Pengembangan Produk Bakso Kedelai (Soyballs) dengan Penambahan Gluten Serta Pati Dari Ubi Kayu, Ubi Jalar, Jagung dan Kentang

TINJAUAN PUSTAKA

Bakso
Bakso merupakan salah satu produk olahan hasil ternak yang bergizi tinggi dan
banyak digemari masyarakat. Produk olahan bakso pada umumnya menggunakan bahan
baku daging dan tepung. Daging yang biasanya dipakai adalah sapi, ayam dan ikan
sedangkan tepung yang biasanya dipakai yaitu tepung tapioka. Penggunaan daging selain
ketiga sumber tersebut, dapat memunculkan suatu peluang usaha yang besar. Bahan
pengganti protein yang digunakan dalam pengembangan varian bakso dapat berasal dari
kelompok serealia (Kusnadi, dkk., 2011).
Penambahan tepung sebagai filler bakso berguna untuk memperbaiki tekstur,
meningkatkan daya ikat air, menurunkan penyusutan akibat pemasakan dan
meningkatkan elastisitas produk. Umumnya tepung yang digunakan adalah tapioka, tetapi
bisa digantikan dengan tepung lain seperti tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar memiliki
kelebihan yaitu sebagai sumber karbohidrat, serat pangan, betakaroten dan memiliki
kandungan gula yang cukup tinggi sehingga dalam pembuatan produk olahan berbahan
tepung ubi jalar dapat mengurangi penggunaan gula sebanyak 20% (Montolalu, dkk.,
2013).
Bakso dibuat dari pembentukan adonan yang dibentuk menjadi bulat-bulat,
dilakukan dengan menggunakan tangan atau mesin pencetak bola bakso. Jika
menggunakan tangan caranya sangat sederhana hanya dengan menggenggam adonan lalu

diremas-remas dan ditekan ke arah ibu jari (Wibowo, 2006). Menurut Standar Nasional
Indonesia (1995), bakso disyaratkan memiliki kadar protein minimal 9%, kadar lemak
maksimal 2%, kadar air maksimal 70%, dan kadar abu maksimal 3%.

Universitas Sumatera Utara

Kriteria mutu bakso dapat dilihat pada Tabel 1. Kualitas bakso dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti bahan pengisi, kadar air, lemak, dan protein bakso (Lukman,
1995). Pandisurya (1983) menyatakan bahwa kadar air bakso dipengaruhi oleh
pengikatan antara gugus aktif pada protein dengan gugus aktif yang ada di dalam pati,
yang dapat mengakibatkan air tidak dapat diikat oleh protein dan pati sehingga akan
keluar pada saat pemanasan dan menyebabkan rendahnya kadar air bakso. Kadar protein
bakso dipengaruhi oleh protein berbentuk globular di dalam bakso. Winarno (2008)
menyatakan bahwa protein berbentuk globular lebih mudah untuk terdenaturasi saat
proses pemanasan dibandingkan protein berbentuk fibriler.
Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso
Parameter
Kriteria Mutu
Penampakan
Bentuk bulat, halus, berukuran seragam, bersih dan

cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak berjamur
dan tidak berlendir.
Warna
Coklat muda, cerah atau sedikit agak kemerahan
atau coklat muda hingga coklat muda sedikit agak
keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata
tanpa warna lain yang mengganggu.
Aroma
Aroma khas daging rebus dominan, tanpa bau
masam, basi, busuk, aroma bumbu cukup tajam
Rasa
Rasa lezat, rasa daging dominan, tidak terdapat rasa
asin yang mengganggu.
Tekstur
Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat
atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek,
tidak basah berair dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo (1995)

Kedelai

Kedelai adalah sumber protein nabati bermutu tinggi karena kandungan protein
yang dimiliki kedelai sama lengkapnya seperti daging dengan sembilan asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk membangun dan memperbaiki sel-sel tubuh. Oleh karena
itu kedelai dijadikan alternatif protein yang baik untuk makanan pengganti daging.

