Saatnya Bersihbersih Diri dari Riba Kiblat

Edisi 04, Dzulhijjah 1434 | www.kiblat.net |

Cina Cirebon Pura-pura Masuk Islam
untuk Nikahi Muslimah Cantik
A

yung (32), warga Kelurahan Tanda
Barat Kecamatan Kejaksan Kota
Cirebon tega membakar istri dan
mertuanya akibat konflik dalam keluarganya.
Kejadian bermula saat Ayung terlibat
percekcokan dengan istrinya Rini (30), lalu
A y u n g l a n g s u n g m e mb a k a r i s t r i d a n
mertuanya, Yoyo (70) yang kebetulan tinggal
satu rumah dengannya.
Belakangan, Yoyo menghembuskan nafas
terakhirnya akibat luka bakar serius yang
dideritanya.
Namun, saat persidangan bergulir, rupanya
kisah pertengkaran keluarga ini bukan sekedar
konflik rumah tangga biasa.

Berdasarkan penelusuran Kiblat.net ke
Cirebon, kami mendapatkan fakta-fakta dari
kuasa hukum keluarga korban,
Pertama, Ayung Indrajaya Kosasih adalah
sorang nasrani keturunan Cina yang berasal
dari Kota Cirebon. Sedangkan, Rini Fitriana
adalah seorang muslimah yang berasal dari
Sukamulya, Kecamatan Cigugur, Kuningan.
Kemudian, Ayung datang ke pihak keluarga
Rini dan menyatakan berniat untuk
menikahinya. Orang tua Rini yang bernama
Yoyo Halim Mulyana mengizinkan dengan
syarat Ayung harus masuk Islam terlebih
dahulu.
Kedua, pada tanggal 14 Mei 2009 terjadi
pernikahan antara Ayung dengan Rini, setelah
Ayung masuk Islam di Desa Sukamulya,
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan

A


dengan dibuktikan adanya buku nikah yang
dikeluarkan oleh KUA Cigugur.
Ketiga, awalnya mereka hidup rukun dan
dikaruniai anak bernama Jansen. Kemudian,
Rini berhasil membeli rumah di Cirebon dan
mengajak orang tuanya di Kuningan tinggal di
Cirebon.
Orang tua Rini sering mendidik cucunya
(Jansen) dengan ajaran-ajaran Islam. Seperti
membaca basmallah, mengucapkan salam,
belajar shalat, dan sebagainya. Ayung sudah
mulai tak bisa menyembunyikan kekesalannya
dan sering terjadi pertengkaran di dalam
rumah.
Ke e m p a t , a k i b a t s e r i n g n y a t e r j a d i
pertengkaran antara Rini dengan Ayung,
akhirnya Rini cerita kalau suaminya dari awalawal pernikahan Ayung sudah menyatakan
diri telah balik lagi ke agama nasrani.
Kelima, Ayung mengatakan ke Rini kalau dia

tidak mau anaknya diajari tentang Islam,
bahkan dipakaikan kopiah pun Ayung marah.
Keenam, Ayung membuat Kartu Keluarga dan
KTP keluarganya dengan mengubah status
semuanya dari beragama Islam menjadi
beragama Nasrani.
Ketujuh, terjadi pisah ranjang selama 3 bulan
antara Ayung dan Rini. Belakangan, Ayung
datang ke orang tua Rini dan ingin kembali
melanjutkan rumah tangganya dengan tetap
meyakini agama Nasrani. Keinginan itu ditolak
Yoyo, ayah Rini. Sebab menurutnya, itu sama
dengan mempermainkan agama Islam.

