Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anak

2.1.1

Pengertian Anak
Menurut

peraturan

Perundang-Undangan

tentang

perlindungan

dan


Kesejahteraan Anak dalam BAB I bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi Hak Anak (KHA)
mendefenisikan “anak” secara umum sebagai manusia yang umumnya belum
mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang
berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangan sosial.
Sedangkan menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973,
pengertian tentang anak adalah seorang yang berusia 15 Tahun kebawah. Sebaliknya,
dalam Convention on the right child tahun 1989, yang telah diratifikasi pemerintah
Indonesia melalui keppres Nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun kebawah (Huraerah, 2006:19)
Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh Negara. Ini merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah
dan Negara yang dirumuskan kedalam pengertian bahwa usaha mensejahterakan
anak didahulukan dari kebijaksanaan kesejahteraan masyarakat lain. Pengertian anak
menurut UUD 1945 memiliki makna bahwa hak-hak yang harus diperoleh anak dari
masyarakat bangsa dan Negara harus diperioritaskan karena kepentingankepentingan pembangunan bangsa dan Negara harus mendasarkan anak sebagai
sumber aspirasi untuk lahirnya generasi-generasi baru pewaris bangsa yang besar
bagi perkembangan bangsa yang kemudian dapat mensejahterakan masyarakat
10


Universitas Sumatera Utara

Indonesia. Kedudukan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 mengandung ke khususan bahwa
pengelompkan anak-anak yang terkategori sebagai anak terlantar dan kemudian
dijadikan objek pembagunan, pembinaan, pemeliharaan, dengan tujuan anak-anak
Indonesia akan dapat menjalani kehidupan layak yang penuh dengan kesejahteraan
(Wadong,2000:18).

2.1.2

Hak dan Kewajiban Anak
Dalam UUD RI No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hak Anak

adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara. Dalam hak asasi
tersebut disebutkan tetang berbagai hal antara lain:
Hak Anak yaitu:
1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan
orang tua atau wali.
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11

Universitas Sumatera Utara

5. Setiap anak berhak memproleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
6. Setiap anak berhak memproleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakat.
7. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan disuatu pendidikan dari

kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
8. Anak penyandang disabilitas berhak memproleh pendidikan luar biasa dan
anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.
9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
10. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak medapat perlindungan
dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Ketidak adilan
e. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
12


Universitas Sumatera Utara

f. Perlakuan salah lainnya
12. Setiap anak penyandang disabilitas berhak memproleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
13. Setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan atau aturan hukum yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam
hal ini anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhungan pribadi secara tetap dengan
kedua orang tuanya.
b. Mendapatkan

pengasuhan,

pemeliharaan,

pendidikan


dan

perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang
tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tua
d. Memproleh hak anak lainnya
14. Setiap anak berhak memproleh perlindungan dari
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
e. Pelibatan dalam perperangan
f. Kejahatan seksual.
15. Setiap anak berhak memproleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
16. Setiap anak berhak untuk memproleh kebebasan sesuai dengan hukum.

13

Universitas Sumatera Utara


17. Pengakuan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apa
bila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
18. Setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak untuk:
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatanya
dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memproleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memproleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
19. Setiap anak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
20. Setiap anak menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Kewajiban Anak yaitu:
1. Menghormati orang tua, wali dan guru
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman
3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara

4.

2.1.3

Menunaikan ibadah sesuai ajaran agamanya.

Perlindungan Hukum Anak
Anak sebagai manusia dan sebagai warga Negara pada hakekatnya harus

memiliki perlindungan hukum yang dapat menjamin kehidupan mereka, dalam pasal
26 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
14

Universitas Sumatera Utara

“penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia”. Negara memberikan perlindungan kepada anak jalanan yang tertuang
dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu
”fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Kemudian pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 dinyatakan bahwa:
a. Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
b. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintahan
wajib membiayainya.
c. Pemerintah

mengusahakan

dan

menyelenggarakan

suatu

sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.
d. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua

puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggara pendidikan nasioal.
e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Perlindungan hukum juga tertuang dalam Undang-Undang perlindungan anak
yaitu:
a. Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, Orang tua berkewajiban
dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
(pasal 20)
15

Universitas Sumatera Utara

b. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan
anak dilaksanakan

melalui kegiatan peran masyarakat dalam


penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 25)
c. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan
anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga (pasal 55).
Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi hak-hak anak agar tetap hidup, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2.1.4

Kesejahteraan Anak
Terdapat berbagai penjelasan mengenai kesejahteraan anak, menurut Paulus

Hadisuprapto, 1996 (dalam Windari 2010:35), kesejateraan anak merupakan
orientasi utama dari perlindungan hukum secara umum, kesejahteraan anak tersebut
adalah suatu tata kehidupan dan pengidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan
dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Berdasarkan prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak
setiap anak tanpa terkecuali. Maksudnya adalah bahwa setiap anak, baik anak dalam
kedaan normal maupun anak yang sedang bermasalah tetap mendapatkan prioritas
yang sama dari pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan
tersebut (Windari, 2010:36)
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan
nasional. Disebutkan dalam pasal 34 ayat (1) Undang-undang 1945 bahwa fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Negara mengembangkan
16

Universitas Sumatera Utara

sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat diartikan
bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang
dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan
jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari
gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri.
Kesejahteraan anak menurut ketentuan pasal 1 butir 1 Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1979 adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani,
jasmani maupun sosial. Dari definisi-definisi tentang kesejahteraan anak tersebut
dapat ditarik pengertian bahwa kesejahteraan anak merupakan hak asasi bagi masingmasing anak dan pengadaan kesejahteraan anak merupakan kewajiban setiap anggota
masyarakat dan Negara.

