Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan negara tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia. Menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang baik membutuhkan proses yang panjang, yakni membenahi manusia sejak usia dini sampai usia produktif. Proses pembenahan manusia dalam konteks kehidupan bernegara merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah, masyarakat dan secara khusus orang tua sebagai tokoh utama yang menentukan perkembangan anak. Memahami permasalahan kualitas sumber daya manusia Indonesia, harus didasari pemahaman bahwa Indonesia saat ini merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk urutan ke-empat terbesar di dunia. Selain itu, dibutuhkan juga pemahaman bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Setiap permasalahan pada dasarnya saling mempengaruhi, termasuk permasalahan bidang sumber daya manusia. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia menghadapi permasalahan sosial yang sangat berat dan kompleks sehingga produk pemerintah dalam bentuk kebijakan, program dan aktifitas diharapkan terikat dengan peraturan yang ketat dan transparan untuk menghindari penyalahgunaan status. Dengan demikian segala bentuk upaya penanganan yang dilakukan akan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa pada 2035. Pada saat itu Indonesia akan menjadi negara dengan populasi terbesar ke 5 dunia, setelah Nigeria. Perkiraan tersebut dituliskan di dalam Proyeksi Penduduk


(2)

Indonesia 2010—2035 yang disusun bersama oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas, Badan Pusat Statistik, dan Organisasi Dana PBB untuk Populasi (UNFPA). Laporan tersebut menyatakan populasi Indonesia akan meningkat 28,6% dari 237,7 juta jiwa pada sensus 2010 menjadi sekitar 305,6 juta jiwa pada 2035 (http://kabar24.bisnis.com/read/20140129/79/200088/wow-jumlah-penduduk-indonesia-tembus-305-juta-pada-2035 diakses 20 april pukul 20:25 WIB).

Permasalahan sumber daya manusia yang disusun dalam sistematika permasalahan, menjelaskan bahwa permasalahan anak adalah salah satu permasalahan yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Permasalahan anak tidak terlepas dari minimnya tanggungjawab terhadap anak. Menurut aturan penyelenggaraan kehidupan bernegara, Indonesia sebagai negara dengan ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, serta isi pembukaan UUD 1945 alinea IV yang menyatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah seharusnya memberikan upaya maksimal terhadap penanganan masalah pemenuhan tanggung jawab anak berdasarkan undang-undang yang ditetapkan melalui kebijakan, program, dan aktifitas yang efektif dan efisien.

Salah satu permasalahan anak yang akut adalah masalah anak jalanan. Anak jalanan rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan sosial, dapat disebabkan intimidasi ataupun keinginan mereka sendiri akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Masa depan anak jalanan yang banyak mendapat


(3)

pengaruh negatif akan suram, bahkan anak jalanan sangat memungkinkan menjadi pelaku pelanggaran hukum di masyarakat semasa berstatus anak jalanan juga setelah dewasa.

Berita terkait kriminalitas di dalam angkot yang berjudul ― Pelaku Kejahatan Keras Merambah di Kalangan Remaja‖ Diposting pada kamis, 29 desember 2011 sebagai contoh suramnya masa depan anak-anak jalanan. Diungkapkan bahwa saat memburu tersangka MSD (19) di Medan, Sumatera Utara, polisi menangkap tiga tersangka dalam kasus lain yang serupa. Prestasi ini mengungkap meluasnya kejahatan keras yang dilakukan kalangan remaja. MSD adalah satu dari empat tersangka pemerkosa dan perampok penumpang angkutan kota, R (35), di Depok, Rabu (14/12). Tiga tersangka lain yang ditangkap adalah YBR (18), DR (18), dan A (19). YBR adalah tersangka utama kasus ini.

YBR, MSD, dan DR adalah anggota komplotan pencuri dan perampas sepeda motor yang sering melukai, bahkan tak jarang memerkosa, korbannya. Saat MSD ditangkap di Medan, Selasa (27/12) siang, tiga kawannya, yaitu R (19), K (21), dan C (19), ikut terjaring. Ketiga kawan MSD ditangkap di Pematang Siantar. Saat R, K, dan C diperiksa, terungkap mereka berkawan dengan empat orang lainnya yang kini buron. Kejahatan yang mereka lakukan sama dengan kejahatan yang dilakukan YBR, MSD, dan DR. ‖Sehari-hari para tersangka dan buron ini bekerja sebagai sopir tembak angkot di Jakarta. Mereka adalah anak-anak jalanan,‖ ungkap Kepala Subdit Umum Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Helmy Santika, Rabu (28/12).