Universitas Sumatera Utara

Kedelai juga berkhasiat memperlancar saluran pencernaan. Kandungan serat

yang

terdapat pada kedelai (terutama pada bagian kulit) sangat tinggi (Femina, 2008).
Produk-produk olahan kedelai pada sistem pangan memiliki karakteristik
fungsional tertentu yaitu kemampuan membentuk emulsi dan krim, mempengaruhi
absorbsi lemak dan air, memperbaiki tekstur, kohesi dan karakteristik lainnya yang
berhubungan dengan kandungan protein dan lesitin yang terdapat pada kedelai (Plahar,
dkk., 1977). Pada proses pembuatan bakso, daging merupakan penyedia lipoprotein yang
berperan dalam proses pembentukan emulsi (Winarno, 2008). Mekanisme terjadinya
emulsi pada pembuatan bakso melalui pembentukan matriks antara partikel dan air yang
menyelubungi globula-globula lemak. Air bertindak sebagai fase terdispersi dan

lipoprotein bertindak sebagai pengemulsi. Sumber lipoprotein dalam pembuatan bakso
dapat digantikan oleh protein kedelai, gluten, konsentrat serta isolat protein kedelai yang
terlebih dahulu diproses menjadi protein pekar yaitu tepung dari kedelai yang terbuat dari
konsentrat protein kedelai dan protein pintal yaitu protein yang terbuat dari isolat protein
kedelai (Koswara, 1995).
Komposisi kimia kedelai dalam bentuk biji kering dapat dilihat pada Tabel 2.
Kandungan proteinnya yang tinggi membuat kedelai bisa dijadikan makanan alternatif
pengganti daging karena harganya yang murah. Kedelai dapat diolah menjadi berbagai
bentuk sehingga dihasilkannya produk-produk yang umum kita jumpa di pasaran yaitu
seperti tepung kedelai, susu kedelai, tahu, tempe, bungkil kedelai, minyak kedelai dan
protein nabati bertekstur (Healthy-safe, 2013).
Konsumsi kedelai sebagai alternatif protein hewani juga memiliki keuntungan jika
dilihat dari interaksi antara protein dan kalsium. Kedelai rendah akan kandungan asam
amino bersulfur dan asam amino bersulfur dapat menyebabkan resorpsi kalsium oleh

Universitas Sumatera Utara

ginjal sehingga terjadi kehilangan kalsium yang meningkat di dalam urin. Protein hewani
mempunyai kandungan phosfor dan phosfat yang tinggi yang menyebabkan kehilangan
kalsium dari tubuh. Oleh karena itu, diversifikasi pangan dengan protein yang bersumber

dari nabati dapat mengurangi kehilangan tersebut (Koswara, 2006).
Tabel 2. Komposisi kimia kedelai kering per 100 g
Komposisi

Jumlah

Kalori (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Air (g)

331,0
34,9
18,1

34,8
227,0
585,0
8,0
110,0
1,1
7,5

Sumber : Koswara (1995)

Kedelai juga mampu berperan menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) dan
dapat mencegah resiko terkenanya penyakit jantung (Suryanto, 2011). Bagi kalangan
vegetarian protein yang sehat dapat diperoleh dari berbagai protein tanaman yang kaya
akan asam amino yang lengkap misalnya kedelai (Prmob, 2011).

Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan hasil samping yang diperoleh dari proses pembuatan tahu
kedelai. Kandungan protein dan lemak pada ampas tahu masih tinggi sehingga
memungkinkan ampas tahu dapat diolah menjadi bahan makanan yang bervariasi
(Almatsier, 2001). Pemanfaatan ampas tahu tersebut akan memberikan peluang usaha

yang besar dengan dihasilkannya produk baru yang belum umum (jarang) dijumpai oleh
masyarakat. Pemanfaatan ampas tahu ini diharapkan mampu menurunkan biaya produksi
di dalam pembuatan produk pangan (Suhardjo, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Ampas ini biasanya dimanfaatkan untuk pakan ternak dan sebagian lainnya
digunakan oleh beberapa masyarakat perdesaan untuk diolah menjadi bahan pembuat
tempe gembus. Kandungan protein dan lemak pada ampas tahu masih cukup tinggi
seperti dapat dilihat pada Tabel 3, sehingga sangat memungkinkan ampas tahu diolah
menjadi bahan makanan yang beragam variasinya (Suhardjo, 1989).
Tabel 3. Perbandingan gizi pada tahu dan ampas tahu per 100 g bahan
Unsur Gizi
Kedelai Basah
Tahu
Ampas Tahu
1 Energi (kal)
382
79
393