2.1.5

Pelayanan Sosial Kesejahteraan Bagi Anak
Model kesejahteraan sosial bagi anak secara umum meliputi tiga bagian:

mikro, messo, dan makro, pada model pelayanan mikro anak dijadikan sasaran utama
pelayanan. Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisikis segera diberikan
pertolongan yang bersifat segera, seperti perawatan medis, konseling atau dalam
keadaan yang sangat membahayakan, anak dipisahkan dari keluarga dan lingkungan
yang mengencam kehidupannya.

17

Universitas Sumatera Utara

Sistem pelayanan yang diberikan, baik pada mikro, messo, dan makro, dapat
berbentuk pelayanan kelembagaan dimana anak mengalami masalah ditempatkan
dalam lembaga (panti). Pelayanan konseling, pendidikan atau rehabilitasi sosial
diberikan secara menetap dalam kurun waktu tertentu. Jika pelayanan bersifat non
kelembagaan, maka beragam jenis pelayanan diberikan di keluarga atau komunitas
dimana anak menetap.
Belakangan ini sangat popular sistem pelayanan semi panti yang lebih
terbuka dan tidak kaku. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan,
pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah, seperti: rumah terbuka
untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan, rumah keluarga
pengganti, atau tempat anak mengembangkan sub kultur tertentu. Selain itu, untuk
anak jalanan dan pekerja anak terdapat sistem pelayanan yang dikenal dengan nama
locational based service. Pekerja sosial mendatangi pabrik atau lokasi dimana anak
berada dan memanfaatkan sarana yang ada disekitarnya sebagai media dan sarana
pertolongannya. Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak,
yaitu:
1. Child Based Service
Strategi ini menepatkan anak sebagai basis penerimaan pelayanan.
Anak-anak yang mengalami luka-luka fisik dan fisikis perlu segera
diberikan pertolongan bersifat, baik perawatan medis, konseling, atau
dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang
mengencam kehidupannya.
2. Institusional Based Service
Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti.
Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap,
18

Universitas Sumatera Utara

pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan
keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.
3. Family Based Services.
Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan
ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar
memiliki kemampuan ekonomi, psikologis, dan sosial dalam
menumbuh kembangkan anak, sehingga mampu memecahkan
masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan
dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat
secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak.
4. Community Based Service.
Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penaganan ini
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat agar ikut aktif dalam menagani permasalah anak. Para
pekerja sosial datang secara priodik ke masyarakat untuk merancang
dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan
dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta
peneyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.
5. Location Based Services.
Pelayanan yang diberikan dilokasi anak mengalami masalah. Strategi
ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja
dijalanan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik
atau tempat-tempat diamana anak berada, dan memanfaatkan sarana
yang ada disekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan. Untuk

19

Universitas Sumatera Utara

anak jalanan dan anak yang bekerja di jalanan, strategi ini sering
disebut street based service (pelayanan berbasiskan jalanan).
6. Half Way House Services.
Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan
tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka
untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak
dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak
yang

mengembangkan

menetukan

program

struktur
kegaiatan,

tertentu.

Para

pendampingan,

pekerja
dan

sosial

berbagai

pelayanan dalam rumah singgah.
7. State Based Services.
Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung
(macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan
situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha
kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan
sosial dan perangkat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk
program dalam strategi ini.

2.2

Anak Jalanan

2.2.1

Pengertian Anak Jalanan
Anak jalanan atau sering disingkat dengan Anjal adalah sebuah istilah umum

yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan, namun
masih memiliki hubugan dengan keluarganya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak
Jalanan. diakses pada 9.30 WIB.10 Maret 2016)

20

Universitas Sumatera Utara

Banyak terdapat penjelelasan yang menjelaskan mengenai pengertian anak
jalanan, istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan atau
Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup dijalanan yang
umunya sudah tidak memiliki hubungan dengan keluarganya (PKPA, 2011:4).
Dalam mendefinisikan anak jalanan UNICEF memberikan batasan tentang
anak jalanan, yaitu: Street child are those who have abandoned their homes, school
and a nomadic street life, yang artinya banyak anak jalanan merupakan anak-anak
yang berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah
dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindahpindah dijalan raya. Sedangkan pengertian yang dirumuskan dalam Lokakarya
Kemiskinan dan Anak Jalanan yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial pada
tanggal 25 dan 26 oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan dan tempattempat umum lainnya. Definisi tersebut kemudian dikembangkan oleh Ferry Johanes
pada seminar tentang pemberdayaan anak jalanan di STKS Bandung pada oktober
1996 yang menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
waktunya dijalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak
yang mempunyai hubungan keluarga ataupun putus hubungannya degan keluarga,
dan anak mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua/keluarga (Huraerah,
2006:80).
Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
bekerja sama dengan Balitbangsos Departemen Sosial RI, mendeskripsikan anak
jalanan sebagai anak yang sebagian besar waktunya berada dijalanan atau ditempattempat umum yang memiliki ciri-ciri yakni berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,
melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya yang kebanyakan
21

Universitas Sumatera Utara

kusam

dan

tidak

terurus,

serta

mobilitasnya

tinggi.

