Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma Penelitian

Lincoln dan Guba mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan. Bagi penganutnya, sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial, yaitu positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011: 9). Paradigma menuntun kepercayaan seorang peneliti mengenai dunia (West dan Turner, 2009: 55).

Secara filosofis Cresswell menggambarkan, peneliti membuat pernyataan tentang apa itu pengetahuan (ontologi), bagaimana kita mengetahui itu (epistimologi) dan nilai apa yang terkandung di dalamnya (aksiologi), bagaimana kita menuliskan tentang itu (retorik) dan proses mempelajarinya (metodologi). Paradigma memberikan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia, sementara teori memberikan penjelasan yang lebih spesifik terhadap aspek tertentu dari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 55).

Memilih paradigma penelitian adalah hal mendasar yang harus dilakukan oleh seorang peneliti, dimana paradigma ini berfungsi sebagai pendekatan atau strategi penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum mengkonstruksi desain penelitian. Elvinaro dan Bambang (2007) membagi paradigma penelitian kepada empat bagian yaitu: positivisme, post-positivisme, kritis, konstruktivisme. Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.

Paradigma konstruktivisme atau sering disebut konstruktivis berpandangan bahwa pengetahuan bukanlah potret langsung dari realitas, namun ada konstruksi


(2)

di dalamnya. Paradigma ini berkeyakinan bahwa semesta adalah suatu konstruksi, yang berarti semesta tidak dipahami sebagai semesta yang otonom, namun dikonstruksi secara sosial (Ardianto dan Q-Anees, 2007:152).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek dalam penelitian. Penafsiran tersebut akan menjadi pintu bagi peneliti untuk menyelami teks dan menyingkap makna di baliknya. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latarbelakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun gagasan dalam paradigma konstruktivis (Ardianto dan Q-Anees, 2007:155) adalah:

1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia nyata belaka, tapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Suatu struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif konstruktif. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini, peneliti diarahkan untuk dapat menganalisis tanda, menafsirkan teks maupun pembacaan tanda yang dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Melalui paradigma ini, penelitian akan membahas bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

II.2 Uraian Teoritis II.2.1 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) (Rakhmat, 1949: 57)

Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan


(3)

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Seperti yang dikatakan oleh David Krech

“The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver is, as it were, to some degres a nonrepresentational artist, painting a picture of the world that expresses his individual view of reality.”

Secara ringkas pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang komplek dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya.

Ada beberapa subproses dalam persepsi, dan yang dapat dipergunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif. Subproses yang pertama yang dianggap penting ialah stimulus atau situasi yang hadir. Mula terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan dengan suatu situasi atau suatu stimulus. Situasi yang dihadapi itu mungkin bisa berupa stimulus penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk lingkungan sosiokultur dan fisik yang menyeluruh. Subproses selanjutnya adalah registrasi, interpretasi dan umpan balik (feedback).

Dalam proses persepsi terdapat tiga komponen utama, yaitu :

1. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitasdan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian


(4)

informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, dalam Alex Sobur, 2003). Jadi, persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan terhadap informasi yang sampai.

Kemudian, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang antara lain :

1. Psikologi

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.

2. Famili

Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya. Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. 3. Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

Sementara itu, menurut DeVito (dalam Sobur, 2003) menyebutkan enam proses yang mempengaruhi persepsi, yakni:

1. Teori kepribadian implisit

Teori pribadi implisit mengacu pada teori kepribadian individual yang diyakini seseorang dan mempengaruhi bagaimana persepsinya kepada orang lain (DeVito, dalam Sobur, 2003: 455).

Setiap orang mempunyai konsepsi tersendiri tentang suatu sifat berkaitan dengan sifat lainnya. Konsepsi ini merupakan teori yang dipergunakan orang ketika membentuk kesan tentang orang lain. Teori ini tidak pernah dinyatakan.


(5)

Karena itu disebut teori kepribadian implisit atau implicit personaliy theory (Rakhmat, dalam Sobur, 2003: 455).

2. Ramalan yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecy)

Ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila Anda membuat ramalan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena Anda membuat ramalan itu dan bertindak seakan-akan ramalan itu benar (DeVito, 1997: 89).

Jadi, ramalan yang dipenuhi sendiri terjadi bila kita membuat perkiraan atau merumuskan keyakinan yang menjadi kenyataan karena kita meramalkannya dan bertindak seakan-akan itu benar, seperti disinggung di muka. Ada empat langkah dasar dalam proses ini (DeVito, dalam Sobur, 2003: 457):

1. Kita membuat prediksi atau merumuskan keyakinan tentang seseorang atau situasi. Misalnya kita meramalkan bahwa Pat adalah orang yang canggung dalam komunikasi antarpribadi.

2. Kita bersikap kepada orang atau situasi tersebut seakan-akan ramalan atau keyakinan kita benar. Misalnya di depan Pat kita bersikap seakan-akan Pat memang orang yang canggung.

3. Karena kita bersikap demikian (seakan-akan keyakinan kita benar), keyakinan kita itu menjadi kenyataan. Misalnya, karena cara kita bersikap di depan Pat, Pat menjadi tegang dan “salah-tingkah” serta menunjukkan kecanggungan.

4. Kita mengamati efek kita terhadap seseorang atau akibat terhadap situasi, dan apa yang kita saksikan memperkuat keyakinan kita. Misalnya, kita menyaksikan kecanggungan Pat, dan ini memperkuat keyakinan kita bahwa Pat memang orang yang canggung.

3. Aksentuasi perseptual

Aksentuasi perseptual membuat kita melihat apa yang kita harapkan dan apa yang ingin kita lihat. Kita melihat orang yang kita sukai itu lebih tampan dan lebih pandai ketimbang orang yang tidak kita sukai. Kontra argumen yang jelas adalah bahwa sebenarnya kita lebih menyukai orang yang tampan dan pandai sehingga kita mencari-cari orang seperti ini, bukan karena orang yang kita sukai itu kelihatannya tampan dan pandai.