2 Air (g)
20
84,8
4,9
3 Protein (g)
30,2
7,8
17,4
4 Lemak (g)
15,6
4,6
5,9
5 Karbohidrat (g)
30,1
1,6
41,3
6 Mineral (g)
4,1
1,2
4,3

7 Kalsium (mg)
196
124
19
8 Fosfor (mg)
506
63
29
9 Zat besi (mg)
6,9
0,8
4
10 Vitamin A (mcg)
29
0
0
11 Vitamin B (mg)
0.93
0.06
0,2

Sumber: Departemen pertanian (2003)

Ampas tahu kaya akan protein (40% basis kering) dengan komposisi asam amino
yang lengkap dan mudah dicerna (Grizotto, 2010). Sepertiga dari kandungan isoflavon
yang terdapat pada kedelai utuh masih terdapat pada ampas tahu sehingga ampas tahu
dapat dijadikan sebagai sumber protein yang murah (Bowles dan Demiate, 2006; Jackson,
2001). Komponen kedelai lainnya yang masih terdapat pada ampas tahu adalah lignin,
fitosterol, kumestan, saponin dan fitat. Ampas tahu atau okara banyak digunakan sebagai
pengganti terigu, tepung ubi kayu, tepung jagung dan tepung kedelai pada pengolahan
pangan (Bowles dan Demiate, 2006; Grizotto, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gluten
Gluten merupakan campuran bentuk yang tidak beraturan dari protein yang secara
alami ada di dalam beberapa serealia atau biji-bijian. Kandungan gluten dapat mencapai
90% dari total protein dalam tepung terigu. Terdapat dua jenis protein yang merangkai
gluten, yakni gliadin dan glutein. Makanan yang mengandung gluten kebanyakan adalah
makanan yang berbahan dasar gandum. Gluten membuat adonan kenyal dan dapat
mengembang karena bersifat kedap udara. Gluten juga dapat digunakan untuk membuat

daging tiruan (Natasasmita dkk., 1987).
Terigu berprotein rendah seperti kunci biru mempunyai kadar protein 8 – 9%,
dengan sifat gluten yang kurang baik dan cocok untuk membuat kue, biskuit dan kue-kue
kering yang tidak menghendaki terbentuknya gluten. Terigu dengan protein sedang
seperti segitiga biru berkadar protein 10 – 11%, dihasilkan dari penggilingan campuran
gandum soft dan hard dan mempunyai sifat gluten sedang. Tepung dengan protein yang
tinggi seperti cakra kembar memiliki kadar protein 11 – 13%, dihasilkan dari
penggilingan 100% gandum hard, mempunyai sifat gluten yang ulet dan kuat yang cocok
untuk pembuatan roti beragi (Arpah, 1993).
Gluten memiliki sifat penting ketika ditambah air dan dengan adanya gaya
mekanis akan membentuk adonan elastis yang disebabkan oleh ikatan antar molekul
protein. Ikatan tiga dimensi akan menghasilkan adonan yang kuat. Semakin lama adonan
diaduk, semakin banyak ikatan yang terbentuk sehingga strukturnya semakin kuat.
Karakter dari adonan tergantung dari jenis tepung yang digunakan. Tepung rendah
protein mengandung gluten yang rendah dan lapisannya mudah sobek (Potter dan
Hotchkiss, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Jika gluten ditarik maka akan terentang tetapi cenderung untuk kembali ke bentuk
semula jika gayanya tidak ada lagi. Ini disebabkan karena molekul-molekul gluten
membentuk gulungan sehingga bersifat seperti pegas. Molekul-molekul gluten ini dapat
terentang tetapi akan kembali ke posisi semula karena adanya ikatan-ikatan silang pada
rantaian protein (Gaman dan Sherrington, 1994). Proses pemisahan pati dan gluten yang
utama digunakan adalah proses Martin yang dalam arti luas meliputi penyiapan adonan
air tepung dan mencuci pati dari adonan supaya hanya gluten yang seperti karet yang
tertinggal (Buckle, dkk., 2009).

