Etika Bisnis dalam Islam docx

Pendahuluan

BAB 1

I.1. Latar belakang
Begitu besar limpahan rahmat Allah kepada hamba-Nya. Seluruh Alam dan
Isinya diciptakan dalam rangka fasilitas untuk hidup. Hal ini telah termaktub di
dalam Al-Quran :

‫م‬
‫ض ومأ من نمز م‬
‫ماَءء‬
‫ذيِ م‬
‫ل ء‬
‫ماَموا ء‬
‫ه ال س ء‬
‫ن ال س‬
‫خل مقم ال س‬
‫ماَءء م‬
‫س م‬
‫س م‬

‫لل س ه‬
‫ت موانلنر م‬
‫م م‬
‫م‬
‫فل ن م‬
‫م ال ن ه‬
‫س س‬
‫فمأ ن‬
‫ممرا ء‬
‫ج ب ءهء ء‬
‫ك ل ءت م ن‬
‫خمر م‬
‫م ۖ وم م‬
‫خمر ل مك ه ه‬
‫ت رءنزءقاَ ل مك ه ن‬
‫ن الث س م‬
‫جرءيِم‬
‫م م‬
‫فيِ ال نبحر بأ م‬
‫خمر ل مك هه‬

‫م انل من نمهاَمر‬
‫و‬
ۖ
‫ه‬
‫ر‬
‫م‬
‫س س‬
‫ء‬
‫ء‬
‫م م‬
‫م ن ء ء ن ء‬
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan
dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan
menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan
(pula) bagimu sungai-sungai.” (QS Ibrahim ayat: 32)
Dari ayat tersebut terlihat bahwasannya Allah secara langsung ingin
memberitahukan bahwa rezeki yang disediakan di bumi terhampar luas. Namun hal
ini tergantung usaha manusia di dalam mencari rezeki tersebut. Tentu rezeki yang
dicari dengan cara halal lagi baik. Karena dengan rezeki yang demikian akan

memudahkan langkah manusia untuk beribadah kepada Allah.
Pencarian rezeki antara lain yaitu bisa dengan berdagang, bekerja, bertani,
bercocok tanam, dan menjadi nelayan. Rasulullah telah mencontohkan hal tersebut
dengan cara berdagang sebagai salah satu usaha mencari rezeki. Mulanya, ia
belajar dari pamannya untuk mempelajari etika berdagang dalam rangka
pemenuhan kebutuhan hidup keluarga pamannya. Sampai pada akhirnya, ia

mendapat kesempatan untuk menjual barang dagangan Khadijah. Dengan
kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu memperdagangkan
barang-barang Khadijah , dengan hasil yang menguntungkan darpada orang lain
sebelumnya. (Haekal, 1978: 72)
Di era modern, istilah berdagang lebih dimoderasikan menjadi bisnis. Namun
di dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan tijarah. Di dalam berbisnis tentu
mempunyai prinsip dan etika agar di dalam bisnis tidak ada yang merugikan antara
pedagang dan pembeli. Karena jika ada salah satu yang dirugikan maka tidak sah di
dalam syariat Islam. Maka diperlukan kehati-hatian di dalam menjalani bisnis,
sebagaimana telah dijelaskan di dalam al-Quran:

‫مل تأ نك ههلوُا أ م‬
‫ل ومت هككد نهلوُا ب ءهمككاَ إ ءل مككىَ ال ن‬

‫م ءباَل ن‬
‫وُال م‬
‫س‬
‫ه‬
‫ه‬
‫م‬
َ‫ككا‬
‫ك‬
‫ح‬
‫كك‬
‫ط‬
َ‫با‬
‫كك‬
‫ك‬
‫ن‬
‫ي‬
‫ب‬
‫م‬
‫ك‬
‫كك‬

‫م‬
‫ء‬
‫م‬
‫م‬
‫ه‬
‫م‬
‫ن‬
‫م‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ء‬
‫م‬
‫ء‬
‫لتأ ن‬
‫م‬
‫قاَ من أ م‬
‫م ت معنل هم‬
‫ه‬
‫ه‬

