Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Pada awalnya keberadaan BUMN diperuntukkan untuk menyeimbangkan

dan/atau

menggantikan

sektor

swasta

yang

lemah.

Pembentukan


BUMN

dimaksudkan pula untuk mendorong rasio investasi yang lebih tinggi, penambahan
modal investasi, alih teknologi, peningkatan sektor ketenagakerjaan dan produksi
barang-barang dengan harga terjangkau. 5
Dalam perkembangan selanjutnya, pendirian BUMN selain bertujuan untuk
memberi kontribusi pada pendapatan negara (national income), BUMN juga
mengemban misi untuk mengutamakan kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat sebesar-besarnya. Hal ini merupakan amanat konstitusi negara yang tertuang
dalam Pasal 33 UUD 1945.6

5

Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Privatization: The Lessons of Experience,
(Washington D.C: The World Bank, 1997), hal. 3.
6
Pasal 33 UUD 1945 setelah amandemen, berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; dan (5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Dan di dalam penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan kedudukannya
perusahaan negara memiliki dua fased: (a) sebagai aparatur perekonomian negara, yaitu melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan di bidang usaha negara; dan (b) sebagai salah satu unsur di dalam kehidupan
perekonomian nasional di samping perusahaan swasta dan koperasi.

Untuk dapat mewujudkan perannya yang demikian penting itu, sudah seharusnya
BUMN dikelola dengan menerapkan prinsip good corporate governance.7 Konsekuensi
pengabaian penerapan prinsip good corporate governance adalah BUMN tidak lagi
berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan, keberadaannya justru menambah beban yang
harus ditanggung oleh pemerintah (burden of state).8 Kondisi seperti ini tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut dan harus diatasi secepatnya agar tidak sampai merusak dan
menghancurkan sistem perkonomian nasional secara keseluruhan.9
Di Indonesia, konsentrasi kepemilikan perusahaan, baik milik pemerintah
(BUMN) maupun perusahaan milik swasta, telah menimbulkan permasalahan yang
7


Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah “pengelolaan perusahaan”
(corporate governance) dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United
States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari
1998, di mana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah
tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan
penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Good Corporate Governance
memiliki empat prinsip dasar yaitu fairness, transparancy, accountability dan responsibility. Lihat
Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta: Pascasarjana UI, 2001), hal. 20-21.
8
Menurut Bismar Nasution, hingga saat ini pembicaraan mengenai good corporate
governance, khususnya peningkatan transparansi dalam etos kerja pengelolaan perusahaan, masih
mampu menarik perhatian orang banyak karena penerapan transparansi perusahaan selama ini belum
sepenuhnya memuaskan. Pemberitaan mengenai perusahaan negara yang inefficiency dan adanya
praktik KKN sebagai hidden enemy masih menghiasi media massa. Berdasarkan Indeks Keburaman
(Opacity Index) yang pernah diturunkan majalah the Economist 3 Maret 2001, yang mengukur
ketidakjelasan sistem hukum dan pengaturan, kebijakan ekonomi makro dan perpajakan, standar
praktik akuntansi serta korupsi di 35 negara, negara Cina, Rusia dan Indonesia adalah negara-negara
yang paling buram opacity index-nya. Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books
Terrace & Library, 2006), hal. 190.

9
Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117 Tahun 2002 tentang Penerapan Good Corporate Governance
(GCG) tertanggal 1 Agustus 2002. Ada empat jenis BUMN yang mendapatkan sorotan dalam implementasi
GCG tersebut, yakni: (a) BUMN yang bergerak dalam bidang Asuransi dan Jasa Keuangan; (b) BUMN yang
menjadi PT terbuka; (c) BUMN yang sedang tahap privatisasi, dan (d) BUMN yang memiliki aset minimal
Rp. 1 Triliun. Sebelumnya, di era Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, juga telah
diperkenalkan prinsip GCG. Hal ini ditunjukkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1997 yang
berisi tentang Pembentukan Kantor Menneg Pendayagunaan BUMN serta pengalihan pengelolaan BUMN
dari 17 Departemen ke kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Kemudian disusul dengan keluarnya
Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor 23 Tahun 1998 yang mewajibkan
transparansi di kalangan manajemen BUMN. Nu’man Abdul Hakim, “Kontroversi dan Optimalisasi
Privatisasi BUMN”, www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/11/0804/htm.

cukup rumit dan signifikan, terutama dalam kaitannya dengan efektivitas pengawasan
internal dan eksternal. Oleh sebab itulah program privatisasi di Indonesia pada
tahapan selanjutnya harus diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi
kepemilikan perusahaan, baik oleh negara melalui pengelolaan pemerintah maupun
pihak swasta. Tujuannya adalah agar program privatisasi bukan semata-mata
merupakan pengalihan konsentrasi kepemilikan perusahaan, “oleh pemerintah

menjadi oleh swasta”. 10
Dengan memecah dan kemudian menyebarnya kepemilikan perusahaan akan
menciptakan pengawasan yang efektif di antara para pemilik. Konkritnya dalam program
restrukturisasi BUMN antara lain adalah kecilnya kemungkinan terjadinya pemaksaan
kehendak oleh pemegang saham mayoritas, dan melindungi BUMN agar tidak dijadikan
sebagai “sapi perahan” oleh pemegang saham mayoritas dan partai politik yang sedang
berkuasa.
Dalam sistem pengelolaan perusahaan, efektivitas pengawasan sangat terkait erat
dengan bentuk dan struktur kepemilikan perusahaan. Bentuk dan struktur kepemilikan
perusahaan merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan perusahaan yang sehat
dan efisien. Konsentrasi kepemilikan perusahaan memungkinkan timbulnya campur tangan
pemilik secara berlebihan dalam pengurusan dan pengelolaan perusahaan. Hal ini antara
lain mengakibatkan fungsi pengawasan internal menjadi kurang berfungsi. Misalnya,
komisaris yang fungsinya sebagai pengawas perusahaan menjadi tidak efektif, padahal

10

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Limbrary,
2005), hal. 130-131.


komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya suatu perusahaan.
Inefisiensi dan ketidaksehatan suatu perusahaan antara lain disebabkan oleh dominasi
pemilik sehingga komisaris bersikap pasif dalam melakukan pengawasan terhadap
kegiatan perusahaan.
Agar gagasan tentang penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan
“kepemilikan terkonsentrasi” itu menjadi “kepemilikan tersebar” dapat diwujudkan maka
dibutuhkan prasyarat dan kondisi sebagai berikut:
Pertama, tersedianya perangkat hukum yang memberikan perlindungan kepada
pemegang saham minoritas.11 Studi empiris menunjukkan bahwa tingkat proteksi yang
diberikan oleh sistem hukum suatu negara kepada outside investor berdampak signifikan
terhadap regim pengelolaan perusahaan di negara tersebut. Proteksi hukum yang kuat
bagi pemegang saham minoritas berkaitan erat dengan banyaknya jumlah perusahaan
yang tercatat di bursa efek, lebih bernilainya pasar modal, lebih rendah manfaat kontrol
pribadi dan lebih terpecahnya kepemilikan saham. Singkatnya, konsentrasi kepemilikan
perusahaan adalah konsekuensi dari lemahnya perlindungan hukum bagi pemegang

11

Sebagai konsekuensi dari pencantuman kata “melindungi” dalam UUD 1945 pada
hakikatnya “memberikan dasar yang paling kuat bagi negara untuk menjalankan tugasnya melindungi

segenap bangsa Indonesia, melindungi warganya dari tindakan-tindakan yang tidak adil, karena
kekerasan dan kezaliman termasuk perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan kepentingan
anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, negara Indonesia yang diwajibkan oleh konstitusi untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia (sebagaimana ternyata dalam konteks umum UUD 1945), harus
konsekuen dan konsisten menegakkan dan mengaplikasikan hukum. Artinya, negara wajib melindungi
segenap anggota masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang lemah, termasuk
Pemegang Saham Minoritas dalam Perseroan Terbatas (PT). … UUD 1945 sebagai hukum dasar yang
mempunyai kedudukan yang paling tinggi dari peraturan lainnya telah menandaskan dengan tegas,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Segala macam produk hukum yang ada di bawahnya
harus tunduk pada UUD 1945 tersebut”. Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas
dalam Rangka Good Corporate Governance, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana UI,
2005), hal. 225-226.

saham minoritas. Oleh sebab itu pemberian perlindungan hukum bagi pemegang saham
minoritas merupakan prasyarat untuk menciptakan sistem kepemilikan perusahaan yang
tersebar (disperse).
Kedua, adanya sistem peradilan yang efisien. Investor asing dan domestik akan
merasa terlindungi apabila kegiatan ekonomi didukung oleh sistem peradilan yang efisien,
sehingga mereka tertarik untuk membeli saham yang ditawarkan dengan harga pasar.
Kuatnya permintaan investor pada gilirannya mendorong pemilik saham mayoritas untuk

menjual sahamnya pada masyarakat luas. Namun apabila hakim korup atau pengadilan
tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat, maka investor
akan kurang percaya terhadap perlindungan yang diberikan oleh hukum. Dan apabila
hukum demikian lemahnya sehingga kontrak sederhana saja tidak dapat ditegakkan, maka
membangun suatu corporate institution yang kompleks akan sangat sulit dilakukan.
Namun apabila sistem peradilan sudah berjalan baik, maka aturan hukum akan dapat secara
potensial melindungi pemegang saham minoritas dari perlakuan sewenang-wenang orang
dalam atau pengelola perusahaan.
Ketiga, efektifnya pengawasan internal dan eksternal. Institusi pengawas harus mampu
mendeteksi secara dini terjadinya salah kelola atau perbuatan-perbuatan curang yang dilakukan
pengelola perusahaan.12 Di samping itu kemampuan menjatuhkan sanksi tegas haruslah

12

Perbuatan curang dalam pengelolaan bank BUMN bisa saja terjadi karena pengawasan
internal perusahaan yang sangat lemah. Dalam hal ini Kwik Kian Gie pernah mengemukakan, bahwa
“pengucuran kredit sampai jumlah yang tidak masuk akal besarnya oleh bank BUMN kepada usaha
besar didasarkan korupsi, yaitu bahwa pribadi pimpinan bank mengucurkan kredit karena
mendapatkan komisi yang terkenal dengan istilah kick back commission. Ada juga persekongkolan
bahwa Direktur bank BUMN mempunyai saham dalam perusahaan debitur, walaupun tidak atas

namanya. Dengan demikian dikesankan bahwa perusahaan besar dianakemaskan, karena memperoleh

dimiliki oleh institusi pengawas. Deteksi dini diperlukan untuk meminimalkan kerugian akibat
terjadinya salah kelola dan atau perbuatan curang dalam pengelolaan perusahaan.
Dengan adanya prasyarat dan kondisi di atas, maka gagasan tentang
penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan “kepemilikan terkonsentrasi”
itu menjadi “kepemilikan tersebar” dapat terlaksana untuk menciptakan BUMN yang
sehat dan efisien, sehingga amanat UUD 1945 yaitu penerapan secara nyata sistem
ekonomi yang berkeadilan (demokrasi ekonomi) 13 dapat direalisasikan untuk
mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia.
Berikut diterakan skema alur pikir dalam kerangka pembentukan hukum
perusahaan modern.

kredit dengan sangat mudah dalam jumlah besar. Contohnya adalah Eddy Tansil yang memperoleh
kredit hampir 1 triliun tanpa mempunyai pembukuan. Pembukuannya ada di dalam ingatan istrinya”.
Kompas, 16 Nopember 1998.
13
Mantan Anggota Komisi APBN DPR, Tadjuddin Noersaid berpendapat, bahwa “program
demokrasi ekonomi itu mustahil bisa tercapai, kalau sistem politik dan sistem hukum tidak ditata
(diperbaiki) untuk mendukung program demokrasi ekonomi. Pengalaman masa lalu telah

membuktikan, meskipun sudah ada UU yang membatasi praktek monopoli dalam bidang industri,
tetapi dalam pelaksanaannya program itu tidak tercapai. Konglomerasi terjadi di mana-mana. Mengapa
ini bisa terjadi? Karena sistem politik yang terlalu sentralistik, lemahnya kontrol DPR dan tidak adanya
kepastian (wibawa) hukum akibat intervensi kekuasaan. Jadi, meski telah ada ketentuan yang mengatur
pemusatan ekonomi atau persaingan usaha yang tidak sehat, kalau sistem politik dan hukum tidak
menunjang, semua ini tidak mungkin bisa diharapkan. … Dalam mengatur semua pelaku ekonomi
dalam rangka demokrasi ekonomi, tidak bisa dipertentangkan satu sama lain. Sebaliknya, semua
pelaku harus ditata secara baik. Dalam hal ini, pemerintah menjadi kunci dalam mengatur semua
pelaku ekonomi tersebut melalui perpajakan atau skema pembatasan kegiatan usaha bagi usaha kecil,
menengah dan besar”. Kompas, 11 Nopember 1998.

