Post traumatic growth pada wanita yang bercerai.

(1)

POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA YANG BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Risna Amalia B07213031

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

xi INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan post traumatic growth menuju perubahan yang positif pada wanita pasca perceraian. Selanjutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian. Partisipan pada penelitian ini terdapat 3 subjek yakni dengan karakteristik jenis kelamin perempuan, telah bercerai, usia dewasa awal (20-30 tahun) dan telah mengalami post traumatic growth. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berlandaskan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa hal yang menunjang gambaran post traumatic growth dan faktor-faktor yang mempengaruhi post traumatic growth yang meliputi pengolahan emosi yang baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan kemungkinan-kemungkinan baru. Kemudian terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada wanita yang bercerai. Faktor eksternal adalah dorongan dan motivasi kedua orang tua serta dukungan dari teman-teman terdekat sehingga memicu penguatan faktor internal yang meliputi, faktor peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial semakin baik.

Kata kunci : Wanita Dewasa Awal, Post Traumatic Growth, Bercerai


(7)

xii ABSTRAK

This study is to describe post traumatic growth toward positive change in women who are divorced. Furthermore, the factors that influence post traumatic growth lead to a positive life change in the women who are divorced. Participants in this study there are 3 subjects with female sex characteristics, have divorced, early adulthood (20-30 years) and have experienced post traumatic growth. The method used in this study is qualitative research method based on phenomenology. The result of the study indicate that there are several things that support to descripe post traumatic growth and the factors that influence post traumatic growth which includes positive emotional processing as well as motivation in the self of new possibilities. Then there are two main factors that affect the post traumatic growth aspect in women who are divorced. The external factors is the encouragement and motivation of both parents and support from friends closest to trigger the strengthening of internal factors that include, factors of increasing spirituality, inner strength and social relations the better.


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman Sampul

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

Intisari ... xi

Abstrak ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Post Traumatic Growth ... 18

1. Pengertian Post Traumatic Growth ... 18

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth ... 23

3. Aspek Post Traumatic Growth ... 25

4. Proses terjadinya Post Traumatic Growth ... 27

B. Tugas Perkembangan Fase Dewasa Perceraian ... 31

1. Pengertian Masa Dewasa ... 31

2. Ciri-ciri Manusia Masa Dewasa ... 34

C.Perceraian ... 40

1. Pengertian Perceraian ... 40

2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian ... 42

3. Akibat-akibat Perceraian ... 45

4. Penyesuaian Diri Pasca Perceraian ... 46

D.Post Traumatic Growth pada Wanita yang Bercerai ... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Sumber Data ... 54


(9)

viii

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 59

F. Keabsahan Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 63

B. Hasil Penelitian ... 74

1. Deskripsi Hasil Temuan ... 74

2. Analisis Temuan Penelitian ... 108

C. Pembahasan ... 115

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 126

B. Saran ... 127

Daftar Pustaka ... 130


(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam perkembangan hidup manusia selalu dimulai dari berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat tugas-tugas yang khas yang harus diselesaikan oleh individu untuk kemudian dilanjutkan ke tahapan berikutnya. Salah satu tahapan dimana individu memulai suatu babak baru dalam kehidupan adalah tahapan dewasa muda. Pada saat seseorang telah berhasil melalui masa remaja dan harus menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan kehidupan dewasa. Dalam kehidupan dewasa selalu dihadapkan pada suatu proses hidup dimana manusia dewasa harus melalui suatu pernikahan (dalam Hotmauli, 2008).

Pernikahan merupakan perpaduan insingtif manusiawi antara laki-laki dan perempuan dimana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani (menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan) tetapi dalam rangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi dengan rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan, karena memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Perlu disadari bahwa banyak pernikahan yang tidak membuahkan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan kondisi lainnya.


(11)

2

Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri dengan cara perpisahan dan pembatalan, baik secara hukum maupun diam-diam (suami/istri) meninggalkan (dalam Hotmauli, 2008).

Menurut Hurlock (1980) selama tahun pertama dan kedua perkawinan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian utama satu sama lain, terhadap anggota keluarga masing-masing dan teman-temannya. Sementara mereka sedang melakukan penyesuaian, sering timbul ketegangan emosional dan ini dipandang sebagai periode balai keluarga muda. Setelah mereka saling menyesuaikan satu sama lain, dengan anggota keluarga dan dengan kawan-kawan, mereka perlu menyesuaikan dengan kedudukan mereka sebagai orang tua. Hal ini bisa menambah problem penyesuaian terhadap penyesuaian yang sedang dilakukan.

Orang yang menikah selama usia tiga puluhan atau pada usia dewasa madya seringkali masih membutuhkan banyak waktu untuk penyesuaian dan hasilnya tidak sama puasnya seperti yang dilakukan pasangan yang menikah pada usia dewasa awal. Akan tetapi juga mereka yang menikah pada usia dua puluhan atau dewasa awal cenderung untuk lebih buruk dalam menyesuaikan diri, sebagaimana nampak dalam tingginya tingkat perceraian diantara orang yang menikah pada usia tersebut. Periode usia menikah 1-5 tahun adalah periode dimana fondasi pernikahan sesungguhnya belum cukup kuat. Suami istri dituntut sanggup menyesuaikan diri dengan pasangannya, mertua, saudara ipar, kerabat, dan pekerjaan atau karier. Bila mereka sukses dalam saling menyesuaikan diri akan menjadi keluarga yang semakin kokoh. Namun bila mereka gagal


(12)

untuk menyesuaikan diri hal itu akan menyebabkan problema semakin meruncing dan tidak terselesaikan atau terjadi perceraian (Hurlock, 1980).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan data-data yang tercatat di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Hal ini juga dapat dibuktikan bila mengunjungi Pengadilan Agama selalu ramai dengan orang-orang yang menunggu sidang cerai. Data-data perceraian berikut dihimpun dari beberapa media secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian.

Perceraian menjadi permasalahan yang setiap tahunnya memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat sepanjang tahun. Kondisi ini merata hampir di semua daerah di Indonesia. Angka perceraian yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada kasus perceraian tahun 2012 yakni, cerai dan talak sebanyak 346.480 kasus. Di tahun 2013, cerai dan talak sebanyak 324.247 kasus. Di tahun 2014, cerai dan talak sebanyak 344.237 kasus. Di tahun 2015, cerai dan talak sebanyak 347.256 kasus (Badan Pusat Statistik, 2017).


(13)

4

Jawa Timur merupakan provinsi kedua dengan angka perceraian paling tinggi di Indonesia setelah Jawa Barat. Dalam kurun waktu tahun 2012 sampai 2015, di Jawa Timur terdapat 353.488 kasus perceraian. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada kasus perceraian di Jawa Timur tahun 2012 yakni, cerai dan talak sebanyak 91.449 kasus. Di tahun 2013, cerai dan talak sebanyak 85.484 kasus. Di tahun 2014, cerai dan talak sebanyak 89.406 kasus. Di tahun 2015, cerai dan talak sebanyak 87.149 kasus (Badan Pusat Statistik, 2017).

Di Gresik angka perceraian selalu meningkat dalam kurun waktu tahun 2012 sampai 2015, di Gresik terdapat 7.869 kasus perceraian. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Gresik, terdapat 1.885 kasus perceraian di Gresik pada tahun 2012 yakni, cerai talak sebanyak 622 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.263 kasus. Di tahun 2013 terdapat 1.918 kasus perceraian, dengan rincian cerai talak sebanyak 645 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.273 kasus. Di tahun 2014 terdapat 2.002 kasus perceraian, dengan rincian cerai talak sebanyak 639 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.363 kasus. Di tahun 2015 terdapat 2.064 kasus perceraian, dengan rincian cerai talak sebanyak 655 kasus dan cerai gugat sebanyak 1.409 kasus (Pengadilan Agama Gresik, 2017).

Tidak semua ahli berpendapat bahwa perceraian dapat menjadi jalan keluar yang baik, hal ini dikemukakan oleh Strong & Deavault (dalam Retnowati, 2010) yang mengatakan perceraian bukanlah penyelesaian yang baik dalam menghadapi konflik sebuah rumah tangga. Karena itu, walaupun perceraian membuat mereka yang melakukannya merasa bebas, tapi sebenarnya mereka merasa bersalah, cemas, tidak kompeten, depresi, merasa harga dirinya rendah,


(14)

kesepian, menjadi pengkonsumsi alcohol dan mariyuana. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hetrerington et al (dalam Hurlock, 1980) yaitu walaupun mereka yang bercerai dapat membangun kehidupan yang lebih baik, namun kenyataannya mereka mengalami masalah yang jauh lebih berat dibanding keuntungan yang diperoleh dari perceraian.

