Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Untuk Menciptakan Perusahaan Yang Sehat Dan Efisien

(1)

PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM PEMERINTAH

PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

UNTUK MENCIPTAKAN PERUSAHAAN

YANG SEHAT DAN EFISIEN

DISERTASI

Oleh

PARLUHUTAN SAGALA

068101001/HK

Promotor

: Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H

Co-Promotor

: Prof. Sanwani Nasution, S.H

Co-Promotor

: Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K

O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM PEMERINTAH

PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

UNTUK MENCIPTAKAN PERUSAHAAN

YANG SEHAT DAN EFISIEN

DISERTASI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) untuk

Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

PARLUHUTAN SAGALA

068101001/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Disertasi : PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM PEMERINTAH PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) UNTUK MENCIPTAKAN PERUSAHAAN YANG SEHAT DAN EFISIEN

Nama Mahasiswa : Parluhutan Sagala

Nomor Pokok : 0681010001

Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) Promotor

(Prof. Sanwani Nasution, S.H) (Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M)

Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc)


(4)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H

Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum


(5)

PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM PEMERINTAH PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

UNTUK MENCIPTAKAN PERUSAHAAN YANG SEHAT DAN EFISIEN

Parluhutan Sagala1 Bismar Nasution2 Sanwani Nasution3 Zulkarnain Sitompul4

ABSTRAK

Konsentrasi kepemilikan saham pemerintah pada BUMN telah menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan efektivitas pengawasan internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi di Indonesia pada tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan tersebut baik oleh negara melalui pengelolaan pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah agar program privatisasi bukan semata-mata merupakan pengalihan konsentrasi kepemilikan perusahaan, “oleh pemerintah menjadi oleh swasta”. Dalam sistem pengelolaan perusahaan, efektivitas pengawasan sangat terkait erat dengan bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan. Bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan perusahaan yang sehat dan efisien. Konsentrasi kepemilikan perusahaan memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam pengurusan dan pengelolaan perusahaan. Hal ini antara lain mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang berfungsi. Misalnya, komisaris yang fungsinya sebagai pengawas perusahaan menjadi tidak efektif, padahal komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya suatu perusahaan. Inefisiensi dan ketidaksehatan suatu perusahaan antara lain disebabkan oleh dominasi pemilik sehingga komisaris bersikap pasif dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan. Penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan “kepemilikan terkonsentrasi” agar menjadi “kepemilikan tersebar” untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien, setidak-tidaknya berdasarkan 4 (empat) alasan: (1) Privatisasi tidak menjamin peningkatan kinerja perusahaan; (2) Pemusatan kepemilikan pemerintah pada suatu perusahaan

1

Perwira Hukum Korem 143/Halu Oleo di Kendari – Sulawesi Tenggara dan Dosen Tetap Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Ditkumad di Jakarta.

2 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan. 3 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan. 4


(6)

cenderung membuat kinerja perusahaan jelek; (3) Kepemilikan mutlak oleh swasta jauh lebih riskan (berbahaya) dari kepemilikan mutlak pemerintah; (4) Kinerja perusahaan dapat meningkat dengan kepemilikan tersebar karena dengan kepemilikan tersebar oleh masyarakat akan menciptakan pengawasan yang efektif (market discipline) dan perusahaan akan dikelola secara profesional dengan penerapan good corporate governance (GCG). Dalam hal “kemampuan menguasai” (retained power), pada kasus-kasus tertentu, menetapkan hak tetap memiliki “saham emas” (golden share) maksimal sebesar 10 (sepuluh) persen, namun terbatas untuk hal-hal tertentu atau transaksi di mana kebijakan pemerintah untuk memiliki hak veto, dan/atau menetapkan suatu mekanisme untuk membuat kebijakan pengaturan penting dan kewenangan untuk membatasi penyimpangan kekuatan monopoli. Dengan demikian jumlah saham pemerintah yang disebar kepada publik minimal sebesar 90 (sembilan puluh) persen.

Kata Kunci: Kepemilikan Saham Pemerintah pada BUMN; Penyebaran; Perusahaan yang Sehat dan Efisien.


(7)

KATA PENGANTAR

Bersuka citalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan dan bertekunlah dalam doa adalah ayat penuntun terhadap penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi ini. Untuk semua itu penulis mengucapkan: “Segala puji, hormat dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terpujilah Tuhan, karena Ia telah mendengar suara permohonanku”. Adapun yang menjadi judul disertasi ini adalah: “Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien”.

Di Indonesia, konsentrasi kepemilikan saham pemerintah pada BUMN telah menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan efektivitas pengawasan internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi di Indonesia pada tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan perusahaan menjadi kepemilikan perusahaan yang tersebar, sehingga pada giliran selanjutnya bertujuan menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien.

Penulis menyadari dalam penulisan disertasi, bukanlah semata-mata atas kemampuan diri penulis sendiri, melainkan atas bantuan, dukungan dan bimbingan dari semua pihak yang telah ikut mengambil peran dan partisipasi yang signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap penulisan disertasi ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya


(8)

kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi. Pertama-tama penulis mengucapkan terimakasih kepada para Komisi Pembimbing dan Penguji Luar Komisi, sebagai berikut: (1) Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. (Promotor), (2) Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H. (Co-Promotor), (3) Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M. (Co-Promotor), (4) Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H. (Penguji), (5) Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum. (Penguji), (6) Bapak Dr. Polin L.R. Pospos, S.E., M.A. (Penguji). Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K)., yang telah berkenan untuk bertindak sebagai Ketua Sidang dalam pelaksanaan Ujian Promosi.

Ucapan terimakasih kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc. dan seluruh staf serta Ketua Program Doktor (S3) Ilmu Hukum SPs-USU Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H dan seluruh staf karena atas bantuan dan dukungan mereka sehingga penulis dapat merampungkan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada para dosen S3 Ilmu Hukum Universitas Indonesia sebagai berikut: (1) Ibu Prof. Dr. Valerine JL Kriekhoff, S.H., M.A., (2) Bapak Prof. Dr. Erman Radjagukguk, S.H., LL.M, (3) Bapak Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., (4) Ibu Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., (5) Bapak Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M, Ph.D., (5) Ibu Dr. Jufrina Rizal, S.H., M.A. Begitu juga kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum., Bapak Dr. Agus Brosusilo, S.H., M.A., Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., Bapak Edi Nasution, S.Sn., Bapak Ivan


(9)

Lubis (Staf Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia) dan Bapak Rafi (Staf Kementerian BUMN) atas bantuan penelusuran literatur hukum serta dukungan dan dorongan yang diberikan kepada penulis. Kepada Ibu Ina Zulkarnain Sitompul, penulis mengucapkan terimakasih atas perhatian Kakak, yang selalu mengingatkan dan memanggil untuk makan pada saat penulis melaksanakan bimbingan disertasi, “lembur dan harus bermalam” di Komplek Triloka Jl. Pancoran Barat IX G No. 5 Jakarta Selatan.

Penulis juga berterimakasih kepada (1) Mayjen TNI (Purn) Timur P. Manurung, S.H., (2) Mayjen TNI (Purn) Moch. Arief Siregar, S.H., M.Sc., M.H., (3) Brigjen TNI (Purn) HM Situmorang, S.H., (4) Brigjen TNI (Purn) PLT Sihombing, S.H., LL.M., (5) Kolonel Chk (Purn) TS Maha, S.H., M.H., (6) Kolonel Chk (Purn) Erfa S Nura, S.H., M.H., (7) Kolonel Chk (Purn) Mangasa Manurung, S.H., M.Kn., (8) Kolonel Chk Natsri Anshari, S.H., LL.M. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Alm. Brigjen TNI (Purn) Prof. Dr. ASS Tambunan, S.H., (Guru Besar STHM) yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi dan keteladanan kepada penulis sampai dengan akhir hayat beliau. Kepada senior sekaligus teman diskusi Mayor Chk Dr. Tiarsen Buaton, S.H., LL.M dan Mayor Chk Agustinus PH, S.H., M.H. karena atas dorongan semangat dan dukungan yang diberikan sehingga akhirnya penulis dapat menyusun disertasi ini sampai selesai. Begitu pula kepada saudaraku Kompol Hotman F Nainggolan, S.Si, S.H., M.M., penulis mengucapkan terimakasih.


(10)

Selanjutnya penulis menghaturkan terimakasih kepada (1) Pangdam VII/Wirabuana, Bapak Mayjen TNI Djoko Susilo Utomo dan Staf, (2) Danrem 143/ Halu Oleo, Bapak Kolonel Inf Iskandar MS dan Staf, (3) Alm. Kolonel Chk M Simamora, S.H., M.H., (mantan Kakumdam VII/Wirabuana), (4) Kakumdam VII/Wirabuana, Bapak Letkol Chk Joko Purnomo, S.H., M.H. dan Staf, karena memberikan kesempatan emas dan ijin khusus kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini. Begitu pula kepada Dirjen Kuathan Dephan dan Staf, Kabiro Hukum Dephan dan Staf, serta Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi dan Staf atas bantuan materi (beasiswa) yang diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti Program Doktor dan menyelesaikan disertasi ini.

