POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL PASCA PERCERAIAN.

(1)

POST TRAUMATIC GROWTH PADA WANITA DEWASA AWAL PASCA PERCERAIAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Dian Luluk Nur Layly B07211037

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor apa yang mempegaruhi pertumbuhan post traumatic growth yaitu pengalaman perubahan positif yang timbul dari krisis kehidupan pada wanita dewasa awal pasca mengalami perceraian. Partisipan pada penelitian ini terdapat 3 subyek yakni dengan karakteristik jenis kelamin perempuan, telah bercerai, usia dewasa awal (20-25 tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berlandaskan fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa hal yang menunjang terbentuknya petumbuhan PTG yang meliputi pengolahan emosi yang baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan kemungkinan-kemungkinan baru. Kemudian terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian. Faktor eksternal adalah dorongan dan motivasi kedua orang tua serta dukungan dari teman-teman terdekat sehingga memicu penguatan faktor internal yang meliputi, faktor peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial semakin baik. Kata kunci : Wanita Dewasa Awal, post traumatic growth, Perceraian


(5)

ABSTRACT

This study is to know in depth the factors that influence the growth of post traumatic growth, which experience positive changes arising from the crisis in the lives of adult women experiencing early post divorce. Participants in this study contained three subjects namely the female sex characteristics , divorced , early adulthood ( 20-25 years ) . The method used in this study is a qualitative research method based on phenomenology . to research results , there are two main factors that affect aspects of post traumatic growth at the beginning of adult women after divorce The external factor is the encouragement and motivation of parents and the support of my closest friends , triggering strengthening internal factors which include , factors increase spirituality , inner strength and better social relations .

Keywords : Adult Women Early , post traumatic growth, Divorce


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Post Traumatic Growth ... 13

1. Pengertian Post Traumatic Growth ... 13

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth ... 15

3. Proses terjadinya Post Traumatic Growth ... 17

B. Masa Dewasa ... 21

1. Pengertian Masa Dewasa ... 21

2. Ciri-ciri Manusia Dewasa... 23

C. Perceraian ... 30

D. Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal ... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 34

B. Lokasi Penelitian ... 35

C. Sumber Data ... 35

D. Cara Pengumpulan Data ... 36

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi ... 37


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Subjek ... 41

A. Identitas Subjek 1 ... 41

B. Identitas Subjek 2 ... 45

C. Identitas Subjek 3 ... 52

2. Hasil Penelitian ... 56

A. Deskripsi Hasil Temuan ... 56

1) Subyek 1 ... 56

2) Subyek 2 ... 64

3) Subyek 3 ... 69

B. Analisis Temuan Penelitian... 73

1) Subyek 1 ... 73

2) Subyek 2 ... 76

3) Subyek 3 ... 78

3. Pembahasan ... 80

A. Proses Post Traumatic Growth ... 80

B. Faktor-faktor yang memepngaruhi Post Traumatic Growth ... 82

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di dalam perkembangan hidup manusia selalu di mulai dari berbagai tahapan, yang di mulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat tugas-tugas yang khas yang harus di selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya. Salah satu tahapan dimana individu memulai suatu babak baru dalam kehidupan adalah tahapan dewasa muda. Pada saat seseorang telah berhasil melalui masa remaja dan harus menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan kehidupan dewasa. Dalam kehidupan dewasa selalu dihadapkan pada suatu proses hidup dimana manusia dewasa harus melalui suatu pernikahan.

Pernikahan merupakan perpaduan insingtif manusiawi antara laki-laki dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani (menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan) tetapi dalam rangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi dengan rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Alloh SWT. Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan, karena memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Perlu disadari bahwa banyak pernikahan yang tidak membuahkan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian karena perkawinan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi dan kondisi lainnya. Tetapi banyak juga perkawinan yang diakhiri


(9)

2

dengan cara perpisahan dan pembatalan, baik secara hukum maupun diam-diam (suami/istri) meninggalkan (dalam Hotmauli, 2008).

Perceraian menjadi permasalahan yang setiap tahunnya memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat sepanjang tahun. Kondisi ini merata hampir di semua daerah di Indonesia. Angka perceraian yang terjadi di Indonesia, 59 persen di antaranya adalah gugat cerai. Berdasarkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada kasus perceraian tahun 2010 yakni, cerai talak 81,535 (27.58%), cerai gugat 169,673 (57.40%), perkara lain 44.381 (15%). Jadi keseluruhan kasus perceraian pada tahun 2010 yakni sebanyak 295.589. Di tahun 2011 kasus perceraian meningkat menjadi 363.470 dari cerai talak 99.599 (27,40%), cerai gugat 215.365 (59,25%), perkara lain 48.503 (13,34%).

Humas Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Timur mengatakan bahwa kasus perceraian di Jawa Timur juga telah mencapai 81.672 kasus. Lebih dari 70% kasus cerai gugat tersebut diajukan oleh pihak wanita. Tingginya kasus perceraian tersebut disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam hal pernikahan. Oleh karena itu, hampir setiap hari pihaknya selalu menerima laporan kasus perceraian. Berdasarkan data laporan perkara yang diterima oleh PTA, sebanyak 59.585 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami cerai gugat. Sedangkan, sebanyak 31.864 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami kasus cerai talak (dalam Karina, 2014).


(10)

3

Perceraian bukanlah hal yang mudah untuk dilalui bagi individu yang mengalaminya. Hurlock (1989), mengemukakan bahwa efek traumatik yang ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan celah sosial. Oleh karena itu dukungan sosial dari keluarga, kerabat, dan teman sangat dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial itu akan sangat membantu individu yang bercerai dan mengurangi dampak negatif perceraian terhadap dampak kesejahteraan psikologis. Kemampuan seseorang menghadapi situasi pasca perceraian akan berbeda pada setiap individu. Beberapa wanita yang sedang dalam masa transisi khususnya pada dewasa awal yang mengalami perceraian akan merasa terpuruk, rendah diri, dan mengalami ketakutan yang luar biasa dalam menghadapi kehidupan sosialnya. Namun beberapa wanita pada usia dewasa awal juga mengalami hasil positif setelah mengalami perceraian yang mana hal ini disebut post-traumatic growth.

Menurut Tedeschi dan Calhoun (2006), pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep post traumatic growth atau pertumbuhan pasca trauma (PTG) sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan dari krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif (Tedeschi dan Calhoun, 2006).


(11)

4

Perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari menghadapi trauma yang mengancam kehidupan disajikan dalam berbagai cara, seperti: penerimaan meningkatkan kerentanan seseorang, meningkatkan apresiasi terhadap eksistensi sendiri dan penghargaan yang lebih besar terhadap kehidupan, meningkatkan persepsi kompetensi dan kemandirian memberikan kontrol dan keamanan yang lebih besar, peningkatan kasih sayang dan empati terhadap orang lain, hubungan lebih dekat dengan orang lain, keyakinan agama atau spiritual kuat yang berarti lebih besar tentang kehidupan dan penderitaan, kematangan psikologis dan emosional yang lebih besar dan perolehan nilai baru dan prioritas hidup. Para penulis berusaha untuk mengeksplorasi pengalaman orang-orang yang tidak hanya bangkit kembali dari trauma, tetapi menggunakannya sebagai batu loncatan untuk perkembangan individu lebih lanjut atau pertumbuhan, dan perkembangan perilaku sosial yang lebih manusiawi dan organisasi sosial.

Pertumbuhan pasca trauma juga memiliki dampak yang lebih besar pada kehidupan masyarakat, dan melibatkan perubahan mendasar atau wawasan tentang kehidupan yang tidak hanya mekanisme koping yang lain. Oleh karena itu, pertumbuhan pasca trauma sebagai perubahan positif yang signifikan dalam kehidupan, yang mempengaruhi kognitif dan emosional pada individu. Signifikansi perubahan ini bisa begitu besar, bahwa pertumbuhan ini dapat benar-benar transformatif menurut Tedeschi dan Calhoun (1995 dalam Rahma dan Widuri, 2011). Selain itu, pertumbuhan pasca trauma juga merupakan kebalikan dari gangguan stres pasca trauma.


(12)

5

Tadeschi dan Calhoun (1996 dalam Rahma dan Widuri, 2011) menyatakan sebuah isu yang belum terselesaikan untuk studi kepribadian dan pertumbuhan pasca trauma adalah sejauh mana pertumbuhan tersebut merupakan hasil dari proses, strategis yang terbukti efektif atau hasil dari perubahan spontan yang muncul dalam persepsi diri. Perbedaan ini penting karena karakteristik kepribadian yang memfasilitasi secara efektif, pertumbuhan pribadi berorientasi mungkin berbeda dari yang memfasilitasi perubahan otomatis atau tidak disengaja. Isu lain yang belum terselesaikan, sama pentingnya tetapi dikaburkan dalam teori saat ini dan penelitian, adalah apakah pertumbuhan pasca trauma secara tiba-tiba atau bertahap. Perubahan bertahap juga mungkin memerlukan karakteristik kepribadian dan proses yang berbeda dari perubahan secara mendadak. Untuk benar-benar memahami bagaimana kepribadian terlibat dalam pertumbuhan pasca trauma, kita perlu lebih sepenuhnya mengembangkan proses yang menentukan pertumbuhan sebagai hasil yang sesuai.

Sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat, tidak banyak wanita yang telah bercerai mempunyai kekuatan untuk menghadapi kehidupan setelah masa perceraian termasuk dalam menjalani kehidupan sosialnya. Namun tidak sedikit pula wanita yang berhasil bangkit dari pengalaman masa krisisnya dan menjadikan pelajaran yang berharga untuk kehidupan selanjutnya. Secara umum dan logika kaum pria lebih banyak menderita kecemasan dan rasa takut menghadapi masa depan setelah perceraian, mengingat fungsinya sebagai penanggung jawab atas diri dan keluarganya,


(13)

6

serta sebagai pilar utama untuk membahagiakan rumah tangga. Akan tetapi pada kenyatannnya setelah melalui penelitian dan studi ilmiah, terbukti bahwa wanitalah yang lebih sering merasakan kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi kehidupan pasca bercerai. Melihat hal ini peneliti tertarik untuk memilih wanita khususnya pada usia dewasa awal sebagai subyek penelitian karena berdasarkan penelitian dan study yang perna dilakukan menunjukkan bahwa wanita lebih perasa dan pada tingkat tertentu, mereka lebih sering terpengaruh dengan kesulitan dalam menghadapi kehidupan sosialnya karena pada umumnya masyarakat masih berpandangan negatif terhadap perceraian, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malu dan keputus asaan pada wanita tersebut.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, penulis ingin menjawab pertanyaan : bagaimana proses terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana proses terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth pada wanita dewasa awal pasca perceraian.


(14)

7

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan memberi manfaat :

1. Menambah dan memperluas khazanah dalam keilmuan psikologi klinis khususnya dalam aspek pasca-traumatik.

2. Memberi pengetahuan lebih dalam mengenai post traumatic growth khususnya pada wanita dewasa awal pasca perceraian.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini di harapkan dapat memberi beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi subyek, diharapkan dapat memberikan insigth bagi para wanita khususnya pada wanita usia dewasa awal yang menghadapi situasi pasca perceraian untuk dapat mengatasi rasa kehilangan akan pasangan hidupnya, mampu membuka pikiran yang lebih positif untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya dan tidak mengalami stress yang berkelanjutan.

2. Bagi wanita yang telah bercerai (Janda) yakni memberi pengetahuan tentang pengalaman Post Traumatic Growth seseorang pasca bercerai sehingga dapat memahami bagaimana caranya untuk bangkit dari masa krisis yang terjadi dalam kehidupannya.

3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada keluarga yang salah satu anggotanya perna mengalami kasus perceraian dan masyarakat secara umum agar dapat


(15)

8

menangani masalah tersebut, memahami posisi mereka dan memberikan bantuan berupa dukungan sosial.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai Post Traumatic Growth telah banyak diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2011). Post Traumatic Growth pada Penderita Kangker Payudara. Berdasarkan analisis data penelitian didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi aspek post traumatic growth pada penderita kangker payudara. Faktor eksternal adalah anak cucu sebagai life expectation serta dorongan atau motivasi dari kedua orang tua secara terus menerus untuk melakukan pengobatan sehingga akhirnya memicu penguatan faktor internal. Faktor internal yang meliputi faktor keimanan (spiritualitas), faktor keinginan kuat untuk sembuh (optimisme), faktor resiliensi, dan faktor reframing. Terdapat 4 (empat) post traumatic growth yang timbul dari perjuangan penderita kangker payudara dalam menghadapi penyakitnya; peningkatan spiritualitas, positive improvement in life, prososial semakin tinggi, dan relasi sosial semakin baik.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Mahleda (2012) . Post Traumatic Growth pada Pasien Kangker Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya. Yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa awalnya pasien mengalami emosi negatif setelah menjalani mastektomi. Setelah melakukan perenungan dan pengungkapan diri, mereka merubah pandangan hidupnya.


(16)

9

Subyek bisa mengembangkan diri menuju pertumbuhan psikologis, yaitu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Proses ini di pengaruhi pula oleh adanya dukungan sosial dan keyakinan terhadap Tuhan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Karina (2014). Resiliensi Remaja yang Memiliki Orang Tua Bercerai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kemampuan resiliensi pada remaja yang memiliki orang tua bercerai adalah rata-rata bawah (30,56%)

Ke empat, penelitian yang dilakukan oleh Hotmauli (2008). Kecemasan Pasca Bercerai pada Wanita Dewasa Awal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subyek mengalami kecemasan seperti sedih karena keluarganya tidak ada yang membantu, kecewa atas pernikahan dan kehidupan yang di alaminya, cemas dalam memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari dengan tiga orang anak, wanita dewasa awal juga harus bisa mengatur ekonomi keluarga secara mandiri dan panik memikirkan masa depan anak-anaknya.

Ke lima, penelitian yang dilakukan oleh Ningrum (2013). Perceraian Orang Tua dan Penyesuaian Diri Remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini memperlihatkan bahwa subjek mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan karena subjek mampu menerima kenyataan dan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi dengan control emosi yang baik, percaya diri, terbuka, memiliki tujuan, dan bertanggung jawab juga dapat menjalin hubungan dengan cara yang berkualitas.

Ke enam, penelitian yang dilakukan oleh Dewiyanti (2014). Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Orang Tua Pasca Cerai. Hasil penelitian


(17)

10

ini menunjukkan bahwa partisipan dapat resilien walaupun setelah perceraian partisipan masih menghadapi masalah-masalah baru. Partisipan dapat resilien dengan memiliki gambaran kemampuan resiliensi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian, ketiga partisipan samasama memunculkan kemampuan pada impulse control, optimism, empathy dan self efficacy meski ketiga partisipan mempunyai kemampuan yang tidak sama persis. Kemampuan resiliensi yang dimiliki membuat ketiga partisipan berhasil dalam mengartikan sebuah peristiwa sulit.

Ke tujuh, penelitian yang dilakukan oleh Hagenaars (2010). Posttraumatic Growth in Exprosure Therapy for PTSD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pasca trauma mungkin konsep baru yang berharga dalam terapi trauma.

Ke delapan, penelitian yang dilakukan oleh Levine (2008). Strengths of Character and Posttraumatic Growth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pasca trauma pada masa remaja ditandai oleh dua komponen yang kuat, dan terbesar pada tingkat stres pasca trauma moderat.

Ke sembilan, penelitian yang dilakukan oleh Peterson (2008). Strengths of Character and Posttraumatic Growth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan trauma berikut mungkin memerlukan satu penguatan karakter.

Ke sepuluh, penelitian yang dilakukan oleh Stephen Jhoseph (2009). Growth Following Advercity. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


(18)

11

gagasan pertumbuhan kesulitan mengikuti menjanjikan pandangan alternatif tentang bagaimana untuk berpikir tentang trauma.

Ke sebelas, penelitian yang dilakukan oleh Christian (2013). Religius Coping, Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic Growth Among Female survivors Four Years After Hurricane Katrina. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil dari pemodelan regresi struktural menunjukkan bahwa koping agama negatif di kaitkan dengan tekanan psikologis, tetapi tidak PTS. Koping religius positif di kaitkan dengan PTG. Analisis lebih lanjut menunjukkan efek tidak langsung signifikan sebelum dan pasca bencana keagamaan di PTG pasca bencana melalui positif koping agama. Temuan menggaris bawahi dampak positif dan negatif dari variabel agama dalam konteks bencana alam.

Perbedaan penelitian Post Traumatic Growth pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yakni terletak pada tempat atau lokasi penelitian serta subyek penelitiannya, yang pada penelitian sebelumnya menggunakan subyek pasien yang mengalami penyakit kangker tetapi pada penelitian ini peneliti memilih subyek penelitian wanita dewasa awal pasca bercerai yang dianggap menarik untuk diteliti. Peneliti ingin menggali lebih dalam bagaimana perkembangan dan dampak psikologis yang terjadi pada wanita dewasa awal yang mana seorang wanita sering dianggap lemah. Peneliti ingin menggali bagaimana dinamika pertumbuhan psikologis yang terjadi pada wanita dewasa awal pasca bercerai serta bagaimana caranya ia menghadapi kehidupan sosialnya khususnya pasca bercerai.