SKEMA PENYEBARAN KEPEMILIKAN SAHAM BUMN

2

POTENSI :
a. Perangkat hukum yg ada
cukup menunjang (UU
BUMN, UU PM, UU PT &
peraturan

pelaksanaannya)
b. Penerapan GCG yg baik;
c. Meningkatnya kesadaran
hukum masyarakat;
d. SDA, SDM, Ilpengtek;
e. Perbaikan kinerja BUMN

1

PARADIGMA
PASAL 33 UUD
1945
KEADILAN
SOSIAL
Penguasaan Negara
atas sektor usaha
untuk kepentingan
hajat hidup orang
banyak.

INTERAKSI

9

HASIL MONITORING/ EVALUASI, FEED BACK

4
WAWASAN/
DOKTRIN
POLITIK
HUKUM
Hukum yg mampu
mewujudkan
kesejahteraan
rakyat melalui
pengelolaan
perusahaan yg
sehat & efisien
atas sektor2
usaha untuk
kepentingan
hajat hidup
orang banyak

GARIS
POLITIK
HUKUM :
Terciptanya
hukum ttg
pengelolaan
sektor2
usaha untuk
kepentingan
hajat hidup
orang banyak
untuk
menciptakan
perusahaan
yang sehat
dan efisien

PRO
LEG
NAS :
di
rumuskannya
RUU
Privatisasi
BUMN yg
meliputi
perlindungan
hukum
pemegang
saham
minoritas
&
pembaruan
hukum
perusahaan

8

7

6

5

LAW
EN
FOR
CE
MENT :
Penegakan
hukum yg
didukung
dgn
Penguatan
Institusi
Pasar
Modal,
BAPEPAM
&
penerapan

GCG

OUTPUT
Tercapainya
peningkatan
kesejahteraan
rakyat,melalui
pengelolaan BUMN
yg sehat & efisien
pada sektor usaha
utk kepentingan
hajat hidup
orang banyak,
terbukanya
kesempatan
yg sama bagi
seluruh rakyat
utk memiliki
saham2
Pemerintah
di BUMN

3

SIKON :
a. Struktur kepemilikan saham
pemerintah di BUMN yg
terkonsentrasi;
b. Campur tangan pemerintah yg
dominan dlm pengelolaan BUMN;
c. Pengelolaan BUMN tdk efektif
dan efisien;
d. Perobahan lingkungan dunia usaha;
e. Keikutsertaan dlm ekonomi
regional dan internasional (WTO,
AFTA dan APEC).

.

HASIL MONITORING/ EVALUASI, FEED BACK

9

Sumber: Derivasi yang dimodifikasi dari Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH. “Skema Sistem Pembangunan Hukum
Nasional (SIS.BANG.KUM.NAS) dalam Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 171.

Skema 1. Alur Pikir dalam Kerangka Pembentukan Hukum Perusahaan
Modern
Sehubungan dengan uraian-uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa
pemilihan topik disertasi ini, yaitu penyebaran kepemilikan saham dengan cara pemecahan

“kepemilikan terkonsentrasi” agar menjadi “kepemilikan tersebar” untuk menciptakan
perusahaan yang sehat dan efisien, setidak-tidaknya berdasarkan 4 (empat) alasan:
(1) privatisasi tidak menjamin peningkatan kinerja perusahaan; (2) pemusatan kepemilikan
pemerintah pada suatu perusahaan cenderung membuat kinerja perusahaan jelek;
(3) kepemilikan mutlak oleh swasta jauh lebih riskan (berbahaya) dari kepemilikan mutlak
pemerintah; (4) kinerja perusahaan dapat meningkat dengan kepemilikan tersebar karena
dengan kepemilikan tersebar oleh masyarakat akan menciptakan pengawasan yang efektif
(market discipline) dan perusahaan akan dikelola secara profesional.

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang

menjadi fokus pengkajian dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana cara menyebarkan kepemilikan saham pemerintah pada BUMN
untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan efisien serta kepentingan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia dapat direalisasikan?
2. Bagaimana agar struktur kepemilikan dan sistem pengelolaan perusahaan
efektif sehingga dapat menciptakan BUMN yang sehat dan efisien serta
sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan sosial?
3. Mengapa pemerintah berkenan melepaskan kepemilikannya, padahal dengan
mempertahankan kepemilikan pada BUMN akan mendapatkan dukungan
politik?

C.

Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui cara mewujudkan BUMN yang sehat dan efisien agar
kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia dapat
direalisasikan.
2. Untuk menemukan cara membentuk struktur kepemilikan dan sistem
pengelolaan perusahaan efektif sehingga dapat mewujudkan BUMN yang
sehat dan efisien serta sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan sosial.
3. Untuk mengetahui cara pemerintah melepaskan kepemilikan sahamnya yang
terkonsentrasi, sehingga tercipta kepemilikan saham yang tersebar.

D.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain

untuk:
1. Menambah khasanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum ekonomi pada
khususnya.
2. Memberikan kontribusi pemikiran terhadap pengelolaan BUMN yang baik
dan tepat sasaran, khususnya BUMN yang berkaitan langsung dengan hajat
hidup orang banyak (kepentingan publik).

E.

Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori 14
Di era globalisasi sekarang “pasar” telah dinobatkan menjadi paradigma yang

paling dominan. Terjadinya pendiskreditan “negara” dan “kekuatan sosial” ~
termasuk nilai-nilai budaya yang tidak kondusif untuk pasar, yang berlawanan dengan
konsep manusia sebagai “homo economicus” ~ memberikan ruang yang seluasluasnya bagi pasar. “Pasar” inilah ~ bersama dengan “demokrasi” ~ dipandang
sebagai hal paling natural bagi manusia. Paradigma ini menjadi semacam tolok ukur
untuk menilai mana yang patut dipertahankan, mana yang kurang bisa dipertahankan,
dan mana yang harus diubah. Dengan kata lain, sebagai paradigma dominan, pasar
mempunyai kekuatan disipliner. Dalam proses tersebut, banyak hal dan aspek yang
tidak kondusif untuk ekspansi dari pendalaman pasar; didiskreditkan sebagai tidak
“matket-friendly”, dan oleh karena itu, dianggap pantas untuk disingkirkan, atau
paling tidak, dipersoalkan. Paradigma kedaulatan pasar ini tersebar melalui berbagai

14

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian ilmiah oleh
karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis yang mungkin disetujui atau pun yang tidak disetujui”. Sedangkan teori itu sendiri adalah
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi
intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata
lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan
obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi
harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau shahih). Solly Lubis,
Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori
berguna untuk: (1) menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan;
(2) memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan;
(3) memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan (4) mengisi lowonganlowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Fuad Hasan
dan Koentjaraningrat, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat (ed), MetodeMetode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), hal. 10.

saluran dan cara. Pada tataran politik, bekerjanya pasar kerap dikaitkan dengan
demokrasi. Kendati tidak ada hubungan intrinsik di antara keduanya, kerapkali
dinyatakan bahwa “masyarakat pasar” tidak akan berfungsi dengan baik tanpa
“masyarakat demokratis”. Dalam paradigma seperti ini, kedatangan pasar dalam
berbagai bentuknya dipandang sebagai “awal” atau “fajar yang menjanjikan” dari
datangnya demokrasi. Dan tanda dari kedatangan pasar terwujud dalam kedatangan
modal-modal asing yang besar. Logika yang simplistik seperti inilah yang
ditanamkan dalam benak masyarakat. Pada awal beroperasinya kapitalisme, pasar
merupakan bagian dari masyarakat. Operasi norma-norma pasar (ekonomi) berakar
dan dibatasi oleh norma-norma sosial (kultural dan politik). Masyarakatlah yang
memegang kata akhir dalam hubungan “yang sosial” dan “yang ekonomi” ini.
Namun, ketika kapitalisme sudah menjadi dominan, hubungan dibalik: masyarakatlah
yang merupakan bagian dari pasar. Norma-norma masyarakat ditantang, didesak,
dibatasi, dan ditekan oleh norma norma pasar. Akhirnya, “bisnis” lalu menjadi
paradigma dan pasar memiliki kedaulatannya. 15
Pada mulanya “profitabilitas” menjadi monopoli transaksi ekonomis, namun
sekarang ia telah mendominasi pola pikir masyarakat pada umumnya. Lebih jauh dari
pada itu, “profitabilitas” menjadi tolok ukur untuk menilai apakah sesuatu itu baik
15

Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru dan Peradaban Pasar”, dalam I. Wibowo dan
Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal.
298-299. Dalam hubungan ini, T. Keizerina Devi ada mengemukakan, bahwa “di dalam era di mana
perdagangan sudah melampaui batas-batas negara, maka hukum suatu negara dapat berubah karena
kepentingan ekonomi. Negara tersebut secara sadar mengubah undang-undangnya untuk mendapat
akses kepada pasar internasional. T. Keizerina Devi Azwar, Poenale Sanctie: Studi Tentang
Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), (Medan: Program
Pascasarjana USU dan Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum UI, 2004), hal. 21.

atau tidak, dapat dipertahankan atau tidak, dikelola dengan baik atau tidak, dan
seterusnya. Bersama dengan “efisiensi”, “profitabilitas” menjadi tolok ukur untuk
program-program privatisasi. Ada suatu persamaan di balik proses ini: “negara” sama
dengan tidak efisien; tidak efisien sama dengan tidak menguntungkan alias rugi; tidak
menguntungkan sama dengan tidak dapat dipertahankan. Untuk mengubah
persamaan-persamaan ini maka perusahaan-perusahaan negara ini harus diprivatisasi.
Dalam kenyataannya, proses ini tidak mudah karena sedari awal perusahaanperusahaan negara ~ termasuk budaya perusahaannya ~ tidak dibangun dengan
prinsip “profitabilitas”. Dewasa ini “profitabilitas” dan “efisiensi” menjadi mantra
baru bagi pengelolaan badan-badan usaha milik negara. 16 Begitupun, tidak dapat
dipungkiri kenyataan, bahwa pada kegiatan ekonomi dan produksi, motif mencari
keuntungan adalah unsur penting, tetapi bukanlah itu segala-galanya. Tanpa motif
keuntungan ini maka tidak akan ada usaha. Jika motif ini ditekan dan dimatikan
seperti di negara komunis, maka pertumbuhan ekonomi akan menjadi lamban. Suatu
negara yang memiliki sistem “ekonomi campuran” tetap berbasis pada prinsip-prinsip
pasar namun dikendalikan dengan aturan pemerintah. 17
Di sejumlah negara sistem ekonomi pasar merupakan penggerak aktivitas
ekonomi, dan diyakini bahwa sistem ekonomi pasar merupakan salah satu syarat bagi
16

Ibid, hal. 301-302.
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 22-23. Sistem ekonomi campuran (mixed economi) adalah perpaduan dari dua
bentuk sistem ekonomi, yaitu sosialisme dan kapitalisme. Sistem ekonomi campuran ini dibangun
dengan usaha meninggalkan unsur-unsur lemah sosialisme dan kapitalisme melalui proses dialektik
menuju suatu sintesa (teori dialektika). Logika dialektik melihat kontradiksi sebagai hasil dari
perpaduan ide-ide, yang dapat dicapai melalui cara sintesa untuk menghasilkan pengetahuan yang
lebih benar. Ibid.
17