(http://tkskponorogo.blogspot.com/2010/03peta-masalah-anak-jalanandan.html.Diakses pada 11.00 WIB. 11 Maret 2015).
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas
lain. Anak jalanan tinggal dijalanan karena dicampakkan atau tercampak dari
keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran
keluarganya.
Dalam buku “intervensi Psikososial”, anak jalana adalah anak yang sebagian
besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan atau
tempat-tempat umum lainnya. Definisi tersebut memberikan empat faktor penting
yang saling terkait, yaitu:
a. Anak-anak
b. Menghabiskan sebagian waktunya
c. Mencari nafkah atau berkeliaran
d. Jalanan dan tempat-tempat umum lainnya (Astuti, 2004:15)
2.2.2

Kategori Anak Jalanan
Terdapat

berbagai penjelasan yang menjelaskan mengenai kategori anak

jalanan. Himpunan Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota (HIMMATA).
Mengelompokan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu anak semi jalanan dan
anak jalanan murni. Anak semi jalanan di istilahkan untuk anak-anak yang hidup dan
mencari penghidupan dijalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan denga keluarga.
Sedangkan anak jalanan murni distilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mejalani
kehidupannya dijalanan tanpa punya hubungan dengan keluarganya.

22

Universitas Sumatera Utara

Dalam (PKPA, 2011:5). Pada mulanya terdapat dua kategori anak jalanan,
yaitu children on the street dan children of the street. Namun pada perkembangannya
ada penambahan kartegori, yaitu children from families of the street.
1. Children on the steet (Anak Jalanan yang bekerja dijalanan) yakni anak-anak
yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak dijalanan, namun
masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Fungsi
anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat ekonomi
keluarganya karena beban atau kemiskinan yang mesti di tanggung tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tua.
2. Children of the street (Anak Jalanan yang hidup dijalanan) yakni anak-anak
yang berpartisipasi penuh dijalanan baik secara sosial maupun ekonomi.
Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya,
tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka
adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada kategori ini sangat rawan
terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik ataupun seksual.
3. Children from families of the street yaitu anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup dijalanan. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah
pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih
dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dapat dengan mudah ditemukan
seperti di kolong jembatan, rumah liar disepanjang rel kereta api dan
sebagainya, walau secara kuantitatif belum diketahui berapa jumlahnya
(Bagong,1999:41-42)
Kemudian, Yayasan Anak Kesejahteraan Indonesia 1999 (dalam Siregar,
2006:24-25) telah membedakan anak jalanan menjadi empat kelompok, yaitu:
23

Universitas Sumatera Utara

1. Anak-anak yang tidak lagi berhubungan denan orang tua (children of the
street) mereka ini telah mempergunakan fasilitas jalanan sebagai ruang
lingkupnya. Hubungan dengan keluarga telah terputus. Kelompok ini
disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami
kekerasan, penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya
mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan anak jalanan dan solidaritas
sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
2. Anak-anak yang berhungan tidak teratur dengan orang tuanya. Mereka adalah
anak yang bekerja di jalanan (chidrenon the street). Mereka sering kali di
identifikasikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur pada
orang tuanya dikampung. Pada umunya mereka bekerja dari pagi sampai sore
hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung,
dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka dilingkungan kumuh bersama
dengan saudara atau teman-teman senasib.
3. Anak-anak yang berhubungan langsung dengan orang tua. Mereka tinggal
dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan karena ajakan dari teman,
belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh oleh orang tua. Aktifitas
mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.
4. Anak-anak jalanan yang berusia diatas 16 tahun. Mereka berada dijalanan
untuk mencari kerja. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang lulus
SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua
maupun saudara) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir
sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,
pengemis, dan pemulung.

24

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Lembaga
Pengkajian Sosial (YLPS) HUMANA tahun 2004, mengenai anak jalanan di
Indonesia, pengkategorian anak jalanan juga didasari oleh interaksi anak di ruang
publik perkotaan, sebagai tempat hidup atau sekedar untuk bekerja (kegiatan
produktif). Interaksi anak diruang publik perkotaan ada yang dilakukan sendiri juga
ada yang dilakukan bersama keluarga.
Anak yang memperlakukan ruang publik sebagai tempat hidup melahirkan
kategori sebagai berikut:
a. Anak dalam keluarga gelandangan.
b. Anak yang hidup sendiri di jalanan
Sementara, mereka yang menganggap jalanan hanya sekedar tempat mencari
uang melahirkan kategori:
a. Anak jalanan pulang berkala
b. Anak jalanan pulang setiap hari atau anak kerja dijalanan (YLPS HUMANA,
2004:11-12).

2.2.3

Kriteria Anak Jalanan
Berdasarkan data yang dihasilkan melalui survei oleh berbagai lembaga anak

diperoleh bahwa anak jalanan memiliki kreteria sebagai berikut:
1. Usia berkisar antara 6-18 tahun.
2. Intensitas hubungan dengan keluarga.
a. Masih berhubungan maksimal sekali seminggu.
b. Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga.
3. Waktu yang dihabiskan dijalanan lebih dari 4 jam sehari.
4. Tempat tinggal.
a. Tinggal bersama orang tua.
25

Universitas Sumatera Utara

b. Tinggal berkelompok dengan teman-temanya.
c. Tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
5. Tempat anak jalanan sering dijumpai.
a. Pasar.
b. Terminal bus/angkot.
c. Stasiun kereta api.
d. Taman-taman kota.
e. Perempatan jalan atau dijalan raya.
f. Pusat pembelanjaan atau mall.
g. Kendaraan umum (ngamen).
h. Tempat pembuangan sampah.
6. Aktifitas anak jalanan:
a. Menyemir sepatu.
b. Mengasong.
c. Menjadi calo secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari.
d. Menjajakan majalah/Koran.
e. Mengelap mobil.
f. Mencuci kendaraan.
g. Menjadi pemulung.
h. Menjadi kuli angkot.
i. Menyewakan payung.
j. Mengamen.
k. Menjadi penghubung atau penjual jasa.