Mengikuti Jalan Orang Beriman

llah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa

terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Ibnu Katsir mengatakan, “Barang siapa yang
menempuh jalan selain jalan syariat yang dibawa
oleh Rasul Saw., ia berada di suatu jalur, sedangkan
syariat Rasul Saw. berada di jalur yang lain. Hal
tersebut dilakukannya dengan sengaja sesudah
tampak jelas baginya jalan kebenaran.” (Tafsir Ibnu
Katsir, II/412).
Ibnu Mas’ud berkata, “Pada suatu hari Rasulullah
saw membuat sebuah garis lurus untuk kami,

kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’,
kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah
kanan dan kirinya, seraya bersabda, ‘Ini adalah jalanjalan lain, di setiap jalan tersebut ada setan yang
mengajak untuk mengikutinya (jalan tersebut). Lalu
beliau membaca ayat: ‘(Inilah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah jalan tersebut. Dan, janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan yang lain. Jika kalian mengikuti

jalan-jalan tersebut, niscaya kalian semua akan
terpisah dari jalan-Nya.’ (Al-An’am: 153).” (HR Ibnu
Hibban dan Ad-Darimi)

hal yang telah dimaklumi secara nyata. Karena
kesepakatan umat ini telah terjaga dari kekeliruan.
(Tafsir Ibnu Katsir, II/412). Ayat ini dijadikan dalil oleh
Imam Syafi’i bahwa ijma’ adalah sumber hukum
yang haram ditentang. Imam Syafi’i sampai kepada
kesimpulan ini setelah melakukan kajian cukup lama
dan penyelidikan yang teliti. Dalil ini merupakan
suatu kesimpulan yang terbaik lagi kuat. (Tafsir Ibnu
Katsir, II/412).

Makna firman Allah “dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin” masih berkaitan
dengan penyimpangan pada kalimat sebelumnya.
Tetapi penyimpangan tersebut adakalanya terhadap
nash syariat dan adakalanya terhadap perkara yang
telah disepakati oleh umat Muhammad dalam hal-


”Demikianlah kami jadikan kalian umat
pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas seluruh
kaum manusia, dan Rasul akan menjadi saksi atas
kalian.” (Al-Baqarah: 143)

‫ﺍ‬
‫ﺪ‬‫ﻴ‬
‫ﻬ‬
ِ‫ﺷ‬

‫ﻢ‬
‫ﻜﹸ‬
‫ﻴ‬

‫ﻠ‬
‫ﹶ‬
‫ﻋ‬
‫ﻝﹸ‬
‫ﻮ‬

‫ﺳ‬


‫ﺮ‬
‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﹶ‬
‫ﻥ‬
‫ﻮ‬
‫ﻜﹸ‬
‫ﻳ‬
‫ﻭ‬
‫ﺱ‬
ِ‫ﺎ‬
‫ﻨ‬
‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﻰ‬
‫ﻠ‬
‫ﹶ‬