Ubi Kayu (Manihot esculenta)
Ubi kayu/singkong (Manihot esculenta) merupakan sejenis tanaman umbi-umbian
yang mengandung karbohidrat tinggi dengan kadar amilosa yang rendah dan amilopektin
yang tinggi sehingga dapat dijadikan bahan makanan sumber karbohidrat sebagai
pengganti beras. Pemanfaatan ubi kayu sebagian besar diolah menjadi produk
setengah jadi berupa pati (tapioka) (Rismayani, 2007). Tapioka mengandung karbohidrat
86,55%, tapioka terdiri dari dua fraksi terlarut amilosa dan fraksi tidak larut amilopektin yang
menyebabkan tapioka lekat saat dipanaskan (Usmiati, 2009, dan Winarno, 2008).

Umbi ubi kayu mengandung banyak karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai
tepung umbi, tepung komposit dan pati. Adapun komposisi kimia dari tepung tapioka
dapat dilihat pada Tabel 4. Pemanfaatan pati dari berbagai umbian masih terbatas akibat
dari kurangnya informasi sifat fisikokimia dan teknologi proses. Tepung umbi merupakan
bentuk kecil dari hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan.
Perbedaan dari tepung dengan pati terletak pada adanya proses ekstraksi dengan cara
pengepresan (Ratnaningsih, dkk., 2010).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Komposisi kimia tapioka per 100 gram
Kandungan Gizi
Air
Abu
Lemak
Protein
Pati

Jumlah (Gram)
11,30
0,33
1,54
0,60
84,9

Sumber : Rickard dkk. (1992)

Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot
esculenta) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tapioka mengandung 17%
amilosa dan 83% amilopektin (Makfoeld, 1982). Tapioka adalah pati yang dibuat dari
umbi singkong segar yang kemudian dikeringkan serta dihaluskan. Tapioka dibuat secara
langsung dari singkong yang masih segar. Tepung ini biasanya berwarna putih agak
kekuning-kuningan dan mempunyai tekstur yang licin dan dengan suhu gelatinisasi 5264oC (Suprapti, 2005). Tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengisi dalam
pembuatan bakso. Tapioka dapat mengabsorpsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat
semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Ockerman, 1983).

Ubi Jalar (Ipomea batatas)
Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak
terdapat di Indonesia. Ubi jalar memiliki potensi yang sangat besar yang dapat
didiversifikasi pangan yang berbasiskan pada produk tepung dan pati. Pati ubi jalar belum
banyak dimanfaatkan di Indonesia seperti pati ubi kayu, jagung dan garut. Ubi jalar
memiliki empat varietas yang berbeda warna daging umbinya, yaitu Sukun (putih), Sari
(krem), Pakhong (kuning muda), dan Ayamurasaki (ungu tua)

(Honestin, 2007).

Kandungan karbohidrat yang dimiliki oleh tepung ubi jalar berbeda-beda disebabkan oleh
jenis ubi jalar yang berbeda serta penanganan panen yang dilakukan (Widjanarko, 2008).
Ubi jalar juga dibedakan berdasarkan warna dari kulit, warna daging, bentuk daun, dan

Universitas Sumatera Utara

warna batang. Selain itu tepung ubi jalar yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh varietas
dan umur panen ubi jalar (Kurnia, 2008). Komponen gizi ubi jalar dapat dilihat pada
Tabel 5.
Perbedaan jenis ubi jalar tidak memberikan perbedaan terhadap suhu gelatinisasi
dan kapasitas penyerapan air yang signifikan, namun umumnya suhu gelatinisasipati ubi
jalar lebih rendah dibandingkan dengan tepungnya. Viskositas puncak tepung ubi jalar
lebih rendah dibandingkan patinya, namun kisaran suhu gelatinisasi tepung lebih tinggi
karena dipengaruhi oleh granula-granula yang membengkak dan adanya partikel lain
(misalnya protein pada permukaan granula) pada tepung (Honestin, 2007).
Tabel 5. Komposisi kimia pati ubi jalar per 100 gram bahan
Kandungan Gizi
Pati (%)
Air (%)
Serat (%)
Abu (%)
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Rendemen (%)
Suhu gelatinisasi (oC)
Viskositas (dPa.S)
Derajat Keputihan (%)