(19)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Post Traumatic Growth

1. Pengertian Post Traumatic Growth

Post-traumtic Growth menurut Tedeschi dan Calhon (2006) adalah suatu perubahan positif seorang menuju level yang lebih tinggi setelah menglami peristiwa traumatis. Post –traumatic Growth bukan hanya kembali ke sediakala, tetapi juga mengalami peningkatan psikologis yang bagi sebagian orang adalah sangat mendalam. Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang berkembang, yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.

Menurut Tedeschi dan Callhoun (2006) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep pertumbuhan pasca trauma atau yang biasa disingkat PTG, sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan krisis kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif.

Post-traumatic Growth merupakan pengalaman berupa perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi, menurut Tedeschi


(20)

13

Post-traumatic Growth (PTG) memiliki dua pengertian penting. Pertama, Tedeschi dan Callon menyatakan bahwa PTG dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua, perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan. Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat, menurut Bellizi & Blank dan Tedeschi & Callon (2008 dalam Shafira, 2011).

Definisi lain tentang posttraumatic growth disampaikan oleh Patton, Voilanti, dan Smith (2010), mereka mengatakan bahwa posttraumatic growth adalah perubahan yang menguntungkan secara signifikan dalam hal kognitif dan emosional yang melampaui tingkat adaptasi sebelumnya, peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran akan hidup yang terjadi sebagai akibat dari psikologis trauma yang menantang asumsi sebelumnya ada tentang diri sendiri, orang lain, dan masa depan.

Pengertian lainnya mengenai posttraumatic growth juga disampaikan oleh Calhoun and Tedeschi (2006) adalah suatu konstruksi perubahan psikologis yang positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dengan acara yang sangat menantang, stress, dan trauma. Selain itu, Janoff- Bulman juga menyatakan bahwa "ini adalah proses dalam diri korban akan menerima dan akhirnya mengubah


(21)

14

pengalaman traumatik oleh unsur-unsur positif dalam mengamati korban tersebut”.

PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru setelah mengalami kejadian traumatik. Tedeschi & Callon (1998 dalam Shafira, 2011)menggunakan istilah gempa bumi (earthquake) untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis yang “mengguncang” dapat menyiksa atau mengurangi pemahaman seseorang dalam memahami sesuatu, mengambil keputusan dan perasaan berarti. Kejadian yang “mengguncang” dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan, atau mungkin kehilangan kemampuan unutk memahami apa yang terjadi, penyebab dan alasan kejadian tersebut terjadi dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari kehidupan manusia.

Menurut Tedeschi & Callon (2004 dalam Shafira, 2011) setelah mengalami kejadian yang “mengguncang” seseorang akan membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah gempa bumi. Struktur fisik dirancang agar seseorang dapat lebih bertahan atau melawan kejadian traumatik dimasa depan yang merupakan hasil pelajaran dari gempa bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari dan apa yang tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan PTG.


(22)

15

Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa posttraumatic growth (pertumbuhan pasca trauma) adalah pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.

2. Faktor-faktor Post Traumatic Growth

Calhon dan Tedeschi (2006) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca kejadian traumatic yang juga merupakan elemen PTG, antara lain :

a. Appreciacion for life (Penghargaan Hidup)

Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam kehidupan seseorang. Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang yang juga dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut menjadikan suatu hal yang kecil menjadi penting dan berharga misalnya pada wanita pasca bercerai ia akan lebih menghargai dan memikirkan kehidupan selanjutnya yaitu masa depan.

b. Relating to Others (Hubungan dengan orang lain)

Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan keluarga atau temannya. misalnya


(23)

16

pada wanita pasca bercerai menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan siapapun yang mengalami kesedihan.

c. Personal Strength (Kekuatan Pribadi)

Merupakan perubahan yang berupa peningkatan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada wanita pasca bercerai menyatakan “Saya dapat mngatur semuanya dengan lebih baik, hal-hal yang menjadi suatu masalah besar sekarang tidak menjadi masalah yang tidak begitu besar bagi saya”.

d. New Possibilities (Kemungkinan Baru)

Merupakan identifikasi baru individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda. Sebagai contoh wanita dewasa pasca bercerai melihat individu lain yang juga mengalami perceraian mempengaruhi dirinya untuk berjuang menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya sebagai teman curhat. Dengan menjadi teman curhat ia dapat mencoba memberikan kepedulian dan rasa nyaman bagi orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang memperlihatkan yang baru, aktivitas baru dan mungkin memulai pola kehidupan baru yang signifikan.

e. Spiritual Development (Perkembangan Spiritual)

Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religus


(24)

17

atau tidak memiliki agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang hebat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar atau pertempuran tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG.

Selain itu Calhon dan Tedeschi (1996 dalam Shafira, 2011) juga membagi PTG dalam tiga aspek, antara lain :

a. Perubahan dalam persepsi diri (Perceived Change in Self) antara lain meliputi memiliki kekuatan dalam diri yang lebih besar, resiliensi atau kepercayaan terhadap diri sendiri, terbuka dan mengembangkan hal baru.

b. Perubahan dalam hubungan interpersonal (Change in interpersonal relatitationship) antara lain meliputi peningkatan rasa altruis atau memiliki rasa kedekatan yang lebih besar dalam suatu hubungan dengan orang lain.

c. Perubahan dalam filosofi hidup (Change in philosophy of life) antara lain memiliki apresiasi yang lebih besar setiap harinya dan perubahan dalam hal spiritualitas atau religiusitas (kepercayaan keagamaan).

3. Proses terjadinya Post Traumatic Growth

Telah dijelaskan oleh Tedeshci dan Calhoun (2006) beberapa karakteristik individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya tingkat self-disclosure seseorang tentang


(25)

18

keterbukaannya akan emosi dan perspektif mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam terjadinya PTG pada seseorang. Kemudian dapat digambarkan bagaimana cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran berulang atau perenungan (ruminative thougth) juga berhubungan munculnya PTG. Sehingga dapat diasumsikan bahwa proses kognitif seseorang dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG. a. Karakteristik personal atau individu

Tingkatan trauma ynag dialami oleh individu tentunya akan mempengaruhi perkembangan PTG. Namun, karaktersitik personal seseorang dalam menghadapi trauma tersebut juga dapat mempengaruhi proses PTG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Costa dan Mc Care (dalam Shafira, 2011) keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ektrovert berhubungan dengan perkembangan PTG. Individu dengan karakteristik ini mungkin lebih memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam keadaan yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami informasi mengenai pengalaman yang dialaminya dengan lebih efektif dan menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu karakteristik lain seperti optimisme juga dapat mempengaruhi pertumbuhan PTG. Individu yang optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana yang penting baginya dan terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan.


(26)

19

Hal ini merupakan hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatik.

b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif (Managing distressing Emotion)

Saat seseorang mengalami masa krisis dalam hidupnya, seseorang harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan (rumination) yang negatif atau merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berfikir bahwa cara lama yang dijalani dalam hidupnya tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan.

Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan ketidakpercayaan terhadap pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Sterss yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa seseorang tersebut telah


(27)

20

mampu menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam kejadian traumatik.

c. Dukungan dan keterbukaan (Supprort and disclosure)

Dukungan dari orang lain dapat membantu pertumbuhan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada orang yang mengalami trauma, untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu seseorang untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang di alami. Selain itu melalui cerita, seseorang dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain.

d. Proses kognitif dan perkembangan (Cognitive processing and growth) Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Seesorang dengan kepercayaan diri tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan seseorang dengan kepercayaan diri rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, seseorang akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam kehidupannya.


(28)

21

e. Perenungan atau proses kognitif (Rumination or cognitive processing) Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkontruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan di ambil. Pembangunan kembali skema tersebutuntuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang di alaminya. f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (Wisdom and life narrative)

Pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengeruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan. Keteguhan seseorang dalam mengahdapi kejadian traumatic dapat membentuk PTG dan bersifat “memperbaiki” cerita kehidupannya.

B. Masa Dewasa

1. Pengertian Masa Dewasa

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tetapi lazimnya merujuk pada manusia. Dewasa adalah orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita seutuhnya. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis dan memiliki karakteristik perilaku dewasa, tetapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal di anggap dewasa, tetapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa. Setelah mengalami masa kanak-kanak dan remaja yang panjang, seorang individu akan mengalami


(29)

22

masa di mana is telah menyelesaikan pertumbuhannya dan mengharuskan dirinya untuk berkecimpung dengan masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa dewasa adalah waktu yang paling lama dalam rentang kehidupan (Jahja, 2011).

Masa dewasa biasanya di mulai sejak usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun dan biasanya ditandai dengan selesainya pertumbuhan pubertas dan organ kelamin anak telah berkembang dan mampu berproduksi. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan harapan terhadap perubahan tersebut (Jahja, 2011).