Faktor utama terjadinya perceraian dalam kehidupan perkawinan yang telah terbangun yaitu ketidakmampuan suami dan istri mengatasi permasalahan dalam perkawinan tersebut. Hurlock (1980) menjelaskan ketidakmampuan seseorang yang telah dewasa (suami dan istri) dalam mengatasi permasalahan perkawinan menjadikan mereka cenderung cemas, kecewa dan tidak bahagia, namun bagi mereka yang mampu mengatasinya menjadi pribadi yang teguh, mantap dan tenteram.

Perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilalui bagi individu yang mengalaminya. Hurlock (1980), mengemukakan bahwa efek traumatik yang ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan celah sosial. Oleh karena itu dukungan sosial dari keluarga, kerabat dan teman sangat dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial itu akan sangat membantu individu yang bercerai dan mengurangi dampak negatif perceraian terhadap dampak kesejahteraan psikologis. Kemampuan seseorang menghadapi situasi pasca perceraian akan berbeda pada setiap individu. Beberapa wanita yang sedang dalam masa transisi khususnya pada dewasa awal yang mengalami perceraian akan merasa terpuruk, rendah diri dan mengalami


(15)

6

ketakutan yang luar biasa dalam menghadapi kehidupan sosialnya. Namun beberapa wanita pada usia dewasa awal juga mengalami hasil positif setelah mengalami perceraian yang mana hal ini disebut post traumatic growth.

Pertumbuhan pasca trauma memang tidak mudah, kadang-kadang individu merasa sakit ketika akan bangkit. Perjalanan dimulai dengan kehancuran dan defisit melalui perjalanan yang panjang untuk penyembuhan. Dalam prosesnya, asumsi hancur harus dipulihkan, kepercayaan diri untuk tumbuh kembali, fisik, emosi dan spiritual harus dipupuk. Pertumbuhan ini bukan hanya pengalaman intelektual dan itulah yang akan menjadi kuat sebagai agen perubahan (CA Care dalam Rahma & Widuri, 2011).

Kejadian stessfull atau juga dapat diartikan sebagai kejadian traumatik dapat menyebabkan tekanan psikologis dan biasanya juga akan memunculkan respon negatif pada seseorang. Kesedihan, rasa bersalah, kemarahan dan rasa sensitif juga merupakan respon lain yang biasanya terjadi pada orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Tedeschi & Calhoun (dalam Shafira, 2011).

Namun keadaan stessfull tidak selalu memberikan efek negatif pada seseorang. Saat ini, fokus utama penelitian mulai bergeser dari melihat aspek negatif pada sebuah kejadian traumatik menjadi lebih melihat pada aspek positif dari kejadian traumatik tersebut. Menurut Kaplan dan Frankl (dalam Istiqomah, 2015), perubahan psikologis yang positif dapat terjadi dalam keadaan yang stressfull. Perubahan positif ini dikenal dengan istilah post traumatic growth.


(16)

Seseorang yang melakukan perjuangan dalam menghadapi kejadian traumatik yang dengan jelas memberikan efek negatif pada kondisi psikologisnya ternyata juga dapat memberikan kebermaknaan pada dirinya. Dan menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan setidaknya ada beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik tersebut meskipun mengalami penderitaan yang berat (Tedeschi & Calhoun, 2006).

Post traumatic growth terjadi pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, misalnya pada orang yang mengalami kebakaran dan kehilangan tempat tinggal, perceraian, keterbatasan fisik, kekerasan seksual, bencana alam, perang, kehilangan orang yang dicintai, atau didiagnosis penyakit kronis (Tedeschi & Calhoun, 1998).

Post traumatic growth menurut Tedeschi dan Calhoun (2006) adalah suatu perubahan positif seseorang menuju level yang lebih tinggi setelah mengalami peristiwa traumatis. Post traumatic growth bukan hanya kembali ke sediakala, tapi juga mengalami peningkatan psikologis yang bagi sebagian orang adalah sangat mendalam. Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang berkembang, yaitu perubahan persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan perubahan falsafah hidup. Post traumatic growth ini merupakan hasil dari perjuangan hidup yang menantang.

Post traumatic growth telah dimasukkan sebagai konstruksi di cabang psikologi positif (Buxton, 2011). Psikologi positif memandang manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. Hal ini


(17)

8

digambarkan sebagai perjuangan dengan realitas baru pasca trauma (Tedeschi & Colhoun, 2006).

Dalam penelitian Mahleda & Hartini (2012), post traumatic growth terjadi pada pasien kanker payudara pasca mastektomi usia dewasa madya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya pasien mengalami emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan perenungan dan pengungkapan diri, mereka merubah pandangan hidupnya. Subjek bisa mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Proses ini dipengaruhi juga oleh adanya dukungan sosial dan keyakinan terhadap Tuhan.

Dalam penelitian Rahmah & Widuri (2011), post traumatic growth juga terjadi pada pasien kanker payudara pasca mastektomi usia dewasa madya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 4 aspek post traumatic growth yang signifikan timbul dari perjuangan penderita kanker dalam menghadapi penyakit kanker payudara ini, antara lain: peningkatan spiritualitas, positive improvement in life, prososial semakin tinggi dan relasi sosial semakin baik.

Dalam penelitian Hotmauli (2008). Kecemasan pasca bercerai pada wanita dewasa awal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita yang telah bercerai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari merasa cemas dan takut tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari bersama anak-anaknya. Rasa takut dan


(18)

cemas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup anaknya dan mengakibatkan emosi yang meningkat.

Sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, tidak banyak wanita yang telah bercerai mempunyai kekuatan untuk menghadapi kehidupan setelah masa perceraian termasuk dalam menjalani kehidupan sosialnya. Namun tidak sedikit pula wanita yang berhasil bangkit dari pengalaman masa krisisnya dan menjadi pelajaran yang berharga untuk kehidupan seelanjutnya. Secara umum dan logika kaum pria lebih banyak menderita kecemasan dan rasa takut menghadapi masa depan setelah perceraian, mengingat fungsinya sebagai penanggung jawab atas diri dan keluarganya, serta sebagai pilar utama untuk membahagiakan rumah tangga. Akan tetapi pada kenyataannya setelah melalui penelitian dan studi ilmiah, terbukti bahwa wanitalah yang lebih sering merasakan kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi kehidupan pasca bercerai. Melihat hal ini peneliti tertarik untuk memilih wanita khususnya pada usia dewasa awal sebagai subjek penelitian karena berdasarkan penelitian dan study yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa wanita lebih perasa dan pada tingkat tertentu, mereka lebih sering terpengaruh dengan kesulitan dalam menghadapi kehidupan sosialnya karena pada umumnya masyarakat masih berpandangan negatif terhadap perceraian, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malu dan keputus asaan pada wanita.

Berdasarkan fenomena yang diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti masalah mengenai post traumatic growth pada wanita yang bercerai, karena masih sedikitnya penelitian mengenai fenomena ini di Indonesia.


(19)

10

Padahal di Indonesia, angka perceraian ini selalu meningkat seiring berjalannya waktu. Jawa Timur termasuk provinsi kedua yang angka perceraiannya tinggi setelah Jawa Barat. Peneliti ingin mengetahui perubahan positif yang dialami pada wanita pasca perceraian, karena kebanyakan peneliti sebelumnya lebih melihat efek negatif dari sebuah kejadian traumatik. Padahal kejadian traumatik tidak selalu memberikan efek negatif pada orang yang mengalaminya.

Berdasarkan studi pendahuluan peneliti bahwasanya telah melakukan wawancara dan observasi kepada subjek NK, adapun hasil yang didapat dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa subjek NK tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan bercerai dengan suaminya. Setelah melalui proses yang panjang, subjek NK resmi bercerai dan berstatus janda yang pada pernikahannya belum dikaruniai seorang anak. Subjek NK merasa begitu sedih, malu, dan tertekan dengan keadaan yang dialaminya. Akan tetapi berkat dukungan keluarga dan teman terdekatnya, subjek NK bisa bangkit dari keterpurukannya. Setelah berhasil bangkit dari permasalahan dan dapat menerima keadaan, banyak sekali perubahan positif yang timbul dalam diri subjek NK. Subjek NK menuturkan perubahan positif yang terjadi pada dirinya setelah krisis yang dihadapinya tersebut diantaranya subjek NK menjadi lebih taat beribadah, jika subjek NK awalnya tidak pernah sholat tahajud, sekarang subjek NK hampir setiap malam melaksanakan sholat tahajud (wawancara tanggal 3 Mei 2017).

