh lagi mendominasi dunia usaha di bidang
perdagangan, industri dan pertanian seperti pada jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Karena itu Pemerintah akhirnya mengambil keputusan mendirikan sejumlah perusahaan
negara untuk mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda dimaksud.72
70

Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143.

Menurut Martiono Hadianto (ketika menjabat Direktur Jenderal BUMN Depkeu RI),
BUMN didirikan dengan latar belakang yang berbeda, misalnya BUMN yang berasal dari nasionalisasi
beberapa perusahaan ex Hindia Belanda (Jawatan Kereta Api dan Pegadaian). “Di samping
meneruskan warisan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah mendirikan beberapa BUMN
di antaranya Garuda, Pelni, Jakarta Liyod (sektor perhubungan), BNI, BRI (sektor perbankan), PT
Semen Gresik dan PT Pupuk Sriwijaya (sektor manufaktur). Selain itu pemerintah juga mendirikan
BUMN yang berasal dari pengambilalihan perusahaan Inggris, Malaysia dan Singapura”. Martiono
Hadianto, “Peran dan Posisi BUMN dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua” dalam Moh. Arsjad
Anwar dkk (ed), Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN: Upaya Menciptakan Sinergi dalam
Rangka Peningkatan Daya Saing BUMN, (Jakarta, 1994), hal. 11-12.
72
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), hal. 94.
71

Kebijakan yang diambil Pemerintah pada awal tahun 60-an tersebut hampir
mengalami kebuntuan karena Indonesia pada masa itu belum memiliki sumber daya
manusia yang cukup memadai untuk menjalankan perusahaan-perusahaan berskala
besar secara efisien dan produktif. Dalam pada itu, pengusaha pribumi sendiri belum
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak untuk memimpin unit usaha
yang besar. Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia ini Pemerintah

mengerahkan sumber daya manusia dari kalangan militer yang ketika itu relatif cukup
baik. Di Indonesia, kalangan militer telah berpengalaman dalam mengelola kegiatankegiatan berskala besar seperti pengadaan personil (rekruitmen, pendidikan dan
pelatihan) dan logistik (pengadaan, pengangkutan dan logistik), sehingga boleh
dikatakan bahwa kebijakan Pemerintah inilah yang menumbuhkan embrio dwifungsi
militer di Indonesia. 73
Pada masa ini, perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan perundangundangan seperti Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW),
Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab
73

Indra Bastian, Ibid, hal. 94. Dapat ditambahkan bahwa posisi dan peranan negara dalam
perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut: (1) Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki social overhead
capital (SOC) sebagai modal pembangunan; (2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities
sebagai akibat perang; dan (3) Terpinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga setelah
pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China). Berbagai permasalahan tersebut mendorong
pemerintah untuk berperan lebih besar dan melakukan beberapa intervensi untuk mendorong
tumbuhnya perekonomian nasional. Upaya menggerakkan perekonomian dalam masa demokrasi
parlementer diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng
yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi. Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah juga
diarahkan untuk mendorong perekonomian nasional dengan mendirikan perusahaan negara melalui

proses nasionalisasi. Nasionalisasi terutama terjadi pada beberapa perusahaan Belanda di bidang
infrastruktur yang bersifat natural monopoly. Lihat Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan
Nasionalisme Pengelolaan BUMN”, http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapan
NasionalismePengelolaanBUMN.pdf.

Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.74 Pengaturan perusahaan negara
dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di bidang
administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. Karena itu, untuk melakukan reorganisasi
alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.
19 Tahun 1960. Dengan Perpu ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu
semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan
kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau
berdasarkan Undang-Undang.75
Sistem ekonomi terpimpin di masa Orde Lama (ORLA) memfungsikan
perusahaan-perusahaan negara sebagai instrumen industrialisasi ekonomi dan
pengelolaannya didominasi oleh militer. Ketika kekuasaan ORLA berakhir pada
tahun 1967, perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti perbankan,
perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri
barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika dan
semen. Seiringan dengan itu pula, kalangan pengusaha semakin maju dan
berkembang pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa
karena mereka bernaung dalam suatu asosiasi yang dikendalikan oleh Pemerintah.
Perusahan-perusahaan negara bisa menjadi kuat karena disubsidi dan diproteksi oleh
Pemerintah dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat

74
75

Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184.
Martiono Hadianto, Op.Cit., hal. 12.

