Nilai Islam yang Terkandung dalam Teori

Nilai Islam yang Terkandung dalam Teori Konsumsi
Oleh:
Ali Muhayatsyah 1
Setiap insan yang hidup didunia selalu melakukan aktifitas perekonomian terutama aktifitas
konsumsi. Aktifitas konsumsi tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita sehari hari.
Konsumsi ini pun dilakukan atas dasar kebutuhan dan keinginan yang melihat pada
pendapatan setiap masing-masing individunya.
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi Islam konsumsi juga memiliki pengertian
yang sama, tetapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan
mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi
itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman sya i’ah Islamiyyah.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan
ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan,
minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan. Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah.
Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah
berkaitan dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang
sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa
konsumsi. Oleh sebab itu, sebagian besar konsumsi akan diarahkan kepada pemenuhan

tuntutan konsumsi bagi manusia. Konsumsi dalam Islam tidak mengharuskan seseorang
melampaui batas untuk kepentingan konsumsi dasarnya, seperti mencuri atau merampok.
Tetapi dalam kondisi darurat dan dikhawatirkan bisa menimbulkan kematian, maka
seseorang diperbolehkan untuk mengkonsumsi sesuatu yang haram dengan syarat sampai
masa darurat itu hilang, tidak berlebihan dan pada dasarnya memang ia tidak suka.
Dalam ekonomi konvesional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu
rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku
konsumsi yang hedonistic materialistik serta boros (wastefull). Karena rasionalisme ekonomi

1

Peneliti Keuangan Syariah

1

konvensional adalah self-interst, perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik
sehingga seringkali mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan sosial.
Menurut Monzer Kahf, para penulis muslim memandang perkembangan rasionalisasi
dan teori konsumen yang ada selama ini dengan penuh kecurigaan dan menuduhnya
sebagai aspek prilaku manusia yang terbatas dan berdimensi tunggal. Mereka menyatakan

ahwa ia didasarka atas perhitu ga -perhitungan cermat yang diarahkan untuk melihat
kedepa da pe gawasa terhadap ke erhasila eko o i, sebagaimana dikemukaan oleh
Max Weber. Tetapi mereka tidak setuju dengan Max Weber bahwa alternatif menunjuk
kepada rasio alis e eko o i adalah ke eradaaa peta i ya g sa gat
tradisio alis e kala ga pedaga g ya g

e derita atau

e iliki hak-hak isti ewa .2

Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah

maslahah , yang maknanya lebih luas dari

sekadar utility (kepuasan) dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan
tujua huku

syara yang paling utama.


Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa
yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi
ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau
jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan
keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah. Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:3
a. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu
maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria
maslahah telah ditetapkan oleh syari ah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri

2

Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), alih bahasa
Machnun Husein (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 17.
Nurul Huda, Me aha i Ko su si “e ara Isla i , http://www.yarsi.ac.id/web-directory/kolomdosen/70-fakultas-ekonomi/176-memahami-konsumsi-secara-islami.pdf, akses tanggal 3 Maret 2012.
3


2

dan usahanya, namun syari ah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka
penilaian individu tersebut menjadi gugur.
b. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana
seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa
menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
c. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.

Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk
hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada nonmuslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua
barang/jasa yang memberikan kepuasan mengandung maslahah di dalamnya, sehingga
tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam
e

a di gka ko sep kepuasa

de ga


pe e uha ke utuha

(yang terkandung di

dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-ti gkata tujua huku

syara

yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
Menurut al-Ghazali dalam pemikirannya te ta g kesejahteraa sosial

maslahah)

didasarkan kepada 5 (lima) tujuan dasar (maqashid al-sya ’iyyah) yaitu: agama (al-din),
hidup atau jiwa (al-nafs), keluarga atau keturunan (al-nasl), harta atau kekayaan (al-mal),
dan intelektual atau akal (al-’a l), beliau menitikberatkan (mahallu syahid) pada tuntunan
wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebahagian di dunia
dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya).4
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam

kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang triparti, yakni kebutuhan
(dlaruriyat), kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsiniyat), klasifikasi
tersebut merupakan peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan
ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal,
dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.

Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulu al-Din (Beirut: Dar al-Nadwah, t.t), Juz 2, hlm. 109. Lihat dalam
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 318.
4

3

Selain itu al-Ghazali memandang tujuan akhir adalah keselamatan, namun beliau
tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban
duniawi seseorang. Dalam hal ini beliau menitik beratkan bahwa niat perilaku seseorang
yang sesuai dengan aturan Ilahi dalam setiap aktivitas ekonomi dapat bernilai Ibadah. Pada
akhirnya beliau menyatakan bahwa perkembangan ekonomi sebagai bagian dari kewajiban
sosial (fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah, jika hal ini tidak dipenuhi, kehidupan
dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa.5
Konsumsi Islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen

dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syari ah yang mengatur konsumsi agar mencapai
kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan
kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun
kaidah/prinsip dasar konsumsi Islam adalah:6
1. Prinsip syari ah, yaitu menyangkut dasar syari ah yang harus terpenuhi dalam
melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/
beribadah sebagai perwujudan keya.kinan man.usia sebagai makhluk yang
mendapatican beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oteh penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu. seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang
barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah
merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang
konsumsi Islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan
berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang
haram atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam
syari ah Islam, di antaranya

5

Ibid., hlm. 319.

6

Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Kathab, alih bahasa Asmuni Solihan
Zamalchsyari (Jakarta: Khalifa, 2006 . Lihat dala Arif Pujiyo o Teori Ko su si Islam , Jurnal Dinamika
Pembangunan, Vol.3. No.2 (Desember 2006), hlm. 199-200.

4

a. Sederhana,

yaitu

mengkonsumsi

yang


sifatnya

tengah-tengah

antara

menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir,
hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus
disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi
tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan
agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan
menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya,
seperti makanan pokok.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup
yang lebih baik, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
c. Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.

4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana
bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka
anggota yang lain juga akan merasakan sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika
dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di
masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan
dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi
daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak memcerminkan etika
konsumsi Islam seperti memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Islam menggariskan bahwa tujuan konsumsi
bukan semata-mata memenuhi kepuasan terhadap barang (utilitas), namun yang lebih
utama adalah sarana untuk mencapai kepuasan sejati yang utuh dan komprehensif yaitu
5

kepuasan dunia dan akhirat. Kepuasan tidak saja dikaitkan dengan kebendaan tetapi juga

dengan ruhiyah atau ruhaniyah atau spiritual, bahkan kepuasan terhadap konsumsi suatu
benda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka kepuasaan ini harus ditinggalkan.
Oleh karena itu konsumen rasional dalam ekonomi Islam adalah konsumen yang dapat
memandu perilakunya supaya dapat mencapai kepuasan maksimum sesuai dengan normanorma Islam yang dapat pula diistilahkan dengan maslahah. Jadi, tujuan konsumen muslim
bukanlah memaksimumkan utility, tetapi memaksiumumkan maslahah.

6

Daftar Pustaka
Huda,

Nurul, Me aha i Ko su si “e ara Isla i , http://www.yarsi.ac.id/webdirectory/kolom-dosen/70-fakultas-ekonomi/176-memahami-konsumsi-secaraislami.pdf, akses tanggal 3 Maret 2012.

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), alih
bahasa Machnun Husein, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Adiwarman Aswar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008.
Pujiyo o, Arif Teori Ko su si Isla , Jurnal Dinamika Pembangunan, Volume.3. Nomor.2,
Desember, 2006.

7

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103