Selanjutnya, adapun hasil yang didapat dari observasi tersebut menunjukkan bahwa merendahkan nada suara, menyunggingkan bibir, tenang da nada kontak mata ketika subjek NK diwawancarai seputar latar belakang


(20)

pernikahan. Subjek NK meninggikan nada suara, berbicara sambil menundukkan kepala, meneteskan air mata, tenang da nada kontak mata ketika diwawancarai seputar latar belakang perceraian (observasi tanggal 3 Mei 2017).

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dialami wanita yang bercerai, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada wanita pasca perceraian? Selanjutnya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian?

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dialami oleh wanita yang bercerai, peneliti ingin menjawab pertanyaan:

1. Bagaimana post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada wanita pasca perceraian?

2. Selanjutnya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menjawab bagaimana post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada wanita pasca perceraian.


(21)

12

2. Selanjutnya, penelitian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth menuju perubahan hidup yang positif pada individu setelah perceraian.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

a. Manfaat Teoritis

1. Menambah dan memperluas wawasan dalam keilmuan psikologi klinis khususnya dalam aspek pasca traumatik.

2. Memberi pengetahuan lebih dalam mengenai post traumatic growth khususnya pada wanita dewasa awal yang bercerai.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi subjek, diharapkan dapat memberikan insight bagi para wanita khususnya pada wanita usia dewasa awal yang menghadapi situasi pasca perceraian untuk dapat mengatasi rasa kehilangan akan pasangan hidupnya, mampu membuka pikiran yang lebih positif untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya dan tidak mengalami stress yang berkelanjutan.

2. Bagi wanita yang telah bercerai, memberi pengetahuan tentang pengalaman post traumatic growth seseorang pasca bercerai sehingga dapat memahami bagaimana caranya untuk bangkit dari masa kritis yang terjadi dalam kehidupannya.


(22)

3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada keluarga yang salah satu anggotanya pernah mengalami perceraian agar masyarakat secara umum dapat menangani masalah tersebut, memahami posisi mereka dan memberikan bantuan berupa dukungan sosial.

4. Sebagai masukan bagi peneliti berikutnya dalam mengembangkan penelitian tentang pengetahuan mengenai post traumatic growth. E. Keaslian Penelitian

Terdapat penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini untuk dikaji, diantaranya adalah:

Dalam penelitian Mahleda & Hartini (2012), Post Traumatic Growth terjadi pada Pasien Kanker Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya pasien mengalami emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan perenungan dan pengungkapan diri, mereka merubah pandangan hidupnya. Subjek bisa mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Proses ini dipengaruhi juga oleh adanya dukungan sosial dan keyakinan terhadap Tuhan.

Dalam penelitian Rahmah & Widuri (2011), Post Traumatic Growth pada Penderita Kanker Payudara. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 4 aspek post traumatic growth yang signifikan timbul dari perjuangan penderita kanker dalam menghadapi penyakit kanker payudara ini, antara lain:


(23)

14

peningkatan spiritualitas, positive improvement in life, prososial semakin tinggi dan relasi sosial semakin baik.

Dalam penelitian Rachmawati dan Halimah (2015). Studi Deskriptif mengenai Gambaran Post Traumatic Growth (PTG) pada Wanita Penderita Kanker Payudara Pasca Mastektomi di Bandung Cancer Society (BCS). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum penderita kanker payudara merasakan adanya post traumatic growth dalam tingkat yang tinggi. Para penderita merasakan perubahan diantaranya penghargaan terhadap kehidupan, hubungan yang lebih berkualitas dengan orang lain, meningkatnya kekuatan dalam diri, menemukan adanya kemungkinan-kemungkinan yang baru, serta perkembangan dalam aspek spiritual. Setelah menghadapi kejadian yang membuatnya trauma, penderita mampu menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya.

Dalam penelitian Anantasari (2011). Peran Dukungan Sosial terhadap Pertumbuhan Pasca Trauma: Studi Meta-Analisis. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan pertumbuhan pasca trauma. Dukungan sosial berperan penting terhadap pertumbuhan pasca trauma pada orang-orang yang mengalami peristiwa traumatic atau krisis kehidupan.

Dalam penelitian Kartika (2014). Resiliensi pada Single Mother Pasca Perceraian. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa resiliensi membantu para single mother yang bercerai berhasil bangkit kembali dan


(24)

bertahan dalam menghadapi cobaan yang dialaminya. Dengan kemampuan resiliensi para single mother juga dapat mengatasi masalah-masalah baik yang ditimbulkan karena pasca perceraiannya maupun masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Selain itu para single mother juga dapat menjadi ibu dan individu yang berguna baik untuk dirinya maupun orang lain.

Dalam penelitian Hotmauli (2008). Kecemasan Pasca Bercerai pada Wanita Dewasa Awal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa wanita yang telah bercerai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari merasa cemas dan takut tidak dapat memenuhi kehidupan sehari-hari bersama anak-anaknya. Rasa takut dan cemas tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup anaknya dan mengakibatkan emosi yang meningkat.

Dalam penelitian Jhoseph (2009). Growth Following Adversity: Positive Psychological Perspectives on Post Traumatic Stress. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa gagasan pertumbuhan pribadi setelah trauma harus dilihat dari dalam dirinya sendiri melalui proses perjuangan mereka dengan cara dan akibatnya.

Dalam penelitian Hagenaars & Minnen (2010). Post Traumatic Growth in Exposure Therapy for PTSD. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk merasakan emosi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengalami pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan dan stress mungkin rumit, dan tergantung pada populasi dan waktu.


(25)

16

Dalam penelitian Triplett, Tedeschi, Cann, Calhoun & Reeve (2011). Post Traumatic Growth, Meaning in Life, and Life Satisfaction in Response to Trauma. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dua jenis pemikiran berulang, disengaja dan mengganggu pada gejala pasca trauma, pertumbuhan pasca trauma dan makna dalam kehidupan, dianggap sebagai predictor kepuasan hidup.

Dalam penelitian Dekel, Solomon & Ein-Dor (2011). Post Traumatic Growth and Post Traumatic Distress: A Longitudinal Study. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu dengan PTSD tingkat pertumbuhan pasca traumanya lebih tinggi daripada individu yang tanpa PTSD. Pertumbuhan difasilitasi dan dikelola oleh pengesahan daripada tidak adanya PTSD. Temuan ini dibahas dalam konteks konsep ilusi dan adaptif tentang PTG.

Dalam penelitian Kunst, Winkel & Bogaerts (2010). Post Traumatic Growth Moderates the Association between Violent Revictimization and Persisting PTSD Symptoms in Victims of Interpersonal Violence: A Six Month Follow-Up Study. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada potensi adaptif dalam pertumbuhan pasca trauma di antara korban kekerasan.

Penelitian di atas dapat menjadi rujukan atau tambahan refrensi bagi peneliti dalam melengkapi data-data yang peneliti perlukan. Persamaan yang dimiliki penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengungkap post traumatic growth. Adapun perbedaan penelitian post traumatic growth pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni terletak pada tempat atau lokasi penelitian serta subjek penelitian, pada penelitian sebelumnya menggunakan


(26)

subjek penderita kanker payudara dan wanita dewasa awal pasca perceraian tetapi pada penelitian ini peneliti memilih subjek penelitian wanita dewasa awal yang bercerai yang dianggap menarik untuk diteliti.


(27)

18 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Post Traumatic Growth

1. Pengertian Post Traumatic Growth

Post Traumatic Growth is the experience of positive change that occurs as a result of the struggle with highly challenging life crisis (Tedeschi & Calhoun, 2006).