‫م‬
‫ن‬
َ‫نا‬
‫ال‬
‫ل‬
‫وُا‬
‫م‬
‫ء‬
ِ‫ري‬
‫ف‬
‫لوُا‬
‫ك‬
‫س ءباَنل ءث نم ء ومأن نت نه‬
‫س‬
‫ء‬
‫ءم‬
‫موُ م‬
‫ن ن م ء‬
‫ء‬
‫ء‬

“Dan   janganlah   sebahagian   kamu   memakan   harta   sebahagian   yang   lain   di   antara   kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.” (QS Al­Baqarah ayat 188)

I.1 Fokus Masalah
Dari permasalahan yang telah diungkap pada sub-bab sebelumnya maka
pemakalah akan memfokuskan pada :
1.
2.
3.
4.

Pengertian bisnis
Prinsip bisnis dalam islam
Etika dalam produksi dan distribusi
Langkah- langkah sukses berbisnis dalam Islam

BAB II
KAJIAN TEORI


II.1 Pengertian Bisnis
Bisnis adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu Bussiness. Bisnis secara etimologi
yaitu selling, atau the activity of buying and selling goods and service (Cambridge Advance
Learner’s Dictionary: 2013: 201). Perspektif dari pengertian tersebut bahwa bisnis sama dengan
jual beli, ada penjual, pembeli, ada barang, dan ada alat transaksi jual beli, dan akad. Syarat
tersebut menjadi bukti konkrit agar terlaksananya jual beli secara maksimal.
Bisnis di dalam bahasa Arab yaitu tijarah. Imam al-Nawawi, ahli fikih Mazhab Syafi’I,
mengartikan tijarah sebagai pemindahan hak terhadap benda dengan melakukan tukar menukar
barang. Harta yang diperdagangkan itu harus berupa benda yang dapat dihadirkan pada saat
transaksi dan boleh juga tidak, asal bisa ditentukan (disifati) bentuk dan ukurannya (Ensklopedi
Hukum Islam Jilid 1: 1996: 1825).
Melalui pendapat Imam Nawawi, bahwa secara tidak langsung ia telah memprediksikan
akan ada jual-beli secara online untuk di abad modern. Namun, batasan jual-beli secara online
harus ada kejelasan barang, dan transaksi jual beli pada barang tersebut. Maka kesesuaian barang
yang dijual dan dibeli harus menjadi perhatian.
Pada prinsipnya hukum tijarah itu adalah mubahah (diperbolehkan). Makah al ini telah
termaktub di dalam al-Quran :

‫م‬

‫ح س‬
‫عظ م ة‬
‫موُن ء‬
‫ن مرب رهء‬
‫ة ء‬
‫ن م‬
‫ه ال نب مي نعم وم م‬
‫ومأ م‬
‫حسر م‬
‫جاَمءه ه م‬
‫م الررمباَ ۚ فم م‬
‫ل الل س ه‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫مفاَنتهىَ فمل مه ماَ سل م م م‬
‫عاَد م فمهأول ىمئ ء م‬
‫ك‬
‫ن م‬
‫ه م م‬
‫مهره ه إ ءملىَ الل سهء ۖ وم م‬

‫ف ومأ ن‬
‫م ن‬
‫نمم ى‬
‫م‬
‫ن‬
‫م ءفيمهاَ م‬
‫دو م‬
‫خاَل ء ه‬
‫حاَ ه‬
‫ص م‬
‫ب السناَرء ۖ هه ن‬
‫أ ن‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (QS Al-Baqarah ayat 275)
Ayat tersebut menunjukan bahwa Allah memperbolehkan jual beli sebagai
usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adapun kebutuhan yang seperti

kita ketahui adalah primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer merupakan
kebutuhan utama manusia agar kelayakan