(6)

4. Primasi resensi

Primasi resensi mengacu pada pengaruh relatif stimulus sebagai akibat urutan kemunculannya. Jika yang muncul pertama lebih besar pengaruhnya, kita mengalami efek primasi. Jika yang muncul kemudian mempunyai pengaruh yang lebih besar, kita mengalami efek resensi.

5. Konsistensi

Konsistensi mengacu pada kecenderungan untuk merasakan apa yang memungkinkan kita mencapai keseimbangan atau kenyamanan psikologis di antara berbagai sikap dan hubungan antara mereka.

6. Stereotype

Stereotip mengacu kepada kecenderungan untuk mengembangkan dan mempertahankan persepsi yang tetap dan tidak berubah mengenai sekelompok manusia dan menggunakan persepsi ini untuk mengevaluasi anggota kelompok tersebut, dengan mengabaikan karakteristik individual yang unik.

II.2.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011: 110).

Komunikasi nonverbal pastilah merupakan kata yang sedang populer saat ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, sosok tubuh, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku,” begitu kata sebuah buku yang populer (Nierenberg & Calero, 1971). Kita ingin bisa melihat apa yang ada di balik pesan-pesan verbal yang “jelas” (DeVito, 2011: 193).

Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam


(7)

1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya saja, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tanganAnda ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan ketidakjujuran seseorang.

3. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan nonverbal. Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda juga mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause) Anda (misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan bahwa Anda belum selesai berbicara.

4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal. Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan adalah tidak benar.

5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi dan merumuskan ulang makna dari pesan verbal, misalnya Anda dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda, atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi.”

6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misalnya, mengatakan “Oke” dengan tangan Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat


(8)

menganggukkan kepala untuk mengatakan “Ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatak “Tidak.”

Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006: 101-110):

a. Kinesics

Ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan. Menurut Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (dalam DeVito, 2011) kedua periset ini membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal, di antaranya:

1. Emblim

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, isyarat untuk “Oke,” “Jangan ribut,” “kemarilah,” dan “Saya ingin menumpang.” Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kata atau ungkapan tertentu. Walaupun emblim bersifat alamiah dan bermakna, mereka mempunyai kebebasan makna seperti sembarang kata apapun dalam sembarang bahasa. Oleh karenanya, emblim dalam kultur kita sekarang belum tentu sama dengan emblim dalam kultur kita 300 tahun yang lalu atau dengan emblim dalam kultur lain.

2. Ilustrator

Ilustratoradalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. dalam mengatakan “Ayo, bangun,” misalnya, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan anda ke arah menaik. Dalam menggambarkan lingkaran atau bujur sangkar Anda mungkin sekali membuat gerakan berputar atau kotak dengan tangan Anda. Begitu biasanya kita melakukan gerakan demikian sehingga sukar bagi kita untuk menukar-nukarnya atau menggunakan gerakan yang tidak tepat.

Kita hanya menyadari sebagian ilustrator yang kita gunakan. Kadang-kadang ilustrator ini perlu kita perhatikan. Ilustrator bersifat lebih alamiah, kurang bebas dan lebih universal daripada emblim. Mungkin


(9)

sesekali ilustrator ini mengandung komponen-komponen yang sudah dibawa sejak lahir selain juga yang dipelajari.

3. Affect Display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung

makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan. Ekspresi wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata, “Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?” tetapi, kita dapat secara sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memerankan peran tertentu. Affect display kurang bergantung pada pesan verbal daripada ilustrator. Selanjutnya, kita tidak secara sadar mengendalikan

affect display seperti yang kita lakukan pada emblim atau ilustrator. Affect display dapat tidak disengaja—seperti ketika gerakan-gerakan

ini membuka rahasia kita—tetapi mungkin juga disengaja. Kita mungkin ingin memperlihatkan rasa marah, cinta, benci, atau terkejut dan biasanya kita mampu melakukannya dengan baik.

4. Regulator

Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur,” memantau,

memelihara atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika Anda mendengarkan orang lain, Anda tidak pasif. Anda menganggukkan kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata dan membuat berbagai suara paralinguistik seperti “mm-mm” atau “tsk.” Regulator jelas terikat pada kultur dan tidak universal. Regulator mengisyaratkan kepada pembicara apa yang kita harapkan mereka lakukan–misalnya, “Teruskanlah,” “Lalu apalagi?,” atau “Tolong agak lambat sedikit.” Bergantung pada kepekaan mereka, mereka mengubah perilaku sesuai dengan pengarahan dari regulator.

5. Adaptor

Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara


(10)

memenuhi kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai. Misalnya, bila Anda sedang sendiri mungkin Anda akan menggaruk-garuk kepala sampai rasa gatal hilang. Di muka umum bila orang-orang melihat Anda melakukan perilaku adaptor ini hanya sebagian. Anda mungkin misalnya, hanya menaruh jari Anda di kepala dan menggerakkannya sedikit, tetapi barangkali tidak akan menggaruk cukup keras untuk menghilangkam gatal.

Gambar II.1 Lima Gerakan Tubuh Sumber: (DeVito, 2011 : 206)

b. Gerakan Mata (Eye Gaze)

Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata. Dari observasi puitis Ben Jonson’s “Drink to me only with thin eyes,

and I will pledge with mine” sampai ke observasi ilmiah para periset kontemporer

(Hess, Marshall, dalam DeVito, 2011), mata dipandang sebagai sistem pesan nonverbal yang paling penting. Pesan-pesan yang dikomunikasikan oleh mata


(11)

bervariasi bergantung pada durasi, arah dan kualitas dari perilaku mata. Ada yang menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan isi hati seseorang.

Mark Knapp dalam risetnya menemukan empat fungsi utama gerakan mata, yakni:

1. Untuk memperoleh umpan balik dari seorang lawan bicaranya. Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?.

2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya waktu untuk bicara.