Post Traumatic Growth adalah pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi. Setelah beberapa decade orang-orang melihat reaksi negative yang dihasilkan dari sebuah kejadian traumatik. Tedeschi & Calhoun (dalam Schmidt, 2008) membuka sebuah area penelitian baru yang melihat reaksi positif yang dihasilkan dari suatu kejadian traumatik yang kemudian dikenal dengan istilah Post Traumatic Growth. Konstruk ini menuju pada perubahan besar yang terjadi pada persepsi seseorang tentang kehidupannya setelah orang tersebut berjuang menghadapi krisis yang terjadi. Individu ini tidak hanya sekedar kembali pada keadaan sebelumnya, tetapi menggunakan trauma sebagai sebuah kesempatan untuk perkembangan selanjutnya (Zoellner & Maercker, dalam Schmidt, 2008).

Post Traumatic Growth menurut Tedeschi & Calhoun (2006) adalah suatu perubahan positif seseorang menuju level yang lebih


(28)

tinggi setelah mengalami peristiwa traumatis. Post traumatic growth bukan hanya kembali ke sediakala, tetapi juga mengalami peningkatan psikologis yang bagi sebagian orang adalah sangat mendalam. Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang berkembang, yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.

Menurut Tedeschi & Calhoun (2006) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep pertumbuhan pasca trauma atau yang biasa disingkat PTG, sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif.

Tedeschi & Calhoun (2006) menyebutkan bahwa post traumatic growth memiliki dua pengertian penting. Pertama, post traumatic growth dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya post traumatic growth. Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat.


(29)

20

Post traumatic growth merupakan pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi, menurut Tedeschi & Calhoun (2006).

Definisi lain tentang post traumatic growth disampaikan oleh Patton, Violanti dan Smith (2010), mereka mengatakan bahwa post traumatic growth adalah perubahan yang menguntungkan secara signifikan dalam hal kognitif dan emosional yang melampaui tingkat adaptasi sebelumnya, peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran akan hidup yang terjadi sebagai akibat dari trauma psikologis yang menantang asumsi sebelumnya ada tentang diri sendiri, orang lain dan masa depan.

Pengertian lainnya mengenai post traumatic growth juga disampaikan oleh Tedeschi & Calhoun (2006) adalah suatu konstruksi perubahan psikologis yang positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dengan cara yang sangat menantang, stress dan trauma.

Post traumatic growth digambarkan sebagai pengalaman individu yang berkembang setelah mengalami kejadian traumatik, setidaknya pada beberapa area. Individu tersebut tidak hanya survive tetapi juga memiliki perubahan dari keadaan sebelumnya yang menurutnya post traumatic growth tidak hanya pada keadaan semula (normal), tetapi


(30)

juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa (Tedeschi & Calhoun, 2016).

Post traumatic growth bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman traumatik. Post traumatic growth merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Tedeschi & Calhoun (1998 dalam Shafira, 2011) menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan post traumatic growth. Kejadian psikologis yang “mengguncang” dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang “mengguncang” dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan atau mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia.

Menurut Tedeschi & Calhoun (2004 dalam Shafira, 2011) setelah mengalami kejadian yang “mengguncang” seseorang akan membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi guncangan. Struktur fisik dirancang agar seseorang dapat lebih bertahan atau melawan kejadian traumatik di masa depan, yang merupakan hasil pelajaran dari kejadian sebelumnya mengenai apa


(31)

22

yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan post traumatic growth.

Post traumatic growth dapat membuat seseorang lebih merasa memiliki kehidupan yang berarti. Namun post traumatic growth tidak sama dengan sekedar merasa bebas, bahagia atau memiliki perasaan yang baik. Post traumatic growth juga membuat seseorang merasakan kehidupan dengan level kedekatan secara personal, interpersonal dan spiritual yang lebih dalam (Werdel & Wicks, 2012).

Perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari menghadapi trauma yang mengancam kehidupan disajikan dalam berbagai cara, seperti: penerimaan meningkatkan kerentanan seseorang, meningkatkan apresiasi terhadap eksistensi sendiri dan penghargaan yang lebih besar terhadap kehidupan, meningkatkan persepsi kompetensi dan kemandirian memberikan control dan keamanan yang lebih besar, peningkatan kasih sayang dan empati terhadap orang lain, hubungan lebih dekat dengan orang lain, keyakinan agama atau spiritual kuat yang berarti lebih besar tentang kehidupan dan penderitaan, kematangan psikologis dan emosional yang lebih besar dan perolehan nilai baru dan prioritas hidup.

Post traumatic growth juga memiliki dampak yang lebih besar pada kehidupan masyarakat, dan melibatkan perubahan mendasar atau wawasan tentang kehidupan yang tidak hanya mekanisme koping yang


(32)

lain. Oleh karena itu, post traumatic growth sebagai perubahan positif yang signifikan dalam kehidupan, yang mempengaruhi kognitif dan emosional pada individu. Signifikansi perubahan ini bisa begitu besar, bahwa pertumbuhan ini dapat benar-benar transformative menurut Tedeschi & Calhoun (dalam Rahma & Widuri, 2011). Selain itu, post traumatic growth juga merupakan kebalikan dari gangguan stress pasca trauma.

Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa post traumatic growth (pertumbuhan pasca trauma) adalah pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth

Menurut Tedeschi & Calhoun (2006), terdapat beberapa faktor dari post traumatic growth, yaitu:

a. Penghargaan terhadap hidup (appreciation of life)

Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang. Pengalaman traumatik menyebabkan munculnya filosofi baru yang mengubah asumsi dasar seseorang tentang kehidupan dan arti dari kehidupan. Perubahan yang paling mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat


(33)

24

meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya, misalnya menghargai kehidupannya.

b. Hubungan dengan orang lain (relating to others)

Mereka yang mengalami pengalaman traumatik memiliki kedalaman hubungan dengan orang lain karena menyadari akan pentingnya hubungan tersebut dan menyadari bahwa hubungan tersebut dapat berakhir dengan cepat sehingga membuat mereka lebih dekat dan memberikan kasih sayang. Hal ini dapat berupa saling berbagi dan berkasih sayang.

c. Kekuatan dalam diri (personal strength)

Merupakan perubahan yang dapat berupa peningkatan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Mereka yang mengalami pengalaman traumatik menunjukkan adanya kemampuan untuk lebih kuat dan mandiri dalam menjalani hidup, sehingga tampak bahwa hidup melalui trauma menyediakan banyak informasi dalam kompetensi mengevaluasi diri dalam kesulitan dengan cara yang tegas (optimis) dan menghadapinya (coping).

d. Kemungkinan baru (new possibilities)

Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda. Mereka yang mengalami pengalaman traumatik akan menjadi lebih menikmati hidupnya dan


(34)

menjalankan hidup lebih semangat dengan menemukan adanya peran baru dan orang-orang baru.

e. Perkembangan spiritual (spiritual development)

Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritual dan hal-hal yang bersifat eksistensial. Peningkatan kepercayaan terhadap agama dapat muncul ketika mereka mencoba memahami peristiwa traumatik. Hal ini juga menunjukkan adanya penguatan keyakinan dalam agama yang dapat meningkatkan rasa kontrol diri, kedekatan terhadap agama dan menemukan makna hidup sesuai dengan agama yang diyakininya.

3. Aspek-aspek Post Traumatic Growth

Selain itu Tedeschi dan Calhoun (1996 dalam Shafira, 2011) juga membagi post traumatic growth dalam tiga aspek, antara lain:

a. Perubahan dalam persepsi diri (Perceived change in self) antara lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi atau kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dan mengembangkan hal baru.

b. Perubahan dalam hubungan interpersonal (Change in interpersonal relationship) antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain.

c. Perubahan dalam filosofi hidup (Change in philosophy of life) antara lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan


(35)

26

perubahan dalam hal spiritualitas atau religiusitas (kepercayaan beragama).

Falsafah hidup dalam agama Islam menurut Prof. Dr. Hamka (2017) yakni memulangan kekuasaan kepada Allah, yang Esa di dalam kekuasaan-Nya. Itulah Tauhid, yang mengakui Tuhan hanya satu. Setelah itu memandang manusia sama derajatnya. Tidak ada kelebihan si anu dan si fulan, semuanya sama di sisi Tuhan; kelebihan seorang diri yang lain hanyalah takwanya, budinya dan kecerdasan akalnya. Bukan karena pangkat atau harta kekayaan. Tangan si lemah dibimbing sehingga beroleh kekuatan. Diambil hak dari tangan yang kuat dan kuasa dan dipindahkan kepada yang lemah, sehingga tegaklah perimbangan. Demikianlah kita menempuh hidup; lahir, berjuang dan akhirnya mati. Sebab itu, hendaklah kita percaya penuh dengan iman dan baik sangka kepada Tuhan. Itulah falsafah hidup.