26

Universitas Sumatera Utara

7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan.
a. Modal sendiri.
b. Modal kelompok.
c. Modal majikan/patron.
d. Simulasi/bantuan.
8. Permasalahan anak jalanan:
a. Korban eksploitasi pekerjaan dan seks.
b. Rawan kecelakaan lalu lintas.
c. Ditangkap petugas.
d. Konflik dengan anak lain.
e. Terlibat tindakan kriminal.
f. Ditolak masyarakat dilingkungannya.
9. Kebutuhan anak jalanan:
a. Aman dalam keluarga.
b. Bantuan usaha.
c. Pendidikan bimbingan keluarga.
d. Gizi dan kesehatan.
e. Hubungan harmonis dengan orang tua, keluarga dan masyarakat
(Nurdin:1989)
Untuk mempermudah pemahaman atas konsep anak jalanan, berikut tabel
karakteristik anak jalanan:

27

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1
Karakteristik Anak Jalanan
Faktor

Hidup Dijalanan

Bekerja Dijalanan

Pembeda

Rentan
Menjadi
Anak Jalanan

Lama di jalan

24 jam

7-12 jam

Hubungan

Putus Hubungan

Tidak tertur pulang Masih tinggal

dengan

4-6 jam

ke rumah

bersama orang

Keluarga
Tempat Tinggal

Pendidikan

2.2.4

tua
Di jalanan

Tidak Sekolah

Mengontrak

Bersama

(bersama-sama)

keluaga

Tidak sekolah

Masih sekolah

Faktor Penybab Anak Menjadi Anak Jalanan
Terdapat berbagai faktor penyebab anak menjadi anak jalanan, seperti

tekanan kemiskinan yang mengharuskan anak-anak mereka turun kejalanan. Anak
anak menyadari kondisi keluarga dalam keadaan miskin, mendapatkan kekerasan
dari orang tua, maupun faktor lingkungan sosial si anak, seperti ajakan atau
mengikuti teman sebayanya. Kondisi tersebut mendorong munculnya fenomena anak
jalanan dilingkunga perkotaan (YLPS Humana, 2006:14).
Lubis dkk, 2006: 47 kemudian menjelaskan beberapa faktor berpengaruh
terhadap anak turun ke jalanan ialah faktor kemiskinan dan fakotor sosial.

28

Universitas Sumatera Utara

1. Faktor Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak ke
jalanan. Hal tersebut terjadi karena adanya keluarga anak jalanan yang merasa tidak
mampu memberikan hak dasar untuk tumbuh kembang anak. Alasan –alasan tersebut
antara lain.
a. Jumlah anggota beban keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan
pendapatan orang tua.
b. Ketidak mampuan keluarga mengelola keuangan untuk melihat prioritas
pengeluaran rumah tangga.
c. Urbanisasi, yaitu kota yang padat penduduknya dan banyak keluarga
bermasalah, baik masalah ekonomi, sosial dan pedidikan rendah membuat
sebagian anak-anak mereka terjun kejalanan.

2. Faktor Sosial
Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi anak turun kejalana antara lain:
a. Adanya pembiaran dari orang tua terhadap anak yang meninggalkan
sekolah dan menikmati kehidupan jalanan. Orang tua berfikir pragmatis ,
ketika anak mampu mecari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
maka hal tersebut dirasa sangat menguntungkan, apalagi anak bisa
memberikan setoran kepada orang tua maka pujianpun akan diberikan.
b. Anak-anak sejak usia dini telah diperkenalkan dengan kehidupan jalanan,
kondisi tersebut berpengaruh terhadap perkembangan fisik, psikologis
dan prilaku anak.
c. Anak tidak menemukan tempat yang menyenangkan untuk bermain,
belajar dan berinteraksi sosial dengan teman-temanya. Anak-anak kecewa
29

Universitas Sumatera Utara

dengan kehidupan keluarga dan sekolah yang tidak mejawab kepentingan
dan kebutuhan anak.
d. Anak-anak tidak mendapat perhatian, kasih sayang dan perlindungan dari
tindak eksploitasi serta kekerasan didalam rumah tangga. Kemudian anak
memilih jalan pintas lari dari rumah meski tanpa tempat tujuan yang pasti
(PKPA, 2011:26).
Selanjutnya oleh Sri Sanituti (1999:5), mengelompokan menjadi empat
penyebab pokok menjadi anak jalanan:
1. Kesulitan ekonomi keluarga yang menepatkan seorang anak harus membantu
keluarganya mencari uang dengan kegiatan-kegiatan dijalan
2. Ketidak harmonisan rumah tangga atau keluarga, baik hubungan antara bapak
dan ibu, maupun orang tua dan anak.
3. Suasana lingkungan yang kurang mendukung untuk anak-anak menikmati
kehidupan masa kanak-kanaknya termasuk suasana perselingkungan yang
kadang-kadang dianggap mereka sangat menonton dan membelenggu
kehidupanya.
4. Rayuan kenikmatan kebebasan mengatur hidup sendiri dan menikmati
kehidupan lainnya yang diharapkan diperoleh sebagai anak jalanan.
Selain faktor ekonomi, juga banyak penyebab turunya anak ke jalan
meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti: kemiskinan, pengangguran,
perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat dari
memburuknya kondisi ekonomi dan kondisi politik di Indonesia membuat keluarga
tidak memiliki lagi keberdayaan dalam melindungi anggota keluarganya. Hal ini
diperkuat lagi dengan kebijakan ekonomi makro pemerintah yang kurang
mendukung terhadap masyarakat marginal, semakin menyudutkan ketidak berdayaan
30