Pada kesempatan ini juga penulis menghaturkan terimakasih yang setulus-tulusnya atas bantuan serta dukungan doa, semangat, moril dan materi kepada keluarga besar Sagala dan Sitompul, sebagai berikut: (1) Kedua orang tua saya, Drs OBH Sagala/P. Simanjuntak, hasil akhir penyelesaian disertasi ini saya persembahkan kepada Bapak, semoga lekas sembuh ya Pak, (2) Bapak Mertua Alm. SP Sitompul dan Ibu Mertua N Ginting Manik, (3) Para adik saya: AKP Jubel M Sagala, S.E. & kel., Baga M Sagala & kel., Bernad MW Sagala, S.H. & kel, Ir. Hartono APP Sagala & kel., AKP Marupa Sagala, S.I.K., S.H. & kel., Herna MJ Sagala, S.Si., Apt. & kel., R. Daud Sagala, S.T., & kel., Rejeki Intan A, Sagala, S.Kom & kel. (4) Para abang dan kakak ipar saya: Ir. Toto S Sitompul & kel., dr. Charles A Simanjuntak, Sp.OT, M,Pd, SICS, & kel., Ir. Ferdinand T Pakpahan, M.E. & kel., drg. Tunggul H


(11)

Pangaribuan & kel., Ir. Ramses Simbolon, M.Sc. & kel., dr. Kolman Saragih, Sp.S. & kel.

Khusus kepada isteri saya yang tercinta Ruth Juni Waty Sitompul, S.E., penulis mengucapkan terimakasih atas kesetiaan dan kesabaran yang selalu mendampingi penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis baik dikala suka maupun duka dalam perjalanan panjang mengikuti pendidikan Program Doktor dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

Selesai.

Tuhan memberkati.

Medan, Agutus 2009 Salam hormat,


(12)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Parluhutan Sagala, S.H., M.H.

Tempat/Tgl.Lahir : Tapanuli Utara (Balige), 12 Nopember 1967 Jabatan Akademis : Lektor

Pangkat/NRP : Mayor Chk/11940008221167

Jabatan : Perwira Hukum

Kesatuan : Korem 143/Halu Oleo

Kodam VII/Wirabuana Alamat Kesatuan : Jl. Abd. Silondae No. 242

Kendari - Sulawesi Tenggara

Agama : Kristen Protestan

Nama Orangtua :

Ayah : Drs. OBH Sagala Ibu : P. Simanjuntak

Isteri : Ruth Juni Waty Sitompul, S.E.

Anak : 1. Christopel Wesley Sagala

2. Natalia Wirabuana Sagala Alamat Koresponden : Perumahan Bulevar Hijau

Jl. Palem Hijau III Blok G 9 No.14 Bekasi – 17131

Handphone : 08121061060

Email : jpsagala@yahoo.com

jpsagala@gmail.com II. Latar Belakang Pendidikan

1. Pendidikan Dasar dan Menengah Umum a. SD :

1) Sekolah Dasar Negeri I Tanjung Pura, Langkat (1974-1978) 2) Sekolah Dasar Negeri III Medan (1978-1980)

b. SMP Katholik P. Cahaya Medan (1980-1983) c. SMA Negeri I Medan (1983-1986)

2. Pendidikan Tinggi

a. Sarjana Hukum (S1) dari Universitas Sumatera Utara, Medan (1986-1992) b. Magister Hukum (S2) dari Universitas Indonesia, Jakarta (1996-1999)


(13)

c. Program Doktor (S3) di Universitas Sumatera Utara, Medan (2005-sekarang)

3. Pendidikan Militer

a. Sekolah Perwira Prajurit Karier ABRI, AKMIL, Magelang (1994) b. Sekolah Dasar Kecabangan Hukum, PUSDIKKUM, Jakarta (1995)

c. Sekolah Kursus Perwira Pengolahan Perkara, PUSDIKKUM, Jakarta (1996)

d. Sekolah Lanjutan Perwira Kecabangan Hukum, PUSDIKKUM, Jakarta (2003)

e. Sekolah Kursus Dasar Perwira Intelijen, SATINDUK BAIS TNI, Bogor (2004)

f. Sekolah Kursus Perwira Intelijen Strategis Tingkat I, SATINDUK BAIS TNI, Bogor (2008)

III. Penataran/Training

1. Penataran P4 Pola 100 jam, USU dan B7 SUMUT, Medan, Indonesia, Agustus-September 1986;

2. Orientasi Kewaspadaan Nasional, GUBERNUR SUMUT, Medan, Indonesia, 4-6 Nopember 1993;

3. International Seminar on Criminal Justice System, BAPPENAS, UNAFEI, JICA, and In Cooperation with Faculty of Law, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia,18-20 Dec 2002;

4. Basic Course on International Humanitarian Law and Human Rights, ICRC, Banjarmasin, Indonesia, 1-5 March 2004;

5. TNI-US PACOM, Legal Subject Matter Expert Exchange, Jakarta, Indonesia, May-Jun 2005;

6. Trainning International Legal Research for Lecture, Faculty of Law, University of Indonesia, Depok, Indonesia, 15-21 May 2005;

7. Legal Research for Dissertation at University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, 1-7 October 2006.

IV. Tanda Penghargaan

1. Satyalancana Dwidya Sistha (1998);

2. Satyalancana Kesetiaan Delapan Tahun (2002); 3. Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan I (2003); 4. Satyalancana Dwidya Sistha Ulangan II (2006).

V. Pengalaman Kerja Akademis/Militer

1. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Ditkumad (1999-sekarang); 2. Guru Militer (Gumil) PUSDIKKUM TNI AD (1995-2007);


(14)

3. DANSAT SECABAREG PUSDIKKUM TNI AD (1996); 4. DANSAT STHM V (1999-2001);

5. Tim Pokja Hukum Humaniter dan HAM Ditkumad (1999-2007); 6. Tim Penyuluhan Hukum Ditkumad (1999-2007);

7. Dosen Tidak Tetap Fak. Hukum Universitas Mpu Tantular, Jakarta (2000); 8. Sekretaris Pusat Studi Hukum Militer STHM (2004-2007);

9. Dewan Redaksi Jurnal Hukum Militer STHM (2006-sekarang); 10.Ketua Tim Penyuluhan Hukum Kodam VII/Wrb (2008-2009);

11.Tim Pokja Pembuatan Rencana Kontinjensi Kodam VII/Wrb Tahun 2008; 12.Ketua Tim Penyuluhan Hukum Korem 143/HO (2009-sekarang).

VI. Seminar/Diskusi Panel/Kegiatan Akademis lainnya 1. Pembicara/Instruktur:

a. Seminar tentang Peranan Perwira Hukum TNI AD dalam Operasi Militer. Pusdikkum Kodiklat TNI AD bekerjasama dengan STHM Ditkumad dan ICRC, Jakarta, 23 Juni 2003.

b. Penataran tentang Hukum Humaniter dan HAM Bagi Perwira Hukum Angkatan Darat, Ditkumad bekerjasama dengan ICRC, Jakarta, 25 Januari – 1 Pebruari 2005.

c. Diskusi Panel tentang Reorientasi Peran dan Fungsi Intelijen Strategis Pasca UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Satuan Induk BAIS TNI, Bogor, 29 April 2008.

2. Penyelenggara/Panitia:

a. Diskusi Panel tentang Konsepsi, Kebijakan dan Implementasi HAM dalam Perspektif Nasional dan Internasional, Ditkumad, Jakarta, 31 Juli 2000. b. Diskusi Panel tentang Implikasi Yuridis Berlakunya TAP MPR Nomor:

VII/MPR/2000 Pasal 3 ayat (4) dalam Peradilan Militer, STHM Ditkumad, Jakarta, 23 September 2000.

c. Seminar tentang Tanggung Jawab Komando di Lingkungan TNI AD, Ditkumad bekerjasama dengan ICRC, Cipayung, 10 September 2002. d. Penataran HAM tentang Peningkatan Implementasi Hukum HAM

di Lingkungan TNI AD, Cipayung, 10 September 2002.

e. Penataran tentang Hukum Humaniter Tingkat Lanjutan Bagi Perwira Menengah TNI AD, Ditkumad bekerjasama dengan ICRC, Jakarta, 14-15 Januari 2003.

f. Seminar tentang Implikasi Yuridis Sosiologis Penundukan PNS-TNI ke dalam Peradilan Militer, STHM Ditkumad, Jakarta, 16 April 2003.

g. Seminar tentang Kerusuhan Tanggal 13-14 Mei 1998 Ditinjau dari UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000, STHM Ditkumad, Jakarta, 12 Mei 2003.


(15)

h. Seminar tentang Darurat Militer di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Perspektif Hukum Humaniter dan HAM, STHM Ditkumad bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 24 Juni 2003. i. Seminar tentang Pertanggung Jawaban Komando dalam Operasi Militer,

STHM Ditkumad, Jakarta, 5 September 2003. 3. Peserta:

a. Seminar tentang Hukum Internasional antara Harapan dan Penerapan, Fakultas Hukum USU Medan, 23 Nopember 1991.

b. Seminar tentang Undang-Undang Antimonopoli Peluang atau Ancaman, Majalah Berita Mingguan GAMMA dan Indonesia Marketing Association (IMA), Jakarta, 29 April 1999.

c. Seminar tentang Masalah Daerah-Daerah yang Ingin Melepaskan Diri dari NKRI, Fakultas Hukum UI, Depok, 29 Agustus 2000.

d. Diskusi Panel tentang Implikasi Yuridis Berlakunya TAP MPR Nomor : VII/MPR/2000 Pasal 3 ayat (4) dalam Peradilan Militer, STHM Ditkumad, Jakarta, 23 September 2000.

e. Workshop dan Seminar tentang Hukum Humaniter Internasional, Pusdikkum Kodiklat TNI AD bekerjasama dengan ICRC, Jakarta, 10-17 Oktober 2000.

f. Sosialisasi RUU KUHP Melalui Debat Publik, Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 7-8 Nopember 2000.

g. Seminar tentang Terorisme, STHM Ditkumad, Jakarta, 22 Nopember 2002.

h. Seminar Nasional tentang Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme dalam Hukum Internasional dan Implementasinya dalam Hukum Nasional di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 17 April 2003. i. Seminar Nasional tentang Keadaan Darurat Militer di Aceh Ditinjau dari Berbagai Aspek Hukum Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM, Fak Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1 Juli 2003.

j. Diskusi Panel dan Peluncuran Buku Memperingati 54 Tahun Konvensi Jenewa 1949, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM, Fak Hukum Universitas Trisakti bekerjasama dengan ICRC, Jakarta, 12 Agustus 2003. k. Diskusi Ilmiah tentang Money Laundering Sebagai Bagian dari

Transnational Organized Crime, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 20 Desember 2003.

l. Seminar tentang Mewujudkan Pendidikan Tinggi yang Berkeadilan dalam Masyarakat Majemuk, Universitas Trisakti, Jakarta, 2 Desember 2004. m. Seminar tentang Relevansi dan Urgensi Kebijakan Legislatif tentang

Keamanan Nasional, Pusat Studi Hukum Militer STHM Ditkumad, Jakarta, 5 Pebruari 2008.

n. Workshop tentang Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi yang Marketable, STHM Ditkumad, Jakarta, 6 Pebruari 2008.