Penegasan Helmy memperkuat dugaan beberapa pengamat sebelumnya bahwa sumber kejahatan angkot adalah para sopir tembak. Mereka anak-anak


(4)

jalanan yang dibayar murah para sopir resmi angkot. Yang fenomenal dari pengungkapan para tersangka kali ini adalah sembilan dari 10 tersangka kejahatan keras mulai melakukan kejahatan sebelum berusia 18 tahun. Pengamatan Kompas, para pelaku kejahatan keras seperti pemerkosaan sadis, penganiayaan berat, dan pembunuhan di Jakarta selama ini dilakukan oleh pelaku yang berusia 25 tahun ke atas. Baru kali ini polisi mengungkap serangkaian kejahatan keras di Jakarta dilakukan para pelaku berusia 20 tahun ke bawah.

‖Pengalaman saya, para pelaku yang terungkap melakukan kejahatan keras umumnya telah melakukan kejahatan lain dua sampai tiga tahun sebelum ia ditangkap. Kejahatan yang dilakukan berkembang secara bertahap baik kualitatif maupun kuantitatif sampai akhirnya pelaku melakukan kejahatan keras,‖ papar Helmy. Helmy menduga, para pelaku melakukan tindak kriminal saat usianya lebih muda lagi. ‖Kalau pada umur 20 tahun dia sudah melakukan pemerkosaan dan penganiayaan berat, perampokan, serta pembunuhan, sekurang-kurangnya dia pada usia di bawah 18 tahun sudah melakukan kejahatan,‖ ujarnya. Ia mengingatkan, kejahatan berbeda dengan kenakalan.

‖Kejahatan yang saya maksud adalah kejahatan seperti disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,‖ ujar Helmy. Oleh sebab itu, terungkapnya kejahatan yang diduga dilakukan 10 tersangka (tidak termasuk tersangka A, perempuan) adalah bukti telah terjadi ‖metamorfosis‖ para pelaku baru kejahatan secara lebih dini. Helmy mengungkapkan, kejahatan keras di wilayah hukum Polda Metro Jaya umumnya dilakukan mereka yang berusia 25 tahun ke atas. Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Nico Afinta pun mengakui hal itu. ‖Saat saya masih menjadi kepala satuan kejahatan dengan


(5)

Kekerasan (sekarang kepala subdit umum), para pelaku kejahatan keras memang umumnya berusia 28 tahun ke atas. Paling muda berusia 25 tahun,‖ ucapnya.

Menurut Helmy, metamorfosis penjahat baru yang berusia lebih muda ini menunjukkan semakin banyaknya remaja yang tumbuh di jalanan karena persoalan keluarga dan sekolah. ‖Kedua persoalan itu masih seputar belitan masalah kemiskinan,‖ ucapnya. Ia menambahkan, sebagian anak-anak jalanan ini umumnya ‖main‖ di terminal. Sebagian di antara mereka ditampung menjadi sopir tembak. Helmy menduga, karier kenakalan yang berubah menjadi karier kejahatan anak-anak jalanan ini bermula dari sana (http://regional.kompas.com/read/2011/12/29/04370072/Pelaku.Kejahatan.Keras. Merambah.Kalangan.Remaja Diakses pada 28 Juli 2015 Pukul 11:58 WIB).