3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, dimana kontak mata akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan. Sebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghindari terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau berutang akan menghindari orang yang bisa menagihnya.

4. Sebagai pengganti jarak fisik. Bagi orang yang berkunjung ke suatu pesta, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung, maka melalui kontak mata mereka dapat mengatasi jarak pemisah yang ada. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada suatu obyek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada obyek itu tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata cenderung menjadi besar.

c. Sentuhan (Touching)

Sentuhan atau touch secara formal dikenal sebagai haptics, sentuhan ialah menempatkan bagian dari tubuh dalam kontak dengan sesuatu. Ini merupakan bentuk pertama dari komunikasi nonverbal yang kita alami. Bagi seorang balita, sentuhan merupakan alat utama untuk menerima pesan-pesan mengenai kasih sayang dan kenyamanan. Perilaku menyentuh merupakan aspek fundamental komunikasi nonverbal pada umumnya dan mengenai perkenalan diri atau

self-presentation pada khususnya. Kita gunakan tangan kita, lengan kita dan

bagian-bagian tubuh lainnya untuk menepuk, merangkul, mencium, mencubit, memukul, memegang, menggelitik dan memeluk. Melalui sentuhan, kita mengomunikasikan


(12)

macam-macam emosi dan pesan. Dalam budaya Barat, orang berjabat tangan untuk bergaul dan menunjukkan rasa hormat, menepuk seseorang di punggungnya untuk memberi semangat, merangkul seseorang untuk menunjukkan kasih sayang, bertepuk tangan sambil diangkat, menunjukkan solidaritas.

Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam (Cangara, 2006: 105) yakni :

1. Kinesthetic

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.

2. Sociofugal

Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat sentuhan pundak atau berpelukan.

3. Thermal

Ialah syarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.

Gambar II.2

Contoh sentuhan (touching) Sumber: www.google.com


(13)

Gambar II.3

Contoh sentuhan (touching) Sumber: (DeVito, 2011 : 222)

d. Paralanguage

Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya “Datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi. Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa disalahartikan oleh etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski menurut kata hatinya tidak demikian, sebab hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi etnik tersebut.

Ada pengendalian empat utama karakteristik vokal, yaitu (Budyatna, 2011):

1. Pola titinada

Pola titinada atau pitch merupakan tinggi atau rendahnya nada vokal. Orang menaikkan atau menurunkan pola titinada vokal atau vocal pitch dan mengubah volume suara untuk mempertegas gagasan, menunjukkan pertanyaan dan memperlihatkan kegugupan.

2. Volume

Volume merupakan kerasnya atau lembutnya nada. 3. Kecepatan

Kecepatan atau rate mengacu kepada kecepatan pada saat orang berbicara.


(14)

4. Kualitas

Kualitas merupakan bunyi dari suara seseorang. e. Diam

Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan sikap positif.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit untuk diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain, misalnya menyatakan “Tidak.” Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu diam tidak selamanya berarti menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.

Untuk memahami sikap diam, kita perlu belajar terhadap budaya atau kebiasaan-kebiasaan seseorang. Pada suku-suku tertentu ada kebiasaan tidak senang menyatakan “Tidak” tetapi juga tidak berarti “Ya.” Diam adalah perilaku komunikasi sekarang ini makin banyak dilakukan oleh orang-orang yang bersikap netral dan mau aman.

f. Postur tubuh

Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel (dalam Cangara, 2006: 106-107) dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan karakternya. Kedua ahli ini membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni

ectomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh kurus tinggi, mesomorphy

bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh tegap, tinggi dan atletis, dan

endomorphy bagi mereka yang memiliki bentuk tubuh pendek, bulat dan gemuk.

Pada tubuh yang bertipe ectomorphy dilambangkan sebagai orang yang punya sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Bagi mereka yang tergolong bertubuh mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat, aktif dan kompetitif, sedangkan tubuh yang bertipe endomorphy digambarkan


(15)

Gambar II.4 Tipe Postur Tubuh Sumber: (DeVito 2011 : 211)

g. Kedekatan dan Ruang (proximity and spatial)

Proximity adalah kode nonverbal yang menunjukkan kedekatan dari dua

obyek yang mengandung arti. Proximity dapat dibedakan atas territoryatau zone. Edwart T. Hall (dalam Cangara, 2006: 107-108) membagi kedekatan menurut

territory atas empat macam, yaitu :

1. Wilayah intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18 inchi.

2. Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak anatar 18 inchi hingga 4 kaki.

3. Wilayah sosial, ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki. 4. Wilayah umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4 sampai

12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.

Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari sudut ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Sommer (dalam Cangara, 2006: 108) dalam bukunya Leadership and Group Geography menemukan, bahwa para pemimpin yang duduk di depan meja segi empat persegi panjang, cenderung dipilih sebagai pimpinan kelompok, sedangkan Here dan Bales (dalam Cangara, 2006: 108) menemukan bahwa orang yang banyak bicara dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.

Hal yang mirip juga ditemukan oleh Flor (dalam Cangara, 2006: 109) dalam risetnya, bahwa posisi meja para eksekutif pada suatu kantor senantiasa cenderung pada posisi sudut ruang dibanding dengan karyawan lainnya.


(16)

Gambar II.5 Jarak Proksemik Sumber: (DeVito 2011 : 216)

h. Artifak dan Visualisasi

Hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para antropolog dan arkeolog sudah lama memberi perhatian terhadap benda-benda yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya, antara lain artifacts.

Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, pakaian dinas, cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, monumen, patung dan sebagainya.

i. Warna

Warna juga memberi arti terhadap suatu obyek. Di Indonesia, warna hijau seringkali diidentikkan dengan warna Partai Persatuan Pembangunan, kuning sebagai Golongan Karya dan merah sebagai warna partai Demokrasi Indonesia.

Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.

j. Waktu

Ungkapan “Time is Money” membuktikan bahwa waktu itu sangat penting bagi orang yang ingin maju. Karena itu orang yang sering menepati waktu dinilai


(17)

kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya.

Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang (Chen & Starosta, 1998 dalam Budyatna & Ganiem, 2011).

k. Bunyi

Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage. Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur, sirine dan sebagainya.

Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan tentara, pandu dan sebagainya.

l. Bau

Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.

m. Gerakan wajah

Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman, Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth (dalam DeVito, 2011) menyatakan bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi” berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan kemuakan/penghinaan. Periset nonverbal Dele Leathers mengemukakan bahwa


(18)

gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati (DeVito, 2011: 208).

Gambar II.6 Contoh Ekspresi Wajah

Sumber:

Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance,

chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication

berkaitan dengan masalah penciuman (Verderber et al., dalam Budyatna dan Ganiem, 2011).

Budaya Maskulin dan Feminin

Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas, berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya “feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut.

Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan antarpersonal. Anggota dari budaya feminin lebih suka untuk berkompromi dan


(19)

bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari

win-win solutions(Arrindell, Steptoe, & Wardle, dalam DeVito, 2009: 39).

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga, ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang ketidakpastian.

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti/diketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul (Hofstede; Lustig & Koester, dalam DeVito, 2009: 39).

Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. (Hofstede, dalam DeVito, 2009: 39-40).

Orientasi Kolektivis dan Individualis

Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan nilai-nilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme, dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat. Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan kelompok.

Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di depan keramaian. Dalam budaya kolektifis, kesuksesan diukur dari kontribusi


(20)

pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain. (Han & Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41).

Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah

Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim(dalam DeVito, 2009: 41) budaya tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya konteks-rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis.

Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya konteks-tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi komunikasi. Menurut Basso (dalam DeVito, 2009: 41),diam, sebagai contoh sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut Gudykunst(dalam DeVito, 2009: 41) untuk anggota budaya konteks-tinggi, ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis sama.

II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT) pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (NonverbalExpectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon


(21)

area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku.

Teori Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations Theory—EVT), menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu.

Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti dari teori ini (West dan Turner, 2009 : 154-155)

Hubungan Ruang

Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai proksemik (proxemics). Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang. Menurut Mark Knapp dan Judith Hall (dalam West dan Turner 2009) penggunaan ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan. Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi dari pelanggaran ruang.

Burgoon (dalam West dan Turner, 2009) mulai dari sebuah premis bahwa manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi. Ruang personal (personal space), menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai “sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain, tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi merupakan dilema yang realistis bagi kita. Sedikit orang dapat hidup dalam


(22)

keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan privasi.

- Zona Proksemik

Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya dari seorang antropolog Edward Hall (dalam West dan Turner, 2009). Setelah mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara (di daerah Timur Laut), Hall mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu:

1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0 sampai 18 inci (46 sentimeter). Hall (dalam West dan Turner, 2009) mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yangbervariasi mulai dari sentuhan (misalnya, berhubungan intim) hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya digunakan dalam kisaran jarak intim (intimate distance) ini dapat menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim.

2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki, digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall (dalam West dan Turner 2009), perilaku dalam jarak personal (personal distance) termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan.

3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan sekerja. Hall (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa jarak sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masih dapat melihat tekstur rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh


(23)

dibandingkan dengan mereka yang ada di dalam fase dekat. Selain itu, fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase dekat. Fase jauh dari jarak sosial memungkinkan seseorang untuk menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus.

4. Jarak publik, zona spasial yang berjarak 12 kaki atau lebih dan digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang dosen dan mahasiswa di dalam kelas.

- Kewilayahan

Kewilayahan (territoriality) adalah kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. Menurut Altman, Lyman & Scott (dalam West dan Turner, 2009: 157). Ada tiga jenis wilayah: primer, skunder dan publik. Wilayah primer

(primary territories) merupakan wilayah eksklusif seseorang. Contohnya, ruang

kerja seseorang atau komputer adalah wilayah primer. Wilayah sekunder

(secondary territories) menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah

area atau benda. Contohnya, banyak mahasiswa pascasarjana merasakan bahwa perpustakaan kampus adalah wilayah sekunder mereka. Wilayah publik (public

territories) tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area-area yang

terbuka bagi semua orang—misalnya, pantai, taman, bioskop dan transportasi umum.

Kewilayahan seringkali diikuti dengan pencegahan dan reaksi (Knapp & Hall, dalam West dan Turner, 2009). Maksudnya, orang akan berusaha untuk mencegah anda memasuki wilayah mereka atau akan memberikan respon begitu wilayah mereka dilanggar. Beberapa geng menggunakan penanda wilayah untuk mencegah geng lain melanggar wilayah kekuasaan mereka. Knapp & Hall melihat bahwa jika suatu pencegahan tidak berfungsi dalam mempertahankan wilayah seseorang, orang itu mungkin akan bereaksi dengan cara tertentu, termasuk menjadi tertantang secara fisik maupun kognitif. Singkatnya, manusia biasanya menandai wilayah mereka dengan empat cara: menandai (menandai wilayah kita), melabeli (memberikan simbol untuk identifikasi), menggunakan tanda atau gambar yang mengancam (menunjukkan penampilan dan perilaku yang agresif) dan meduduki (mengambil tempat terlebih dahulu dan tinggal di sana untuk waktu


(24)

yang paling lama dari orang lain) (Knapp, dalam West dan Turner, 2009: 157-158).

Gambar II.7 Contoh Kewilayahan Sumber: (DeVito 2011 : 220)

Asumsi Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Selain itu, terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini (West dan Turner, 2009 : 158):

• Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia • Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari

• Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal

Asumsi pertama menyatakan bahwa orang memiliki harapan dalam interaksinya dengan orang lain. Dengan kata lain, harapan mendorong terjadinya interaksi. Harapan (expectancy) dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Judee Burgoon dan Jerold Hale (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa ada dua jenis harapan: prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional


(25)

interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memulai sebuah percakapan. Harapan interaksional (interaksional expectation) merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah percakapan.