‫ﻋ‬
‫ﺀ‬
َ‫ﺍ‬
‫ﺪ‬‫ﻬ‬
‫ﺷ‬
‫ﺍ‬
‫ﻮ‬
‫ﻧ‬

‫ﻮ‬
‫ﻜﹸ‬
‫ﺘ‬
‫ﻟ‬
ِ‫ﹰﺎ‬
‫ﻄ‬
‫ﺳ‬
‫ﻭ‬
‫ﹰ‬
‫ﺔ‬


‫ﻣ‬
‫ﺃﹸ‬

‫ﻢ‬
‫ﻛﹸ‬
‫ﻨﺎ‬
‫ﹾ‬
‫ﻠ‬
‫ﻌ‬
‫ﺟ‬
‫ﻚ‬
‫ﻟ‬
ِ
ٰ
‫ﺬ‬
‫ﹶ‬
‫ﻛ‬
‫ﹶ‬
‫ﻭ‬



‫ﻝ‬
ِ‫ﻮ‬
‫ﺳ‬


‫ﺮ‬
‫ﻟ‬
‫ﺍ‬
‫ﻭ‬
‫ﻪ‬
ِ‫ﻠ‬
‫ﻟﱠ‬
‫ﺍ‬
‫ﻰ‬
‫ﻟ‬
‫ﹶ‬
‫ﺇ‬
ِ
‫ﻩ‬

‫ﻭ‬
‫ﺩ‬‫ﺮ‬

‫ﻓ‬
‫ﹶ‬
‫ﺀ‬
ٍ‫ﻲ‬

‫ﺷ‬
‫ﻲ‬
‫ﻓ‬
ِ
‫ﻢ‬
‫ﺘ‬


‫ﻋ‬
‫ﺯ‬
‫ﻨﺎ‬
‫ﺗ‬
‫ﹾ‬
‫ﻥ‬
‫ِﺈ‬
‫ﻓ‬
‫ﹶ‬

vol. 4, Oktober 2013

”Dan jika kalian berbeda pendapat pada suatu persoalan, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa’: 59)
Ayat ini menunjukkan, jika tidak terjadi silang pendapat di antara kaum muslimin,
maka tidak menjadi keharusan untuk mengembalikannya kepada Allah dan RasulNya. Menunjukkan bahwa ijma’ adalah dalil yang shahih. Rasulullah saw bersabda:

‫ﺔ‬
ٍ‫ﻟ‬
‫ﹶ‬
‫ﹶ‬
‫ﺿﻼ‬
‫ﻰ‬
‫ﻠ‬
‫ﻋ‬

‫ﻲ‬
‫ﺘ‬
ِ

‫ﻣ‬
‫ﺃﹸ‬
‫ﻊ‬‫ﻤ‬
ِ‫ﺘ‬
‫ﺠ‬
‫ﺗ‬
‫ﻦ‬

‫ﻟ‬
‫ﹶ‬
“Umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan.” (HR Thabrani, yang
perawinya dinyatakan tsiqah oleh Al-Haitsami dalam Ma’mauz Zawaid)
Syaikh As-Sa’di mengatakan, “Jalan orang beriman adalah akidah dan amal
perbuatan mereka.” (Tafsir As-Sa’di: I/202).

Ringkasan Status Harta Riba
T

idak semua orang melakukan suatu pekerjaan yang
diharamkan tahu hukumnya. Termasuk bermuamalah
ribawi. Tindakan seseorang setelah mengetahui
hukumnya, inilah yang penting. Berikut ini ringkasannya:
1.Pelaku baru tahu perniagaannya ribawi:
a.Harta ribawi yang telah berlalu
S y a i k h U t s a i m i n m e n g a t a k a n , “J i k a s e s e o r a n g t e l a h
memanfaatkan harta riba karena tidak tahu bahwa itu riba dan
tidak tahu bahwa bisnisnya itu haram, maka taubat akan
menutupi kesalahan sebelumnya dan riba tersebut (sebelum
datang larangan) telah menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan
firman Allah, 'Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan).' (QS. Al Baqarah: 275).”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di r.a. berkata, “Allah
Ta'ala tidak memerintahkan seseorang untuk mengembalikan
harta yang didapatkan dengan akad riba setelah bertaubat.
Allah hanya memerintah mengembalikan harta riba yang belum
dia pegang karena orang yang bertaubat dari riba ini hanyalah
mengambil harta dengan ridha pemilik harta itu. Oleh karena
itu, hal ini tidak sama dengan barang rampasan. Pada ketentuan
ini, terdapat keringanan dan anjuran untuk bertaubat, yang
bentuknya tidak seperti pernyataan bahwa taubatnya baru bisa
diterima bila dia mengembalikan seluruh transaksi yang telah
berlalu, bagaimanapun banyak dan beratnya transaksi
tersebut.”
Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, “Siapa yang mendapatkan
ilmu tentang haramnya riba, lalu ia berhenti dari bisnisnya yang
ribawi, maka hasil riba pada masa ketidaktahuannya itu menjadi
miliknya.” (Al-Munir, III: 87).
b. Harta ribawi yang masih di tangan orang lain
Pelaku hanya boleh mengambil harta pokoknya saja dan
merelakan bunga yang sudah disepakati. Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orangorang yang beriman.” (Al-Baqarah: 278). “Jika kalian bertaubat
(dari pengambilan riba), bagimu pokok harta kalian. Kalian
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” ((Al-Baqarah:
279).
Bila yang bertaubat dari pihak peminjam, langkah pertama
adalah menyampaikan kepada pemilik harta (kreditor) tentang
ilmu ini. Tetapi ini sepertinya sulit bila berkaitan dengan
lembaga perbankan, misalnya. Menurut Dr. Sami bin Ibrahim,
dalam hal ini solusinya adalah (a) Nego agar bisa dibayar kontan
diawal tanpa bunga, (b) bila utang besar dan tidak mampu,
yang bersangkutan masuk dalam hukum terpaksa. Dalam hal ini
tidak boleh mengingkari perjanjian dengan tidak membayar
dengan alasan ribawi. Ini disebut pengkhianatan.