Jumlah (Gram)
90
6,57-8,70
0,17-0,49
0,09-0,30
30,70-35,73
51,79-58,74
9,93-17,17
73,67-80,40
94,50-115,25
76,99-80,41

Sumber : Safalina (2004)

Sebagian besar karbohidrat pada ubi jalar merupakan dalam bentuk pati.
Komponen lain yang terkandung adalah serat pangan dan beberapa jenis gula yang
bersifat larut seperti maltosa, sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Ubi jalar banyak
mengandung sukrosa. Total gula dalam ubi jalar berkisar antara 5,64% hingga

38%

(bb). Kandungan gula pada ubi jalar yang sudah dimasak dapat meningkat jika
dibandingkan dengan ubi jalar segar (Sulistiyo, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Jagung (Zea mays L.)
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,
selain gandum dan padi. Penduduk beberapa daerah di Indonesia seperti Madura dan
Nusa Tenggara menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Selain mengandung
karbohidrat, banyak senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan terkandung
didalamnya, antara lain protein, lemak, kalsium (Ca), fosfor (P), vitamin, dan senyawa
lainnya (Munarso dan Mudjisihono, 1993).
Pati jagung dapat diperoleh dengan mengekstrak dari biji jagung dengan cara
penggilingan biji, pemisahan kulit, perendaman endapan dengan menggunakan natrium
metabisulfit, dilakukan pencucian dengan natrium hidroksida dan air, lalu dilakukan
pengeringan dan pengayakan (Alam dan Nurhaeni, 2008). Biji jagung mengandung 54,171,7% komponen pati dengan kandungan gulanya 2,6-12,0%. Karbohidrat jagung
sebagian besar merupakan komponen pati, sedangkan komponen lainnya adalah berupa
pentosan, serat kasar, dekstrin, sukrosa, dan gula pereduksi. Pati jagung mempunyai
ukuran granula yang cukup besar dan tidak homogen yaitu 1-7µm untuk yang kecil dan
15-20 µm untuk yang besar (Richana dan Suarni, 2010).
Pati jagung normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis
pulut mengandung 95-99% amilopektin, sedangkan amilomaize hanya mengandung 20%
amilopektin dan 80% amilosa (Richana dan Suarni, 2010). Pati jagung dapat digunakan
sebagai bahan pengisi (filler) karena sifat-sifat gelatinisasi yang menyebakan adonan
kokoh dan padat pada saat pencampuran. Pati jagung dapat dicampur dengan komoditi
yang lain secara mudah dan dapat bertindak sebagai subtituen tepung lain seperti tepung
terigu maupun untuk memperbaiki nilai gizi dan mutu produk. Komposisi kimia jagung
dapat dilihat pada Tabel 6.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 6. Komposisi kimia pati jagung per 100 gram bahan
Komponen Gizi
Jumlah (Gram)
Kalori (kkal)
90
Air (g)
24
Karbohidrat (g)
19
Gula (g)
3,2
Protein (g)
3,2
Serat (g)
2,7
Lemak (g)
1,2
Sumber: Suarni, dkk., (2005).

Kentang (Solanum tuberosum L.)
Secara umum kentang terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan warna umbinya,
yaitu kentang kuning, kentang putih, dan kentang merah. Sebagai bahan makanan,
kentang banyak

mengandung

karbohidrat,

sumber

mineral (fosfor,

besi, dan

kalium), mengandung vitamin B, vitamin C dan sedikit vitamin A sehingga sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan penggunaannya (Soelarso, 1997). Kandungan gizi
kentang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi kimia pati kentang per 100 gram bahan
Senyawa
Komposisi
Pati (%)
79,60
Amilosa (%)
21
Amilopektin (%)
79
o
Suhu gelatinisasi ( C)
60-65
2
Viskositas maksimum (BU)
3000
o
Swelling Power (%) pada 95 C
1153
Nitrogen (%)
0,69
Air (%)
19,22
Serat (%)
0,32
Rendemen (%)
3,61
Sumber : Bailliere, dkk., (1952)