Hal ini menuntun kita pada asumsi EVT yang kedua—bahwa orang mempelajari harapannya melalui budaya secara luas dan juga individu-individu dalam budaya tersebut. Misalnya, di Amerika hubungan antara profesor dengan mahasiswa didasari rasa hormat profesional.

Individu-individu dalam sebuah budaya juga berpengaruh dalam mengomunikasikan harapan. Burgoon dan Hale (dalam West dan Turner, 2009) menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memperhatikan perbedaan-perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah hubungan kita dengan mereka dan observasi kita.

Asumsi yang ketiga terkait dengan prediksi yang dibuat oleh orang mengenai komunikasi nonverbal. Pada titik ini, sangatlah penting untuk menunjukkan sebuah pandangan yang terkandung dalam teori ini: orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal orang lain.

II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Pengurangan Ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam menyusun teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang tidak terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Orang bertindak sebagai peneliti yang naif, dan Berges dan Calabrese berpikir bahwa sebagai peneliti yang naif, kita termotivasi baik untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan-perjumpaan awal. Prediksi (prediction) dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan-pilihan perilaku yang mungkin dipilih dari sejumlah


(26)

kemungkinan pilihan yang ada bagi diri sendiri atau bagi pasangan dalam suatu hubungan. Penjelasan (explanation) merujuk kepada usaha untuk menginterpretasikan makna dari tindakan yang dilakukan di masa lalu dari sebuah hubungan. Dua konsep ini—prediksi dan penjelasan—menyusun dua subproses utama dari pengurangan ketidakpastian.

Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal (seperti nada suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan), pencarian informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal.

Melalui aksioma dan teoromanya, URT (Uncertainty Reduction Theory) mengemukakan sebuah pergerakan yang dinamis dari hubungan interpersonal pada tahap-tahap awalnya. Teori ini telah digambarkan sebagai contoh berteori secara orisinil dalam area komunikasi (Miller, 1981) karena teori ini memperlihatkan konsep-konsep (seperti pencarian informasi, pembukaan diri) yang secara khusus relevan terhadap mempelajari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 173-176)

Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma

(axioms) atau kebenaran yang ditarik dari penelitian yang sebelumnya. URT

mengemukakan adanya tujuh aksioma dan dua aksioma tambahan. Sedangkan dalam penelitian ini, aksioma yang berkaitan dengan topik penelitian adalah aksioma yang kedua, yaitu “Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.” (West dan Turner, 2009: 179)


(27)

II.2.5 Teori Kebohongan

David Buller dari AMC Cancer Research Center, Denver dan Judee Burgoon dari University of Arizona, telah melakukan lebih dari selusin percobaan dimana mereka meminta kepada partisipan untuk membohongi orang lain. Para peneliti ini menerangkan bahwa orang sering kali menemukan diri mereka dalam situasi dimana mereka membuat pernyataan yang kurang jujur guna menghindar dari melukai perasaan atau menyerang orang lain, untuk menampilkan kualitas terbaik mereka, untuk menghindar terlibat dalam suatu konflik, atau untuk mempercepat atau memperlambat suatu hubungan (David Buller et al., dalam Budyatna, 2011).

Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di bawah ini:

Anda telah berkencan dengan Pat selama hampir tiga tahun dan merasa

sangat dekat dalam hubungan Anda tersebut. Pat kuliah di kota yang berbeda dan keduanya setuju untuk bisa berkencan dengan orang lain. Namun demikian, Pat orangnya sangat besar cemburunya dan suka menguasai. Selama kuliah Anda hanya mengunjungi Pat sekali-sekali tetapi saling menelepon setiap hari Minggu dan berbicara di telepon berjam-jam lamanya. Pada hari Jumat salah seorang teman Anda mengundang Anda untuk pergi ke pesta malam minggu, tetapi pesta itu mengisyaratkan harus dengan pasangan, makanya Anda perlu berkencan dengan wanita lain untuk diajak ke pesta. Tidak mungkin Pat bisa datang selama libur ke tempat Anda. Anda memutuskan untuk mengajak teman sekelas yang Anda juga tertarik padanya sehingga Anda bisa pergi ke pesta. Anda berdua pergi ke pesta dan sangat menikmati pesta itu. Pada Minggu sore, ada yang mengetuk pintu kamar Anda dan ternyata Pat. Ia masuk dan berkata “Saya memutuskan untuk datang dan mengejutkan kamu. Saya telah menelepon kamu tadi malam, tetapi HP kamu tidak aktif. Apa yang sedang kamu lakukan tadi malam?” (Steven McCornack, 1992).

Buller dan Burgoon membicarakan tiga tipe respon yang Anda akan berikan jika Anda memutuskan untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Pertama, Anda dapat berbohong: “Saya sedang di perpustakaan mempersiapkan


(28)

ujian teori komunikasi.” Kedua, Anda dapat menceritakan hanya sebagian kebenaran dengan membuang bagian-bagian yang penting: “Saya pergi ke pesta di apartemen seorang teman.” Ketiga, Anda bisa dengan sengaja memberikan jawaban yang samar-samar atau bersifat mengelak: “Saya lagi keluar sebentar.”