Dalam kajian post traumatic growth, individu mampu untuk mengembangkan aktivitas atau kemampuan baru setelah menghadapi peristiwa traumatik. Seperti yang dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 155-157 bahwa Allah SWT menguji keimanan manusia untuk menjadi lebih baik lagi. Allah SWT berfirman:


(36)

Artinya:

Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (155). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (156). Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157).

4. Proses terjadinya Post Traumatic Growth

Telah dijelaskan oleh Tedeschi & Calhoun (2006) beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman post traumatic growth. Selanjutnya tingkat self-disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya post traumatic growth pada seseorang. Kemudian dapat digambarkan bagaimana cognitive process dalam menghadapi kejadian


(37)

28

traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thougth) juga berhubungan munculnya post traumatic growth. Sehingga dapat diasumsikan bahwa proses kognitif seseorang dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses post traumatic growth.

a. Karakteristik personal atau individu

Tingkatan trauma yang dialami oleh individu tentunya akan mempengaruhi perkembangan post traumatic growth. Namun, karakteristik personal seseorang dalam menghadapi trauma tersebut juga dapat mempengaruhi proses post traumatic growth. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa & Mc Care (dalam Shafira, 2011) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ekstrovert berhubungan dengan perkembangan post traumatic growth. Individu dengan karakteristik ini mungkin lebih memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaan yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami informasi mengenai pengalaman yang dialaminya dengan lebih efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (post traumatic growth). Selain itu karakteristik lain seperti optimisme juga dapat mempengaruhi pertumbuhan post traumatic growth. Individu yang optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan. Hal ini merupakan


(38)

hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatik.

b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing emotion)

Saat seseorang mengalami masa krisis dalam hidupnya, seseorang harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya, seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk post traumatic growth. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif atau merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang dijalani dalam hidupnya tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan.

Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena msih ditemukan ketidakpercayaan terhadap pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa seseorang tersebut telah mampu


(39)

30

menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam kejadian traumatik.

c. Dukungan dan keterbukaan (Support and disclosure)

Dukungan dari orang lain dapat membantu pertumbuhan post traumatic growth, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada orang yang mengalami trauma, untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu seseorang untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, seseorang dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain.

d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth)

Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan post traumatic growth. Seseorang dengan kepercayaan diri tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan seseorang dengan kepercayaan diri rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, seseorang akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang


(40)

kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam kehidupannya.

e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing)

Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkontruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang dialaminya.

f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative) Pengalaman post traumatic growth seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan. Keteguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk post traumatic growth dan bersifat memperbaiki cerita kehidupannya.

B. Tugas Perkembangan Fase Dewasa 1. Pengertian Masa Dewasa

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tetapi lazimnya merujuk pada manusia. Dewasa adalah orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita seutuhnya. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis dan memiliki


(41)

32

karakteristik perilaku dewasa, tetapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tetapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa. Setelah mengalami masa kanak-kanak dan remaja yang panjang, seorang individu akan mengalami masa dimana ia telah menyelesaikan pertumbuhannya dan mengharuskan dirinya untuk berkecimpung dengan masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa dewasa adalah waktu yang paling lama dalam rentang kehidupan (Jahja, 2011).

Masa dewasa biasanya dimulai sejak usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan harapan terhadap perubahan tersebut (Jahja, 2011).

Elizabeth B. Hurlock (1980) membagi masa dewasa menjadi tiga bagian meliputi:

a. Masa Dewasa Awal (Masa Dewasa Dini/Young Adult)

Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen


(42)

dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada hidup yang baru. Kisaran umur antara 21-40 tahun.

b. Masa Dewasa Madya (Middle Adulthood)

Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur 40 tahun sampai 60 tahun. Ciri-ciri yang merupakan pribadi dan sosial antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya dan kadang-kadang minat dan perhatian terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.

c. Masa Dewasa Lanjut (Masa Tua/Older Adult)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motoric, kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem saraf dan penampilan.


(43)

34

2. Ciri-ciri Manusia Masa Dewasa

Masa dewasa adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, seseorang dituntut untuk memulai kehidupannya memerankan peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran dalam dunia kerja. Masa dewasa dikatakan sebagai masa sulit bagi individu karena pada masa ini seseorang dituntut untuk melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk dapat mandiri. Ciri-ciri masa dewasa dini (Jahja, 2011) yaitu:

a. Masa Pengaturan (Settle Down)

Pada masa ini, seseorang akan mencoba-coba sebelum individu menentukan mana yang sesuai, cocok dan memberi kepuasan permanen. Ketika ia telah menemukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, individu akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi keikhlasan selama sisa hidupnya.

b. Masa Usia Produktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini merupakan masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah dan bereproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini, organ reproduksi sangat produktif dalam menghasilkan keturunan (anak).


(44)

Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan vs pekerjaan). Jika individu tidak dapat mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah. Ada tiga faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu: pertama, individu ini kurang siap dalam menanggapi babak baru bagi dirinya dan tidak dapat menyesuaikan dengan babak/peran baru ini. Kedua, karena kurang persiapan, maka ia kaget dengan dua peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, individu tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapa pun dalam menyelesaikan masalah.

d. Masa Ketegangan Emosional

Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi emosionalnya tidak terkendali. Individu cenderung labil, resah dan mudah memberontak. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat bergelora dan mudah tegang. Individu juga khawatir dengan status dalam pekerjaan yang belum tinggi dan posisinya yang baru sebagai orang tua. Namun ketika telah berumur 30-an, seseorang akan cenderung stabil dan tenang dalam emosi.

e. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis isolasi”, individu terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan


(45)

36

dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diidentifikasikan dengan adanya semangat bersaing hasrat untuk maju dalam berkarir.

f. Masa Komitmen

Pada masa ini juga individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Individu mulai membentuk pola hidup, tanggung jawab dan komitmen baru.

g. Masa Ketergantungan

Pada awal masa dewasa dini sampai akhir usia 20-an, seseorang masih punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi atau instansi yang mengikatnya.

h. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika individu berada pada masa dewasa dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kacamata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilai-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika individu telah menikah.


(46)

Ketika seseorang telah mencapai masa dewasa berarti individu harus lebih bertanggung jawab karena pada masa ini individu sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan pekerja).

j. Masa Kreatif

Dinamakan sebagai masa kreatif karena pada masa ini seseorang bebas untuk berbuat apa yang diinginkan. Namun kreativitas tergantung pada minat, potensi dan kesempatan. Menurut Dr. Harold Shryrock (dalam Jahja, 2011) dari Amerika Serikat, ada lima faktor yang dapat menunjukkan kedewasaan yaitu: ciri fisik, kemampuan mental, pertumbuhan sosial, emosi dan pertumbuhan spiritual dan moral.

1) Fisik

Secara fisik, rangka tubuh, tinggi dan lebarnya tubuh seseorang dapat menunjukkan sifat kedewasaan pada diri seseorang. Faktor-faktor ini memang biasa digunakan sebagai ukuran kedewasaan, akan tetapi, segi fisik saja belum dapat menjamin ketepatan bagi seseorang untuk dapat dikatakan dewasa. Sebab banyak orang yang telah cukup usia dan kelihatan dewasa akan tetapi ternyata masih sering memperlihatkan sifat kekanak-kanakannya. Oleh sebab itu, dalam menentukan tingkat kedewasaan seseorang dari segi fisiknya harus pula dengan mengetahui: apakah individu tersebut dapat menentukan sendiri


(47)

38

setiap persoalan yang dihadapi dan ruginya sebuah permasalahan hidup. Selain itu, juga adanya kepercayaan pada diri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, tidak cepat naik pitam dan marah, serta tidak menggerutu di saat menderita dan menerima cobaan dari Tuhan, sehingga nantinya individu dapat dilihat bagaimana tingkat kedewasaan seseorang tersebut dalam mengatasi semua persoalan hidup yang dialami.

2) Kemampuan Mental

Dari segi mental atau rohani, kedewasaan seseorang dapat dilihat. Orang yang telah dewasa dalam cara berpikir dan tindakannya berbeda dengan orang yang masih kekanak-kanakan sifatnya. Dapat berpikir secara logis, pandai mempertimbangkan segala sesuatu dengan adil, terbuka dan dapat menilai semua pengalaman hidup merupakan salah satu ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang. Sikap kedewasaan yang sempurna itu jika ada keserasian antara perkembangan fisik dan mentalnya.