(16)

o. Seminar Nasional XXIII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) tentang Masalah Kepemimpinan, Demokratisasi dan Kebangsaan di Indonesia, Makassar, 11-12 November 2008.

4. Karya Tulis:

a. Kerjasama ASEAN dalam Bidang Ilmu Pengetahuan dan Alih Teknologi Kelautan Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982. Skripsi, Fakultas Hukum USU, Medan, 1992.

b. Pemerintah Desa (UU No. 5 Tahun 1979), Makalah, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 3 Desember 1997.

c. Aspek-aspek Hukum Anti Dumping dan Implikasinya Bagi Indonesia, Makalah, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Maret 1998.

d. Reformasi Hukum Ekonomi sebagai Bagian dari Pembangunan Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Makalah, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 27 Juli 1998.

e. Keberadaan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebuah Kajian Yuridis dan Kelayakannya di Indonesia. Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 1999.

f. Upaya Meningkatkan Kemampuan Prajurit Non Kowil dalam Melaksanakan Binter Terbatas Guna Mendukung Tugas Kowil, Makalah, Ditkumad, 17 Juli 2004.

g. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Komandan di Indonesia, Makalah disampaikan sebagai Peserta untuk Training on International Legal Research for Lecture, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, tanggal 15-21 Mei 2005.

h. Peranan Perwira Hukum TNI AD dalam Operasi Militer, Makalah disampaikan sebagai Peserta “Basic Course On International Humanitarian Law And Human Rights” Kerjasama Fakultas Syariah IAIN Antasari – ICRC di Banjarmasin tanggal 1-5 Maret 2004.

i. Kedudukan Peradilan Militer dalam Sistem Hukum Indonesia. Suatu Kajian dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Berdasarkan UUD 1945. Makalah dan telah dimuat dalam Jurnal Hukum Militer Vol. 1 Tahun 2003, Jakarta: STHM Ditkumad.

j. Beberapa Catatan tentang Hukum Militer. Makalah dan telah dimuat dalam Majalah Citra Buana Kodam VII/Wirabuana, Makassar, Edisi Januari 2009.


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GRAFIK... xviii

DAFTAR SKEMA... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah…….………... 8

C. Tujuan Penelitian……….... 9

D. Manfaat Penelitian……….. 9

E. Kerangka Teori dan Konsep………... 10

1. Kerangka Teori………... 10

2. Kerangka Konsep Sebagai Definisi Operasional……….. 25

F. Metode Penelitian………..………. 32

1. Tipe Penelitian………... 32

2. Metode Pendekatan……….. 34


(18)

4. Pengumpulan Data……… 36

5. Analisis Data....………. 36

G. Asumsi………. 37

H. Sistematika Penulisan………..……… 38

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN NEGARA...…………... 39

A. Pengantar……… 39

B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia..……... 43

1. Sejarah Ringkas………. 44

2. Penggunaan Istilah Perusahaan Negara dan BUMN……. 54

3. Pengertian dan Hakikat Pendirian………. 66

4. Badan Hukum dan Sektor Usaha……….. 77

C. Peranan Negara dalam Sistem Perekonomian Nasional……. 80

D. Sistem Ekonomi yang Berkeadilan (Demokrasi Ekonomi).... 104

BAB III PENGELOLAAN BUMN YANG SEHAT DAN EFISIEN... 140

A. Pengantar……….……… 140

B. Perlunya Penerapan GCG dalam BUMN... 142

C. Berle-Means Corporation………..…. 171

1. Derivative Litigation/Suit... 190

2. Director`s Duty of Loyalty……….. 193

3. Insider Dealing………. 195


(19)

D. Pasar Modal Sarana Efektif Menyebarkan Kepemilikan

Saham Perusahaan………..……... 199

1. Peran Pasar Modal dalam Pembanguan Ekonomi Nasional... 199

2. Keterbukaan dan Transparansi Pasar……… 216

3. Konflik Kepentingan dalam Perusahaan……….. 224

4. Konsep Perlindungan Saham Minoritas……… 229

BAB IV KEPEMILIKAN SAHAM BUMN YANG TERSEBAR UNTUK KEPENTINGAN HAJAT HIDUP ORANG BANYAK... 244

A. Pengantar……….... 244

B. Masalah Umum BUMN…………..………... 246

C. Kemelut BUMN dan Kepentingan Politik…..………... 269

D. Kinerja BUMN yang Menyangkut Kepentingan Hajat Hidup Orang Banyak... 293

E. Kontroversi Restrukturisasi BUMN………... 329

F. Reformasi BUMN...……….. 352

1. Harapan Masyarakat dan Master Plan Reformasi BUMN…………... 358

2. Realisasi Reformasi BUMN………. 371

G. Reinvensi BUMN dan Era Perdagangan Bebas………. 378

1. BUMN Sebagai Salah Satu Kegiatan Usaha Pemerintah. 378 2. BUMN Kembali ke-Khittah………. 382


(20)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..………... 405

A. Kesimpulan………... 405

B. Saran ...……….. 409


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN………. 50

2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan ... 69

3. Peta Posisi Karakteristik Industri BUMN Berdasarkan Kelompok Usaha………... 80

4. Asumsi Dasar Ideologi Kontrol Ekonomi dan Non Ekonomi……. 94

5. Kinerja Keuangan BUMN 2004-2009... 146

6. Strategi Utama Pengembangan BUMN... 153

7. Asumsi-asumsi Hubungan Berubah... 162

8. Tingkat ROA dan ROE dalam Kelompok Perusahaan………... 312

9. Kinerja Keuangan BUMN………... 314

10. Model Pengelolaan BUMN di Beberapa Negara... 329

11. BUMN yang akan Diprivatisasi oleh Pemerintah……… 333

12. Privatisasi BUMN……… 336

13. BUMN yang Go Public………... 337

14. Kinerja BUMN, Tbk. Tahun 2004-2006………. 338

15. Kapitalisasi Pasar BUMN……… 339

16. Profil BUMN yang Dipravitisasi Melalui IPO……… 348


(22)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman

1. Komposisi Distribusi Dividen... 145 2. Pertumbuhan Pendapatan BUMN... 154 3. Pertumbuhan Laba BUMN ... 155 4. Kontribusi BUMN 2004-2008 (Rp. Triliun)... 155 5. Hubungan antara Tingkat Kepemilikan terhadap Tingkat

Kebocoran... 158 6. Inkonsistensi BUMN (Data Tahun 2006 Sebagian BUMN

Audited dan Sebagian Lagi Unaudited)………... 315 7. Inkonsistensi BUMN dalam Laba dan Dividen....……….. 316 8. Gambaran Umum Kontribusi BUMN terhadap Negara

Tahun 2001-2005 (dalam Triliun Rupiah)... 317 9. Kontribusi BUMN terhadap APBN Tahun 1998-2003………….. 318 10. Perbandingan Total Kontribusi BUMN terhadap Total Belanja

Rutin APBN Tahun 2001-2005……….. 319

11. Pertumbuhan BUMN……….. 320

12. Kondisi ROE BUMN……….. 321

13. Kondisi ROA BUMN……….. 322

14. Perkembangan BUMN Peraih Laba 2002-2008 (dalam Triliun RP) 324 15. Perkembangan BUMN Rugi 2001-2006 (dalam Triliun RP)... 324

16. Kinerja BUMN, Tbk……….... 338

17. Transpormasi Bisnis Singtel……….... 342


(23)

DAFTAR SKEMA

Nomor Judul Halaman

1. Alur Pikir dalam Kerangka Pembentukan Hukum Perusahaan

Modern…………... 7

2. Model Penyebaran Kepemilikan Perusahaan……….. 25

3. Kondisi BUMN yang Diharapkan... 70

4. Vicions Funding Cycle……… 256

5. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional………. 268

6. Perubahan Struktur dan Kepemilikan Sing Tel………... 340

7. Struktur Kepemilikan SingTel……… 341


(24)

PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM PEMERINTAH PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

UNTUK MENCIPTAKAN PERUSAHAAN YANG SEHAT DAN EFISIEN

Parluhutan Sagala1 Bismar Nasution2 Sanwani Nasution3 Zulkarnain Sitompul4

ABSTRAK

Konsentrasi kepemilikan saham pemerintah pada BUMN telah menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan efektivitas pengawasan internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi di Indonesia pada tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan tersebut baik oleh negara melalui pengelolaan pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah agar program privatisasi bukan semata-mata merupakan pengalihan konsentrasi kepemilikan perusahaan, “oleh pemerintah menjadi oleh swasta”. Dalam sistem pengelolaan perusahaan, efektivitas pengawasan sangat terkait erat dengan bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan. Bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan perusahaan yang sehat dan efisien. Konsentrasi kepemilikan perusahaan memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam pengurusan dan pengelolaan perusahaan. Hal ini antara lain mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang berfungsi. Misalnya, komisaris yang fungsinya sebagai pengawas perusahaan menjadi tidak efektif, padahal komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya suatu perusahaan. Inefisiensi dan ketidaksehatan suatu perusahaan antara lain disebabkan oleh dominasi pemilik sehingga komisaris bersikap pasif dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan. Penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan “kepemilikan terkonsentrasi” agar menjadi “kepemilikan tersebar” untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien, setidak-tidaknya berdasarkan 4 (empat) alasan: (1) Privatisasi tidak menjamin peningkatan kinerja perusahaan; (2) Pemusatan kepemilikan pemerintah pada suatu perusahaan

1

Perwira Hukum Korem 143/Halu Oleo di Kendari – Sulawesi Tenggara dan Dosen Tetap Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Ditkumad di Jakarta.