berperan sebagai agent of industrial growth. Namun kebijakan Pemerintah ini dinilai
pilih-kasih dan berdampak buruk terhadap perkembangan peranan swasta dalam
konteks pembangunan perekonomian nasional. 76
Konsep Presiden Soekarno tentang sistem ekonomi nasional ternyata
dipengaruhi oleh “laporan-laporan yang diterima dari Atase Indonesia di Yugoslavia,
yang telah menggunakan perusahaan negara sebagai kendaraan untuk pembangunan
nasional dengan sukses luar biasa. Perusahaan negara juga merupakan kompromi
yang berhasil antara kapitalisme dan komunisme dan secara politis berhasil karena
Yugoslavia merupakan anggota blok komunis yang paling condong keluar”.77
Dengan mengembangkan perusahaan negara pada seluruh sektor ekonomi, di mana
masing-masing perusahaan negara memiliki wewenang eksklusif atas sektor ekonomi
yang vital dan strategis, Presiden Soekarno berharap pembangunan ekonomi nasional
bisa berhasil dan meningkat dengan cepat.
Kemudian perubahan mendasar terjadi dalam sistem perkonomin Indonesia
ketika Orde Baru (ORBA) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967. Terjadinya
perubahan mendasar tersebut terutama dipengaruhi oleh dua lembaga donor
internasional, yaitu International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan
International Bank for Reconstruction & Development (IBRD). Kedua lembaga
donor ini berhasil meyakinkan Pemerintah bahwa upaya pemulihan perekonomian

76

Indra Bastian, Op.Cit., hal. 94.
Lihat Robert Pabrikan, “Pertamina: Sebuah Perusahaan Minyak Nasional di Negara
Berkembang”, dalam Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum (ed), Peranan Hukum dalam
Perekonomian Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 212.
77

Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Namun untuk dapat memperoleh
bantuan luar negeri tersebut, kedua lembaga donor dimaksud mensyaratkan
Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberi jalan
masuknya modal asing. Agar bantuan luar negeri tersebut dapat diperoleh, maka
Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 tentang Penanaman
Modal Asing (PMA) yang telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia
melalui berbagai perusahaan multinasional.
Dalam tahun yang sama, Pemerintah kembali mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 1969 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang
berhasil mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan.
Dengan Undang-Undang ini, BUMN dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu
Perjan, Perum dan Persero. Selain itu, ada lagi bentuk BUMN yang diatur secara
khusus dengan undang-undang tersendiri yaitu bank-bank milik pemerintah dan
Pertamina. 78 Dalam praktiknya, bidang usaha BUMN dibedakan antara public

78

Perjan adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa bagi masyarakat
termasuk pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN yang dikelola
oleh Departemen yang membawahinya, dan statusnya berkaitan dengan hukum publik (IBW dan
ICW); Perum adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum
di samping mendapatkan keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang
dipisahkan dan berstatus badan hukum yang diatur dengan undang-undang; dan Persero adalah BUMN
yang bertujuan untuk memupuk keuntungan dan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong
perkembangan sektor swasta dan koperasi, di luar bidang usaha Perjan dan Perum, modal seluruhnya
atau sebagian adalah milik negara dari kekayaan yang dipisahkan dan terbagi atas saham-saham serta
berstatus badan hukum perdata yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Marwah M. Diah, Op.Cit., hal.
184-186.

utilities (perposan, telekomunikasi, listrik, gas, kereta api dan penerbangan), industri
vital strategis (minyak, batu bara, besi baja, perkapalan dan otomotif), dan bisnis. 79
Setahun kemudian diundangkan pula Undang-Undang No. 6 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mendorong terciptanya
perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pengusaha etnis Tianghoa.
Seiring itu pula, lahir perusahaan-perusahaan besar milik badan-badan usaha yang
terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer, yang diduga mewakili militer
sebagai institusi. Diperkirakan bahwa sejak saat ini mulai tercipta hubungan
kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang
berkuasa dalam berbagai bentuk kerjasama yang ditengarai bernuansa kolusi, korupsi
dan nepotisme (KKN). 80
Ketika Indonesia memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat
melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional, tidak bisa
dipungkiri fakta bahwa “rejeki nomplok” tersebut memberikan andil yang cukup
besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Terciptanya kondisi ekonomi yang
cenderung semakin baik dan ditopang pula oleh stabilnya kehidupan politik nasional
pada awal tahun 1980-an ini, adalah faktor utama pendorong bagi pelaksanaan
kegiatan-kegiatan ekonomi nasional. Kurang lebih dua pertiga penerimaan
pemerintah bersumber dari minyak dan gas bumi. Namun, booming penerimaan dari
migas yang berlimpah dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
79