Elizabeth B. Hurlock (1998 dalam Jahja, 2011) membagi masa dewasa menjadi tida bagian meliputi :

a. Masa Dewasa Awal (Masa Dewasa Dini/Young Adult)

Masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada hidup yang baru. Kisaran umur antara 21-40 tahun.

b. Masa Dewasa Madya (Middle Adulthood)

Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur 40 tahun sampai 60 tahun. Ciri-ciri yang merupakan pribadi dan sosial antara lain; masa


(30)

23

dewasa madya merupakan masa transisi, di mana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih bsar dibandingkan dengan masa sebelumnya dan kadang-kadang minat dan perhatian terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.

c. Masa Dewasa Lanjut (Masa Tua/Older Adult)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai umur 60 tahun sampai akhir hayat, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya sebagai berikut; perubahan yang meyangkut kemampuan motorik, kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sisten saraf dan penampilan. 2. Ciri-ciri Manusia Dewasa

Masa dewasa adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, seseorang dituntut untuk memulai kehidupannya memerankan peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran dalam dunia kerja (berkarir). Masa dewasa dikatakan sebagai masa sulit bagi individu karena pada masa ini seseorang dituntut untuk melepaskan


(31)

24

ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk dapat mandiri. Ciri-ciri masa dewasa dini (Jahja, 2011) yaitu :

a. Masa Pengaturan (Settle Down)

Pada masa ini, seseorang akan “mencoba-coba” sebelum individu menentukan mana yang sesuai, cocok dan memberi kepuasan permanen. Ketika ia telah menemukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, individu akan mengembangkan pola-pola perilaku, sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi keikhlasan selama sisa hidupnya.

b. Masa Usia Produktif

Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini merupakan masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan bereproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini, organ reproduksi sangan produktif dalam menghasilkan keturunan (Anak).

c. Masa Bermasalah

Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya (Perkawinan Vs. Pekerjaan). Jika individu tidak dapat mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah. Ada tiga faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; pertama, individu ini kurang siap dalam menanggapi babak baru bagi dirinya dan tidak dapat menyesuaiakan dengan babak/peran baru ini. Kedua, karena


(32)

25

kurang persiapan, maka ia kaget dengan dua peran/lebih yang harus diembannya secara serempak. Ketiga, individu tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapa pun dalam menyelesaikan masalah. d. Masa Ketegangan Emosional

Ketika seseorang berumur 20-an (sebelum 30-an), kondisi emosionalnya tidak terkendali. Individu cenderung labil, resah, dan mudah memberontak. Pada masa ini juga emosi seseorang sangat bergelora dan mudah tegang. Individu juga khawatir dengan status dalam pekerjaan yang belum tinggi dan posisinya yang beru sebagai orang tua. Namun ketika telah berumur 30-an, seseorang akan cenderung stabil dan tenang dalam emosi.

e. Masa Keterasingan Sosial

Masa dewasa dini adalah masa di mana seseorang mengalami “krisis isolasi”, individu terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diidentifikasikan dengan adanya semangat bersaing hasrat untuk maju dalam berkarir.

f. Masa Komitmen

Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya sebuah komitmen. Individu mulai membentuk pola hidup, tanggung jawab, dan komitmen baru.


(33)

26

g. Masa Ketergantungan

Pada awal masa dewasa dini sampai akhir usia 20-an, seseorang masih punya ketergantungan pada orang tua atau organisasi/instansi yang mengikatnya.

h. Masa Perubahan Nilai

Nilai yang dimiliki seseorang ketika individu berada pada masa dewasa dini berubah kerena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai sudah mulai dipandang dengan kacamata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah nilai-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika individu telah menikah.

i. Masa Penyesuaian Diri dengan Hidup Baru

Ketika seseorang telah mencapai masa dewasa berarti individu harus lebih bertanggung jawab karena pada masa ini individu sudah mempunyai peran ganda (peran sebagai orang tua dan pekerja). j. Masa Kreatif

Dinamakan sebagai masa kreatif karena pada ini seseorang bebas untuk berbuat apa yang diinginkan. Namun krteativitas tergantung pada minat, potensi dan kesempatan. Menurut Dr. Harold Shryrock


(34)

27

(dalam Jahja, 2011) dari Amerika Serikat, ada lima faktor yang dapat menunujukkan kedewasaan yaitu; ciri fisik, kemampuan mental, pertumbuhan sosial, emosi, dan pertumbuhan spiritual dan moral. 1) Fisik

Secara fisik, rangka tubuh, tinggi dan lebarnya tubuh seseorang dapat menunjukkan sifat kedewasaan pada diri seseorang. Faktor-faktor ini memang biasa digunakan sebagai ukuran kedewasaan, akan tetapi, segi fisik saja belum dapat menjamin ketepatan bagi seseorang untuk dapat dikatakan dewasa. Sebab banyak orang yang telah cukup usia dan kelihatan dewasa akan tetapi ternyata masih sering memperlihatkan sifat kekanak-kanakannya. Oleh sebab itu, dalam menentukan tingkat kedewasaan seseorang dari segi fisiknya harus pula dengan mengetahui; Apakah individu tersebut dapat menentukan sendiri setiap persoalan yang dihadapi dan ruginya sebuah permasalah hidup. Selain itu, juga adanya kepercayaan pada diri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, tidak cepat naik pitam dan marah, serta tidak menggerutu di saat menderita dan menerima cobaan dari Tuhan, sehingga nantinya individu dapat dilihat bagaimana tingkat kedewasaan seseorang tersebut dalam mengatasi semua persoalan hidup yang dia alami.


(35)

28

2) Kemampuan Mental

Dari segi mental atau rohani, kedewasaan seseorang dapat dilihat. Orang yang telah dewasa dalam cara berpikir dan tindakannya berbeda dengan orang yang masih kenak-kanakan sifatnya. Dapat berpikir secara logis, pandai mempertimbangkan segala sesuatu dengan adil, terbuka dan dapat menilai semua pengalaman hidup merupakan salah satu ciri-ciri kedewasaan pada diri seseorang. Sikap kedewasaan yang sempurna itu jika ada keserasian antara perkembangan fisik dan mentalnya.

3) Pertumbuhan Sosial

Sifat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari pertumbuhan sosialnya. Pertumbuhan sosisal adalah suatu pemahaman tentang bagaimana individu menyayangi pergaulan, bagaimana dapat memahami tentang watak dan kepribadian orang lain dan bagaimana cara individu mampu membuat dirinya agar disukai oleh orang lain dalam pergaulannya. Perasaan simpatik kepada orang lain dan bahkan merupakan ciri kedewasaan secara sosial. 4) Emosi

Emosi sangat erat hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan yang menyangkut sendi-sendi dalam kehidupan berumah tangga. Emosi adalah keadaan batin manusia yang berhubungan erat dengan rasa sayang, sedih, gembirah, kasih sayang dan benci. Kedewasaan seseorang itu


(36)

29

dapat dilihat dari cara seseorang dalam mengendalikan emosi. Jika orang pandai mengendalikan emosinya, maka berarti semua tindakan yang dilakukannya bukan hanya mengandalkan dorongan nafsu, melainkan telah menggunakan akalnya juga. Menyalurkan emosi dengan dikendalikan oleh akal dan pertimbangan sehat akan dapat melahirkan sebuah tindakan yang telah dewasa dan yang tetap akan berada dalam peraturan dan norma-norma yang berlaku dalam agama. Orang telah menguasai dan mengendalikan emosinya denngan disertai oleh kemampuan mental yang cukup dewasa, pasti dapat mengendalikan dirinya menuju kehidupan yang bahagia dikarenaakan selalu bersifat terbuka dalam menghadapi berbagai kenyataan-kenyataan hidup, tabah dalam meghadapi setiap kesulitan dan persoalan hidup serta dapat merasa puas dan sanggup menerima segala sesuatunya dengan lapang dada.

5) Pertumbuhan Spiritual dan Moral

Kematangan spiritual dan moral bagi seseorang yang mendorong untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan baik. Oleh sebab itu, pertumbuhan ini harus dimulai sejak awal dan dikembangkan untuk dapat menghayati rahmat Allah SWT. Sehinggga dengan demikian orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang pansai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang yang telah berkembang pertumbuhan moral dan spriritualnya akan lebih pandai dan lebih


(37)

30

tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup yang menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah SWT dengan disertai ikhtiar menurut kemampuan sendiri.