2 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan. 3 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan. 4


(25)

cenderung membuat kinerja perusahaan jelek; (3) Kepemilikan mutlak oleh swasta jauh lebih riskan (berbahaya) dari kepemilikan mutlak pemerintah; (4) Kinerja perusahaan dapat meningkat dengan kepemilikan tersebar karena dengan kepemilikan tersebar oleh masyarakat akan menciptakan pengawasan yang efektif (market discipline) dan perusahaan akan dikelola secara profesional dengan penerapan good corporate governance (GCG). Dalam hal “kemampuan menguasai” (retained power), pada kasus-kasus tertentu, menetapkan hak tetap memiliki “saham emas” (golden share) maksimal sebesar 10 (sepuluh) persen, namun terbatas untuk hal-hal tertentu atau transaksi di mana kebijakan pemerintah untuk memiliki hak veto, dan/atau menetapkan suatu mekanisme untuk membuat kebijakan pengaturan penting dan kewenangan untuk membatasi penyimpangan kekuatan monopoli. Dengan demikian jumlah saham pemerintah yang disebar kepada publik minimal sebesar 90 (sembilan puluh) persen.

Kata Kunci: Kepemilikan Saham Pemerintah pada BUMN; Penyebaran; Perusahaan yang Sehat dan Efisien.


(26)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awalnya keberadaan BUMN diperuntukkan untuk menyeimbangkan dan/atau menggantikan sektor swasta yang lemah. Pembentukan BUMN dimaksudkan pula untuk mendorong rasio investasi yang lebih tinggi, penambahan modal investasi, alih teknologi, peningkatan sektor ketenagakerjaan dan produksi barang-barang dengan harga terjangkau.5

Dalam perkembangan selanjutnya, pendirian BUMN selain bertujuan untuk memberi kontribusi pada pendapatan negara (national income), BUMN juga mengemban misi untuk mengutamakan kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Hal ini merupakan amanat konstitusi negara yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.6

5 Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Privatization: The Lessons of Experience, (Washington D.C: The World Bank, 1997), hal. 3.

6 Pasal 33 UUD 1945 setelah amandemen, berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Dan di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan kedudukannya perusahaan negara memiliki dua fased: (a) sebagai aparatur perekonomian negara, yaitu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di bidang usaha negara; dan (b) sebagai salah satu unsur di dalam kehidupan perekonomian nasional di samping perusahaan swasta dan koperasi.


(27)

Untuk dapat mewujudkan perannya yang demikian penting itu, sudah seharusnya BUMN dikelola dengan menerapkan prinsip good corporate governance.7 Konsekuensi pengabaian penerapan prinsip good corporate governance adalah BUMN tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan, keberadaannya justru menambah beban yang harus ditanggung oleh pemerintah (burden of state).8 Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus diatasi secepatnya agar tidak sampai merusak dan menghancurkan sistem perkonomian nasional secara keseluruhan.9

Di Indonesia, konsentrasi kepemilikan perusahaan, baik milik pemerintah (BUMN) maupun perusahaan milik swasta, telah menimbulkan permasalahan yang

7 Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah pengelolaan perusahaan (corporate governance) dari Ira M. Millstein, The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, di mana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Good Corporate Governance memiliki empat prinsip dasar yaitu fairness, transparancy, accountability dan responsibility. Lihat Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta: Pascasarjana UI, 2001), hal. 20-21.

8 Menurut Bismar Nasution, hingga saat ini pembicaraan mengenai good corporate governance, khususnya peningkatan transparansi dalam etos kerja pengelolaan perusahaan, masih mampu menarik perhatian orang banyak karena penerapan transparansi perusahaan selama ini belum sepenuhnya memuaskan. Pemberitaan mengenai perusahaan negara yang inefficiency dan adanya praktik KKN sebagai hidden enemy masih menghiasi media massa. Berdasarkan Indeks Keburaman (Opacity Index) yang pernah diturunkan majalah the Economist 3 Maret 2001, yang mengukur ketidakjelasan sistem hukum dan pengaturan, kebijakan ekonomi makro dan perpajakan, standar praktik akuntansi serta korupsi di 35 negara, negara Cina, Rusia dan Indonesia adalah negara-negara yang paling buram opacity index-nya. Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library, 2006), hal. 190.

9 Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117 Tahun 2002 tentang Penerapan Good Corporate Governance (GCG) tertanggal 1 Agustus 2002. Ada empat jenis BUMN yang mendapatkan sorotan dalam implementasi GCG tersebut, yakni: (a) BUMN yang bergerak dalam bidang Asuransi dan Jasa Keuangan; (b) BUMN yang menjadi PT terbuka; (c) BUMN yang sedang tahap privatisasi, dan (d) BUMN yang memiliki aset minimal Rp. 1 Triliun. Sebelumnya, di era Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, juga telah diperkenalkan prinsip GCG. Hal ini ditunjukkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1997 yang berisi tentang Pembentukan Kantor Menneg Pendayagunaan BUMN serta pengalihan pengelolaan BUMN dari 17 Departemen ke kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Kemudian disusul dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor 23 Tahun 1998 yang mewajibkan transparansi di kalangan manajemen BUMN. Nu’man Abdul Hakim, “Kontroversi dan Optimalisasi Privatisasi BUMN”, www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/11/0804/htm.


(28)

cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan efektivitas pengawasan internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi di Indonesia pada tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan perusahaan, baik oleh negara melalui pengelolaan pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah agar program privatisasi bukan semata-mata merupakan pengalihan konsentrasi kepemilikan perusahaan, “oleh pemerintah menjadi oleh swasta”.10

Dengan memecah dan kemudian menyebarnya kepemilikan perusahaan akan menciptakan pengawasan yang efektif di antara para pemilik. Konkritnya dalam program restrukturisasi BUMN antara lain adalah kecilnya kemungkinan terjadinya pemaksaan kehendak oleh pemegang saham mayoritas, dan melindungi BUMN agar tidak dijadikan sebagai “sapi perahan” oleh pemegang saham mayoritas dan partai politik yang sedang berkuasa.

Dalam sistem pengelolaan perusahaan, efektivitas pengawasan sangat terkait erat dengan bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan. Bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan perusahaan yang sehat dan efisien. Konsentrasi kepemilikan perusahaan memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam pengurusan dan pengelolaan perusahaan. Hal ini antara lain mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang berfungsi. Misalnya, komisaris yang fungsinya sebagai pengawas perusahaan menjadi tidak efektif, padahal

10 Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Limbrary, 2005), hal. 130-131.


(29)

komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya suatu perusahaan. Inefisiensi dan ketidaksehatan suatu perusahaan antara lain disebabkan oleh dominasi pemilik sehingga komisaris bersikap pasif dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan.

Agar gagasan tentang penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan “kepemilikan terkonsentrasi” itu menjadi “kepemilikan tersebar” dapat diwujudkan maka dibutuhkan prasyarat dan kondisi sebagai berikut:

Pertama, tersedianya perangkat hukum yang memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas.11 Studi empiris menunjukkan bahwa tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum suatu negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap regim pengelolaan perusahaan di negara tersebut. Proteksi hukum yang kuat bagi pemegang saham minoritas berkaitan erat dengan banyaknya jumlah perusahaan yang tercatat di bursa efek, lebih bernilainya pasar modal, lebih rendah manfaat kontrol pribadi dan lebih terpecahnya kepemilikan saham. Singkatnya, konsentrasi kepemilikan perusahaan adalah konsekuensi dari lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang

11 Sebagai konsekuensi dari pencantuman kata

“melindungi” dalam UUD 1945 pada hakikatnya “memberikan dasar yang paling kuat bagi negara untuk menjalankan tugasnya melindungi segenap bangsa Indonesia, melindungi warganya dari tindakan-tindakan yang tidak adil, karena kekerasan dan kezaliman termasuk perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan kepentingan anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, negara Indonesia yang diwajibkan oleh konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia (sebagaimana ternyata dalam konteks umum UUD 1945), harus konsekuen dan konsisten menegakkan dan mengaplikasikan hukum. Artinya, negara wajib melindungi segenap anggota masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang lemah, termasuk Pemegang Saham Minoritas dalam Perseroan Terbatas (PT). … UUD 1945 sebagai hukum dasar yang mempunyai kedudukan yang paling tinggi dari peraturan lainnya telah menandaskan dengan tegas, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Segala macam produk hukum yang ada di bawahnya harus tunduk pada UUD 1945 tersebut”. Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana UI, 2005), hal. 225-226.


(30)

saham minoritas. Oleh sebab itu pemberian perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas merupakan prasyarat untuk menciptakan sistem kepemilikan perusahaan yang tersebar (disperse).