Negara dan semua pihak terkait harus bekerja lebih keras untuk menyelamatkan anak-anak telantar atau menghadapi berbagai persoalan lain. Sebab, ternyata jumlah anak yang tertimpa masalah pola asuh jumlahnya sangat besar, mencapai 4,1 juta orang. Fakta tersebut disampaikan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa berdasarkan data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos. Khofifah mengungkapkan, dari 4,1 juta anak bermasalah itu, 5.900 anak menjadi korban kekerasan, 34.000 di antaranya anak jalanan, 3.600 anak berhadapan dengan hukum (ABH). Adapun pihak kementerian dan lembaga terkait anak berada di BKKBN, Kemendikbud, Kemensos, dan Kemenag.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohanna Susana Yembise mengaku banyak kendala yang harus dihadapi dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Misalnya terkait koordinasi antara


(6)

kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota masih lemah. Dia bahkan menemukan kasus di mana pihak kepolisian masih kurang serius dalam menangani kasus yang menyangkut anak dengan alasan karena masalah keluarga. Yohana juga menengarai Tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TP2A) di beberapa daerah belum berjalan maksimal. Bahkan ada di beberapa kabupaten/ kota belum dibentuk TP2TP2A. Selain itu Yohana menekankan perlunya digalakkan sosialisasi UU Perlindungan Anak dengan target sampai ke desa-desa. Lebih jauh dia mengaku tengah mengkaji sanksi dengan mencabut hak asuh. Hal ini dimaksudkan agar ada efek jera bagi orang tua yang memperlakukan anaknya secara tidak layak (http://www.kpai.go.id/berita/kpai-jutaan-anak-alami-masalah-sosial/ ditayangkan oleh Davit Setyawan pada 19 mei 2015, diakses pada 09 juni 2015 22:28 WIB.)

Pada pasal 28 B ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convension on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak anak), dinyatakan bahwa anak harus mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak yang pada dasarnya masih memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus karena ketidakberdayaan untuk mandiri.

Perkembangan Undang-Undang perlindungan anak selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Pada pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak


(7)

mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Kemudian yang mempertegas pernyataan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada anak terdapat pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 dinyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 merupakan Undang-Undang perlindungan anak terbaru saat ini sebagai bentuk perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang semakin mempertegas perlindungan atas hak anak dengan penegasan tanggungjawab pemerintah daerah. Pentingnya generasi penerus menjadi alasan peneliti melakukan penelitian tentang anak, secara khusus anak jalanan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara sekaligus sebagai kota metropolitan terbesar di luar Pulau Jawa dan Kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektare (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan diakses 05 April 2015 pukul 11:53 WIB).


(8)

Sebagai kota metropolitan, Medan tidak terlepas dari kompleksitas masalah anak, masih adanya anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak-anak, kekerasan terhadap anak, kriminalitas di kalangan anak-anak dan persoalan-persoalan lainnya yang melibatkan anak-anak, ini semua menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menyelesaikannya, khusunya yang berhubungan dengan eksploitasi anak di bawah umur.

Deputi Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan Misran Lubis sebagai nara sumber mengatakan, anak jalanan menjadi fenomena klasik dan keberadaannya tetap eksis, populasinya terus berkembang setiap tahunnya, data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 mengidentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar ada di lima kota yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak) dan Tanah Karo (157 anak).

Dikatakannya, pada 2010 PKPA melakukan pemetaan ulang terhadap situasi anak jalanan di Kota Medan, dari pemetaan tersebut ditemukan data statistik populasi anak jalanan yang berbeda, PKPA melakukan identifikasi di 7 kecamatan populasi anak jalananan sebanyak 420 anak, mereka tersebar di 18 lokasi yakni pada umumnya dipersimpangan lampu merah diantaranya simpang Gelugur, Bundaran Majestik, Pasar Petisah, Simpang Pulo Brayan, Simpang Sei Sikambing, dan terminal (http://pemkomedan.go.id/new/berita-kota-medan-tidak-terlepas-dari- kompleksitas-masalah.html diakses 20 april pukul 20:03 WIB).

Anak jalanan sampai saat ini masih saja menjadi korban kebijakan yang tak menguntungkan bagi tumbuh dan kembang mereka. Di Medan misalnya, ada Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan


(9)

Pengemisan, dan Perda Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis yang seharusnya menjadi pijakan untuk meningkat martabat kehidupan anak jalanan. Tapi alih-alih meningkatkan martabat mereka, anak jalanan yang perdefenisi masuk menjadi salah satu kegiatan gelandangan malah dikriminalisasi.