Christianto Wibisono, dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 107.
80
Indra Bastian, Op.Cit., hal. 94-95.

pemerintah saat itu ternyata tidak disertai dengan sistem pengelolaan keuangan yang
baik, khususnya dalam tubuh BUMN. Di samping maraknya masalah KKN,
pemerintah pusat justru memberi suntikan dana secara besar-besaran kepada beberapa
BUMN karena pemerintah merasa mampu memberi subsidi untuk berbagai kegiatan,
termasuk membantu kegiatan BUMN yang sebetulnya kurang efisien. Tabel 1 berikut
ini dapat menggambarkan betapa besarnya suntikan dana yang diberikan oleh
pemerintah kepada BUMN, termasuk untuk BUMN yang merugi, sejak periode 19751980. 81
Tabel 1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN
Tahun

Rp
(Miliar)

USS (Juta)

Tahun

Rp
(Miliar)

USS (Juta)

1975
109
263
1981
481
770
1976
218
525
1982
337
539
1977
167
402
1983
592
595
1978
129
311
1984
336
312
1979
253
405
1985
412
366
1980
476
762
1986
91
79
Sumber: A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta:
LP3ES, 2003), hal. 4-5.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk
meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya oleh
Pemerintah. Dengan adannya PP ini Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat
besar dalam hal pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan

81

hal. 4-5.

A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003),

pengelolanya (manajemen). Kewenangan Pemerintah ini dilaksanakan oleh
Departemen Keuangan sebagai wakil pemegang saham dan departemen teknis
sebagai kuasa wakil pemegang saham. Dapat dikatakan bahwa PP tersebut
memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan BUMN itu sendiri karena
berdasarkan penelitian diketahui bahwa dalam hal rekruitmen direksi dan dewan
komisaris, peranan dan kepentingan kedua departemen dimaksud sangat dominan.
Direksi dan komisaris bertindak hanya untuk kepentingan dan keuntungan dari
departemen yang menunjuk atau mengangkatnya, bukan berdasarkan profesionalisme
sehingga kemandirian manajemen BUMN sebagai lembaga bisnis menjadi hilang.
Kedua departemen tersebut selalu mencampuri operasionalisasi BUMN sehingga
menyulitkan pihak manajemen untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, karena
dalam prakteknya kedua pimpinan (menteri) dari departemen tersebut seringkali
memiliki visi yang bertentangan membuat direksi BUMN sulit untuk dapat
mengelolanya dengan baik, terutama dalam hal pengambilan keputusan untuk
pengembangan BUMN itu sendiri. Dalam seminar The CEO Business Summit/Profile
& Anatomy of Privatization yang diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 1994, tiga
direktur utama BUMN mengungkapkan bahwa PP No. 3 Tahun 1983 memang
menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam pengelolaan dan pengembangan
BUMN. 82

82

Marwah M. Diah, Op.Cit,, hal. 187-188. Menurut Didiek J. Rachbini, BUMN adalah sistem
dan organisasi yang kompleks karena keberadaannya sebagai organisasi bisnis berhadapan langsung
dengan organisasi birokrasi dan politik kekuasaan. Sebagai organisasi bisnis, BUMN harus berhadapan
dengan pasar dan persaingan yang ketat. Jika gagal menghadapi persaingan tersebut maka

Jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 membawa akibat signifikan
terhadap perkembangan BUMN. Terpuruknya harga minyak bumi membuat
penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang, sehingga Pemerintah
mengambil kebijakan pengetatan anggaran, termasuk pemberian subsidi untuk
berbagai kegiatan perekonomian seperti BUMN. 83 Untuk memberdayakan kembali
peranan BUMN, pemerintah mengeluarkan PP No. 55 Tahun 1990 tentang
Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat
Melalui Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas
kepada BUMN yang telah go-public. Artinya, pemerintah memiliki keinginan yang
kuat untuk dapat menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki kemampuan yang
cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era perdagangan bebas. Untuk itu
pemerintah membebaskan BUMN dari kontrol birokratis. Hubungan antara
pemerintah sebagai pemegang saham dengan pengelola BUMN dijalankan secara
profesional. Misalnya di dalam pengambilan keputusan, Direksi BUMN cukup hanya
dengan melakukan konsultasi dengan Dewan Komisaris. Dalam hal ini jelas bahwa
pemerintah berusaha untuk mendorong pengelolaan BUMN dilakukan sesuai dengan