Menurut petunjuk pihak lain yang mempelajari kebohongan verbal, Buller dan Burgoon menamakan tiga strategi dengan label falsifikasi, dan dalih atau

falsification, concealment and equivocation. Beda ketiganya ialah bahwa

falsifikasi menciptakan khayalan, menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih mengelak atau menghindar dari masalah itu. Ketiganya itu berada dalam payung mengenai konsep kebohongan atau concept of deception, dimana Buller dan Burgoon mendefenisikan sebagai “sebuah pesan yang secara sadar disampaikan oleh si pengirim untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu pada diri penerima” (Buller and Burgoon, dalam Budyatna, 2011)

Granhag dan Stromwall (dalam Budyatna, 2011) membedakannya antara falsifikasi, distorsi dan penyembunyian atau falsification, distortions and

concealments. Falsifikasi merupakan kebohongan total dimana segala sesuatu

yang diceritakan merupakan kebalikan daripada keadaan yang sebenarnya. Distorsi berangkat dari kebenaran tetapi kurang lebih telah diubah agar sesuai dengan tujuan orang yang berbohong dan dalam kategori ini sering mendapat hal-hal yang berlebihan. Penyembunyian, dimana si pembohong mengatakan tidak tahu walaupun ia tahu atau ia mengatakan tidak ingat walaupun ia ingat, yakni ia dapat menyembunyikan kebenaran. Menurut kedua penulis ini apa yang dikemukakan di atas merupakan kebohongan yang serius dan bukan merupakan kebohongan sosial atau social lies atau dinamakan juga kebohongan yang putih atau white lies yang kebanyakan orang mengatakannya dalam kehidupan sehari-hari baik ditujukan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Misalnya, “Ah, bagus amat gaya rambut Anda,” “Hari ini Anda kelihatan cantik,” dan yang ditujukan kepada diri sendiri: “Saya tidak pernah berkhayal mengenai orang lain.”

Kembali kepada kasus Pat dengan kekasihnya. Apakah Pat dapat melihat kebohongan itu?. Teori kebohongan antarpribadi mengatakan tidak. Walaupun kebanyakan orang yakin mereka bisa melihat kebohongan itu, adalah sangat


(29)

(Gerald Miller & James Stiff, dalam Budyatna, 2011). Berangkat dari asumsi yang populer bahwa komunikasi nonverbal sulit untuk berpura-pura, Pat agaknya akan mengamati ekspresi wajah Anda dan mendengarkan nada suara Anda untuk memperkuat atau melemahkan jawaban Anda. Kebijakan umum memberikan pembenaran untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal bagi isyarat kebohongan. Apabila orang tidak mau menatap langsung ke mata Anda, kita berasumsi bahwa orang itu telah menyembunyikan sesuatu. Kita juga cenderung percaya bahwa tertawa dengan gugup dan berbicara tergesa-gesa mencerminkan rasa takut ketahuan dalam berbohong.

Meskipun pemikiran seperti ini merupakan hal yang umum dan wajar, sejumlah besar penelitian mengenai kebohongan menunjukkan bahwa isyarat nonverbal khusus ini bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya mengenai kebohongan (Miron Zuckerman & Robert Driver, dalam Budyatna, 2011). Orang tertawanya tertekan atau tertawa kecil, orang yang bicaranya tergesa-gesa berusaha menghindar dari kontak mata seperti halnya akan menceritakan kebenaran seperti seseorang yang menampilkan isyarat-isyarat yang diterima umum mengenai kesungguhan atau ketulusan hati. Ketika diadakan pengujian di laboratorium jarang orang yang mencapai lebih dari 60% ketepatan dalam kemampuannya menangkap kebohongan, sedangkan hanya secara kebetulan 50% tingkat pendeteksian adalah umum. Jadi, agaknya bahwa Pat tidak akan pernah tahu secara pasti apa yang Anda lakukan dan bagaimana perasaan Anda pada malam minggu itu (E.M. Griffin, dalam Budyatna, 2011).

Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi


(30)

mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai hasilnya. Di dalamnya mereka melakukan pendekatan terhadap masalah secara relasional, mempertimbangkan saling pertukaran mengenai kebohongan dari perspektif diadik dan dialogik daripada perspektif monodik dan monologik. Mereka mengakui sifat kerja sama mengenai episode kebohongan, seperti tindakan-tindakan komunikasi dari mereka yang berinteraksi bukan hanya proses-proses psikologi mereka, merupakan prasyarat bagi perilaku dan interpretasi. Sebagai tambahan, persyaratan kognitif dan perilaku khusus yang menyertai partisipasi aktif ikut diperhitungkan pula. Singkatnya, Buller dan Burgoon menggabungkan prinsip-prinsip kebohongan dengan prinsip-prinsip komunikasi antarpribadi.

Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan antarpribadi atau interpersonal deception theory (IDT) masih dalam tahap-tahap perkembangan (Buller & Burgoon, Burgoon, Burgoon & Buller, dalam Budyatna, 2011). Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan. Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan, kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan.

Kebohongan atau deception didefenisikan sebagai pesan yang secara sadar disampaikan oleh pengirim atau sender untuk membantu mengembangkan keyakinan atau kesimpulan yang salah oleh penerima (Ekman and Knapp & Comadena, dalam Budyatna, 2011). Lebih spesifiknya kebohongan terjadi apabila para komunikator mengendalikan informasi berisikan pesan-pesan mereka untuk menyampaikan sebuah makna yang menyimpang dari kebenaran sebagaimana mereka mengetahui atau menyadarinya. Ini berarti menyampingkan kesalahan atau kebohongan yang tidak dimaksudkan. Mitra penerima mengenai kebohongan yaitu pengirim dirasakan sebagai berbohong atau mencurigakan. Kecurigaan atau


(31)

sebagai bermuka dua. Kecurigaan terletak di antara kebenaran dan kebohongan, yakni penerima yang curiga tidak merasa pasti apakah pengirim pesan menceritakan hal yang benar atau bohong. Sebagaimana pendekatan para penerima apakah ekstrem mengenai kepastian, ketidakpastian memberi jalan bagi kepastian yang baik dan kecurigaan menjadi berubah ke dalam keyakinan yang mantap tentang kebenaran pengirim, yaitu, penerima “tahu” pengirim adalah jujur atau bohong.