Sewaktu-waktu anak jalanan bisa saja mendapat tindakan represif dari Negara, ditangkap, ditahan, dan berdasarkan pengalaman selama ini, karena tidak ada program yang jelas setelah mereka dirazia, mereka dilepaskan lagi. Setelah itu tentu saja mereka kembali beraktifitas sebagai anak jalanan. Hal ini diungkapkan oleh M. Jailani, S.Sos, M.A, Direktur Eksekutif Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) ketika memberikan pengantar dalam kegiatan Working Group Sosialisasi Program Peduli Dan Pemetaan Peran Pemangku Kepentingan di Kota Medan di Kantor Walikota Medan, Selasa (7/4/2015).

Jailani menambahkan bahwa anak jalanan di Kota Medan juga sulit mendapatkan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Anak-anak jalanan tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan gratis bila tidak memiliki kartu BPJS. Ditambah lagi, persoalan identitas juga sulit mereka dapatkan sehingga pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis seperti hanya mimpi bagi mereka.

Di sisi lain, masyarakat juga belum dapat menerima anak jalanan sebagai bagian dari kelompok masyarakat, masih saja ada kecurigaan terhadap keberadaan mereka, sehingga tidak terbangun solidaritas sebagai sesama masyarakat dan tidak terjadi pembauran


(10)

(http://kksp.or.id/home/2015/04/08/penanganan-anak-jalanan-di-kota-medan- harus-secara-inklusif/ diakses pada 18 agustus 2015 pukul 13 52 WIB).

Hasil pemetaan yang dilakukan pihak pusat kajian dan perlindungan anak (PKPA) dalam uraian sebelumnya, mempermudah peneliti untuk menentukan lokasi penelitian dengan populasi anak jalanan yang cukup besar di Kota Medan. Peneliti memilih Terminal Amplas Kota Medan sebagai lokasi penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk mengetahui permasalahan anak jalanan melalui penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut ―Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab anak menjadi anak jalanan di Terminal Amplas Kota Medan?‖.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak menjadi anak jalanan di Terminal Amplas Kota Medan.


(11)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai referensi dalam rangka : a. Sebagai referensi untuk akademisi dalam rangka penelitian tentang

masalah kesejahteraan sosial, secara khusus masalah anak jalanan. b. Pengembangan teori-teori tentang pengaruh karakter individu, orang

tua, keluarga/kerabat dekat, teman serta masyarakat terhadap permasalahan anak jalanan.

c. Pengembangan model penanganan masalah anak jalanan.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar dikelompokkan menjadi enam bab, antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang uraian yang berkaitan dengan masalah dan objek penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep serta bagan alur pikir.


(12)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang sejarah singkat dan gambaran umum lokasi penelitian serta data-data yang berkaitan dengan penelitian.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini tentang uraian data penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil penelitian berupa kesimpulan dan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki peranan dan tanggung jawab terhadap permasalahan yang diteliti.


(1)

mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Kemudian yang mempertegas pernyataan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada anak terdapat pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 dinyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 merupakan Undang-Undang perlindungan anak terbaru saat ini sebagai bentuk perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang semakin mempertegas perlindungan atas hak anak dengan penegasan tanggungjawab pemerintah daerah. Pentingnya generasi penerus menjadi alasan peneliti melakukan penelitian tentang anak, secara khusus anak jalanan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara sekaligus sebagai kota metropolitan terbesar di luar Pulau Jawa dan Kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektare (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan diakses 05 April 2015 pukul 11:53 WIB).


(2)

Sebagai kota metropolitan, Medan tidak terlepas dari kompleksitas masalah anak, masih adanya anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak-anak, kekerasan terhadap anak, kriminalitas di kalangan anak-anak dan persoalan-persoalan lainnya yang melibatkan anak-anak, ini semua menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menyelesaikannya, khusunya yang berhubungan dengan eksploitasi anak di bawah umur.

Deputi Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan Misran Lubis sebagai nara sumber mengatakan, anak jalanan menjadi fenomena klasik dan keberadaannya tetap eksis, populasinya terus berkembang setiap tahunnya, data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 mengidentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar ada di lima kota yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak) dan Tanah Karo (157 anak).