dan kenyamanan hidup menjadi

prioritas yang utama. Namun keutamaan tersebut harus diselaraskan oleh
pendapatan yang diperoleh.
Namun Ulama fikih mengatakan bahwa memperdagangkan barang dagangan
bisa menjadi wajib bila terkait dengan kebutuhan pokok atau hal-hal yang
mendesak, seperti makanan dan minuman, serta menjaga jiwa secara umum dari
kelaparan. Ada juga perdagangan yang disunahkan seperti seseorang yang
bersumpah yang menjual barang dagangannya yang sebenarnya tidak memberi
mudharat kalau ia jual. Sedangkan yang makruh adalah memperdagangkan benda
yang makruh dimanfaatkan, seperti rokok atau makanan yang halal tetapi tidak
sedap baunya. Sementara yang diharamkan adalah memperdagangkan benda yang
tidak bermanfaat dan dilarang syarak (Ensklopedi Hukum Islam : 96: 1825) .
Sedangkan Ibnu Khaldun memberi pengertian bahwa tijarah adalah usaha
manusia

untuk

memperoleh

dan

meningkatkan

pendapatannya

dengan

mengembangkan property yang dimilikinya, dengan cara membeli komoditi dengan
harga mahal, baik barang tersebut berupa tepung atau hasil-hasil pertanian,

binatang ternak, maupun kain. Jumlah nilai yang tumbuh dan berkembang itulah
yang dinamakan laba (Ibnu Khaldun: 2001: 712)
Pandangan tersebut mengandung bahwa barang yang dijual harus bersifat
halal dan bagus, dan nilai harga yang dijual tidak terlalu mahal agar komoditi usaha
yang dijalankan bisa mencapai kepuasan si pembeli dan si penjual. Problemnya
adalah bila kepuasaan tersebut hanya bisa dirasakan si penjual tetapi tidak
dirasakan pembeli akan terjadi makruh di dalam tijarah. Banyak hal tersebut kita
dapatkan didalam masyarakat bahwa barang setelah dibeli mengalami kecacatan.

Maka itu dalam upaya menambah besarnya properti maka pedagang harus
mempunyai modal yang cukup untuk membeli berbagai komoditi dengan tunai.
Begitu juga dalam menjualnya, harus dengan tunai. Selain itu, para pedagang juga
harus dapat bertransaksi tawar menawar mengenai harganya. Karena Kejujuran
jumlahnya hanya sedikit di masyarakat, sehingga akan menjurus pada penipuan,
pengurangan takaran, dan timbangan (Ibnu Khaldun: 2001: 713).

II.2 Prinsip Bisnis dalam Islam
Prinsip Bisnis di dalam Islam yaitu rukun tijarah. Rukun tijarah ada 3 macam,
a) Sigah (sigat)
b) aqid,
c) ma’qud ‘anh.

a) Sigah
Sigat berarti bentuk transaksi atau penyerahan barang (ijab) oleh penjual
kepada pembeli dengan imbalan sejumlah uang sebagai penjualan, dan penerimaan
barang (kabul) oleh pembeli dari penjual dengan penyerahan sejumlah uang

sebagai pembelian. Ijab Kabul bisa dilakukan secara tunai, tulisan dan delegasi.
Aqid berarti pelaku akad atau pelaku transaksi (orang yang terkait dengan
perdagangan). Manqudh anh berarti benda yang diperdagangkan itu, baik berupa
uang atau benda yang dihargakan dengan uang itu. (Ensklopedi Hukum Islam jilid 2:
1996: 1826)
Adapun ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu,
yaitu sigah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut
mereka, tidak termasuk rukud akad akan tetapi syarat akad karena menurut mereka
yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri,
sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad di luar esensi akad.
Sigah al-Aqd merupakan rukun akad yang terpenting. Karena melalui
pernyataan inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (aqid). Sigah
al-Aqd ini diwujudkan melalui ijab dan Kabul. Dalam kaitannya dengan ijab dan
Kabul ini, ulama fikih mensyaratkan, a) tujuan pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami dari pernyataan itu jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu
sendiri b)berbeda dalam sasaran dan hukumnya, b) antara ijab dan kabul terdapat
kesesuaian, c) pernyataan ijab dan kabul itu mengacu kepada suatu kehendak
masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1:
1996 : 1986)
Ijab kabul bisa terbagi dalam 3 bentuk, a). perkataan, b). Tulisan,

b).