Kedua, adanya sistem peradilan yang efisien. Investor asing dan domestik akan merasa terlindungi apabila kegiatan ekonomi didukung oleh sistem peradilan yang efisien, sehingga mereka tertarik untuk membeli saham yang ditawarkan dengan harga pasar. Kuatnya permintaan investor pada gilirannya mendorong pemilik saham mayoritas untuk menjual sahamnya pada masyarakat luas. Namun apabila hakim korup atau pengadilan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat, maka investor akan kurang percaya terhadap perlindungan yang diberikan oleh hukum. Dan apabila hukum demikian lemahnya sehingga kontrak sederhana saja tidak dapat ditegakkan, maka membangun suatu corporate institution yang kompleks akan sangat sulit dilakukan. Namun apabila sistem peradilan sudah berjalan baik, maka aturan hukum akan dapat secara potensial melindungi pemegang saham minoritas dari perlakuan sewenang-wenang orang dalam atau pengelola perusahaan.

Ketiga, efektifnya pengawasan internal dan eksternal. Institusi pengawas harus mampu mendeteksi secara dini terjadinya salah kelola atau perbuatan-perbuatan curang yang dilakukan pengelola perusahaan.12 Di samping itu kemampuan menjatuhkan sanksi tegas haruslah

12 Perbuatan curang dalam pengelolaan bank BUMN bisa saja terjadi karena pengawasan internal perusahaan yang sangat lemah. Dalam hal ini Kwik Kian Gie pernah mengemukakan, bahwa

“pengucuran kredit sampai jumlah yang tidak masuk akal besarnya oleh bank BUMN kepada usaha besar didasarkan korupsi, yaitu bahwa pribadi pimpinan bank mengucurkan kredit karena mendapatkan komisi yang terkenal dengan istilah kick back commission. Ada juga persekongkolan bahwa Direktur bank BUMN mempunyai saham dalam perusahaan debitur, walaupun tidak atas namanya. Dengan demikian dikesankan bahwa perusahaan besar dianakemaskan, karena memperoleh


(31)

dimiliki oleh institusi pengawas. Deteksi dini diperlukan untuk meminimalkan kerugian akibat terjadinya salah kelola dan atau perbuatan curang dalam pengelolaan perusahaan.

Dengan adanya prasyarat dan kondisi di atas, maka gagasan tentang penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan “kepemilikan terkonsentrasi” itu menjadi “kepemilikan tersebar” dapat terlaksana untuk menciptakan BUMN yang sehat dan efisien, sehingga amanat UUD 1945 yaitu penerapan secara nyata sistem ekonomi yang berkeadilan (demokrasi ekonomi)13 dapat direalisasikan untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia.

Berikut diterakan skema alur pikir dalam kerangka pembentukan hukum perusahaan modern.

kredit dengan sangat mudah dalam jumlah besar. Contohnya adalah Eddy Tansil yang memperoleh kredit hampir 1 triliun tanpa mempunyai pembukuan. Pembukuannya ada di dalam ingatan istrinya”. Kompas, 16 Nopember 1998.

13

Mantan Anggota Komisi APBN DPR, Tadjuddin Noersaid berpendapat, bahwa “program demokrasi ekonomi itu mustahil bisa tercapai, kalau sistem politik dan sistem hukum tidak ditata (diperbaiki) untuk mendukung program demokrasi ekonomi. Pengalaman masa lalu telah membuktikan, meskipun sudah ada UU yang membatasi praktek monopoli dalam bidang industri, tetapi dalam pelaksanaannya program itu tidak tercapai. Konglomerasi terjadi di mana-mana. Mengapa ini bisa terjadi? Karena sistem politik yang terlalu sentralistik, lemahnya kontrol DPR dan tidak adanya kepastian (wibawa) hukum akibat intervensi kekuasaan. Jadi, meski telah ada ketentuan yang mengatur pemusatan ekonomi atau persaingan usaha yang tidak sehat, kalau sistem politik dan hukum tidak menunjang, semua ini tidak mungkin bisa diharapkan. … Dalam mengatur semua pelaku ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi, tidak bisa dipertentangkan satu sama lain. Sebaliknya, semua pelaku harus ditata secara baik. Dalam hal ini, pemerintah menjadi kunci dalam mengatur semua pelaku ekonomi tersebut melalui perpajakan atau skema pembatasan kegiatan usaha bagi usaha kecil, menengah dan besar”. Kompas, 11 Nopember 1998.


(32)

.

Skema 1. Alur Pikir dalam Kerangka Pembentukan Hukum Perusahaan Modern

Sehubungan dengan uraian-uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa pemilihan topik disertasi ini, yaitu penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan

PARADIGMA PASAL 33 UUD

1945 KEADILAN

SOSIAL

Penguasaan Negara

atas sektor usaha untuk kepentingan hajat hidup orang

banyak.

POTENSI :

a. Perangkat hukum yg ada cukup menunjang (UU BUMN, UU PM, UU PT & peraturan

pelaksanaannya) b. Penerapan GCG yg baik; c. Meningkatnya kesadaran

hukum masyarakat; d. SDA, SDM, Ilpengtek; e. Perbaikan kinerja BUMN

SIKON :

a. Struktur kepemilikan saham pemerintah di BUMN yg terkonsentrasi;

b. Campur tangan pemerintah yg dominan dlm pengelolaan BUMN; c. Pengelolaan BUMN tdk efektif

dan efisien;

d. Perobahan lingkungan dunia usaha; e. Keikutsertaan dlm ekonomi

regional dan internasional (WTO, AFTA dan APEC).

INTERAKSI

WAWASAN/ DOKTRIN POLITIK HUKUM Hukum yg mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan perusahaan yg sehat & efisien atas sektor2 usaha untuk kepentingan hajat hidup orang banyak GARIS POLITIK HUKUM : Terciptanya hukum ttg pengelolaan sektor2 usaha untuk kepentingan hajat hidup orang banyak untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien PRO LEG NAS : di rumuskannya RUU Privatisasi BUMN yg meliputi perlindungan hukum pemegang saham minoritas & pembaruan hukum perusahaan LAW EN FOR CE MENT : Penegakan hukum yg didukung dgn Penguatan Institusi Pasar Modal, BAPEPAM & penerapan GCG OUTPUT Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat,melalui pengelolaan BUMN yg sehat & efisien pada sektor usaha utk kepentingan hajat hidup orang banyak, terbukanya kesempatan yg sama bagi seluruh rakyat utk memiliki saham2 Pemerintah di BUMN

HASIL MONITORING/ EVALUASI, FEED BACK

HASIL MONITORING/ EVALUASI, FEED BACK

SKEMA PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM BUMN

4 5 6 7 8

3 1

2

9

9

Sumber: Derivasi yang dimodifikasi dari Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH. “Skema Sistem Pembangunan Hukum Nasional (SIS.BANG.KUM.NAS) dalam Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 171.


(33)

“kepemilikan terkonsentrasi” agar menjadi “kepemilikan tersebar” untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien, setidak-tidaknya berdasarkan 4 (empat) alasan: (1) privatisasi tidak menjamin peningkatan kinerja perusahaan; (2) pemusatan kepemilikan pemerintah pada suatu perusahaan cenderung membuat kinerja perusahaan jelek; (3) kepemilikan mutlak oleh swasta jauh lebih riskan (berbahaya) dari kepemilikan mutlak pemerintah; (4) kinerja perusahaan dapat meningkat dengan kepemilikan tersebar karena dengan kepemilikan tersebar oleh masyarakat akan menciptakan pengawasan yang efektif (market discipline) dan perusahaan akan dikelola secara profesional.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus pengkajian dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana cara menyebarkan kepemilikan saham pemerintah pada BUMN untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien serta kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia dapat direalisasikan?

2. Bagaimana agar struktur kepemilikan dan sistem pengelolaan perusahaan efektif sehingga dapat menciptakan BUMN yang sehat dan efisien serta sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan sosial?

3. Mengapa pemerintah berkenan melepaskan kepemilikannya, padahal dengan mempertahankan kepemilikan pada BUMN akan mendapatkan dukungan politik?


(34)

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui cara mewujudkan BUMN yang sehat dan efisien agar kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia dapat direalisasikan.

2. Untuk menemukan cara membentuk struktur kepemilikan dan sistem pengelolaan perusahaan efektif sehingga dapat mewujudkan BUMN yang sehat dan efisien serta sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. 3. Untuk mengetahui cara pemerintah melepaskan kepemilikan sahamnya yang

terkonsentrasi, sehingga tercipta kepemilikan saham yang tersebar.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain untuk:

1. Menambah khasanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum ekonomi pada khususnya.

2. Memberikan kontribusi pemikiran terhadap pengelolaan BUMN yang baik dan tepat sasaran, khususnya BUMN yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak (kepentingan publik).


(35)

E. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori14

Di era globalisasi sekarang “pasar” telah dinobatkan menjadi paradigma yang paling dominan. Terjadinya pendiskreditan “negara” dan “kekuatan sosial” ~ termasuk nilai-nilai budaya yang tidak kondusif untuk pasar, yang berlawanan dengan konsep manusia sebagai “homo economicus” ~ memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pasar. “Pasar” inilah ~ bersama dengan “demokrasi” ~ dipandang sebagai hal paling natural bagi manusia. Paradigma ini menjadi semacam tolok ukur untuk menilai mana yang patut dipertahankan, mana yang kurang bisa dipertahankan, dan mana yang harus diubah. Dengan kata lain, sebagai paradigma dominan, pasar mempunyai kekuatan disipliner. Dalam proses tersebut, banyak hal dan aspek yang tidak kondusif untuk ekspansi dari pendalaman pasar; didiskreditkan sebagai tidak “matket-friendly”, dan oleh karena itu, dianggap pantas untuk disingkirkan, atau paling tidak, dipersoalkan. Paradigma kedaulatan pasar ini tersebar melalui berbagai

14 Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian ilmiah oleh karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau pun yang tidak disetujui”. Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau shahih). Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori

berguna untuk: (1) menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2) memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan;

(3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan (4) mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 10.