3) Pertumbuhan Sosial

Sifat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari pertumbuhan sosialnya. Pertumbuhan sosial adalah suatu pemahaman tentang bagaimana individu manyayangi pergaulan, bagaimana dapat memahami tentang watak dan kepribadian orang lain dan bagaimana cara individu mampu membuat dirinya agar disukai


(48)

oleh orang lain dalam pergaulannya. Perasaan simpatik kepada orang lain dan bahkan merupakan ciri kedewasaan secara sosial.

4) Emosi

Emosi sangat erat hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan yang menyangkut sendi-sendi dalam kehidupan berumah tangga. Emosi adalah keadaan batin manusia yang berhungan erat dengan rasa sayang, sedih, gembira, kasih sayang dan benci. Kedewasaan seseorang dapat dilihat dari cara seseorang dalam mengendalikan emosi. Jika orang pandai mengendalikan emosinya, maka berarti semua tindakan yang dilakukannya bukan hanya mengandalkan dorongan nafsu, melainkan telah menggunakan akalnya juga. Menyalurkan emosi dengan dikendalikan oleh akal dan pertimbangan sehat akan dapat melahirkan sebuah tindakan yang telah dewasa dan yang tetap akan berada dalam peraturan dan norma-norma yang berlaku dalam agama. Orang telah menguasai dan mengendalikan emosinya dengan disertai oleh kemampuan mental yang cukup dewasa, pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia dikarenakan selalu bersifat terbuka dalam menghadapi berbagai kenyataan-kenyataan hidup, tabah dalam menghadapi setiap


(49)

40

kesulitan dan persoalan hidup serta dapat merasa puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang dada. 5) Pertumbuhan Spiritual dan Moral

Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang mendorong untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan baik. Oleh sebab itu, pertumbuhan ini harus dimulai sejak awal dan dikembangkan untuk dapat menghayati rahmat Allah SWT. Sehingga dengan demikian orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang yang telah berkembang pertumbuhan spiritual dan moralnya akan lebih pandai dan lebih tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup yang menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah SWT dengan disertai ikhtiar menurut kemampuan sendiri. C. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian bukanlah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah proses rangkaian pengalaman berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan terus berlangsung setelah terjadinya perpisahan tersebut. Bahkan mengakhiri perkawinan yang tidak bahagia bisa jadi menyakitkan, terutama pada anak dalam perkawinan tersebut. Walaupun sebagian orang tampaknya menyesuaikan diri lebih cepat dari orang lain, perceraian cenderung mengurangi kebahagiaan


(50)

jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memulai perceraian atau tidak menikah kembali. Alasannya antara lain gangguan hubungan orang tua-anak, perselisihan dengan mantan pasangan, kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan emosional dan harus keluar dari rumah. Perceraian dapat membawa perasaan gagal, bersalah, permusuhan dan mencaci diri sendiri, ditambah lagi tingkat depresi, sakit dan kematian yang tinggi. Di sisi lain, ketika pernikahan sudah penuh konflik, maka pengakhirannya justru dapat meningkatkan kebahagiaan (Hurlock, 1980).

Perceraian menurut Murdock (dalam Houtmauli, 2008) seharusnya dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hokum yang berlaku. Namun dalam hal perceraian, Goode berpandangan sedikit berbeda, Goode berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta dan romantik. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang akhirnya bermuara pada perceraian.


(51)

42

Perceraian diikuti oleh periode penyesuaian diri yang menyakitkan. Penyesuaian tersebut tergantung kepada cara perceraian tersebut ditangani, perasaan seseorang akan diri mereka sendiri dan mantan pasangan mereka, keputusan emosional dari mantan pasangan, dukungan sosial dan sumber dana personal. Penyesuaian diri terhadap perceraian merupakan proses jangka panjang yang cenderung menurunkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).

2. Faktor-faktor Penyebab Perceraian

Menurut Dariyo (2003), pasangan suami-istri yang melakukan perceraian tentu didasari sebab-sebab yang tidak dapat diselesaikan bersama. Mungkin mereka berusahaa menyelesaikan masalah tersebut, namun akhirnya tidak kunjung selesai sehingga harus ditempuh dengan jalan terbaik bagi mereka, yaitu perceraian. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian suami-istri di antaranya sebagai berikut:

a. Masalah Keperawanan (Virginity)

Istri yang dinikahi seorang suami ternyata sebelumnya sudah tidak perawan lagi. Hal ini berlaku untuk suatu daerah atau wilayah yang menjunjung tinggi nilai sosial-budaya bahwa keperawanan merupakan faktor penting dalam pernikahan. Bagi seorang individu (laki-laki) yang menganggap keperawanan sebagai sesuatu yang penting, kemungkinan masalah keperawanan akan menggaggu proses perjalanan kehidupan pernikahan, tetapi bagi laki-laki yang


(52)

tidak mempersalahkan tentang keperawanan, kehidupan pernikahan akan dapat dipertahankan dengan baik.

b. Ketidaksetiaan Salah Satu Pasangan Hidup

Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau selingkuh dengan pasangan lain. Keberadaan orang ketiga (wanita lain atau pria lain) memang akan mengganggu kehidupan pernikahan. Bila di antara keduanya tidak ditemukan kata sepakat untuk menyelesaikan dan saling memaafkan, akhirnya perceraianlah jalan terbaik untuk mengakhiri hubungan pernikahan itu.

c. Tekanan Kebutuhan Ekonomi Keluarga

Sudah sewajarnya, seorang suami bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Itulah sebabnya, seorang istri berhak menuntut supaya suami dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara itu, diketahui bahwa harga barang-jasa kebutuhan hidup semakin melonjak tinggi karena faktor krisis ekonomi Negara yang belum berakhir. Sementara itu, suami tetap memiliki gaji/penghasilan pas-pasan sehingga hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), hal itu dirasakan amat berat. Untuk menyelesaikan masalah itu, kemungkinan seorang istri menuntut cerai dari suaminya.


(53)

44

Kemungkinan karena tidak mempunyai keturunan walaupun menjalin hubungan pernikahan bertahun-tahun dan berupaya kemana-mana untuk mengusahakannya, namun tetap saja gagal. Guna menyelesaaikan masalah keturunan ini, mereka sepakat mengakhiri pernikahan dengan bercerai dan masing-masing menentukan nasib sendiri. Tidak adanya keturunan itu mungkin disebabkan kemandulan yang dialami salah satu atau keduanya. e. Salah Satu dari Pasangan Hidup Meninggal Dunia

Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara otomatis keduanya bercerai. Apakah kematian tersebut disebabkan faktor sengaja (bunuh diri) ataupun tidak sengaja (mati dalam kecelakaan, mati karena sakit, mati karena bencana alam) tetap mempengaruhi terjadinya perpisahan (perceraian) suami-istri. f. Perbedaan Prinsip, Ideologi atau Agama

Semula ketika pasangan antara laki-laki dan wanita maasih dalam masa pacaran, yaitu sebelum membangun kehidupan rumah tangga, mereka tidak memikirkan secara mendalam tentang perbedaan prinsip, agama atau keyakinan. Mereka merasa yakin bahwa yang terpenting saling mencintai antara satu dan yang lain akan dapat mengatasi masalah dalam pernikahan sehingga perbedaan itu diabaikan begitu saja. Namun, setelah memasuki jenjang pernikahan dan kemudian memiliki keturunan, akhirnya mereka baru sadar adanya perbedaan-perbedaan itu. Masalah mulai timbul


(54)

mengenai penentuan anak harus mengikuti aliran agama dari pihak siapa, apakah ikut ayah atau ibunya. Rupanya, hal itu tidak dapat diselesaikan dengan baik sehingga perceraianlah jalan terakhir bagi mereka.

3. Akibat-akibat Perceraian

Menurut Dariyo (2003), individu yang telah melakukan perceraian, baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negative. Hal-hal yang dirasakan akibat perceraian tersebut, di antaranya sebagai berikut:

a. Pengalaman traumatis pada salah satu pasangan hidup (laki-laki atau wanita)

Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan pernikahan ternyata harus berakhir dengan perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman, tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut dan khawatir dalam diri individu. Akibatnya, individu akan memiliki sikap benci, dendam, marah, menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan mantan pasangannya. Selain itu, sering kali individu yang telah bercerai tidak dapat tidur, tegang, sulit berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan, tidak berdaya dan putus asa. Apabila kondisi psikis tersebut tidak tertanggulangi dengan baik, bisa mengakibatkan gangguan psikologis lainnya (psikosa/gila).