C. Perceraian

Perceraian bukanlah peristiwa tunggal. Perceraian adalah sebuah proses-rangkaian pengalaman berpotensi menekan yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan terus berlangsung setelah terjadinya perpisahan tersebut. Bahkan mengahiri perkawinan yang tidak bahagia bisa jadi menyakitkan, terutama pada anak dalam perkawinan tersebut. Walaupun sebagian orang tampaknya menyesuaikan diri lebih cepat dari orang lain, perceraian cenderung mengurangi kebahagiaan jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak memulai perceraian atau tidak menikah kembali. Alasannya antara lain gangguan hubungan orang tua-anak, perselisihan dengan mantan pasangan, kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan emosional dan harus keluar dari rumah. Perceraian dapat membawa perasaan gagal, bersalah, permusuhan dan mencaci diri sendiri, ditambah lagi tingkat depresi, sakit dan kematian ynag tinggi. Di sisi lain, ketika pernikahan sudah penuh konflik, maka pengahirannya justru dapat meningkatkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).

Perceraian menurut Murdock (dalam Houtmauli, 2008) seharusnya dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku.


(38)

31

Namun dalam hal perceraian, Goode berpandangan sedikit berbeda, Goode berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Padahal semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama di mana masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial yang bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu dapat memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagiaan yang akhirnya bermuara pada perceraian.

Perceraian diikuti oleh periode penyesuaian diri yang menyakitkan. Penyesuaian tersebut tergantung kepada cara perceraian tersebut ditangani, perasaan seseorang akan diri mereka sendiri dan mantan psangan mereka, keputusan emosional dari mantan pasangan, dukungan sosial dan sumber dana personal. Penyesuaian diri terhadap perceraian merupakan proses jangka panjang yang cenderung menurunkan kebahagiaan (Papalia dkk, 2008).

D. Post Traumatic Growth pada Wanita Dewasa Awal

Papalia (2001 dalam Sasongko dan Febriana, 2011) mengatakan bahwa perceraian itu ibarat menjalani sebuah operasi, menyakitkan dan menimbulkan trauma, akan tetapi harus dijalami untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Individu yang mengalami perceraian memerlukan adanya perubahan atau pertumbuhan kognitif yang positif untuk bisa bertahan dan keluar dari situasi tidak menguntungkan dan akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya yang disebut dengan Post-traumtic Growth.


(39)

32

Menurut Tedeschi dan Calhoun (1998 dalam Ade Fitri Rahma & Erlina Listiyanti Widuri, 2011) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan.

Perceraian merupakan salah satu kejadian yang dapat mengakibatkan wanita mengalami kesepian, penurunan kesehatan, keterpurukan, keputus asaan, kesulitan ekonomi bahkan depresi. Dengan pertumbuhan pasca trauma (PTG) wanita yang mengalami perceraian dapat mengolah atau mengatur emosi dan kognitifnya untuk bangkit dari pengalaman traumatiknya serta menyadarkan individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola yang baru dan berbeda, yakni membangun masa depan yang lebih baik.

Berdasarkan beberapa pengertian post traumatic growth yang telah di sebutkan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa post-traumatic growth merupakan pengalaman perubahan yang positif setelah masa krisis atau kejadian yang tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan seseorang, yang menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup. Sesuai dengan teori post-traumatic growth menurut Tedeschi dan Callhoun (1998 dalam Rahmah dan Widuri, 2011) pertumbuhan pasca trauma adalah pengalaman perubahan positif yang terjadi sebagai akibat dari perjuangan yang sangat menantang situasi kehidupan. Konsep pertumbuhan pasca trauma (PTG) sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan timbul dari perjuangan krisis


(40)

33

kehidupan yang besar antara lain: apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara positif.

Dengan pertumbuhan pasca trauma (PTG), wanita pasca bercerai akan mampu mengahdapi kejadian traumatik yang dialaminya dan membangun kembali kehidupannya menjadi lebih baik dan terarah sehingga dapat merefleksikan kehidupan barunya sebagai wanita tanpa pasangan atau single parent. Dengan melakukan perenungan dan atau proses kognitif serta penanaman sikap optimis, wanita pasca cerai mampu membangun kembali kahidupan selanjutnya dengan lebih baik, misalnya mulai memikirkan kehidupan masa depannya dan mulai menerima kenyataan setelah kejadian traumatik yang dialaminya. Dengan dukungan sosial dari berbagai pihak seperti keluarga, orang tua atau teman-temannya, akan sangat membantu pertumbuhan PTG wanita yang mengalami masa-masa sulit pasca perceraian.


(41)

34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelitatif dengan menggunakan paradigma fenomenologi. Menurut Moelong (2005), metode penelitian kualitatif dalam paradigma fenomenologi berusaha memahami arti (mencari makna) dari peristiwa dan kaitan-kaitannya dengan orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Strategi penyelidikan phenomenology, adalah penelitian untuk menggambarkan, menyelidiki, menemukan serta memahami struktur esensi fenomena (gejala) berdasarkan pengalaman yang dialami oleh individu.

Alasan penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara holistic kontekstual melalui pengumpulan data latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai kunci instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan induktif. Proses dan makna (perspektif infoman) lebih ditonjolkan dalam penelitian ini. penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bermaksud untuk memahami tenomena tentang apa yang dialami oleh infoman penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiyah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiyah (Moelong, 2004).


(42)

35

Penggunaan pendekatan kualitatif menurut peneliti dapat menggali penjelasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan post traumatis growth atau perubahan hidup yang positif pada wanita dewasa awal pasca cerai secara mendalam. Kebebasan penelitian kualitatif juga dapat mendorong peneliti menemukan fakta baru yang belum perna terungkap dalam penelitian sebelumnyas. Analisis isi (content analysis) merupakan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini mendeskripsikan post traumatic growth atau perubahan hidup yang positif yang dialami oleh wanita dewasa awal pasca perceraian.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan dikediaman Infoman, infoman pertama dan kedua bertempat di kota Gresik dan Infoman ketiga bertempat di kota Surabaya, oleh karena pendekatan yang digunakan peneliti adalan pendekatan kualitatif maka penelitian tidak selalu dilakukan dikediaman infoman melainkan dapat dilakukan di mana saja yang infoman inginkan.

C. Sumber Data

Pertimbangan dalam pemilihan informan ini adalah seseorang yang pernah mengalami perceraian, usia dewasa awal (20-25 tahun) dan ada rasa trauma akan perceraian sehingga mengancam kehidupannya. Informan penelitian ini adalah tiga orang wanita dewasa awal yang sama-sama berstatus janda dan berusia > 25 tahun. Informan pertama berusia 23 tahun yang berstatus janda namun belum mempunyai seorang anak, sedangkan informan kedua berusia 23 tahun berstatus janda dan perna mengalami keguguran, kemudian


(43)

36

informan ketiga berusia 24 tahun berstatus janda kembang belum berhubungan badan dengan suaminya. Pemilihan ketiga informan tersebut untuk mengungkap lebih dalam proses terbentuknya post traumatic growth atau pertumbuhan hidup yang positif pada ketiga informan. Sehingga dapat menemukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya pertumbuhan pasca trauma pada diri ketiga informan.

Untuk mendapatkan sumber data yang valid dan akurat maka diperlukan informasi penunjang lain selain informan, yakni dengan penggalian data menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Poerwandari,2005).

Di antara yang menjadi triangulasi data pada penelitian ini adalah pada Infoman 1 meliputi: orang tua Infoman, tetangga terdekat Infoman dan sahabat terdekat Infoman, kemudian pada Infoman 2 meliputi: orang tua Infoman, tetangga terdekat Infoman dan sahabat terdekat Infoman, sedangkan pada Infoman 3 meliputi: tetangga dan sahabat terdekat Infoman saja. Patton (1998 dalam Poerwandari, 2005) mengingatkan bahwa triangulasi merupakan suatu konsep yang ideal yang kadangkala atau bahkan sering tidak dapat sepenuhnya dicapai karena berbagai hambatan.

D. Cara Pengumpulan Data

Dalam proses pengambilan data, peneliti harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi etika dalam penelitian kualitatif. Pertama, harus ada informed consent, yaitu persetujuan dari informan bahwa ia akan menjadi


(44)

37

bagian dari penelitian. Kedua, prinsip kerahasiaan, yaitu peneliti akan menjamin kerahasiaan indentitas informan, kecuali informan tidak menuntut kerahasiaan identitas darinya. Ketiga, harus ada perinsip no harm, yaitu prinsip bahwa penelitian yang dilakukan tidak membahayakan atau memungkinkan terjadinya bahaya terhadap informan.

Metode pengambilan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Metode wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi terstruktur, yaitu jenis wawancara yang dalam pelaksanaannya ada guide, ada pedoman tetapi pertanyaannya ditanyakan secara semu, disesuaikan dengan kondisi (Moleong, 2005). Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara terbuka, pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang di kemukakan oleh informan. Hal ini dilakukan agar sifat pertanyaan tidak kaku atau ketat, serta memungkinkan penggalian materi yang relevan. Kemudian untuk mempermudah jalannya penelitian, peneliti menggunakan beberapa media ketika melakukan wawancara dan observasi diantaranya; rechordin (rekaman), kertas dan alat tulis.