kesinambungan usahanya terancam dan bangkrut. Dengan demikian BUMN menghadapi masalah
dasar yang sama dengan organisasi bisnis atau perusahaan swasta lainnya sehingga ketahanan
perusahaan harus dijaga. Biaya produksi harus ditekan semaksimal mungkin untuk memperkuat
persaingan dan survival. Di sisi lain, BUMN berhadapan langsung (head to head) dengan kompleksitas
birokrasi, politik, dan kekuasaan. Undang-Undang BUMN mencabut garis komando kementrian
terhadap BUMN karena BUMN menjadi “sapi perah” dan ajang moral hazard. Meski demikian,
intervensi politik, birokrasi, dan kekuasaan masih tetap besar sehingga membuat BUMN seperti terikat
kakinya. Didiek J. Rachbini, (1), “BUMN dan Pilitik“, Harian Suara Merdeka, Senin, 09 Oktober
2006.
83
Barcelius Ruru, (2) “Restrukrisasi Peran BUMN: Tinjauan Ideologis dan Ekonomis” dalam
Kumala Hadi dkk (ed), Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 1997), hal. 332.

prinsip-prinsip usaha swasta dan mengubah statusnya dari Perjan menjadi Perum dan
selanjutnya meningkat menjadi Persero. 84
Selanjutnya, pengertian “Badan Usaha Negara” dihubungkan dengan
keberadaan Bank-Bank Pemerintah, seperti dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) dan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Prp Tahun
1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968
tentang Bank Negara Indonesia 1946, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Bank Milik Negara adalah
“badan hukum yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
diatur bahwa Bank Indonesia adalah milik Negara... dan seterusnya. Selanjutnya
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengatur bahwa modal bank

84

Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 189.

“berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) yang merupakan kekayaan negara
yang dipisahkan”. 85
Memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 jo. Instruksi Presiden Nomor
17 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 21
Prp Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968, dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1968, dapat disimpulkan bahwa “Badan Usaha Negara” adalah “badan
usaha atau perusahaan yang modalnya dimiliki oleh negara, baik seluruhnya maupun
sebagian yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”. 86
Jadi, secara prinsip pengertian “BUMN” dan “Badan Usaha Negara” sama,
yaitu suatu badan usaha atau perusahaan di mana negara melakukan penyertaan
modal, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. 87
2. Penggunaan Istilah Perusahaan Negara dan BUMN
Istilah lain yang memiliki makna hampir sama dengan BUMN adalah
“perusahaan negara”. Dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1960 (UU 19/1960), yang
dimaksud dengan “perusahaan negara” semua perusahaan dalam bentuk apapun yang
85

Hambra, “Sejarah Terminologi BUMN”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 18.
Ibid.
87
Ibid.
86

modal seluruhnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia, kecuali jika
ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. UU No. 19/1960 tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk mengadakan keseragaman bentuk badan usaha
yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti itu, “perusahaan
negara” merupakan bagian dari “BUMN” karena hanya ditujukan pada usaha negara
yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara. Dengan demikian, usaha negara
yang sebagian modalnya dimiliki negara –walaupun negara memiliki mayoritas
modal pada badan usaha tersebut – tidak dapat dikategorikan sebagai “perusahaan
negara”, melainkan berada dalam lingkup pengertian “BUMN”. 88
Dalam rentang sejarah perkembangan sistem pembinaan BUMN, pada tanggal
26 Oktober 1988, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN (Inpres
5/1998). Dalam Inpres 5/1998 tersebut, badan usaha milik negara mempunyai dua
pengertian, yaitu BUMN dalam arti sempit dan BUMN dalam arti luas. Pengertian
BUMN tersebut kemudian diadopsi oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor
740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan
Produktivitas BUMN (KMK 740). 89
Angka I Butir 1 Inpres 5/1988 dan Pasal 1 Angka 2 KMK 740 mengatur
bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah: a) Badan Usaha yang seluruh
modalnya dimiliki negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara

88
89

Ibid, hal. 19.
Ibid.

tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu pertama, BUMN yang merupakan
patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; kedua, BUMN yang
merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya; dan ketiga, BUMN
yang merupakan Badan Usaha Patungan dengan Swasta Nasional/Asing di mana
negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%). 90
Dengan demikian, BUMN merupakan suatu unit bisnis yang mempunyai
hubungan dengan negara dalam konteks kepemilikannya. Dalam rentang sejarah,
istilah yang dipergunakan, ruang lingkup, dan pengertian unit bisnis tersebut sangat
beragam. 91
Seiring dengan perkembangan BUMN, saat ini terdapat dua istilah yang
mengandung makna “keikutsertaan negara dalam badan usaha”. Masing-masing
adalah “Perusahaan Negara” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan “BUMN” sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 92
Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU No. 17/2003, “Perusahaan Negara” adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki Pemerintah Pusat.
Pengertian ini sangat luas karena mencakup seluruh badan usaha di mana negara
memiliki modal, walaupun modal tersebut sangat kecil, misalnya hanya 0,01%.
Menurut penulis, pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No. 17/2003
hanya

menggunakan
90

Ibid.
Ibid.
92
Ibid.
91

pendekatan

kepemilikan

modal

tanpa

memperhatikan

kedudukan “Perusahaan Negara” dalam kerangka hukum korporasi yang berlaku
umum. Pengaturan seperti ini kiranya sangat berkaitan dengan substansi pengaturan
dalam UU No. 17/2003, yaitu mengenai “keuangan negara”. Apabila pendekatannya
kepemilikan modal, sebenarnya lebih tepat apabila UU No. 17/2003 memberikan
pengertian atau mempertegas “makna perlakuan” ketatanegaraan terhadap keuangan
atau kekayaan negara yang tertanam dalam suatu badan usaha. Sehingga istilah yang
dipergunakan bukan mengarah pada subjek (perusahaan), namun lebih pada kegiatan
usaha, yaitu “usaha negara”. 93
Berbeda dengan UU No. 17/2003 yang menggunakan istilah “Perusahaan
Negara”, dalam UU No. 19/2003 istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan

93

Ibid. Lihat juga Bacelius Ruru yang mengemukakan bahwa ada pendapat yang mengatakan
bahwa terdapat ketidaksinkronan antara UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) dengan
UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN). Berdasarkan penjelasan dari Departemen Keuangan
(Tim Perumus UUKN), pada tanggal 26 Maret 2203, di Departemen Keuangan dan dalam “suasana
kebatinan” UUKN di DPR dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pengertian UMN (Pasal 1 Angka 5
UUKN) adalah Perusahaan Negara yaitu badan usaha atau seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
oleh Pemerintah Pusat. Penjelasannya: (1) istilah Perusahaan Negara (PN) dalam UUKN adalah tidak
lain dari BUMN. Istilah PN di dalam UUKN bersifat umum yang perumusannya secara khusus
diserahkan kepada UU BUMN; (2) UU BUMN menggunakan istilah BUMN, bukan PN, dan
membatasi kriteria BUMN yaitu kepemilikan negara 51%; dan (3) istilah Pemerintah Pusat dalam
pemilikan PN dimaksudkan untuk membedakan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Kedua, Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara dipisahkan (Pasal 6 ayat (2) huruf a UUKN); dan Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan
pengawasan kepada Perusahaan Negara (Pasal 24 ayat (3) UUKN). Penjelasannya adalah:
(1) pengaturan tersebut di atas merupakan penegasan terhadap prinsip-prinsip yang telah dilaksanakan
selama ini; (2) dengan demikian, pelimpahan kepada Menteri BUMN atau instansi lain masih
dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMN; (3) kewenangan Menteri
Keuangan selaku Pemegang Saham selama ini tidak pernah beralih dari Menteri Keuangan ke Menteri
lain; dan (4) ke depan, mengenai keberadaan, kedudukan, dan kewenangan Departemen dan
Kementerian akan diatur dengan UU. Ketiga, berkenaan dengan privatisasi. Privatisasi, sesuai dengan
pasal 24 ayat 5 UUKN, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, dan semua penerimaan
negara dari hasil privatisasi harus dimasukkan ke dalam APBN. Penjelasannya adalah: (1) yang
dimaksud dengan persetujuan DPR dalam UUKN adalah persetujuan DPR dalam rangka persetujuan
DPR atas APBN secara keseluruhan; dan (2) penyetoran hasil privatisasi ke Kas Negara secara netto
berdasarkan UU BUMN disesuaikan dengan prinsip-prinsip APBN (pencatatan dan pemantauannya).
Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143.