(55)

46

Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai juga merasakan dampak negatif. Mereka mengalami kebingungan arus ikut siapa, yaitu apakah ikut ayah atau ibu. Mereka tidak dapat melakukan proses identifikasi pada orang tua. Akibatnya, tidak ada contoh positif yang harus ditiru. Secara tidak langsung, mereka mempunyai pandangan yang negatif (buruk) terhadap pernikahan. c. Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan

Setelah bercerai, individu merasakan dampak psikologis yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ditandai dengan perasaan tidak nyaman, tidak tenteran, gelisah, resah, tidak damai, tidak bahagia, merasa gagal, menyalahkan diri sendiri, kecewa, sedih, stress, takut, khawatir dan marah. Akibatnya, secara fisiologis mereka tidak dapat tidur dan tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja sehingga mengganggu kehidupan kerjanya, misalnya prestasi kerja menurun.

4. Penyesuaian Diri Pasca Perceraian

Menurut Dariyo (2003), bagi individu yang melakukan perceraian dengan pasangan hidupnya, mau tidak mau harus menghadapi kenyataan. Sebelum menjadi seorang individu yang hidup sendiri lagi (re-single), mereka umumnya memiliki masalah penyesuaian diri. Dinamika emosional dalam proses penyesuaian diri individu seetelah mengalami perceraian, umumnya meliputi lima tahap yaitu:


(56)

a. Penolakan

Ketika seseorang telah bercerai dengan mantan pasangan hidupnya, individu akan menganggap bahwa perceraian itu seolah-olah seperti mimpi saja. Ia belum meyakini secara penuh kenyataan perceraian ini. Ia belum mampu menghadapi kenyataan itu. Anggapannya, pasangan hidupnya masih ada di sampingnya dan hidup bersamanya. Jadi, individu masih menolak kenyataan yang terjadi dan belum menyadari bahwa dirinya sebenarnya telah bercerai dengan pasangan hidupnya.

b. Kecemasan

Pada tahap ini individu mulai merasakan berbagai kecemasan yang menyelimuti hidupnya. Individu merasakan kekhawatiran dalam menghadapi berbagai kemungkinan masalah yang sulit. Apakah ia mampu menghadapi kehidupan ini tanpa pasangan hidupnya lagi, seperti memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, membesarkan dan mendidik anak-anak, menyesuaian diri dalam lingkungan pekerjaan ataupun di masyarakat dan termasuk bagaimana memberi tanggapan orang lain terhadap kegagalan pernikahannya. Hal itu menjadi masalah yang selalu menghantui pikiran-pikirannya. c. Tawar-menawar

Dalam keadaan ini individu masih belum mampu menerima kenyataan. Dalam hati kecil, ada keinginan untuk mengulang kebahagiaan yang dialami semasa kehidupan pernikahan dahulu.


(57)

48

Kalau bisa, perceraian ini jangan sampai terjadi. Konflik-konflik atau masalah percekcokan yang dialami sebelumnya, seharusnya dapat diselesaikan dengan baik seandainya ada saling pengertian dan saling penerimaan antara diri individu dengan pasangan hidupnya. Namun, keinginan pribadi tersebut rupanya tidak dapat terkabul dengan baik. Akibatnya, timbul perasaan kecewa yang amat sangat dalam dirinya. Kalau bisa mereka diberi kesempatan (waktu) untuk memperbaiki kelakuan agar tidak terjadi perceraian. d. Depresi

Gejolak emosi, pikiran dan realitas dalam diri individu yang tidak terselesaikan dengan baik menyebabkan individu mengalami depresi. Dalam keadaan ini, individu merasa menemukan jalan buntu. Ia merasa putus asa, pesimis dan tidak ada harapan untuk masa depan. Adakalanya, depresi menyebabkan seseorang tidak mau makan atau hilang selera makan seehingga badannya menjadi kurus.

e. Penerimaan diri

Kebuntuan dalam menjalani kehidupan itu karena tidak memperoleh pemecahan masalah dengan baik, lama-kelamaan inddividu secara tidak sadar melupakan, mengabaikan atau merasa pasrah terhadap kenyataan yang ada. Kepasrahan yang dilandasi dengan kesadaran diri terhadap berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya menyebabkan individu justru memperoleh kekuatan


(58)

batin untuk dapat menerima kenyataan itu. Bahwa perceraian memang merupakan jalan terakhir yang tidak dapat dihindarkan karena kekukuhan dan kekerasan hati dari massing-masing individu yang tidak dapat damai atau dipersatukan kembali akibat kuatnya konflik yang terjadi. Dengan kesadaran tersebut, akhirnya seseorang merasa pasrah dan menerima kenyataan bahwa ia sudah bercerai dengan mantan pasangan hidupnya. Kini ia harus hidup menghadapi kenyataan bersama-sama atau tanpa anak-anak.

D. Post Traumatic Growth pada Wanita yang Bercerai

Papalia (2001 dalam Sasongko dan Febriana, 2011) mengatakan bahwa perceraian itu ibarat menjalani sebuah operasi, menyakitkan dan menimbulkan trauma, akan tetapi harus dijalani untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Individu yang mengalami perceraian memerlukan adanya perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk bisa bertahan dan keluar dari situasi tidak menguntungkan dan akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya yang disebut dengan post traumatic growth. Menurut Tedeschi & Calhoun (1998 dalam Rahma & Widuri, 2011) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan.

Perceraian merupakan salah satu kejadian yang dapat mengakibatkan wanita mengalami kesepian, penurunan kesehatan, keterpurukan, keputusasaan, kesulitan ekonomi bahkan depresi. Dengan post traumatic growth, wanita yang mengalami perceraian dapat mengolah atau mengatur emosi dan kognitifnya


(59)

50

untuk bangkit dari pengalaman traumatiknya serta menyadarkan individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda, yakni membangun masa depan yang lebih baik.

Penulis memilih konsep post traumatic growth yang dijabarkan oleh Tedeschi & Calhoun (2006) untuk melihat perubahan positif setelah peristiwa traumatik. Penulis memilih konsep post traumatic growth karena konsep ini menjelaskan secara detail bagaimana sebuah perubahan positif setelah peristiwa traumatik dapat muncul pada individu yang trauma. Post traumatic growth dapat mengungkap aspek-aspek yang lebih nyata sebagai gambaran terjadinya perubahan positif menuju level yang lebih tinggi. Aspek tersebut adalah persepsi pribadi, hubungan dengan orang lain dan perubahan falsafah hidup. Ketiga aspek ini dapat memberikan gambaran nyata atas perubahan positif dimana tidak hanya dirasakan oleh individu yang berjuang, namun oleh orang lain yang menjadi saksi perubahan positif tersebut. Pada aspek perubahan falsafah hidup terdapat perubahan kehidupan spiritual individu yang meningkat, yang dapat diartikan bahwa ketiga aspek tersebut ideal dalam mengungkap perubahan positif individu. Melalui teori ini, perubahan positif dapat dilihat pada diri individu sendiri (perubahan persepsi pribadi), dirinya dengan orang lain (hubungan dengan orang lain) dan dirinya dengan Tuhan (perubahan falsafah hidup).

Peranan agama juga penting dalam post traumatic growth pada wanita yang bercerai. Menurut Nottingham (dalam Jalaluddin, 2012) salah satu fungsi agama dalam kehidupan manusia adalah sebagai penyelamat. Dalam kondisi


(60)

ketidakberdayaan, secara psikologis ajaran agama dapat membantu menenteramkan goncangan batin. Dengan kembali kepada tuntutan agama, korban berusaha menyadarkan dirinya, bahwa musibah merupakan risiko yang harus dihadapi dalam menjalani kehidupan.

Dalam menghadapi kejadian traumatik, orang-orang yang memiliki keyakinan dalam beragama terlihat lebih tabah. Mereka lebih mudah menetralisasi kegoncangan dan konflik yang terjadi dalam kondisi psikologisnya. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dijadikan sebagai pilihan tempat berlindung atau sebagai penyalur kejadian traumatik yang dirasakan. Dengan adanya penguatan keyakinan dalam agama, seseorang dapat meningkatkan rasa kontrol diri, kedekatan terhadap agama dan menemukan makna hidup sesuai dengan agama yang diyakininya.