E. Prosedur Analisis Data dan Interpretasi

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi yang dilakukan bersamaan dengan wawancara mengingat kedua metode ini saling mendukung dalam mendapatkan data yang diinginkan. Teknik pengamatan memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku


(45)

38

dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya. Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah non partisipan, peneliti hanya sebagai pengamat tanpa terlibat dalam kehidupan maupun kegiatan informan.

Observasi dilakukan di luar proses wawancara dan juga selama wawancara berlangsung yang memungkinkan peneliti memperoleh data yang sifatnya non verbal, antara lain: gerakan tubuh, mimik muka atau ekspresi wajah dan intonasi suara informan saat wawancara serta juga tentang bagaimana kondisi informan penelitian yang dalam hal ini adalah wanita dewasa awal yang telah bercerai. Sebelum proses wawancara dan observasi peneliti melakukan persiapan terlebih dahulu, antara lain untuk wawancara peneliti akan membuat guide (petunjuk) pertanyaan semi terstruktur berdasarkan pada teori mengenai post traumatic growth.

Jenis guide ini dipilih untuk menghindarkan agar pada saat proses wawancara tidak melenceng terlalu jauh dari fokus penelitian. Ekspresi non verbal informan serta perasaan-perasaan informan yang muncul selama proses wawancara dicatat. Hal ini dilakukan untuk keperluan pengecekan data atau klarifikasi terhadap pernyataan-pernyataan yang terungkap selama proses wawancara berlangsung, data yang diperoleh dalam observasi ini akan digunakan sebagai data penunjang kemudian hasil wawancara akan ditulis dalam bentuk verbatim. Kemudian dilakukan reduksi data, reduksi data dilakukan dengan cara koding dan kategori, setelah itu dilakukan analisis, analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis isi agar diperoleh data yang akurat dan mendalam.


(46)

39

Menurut Poerwandari (2005) yang dengan analisis isi adalah analisis yang mengacu pada kata-kata, arti atau makna, gambar, simbol, ide-ide, atau tema-tema yang di komunikasikan oleh teks. Setelah semua data baik observasi maupun wawancara telah di analisis, peneliti melakukan triangulasi data. Data yang ditemukan dibandingkan sehingga ditemukan kategori-kategori yang mewakili temuan dari metode tersebut. Langkah akhir yang dilakukan peneliti adalah melakukan verifikasi dan penarikan kesimpulan.

F. Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, guna mendapatkan suatu bentuk kredibilitas penelitian, peneliti akan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Poerwandari,2005).

Dalam penelitian kualitatif, data akan lebih diyakini kebenarannya jika dua sumber atau lebih menyatakan hal yang sama. Patton (1998 dalam Poerwandari, 2005) melihat konsep triangulasi diatas dalam kerangka yang lebih luas, yakni mengatakan bahwa triangulasi dapta dibedakan dalam triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori dan triangulasi metode. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode.

Triangulasi data yaitu digunakannya variasi sumber-sumber data yang berbeda. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian. Dalam penelitian ini membandingkan data keadaan dan perspektif informan penelitian dengan


(47)

40

pandangan atau pendapat orang lain atau orang-orang terdekat informan disebut sebagai significant person untuk mengecek kembali apa yang dikatakan oleh informan penelitian, atau melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Sedangkan triangulasi metode yaitu di pakainya beberapa metode yang berbeda untuk meneliti suatu hal yang sama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara.


(48)

BAB IV

HASIL PENILITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek

1. Identitas Subyek 1

Nama : INW

Tempat/tanggal lahir : Gresik, 27 Januari 1992

Alamat : Desa X

Anak ke- : ke-2 dari 2 bersaudara

Status : Janda

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Pengajar

Agama : Islam

Usia : 23 tahun

INW adalah seorang wanita dewasa awal yang berusia 23 tahun, yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. INW mempunyai ciri-ciri fisik berperwakan kurus, sedikit agak pendek, berkulit kuning, berambut agak bergelombang namun dalam kegiatan kesehariannya INW memakai jilbab dan sehat secara fisik. INW memiliki gaya berbicara yang sangat lembut dan santai saat diajak bicara menjadikan kesan yang feminim dan sangat ramah. Hal ini juga dibuktikan selama wawancara berjalan, INW terlihat sangat lembut dan ramah sekali dalam menjwab setiap pertanyaan.

INW terlahir dari keluarga sederhana, baik dan cukup harmonis, INW tinggal dan hidup bahagia bersama ke dua orang tuanya dan kakak tunggal laki-lakinya. Tetapi sejak kakaknya menikah dan tinggal bersama istrinya saat INW duduk di bangku kelas 5 SD, INW hanya tinggal bertiga dengan kedua orang tuanya. Latar belakang pendidikan INW


(49)

42

terbilang cukup tinggi, karena pendidikan terahir yang ditempuhnya adalah sampai pada bangku perkuliahan. Dalam kesehariannya, INW merupakan sosok yang dikenal sangat baik oleh teman, lingkungan serta keluarga tentunya. INW merupakan seorang yang bekerja sebagai pengajar di salah satu lembaga pendidikan taman kanak-kanak. Menjadi seorang guru adalah cita-citanya dan kegiatannya dalam sehari-hari.

Setelah INW beranjak dewasa, INW menikah dengan lelaki yang dikenalnya melalui tetangganya. Laki-laki itu bernama SA, SA adalah rekan kerja tetangngga dari INW. Alasan SA minta dikenalkan dengan INW karena memang sudah lama tau INW dan penasaran pada INW. Dari perkenalan yang terjadi di rumah INW itulah pendekatan oleh SA dimulai. Setelah SA mengenal INW ternyata SA semakin penasaran dan crasa cinta itu semakin bertambah, pada saat itulah SA menuturkan perasaannya langsung kepada Ibu INW. Tak perlu menunggu waktu lama setelah lamaran SA secara pribadi kepada ibu INW, ibu INW langsung membicarakan hal itu dengan keluarga, dan setelah semua setuju, akhirnya terjadilah lamaran secara resmi. Pertemuan dua keluarga tersebut menghasilkan keputusan bahwa setuju untuk berbesanan, dan pada akhirnya terjadilah pernikahan INW dengan SA. Pada saat INW meikah dengan SA, INW masih duduk dibangku kuliah semester 6, lebih tepatnya pada saat liburan semester INW menikah dengan SA dan mengawali kehidupan berumah tangga. Namun itu tak jadi penghalang atau persoalan yang besar bagi keduanya dalam membina rumah tangga.


(50)

43

Sebelum menikah, INW dan SA sepakat bahwa setelah menikah mereka akan tinggal di rumah INW. Dengan alasan karena INW adalah anak terahir dan berkewajiban mengurus ke dua orang tuanya setelah kakaknya menikah. Di bulan pertama, segalanya masih terasa manis dan kebahagian masih sangat kental dirasakan oleh pasangan tersebut. Karena keduanya masih dalam tahap saling mengenal dan memahami satu sama lain. Pada bulan kedua pun juga masih seperti itu, malah rasa cinta antara keduanya semakin terlihat, menurut penuturan INW, SA seringkali menggodanya dan seringkali membuat INW cemburu. Hampir dua bulan menikah, tidak perna ada masalah bahkan pertengkaran sekecil apapun, semua berjalan dengan sangat baik. Namun tidak lagi ketika perselisihan itu muncul, di akhir bulan ke dua SA sempat mengajak INW untuk hidup mandiri yakni dengan kos. Ajakan SA untuk kos ditanggapi dengan sangat santai oleh INW, INW menegaskan bahwa INW hanya ingin tinggal di rumahnya saat ini bersama kedua orang tuanya.

Awalnya tanggapan atau jawaban INW tersebut bisa diterima ole SA, hari-hari pun dijalani seperti biasanya. Namun ternyata ajakan untuk kos SA tidak berhenti sampai disitu, beberapa kali SA menyinggung masalah tersebut dan jawaban INW pun masih sama. SA merasa kesal karena merasa INW tidak nurut, sehingga mulai terjadilah pertengkaran-pertengkaran kecil yang tidak ada hubungannya dengan ajakan SA tersebut sehingga INW tidak juga paham bahwa ini adalah salah satu bentuk protes yang dilakukan SA. Hingga persis sampai dibulan ketiga


(51)

44

terjadi konflik yang berujung pada keputusan untuk berpisah. INW resmi bercerai dari suami setelah melalui proses panjang, INW resmi berstatus janda yang pada pernihakannya belum dikaruniai seorang anak.