perbuatan, c) Isyarat. Ijab kabul berbentuk perkataan yang sering diucapkan, “Saya
jual buku ini dengan harga Rp. 5000,” dan pihak lainnya menyatakan kabul dengan
perkataan, “Saya beli buku itu dengan harga Rp. 5000.” Pernyataan ijab dan kabul
melalui tulisan juga demikian, dan harus memenuhi ketiga syarat diatas.
Pernyataan ijab dan kabul melalui perbuatan adalah melakukan perbuatan
yang menunjukan kehendak untuk melakukan suatu akad. Misalnya, di pasar
swalayan, seseorang mengambil barang tertentu dan membayar harganya ke kasir
sesuai dengan harga yang tercantum pada barang tersebut. Perbuatan tersebut
sudah menunjukan kehendak kedua belah pihak (pembeli dan penjual) untuk
melakukan akad jual beli. Jual beli seperti ini di dalam fikih disebut dengan bai’ almu’atah (jual beli dengan saling memberi (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996: 64)

Ulama mazhab Syafi’I dalam kaul qadim (pendapat yang pertama) tidak
membolehkan akad seperti ini. Karena menurut mereka kehendak kedua belah
pihak yang berakad harus dinyatakan secara jelas melalui perkataan ijab dan qabul.
Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’I dalam kaul jaded (pendapat baru) seperti Imam
Nawasi membolehkan jual beli seperti ini telah menjadi kebiasaan masyarakat di
berbagai wilayah Islam.
Selanjutnya,

suatu

akad

juga

dapat

dilakukan

melalui

Isyarat

yang

menunjukan secara jelas kehendak pihak-pihak yang melakukan akadisyarat
Misalnya, isyarat yang ditunjukkan oleh orang bisu yang tidak dapat menulis. Dalam
kaitan ini, ulama fikih juga membuat kaidah, yaitu “Isyarat yang jelas dari orang
bisu sama dengan penjelasan lisan”. Artinya, jika orang dapat memberikan isyarat
yang sudah menjadi kebiasaan baginya, dan isyarat itu menunjukan suatu akad.
Maka isyarat tersebut sama posisinya dengan penjelasan melalui lisan orang yang
dapat berbicara secara langsung (Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1: 1996:65)

b) aqid
Aqid ialah pihak-pihak yang melakukan akad. Umumnya aqid telah cakap
bertindak (mukalllaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak
atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab
itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz
secara langsung, hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan oleh wali mereka, dan
sifat akad yang dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang yang diampunya,
maka akad itu hukunya sah.
c) Manqudh adh
Manqudh adh yaitu objek akad yang diakui oleh syarak. Untuk objek akad ini
disyaratkan pula berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, bernilai harta menurut

syarak. Oleh sebab itu, jika objek akad itu sesuatu yang tidak benilai harta dalam
islam, maka akadnya tidak sah, seperti khamar. Di samping itu, jumhur ulama fikih
selain ulama mazhab hanafi menyatakan bahwa barang najis seperti anjing, babi,
bangkai, dan darah tidak dapat dijadikan objek akad, karena barang najis. Termasuk
syarat ke dalam syarat kedua ini, menurut Muustafa Ahmad Az-Zarqa, adalah
memperjualbelikan

harta

wakaf.