terwujudnya demokrasi (neccesary but not sufficient). Kecenderungan ini telah
mendunia di mana demokrasi dan sistem ekonomi pasar menjadi pemicu bagi
terwujudnya “masyarakat modern”. Begitupun, penerapan sistem ekonomi pasar tidak
dengan sendirinya bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan
pemerataan sekaligus. Pemerintah di negara-negara yang menganut sistem ekonomi
pasar sekalipun tidak sepenuhnya menyerahkan kekuatan pasar sebagai satu-satunya
kekuatan sosial. Seperti keberadaan Social Market Economi di Jerman adalah suatu
upaya pelunakan terhadap sistem ekonomi liberal sehingga mempunyai wajah yang
manusiawi. Walaupun inisiatif individu di Jerman tidak dikekang agar dinamika
masyarakat tumbuh secara optimal, akan tetapi tanggung jawab sosial individu
dituntut agar bias negatif dapat diminimalkan. Kurang lebih sama halnya dengan
Indonesia, sistem ekonomi pasar tidak perlu lagi dipermasalahkan dan disamakan
dengan sistem ideologi kapitalisme karena sudah sejak lama kegiatan ekonomi seharihari rakyat Indonesia didasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu tidak perlu
dikhawatirkan sistem ekonomi kita dicap sebagai bentuk kapitalisme baru
(neoliberalime), sebab sistem ekonomi yang tengah berlangsung sekarang ini
merupakan sistem yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia, tetapi masih perlu
dikembangkan dengan unsur-unsur sosial agar sistem ekonomi Indonesia memiliki
wajah yang manusiawi. 18
Model-model kebijakan yang bersandar pada gagasan-gagasan neoliberal ini
dapat kita lihat dalam kasus penyehatan ekonomi Indonesia yang sakit akibat krisis
18

Ibid, hal. 30-31.

moneter yang terjadi sejak 1997. Dalam kasus ini, pinjaman IMF melalui LoI (Letter
of Intent). Beberapa kesepakatan dalam LoI adalah bahwa pemerintah harus secepat
mungkin melakukan privatisasi terhadap BUMN dan mengurangi belanja publik
melalui pengurangan berbagai macam subsidi. Keyakinan yang begitu besar terhadap
kebijakan liberal ini membuat IMF tidak mampu merespon kritik bahwa kebijakankebijakan yang diusulkan untuk penyehatan ekonomi tidak memahami kondisi
psikologis masyarakat Indonesia yang sedang dilanda krisis sehingga biaya-biaya
yang harus dikeluarkan untuk program tersebut teramat besar. Sementara sebagian
pengamat yang lain mengatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia adalah
unik sehingga penyelesaiannya juga harus bersifat khusus. 19
Perihal keadilan dalam pasar bebas, John Rawls berpendapat, bahwa setiap orang
yang masuk ke dalam pasar dengan bakat dan kemampuan alamiah yang berbeda-beda,
sehingga peluang sama yang diberikan pasar tidak akan menguntungkan semua peserta.
Keadaan yang demikian itu justru menimbulkan distribusi yang tidak adil. Kalaupun
kondisi sosial telah diperbaiki sehingga peluang sama bagi semua orang, tidak lalu berarti
bahwa pasar bebas dengan sendirinya akan mendistribusikan kekayaan ekonomi secara
merata. Justru sebaliknya, terlepas dari perbaikan kondisi sosial yang ada, pasar bebas
akan melahirkan kepincangan karena perbedaan bakat dan kemampuan alamiah orang
yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian jelas bahwa pasar merupakan pranata
yang tidak adil. Oleh sebab itulah pengaturan harus dilakukan dalam kerangka pranata-

19

95.

Budi Winarno, Pertarungan Negara vs Pasar, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), hal.

pranata politik dan hukum yang mengatur kecenderungan umum peristiwa-peristiwa
ekonomi dan menjaga kondisi sosial yang niscaya bagi kesamaan peluang yang fair. Atas
prinsip ini, pemerintah diizinkan mengatur kegiatan ekonomi sedemikian rupa untuk
menguntungkan kelompok yang paling kurang beruntung. Pemerintah diizinkan untuk
mengambil langkah-langkah tertentu, umpamanya mencegah akumulasi milik pribadi
dan kekayaan yang berlebihan.20
Meskipun konsep keadilan menurut pandangan Aristoteles dan Adam Smith
dalam beberapa hal memiliki persamaan, akan tetapi ada suatu perbedaan mendasar.
Dalam hal ini, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan, yaitu
keadilan komutatif. Alasannya, pertama, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya
punya

satu

arti,

yaitu

keadilan

komutatif

yang

menyangkut

kesetaraan,

keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang
atau pihak yang lain. Keadilan sesungguhnya mengungkapkan kesetaraan dan
keharmonisan hubungan di antara manusia. Dengan demikian dalam interaksi sosial
apa pun tidak boleh ada orang atau pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
Di sisi lain, timbulnya ketidakadilan disebabkan oleh pincangnya hubungan antar
manusia karena kesetaraan dan keharmonisan tersebut mengalami gangguan. Dengan
kata lain, ketidakadilan adalah keadaan asimetri antara satu pihak dengan pihak yang

20

A. Sonny Keraf, Op.Cit., hal. 265.

lain, sebagaimana halnya dacing yang tidak lagi berada pada posisi yang simetris atau
lurus. 21
Alasan kedua adalah karena “keadilan legal” sesungguhnya sudah terkandung
dalam “keadilan komutatif”. Dalam hal ini, bahwa salah satu tujuan negara demi
menegakkan

keadilan

komutatif

maka

negara

harus

bersikap

netral

dan

memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Sebab hanya dengan
prinsip perlakuan yang sama inilah keadilan komutatif dapat ditegakkan. Dengan
demikian jelas bahwa “prinsip yang sama” atau keadilan legal merupakan
konsekuensi logis dari pelaksanaan prinsip keadilan komutatif. Demikian pula halnya
ketika prinsip keadilan komutatif dirumuskan dalam hukum yang mengatur agar tidak
boleh ada pihak yang merugikan hak dan kepentingan pihak lain. Sehingga boleh
dikatakan bahwa hal inilah yang menjadi pegangan negara untuk menegakkan
keadilan komutatif tersebut. Karena itu, bisa dimengerti bahwa keadilan komutatif
maupun keadilan legal, pada prinsipnya sama-sama menyangkut jaminan dan
penghargaan atas hak dan kepentingan semua orang dalam interaksi sosial yang
didukung oleh sistem politik melalui hukum positif. Bahkan, dalam teori keadilan
Adam Smith, keadilan komutatif juga berlaku dalam hubungan antara rakyat dan
pemerintah

dalam

kedudukan

mereka

yang

seimbang-horizontal.