Universitas Sumatera Utara

masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah
atau rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan”.
Pada awal kajian tentang anak jalanan, persoalan kemiskinan ekonomi
keluarga sering disebut sebagai penyebab utama munculnya anak jalanan.
Belakangan statmen ini mulai diperdebatkan, karena tidak semua keluarga miskin
menghasilkan anak jalanan. Kemiskinan kemudian dipandang salah satu faktor
beresiko yang memunculkan anak jalanan tapi bukan satu satunya. Ada variabel lain
yang saling merajut, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perpecahan dalam
rumah tangga, atau pengaruh lingkungan (YLPS HUMANA, 2004:14)
Hubungan kemiskinan dengan faktor-faktor lain yang membuat anak-anak
beresiko turun kejalan dapat dijelaskan sebagai berikut: tekanan ekonomi akibat
kemiskinan membuat orang tua mengharuskan anak-anak mereka turut menanggung
beban keluarga. Atau, anak-anak yang menyadari kondisi sosial Keluarganya miskin,
kemudian ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara berkerja, baik
dijalanan maupun ditempat lainnya. Ada pula anak-anak dari keluarga miskin
tersebut yang turun kejalan setelah mendapat kekerasan dari orang tua atau karena
masalah lain seperti perceraian orang tua. Selain itu, faktor-faktor yang membuat
anak beresiko menjadi anak jalanan antara lain: faktor-faktor keluarga dan faktor
lingkungan yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Keluarga.
Keluarga adalah faktor primer yang paling penting dalam masyarakat. Keluarga
merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita,
perhubungan dimana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan
membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk murni merupaka suatu

31

Universitas Sumatera Utara

kesatuan sosial yang terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum dewasa
(Hartono dan Aziz,2008:79). Dalam faktor keluarga dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Persoalan ekonomi keluarga.
Kondisi ekonomi keluarga yang miskin sering kali dipahami sebagai faktor
utama yang memaksa anak turun ke jalan. Akibat kemiskinan atau faktor
ekonomi tersebut, anak terpaksa mencari nafkah untuk membantu memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya atau untuk kebutuhan pribadinya, sehingga banyak
anak yang putus sekolah dan turun kejalan untuk bekerja sebagai pengamen,
pengemis dan lain-lain.
b. Kekerasan dalam Keluarga.
Kekerasan dalam keluarga adalah salah satu faktor yang mendorong anak lari
dari rumah dan pergi ke jalan. Tindak kekerasan yang dilakukan anggota
keluarga terhadap anak memang dapat terjadi disemua lapisan sosial masyarakat.
Namun, pada lapisan bawah, kemungkinan terjadinya kekerasan lebih besar
dengan tipe yang lebih beragam.
Kekerasan terhadap anak dapat terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini bisa
terjadi ketika sebuah keluarga bisa mengalami berbagai masalah akibat beban
ekonomi yang tidak tertahankan. Sebagian atau seluruh masalah keluarga itu
kemudian terpaksa dibebankan pada anak-anak mereka. Bentuk pelimpahan
beban itu bukan saja memaksa anak bekerja, tetapi bisa juga menjadikan anak
sebagai sasaran kekesalan terhadap keadaan. Ketika si anak sudah menjadi
sasaran kekesalan, maka tindak kekerasan sangat mungkin akan dilakukan orang
tua terhadap anak-anak mereka.
Menurut Gunarsa (dalam Zulfadi, 2004:8), keluarga sebagai landasan bagi
anak yang memberikan macam bentuk dasar:
32

Universitas Sumatera Utara

1. Didalam keluarga yang teratur dengan baik dan sejahtera, seorang anak
akan memproleh latihan-latihan dasar dalam mengemban sikap sosial
yang baik dan kebiasaan berprilaku. Misalnya anak belajar melakukan
tugas-tugas tertentu dan mengikuti tata cara keluarganya, belajar disiplin
diri dan disiplin waktu agar kelak kebiasaan disiplin terbentuk dan
memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial dengan temanteman, serta mendukung kelancaran perkembangan kongkrit dan prestasi.
2. Didalam keluarga dan hubungan-hubungan antar anggota keluarga
membentuk pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial dan
interksi yang lebih luas. Anak akan belajar dari latihan-latihan dasar
mengembangkan sikap-sikap sosial yang baik. Kebiasaan-kebiasaan
bertingkah laku yang memudahkan terbentuknya prilaku tanpa keraguraguan, tanpa pertarungan motif dan konflik yang terlalu lama.
3. Didalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang anak akan
memproleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang
diharapkan. Dalam keluarga anak juga bisa belajar mengenai kewibawaan
dan sikap otoriter dari yang lebih tua, anak belajar memematuhi peraturan
tata cara keluarga.
4. Didalam keluarga anak akan mengalami peristiwa yang menyenangkan,
menyedihkan, penolakan, belas kasih dan frustasi. Keluarga sangat
penting

bagi

pemebentukan

pribadi

anak.

Suasana

keluarga

mempengaruhi perkembangan emosi, respon, kepercayaan anak, remaja,
dan orang dewasa.