Setelah bercerai dari SA, INW menjalani beberapa proses untuk mengembalikan kepercayaan diri yang sempat hilang akibat perceraian yang INW alami. Namun setelah berhasil bangkit dari permasalahan dan dapat menerima keadaan, banyak sekali perubahan positif yang timbul dalam diri INW. Dengan ujian seberat itu, INW mampu menyelesaikan pendidikan S1nya tanpa harus cuti semester dan saat ini INW juga tengah menitih karirnya sebagai pengajar yang menjadi cita-citanya. INW mengajar di salah satu Sekolah TK yang tempatnya tidak jauh dari daerah rumahnya.

Untuk menunjang keakuratan data maka diperlukan informasi yang diperoleh dari beberapa Significant other. Berikut ini Significant other yang di gali datanya :

a. Significant other subyek 1 (Ibu Subyek1)

Nama : Ibu PS

Tempat/tanggal lahir : Gresik, 15 Sepetember 1949

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

PS merupakan ibu subyek dan orang tua yang dikenal lebih dekat dengan subyek menurut penuturan teman-teman maupun penuturan subyek. Pada PS subyek sering menceritakan apa yang subyek alami dan akan lakukan, sehingga PS lebih memahami bagaimana kondisi subyek pada saat mengalami permasalahan


(52)

45

rumah tangga dan perceraian. Sedangkan saudara subjek dan tetangga subyek yang sedesa tidak bisa dijadikan informan karena kesibukan.

b. Significant other subyek 2 (Teman Subyek1)

Nama : DL

Tempat/tanggal lahir : Gresik 11 Maret 1992

Pekerjaan : Wiraswasta

Peneliti menjadikan DL sebagai informan pendukung atas saran dari subyek, yang mana DL adalah sosok teman yang selalu ada dan paling setia menemani subyek disaat suka dan duka. DL merupakan teman baik subyek sejak kecil, pada saat subyek mengalami permasalahan DL adalah tempat sunyek membagikan kelus kesahnya dan teman yang dimintai pendapat. Sehingga DL lebih mengetahui bagaimana kondisi subyek pada saat mengalami permasalahan sampai bangkit dari permasalahan.

2. Identitas Subyek 2

Nama : LF

Tempat/tanggal lahir : Gresik, 15 Maret 1992

Alamat : Desa X

Anak ke- : ke-2 dari 2 bersaudara

Status : Janda

Pendidikan : S1 (sedang proses)

Pekerjaan : Pengajar

Agama : Islam

Usia : 23 tahun

LF merupakan perempuan berusia dua puluh tiga tahun, anak ke dua dari dua bersaudara. LF mempunyai ciri-ciri fisik agak gemuk, tinggi badan sedang dan berkulit sawo matang. Dalam kesehariannya LF


(53)

46

mengenakan jilbab dan busana panjang. Latar belakang pendidikan LF berahir dibangku kuliah disalah satu Universitas Tinggi Negeri di Surabaya. Sifatnya yang pendiam dan anggun tidak banyak bicara menjadikan ciri khasnya yang dikenal oleh teman-temannya.

LF terlahir di keluarga yang berkecukupan dan terbilang sangat agamis serta harmonis. LF hanya tinggal bersama kedua orang tua karena kakaknya yang sudah menikah, memilih tinggal dengan istrinya. LF termasuk anggota keluarga yang sangat dimanja, namun hal tersebut tidak menjadikan LF pemanja dan lainnya. Dewasa, sabar, sopan serta tegar adalah sifat yang dikenal teman-teman terdekatnya. Oleh karena LF lahir didalam keluarga agamis, sehingga LF harus menjaga sikap dan sifatnya. D idalam keluarga LF sangat dibatasi dalam hal pergaulan dengan anak-anak desa.

Subjek LF pertama kali menikah pada usia sembilan belas tahun, pada saat LF masih duduk di bangku perkuliahan. Pertama kali mengenal mantan suaminya adalah karena telpon nyasar pada awalnya. Tetapi dari telpon nyasar tersebut pada akhirnya LF berkenalan, lalu setelah tahab perkenalan. Ternyata tidak berhenti sampai di situ, hubungan LF pun berlanjut sampai pada saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Sering kali telpon tanpa mengetahui bagaimana fisik antar keduanya ternyata hal ini tidak menjadi masalah dalam hubungan mereka dan hal ini cukup berjalan lama yakni selama enam bulan.


(54)

47

Setelah enam bulan masa perkenalan dan pendekatan, pada akhirnya laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut datanglah ke rumah LF. Pertemuan pertama kali tersebut membuahkan cinta yang sangat besar dan sambutan dari keluarga LF juga sangat baik pada waktu itu. Oleh karena merasa cocok, kemudian LF dan laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut memutuskan untuk mencoba hubungan yang lebih serius. Kemudian terjadilah pertunangan di pertemuan ke tiga di rumah LF. Saat bertunangan, sebenarnya LF masih belum sepenuhnya mengenal seluk beluk (yang kini menjadi mantan suami) tersebut siapa dan apa pekerjaan mantan suaminya apalagi bagaimana keluarganya. LF dan kedua orang tuanya hanya tau bahwa mantan suami LF adalah orang Jakarta yang sukses, anak ke dua dari tujuh bersaudara, dan keluarga yang meliputi ibu kandung dan dua adik ke lima dan ke enamnya. Namun hal ini tidak menjadi masalah bagi LF dan kedua orang tuanya. Selama berkenalan dan sampai pada jenjang pertunangan, LF hanya dikenalkan dengan ibu kandung laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut karena ayah yang sudah meninggal.

Berbeda dengan LF serta kedua orang tuanya yang tidak mempermasalahkan bibit, bebet, bobot atau paling tidak mengetahui seluk beluk keluarga laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut, hal ini sangat menjadi masalah yang besar bagi kakak kandung dan saudara serta kerabat LF. Hampir semua tidak mempersetujui hubungan antara LF dengan laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut.


(55)

48

Namun kedua orang tua LF nampaknya tidak terima dengan hal ini, karena merasa bahwa LF adalah anaknya dan hanya mereka yang boleh mengatur dan memutuskan LF akan menikah dengan siapa.

Hal ini tentunya memicu permasalahan dalam keluarga besar LF, sehingga terjadilah percekcokan antar keluarga. LF dan kedua orang tuanya masih tetap kukuh dengan pendiriannya dan pada akhirnya terjadilah pernikahan LF. Tetapi pernikahan ini tidak menjadi sebuah kebahagiaan bagi keluarga LF karena saudara dan kerabat LF masih tidak mau merestui meskipun LF sudah sah menikah. Bahkan kakak kandung LF pun setelah LF manikah, kakak LF hampir tidak perna lagi mengunjungi rumah untuk menengok kedua orang tua dan adiknya tersebut.

Pernikahan yang dicapai dengan begitu banyak penghalang ternyata hanya mampu dipertahankan LF selama dua tahun. Karena selama menikah dengan laki-laki (yang kini menjadi mantan suami) tersebut, LF tidak perna dibbahagiakan dan di nafkahi oleh mantan suaminya. Bahkan mantan suaminya tersebut jarang pulang kerumah, setelah lima belas hari pernikahan, mantan suami LF minta izin untuk pulang kembali ke Jakarta karena urusan pekerjaan. Setelah itu mantan suami LF tidak perna lagi pulang ke rumah LF selama enam bulan, meskipun tetap jalan komunikasi lewat pesawat telepon. Setelah enam bulan kemudian baru pulang lagi ke rumah LF, setelah di rumah kurang lebih lima belas hari, mantan suami LF minta izin pulang ke Jakarta.


(56)

49

Selalu seperti itu dan juga tanpa memberi nafkah materi meskipun pernikahan sudah satu tahun berjalan. Jadi segala keperluan LF seperti kuliah dan lain-lain masih menjadi tanggung jawab orang tua LF.

Memasuki usia dua tahun pernikahan, mulai terjadi permasalahan dalam keluarga LF oleh orang tuanya. Karena orang tua LF lama-lama merasa kasihan dengan anak mereka yang hanya di nikahi tidak di nafkahi dan di sakiti karena perubahan sikap oleh mantan menantunya yang jarang sekali memberi kabar. Pada akhirnya Ibu LF dan LF memutuskan untuk pergi ke Jakarta untuk menemui mantan suami LF dan keluarganya. Hal ini untuk sekedar ingin tau bagaimana keadaan mantan suami LF bagaimana dan keluarganya agar mengetahui juga bagaimana sikap anaknya tersebut kepada LF. Namun kedatangan LF dengan Ibunya malah membuat sikap mantan suami LF semakin kasar, karena sebenarnya kurang suka di kunjungi. Selama satu minggu di Jakarta dan sudah mengetahui kabar suami dan keluarga, akhirnya LF dan ibunya pulang ke Jawa.