Dalam

kedudukannya masing-masing, yaitu sebagai rakyat dan pemerintah, tidak boleh ada
pihak yang melanggar hak dan kepentingan pihak lain. Rakyat tidak boleh merugikan
21

A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1998), hal. 146-152. Lihat juga A. Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah.
Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hal. 235-238.

hak pemerintah, demikian pula sebaliknya pemerintah tidak boleh merugikan hak
rakyat. 22
Ketiga, dengan dasar pengertian sebagaimana diuraikan di atas, Adam Smith
menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan. Alasannya antara lain
karena apa yang disebut keadilan selalu menyangkut hak: semua orang tidak boleh
dirugikan haknya, atau, secara positif, setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan
haknya. Keadilan distributif bukanlah salah satu jenis keadilan karena keadilan
distributif tidak ada sama sekali kaitannya dengan hak. Sebagaimana halnya orang
miskin sesungguhnya tidak punya hak untuk menuntut dari orang kaya untuk
membagi kekayaannya kepada mereka. Orang miskin hanya bisa meminta, tetapi
tidak menuntutnya sebagai sebuah hak. Apakah itu akan diberikan oleh orang kaya
atau tidak, itu tergantung pada sikap belas kasihan atau kemauan baik orang kaya.
Dengan demikian orang kaya tidak bisa dipaksa untuk memperbaiki keadaan sosial
ekonomi orang miskin. Menolong orang miskin hanyalah soal sikap baik
(beneficence), dan yang karena itu tidak bisa dipaksakan. Ini berbeda dengan keadilan
komutatif. Pada keadilan komutatif, semua orang dapat dituntut dan dipaksa untuk
menghargai hak orang lain, sebagaimana ia sendiri menuntut bahkan memaksa orang
lain untuk menghargai haknya. 23
Kepemilikan perusahaan terbagi ke dalam dua sistem, yaitu sistem kepemilikan
terkonsentrasi dan sistem kepemilikan tersebar (dispersed) dengan karakteristik struktur

22
23

Ibid.
Ibid.

pengelolaannya masing-masing. Ahli pengelolaan perusahaan berpendapat bahwa
terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan mengakibatkan lemahnya perlindungan hukum
bagi pemegang saham minoritas. Di Amerika Serikat (AS), pengelolaan perusahaan
dilakukan oleh outsider/arm's-length, yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh orang luar
(outsider) perusahaan. Sistem ini terjadi karena tersebarnya kepemilikan suatu perusahaan.
Perusahaan besar di AS mayoritas adalah perusahaan terbuka dan hanya segelintir
perusahaan yang sahamnya masih berada di tangan pengendali perusahaan. Kepemilikan
saham yang besar, apalagi kepemilikan saham mayoritas, adalah suatu hal yang tidak lazim
di AS. Terminologi arm's length tepat untuk konteks AS karena pemegang saham menjaga
jarak dan membiarkan pengurus bebas melakukan pengelolaan perusahaan. Pendekatan ini
berhasil karena dalam situasi normal investor lebih tertarik pada kinerja umum portfolio
saham yang mereka miliki ketimbang mencermati perkembangan kinerja satu perusahaan
tertentu. Gejala pemisahaan antara kepemilikan dan kepengurusan ini telah diindentifikasi
oleh Adolf Berle dan Gardiner Means di awal tahun 1930-an yang kemudian dikenal
dengan paradigma “Berle-Means Corporation”.24
Hasil analisis Adolf Berle dan Gardiner Means ini telah menimbulkan
perdebatan panjang. Akan tetapi para ahli sependapat bahwa “Berle-Means
Corporation” merupakan paradigma dominan dalam sistem ekonomi pasar. Dalam
hubungan ini, Brian R. Cheffins ada mencatatkan bahwa: 25

24

Brian R. Cheffins, “Does Law Matter? The Separation of Ownership and Control in the
United Kingdom”, Journal of Legal Studies, vol. XXX (The University of Chicago, 2001), hal. 461.
25
Ibid.

“a separation of ownership and control was benefecial since
executives could be hired solely on the basis of their managerial
credentials. This could occor because they would not be expected to
make any sort of financial contribution to the firm hiring them or to
have family ties or another personal connection with key
shareholders.”

Pengelolaan perusahaan model paradigma “Berle-Means Corporation” ini
sesungguhnya memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pengurus
perusahaan. Untuk mencegah agar kekuasaan yang dimiliki pengurus dilaksanakan
untuk keuntungan perusahaan, maka pemegang saham minoritas perlu diberikan hakhak agar mereka dapat melindungi dirinya sebagai pemilik perusahaan. 26 Untuk itu,
perusahaan diwajibkan menerapkan prinsip keterbukaan. 27
Kemungkinan terjadinya self-dealing akan menjadi lebih kecil apabila pemisahan
antara pemilik dan pengurus telah dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan,28 sehingga
pengurus akan lebih mudah menerapkan prinsip fiducia (kepercayaan) dalam pengelolaan
perusahaan. Dalam hubungan ini, Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means menyatakan:29
“Corporations where this separation has become an important factor
may be classed as quasi-public in character in contradiction to yhe
private, or closely held corporation in which no important separation
of ownership and control has taken place. …
26

Hak-hak yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas antara lain Hak Perseorangan, Hak
Penilaian, Hak Utama, Hak Derivatif, dan Hak Pemeriksaan. Lihat Misahardi Wilamarta, Op.Cit., hal.
282-332.
27
Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, The Economic Structure of Corporate Law,
(Cambridge, Massachusets: Harvard University Press, 1991), hal. 82.
28
Self-dealing terdiri atas dua bentuk yaitu no-conflict rule dan no-profit rule. No-conflict
rule adalah pelarangan terhadap pengurus perusahaan melakukan transaksi yang melibatkan
kepentingan pribadinya. Sedangkan no-profit rule adalah pelarangan terhadap pengurus perusahaan
mendapatkan keuntungan karena kedudukannya. Vivien JH Chen, Self-Dealing by Company Directors
in Malaysia, (Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2003), hal. 2.
29
Adolf A. Berle dan Gardiner C. Means, The Modern Corporation & Private Property,
(London: Transaction Publisher, 1991), hal. 6 dan 9.

In quasi-public corporation, such an assumptiom no longer holds. As
we have seen, it is no longer the individual himselft who uses his
wealth. Those in control of that wealth, and therefoe in a position to
secure industrial efficency and produce profits, are no longer, as
owners, entiled to the bulk of such profits. Those who control the
destinies of the typical modern corporation own so insignificant a
fraction of the company’s stock that the returns from running the
corporation profitably accrue to them in only a very minor degree.
The stokeholders, on the other hand, to whom the profits of the
corporation go, cannot be motivated by those profits to a more
efficient use of the property, since they have surrendered all
disposition of it to those in control of the enterprice. The explosion of
the atom of property destroys the basis of the old assumption that the
quest for profits will spur the owner of industrial property to its
effective use. It consequently challenges the fundamental economic
principle of individual initiative in industrial enterprise. It raises for
reeexamination the question of the motive force back of industry, and
the ends for which the modern corporation can be or will be run.”