keikutsertaan negara dalam suatu badan usaha adalah “BUMN”. Dalam UU No.
19/2003, pengertian BUMN telah diperjelas dan dipertegas. Sejak lahirnya UU No.
19/2003 tanggal 19 Juni 2003, “istilah” dan “pengertian” BUMN dikukuhkan dalam
suatu undang-undang sebagai suatu kesatuan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No.
19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Pengertian BUMN tersebut mengandung beberapa unsur
yang merupakan satu kesatuan makna, yaitu: pertama, berbentuk badan usaha; kedua,
kepemilikan negara pada badan usaha tersebut bersifat langsung; dan keempat, modal
negara tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. 94
Dengan adanya penegasan bahwa BUMN merupakan suatu badan usaha yang
modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seakan-akan UU No.
19/2003 memberi pesan bahwa BUMN harus dikelola secara profesional dan mandiri
untuk mencapai suatu tujuan usaha, yaitu “keuntungan”. Kesimpulan seperti itu dapat
diabsahkan sehubungan dengan pengaturan mengenai maksud dan tujuan pendirian
BUMN yang salah satunya adalah “mengejar keuntungan”. Di samping itu, makna
“kekayaan negara yang dipisahkan” sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 4
ayat (1) UU No. 19/2003 dapat mempertegas kesimpulan bahwa BUMN harus
dikelola secara profesional dan mandiri. 95

94
95

Hambra, Op.Cit., hal. 19.
Ibid.

Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2003 tersebut juga mempertegas bahwa suatu
badan usaha disebut BUMN apabila negara memiliki modal/saham mayoritas atau
seluruhnya dan penyertaan negara tersebut bersifat langsung. Dengan penegasan
seperti ini, badan usaha yang sebagian kecil saham/modalnya dimiliki negara pun
tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN. Dalam konteks ini, penulis berpendapat
bahwa pengertian BUMN secara tidak langsung dapat dimaknai sebagai suatu badan
usaha yang dapat dikendalikan oleh negara melalui kepemilikan saham mayoritas. 96
Jika membandingkan pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No.
17/2003 dengan pengertian “BUMN” berdasarkan UU No. 19/2003, terlihat bahwa
pengertian “Perusahaan Negara” lebih luas dari pengertian “BUMN”. Pengertian
“Perusahaan Negara” meliputi badan usaha yang modalnya dimiliki Negara
(i) seluruhnya (ii) sebagian besar dan (iii) sebagian kecil. Sedangkan pengertian
“BUMN” hanya meliputi badan usaha yang modalnya (i) seluruhnya dan (ii) sebagian
besar dimiliki negara. 97
Dalam perjalanan BUMN sebagai salah pelaku ekonomi yang memiliki
peranan penting dan strategis dalam menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan
kemakmuran rakyat banyak yang sebesar-besarnya, dapat dikatakan BUMN telah
berhasil mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan dan pendorong
korporasi, kendati tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Kinerja BUMN dinilai
belum memadai seperti masih rendahnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan

96
97

Ibid.
Ibid.

dengan modal yang diinvestasikan yang seharusnya sudah mampu menyediakan
barang dan jasa yang berkualitas tinggi bagi rakyat. Di sisi lain, perkembangan
ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis terutama kegiatan ekonomi yang
berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati
bersama secara internasional dalam forum World Trade Organization (WTO),
ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC). 98
Dan pada era globalisasi ekonomi ini, untuk mengoptimalkan peran dan
fungsinya serta mampu mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan
ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, maka tidak bisa tidak BUMN
perlu menumbuhkan jiwa dan semangat korporasi serta profesionalisme yang tinggi
dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
guna pencapaian efisiensi yang optimal. 99