Setelah kepulangan LF dan Ibunya ini ternyata mantan suami malah semakin tidak pernah ada kabar bahkan tidak sekalipun pulang kerumah selama satu tahun. Hal ini memicu ketidak sabaran ayah LF dengan tingkah mantan menantunya tersebut sehingga meminta LF untuk bercerai saja. Hal ini tidak di sambut baik oleh manatan suami LF, tetapi hal ini tidak lagi di sambut baik oleh saudara LF maupun keluarga dari mantan suami LF, tetapi malah menjadi kabar yang membahagiakan.


(57)

50

Sehingga ketika LF memutuskan untuk menuruti pendapat ayahnya, semua saudara dan keluarga LF yang tidak setuju dengan pernikahan LF tersebut, sangat mendukung LF untuk bercerai. Sehingga terjadilah perceraian LF dengan mantan suaminya.

Sejak bercerai, kegalauan sempat di rasakan LF. Dampak perceraian yang membuat LF menjadi linglung atas permasalahan yang menimpanya. Namun LF segera bangkit dari kegalauan setelah mendapatkan info dari saudara tiri (anak angkat ibu kandung mantan suami LF) bahwa mantan suami LF tersebut memang agak aneh, karena hobinya yang mengoleksi jimat-jimat dan mengisi tubuhnya dengan mistik yang akan hilang efeknya setelah dua tahun sekali jika tidak kembali di isi. Mendengar hal tersebut, LF seperti langsung lupa dengan permasalahan yang baru saja terjadi yakni perceraian. Sebelumnya saudara LF sudah konsultasikan perihal mantan suami LF kepada salah satu Kiyai terpandang di desa LF, dan ternyata benar bahwa mantan suami LF menggunakan kekuatan ghaib saat memikat LF dan kedua orang tua LF. Hubungan sosial LF dangan tetangga dan saudara LF kembali membaik dan kini LF kembali bangkit dan memilih melupakan segala permasalahan yang telah lalu. Kegiatan LF sehari-harinya sebagai pengajar di salah satu Sekolah de Desanya, serta LF kini tengah menyelesaikan pendidikan S1nya yang belum selesai.


(1)

86

harapan menjadi pribadi yang lebih baik setelah melewati masa krisis

yang terjadi merupakan pertumbuhan spriritual yang dialami oleh

subyek LF dan subyek DIL.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa beberapa hal

yang mempengaruhi proses pertumbuhanpost traumatic growth yakni

dengan cara mengolah emosi dengan menerima keadaan terlebih dahulu,

melakukan perenungan dengan memasrahkan segala yang terjadi kepada

Tuhan atas segala yang terjadi, kemudian memupuk kenyakinan akan

kemungkinan-kemungkinan baru seperti, masa depan dan cita-cita.

Kemudian berdasarkan hasil penelitian, peneulis menemukan terdapat

dua faktor yang mempengaruhi aspek aspek post traumattic growth yakni

faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi

pertumbuhan post traumattic growth pada ketiga subyek yakni: dorongan

dan motivasi kedua orang tua serta dorongan sosial dari teman terdekat.

Sedangkan faktor internal yang timbul pada masilng-masing subyek

bebeda-beda. Namun terdapat tiga faktor eksternal yang secara signifikan timbul

pada masing-masing subyek meliputi: perkembangan atau peningkatan

spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial yang semakin baik.


(2)

87

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa beberapa

hal yang menunjang proses pertumbuhan post traumatic growth yakni

dengan cara mengolah emosi dengan menerima keadaan terlebih dahulu,

melakukan perenungan dengan memasrahkan segala yang terjadi kepada

Tuhan atas segala yang terjadi, kemudian memupuk kenyakinan akan

kemungkinan-kemungkinan baru seperti, masa depan dan cita-cita.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian ditemukan dua faktor yang

mempengaruhi aspek post traumattic growth yakni faktor eksternal dan

faktor internal. Faktor eksternal yang ditemukan pada masing-masing

subyek yakni adanya dorongan dan motivasi dari kedua orang tua serta

dukungan sosial dari teman-teman terdekat. Kemudian faktor internal yang

meliputi: perkembangan atau peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam

diri dan relasi sosial yang semakin baik.

B. SARAN Saran Praktis :

a. Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa hal yang menunjang

terbentuknya petumbuhan PTG yang meliputi pengolahan emosi yang

baik serta menumbuhkan motivasi dalam diri akan

kemungkinan-kemungkinan baru. Maka alangkah baiknya jika wanita yang


(3)

88

mengatur emosi dengan melakukan perenungan, sehingga lebih

mampu mengembangkan perubahan positif dalam hidupnya seperti

kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya prioritas hidup di masa

depan.

b. Terdapat beberapa faktor yang memepengaruhi pertumbuhan PTG

diantaranya faktor internal yang meliputi perkembangan atau

peningkatan spiritualitas, kekuatan dalam diri dan relasi sosial yang

semakin baik. Kemudian faktor eksternal yang ditemukan pada

masing-masing subyek yakni adanya dorongan dan motivasi dari

kedua orang tua serta dukungan sosial dari teman-teman terdekat.

Maka alangkah baiknya jika keluarga dan teman terdekat lebih

berperan aktif lagi untuk menujang pertumbuhan pasca traumatic yang

lebih optimal dan efectif.

Bagi Peneliti Selanjutnya :

a. Untuk penelitian selanjtnya dengan tema post traumattic growth,

diharapkan untuk bisa lebih memaksimalkan waktu dalam mencari

data.

b. Diharapkan peneliti ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan post traumatic growth.

Peneliti di sini menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

sempurna, dan masih banyak sekali kekurangan sehingga diharapkan


(4)

89

c. Bagi peneliti yang tertarik untuk melanjutkan penelitian ini maka

dapat melakukan penelitian dengan menggunakan subjek penelitian


(5)

90

DAFTAR PUSTAKA

Chan, C. S. & Jean E. R.. (2013). Religious Coping, Posttraumatic Stress, Psychological Distress, and Posttraumatic Growth Among Female Survivors

Four Years After Hurricane Katrina. Journal of Traumatic Stress, 26, 257–

265.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Dewanto, A. P. dan Veronika, S..(2014). Resiliensi Remaja Putri terhadap

Problematika Orangtua Pasca Bercerai. Jurnal Psikoligi Pendidikan dan

Perkembangan, Vol. 3, 03

Hagenaars, M. l A. & Agnes, V. M. (2010). Posttramatic Gwoth in Exprosure

Therapy for PTSD. Journal of Traumatic Stress, Vol. 23, 4, 504–508

Houtmauli, S. (2008). Kecemasan Pasca Bercerai Wanita Dewasa Awal. Jurnal

Psikologi.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan “Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan”. Jakarta: Erlangga.

Jahja, Y. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kecana Prenada Media Group.

Jhoseph, S. (2009). Growth Following Adversity: Positive Psychological

Perspectives on Posttraumatic Stress. Journal of Psychological Topics 18,

2, 335-344

Karina, C. (2014). Resiliensi Remaja yang Memiliki Orang Tua Bercerai. Jurnal

Psikologi. Vol. 2, 1

Levine, S. Z. And acpt. (2008). Posttraumatic Growth in Adolescence:

Examining Its Components and Relationship With PTSD. Journal of

Traumatic Stress, Vol. 21, 5, 492–496

Mahleda, M. dan Nurul H. (2012). Post-Traumatic Growth pada Pasien Kangker

Payudara Pasca Mastektomi Usia Dewasa Madya. Jurnal Psikologi Klinis

dan Kesehatan Mental, Vol. 1, 02

Moelong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Tersito.

Ningrum, P. R. (2013). Perceraian Orang Tua dan Penyesuaian Diri remaja.

Jurnal Psikologi. Vol. 1, 1, 69-79

Papalia, D. E. Dkk. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan).


(6)

91

Peterson, C. (2008). Strengths of Character and Posttraumatic Growth. Journal of

Traumatic Stress, Vol. 21, 2, 214–217

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.

Rahma, A. F. dan Erlina L. W. (2011). Post-Traumatic Growth pada Pasien

Kangker Payudara. Jurnal Humanitas, Vol. 8, 02

Tedeschi, R.G, Calhoun, L.G. (2006). Handbook of Posttraumatic Growth:

Research and Practice. Lawrence Erlbaum Associates.

Shafira, F. (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Post-traumatic Growth

pada Recovering Addict di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan

Rehabilitasi BNN Lido. Skripsi.

Sasongko, R. D., dkk. (2011). Resiliensi pada Wanita Usia Dewasa Awal Pasca

Perceraian di Senandung Mulyo. Jurnal Psikologi

Wikipedia.(2009).Posttraumaticgrowth.http://en.wikipedia.org/wiki/Posttraumatic

_growth&rurl=translate.google.co.id#History. 11 Maret2011.

http://rahmahzelectry.blogspot.com/2013/11/posttraumatic-growth-ptg.html. diakses tanggal 11 Maret 2015.