Berbeda dengan AS, di Jepang dan Eropa kontinental, pengelolaan perusahaan
dilakukan oleh insider/control-oriented. Dengan menggunakan sistem ini, maka pasar
modal misalnya hanya memainkan peran kedua dalam perekonomian. Perusahaanperusahaan yang sahamnya dijual di bursa umumnya dimiliki oleh pemegang saham
pengendali dan atau kreditur dominan yang mempengaruhi manajemen. Ketika
Jerman dan Jepang menikmati kinerja ekonomi yang lebih baik dari AS selama tahun
1970-an dan 1980-an telah menimbulkan kesan bahwa sistem insider/controloriented bekerja lebih baik. Akan tetapi kecenderungan perekonomian di berbagai
belahan dunia memperlihatkan bahwa versi kapitalisme model AS lebih dominan dan
pengelolaan perusahaan model “Berle-Means Corporation” menghasilkan efisiensi
sebagaimana yang diajarkan oleh teori dan juga kenyataannya perusahaan-perusahaan
dengan orientasi insider/control mulai melakukan divestasi dan menghilangkan

struktur kepemilikan silang yang rumit dan secara perlahan bergerak ke arah
kepemilikan yang tersebar. Meskipun perubahan ke arah kepemilikan tersebar
sebenarnya terjadi secara perlahan, namun oleh Pimpinan Credit Lyonnais SA pada
tahun 1999 digambarkan sebagai “Darwinian evolution of the species”. Studi empiris
menunjukkan bahwa pertama, tingkat proteksi yang diberikan oleh sistem hukum
suatu negara kepada outside investor berdampak signifikan terhadap rezim
pengelolaan perusahaan di negara tersebut seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Kedua, struktur institusi yang kuat juga dapat menciptakan sistem penyebaran
kepemilikan perusahaan sebagaimana terjadi di Inggris. 30
Proteksi hukum yang kuat bagi pemegang saham minoritas memperlihatkan
beberapa hal. Pertama, banyaknya jumlah perusahaan yang tercatat di bursa efek.
Kedua, lebih bernilainya pasar modal. Ketiga, lebih rendah manfaat kontrol pribadi.
Keempat, lebih terpecahnya kepemilikan saham. Dengan perkataan lain konsentrasi
kepemilikan perusahaan adalah konsekuensi logis dari lemahnya perlindungan hukum
bagi pemegang saham minoritas.
Pada unregulated environment, bahaya yang kemungkinan besar muncul
adalah praktik kejahatan orang dalam (pemegang saham pengendali dan eksekutif
senior) suatu perusahaan publik yang akan mengelabui outside investor (masyarakat
yang memiliki saham perusahaan). Berdasarkan argumentasi “law matters”, di suatu
negara yang hukumnya lemah dalam memberikan perlindungan terhadap outside
investor dari kecurangan insider menyebabkan outside investor potential takut
30

Ibid, hal. 462-463.

dieksploitasi. Konsekuensinya, ouside investor menjadi enggan membeli saham
perusahaan. Keengganan investor tersebut pada akhirnya membuat pemilik
perusahaan memutuskan untuk tidak menjual sahamnya kepada publik. Hasil yang
berbeda akan terjadi apabila suatu negara mengatur sikap oportunistik para insider
sehingga pemegang saham minoritas merasa aman. Dengan kondisi tersebut maka
investor akan bersedia membeli dengan harga penuh saham yang dijual sehingga
dapat menurunkan biaya modal bagi perusahaan yang memilih menjual saham
di pasar modal. Kondisi ini pada gilirannya akan meningkatkan jumlah perusahaan
yang melakukan penawaran umum saham sehingga sekaligus membangun pasar
modal yang kuat dan menciptakan sistem kepemilikan perusahaan yang tersebar. 31
Mengenai pentingnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas
untuk menciptakan sistem kepemilikan saham perusahaan yang tersebar, ada baiknya
melihat perkembangan yang terjadi di Inggris. Pengalaman Inggris memperlihatkan
bahwa perangkat hukum yang mengatur perusahaan dan pasar keuangan tidak harus
ada untuk menciptakan penyebaran kepemilikan perusahaan. Pengalaman Inggris
menunjukkan bahwa struktur kelembagaan dapat menggantikan peranan hukum
dalam menciptakan suatu sistem yang dikehendaki. Dengan kata lain, penyebaran
kepemilikan saham perusahaan di Inggris bukan disebabkan kuatnya perlindungan
yang diberikan hukum kepada pemegang saham minoritas, melainkan dengan cara
penguatan institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa pada tahun 1907 hampir 600
perusahaan tercatat pada London Stock Exchange. Jumlah ini meningkat menjadi
31

Ibid, hal. 464.

3500 perusahaan pada tahun 1951. Padahal sebelum tahun 1914, perusahaanperusahaan terbuka (public companies) Inggris masih dimiliki dan dikelola secara
dominan oleh keluarga. Pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan baru benarbenar terjadi di Inggris pada tahun 1950-an. Meskipun hakim Inggris terkenal
reputasinya sebagai incorrupt, impartial and dicisive, namun Inggris tidak termasuk
negara yang memberikan perlindungan hukum bagi outside investor. Hukum
perusahaan yang berlaku atau prinsip common law yang secara tegas melindungi
pemegang saham minoritas tidak dikenal. Hak gugat derivatif misalnya bukan suatu
yang lazim dan pengadilan enggan memberi pemegang saham minorits legal standing
untuk menggugat atas nama perusahaan. Sampai pertengahan pertama abad 20,
hukum perusahaan Inggris tidak mengatur insider dealing. 32
Berkembangnya pasar modal Inggris dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, financial intermediaries. Perusahaan-perusahaan yang ingin go public harus
melalui pemeriksaan yang ketat oleh financial intermediaries. Ketatnya pengawasan
yang dilakukan oleh financial intermediaries adalah untuk menjaga reputasi lembaga
keuangan tersebut. Kedua, London Stock Exchange juga memerankan peranan
penting dalam mengembangkan pasar modal. Sebagai lembaga swasta, London Stock
Exchange menetapkan aturan yang ketat bagi perusahaan yang ingin mencatatkan
sahamnya. Dengan demikian, meskipun Inggris tidak mengenal rezim hukum yang
memberikan perlindungan bagi pemegang saham minoritas akan tetapi karena