(36)

saluran dan cara. Pada tataran politik, bekerjanya pasar kerap dikaitkan dengan demokrasi. Kendati tidak ada hubungan intrinsik di antara keduanya, kerapkali dinyatakan bahwa “masyarakat pasar” tidak akan berfungsi dengan baik tanpa “masyarakat demokratis”. Dalam paradigma seperti ini, kedatangan pasar dalam berbagai bentuknya dipandang sebagai “awal” atau “fajar yang menjanjikan” dari datangnya demokrasi. Dan tanda dari kedatangan pasar terwujud dalam kedatangan modal-modal asing yang besar. Logika yang simplistik seperti inilah yang ditanamkan dalam benak masyarakat. Pada awal beroperasinya kapitalisme, pasar merupakan bagian dari masyarakat. Operasi norma-norma pasar (ekonomi) berakar dan dibatasi oleh norma-norma sosial (kultural dan politik). Masyarakatlah yang memegang kata akhir dalam hubungan “yang sosial” dan “yang ekonomi” ini. Namun, ketika kapitalisme sudah menjadi dominan, hubungan dibalik: masyarakatlah yang merupakan bagian dari pasar. Norma-norma masyarakat ditantang, didesak, dibatasi, dan ditekan oleh norma norma pasar. Akhirnya, “bisnis” lalu menjadi paradigma dan pasar memiliki kedaulatannya.15

Pada mulanya “profitabilitas” menjadi monopoli transaksi ekonomis, namun sekarang ia telah mendominasi pola pikir masyarakat pada umumnya. Lebih jauh dari pada itu, “profitabilitas” menjadi tolok ukur untuk menilai apakah sesuatu itu baik

15 Robert H. Imam, Neoliberalisme, Era Baru dan Peradaban Pasar, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 298-299. Dalam hubungan ini, T. Keizerina Devi ada mengemukakan, bahwa “di dalam era di mana perdagangan sudah melampaui batas-batas negara, maka hukum suatu negara dapat berubah karena kepentingan ekonomi. Negara tersebut secara sadar mengubah undang-undangnya untuk mendapat akses kepada pasar internasional. T. Keizerina Devi Azwar, Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), (Medan: Program Pascasarjana USU dan Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 21.


(37)

atau tidak, dapat dipertahankan atau tidak, dikelola dengan baik atau tidak, dan seterusnya. Bersama dengan “efisiensi”, “profitabilitas” menjadi tolok ukur untuk program-program privatisasi. Ada suatu persamaan di balik proses ini: “negara” sama dengan tidak efisien; tidak efisien sama dengan tidak menguntungkan alias rugi; tidak menguntungkan sama dengan tidak dapat dipertahankan. Untuk mengubah persamaan-persamaan ini maka perusahaan-perusahaan negara ini harus diprivatisasi. Dalam kenyataannya, proses ini tidak mudah karena sedari awal perusahaan-perusahaan negara ~ termasuk budaya perusahaan-perusahaannya ~ tidak dibangun dengan prinsip “profitabilitas”. Dewasa ini “profitabilitas” dan “efisiensi” menjadi mantra baru bagi pengelolaan badan-badan usaha milik negara.16 Begitupun, tidak dapat dipungkiri kenyataan, bahwa pada kegiatan ekonomi dan produksi, motif mencari keuntungan adalah unsur penting, tetapi bukanlah itu segala-galanya. Tanpa motif keuntungan ini maka tidak akan ada usaha. Jika motif ini ditekan dan dimatikan seperti di negara komunis, maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi lamban. Suatu negara yang memiliki sistem “ekonomi campuran” tetap berbasis pada prinsip-prinsip pasar namun dikendalikan dengan aturan pemerintah.17

Di sejumlah negara sistem ekonomi pasar merupakan penggerak aktivitas ekonomi, dan diyakini bahwa sistem ekonomi pasar merupakan salah satu syarat bagi

16 Ibid, hal. 301-302.

17 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 22-23. Sistem ekonomi campuran (mixed economi) adalah perpaduan dari dua bentuk sistem ekonomi, yaitu sosialisme dan kapitalisme. Sistem ekonomi campuran ini dibangun dengan usaha meninggalkan unsur-unsur lemah sosialisme dan kapitalisme melalui proses dialektik menuju suatu sintesa (teori dialektika). Logika dialektik melihat kontradiksi sebagai hasil dari perpaduan ide-ide, yang dapat dicapai melalui cara sintesa untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih benar. Ibid.


(38)

terwujudnya demokrasi (neccesary but not sufficient). Kecenderungan ini telah mendunia di mana demokrasi dan sistem ekonomi pasar menjadi pemicu bagi terwujudnya “masyarakat modern”. Begitupun, penerapan sistem ekonomi pasar tidak dengan sendirinya bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan sekaligus. Pemerintah di negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar sekalipun tidak sepenuhnya menyerahkan kekuatan pasar sebagai satu-satunya kekuatan sosial. Seperti keberadaan Social Market Economi di Jerman adalah suatu upaya pelunakan terhadap sistem ekonomi liberal sehingga mempunyai wajah yang manusiawi. Walaupun inisiatif individu di Jerman tidak dikekang agar dinamika masyarakat tumbuh secara optimal, akan tetapi tanggung jawab sosial individu dituntut agar bias negatif dapat diminimalkan. Kurang lebih sama halnya dengan Indonesia, sistem ekonomi pasar tidak perlu lagi dipermasalahkan dan disamakan dengan sistem ideologi kapitalisme karena sudah sejak lama kegiatan ekonomi sehari-hari rakyat Indonesia didasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu tidak perlu dikhawatirkan sistem ekonomi kita dicap sebagai bentuk kapitalisme baru (neoliberalime), sebab sistem ekonomi yang tengah berlangsung sekarang ini merupakan sistem yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia, tetapi masih perlu dikembangkan dengan unsur-unsur sosial agar sistem ekonomi Indonesia memiliki wajah yang manusiawi.18

Model-model kebijakan yang bersandar pada gagasan-gagasan neoliberal ini dapat kita lihat dalam kasus penyehatan ekonomi Indonesia yang sakit akibat krisis

18


(39)

moneter yang terjadi sejak 1997. Dalam kasus ini, pinjaman IMF melalui LoI (Letter of Intent). Beberapa kesepakatan dalam LoI adalah bahwa pemerintah harus secepat mungkin melakukan privatisasi terhadap BUMN dan mengurangi belanja publik melalui pengurangan berbagai macam subsidi. Keyakinan yang begitu besar terhadap kebijakan liberal ini membuat IMF tidak mampu merespon kritik bahwa kebijakan-kebijakan yang diusulkan untuk penyehatan ekonomi tidak memahami kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis sehingga biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk program tersebut teramat besar. Sementara sebagian pengamat yang lain mengatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia adalah unik sehingga penyelesaiannya juga harus bersifat khusus.19

Perihal keadilan dalam pasar bebas, John Rawls berpendapat, bahwa setiap orang yang masuk ke dalam pasar dengan bakat dan kemampuan alamiah yang berbeda-beda, sehingga peluang sama yang diberikan pasar tidak akan menguntungkan semua peserta. Keadaan yang demikian itu justru menimbulkan distribusi yang tidak adil. Kalaupun kondisi sosial telah diperbaiki sehingga peluang sama bagi semua orang, tidak lalu berarti bahwa pasar bebas dengan sendirinya akan mendistribusikan kekayaan ekonomi secara merata. Justru sebaliknya, terlepas dari perbaikan kondisi sosial yang ada, pasar bebas akan melahirkan kepincangan karena perbedaan bakat dan kemampuan alamiah orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian jelas bahwa pasar merupakan pranata yang tidak adil. Oleh sebab itulah pengaturan harus dilakukan dalam kerangka

19 Budi Winarno, Pertarungan Negara vs Pasar, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), hal. 95.


(40)

pranata politik dan hukum yang mengatur kecenderungan umum peristiwa-peristiwa ekonomi dan menjaga kondisi sosial yang niscaya bagi kesamaan peluang yang fair. Atas prinsip ini, pemerintah diizinkan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa untuk menguntungkan kelompok yang paling kurang beruntung. Pemerintah diizinkan untuk mengambil langkah-langkah tertentu, umpamanya mencegah akumulasi milik pribadi dan kekayaan yang berlebihan.20

Meskipun konsep keadilan menurut pandangan Aristoteles dan Adam Smith dalam beberapa hal memiliki persamaan, akan tetapi ada suatu perbedaan mendasar. Dalam hal ini, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan, yaitu keadilan komutatif. Alasannya, pertama, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak yang lain. Keadilan sesungguhnya mengungkapkan kesetaraan dan keharmonisan hubungan di antara manusia. Dengan demikian dalam interaksi sosial apa pun tidak boleh ada orang atau pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Di sisi lain, timbulnya ketidakadilan disebabkan oleh pincangnya hubungan antar manusia karena kesetaraan dan keharmonisan tersebut mengalami gangguan. Dengan kata lain, ketidakadilan adalah keadaan asimetri antara satu pihak dengan pihak yang

20


(41)

lain, sebagaimana halnya dacing yang tidak lagi berada pada posisi yang simetris atau lurus.21

Alasan kedua adalah karena “keadilan legal” sesungguhnya sudah terkandung dalam “keadilan komutatif”. Dalam hal ini, bahwa salah satu tujuan negara demi menegakkan keadilan komutatif maka negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Sebab hanya dengan prinsip perlakuan yang sama inilah keadilan komutatif dapat ditegakkan. Dengan demikian jelas bahwa “prinsip yang sama” atau keadilan legal merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan prinsip keadilan komutatif. Demikian pula halnya ketika prinsip keadilan komutatif dirumuskan dalam hukum yang mengatur agar tidak boleh ada pihak yang merugikan hak dan kepentingan pihak lain. Sehingga boleh dikatakan bahwa hal inilah yang menjadi pegangan negara untuk menegakkan keadilan komutatif tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bahwa keadilan komutatif maupun keadilan legal, pada prinsipnya sama-sama menyangkut jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan semua orang dalam interaksi sosial yang didukung oleh sistem politik melalui hukum positif. Bahkan, dalam teori keadilan Adam Smith, keadilan komutatif juga berlaku dalam hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam kedudukan mereka yang seimbang-horizontal. Dalam kedudukannya masing-masing, yaitu sebagai rakyat dan pemerintah, tidak boleh ada pihak yang melanggar hak dan kepentingan pihak lain. Rakyat tidak boleh merugikan

21 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. 146-152. Lihat juga A. Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hal. 235-238.