98

Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 189.
Salah satu masalah terpenting perusahan negara (BUMN) yang tidak kunjung terpecahkan
hingga pertengahan tahun 1980-an adalah status dan cara kerjanya. Sebagai kelompok usaha, BUMN
merupakan konglomerasi bisnis paling raksasa, dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam
sistem perekonomian nasional. Dengan jumlah total 215 perusahaan pada tahun 1980-an, kegiatan
perusahaan negara tersebut dimulai dari bentuk usaha yang sederhana hingga kepada bisnis yang
paling rumit, seperti industri pesawat terbang yang dibangun dan dipimpin oleh Dr Habibie, sebagai
saingan utama Widjojo dan kawan-kawannya yang sebagian besar usaha mereka terpusat pada
pelayanan publik (penerbangan, peralatan, konstruksi), pertambangan (minyak, gas, timah), keuangan
dan perbankan, serta industri manufaktur dasar. Apabila ditinjau dari segi ukuran dan pengaruhnya,
tampak nyata bahwa perusahaan-perusahaan negara di Indonesia dalam praktiknya merupakan “negara
di dalam negara”. Lihat Hal Hill, The Indonesian Economy Since 1966 (London: Cambridge, 1966),
hal. 101. Dari sisi eksternal BUMN juga mengalami banyak hambatan. Berbagai permasalahan yang
dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya berbagai permasalahan eksternal seperti:
(1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2) tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang
tidak seimbang; (4) resiko politik; (5) peraturan yang tidak stabil; dan (6) kurangnya tekanan untuk
melakukan kegiatan secara lebih efisien atau meningkatkan kemampuan teknologi. Kesemuanya itu
menjadikan permasalahan BUMN ibarat lingkaran yang tidak berujung pangkal (viciousfundingcycle).
Lihat juga Setyanto P. Santosa, Op.Cit.
99

Dalam sambutan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan
“BUMN Forum dan Indonesia Business-BUMN Exhibition (IBBEX) 2007” tanggal
12 April 2007 di Jakarta, antara lain mengemukakan bahwa:
“Pemerintah selaku pemegang saham terbesar di BUMN, berkeinginan
agar BUMN terus melakukan transformasi bisnis. Transformasi itu
dapat dilakukan melalui perubahan dari kultur birokrasi menuju kultur
korporasi. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika BUMN mampu
mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance), serta membersihkan diri dari segala bentuk
penyimpangan dan penyelewengan. Ke depan, tidak boleh ada lagi
BUMN yang terus menerus merugi. Jangan bangga jadi direktur PT.
Rugi Abadi. BUMN yang terus merugi, bukan saja tidak dapat
memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga
menjadi beban bagi keuangan negara.
Mencermati perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini ---terutama
tentang perlu tidaknya negara terlibat dalam kegiatan usaha--- menurut
pendapat saya kita harus mengembalikannya pada jiwa dan kandungan
yang ada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang
Dasar Negara kita dengan tegas menyatakan bahwa, cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, dikuasai oleh negara. Landasan inilah yang harus kita
pegang teguh. Landasan inilah yang harus kita jadikan acuan utama,
dalam menentukan sejauh mana negara perlu terlibat dalam bidang
usaha.
Sejak tahun 2005 hingga semester pertama tahun 2006, Pemerintah
belum melakukan privatisasi BUMN. Beberapa faktor mendasar yang
menyebabkan belum dilakukannya privatisasi itu, adalah antara lain
karena Pemerintah masih berkonsentrasi pada pelaksanaan
restrukturisasi, melalui peningkatan kinerja perusahaan. Kita pun
masih menunggu kondisi pasar yang lebih baik agar tidak terjadi yang
kita sebut undervalue dari nilai perusahaan kita. Dalam waktu dekat,
yang perlu kita lakukan adalah melanjutkan upaya-upaya
restrukturisasi dan reformasi BUMN. Restrukturisasi dan reformasi
BUMN, sebagaimana saya katakan tadi, sangat diperlukan untuk
menyelaraskan strategi internal perusahaan, dengan kebijakan
industrial serta pasar tempat beroperasinya BUMN. Strategi dan
reformasi BUMN diperlukan untuk memisahkan fungsi komersial dan
pelayanan masyarakat pada BUMN, serta mengoptimalkan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik secara utuh.

Salah satu upaya yang harus kita perbaiki bersama-sama adalah,
stigma negatif yang melekat pada BUMN. BUMN sering
dikategorikan sebagai perusahaan tempat tumbuh suburnya Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Tindakan hukum yang harus dijalani oleh
sejumlah direksi BUMN akhir-akhir ini, seolah-olah membenarkan
stigma negatif itu. Pada kesempatan yang baik ini, saya mengajak
kepada seluruh jajaran BUMN, marilah kita hapuskan stigma negatif
itu. Marilah kita berusaha membersihkan BUMN dari segala bentuk
tindakan KKN. Dengan komitmen dan kesungguhan kita, pada saatnya
nanti, BUMN harus betul-betul kita kelola sesuai asas good corporate
governance, dan budaya korporasi yang sehat. Dengan pengelolaan
seperti itu, stigma negatif BUMN sebagai sarang korupsi, lambat laun
akan terhapus dengan sendirinya.”