33

Universitas Sumatera Utara

Menurut BKKBN (2011), terdapat fungsi-fungsi yang seharusnya berjalan
didalam kehidupan keluarga. Fungsi yang dimaksud tersebut dikenal sebagai
“Delapan Fungsi Keluarga”, yaitu:
1. Fungsi Agama.
Fugsi Agama yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana
pembinaan kehidupan ber agama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuahan
Yang Maha Esa. Setiap langkah yang dialakukan oleh setiap anggota
keluarga hendaknya selalu berpijak pada tuntunan agama yang dianutnya.
Dalam penerapan fungsi agama, yang tidak boleh diabaikan salah satunya
dalah toleransi ber-agama, mengingat kita hidup dinegara yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan mempunyai kepercayaan dan agama sangat
beragam.
2. Fungsi Sosial Budaya.
Fungsi Sosial Budaya mempunyai makna bahwa keluarga adalah
menjadi wahana pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur budaya yang
selama ini menjadi panutan dalam tata kehidupan mereka. Sehingga nilai
luhur yang selama ini sudah menjadi panutan dalam kehidupan bangsa tetap
dapat dipertahankan dan dipelihara.
3. Fungsi Cinta Kasih
Fungsi Cinta Kasih mempunyai makna bahwa keluarga harus menjadi
tempat untuk meciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan
keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan
berkeluarga cinta kasih dan sayang antara anggota keluarga akan dapat
menumbuhkan rasa bertanggung jawab yang besar terhadap keharmoisan
keluarga tersebut, sehingga setiap anggota keluarga akan selalu menjaga
34

Universitas Sumatera Utara

komitmen yang telah dibuat bersama, demikian juga dalam kehidupan
bermasyarakat, dengan fungsi ini akan menumbuhkan keharmonisan dalam
bertetangga dan bermasyarakat.
4.

Fungsi Perlindungan
Fungsi Perlindungan mempunyai makna bahwa keluaraga itu
merupakan wahana terciptanya suasana aman, nyaman, damai dan adil bagi
seluruh anggota keluarganya. Sehingga setiap anggota keluarga akan selalu
merasa bahwa tempat yang paling baik dan pantas adalah didalam lingkungan
keluarganya sendiri, dan ini tentu sangat membantu dalam menghadapi segala
tantangan yang muncul dalam kehidupannya.

5. Fungsi Reproduksi.
Fungsi Reproduksi yang mempunyai makna bahwa didalam keluarga
tempat diterapkannya cara hidup sehat, khusunya dalam kehidupan
reproduksi. Diharapkan setiap anggota keluarga harus memahami cara hidup
sehat dan mengerti tentang kesehatan reproduksinya. Oleh sebab itu
pemahaman dan pengetahuan tentang alat kontasepsi, alat kontasepsi
rasional, pengetahuan lain tentang penyiapan kehidupan berkeluarga bagi
remaja, tentang ketahanan keluarga melalui pembianaan tertentu yang wajib
harus dimiliki.
6. Fungsi Pendidikan.
Fungsi Pendidikan yang mempunyai makna bahwa keluarga adalah
wahana terbaik dalam proses sosialisasi dan pendidikan bagi anak-anaknya.
Pendidikan dalam keluarga ini sebetulnya adalah pendidikan inti yang
menjadi fondasi untuk perkembangan anak. Sedangkan pendidikan yang

35

Universitas Sumatera Utara

diperoleh dari sekolah maupun dari lingkungan sebetulnya hanya merupakan
sebagian dari pendidikan yang diperlukan.
7. Fungsi Ekonomi.
Fungsi Ekonomi yang mempunyai makna, bahwa keluarga tempat
pembinaan kualitas kehidupan ekonomi, dan kesejahteraan keluarga. Setiap
anggota keluarga punya kewajiban yang sama untuk melakukan kegiatan
yang akan menambah kesejahteraan keluarga. Ini mempunyai makna bahwa
seluruh anggota keluarga dapat bersikap ekonomis, realistis dan mau
berjuang untuk peningkatan kesejahteraan keluarga.
8. Fungsi Lingkungan.
Fungsi Lingkungan yang mepunyai makna, bahwa keluarga adalah
wahana untuk meciptakan keluarganya yang mampu hidup harmonis dengan
lingkunagn masyarakat sekitar dan alam, dalam bentuk keharmonisan antar
anggota keluarga, keharmonisan dengan tetangga serta keharmonisan
terhadap

alam

sekitarnya

(http://www.bkkbn.go.id/ViewArtkel.aspx?ArtikelIID=3D.

Diakses

pada

11:44 WIB. 13 Maret 2016).

2. Faktor Lingkungan.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor pendorong anak turun ke
jalan. Adakalanya sebelum terpengaruh oleh faktor lingkungan, seorang anak
memang berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga faktor lingkungan, seperti
diajak teman atau bermasalah disekolah, menjadi penguat alasan anak turun ke
jalanan. Namun demikian, banyak ditemukan kasus anak jalanan yang bukan berasal
dari keluarga miskin dan tidak megalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi
36

Universitas Sumatera Utara

justru terpengaruh oleh lingkungan sehingga anak mejadi anak jalanan. Hal tersebut
terakhir ini umunya identik dengan soal gaya hidup dan kehendak si anak sendiri
untuk mencari kebebasan (YLPS HUMANA, 2004:14).