(42)

hak pemerintah, demikian pula sebaliknya pemerintah tidak boleh merugikan hak rakyat.22

Ketiga, dengan dasar pengertian sebagaimana diuraikan di atas, Adam Smith menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan. Alasannya antara lain karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut hak: semua orang tidak boleh dirugikan haknya, atau, secara positif, setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan haknya. Keadilan distributif bukanlah salah satu jenis keadilan karena keadilan distributif tidak ada sama sekali kaitannya dengan hak. Sebagaimana halnya orang miskin sesungguhnya tidak punya hak untuk menuntut dari orang kaya untuk membagi kekayaannya kepada mereka. Orang miskin hanya bisa meminta, tetapi tidak menuntutnya sebagai sebuah hak. Apakah itu akan diberikan oleh orang kaya atau tidak, itu tergantung pada sikap belas kasihan atau kemauan baik orang kaya. Dengan demikian orang kaya tidak bisa dipaksa untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi orang miskin. Menolong orang miskin hanyalah soal sikap baik (beneficence), dan yang karena itu tidak bisa dipaksakan. Ini berbeda dengan keadilan komutatif. Pada keadilan komutatif, semua orang dapat dituntut dan dipaksa untuk menghargai hak orang lain, sebagaimana ia sendiri menuntut bahkan memaksa orang lain untuk menghargai haknya.23

Kepemilikan perusahaan terbagi ke dalam dua sistem, yaitu sistem kepemilikan terkonsentrasi dan sistem kepemilikan tersebar (dispersed) dengan karakteristik struktur

22 Ibid. 23


(43)

pengelolaannya masing-masing. Ahli pengelolaan perusahaan berpendapat bahwa terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas. Di Amerika Serikat (AS), pengelolaan perusahaan dilakukan oleh outsider/arm's-length, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar (outsider) perusahaan. Sistem ini terjadi karena tersebarnya kepemilikan suatu perusahaan. Perusahaan besar di AS mayoritas adalah perusahaan terbuka dan hanya segelintir perusahaan yang sahamnya masih berada di tangan pengendali perusahaan. Kepemilikan saham yang besar, apalagi kepemilikan saham mayoritas, adalah suatu hal yang tidak lazim di AS. Terminologi arm's length tepat untuk konteks AS karena pemegang saham menjaga jarak dan membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini berhasil karena dalam situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio saham yang mereka miliki ketimbang mencermati perkembangan kinerja satu perusahaan tertentu. Gejala pemisahaan antara kepemilikan dan kepengurusan ini telah diindentifikasi oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930-an yang kemudian dikenal dengan paradigma “Berle-Means Corporation”.24

Hasil analisis Adolf Berle dan Gardiner Means ini telah menimbulkan perdebatan panjang. Akan tetapi para ahli sependapat bahwa “Berle-Means Corporation” merupakan paradigma dominan dalam sistem ekonomi pasar. Dalam hubungan ini, Brian R. Cheffins ada mencatatkan bahwa:25

24 Brian R. Cheffins, Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in the United Kingdom”, Journal of Legal Studies, vol. XXX (The University of Chicago, 2001), hal. 461.

25 Ibid.


(44)

a separation of ownership and control was benefecial since

executives could be hired solely on the basis of their managerial credentials. This could occor because they would not be expected to make any sort of financial contribution to the firm hiring them or to have family ties or another personal connection with key shareholders.”

Pengelolaan perusahaan model paradigma “Berle-Means Corporation” ini sesungguhnya memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pengurus perusahaan. Untuk mencegah agar kekuasaan yang dimiliki pengurus dilaksanakan untuk keuntungan perusahaan, maka pemegang saham minoritas perlu diberikan hak-hak agar mereka dapat melindungi dirinya sebagai pemilik perusahaan.26 Untuk itu, perusahaan diwajibkan menerapkan prinsip keterbukaan.27

Kemungkinan terjadinya self-dealing akan menjadi lebih kecil apabila pemisahan antara pemilik dan pengurus telah dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan,28 sehingga pengurus akan lebih mudah menerapkan prinsip fiducia (kepercayaan) dalam pengelolaan perusahaan. Dalam hubungan ini, Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means menyatakan:29

Corporations where this separation has become an important factor

may be classed as quasi-public in character in contradiction to yhe private, or closely held corporation in which no important separation of ownership and control has taken place. …

26 Hak-hak yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas antara lain Hak Perseorangan, Hak Penilaian, Hak Utama, Hak Derivatif, dan Hak Pemeriksaan. Lihat Misahardi Wilamarta, Op.Cit., hal. 282-332.

27

Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law, (Cambridge, Massachusets: Harvard University Press, 1991), hal. 82.

28 Self-dealing terdiri atas dua bentuk yaitu no-conflict rule dan no-profit rule. No-conflict rule adalah pelarangan terhadap pengurus perusahaan melakukan transaksi yang melibatkan kepentingan pribadinya. Sedangkan no-profit rule adalah pelarangan terhadap pengurus perusahaan mendapatkan keuntungan karena kedudukannya. Vivien JH Chen, Self-Dealing by Company Directors in Malaysia, (Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2003), hal. 2.

29 Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means, The Modern Corporation & Private Property, (London: Transaction Publisher, 1991), hal. 6 dan 9.


(45)

In quasi-public corporation, such an assumptiom no longer holds. As we have seen, it is no longer the individual himselft who uses his wealth. Those in control of that wealth, and therefoe in a position to secure industrial efficency and produce profits, are no longer, as owners, entiled to the bulk of such profits. Those who control the destinies of the typical modern corporation own so insignificant a fraction of the company’s stock that the returns from running the

corporation profitably accrue to them in only a very minor degree. The stokeholders, on the other hand, to whom the profits of the corporation go, cannot be motivated by those profits to a more efficient use of the property, since they have surrendered all disposition of it to those in control of the enterprice. The explosion of the atom of property destroys the basis of the old assumption that the quest for profits will spur the owner of industrial property to its effective use. It consequently challenges the fundamental economic principle of individual initiative in industrial enterprise. It raises for reeexamination the question of the motive force back of industry, and the ends for which the modern corporation can be or will be run.”

Berbeda dengan AS, di Jepang dan Eropa kontinental, pengelolaan perusahaan dilakukan oleh insider/control-oriented. Dengan menggunakan sistem ini, maka pasar modal misalnya hanya memainkan peran kedua dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh pemegang saham pengendali dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. Ketika Jerman dan Jepang menikmati kinerja ekonomi yang lebih baik dari AS selama tahun 1970-an dan 1980-an telah menimbulkan kesan bahwa sistem insider/control-oriented bekerja lebih baik. Akan tetapi kecenderungan perekonomian di berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa versi kapitalisme model AS lebih dominan dan pengelolaan perusahaan model “Berle-Means Corporation” menghasilkan efisiensi sebagaimana yang diajarkan oleh teori dan juga kenyataannya perusahaan-perusahaan dengan orientasi insider/control mulai melakukan divestasi dan menghilangkan


(46)

struktur kepemilikan silang yang rumit dan secara perlahan bergerak ke arah kepemilikan yang tersebar. Meskipun perubahan ke arah kepemilikan tersebar sebenarnya terjadi secara perlahan, namun oleh Pimpinan Credit Lyonnais SA pada tahun 1999 digambarkan sebagai “Darwinian evolution of the species”. Studi empiris menunjukkan bahwa pertama, tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum suatu negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap rezim pengelolaan perusahaan di negara tersebut seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Kedua, struktur institusi yang kuat juga dapat menciptakan sistem penyebaran kepemilikan perusahaan sebagaimana terjadi di Inggris.30

Proteksi hukum yang kuat bagi pemegang saham minoritas memperlihatkan beberapa hal. Pertama, banyaknya jumlah perusahaan yang tercatat di bursa efek. Kedua, lebih bernilainya pasar modal. Ketiga, lebih rendah manfaat kontrol pribadi. Keempat, lebih terpecahnya kepemilikan saham. Dengan perkataan lain konsentrasi kepemilikan perusahaan adalah konsekuensi logis dari lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas.