II.3 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka berpikir (framework of thinking) sama dengan kerangka teoritis (theoritical framework). Menurut Uma Sekaran dalam bukunya yang berjudul Research Methods for Business (2000) mengatakan bahwa, kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali (diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan.

Kerangka berpikir akan menjelaskan secara teoritis antar variabel yang sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antar variabel bebas

(independent) dan variabel tak bebas (dependent) (Supranto, 2003 : 324).

Kerangka Pemikiran:

Teori Pelanggaran

Harapan

Teori Kebudayaan Komunikasi

Nonverbal Dosen

Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Kebohongan

persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal

dosen

bentuk-bentuk komunikasi nonverbal


(1)

kemungkinan pilihan yang ada bagi diri sendiri atau bagi pasangan dalam suatu hubungan. Penjelasan (explanation) merujuk kepada usaha untuk menginterpretasikan makna dari tindakan yang dilakukan di masa lalu dari sebuah hubungan. Dua konsep ini—prediksi dan penjelasan—menyusun dua subproses utama dari pengurangan ketidakpastian.

Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal (seperti nada suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan), pencarian informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal.

Melalui aksioma dan teoromanya, URT (Uncertainty Reduction Theory) mengemukakan sebuah pergerakan yang dinamis dari hubungan interpersonal pada tahap-tahap awalnya. Teori ini telah digambarkan sebagai contoh berteori secara orisinil dalam area komunikasi (Miller, 1981) karena teori ini memperlihatkan konsep-konsep (seperti pencarian informasi, pembukaan diri) yang secara khusus relevan terhadap mempelajari perilaku komunikasi (West dan Turner, 2009: 173-176)

Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma (axioms) atau kebenaran yang ditarik dari penelitian yang sebelumnya. URT mengemukakan adanya tujuh aksioma dan dua aksioma tambahan. Sedangkan dalam penelitian ini, aksioma yang berkaitan dengan topik penelitian adalah aksioma yang kedua, yaitu “Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.” (West dan Turner, 2009: 179)


(2)

II.2.5 Teori Kebohongan

David Buller dari AMC Cancer Research Center, Denver dan Judee Burgoon dari University of Arizona, telah melakukan lebih dari selusin percobaan dimana mereka meminta kepada partisipan untuk membohongi orang lain. Para peneliti ini menerangkan bahwa orang sering kali menemukan diri mereka dalam situasi dimana mereka membuat pernyataan yang kurang jujur guna menghindar dari melukai perasaan atau menyerang orang lain, untuk menampilkan kualitas terbaik mereka, untuk menghindar terlibat dalam suatu konflik, atau untuk mempercepat atau memperlambat suatu hubungan (David Buller et al., dalam Budyatna, 2011).

Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di bawah ini:

Anda telah berkencan dengan Pat selama hampir tiga tahun dan merasa sangat dekat dalam hubungan Anda tersebut. Pat kuliah di kota yang berbeda dan keduanya setuju untuk bisa berkencan dengan orang lain. Namun demikian, Pat orangnya sangat besar cemburunya dan suka menguasai. Selama kuliah Anda hanya mengunjungi Pat sekali-sekali tetapi saling menelepon setiap hari Minggu dan berbicara di telepon berjam-jam lamanya. Pada hari Jumat salah seorang teman Anda mengundang Anda untuk pergi ke pesta malam minggu, tetapi pesta itu mengisyaratkan harus dengan pasangan, makanya Anda perlu berkencan dengan wanita lain untuk diajak ke pesta. Tidak mungkin Pat bisa datang selama libur ke tempat Anda. Anda memutuskan untuk mengajak teman sekelas yang Anda juga tertarik padanya sehingga Anda bisa pergi ke pesta. Anda berdua pergi ke pesta dan sangat menikmati pesta itu. Pada Minggu sore, ada yang mengetuk pintu kamar Anda dan ternyata Pat. Ia masuk dan berkata “Saya memutuskan untuk datang dan mengejutkan kamu. Saya telah menelepon kamu tadi malam, tetapi HP kamu tidak aktif. Apa yang sedang kamu lakukan tadi malam?” (Steven McCornack, 1992).

Buller dan Burgoon membicarakan tiga tipe respon yang Anda akan berikan jika Anda memutuskan untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Pertama, Anda dapat berbohong: “Saya sedang di perpustakaan mempersiapkan


(3)

ujian teori komunikasi.” Kedua, Anda dapat menceritakan hanya sebagian kebenaran dengan membuang bagian-bagian yang penting: “Saya pergi ke pesta di apartemen seorang teman.” Ketiga, Anda bisa dengan sengaja memberikan jawaban yang samar-samar atau bersifat mengelak: “Saya lagi keluar sebentar.”

Menurut petunjuk pihak lain yang mempelajari kebohongan verbal, Buller dan Burgoon menamakan tiga strategi dengan label falsifikasi, dan dalih atau falsification, concealment and equivocation. Beda ketiganya ialah bahwa falsifikasi menciptakan khayalan, menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih mengelak atau menghindar dari masalah itu. Ketiganya itu berada dalam payung mengenai konsep kebohongan atau concept of deception, dimana Buller dan Burgoon mendefenisikan sebagai “sebuah pesan yang secara sadar disampaikan oleh si pengirim untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu pada diri penerima” (Buller and Burgoon, dalam Budyatna, 2011)

Granhag dan Stromwall (dalam Budyatna, 2011) membedakannya antara falsifikasi, distorsi dan penyembunyian atau falsification, distortions and concealments. Falsifikasi merupakan kebohongan total dimana segala sesuatu yang diceritakan merupakan kebalikan daripada keadaan yang sebenarnya. Distorsi berangkat dari kebenaran tetapi kurang lebih telah diubah agar sesuai dengan tujuan orang yang berbohong dan dalam kategori ini sering mendapat hal-hal yang berlebihan. Penyembunyian, dimana si pembohong mengatakan tidak tahu walaupun ia tahu atau ia mengatakan tidak ingat walaupun ia ingat, yakni ia dapat menyembunyikan kebenaran. Menurut kedua penulis ini apa yang dikemukakan di atas merupakan kebohongan yang serius dan bukan merupakan kebohongan sosial atau social lies atau dinamakan juga kebohongan yang putih atau white lies yang kebanyakan orang mengatakannya dalam kehidupan sehari-hari baik ditujukan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Misalnya, “Ah, bagus amat gaya rambut Anda,” “Hari ini Anda kelihatan cantik,” dan yang ditujukan kepada diri sendiri: “Saya tidak pernah berkhayal mengenai orang lain.”