Perkembangan BUMN secara garis besar dapat dibagi dalam 4 (empat)
periode sebagai berikut 100:
a. Periode sebelum kemerdekaan. Keberadaan BUMN sebelum kemerdekaan
diatur dengan ketentuan IBW dan ICW. Di masa ini terdapat sekitar 20
100

Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 186-187. Lihat juga Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan,
yang mengatakan bahwa “secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga
alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis dari aset asing yang dinasionalisasi. Alasan ini terjadi
di tahun 1950-an, ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Peristiwa ini
dimulai pada tahun 1957, ketika kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh disertai krisis ekonomi yang parah.
Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat sinyal bahwa Pemerintah Parlementer akan membawa
Indonesia ke dalam keterpurukan. Gerakan menuju ke pemerintah Presidensial sesuai dengan UUD
1945 dimulai. ... Kedua, membangun industri yang diperlukan oleh masyarakat, namun masyarakat
sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi yang sangat besar. Kita
melihat pada pertengahan tahun 1960-an pemerintah mulai mendirikan pabrik-pabrik pupuk urea,
mulai di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Aceh. Pemerintah juga
menyelenggarakan usaha penerbangan perintis Merpati Nusantara. Pemerintah mengambil alih Indosat
sebagai home-base dari pemilikan dan pengelolaan Satelit Palapa. Pemerintah juga mendirikan
industri-industri kelistrikan sebagai bahan bakar energi nasional. Pemerintah mendirikan industri
pesawat terbang, IPTN, dengan tujuan menjadi pelaku bisnis regional di bidang pesawat angkut jenis
menengah dan kecil. Ketiga, membangun industri yang sangat strategis, berkenaan dengan keamanan
Negara. Oleh karena itu, pemerintah membangun industri persenjataan, Pindad, bahan peledak,
Dahana, pencetakan uang, Peruri, hingga pengolahan stok pangan, Bulog. Di luar alasan politisstrategis tersebut, terdapat beberapa alasan yang sifatnya self-interest, baik dalam konteks individu,
kelompok, maupun institusi - yang merupakan alasan keempat. Pada saat BUMN berada di bawah
naungan departemen teknis, terdapat kecenderungan dari beberapa departemen untuk mendirikan
BUMN-BUMN-nya, dengan berbagai alasan sebenarnya kurang dapat diterima secara ideal”. Riant
Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Prolog dalam BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan dan Strategi,
(Jakarta: Gramedia, 2006). hal. xiii-xiv.

BUMN yang tunduk pada ketentuan IBW yang bergerak di bidang usaha
Kelistrikan, Batubara, Timah, Pelabuhan, Pegadaian, Garam, PT, Kereta Api
dan Topografi.
b. Periode tahun 1945-1960. Di samping keberadaan BUMN di masa sebelum
kemerdekaan, pada periode setelah kemerdekaan (1945-1960) telah didirikan
pula sejumlah BUMN antara lain Bank Industri Negara, Sera dan Vaksin serta
PT Natour Ltd. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi BUMN dalam
pembangunan ekonomi nasional dan dalam rangka pembebasan Irian Barat
dari penjajahan kolonial Belanda, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 23 Tahun 1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta eks
milik negara Belanda di Indonesia yang beroperasi hampir di semua sektor
seperti perbankan, perkebunan, perdagangan dan jasa.
c. Periode tahun 1960-1969. Konsekuensi dari nasionalisasi perusahaanperusahaan swasta eks milik negara Belanda tersebut, maka dalam periode ini
BUMN seluruhnya berjumlah 822 perusahaan dan kemudian jumlah
berkurang menjadi sekitar 200 perusahaan setelah pemerintah melakukan
penataan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969.
d. Periode tahun 1969 sampai sekarang. Semenjak tahun 1969, peranan BUMN
semakin meningkat dan penting dalam menunjang Pembangunan Nasional
sejalan dengan pelaksanaan program pembangunan Repelita I di era Orde
Baru.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) melalui ketetapan Nomor IV/MPR/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004, digariskan bahwa BUMN, terutama yang usahanya
berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor usaha yang kompetitif
perlu

direstrukturisasi

agar

perusahaan-perusahaan

negara

dimaksud

dapat

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan untuk kesejahteraan
rakyat banyak. Untuk itu