Akibat

hukum

dari

akad

jual

beli

adalah

berpindahnya kepemilikan objek jual beli dari penjual kepada pembeli. Harta wakaf
bukanlah merupakan hak milik yang dapat diperjualbelikan, karena harta wakaf itu
milik bersama kaum muslimin, bukan milik pribadi seseorang.
Berbeda halnya dengan akad sewa-menyewa harta wakaf. Hal ini dibolehkan,
karena harta wakaf itu tidak berpindah tangan secara utuh kepada pihak penyewa.
Objek akad juga harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsungnya akad
karena memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan
hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullulah Saw yang menyatakan
bahwa tidak boleh memperjualbelikan barang yang tidak (belum) ada. (HR. Bukhari
dan Muslim). Namun demikian, ulama fikih mengecualikan beberapa bentuk akad
yang barangnya belum ada, seperti seperti jual beli pesanan (ba’I as-Salam),
istisna, ijarah, dan musaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya).
Alasan pengecualian ini adalah akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat
dan telah menjadi adat kebiasaan (urf).

II.3 Etika produksi dan distribusi
Di dalam bisnis tentunya ada barang yang diproduksi. Setelah produksi itu
berlangsung maka barang tersebut didistribusikan untuk menghasilkan laba yang
maksimal. Namun dalam proses produksi dan distribusi ada tuntunannya dalam
Islam. Tuntunan tersebut mencakup hal-hal yang harus diperhatikan secara syarak.
Adakalanya

kekayaan

itu

benar-benar

milik

seseorang

tetapi

ia

terlarang

memperdagangkannya karena cara-caranya menyimpang dari ketentuan syarak.
Adapula perdagangan yang memenuhi persyaratan atau rukum tertentu tetapi
unsur-unsurnya mengadung hal-hal yang silarang oleh syarak. Oleh karena itu Islam

memberikan tuntunan antara lain sebagai berikut : (Ensklopedi Hukum Islam: 1996:
1826-1827)
1) Perdagangan itu tidak melalaikan pelakunya untuk beribadah atau ingat
kepada

Allah.

Lalai

berarti

merugi

di

sisi

Allah

serta

tidak

akan

melepaskannya dari siksa Api neraka (QS. 63:9; QS. 24:37). Pada zaman Nabi
Muhammad pernah orang-orang meninggalkan salat Jumay ketika nabi
sedang berkhotbah hanya semata-mata memperebutkan barang dagangan
dari Syam (Suriah). Allah

Swt berfirman: “… Katakanlah: ‘Apa yang disisi

Allah adalah lebih baik dari permainan dan perniagaan …” (QS. 62 : 11)
2) Tidak mengandung unsur penipuan karena berdampak pada kerugian salah
satu pihak. Unsur penipuan ini termasuk kepada memakan harta orang lain
secara bathil (QS: 2: 188).
3) Perdagangan yang tidak dilakukan secara tunai sebaiknya dicatat agar tidak
terjadi

kesalahpahaman

perdagangan

itu

antara

dianjurkan

kedua

adanya

belah

pihak.

persaksian

Kemudian

pihak

ketiga

dalam
untuk

menguatkan keabsahan perdagangan tersebut (QS:2:282)
4) Perdagangan itu disyaratkan harus ada keridhaan kedua belah pihak (penjual
dan pembeli), jika salah satu pihak tidak ridha maka pihak lain telah
memakan hartanya secara bathil (QS:4:9)
5) Boleh berdagang pada musim haji tetapi jangan dilakukan sebagai tujuan
utama karena akan menghilangkan fadhilah ibadah haji (QS.2:198)
6) Apabila kekayaan barang perdagangan itu telah mencapai kadar yang harus
dizakatkan (Nisob yang 2,5 persen dari nisobnya maka dikeluarkan zakat

Daftar Pustaka

1. Haekal, Husain . 1984. Hayat Muhammad. Cairo: Darul Maarif

2. Khaldun, Ibnu. 2001. Mukadimah Ibnu Khaldun. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi
3. McIntosh Collin. 2013. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (Fourth
Edition), New York: Cambridge University Press
4. Sadily, Hasan. 1996. Ensklopedi Hukum Islam Jilid 1. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve
5. Sadily, Hasan. 1996. Ensklopedi Hukum Islam Jilid 2. Jakarta: PT. Ictiar Baru
Van Hoeve
6. Syihab, Quraisy. 1996. Wawasan al-Quran. Jakarta: Mizan