Pati kentang diperoleh dari ekstraksi kentang, kentang dilumatkaan sehingga
butiran pati yang terlepas dari sel-sel. Pati kentang mengadung komponen kimia dalam
jumlah yang sedikit. Pati kentang memiliki kekuatan mengikat air yang tinggi sehingga
dihasilkannya tekstur produk yang baik. Pati merupakan sumber karbohidrat yang

Universitas Sumatera Utara

terdapat pada tumbu-tumbuhan yang digunakan sebagai persediaan makanan yang
dijumpai di dalam beras, kentang, ubi jalar, dan batang sagu. Pati merupakan butir atau
granul yang berwarna putih mengkilap tidak berbau, tidak berasa, umumnya memiliki
bentuk dan ukuran yang beraneka ragam tetapi pada umumnya berbentuk bola atau elips
(Whistler, dkk., 1984).
Pati kentang berbentuk oval dan sangat besar, berukuran rata-rata 30-50 µm.
Ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Semakin kecil
ukuran granula pati, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil. Pada struktur granula
pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam
suatu granula kurang lebih berjumlah 16, dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan
sebagian berbentuk lapisan semikristal. Gelatinisasi pati dihubungkan dengan ikatan
hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan
menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang
masuk

selanjutnya

membentuk

ikatan

hidrogen

dengan

amilosa

dan

amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan
granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya
granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan
amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan
granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu
dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati
menyebabkan perubahan viskositas larutan pati (Collison, 1968).

Universitas Sumatera Utara

Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dan disusun
oleh unit D-glukopiranosa, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian
dan umbi-umbian. Pati ini sendiri tidak memiliki sifat yang sama antara satu dengan yang
lainnya tergantung dari panjang rantai karbonnya, lurus atau bercabang (Jane, 1995;
Koswara, 2006; Winarno, 2008). Bentuk pati ini sendiri berupa butiran-butiran kecil yang
biasa disebut sebagai granula pati. Bentuk dari granula pun bermacam-macam tergantung
jenis pati. Pati tersusun dari tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan
material antara seperti, protein dan lemak. Umumnya pati mengandung 15–30% amilosa,
70–85% amilopektin dan 5–10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap
sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Amilosa
merupakan fraksi yang larut dalam air sedangkan amilopektin tidak larut dalam air.
Amilosa memiliki struktrur lurus yang dominan dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa,
sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Greenwood
dan Munro, 1979; Winarno 2008).
Posisi dari amilosa dan amilopektin berada di dalam suatu cincin dengan jumlah
16 buah pada suatu granula pati. Cincin-cincin granula pati tersebut terdiri dari beberapa
lapisan-lapisan yang disebut lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Hustiany,
2006). Struktur molekul amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1.
Granula pati ketika dipanaskan akan mengalami pengembangan yang bersifat
tidak dapat kembali ke bentuknya semula yang disebut dengan gelatinisasi. Gelatinisasi
ini terjadi karena hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum yang akan tercapai pada
titik suhu tertentu. Ikatan-ikatan granula yang bervariasi pada pati merupakan faktor yang

Universitas Sumatera Utara

menentukan besarnya suhu untuk mencapai gelatinisasi. Dalam hal ini kisaran suhu
gelatinasi tapioka 68-92oC (Swinkels, 1985; Smith, 1982).

Gambar 1. Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004)
Sifat-sifat fisik dan kimia pati berbeda-beda bergantung dari bahan dasarnya. Dari
perbedaan tersebut menentukan kesesuaian penggunaannya di dalam pengolahannya
pangan dan non-pangan (Widodo, 2005). Sifat fungsional pati yang penting adalah
kemampuan mengentalkan dan membentuk gel. Sifat pengental pati

ditunjukkan

dengan kemampuan pati mencapai viskositas tinggi, yang mampu dibentuk oleh pati
selama pemanasan (Swinkels, 1985). Sifat fisik dari granula pati dapat dilihat pada Tabel
8. Sifat granula dan gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung dari asalnya. Sifat granula
dan gelatinisasi pati dapat dilihat pada Tabel 9 dan