Kembali kepada kasus Pat dengan kekasihnya. Apakah Pat dapat melihat kebohongan itu?. Teori kebohongan antarpribadi mengatakan tidak. Walaupun kebanyakan orang yakin mereka bisa melihat kebohongan itu, adalah sangat diragukan bahwa mitra romantis yang pencemburu merupakan kekecualian


(4)

(Gerald Miller & James Stiff, dalam Budyatna, 2011). Berangkat dari asumsi yang populer bahwa komunikasi nonverbal sulit untuk berpura-pura, Pat agaknya akan mengamati ekspresi wajah Anda dan mendengarkan nada suara Anda untuk memperkuat atau melemahkan jawaban Anda. Kebijakan umum memberikan pembenaran untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal bagi isyarat kebohongan. Apabila orang tidak mau menatap langsung ke mata Anda, kita berasumsi bahwa orang itu telah menyembunyikan sesuatu. Kita juga cenderung percaya bahwa tertawa dengan gugup dan berbicara tergesa-gesa mencerminkan rasa takut ketahuan dalam berbohong.

Meskipun pemikiran seperti ini merupakan hal yang umum dan wajar, sejumlah besar penelitian mengenai kebohongan menunjukkan bahwa isyarat nonverbal khusus ini bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya mengenai kebohongan (Miron Zuckerman & Robert Driver, dalam Budyatna, 2011). Orang tertawanya tertekan atau tertawa kecil, orang yang bicaranya tergesa-gesa berusaha menghindar dari kontak mata seperti halnya akan menceritakan kebenaran seperti seseorang yang menampilkan isyarat-isyarat yang diterima umum mengenai kesungguhan atau ketulusan hati. Ketika diadakan pengujian di laboratorium jarang orang yang mencapai lebih dari 60% ketepatan dalam kemampuannya menangkap kebohongan, sedangkan hanya secara kebetulan 50% tingkat pendeteksian adalah umum. Jadi, agaknya bahwa Pat tidak akan pernah tahu secara pasti apa yang Anda lakukan dan bagaimana perasaan Anda pada malam minggu itu (E.M. Griffin, dalam Budyatna, 2011).

Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi


(5)

mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai hasilnya. Di dalamnya mereka melakukan pendekatan terhadap masalah secara relasional, mempertimbangkan saling pertukaran mengenai kebohongan dari perspektif diadik dan dialogik daripada perspektif monodik dan monologik. Mereka mengakui sifat kerja sama mengenai episode kebohongan, seperti tindakan-tindakan komunikasi dari mereka yang berinteraksi bukan hanya proses-proses psikologi mereka, merupakan prasyarat bagi perilaku dan interpretasi. Sebagai tambahan, persyaratan kognitif dan perilaku khusus yang menyertai partisipasi aktif ikut diperhitungkan pula. Singkatnya, Buller dan Burgoon menggabungkan prinsip-prinsip kebohongan dengan prinsip-prinsip komunikasi antarpribadi.

Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan antarpribadi atau interpersonal deception theory (IDT) masih dalam tahap-tahap perkembangan (Buller & Burgoon, Burgoon, Burgoon & Buller, dalam Budyatna, 2011). Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan. Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan, kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan.

Kebohongan atau deception didefenisikan sebagai pesan yang secara sadar disampaikan oleh pengirim atau sender untuk membantu mengembangkan keyakinan atau kesimpulan yang salah oleh penerima (Ekman and Knapp & Comadena, dalam Budyatna, 2011). Lebih spesifiknya kebohongan terjadi apabila para komunikator mengendalikan informasi berisikan pesan-pesan mereka untuk menyampaikan sebuah makna yang menyimpang dari kebenaran sebagaimana mereka mengetahui atau menyadarinya. Ini berarti menyampingkan kesalahan atau kebohongan yang tidak dimaksudkan. Mitra penerima mengenai kebohongan yaitu pengirim dirasakan sebagai berbohong atau mencurigakan. Kecurigaan atau suspicion mengacu kepada keyakinan yang dianut tanpa bukti yang cukup untuk menjamin kepastian, bahwa ucapan atau tindakan seseorang dapat ditandai


(6)

sebagai bermuka dua. Kecurigaan terletak di antara kebenaran dan kebohongan, yakni penerima yang curiga tidak merasa pasti apakah pengirim pesan menceritakan hal yang benar atau bohong. Sebagaimana pendekatan para penerima apakah ekstrem mengenai kepastian, ketidakpastian memberi jalan bagi kepastian yang baik dan kecurigaan menjadi berubah ke dalam keyakinan yang mantap tentang kebenaran pengirim, yaitu, penerima “tahu” pengirim adalah jujur atau bohong.

II.3 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka berpikir (framework of thinking) sama dengan kerangka teoritis (theoritical framework). Menurut Uma Sekaran dalam bukunya yang berjudul Research Methods for Business (2000) mengatakan bahwa, kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali (diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan.

Kerangka berpikir akan menjelaskan secara teoritis antar variabel yang sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antar variabel bebas (independent) dan variabel tak bebas (dependent) (Supranto, 2003 : 324).

Kerangka Pemikiran:

Teori Pelanggaran

Harapan

Teori Kebudayaan Komunikasi

Nonverbal Dosen

Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Kebohongan

persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal

dosen

bentuk-bentuk komunikasi nonverbal