32

Ibid.

kuatnya peranan yang diberikan oleh kedua institusi ini membuat banyaknya investor
yang bersedia menanamkan dananya dengan membeli saham perusahaan. 33
Penyebaran kepemilikan perusahaan dilakukan dengan cara “memecah”
kepemilikan terkonsentrasi pada hakikatnya bertujuan untuk menciptakan distribusi atau
pemerataan kepemilikan yang berkeadilan. Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak
pemegang saham minoritas, maka penyebaran kepemilikan perusahaan dapat terwujud. Hal
ini dilakukan untuk menghilangkan conflic of interest antara pemilik dan pengurus
perusahaan, serta terciptanya pengawasan internal yang efektif karena telah adanya
pemisahaan tugas dan wewenang yang jelas antara pemilik dan pengurus, sehingga dapat
diwujudkan perusahaan yang sehat dan efisien.
Berikut ini diterapkan sebuah skema untuk lebih memperjelas kerangka
berpikir penulis mengenai teori penyebaran kepemilikan perusahaan dengan cara
memecah kepemilikan terkonsentrasi untuk mewujudkan perusahaan yang sehat dan
efisien.

33

Ibid, hal. 465.

H U KU M PERU SAH AAN

PERLINDUNGAN HAK-HAK

A

H U KU M

A

B

PEN YEBARAN
KEPEMILIKAN
TERKON SEN TRASI

B

C

D

E

F

G

H

IN STITU SI

PEMISAH AN
PEMILIK
Hak-hak Pemegang Saham
Minoritas:
1. Hak Perseorangan
2. Hak Penilaian
3. Hak Utam a
4. Hak Derivatif
5. Hak Pem eriksaan

U MPAN

BALIK

PEN GU RU S
Kompetensi dan
Profesionalisme dengan
penerapan Good Corporate
Governance:
1. Fairness
2. Responsibility
3. Accountability
4. Transparancy
5. Indepedency

PERU SAH AAN YAN G SEH AT
D AN EFISIEN

Skema 2. Model Penyebaran Kepemilikan Perusahaan
2. Kerangka Konsep Sebagai Definisi Operasional
Dalam penelitian ilmiah, konsep atau pengertian adalah salah satu elemen
yang utama. Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, dan konsep juga
menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan danya hubungan
empiris. Dalam penelitian ini, pemilihan sejumlah konsep mengacu kepada batasan

masalah dan kerangka teori (ruang lingkup penelitian) dengan maksud untuk
membatasi jumlah konsep yang digunakan. 34
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka perlu
didefinisikan sejumlah konsep dasar dalam rangka penyamaan persepsi agar ruang
lingkup variabel-variabel yang ada secara operasional dapat dibatasi, sehingga hasil
yang diperoleh sesuai dengan tujuan dari penelitian dan penulisan disertasi ini.
Penyebaran kepemilikan saham adalah salah satu metode untuk menciptakan
kepemilikan saham yang merata dan adil dengan cara memecah kepemilikan saham
yang terkonsentrasi guna mewujudkan perusahaan yang sehat dan efisien.
BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan negara yang
bergerak di sektor-sektor usaha tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara.
Sektor-sektor usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan dikuasai oleh negara untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

34

Menurut M. Solly Lubis, kerangka konsep adalah “stimulasi dan dorongan konseptualisasi
untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri
mengenai sesuatu permasalahan. Ini merupakan konstruksi konsep secara internal …”. M. Solly Lubis,
Op.Cit, hal. 80.

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara adalah sektor-sektor usaha
yang mempunyai arti strategis bagi negara, baik di bidang pertahanan dan keamanan
maupun di bidang sosial dan politik yang bersifat dinamis. 35
Dikuasai oleh negara artinya adalah pemberian kewenangan dan hak
sepenuhnya kepada negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi pengelolaan
sumber daya alam dan sektor ekonomi nasional. 36
Saham adalah bagian dari kepemilikan modal sendiri di dalam perseroan dan
bukti kepemilikannya atau penyertaan modal dalam pemilikan suatu perseroan
terbatas. 37
Pemegang saham adalah orang atau badan yang memiliki saham di dalam
perusahaan. 38
Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan
perdagangan efek, perusahaan publik yang berkairan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. 39

35

Bersifat dinamis artinya suatu cabang produksi dahulu dianggap penting, namun dengan
adanya perubahan situasi dan kondisi tertentu sehngga cabang produksi tersebut sekarang tidak lagi
dianggap penting. Oleh sebab itu tidak perlu lagi dikuasai oleh negara. Dibyo Prabowo, “Penjabaran
Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dalam Kebijaksanaan”, dalam Pelaku dan Politik Ekonomi Indonesia,
(Yogyakarta, 1989), hal. 81.
36
Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia Privatisasi atau Korporatisasi?,
(Jakarta: Literata Lintas Media, 2003), hal. 120.
37
Yayasan Mitra Dana, Penuntun Pelaku Pasar Modal Indonesia, (Yayasan Mitra Dana
Bapepam, 1991), hal. 177.
38
Ibid.
39
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Pasar Modal.

Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem
dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. 40
Modal (capital) adalah uang atau benda yang ditanamkan dalam suatu usaha
untuk dikelola lebih lanjut secara produktif. 41
Hukum adalah iustitia (“keadilan”) atau ius/rech (dari regere = memimpin).
Hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana
yang dicita-citakan. 42
Keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak secara
lengkap, tanpa lebih dan tanpa kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan
yang sama, dan menghukum orang jahat atau yang melanggar hukum sesuai dengan
kesalahan atau pelanggarannya. 43
Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang paling berkaitan
dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, di mana
sistem hukum tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. 44

40

Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Pasar Modal.
Yayasan Mitra Dana, Op.Cit, hal. 32.
42
Theo Huibers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 49. Bandingkan Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang mengemukakan setidak-tidaknya ada 9 (sembilan)
pengertian hukum: (1) hukum sebagai ilmu pengetahuan; (2) hukum sebagai disiplin; (3) hukum
sebagai kaedah; (4) hukum seb