Tabel 10.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 8. Karakteristik granula pati.
Sumber
Tapioka
Ubi jalar
Jagung
Kentang

Diameter
Kisaran (µm)
6-36
15-55
21-96
15-100

Rata-rata (µm)
20
25-50
15
33

Sumber : Fennema (1985)

Tabel 9. Sifat granula beberapa jenis pati
Pati
Tipe
Diameter
Tapioka
Umbi-umbian
33 µm
Ubi Jalar
Umbi-umbian
40 µm
Jagung
Biji-bijian
15 µm
Kentang
Umbi-umbian
33 µm

Bentuk
Oval, kerucut potong
Bulat, oval
Melingkar, poligonal
Oval, bulat

Sumber : Beynum dan Roels (1985)

Tabel 10. Karakteristik gelatinisasi beberapa jenis pati
Suhu
Suhu
“Peak”
Daya
Pati
gelatinisasi
pemastaan viskositas pembengkakan
koffer (0C)
Brabender Brabender
pada 950C
0
( C)
(BU)
(BU)
Tapioka
59-64-69
65-70
1200
71
Ubi jalar
*78,8
*75-90
*1815
*90
Jagung
62-67-72
75-80
700
24
Kentang
58-63-68
60-65
3000
1153

Daya serap
air (g/g)

1,38-2,45
*1,5-2,5
1,57-2,65
1,25-2,36

Sumber : Beynum dan Roels (1985); *Antarlina dan Utomo (1999)

Pati dapat memberikan tekstur, kekentalan dan meningkatkan palatabilitas dari
berbagai makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah untuk perekat dan sebagai
bahan baku untuk pembuatan sirup glukosa dan kristal glukosa. Perubahan kimiawi dari
pati ini dapat menambah kestabilan terhadap keadaan pH yang ekstrim dan pemanasan,
kestabilan dari bentuk sol dan gel dari siklus cair-beku, kepekatan dalam media bergula
dan kemampuan bergabung dengan bahan makanan yang lain (Buckle, dkk., 2009).

Tepung Komposit
Usaha untuk mengurangi konsumsi daging dapat dilakukan dengan mencari bahan
pengganti daging dari bahan baku lain, juga dengan mengusahakan tepung lain sebagai
tepung campuran (tepung komposit), yaitu suatu bentuk campuran antara tepung dengan

Universitas Sumatera Utara

beberapa jenis tepung dari bahan lain. Tepung komposit terbuat dari bahan sumber
karbohidrat (serelia dan umbi-umbian). Tepung campuran (composite flour) yakni tepung
campuran dari beberapa jenis tepung (substitusi) untuk dihasilkannya produk dengan sifat
fungsional yang serupa dengan bahan dasar produk sebelumnya. Dalam hal ini upaya
untuk menekan ketergantungan dari bahan baku sebelumnya (Khudori, 2008).
Kandungan asam lemak jenuh yang terdapat pada daging sebagai bahan baku
bakso dapat berpotensi meningkatkan kolesterol di dalam tubuh, salah satu upayanya
yaitu dengan mengganti bahan baku bakso dengan campuran tepung (composite flour).
Protein yang terdapat pada kedelai memiliki nilai protein efiiensi rasio (PER) yang dapat
disejajarkan dengan protein hewani. Penggunaan produk-produk olahan kedelai baik
dalam bentuk tepung kedelai, sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumen terutama
dari kalangan vegetarian dan konsumen yang membatasi kolesterol dalam dietnya
(Vegetarian, 2007).
Setiap tepung mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat beragam. Ini
dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia patinya. Sifat-sifat ini juga akan mempengaruhi
produk makanan yang dihasilkan, mencampur atau mengkombinasikan satu macam
tepung dengan tepung lain diharapkan akan menghasilkan produk makanan dengan mutu
yang baik, ditinjau dari komposisi maupun penampilan produknya

(Haryadi, 1989).