Selajudnya menurut Surjana (dalam siregar, dkk., 2006:26) menyebutkan
bahwa faktor penyebab anak yang turun ke jalan terbagi dalam tiga tingkatan,
1. Tingkat Mikro (immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan
anak dan keluarga. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasi dari anak adalah
lari dari rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua
yang terbiasa dengan mengunakan kekerasan, seperti sering menampar,
memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika sudah melampaui
batas toleransi anak, maka anak cenderung memilih keluar dari rumah dan
hidup di jalanan), disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau
disuruh putus sekolah, dalam rangka berpetualang, bermain-main atau
diajak teman. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah terlantar,
ketidak mampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, salah
perawatan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child
abuse) kesulitan berhubungan dengn keluarga karena terpisah dari orang
tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul dari anak maupun dari
keluarga ini selain terkait satu sama lain.
2. Tingkat Messo (underlying cause), yaitu anak turun ke jalanan dilatar
belakangi oleh faktor di masyarakat seperti kebiasaan mengajarkan untuk
bekerja sehingga sautu saat menjadi keharusan kemudian meninggalkan
sekolah. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi ialah pada komunitas
masyarakat

miskin,

anak-anak

adalah

asset

untuk

membantu
37

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan ekonomi keluarga. Menurut Suparlan, 1993 (dalam
Pramuchtia, 2008:11), sekali kebudayaan kemiskinan tersebut tumbuh, ia
cenderung melenggangkan dirinya dari generasi ke generasi melalui
pengaruhnya terhadap anak-anak. Ketika anak-anak berada dibawah
Sebelum berumur enam, atau tujuh tahun, mereka biasanya menyerap
nilai-nilai dasar dan sikap-sikap dari sub-kebudayaan mereka dan secara
kejiwaan anak sanggup memanfaatkan kondisi-kondisi perubahan dan
memberikan kesempatan-kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup
mereka. Hal ini terlihat dari penelitian Handoyo dkk, 2004 (dalam
Pramuchtia, 2008:11), bahwa anak jalanan yang turun kejalan pada usia
dini (3 sampai 10 tahun) adalah mereka yang mengikuti aktivitas orang
mencari nafkah.
3. Tingkat Makro (basic cause), memberikan penjelaskan seperti peluang
pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal
dan keahlian besar, urbanisasi, biaya pendidikan yang tinggi, dan belum
adanya kesamaan presepsi intansi pemerintah terhadap anak jalanan. Oleh
karenanya, anak dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya tidak
memerlukan keahlian besar.

2.2.5

Proses Terjadinya Anak Jalanan
Tjuk Kasturi Sukiadi (dalam Sri Sanituti & Suyanto 1999: 10) diungkapkan,

bahwa proses terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa tahapan:
Tahap I : Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan
Ada kebiasaan semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan.
Mereka ini biasanya bersama kelompoknya jalan-jalan ketempat sebagaimana telah
38

Universitas Sumatera Utara

disepakati bersama. Diperjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan sedang
bekerja. Sampai disini masih sebatas melihat dan sebagai pengetahuan mereka,
bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan anak
seusia mereka. Pada tahap ini masih tergantung pada masing-masing anak, seberapa
besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Namun dalam tahap ini
tidak membuat anak langsung turun ke jalan, melainkan bergantung pada stimulus
berikutnya (ada fasilitas)
Tahap II : Ketertarikan Sampai Keinginan
Dalam tahap ini merupakan tahap ketertarikan yang telah mendapat
“fasilitas” atau faktor pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan
hubungan orang tua. Fasilitas tersebut, akan semakin memperkuat keinginan anak
untuk terjun ke jalan.
Tahap III : Pelaksanaan
Si anak mulai melaksanakan niatan dengan mendatangi tempat operasi. Bila
disini mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera
terealisasi meski agak malu-malu.
Tahap IV : Mulai Memasuki Kehidupan Anak Jalanan.
Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan.
Namun demikian hal ini juga tergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang
membawanya. Bila dalam perkembangan si anak merasa bahwa mencari nafkah
dijalanan semakin sulit, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bertahan
dengan tetap memegang norma kemasyarakatan atau keluar dari komunitas jalanan.
Kemungkinan kedua, bila menerima stimulus baik dari kawan maupun pihak lain
untuk berbuat negatif, maka sianak sudah masuk dalam kategori anak jalanan bebas
dari norma agama dan kemasyarakatan cenderung ditinggalkan. Pada tahap inilah
39

Universitas Sumatera Utara

kecenderungan prilaku menyimpang terjadi seperti, judi, seks bebas, atau tindakan
kriminal lainnya.

2.2.6

Resiko Anak Jalanan
Menjadi anak jalanan selalu penuh denga resiko. Resiko tersebut ada yang

ditimbulkan oleh relasi anak dengan lingkungan fisik (spasial), relasi anak dengan
lingkungan sosial budaya, atau relasi anak dengan struktur atau aparatur kekuasaan.
Dengan demikian ruang-ruang publik perkotaan dengan segala macam interaksi yang
terjadi didalamnya selalau berpotensi mengencam keselamatan anak-anak yang
banyak menghabiskan waktu didalamnya. Sejauh ini ada beberapa macam resiko
yang dialami anak jalanan. Anatara lain: korban operasi tertib sosial, korban
kekerasan orang dewasa, kehilangan pengasuhan, resiko penyakit, kehilangan
kesemptan pendidikan, eksploitasi seksual dan berkonflik dengan hukum (YPLPS
HUMANA, 2004:24)
Darmansyah (2012), menyebutkan akibat yang ditimbulkan bagi sang anak di
jalanan adalah:
1. Perkembangan dan pembentukan kepribadian anak tidak berjalan dengan baik
karena secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu
belum mempunyai bentukan mental emusional yang kokoh, sementara pada
saat yang sama meraka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras,
sehingga hal ini akan berpengaruh negative terhadap perkembangan dan
perbentukan kepribadian sang anak.
2. Anak-anak jalanan pada umunya menjadi pribadi yang introvert (tidak
terbuka), cenderung sukar mengendalikan diri, dan lebih bersifat asosial.