vol. 4, Oktober 2013

2.Pelaku sudah tahu hukumnya namun masih melakukan atau
terlibat dalam muamalah ribawi:
Pada dasarnya, menyimpan uang dan bermuamalah dengan
bank ribawi dilarang oleh syariat. Hanya keadaan darurat yang
membolehkan. Syaikh Utsaimin berpendapat, boleh
menyimpan uang di bank ribawi dalam kondisi darurat. (Fatawa
Al-Buyu', 74). Abu Bakar Al-Jazairi menyatakan hal yang sama
bila tranksaksi keuangan tidak bisa dilakukan selain dengan itu.
(lihat Minhajul Muslim). Artinya, haram menyimpan uang di
bank denga niat mendapatkan bunganya.
Al-Lajnah Daimah menyebutkan, “Apabila saat menghasilkan
harta haram itu, orang yang bersangkutan mengetahui
keharamannya, harta itu tidak halal baginya ketika dia
bertaubat. Bahkan, dia wajib berlepas diri dari harta haram
tersebut dengan cara menginfakkan pada amal kebaikan.”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, XIV:32)
3. Apakah harta riba boleh dibuang begitu saja?
Syaikh Jibrin menjawab, “Perbuatan itu merupakan penyianyiaan harta yang bertentangan dengan kaidah syar'i. Hal itu
karena harta haram itu bukan milik siapa pun. Bukan milik bank
maupun nasabah. Ia milik kepentingan umum. Beginilah
kedudukan harta haram.”
4. Apakah boleh membiarkan saja di Bank karena tahu uang itu
haram?
Syaikh Bin Baz menjawab, “Jangan engkau serahkan kepada
Bank dan juga jangan engkau makan. Tetapi alihkanlah untuk
kebajikan, misalnya disedekahkan kepada fakir miskin,
membangun WC, melunasi orang yang tidak mampu membayar
hutang.” (Fatawa Al-Islamiyah, II: 407). Di Mu'tamar Fikih V
yang diadakan di India, ditambahkan bahwa pemanfaatan itu,
sedekah kepada fakir misalnya, tidak boleh dengan niat
mengharap pahala. Artinya, bukanlah termasuk sebagai
sedekah sunnah, atau bahkan wajib, melainkan sebagai
pembebasan diri dari apa yang diharamkan oleh Allah.
Syaikh Utsaimin juga berfatwa, yang maksudnya barangkali
perlu diteliti lagi. Beliau mengatakan, “Jika seseorang telah
mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba
tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam
hutang dan sedikit ilmu, dia boleh bersedekah dengan riba
tersebut. Bisa saja dia manfaatkan untuk membangun masjid.
Jika dia adalah orang yang tidak mampu melunasi hutangnya,
uang itu boleh untuk melunasi hutangnya. Bila berkehendak,
boleh juga diserahkan pada kerabatnya yang membutuhkan. Ini
semua adalah baik.” (Liqa' Al Bab Al Maftuh, 109/9). Wallahu
a'lam.