Pada unregulated environment, bahaya yang kemungkinan besar muncul adalah praktik kejahatan orang dalam (pemegang saham pengendali dan eksekutif senior) suatu perusahaan publik yang akan mengelabui outside investor (masyarakat yang memiliki saham perusahaan). Berdasarkan argumentasi “law matters”, di suatu negara yang hukumnya lemah dalam memberikan perlindungan terhadap outside investor dari kecurangan insider menyebabkan outside investor potential takut

30


(47)

dieksploitasi. Konsekuensinya, ouside investor menjadi enggan membeli saham perusahaan. Keengganan investor tersebut pada akhirnya membuat pemilik perusahaan memutuskan untuk tidak menjual sahamnya kepada publik. Hasil yang berbeda akan terjadi apabila suatu negara mengatur sikap oportunistik para insider sehingga pemegang saham minoritas merasa aman. Dengan kondisi tersebut maka investor akan bersedia membeli dengan harga penuh saham yang dijual sehingga dapat menurunkan biaya modal bagi perusahaan yang memilih menjual saham di pasar modal. Kondisi ini pada gilirannya akan meningkatkan jumlah perusahaan yang melakukan penawaran umum saham sehingga sekaligus membangun pasar modal yang kuat dan menciptakan sistem kepemilikan perusahaan yang tersebar.31

Mengenai pentingnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas untuk menciptakan sistem kepemilikan saham perusahaan yang tersebar, ada baiknya melihat perkembangan yang terjadi di Inggris. Pengalaman Inggris memperlihatkan bahwa perangkat hukum yang mengatur perusahaan dan pasar keuangan tidak harus ada untuk menciptakan penyebaran kepemilikan perusahaan. Pengalaman Inggris menunjukkan bahwa struktur kelembagaan dapat menggantikan peranan hukum dalam menciptakan suatu sistem yang dikehendaki. Dengan kata lain, penyebaran kepemilikan saham perusahaan di Inggris bukan disebabkan kuatnya perlindungan yang diberikan hukum kepada pemegang saham minoritas, melainkan dengan cara penguatan institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa pada tahun 1907 hampir 600 perusahaan tercatat pada London Stock Exchange. Jumlah ini meningkat menjadi

31


(1)

Tahun 1995”, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum USU, Medan, tanggal 25 Juli 1995.

Rammurti, R. “Performance evaluation of stated-owned enterprises in theory and practice. Management Science”, (33).7, (1987a).

Ranney, Austin, Governing: An Introduction to Political Science (7th Edition), London: Prentice Hall International, Inc., 1996.

Ratner, David L. dan Thomas Lee Hazen, Securities Regulation Cases and Materials, St. Paul Minn: West Publishing, 1991.

Republik Indonesia Keputusan Menteri BUMN No.Kep-117/M-MBU/2002. ______, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Persero. ______, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perum.

______, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Persero, Perum, dan Perjan.

______, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perjan. ______, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perjan.

______, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 1983/Pid.B/2006/PN.JKT.PST.

______, TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004. ______, Undang-Undang Dasar 1945.

______, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

______, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

______, Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Penyeragaman Bentuk Hukum BUMN Menjadi PN.

______, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.


(2)

______, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penyederhanaan Bentuk BUMN Menjadi Tiga Bentuk.

Robinson, Julia E., “Privatization and Reinvention Paradigms for State Governmental Administration, Consequences” of. Encyclopedia of Public Administration and Public Policy, Idoha USA : Marcel Dekker, 2003.

Robinson, Richard, Indonesia-The Rise of Capital, (Sidney: Alllen & Unwin, 1986); Bruce Glassburner, The Economy of Indonesia, Ithaca: Cornel University, 1971.

Rodec, Cariton, et.al., Pengantar Ilmu Politik, diindonesiakan oleh Zulkifly Hamid, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Rosenberg, Nathan, “Adam Smith and Laissez Faiere Revisited”, dalam Gerald P. O’Driscoll, (ed), Adam Smith and Modern Political Economy. Bicentennial Essayas on “The Wealth Nations, Iowa: Iowa State University Press, 1979.

Rudjito, “Restrukturisasi BUMN Pasca UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, Jakarta: Gramedia, 2006.

Ruru, Bacelius, (1) “Pondasi Revitalisasi: Memahami UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, Jakarta: Gramedia, 2006.

______, (2) “Restrukrisasi Peran BUMN: Tinjauan Ideologis dan Ekonomis” dalam Kumala Hadi dkk (ed), Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997.

Safitri, Indra, “Good Corporate Governance pada Emiten dan BUMN”, 22 November 2002, BUMN-Online, 2000-2002.

Saleh, Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996.

Salman, R. Otje, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni, 1989.

Sanda, Abun, (ed), Hukum Sebagai Panglima, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Santosa, Setyanto P., ”Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN”,

http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapan NasionalismePengelolaanBUMN.pdf.


(3)

Savas, E.S., Privatization: The Key to Better Government, New Jersey: Chatam House Publisher, Inc., 1987.

Scallen, Eileen A., “Promises Broken vs. Promises Betrayed: Methapor, Analogy, and The New Fiduciary Principles”, University of Illinois Law Review, 1993. Scott, “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, American

Political Service Review, vol. 58 (1999).

Shick & Sherman, “Bank Stock Prices as an Early Warning System for Changes in Condition.” 11J.Bank Res. 136 (1980), dalam Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller, “Bank Failures, Risk Monitoring, and the Market for Bank Control”, Columbia Law Review.

Simatupang, Mawardi, “BUMN PASCA UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, Jakarta : Gramedia, 2006.

Sitompul, Zulkarnain, (1), Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

______, (2) Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum UI, 2002.

Sjahdeini, Sutan Remy, “Peranan Fungsi Pengawasan Bagi Pelaksanaan Good Corporate Governance”, dalam R.M. Talib Puspokusumo (ed), Reformasi Hukum di Indonesia: Sebuah Keniscayaan, Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2000.

Sjahrir, Formasi Makro-Mikro Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI Press, 1995.

Soebondo, “Mempersiapkan Peningkatan Kinerja, Daya Saing dan Value Melalui Retrukturisasi Perusahaan”, Jakarta, 22 Oktober 2002, makalah, tidak diterbitkan.

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1996.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI-Press, 1986.


(4)

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Soepardjo, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka dalam Menghadapi Liberalisasi Perdagangan Internasional, Jakarta: BP-7, 1995.

Soesastro, Hadi, dkk (ed), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemilihan Ekonomi, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

______, et.al., (ed), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setenag Abad Terakhir, Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi, Bagian 4 (1982-1997), Kerjasama Penerbit ISEI Jakarta dan Kanisius Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2005.

______, et.al, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir Bagian 4, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Stout, Lynn A., “The Uninfortance of Being Efficient: An Economic ANALYSIS OF Stock Market Pricing and Securities Regulation”, Michigan Law Review, (vol. 87, December 1988).

Sudarmadi, “Tak Rumit Menerapkan Good Corporate Governance (GCG)”, Majalah SWA, No. 04/XX/19 Februari - 3 Maret 2004.

Sugiharto, et al. BUMN Indonesia-Isu, Kebijakan dan Strategi, Jakarta: Penerbit. PT. Elex Media Komputindo, 2005.

Sukardi, L, “BUMN – Martabat Bangsa Korupsi dan Solusi”, Jakarta: Kantor

Menteri Negara BUMN, 2002.

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press, 1986.

______, Pengantar tentang Pasar Modal di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Sunarsip, “Pelajaran dari Model Restrukturisasi BUMN di China”, 2006.

Sunarsip, “Strategi Pengelolaan BUMN di Masa Mendatang”, Harian Republika, 30 April 2007.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2001.


(5)

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widyasarana, 1991. Sutanto, Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Tanpa Penerbit, 1995.

Swasono, Sri-Edi & Fauzie Ridjal (ed), Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, Jakarta: 1992.

Swasono, Sri-Edi, (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: 1987. ______, “Pengantar” dalam Sri^Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Muhammad

Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif. Ekonomi Masa Depan, Jakarta: UI Press, 1992.

Swire, Peter P., “Bank Insolvency Law Now That It Matters Again,” Duke Law Journal (Desember 1992).

Tandelilin, Eduardus, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Yogyakarta: BPPE, 1995.

Tannectics, Inc. v. A.L. Industries, Inc., 5 del 1. 337 (Del Ch: 1979).

Taylor, Michael,”The Search for A New Regulatory Pradigm”, Mercer Law Review, (Vol 49, 1998).

Teng, Michael, Corporate Trurn Around, Nursing A Sick company Back to Helath, Singapore: Printice hall, Inc, 200218.

The Economist, “A Survey of Banking in Emerging Markets,” April 12th– 18th, 1997. Thynne, Ian, Corporation as a Strategy of Owned Enterprise Reform,

State-Owned Enterprise Reform in Vietnam: Lesson from Asia, Singapore, 1996. Tjager, I Nyoman, et.all, Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan Bagi

Komunitas Bisnis Indonesia, Jakarta: Prenhallindo, 2003. US Supreme Court, 4 Wheaton 518, 636 (1819).

Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law, Materials-Cases-Text, Third Edition, (New York: The Foundation Press, Inc, 1989.

Vernon, Raymond, (ed), The Promise of Privatization, New York: Council On Foreign Relations, Inc, 1988.


(6)

Weber, James, “Trustee of the James E. Weber Revocable Trust”, u/d 2/18/04, Plantiff, v. IOAW State Bank and Trust Company of Fairfield, IOWA, an Iowa Corporation, Iowa State Finacial Services Corporation, an Iowa corporation, No. 4:05-CV-69. Feb. 15, 2005. Slip Copy, 2005 WL 6144292 (S,D.Iowa).

Wibisono, Christianto, dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Wignyosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Jakarta: Manajemen PT. RajaGrafindo Persada, 1993).

Wilamarta, Misahardi, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum UI, 2005.

Winarno, Budi, Pertarungan Negara vs Pasar, Yogyakarta: Media Pressindo, 2009. Winfield, Pery Wise M., Out-Lines of Yurisprudence, dalam Sunarhayati Hartono,

Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung: PT. Aditya Bakti, 1991. Yaqin, Anwarul, Law and Society in Malaysia, Kuala Lumpur: International Law

Book Series, 1996.

Yayasan Mitra Dana, Penuntun Pelaku Pasar Modal Indonesia, Yayasan Mitra Dana Bapepam, 1991.