40

Universitas Sumatera Utara

3. Bagi anak jalanan perempuan sering kali mereka dijadika sebagai tempat
pelampiasan kebutuhan seksual preman (lelaki dewasa yang sama –sama
tinggal di jalanan), atau bahkan mereka dijual sebagai pelacur.
4. Menjadi subjek dan objek kriminalitas. Seorang anak jalanan sering kali
dimanfaatkan oleh para preman untuk mencari uang sebanyak-banyaknya
dengan cara yang tidak benar seperti mencuri dan merampas. Dan kadangkadang anak jalanan yang tidak patuh dengan orang yang menyuruhnya bisa
menerima perlakuan kriminal seperti dipukul dan dianiaya atau bahkan
diperkosa bagi anak jalanan perempuan.
5. Kehidupan masa depan sang anak tidak terjamin karena tidak dibekali oleh
pengetahuan dan keterampilan yang cukup ketika masih kecil. Bahkan dapat
dikatakan anak-anak jalanan itu tidak mempunyai masa depan. Selamanya
mereka akan berada di jalanan dan akan sulit sekali bagi mereka untuk keluar
dari kehidupan jalanan.
6. Pendidikan formal sang anak tidak maksimal karena mereka mungkin lebih
memilih untuk berada dijalanan dari pada disekolah dengan berbagai alasan.

2.3

Pendekatan Penyelesaian Anak Jalanan
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha mengatasi anak

jalanan diperkotaan dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur yang terkait baik
intansi pemerintah, International Laour Organization (ILO) maupun organisasi
masyarkat non pemerintah (NGO) yang fokus dalam upaya pendampingan dan
perlindungan pekerja anak (Jauchar, 2008:155).

41

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu Twikromo 1999 (dalam Jauchar, 2008:155), melihat bahwa
setidaknya ada dua pendekatan yang lazim digunakan dalam menaggulangi masalah
anak jalanan yaitu:
1. Penanggulangan Preventif. Biasanya dibawa kesituasi formal, cara
semacam ini cenderung dilaksanakan didalam kelas dengan jumlah
peserta yang cukup besar, seperti situasi formal yang mana bimbingan,
latihan dan pendekatan bisa diselenggarakan secara individual di jalanjalan
2. Penaggulangan Represif. Dilakukan secara teroganisir dan intansi
pemerintah untuk mengurangi atau mencegah meluasnya pengaruh
masalah anak jalanan seperti razia. Uapaya penaggulangan secara represif
biasanya dilaksanakan oleh pemerintah kota ketika melihat aktifitas anak
jalanan telah menggangu ketertiban umum/perkotaan.
Menurut Jauchar (2008: 161-163), guna mengatasi permasalahan anak
jalanan, terdapat tiga strategi penanggulangan anak jalanan melalui identifikasi dan
pengembangan kelompok sasaran yang diharapkan mampu mengakomodir berbagai
segmen usia yang ada dalam anak jalanan. Ketiga strategi itu adalah:
1. Pengembangan pendidikan formal/non formal
Pada strategi ini lebih diajukan kepada anak-anak jalanan usia
sekolah (5-9 tahun dan 10-14 tahun) yaitu agar mereka tetap dapat
melanjudkan sekolahnya dan berada dalam lingkungan sekolah dan
keluarga. Dalam startegi ini instansi terkait tidak hanya bekerja sendiri,
akan tetapi juga menjalin kerja sama dengan lemabaga swadaya
masyarakat yang fokus dalam bidang pendampingan dan perlindungan
anak.
42

Universitas Sumatera Utara

2. Pengembangan kemapuan permodalan.
Pada strategi ini terkait dengan kemampuan permodalan yang
ditunjukan pada anak-anak jalanan yang sudah drop out dari sekolah dan
usia sudah tidak memungkinkan untuk melanjudkan sekolah. Melalui
strategi ini anak-anak jalanan diberi pelatiahan keterampilan dan
permodalan

baik

secara

kelompok

maupun

perorangan.

upaya

pengembangan strategi ini dilaksanakan dengan pola kemitraan dengan
lembaga-lembaga terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha
tertentu. Usia anak jalanan yang mendapat program ini terutama bagi
mereka yang berusia 16-19 tahun. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi
bahwa mereka akan segera memasuki masa remaja yang berarti pola pikir
mereka diharapkan dapat berkembang untuk beralih berwirausaha dan
tidak lagi berada di jalanan.
3. Permodalan kelembagaan ekonomi kemasyarakatan.
Pada strategi ketiga ini adalah perkembangan kelembagaan
ekonomi kerakyatan. Anak-anak jalanan yang semula berusaha secara
individu, didorong agar mau berusaha secara berkelompok maupun
perorangan. Pembentukan kelompok maupun jenis usaha yang akan
dilaksanakan hendaknya mucul dari aspirasi mereka sendiri. Peran
institusi

pemerintah

maupun

lembaga-lembaga

pemberdayaan

dilaksanakan terbatas pada upaya pendampingan dan monitoring saja. Hal
ini dimaksudkan untuk tidak memberikan penekanan kepada anak
bimbingan sehingga keterlibatan mereka dalam kelompok murni karena
kesan visi dan misi dengan terjalin suasana kondusif dan melaksanakn
usaha-usahanya.
43

Universitas Sumatera Utara

2.4

Kerangka Pemikiran
banyak orang yang mengira bahwa faktor utama yang menybabkan anak yang

turun ke jalan untuk bekerja dan hidup dijalanan adalah karena faktor kemiskinan.
Namun data dari literatur yang ada menunjukan bahwa kemiskinan bukanlah satusatunya faktor penyebab an