Bahan Tambahan Dalam Pembuatan Bakso
Bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam,
gula yang berfungsi memperbaiki citarasa, melarutkan protein, dan sebagai bahan
pengawet bagi makanan. Penambahan garam 2-3% mampu memperbaiki tekstur, warna,
dan rasa (Widyaningsih dan Murtiningsih, 2006). Garam berperan dalam menentukan
rasa dan kegurihan dari bakso (Surjana, 2001). Penambahan konsentrasi garam yang

Universitas Sumatera Utara

digunakan dapat meningkatkan daya mengikat air pada bakso. Daya mengikat air dapat
mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan. Daging dengan daya mengikat air tinggi
menyebabkan rendemen tinggi dan tekstur bakso menjadi baik. Sebaliknya daging
dengan daya mengikat air rendah akan menghasilkan rendemen rendah dan teksturnya
kurang baik (Sunarlim, 1992). Ockerman (1983) juga menyatakan bahwa peningkatan
daya mengikat air pada adonan bakso dipengaruhi dengan semakin banyaknya garam
yang digunakan. Hal ini disebabkan karena garam dapat memperluas ruang antar filamen
dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan diameter miofibril.
Gula merupakan istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang
digunakan sebagi pemanis serta penggunaannya dengan konsentrasi yang kecil 2-3%
mampu mempertahankan citarasa dari makanan. Penambahan sukrosa berguna untuk
memberikan rasa manis, mengawetkan, dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
dari bahan olahan karena mampu mengikat air yang terkandung pada bahan pangan
sehingga mempunyai sifat sebagai pengawet dan memberikan rasa manis pada bahan
pangan (Buckle, dkk., 2009).
Penambahan bumbu dalam pembuatan bakso berfungsi untuk memperbaiki
citarasa, aroma dan sebagai bahan pengawet terhadap makanan. Penggunaan bumbu yang
tepat dan benar pada suatu masakan akan menghasilkan makanan yang baik dan enak
(Tarwotjo, 1998). Bakso akan terasa lebih lezat apabila dalam pembuatannya dilakukan
pemberian bumbu yang sesuai, adapun bumbu tersebut harus tercampur secara merata
dan menyatu dengan adonan (Suprapti, 2003). Macam-macam bumbu yang banyak
digunakan untuk memasak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bumbu segar atau
bumbu basah dan bumbu kering (Tarwotjo, 1998). Bumbu-bumbu dalam pembuaatan
bakso yaitu bawang merah, bawang putih dan merica atau lada.

Universitas Sumatera Utara

Penambahan es pada pembuatan bakso dapat meningkatkan rendemen, untuk itu
dapat digunakan es sebanyak 10-15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat
daging (Hudaya, 2008). Penggunaan es atau air es sangat penting didalam pembentukan
bakso, karena suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak
terdenaturasi akibat gesekan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik.
Penggunaan es juga berfungsi menambahkan kandungan air ke dalam adonan sehingga
adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan
(Widyaningsih dan Murtiningsih, 2006).

Penelitian Sebelumnya
Pembuatan bakso dari gluten dan kedelai dengan proporsi gluten : tepung kedelai
70:30 serta penambahan wijen 15%, dihasilkan bakso yang memiliki kadar protein tinggi,
cita rasa dan tekstur yang mampu menghasilkan bakso yang dapat diterima oleh
konsumen (Rahmadani, 2011). Penelitian lain yang telah dilakukan adalah pengaruh
jumlah tepung campuran (tepung tapioka dan tepung kedelai) dan penambahan natrium
tripolyphosphate terhadap mutu bakso sapi dengan hasil terbaik yaitu dengan jumlah
tepung campuran 40% dan natrium tripolyphosphate 3,0%. Penggunaan tepung campuran
dan natrium tripolyphosphate pada pembuatan bakso memberikan hasil yang lebih baik
dan diterima oleh konsumen (Sihombing, 2007). Pembuatan bakso sintetis gluten dan
tempe dengan perbandingan 80:20 serta dengan penambahan tepung tapioka 10%
merupakan perlakuan terbaik, dihasilkan pengaruh nyata terhadap kadar air dan tekstur
bakso sintetis. Kadar air produk tersebut 60,41%, protein total 21,59%, protein terlarut
2,89%,

kadar

pati

15,44%,

kadar

serat

5,89%

dan

tekstur

0,28

mm/g.dt

(Jariah, dkk., 2011).

Universitas Sumatera Utara