Berdasarkan beberapa pengertian post traumatic growth yang telah disebutkan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa post traumatic growth merupakan pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup. Sesuai dengan teori post traumatic growth menurut Tedeschi & Calhoun (1998 dalam Rahmah & Widuri, 2011) post traumatic growth adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep post traumatic growth sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup,


(61)

52

pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif.

Dengan post traumatic growth, wanita pasca bercerai akan mampu menghadapi kejadian traumatik yang dialaminya dan membangun kembali kehidupannya menjadi lebih baik dan terarah sehingga dapat merefleksikan kehidupan barunya sebagai wanita tanpa pasangan atau single parent. Dengan melakukan perenungan dan atau proses kognitif serta penanaman sikap optimis, wanita pasca bercerai mampu membangun kembali kehidupan selanjutnya dengan lebih baik, misalnya mulai memikirkan kehidupan masa depannya dan mulai menerima kenyataan setelah kejadian traumatik yang dialaminya. Dengan dukungan sosial dari berbagai pihak seperti keluarga, orang tua atau teman-temannya, akan sangat membantu pertumbuhan post traumatic growth wanita yang mengalami masa-masa sulit pasca perceraian.


(62)

53 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelitatif dengan menggunakan paradigma fenomenologi. Menurut Moelong (2005), metode penelitian kualitatif dalam paradigma fenomenologi berusaha memahami arti (mencari makna) dari kaitan-kaitannya dengan orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Strategi penyelidikan phenomenology, adalah penelitian untuk menggambarkan, menyelidiki, menemukan serta memahami struktur esensi fenomena (gejala) berdasarkan pengalaman yang dialami oleh individu.

Alasan penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara holistic kontekstual melalui pengumpulan data latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan induktif. Proses dan makna (perspektif informan) lebih ditonjolkan dalam penelitian ini. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh informan penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiyah (Moelong, 2005).


(1)

127

kemungkinan-kemungkinan baru, ketiga subjek mempunyai kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda, yang ditampakkan oleh ketiga subjek adalah mengejar cita-cita dan harapan pendamping masa depan yang lebih baik. Kemudian faktor perkembangan spiritualitas, ketiga subjek mengalami perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial.

B. Saran

1. Saran Praktis:

a. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa hal yang menunjang terbentuknya pertumbuhan post traumatic growth yang meliputi pengolahan emosi yang baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan kemungkinan-kemungkinan baru. Maka alangkah baiknya jika wanita yang mengalami kejadian traumatik pasca perceraian terlebih dahulu mampu mengatur emosi dengan melakukan perenungan, sehingga lebih mampu mengembangkan perubahan positif dalam hidupnya seperti kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya prioritas hidup di masa depan.

b. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan post traumatic growth diantaranya faktor penghargaan terhadap hidup, ketiga subjek dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Faktor hubungannya dengan orang lain, ketiga subjek dapat meningkatkan


(2)

relasi dengan orang lain dan tumbuhnya rasa kasih sayang pada orang yang membutuhkan sebagai bentuk empatinya. Faktor kekuatan dalam diri, ketiga subjek mempunyai kekuatan dalam diri serta keyakinan bahwa mampu melewati masa-masa krisis. Faktor kemungkinan-kemungkinan baru, ketiga subjek mempunyai kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda, yang ditampakkan oleh ketiga subjek adalah mengejar cita-cita dan harapan pendamping masa depan yang lebih baik. Kemudian faktor perkembangan spiritualitas, ketiga subjek mengalami perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya:

a. Untuk penelitian selanjutnya dengan tema post traumatic growth, diharapkan untuk bisa lebih memaksimalkan waktu dalam mencari data.

b. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan refrensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan post traumatic growth. Peneliti di sini menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak sekali kekurangan sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat lebih baik dan lebih sempurna.


(3)

129

c. Bagi peneliti yang tertarik untuk melanjutkan penelitian ini maka dapat melakukan penelitian dengan menggunakan subjek penelitian atau penelitian yang dilaksanakan di tempat lain.


(4)

130 DAFTAR PUSTAKA

Ahsyari. 2015. Kelelahan Emosional dan Strategi Coping pada Wanita Single Parent. Jurnal Psikologi. Vol 3, 1, 422-432.

Antasari. 2011. Peran Dukungan Sosial terhadap Pertumbuhan Pasca Trauma: Studi Meta-Analisis. Jurnal Psikologi. Vol 6 No 1.

Dariyo, A. 2003. Psokologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dekel, S., Ein-Dor, T & Solomon, Z. 2012. Post Traumatic Growth and Post Traumatic Distress: A Longitudinal Study. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice and Policy. Vol 4, 1, 94-101.

Desmita. 2013. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Haditono, S.R. 2006. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai

Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada Univaersity Press.

Hagenaars, M.I.A & Agnes, V.M. 2010. Post Traumatic Growth in Exprosure Therapy for PTSD. Journal of Traumatic Stess. Vol 23, 4, 504-508.

Hamka. 2017. Falsafah Hidup Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Replubika Penerbit.

Hotmauli. 2008. Kecemasan Pasca Bercerai pada Wanita Dewasa Awal. Jurnal Psikologi.

Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Istiqomah. 2015. Post Traumatic Growth pada Penderita Kanker Payudara Pasca Mastektomi. Skripsi Psikologi.

Jahja, Y. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jhoseph, S. 2009. Growth Following Adversity: Positive Psychological Perspectives on Post Traumatic Stress. Journal of Psychological Topics. Vol 18, 2. 335-344.

Kartika. 2014. Resiliensi pada Single Mother Pasca Perceraian. Jurnal Psikologi. Kunst, Winkel & Bogaerts. 2010. Post Traumatic Growth Moderates the

Associaton between Violent Revictimization and Persisting PTSD Symptoms in Victims of Interpersonal Violence: A Six-Month Follow-Up Study. Journal of Social and Clinical Psychology. Vol 29, No 5, 2010, pp. 527-545.


(5)

131

Mahleda & Hartini. 2012. Post Traumatic Growth pada Pasien Kanker Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. Vol 1 No 2.

Muslimah. 2012. Konsep Diri pada Janda Cerai (Studi Kasus pada Wanita yang Menjadi Orang Tua Tunggal). Skripsi Psikologi.

Papilia, D.E. dkk. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana.

Poerwandari, E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.

Rachmawati & Halimah. 2015. Studi Deskriptif Mengenai Gambaran Post Traumatic Growth (PTG) pada Wanita Penderita Kanker Payudara Pasca Mastektomi di Bandung Cancer Sosiety (Bcs). Prosiding Psikologi. ISSN: 2460-6448.

Rahma & Widuri. 2011. Post Traumatic Growth pada Penderita Kanker Payudara. Humanitas. Vol VIII No 2.

Retnowati. 2010. Kecemasan pada Wanita Dewasa Muda Setelah Mengalami Perceraian. Jurnal Psikologi.

Santrock, J.W. 1995. Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup) jilid 2). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sarafino, E.P. 2014. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction 8th. United States: John Wiley & Sons, Inc.

Sasongko, R.D., dkk. 2011. Resiliensi pada Wanita Usia Dewasa Awal Pasca Perceraian di Senandung Mulyo. Jurnal Psikologi.

Shafira, F. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Post Traumatic Growth pada Recovering Addict di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi BNN Lido. Skripsi Psikologi.

Snyder, C.R & Lopez, S.J. 2009. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA, cv.

Sukirna. 2014. Post Traumatic Growth pada Anak-anak yang Mengalami Peristiwa Traumatik: Eksplorasi Peran Perubahan Keyakinan Dasar, Pikiran Ruminatif dan Dukungan Sosial. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol XI No 1, 14-27.

Tedeschi, R.G & Calhoun, L.G. 2006. Handbook of Post Traumatic Growth Research and Practice. London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.


(6)

Tedeschi, R.G & Calhoun, L.G. 2013. Post Traumatic Growth in Clinical Practice. New York: Routledge Taylor & Fracis, LLC.

Werdel, M.B & Wicks, R.J. 2012. Primer on Post Traumatic Growth: An Introduction and Guide. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893 (Diakses pada tanggal 3 Mei 2017).