Dikatakannya, pada 2010 PKPA melakukan pemetaan ulang terhadap situasi anak jalanan di Kota Medan, dari pemetaan tersebut ditemukan data statistik populasi anak jalanan yang berbeda, PKPA melakukan identifikasi di 7 kecamatan populasi anak jalananan sebanyak 420 anak, mereka tersebar di 18 lokasi yakni pada umumnya dipersimpangan lampu merah diantaranya simpang Gelugur, Bundaran Majestik, Pasar Petisah, Simpang Pulo Brayan, Simpang Sei Sikambing, dan terminal (http://pemkomedan.go.id/new/berita-kota-medan-tidak-terlepas-dari- kompleksitas-masalah.html diakses 20 april pukul 20:03 WIB).

Anak jalanan sampai saat ini masih saja menjadi korban kebijakan yang tak menguntungkan bagi tumbuh dan kembang mereka. Di Medan misalnya, ada Perda Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan Dan


(3)

Pengemisan, dan Perda Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis yang seharusnya menjadi pijakan untuk meningkat martabat kehidupan anak jalanan. Tapi alih-alih meningkatkan martabat mereka, anak jalanan yang perdefenisi masuk menjadi salah satu kegiatan gelandangan malah dikriminalisasi.

Sewaktu-waktu anak jalanan bisa saja mendapat tindakan represif dari Negara, ditangkap, ditahan, dan berdasarkan pengalaman selama ini, karena tidak ada program yang jelas setelah mereka dirazia, mereka dilepaskan lagi. Setelah itu tentu saja mereka kembali beraktifitas sebagai anak jalanan. Hal ini diungkapkan oleh M. Jailani, S.Sos, M.A, Direktur Eksekutif Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) ketika memberikan pengantar dalam kegiatan Working Group Sosialisasi Program Peduli Dan Pemetaan Peran Pemangku Kepentingan di Kota Medan di Kantor Walikota Medan, Selasa (7/4/2015).

Jailani menambahkan bahwa anak jalanan di Kota Medan juga sulit mendapatkan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Anak-anak jalanan tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan gratis bila tidak memiliki kartu BPJS. Ditambah lagi, persoalan identitas juga sulit mereka dapatkan sehingga pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis seperti hanya mimpi bagi mereka.

Di sisi lain, masyarakat juga belum dapat menerima anak jalanan sebagai bagian dari kelompok masyarakat, masih saja ada kecurigaan terhadap keberadaan mereka, sehingga tidak terbangun solidaritas sebagai sesama masyarakat dan tidak terjadi pembauran


(4)

(http://kksp.or.id/home/2015/04/08/penanganan-anak-jalanan-di-kota-medan- harus-secara-inklusif/ diakses pada 18 agustus 2015 pukul 13 52 WIB).

Hasil pemetaan yang dilakukan pihak pusat kajian dan perlindungan anak (PKPA) dalam uraian sebelumnya, mempermudah peneliti untuk menentukan lokasi penelitian dengan populasi anak jalanan yang cukup besar di Kota Medan. Peneliti memilih Terminal Amplas Kota Medan sebagai lokasi penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk mengetahui permasalahan anak jalanan melalui penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut ―Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab anak menjadi anak jalanan di Terminal Amplas Kota Medan?‖.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak menjadi anak jalanan di Terminal Amplas Kota Medan.


(5)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai referensi dalam rangka : a. Sebagai referensi untuk akademisi dalam rangka penelitian tentang

masalah kesejahteraan sosial, secara khusus masalah anak jalanan. b. Pengembangan teori-teori tentang pengaruh karakter individu, orang

tua, keluarga/kerabat dekat, teman serta masyarakat terhadap permasalahan anak jalanan.

c. Pengembangan model penanganan masalah anak jalanan.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar dikelompokkan menjadi enam bab, antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang uraian yang berkaitan dengan masalah dan objek penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep serta bagan alur pikir.


(6)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang sejarah singkat dan gambaran umum lokasi penelitian serta data-data yang berkaitan dengan penelitian.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini tentang uraian data penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil penelitian berupa kesimpulan dan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki peranan dan tanggung jawab terhadap permasalahan yang diteliti.