MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MELALUI MATHEMATICAL MODELLING DALAM MODEL PROBLEM BASED LEARNING.

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hasil belajar matematika sampai saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sering dikumandangkan baik oleh orang tua siswa maupun oleh para ahli. Hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi, 2001) terhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia juga menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, utamanya dalam soal cerita (aplikasi matematika). Demikian juga menurut Suryadi (2005) yang menemukan bahwa siswa kelas dua SMP di kota dan kabupaten Bandung mengalami kesulitan dalam kemampuan mengajukan argumentasi.

Rendahnya hasil belajar di atas adalah suatu hal yang wajar jika dilihat dari aktivitas pembelajaran di kelas yang tidak lain merupakan penyampaian informasi yang lebih mengaktifkan guru, sementara siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian. Akibatnya siswa mengalami kendala jika diberikan permasalahan yang tidak rutin. Hal ini disebabkan siswa kurang terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Menurut Sagala (13: 2007) bahwa belajar adalah tindakan dan perilaku siswa yang komplek dan dialami oleh siswa sendiri. Committee on the


(2)

antara lain bahwa pembelajaran matematika di kelas harus melibatkan aktivitas yang mendukung semua mahasiswa untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan penalaran analitis dan kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi, dan mencapai kebiasaan (habit) berpikir matematis. Di samping itu, CUPM juga merekomendasikan bahwa pembelajaran di kelas harus mempresentasikan ide-ide kunci dan konsep dari berbagai perspektif, seperti menyajikan berbagai range dari contoh dan aplikasi untuk memotivasi dan mengilustrasi materi, mempromosikan koneksi matematika ke disiplin ilmu lain, mengembangkan kemampuan setiap siswa untuk menerapkan materi matematika ke disiplin tersebut, memperkenalkan topik yang terkini dari matematika dan aplikasinya, dan meningkatkan persepsi siswa tentang peran vital dan pentingnya matematika dalam dunia dewasa ini.

Tuntutan berpikir atau belajar matematika yang meliputi penalaran, komunikasi, koneksi, dan pemecahan masalah matematis membutuhkan suatu wahana komunikasi (baik verbal maupun tulisan), dinyatakan dalam suatu bentuk representasi, yang merupakan bahasa dari matematika dan digunakan untuk mengungkapkan ide-ide atau pikiran seseorang, serta mengkomunikasikannya kepada orang lain atau diri sendiri, baik secara verbal maupun tulisan, melalui grafik, tabel, gambar, persamaan, atau yang lainnya (Dewanto: 2006).

Selain kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis, terdapat aspek lain yang juga memberikan pengaruh yang signifikan yaitu aspek psikologis. Aspek psikologis ini turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas/soal dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-efficacy. Aspek ini merupakan salah satu bagian


(3)

penting dalam pembelajaran, karena selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku dalam diri siswa dan dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa (Dewanto: 2006). Menurut Bouffrad-Bouchard self-efficacy juga berperan dalam kaitannya dengan pemodelan dan pemecahan masalah (Dewanto: 2006).

Tentunya perubahan sikap tersebut adalah perubahan sikap tersebut meliputi sikap pada materi pembelajaran (aspek kognitif) dan aspek afektif. Sebagaimana diutarakan oleh Lester (Sagala: 2007) bahwa belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan – kebiasan, pengetahuan, dan sikap – sikap. Oleh karena itu, proses belajar berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu.

Berdasarkan hasil penelitian dalam implementasi proses pembelajarannya banyak terjadi kendala, misalnya kesukaran siswa dalam menjembatani representasi-representasi dan secara fleksibel berpindah dari satu representasi ke representasi lainnya (Yerushalmy, 1997). Ferrini-Mundy dan Graham (1993) mengatakan bahwa, siswa seringkali merasa puas dengan hasil yang berbeda dengan representasi yang berbeda, dan tidak selalu menyadari bahwa hasilnya ini tidak konsisten, bahkan saling berkontradiksi. Demikian pula, Sfard (1992), Greer dan Harel (1998), Hong, Thomas, dan Kwon (2000), Greeno dan Hall (dalam Dewanto: 2006) mengatakan bahwa siswa mempunyai kemampuan minimal dalam menjembatani representasi-representasi tanpa memahami benang merah antara ide konsep materi-materi yang direpresentasikan. Upaya-upaya mencari


(4)

penyebab dan solusi tentang kurangnya kemampuan siswa dalam representasi sudah banyak diteliti di negara yang sudah maju, dengan berbagai teori pendidikan, model belajar, dan lainnya.

Menurut Wahyudin (1999), salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu karena siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Sejalan dengan hal tersebut, Priatna (2003) juga menyatakan ‘bahwa kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal-soal matematika dikarenakan kurangnya kemampuan penalaran terhadap kaidah dasar matematika’, pada hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kualitas penalaran dan pemahaman matematis siswa SMP Negri di kota Bandung masih belum memuaskan yaitu masing-masing hanya sekitar 49% dan 50% dari skor ideal. Hasil penelitian lainnya menunjukan kenyataan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis masih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Nurhadiyati (2006) terhadap siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikota Bandung, secara umun hasil kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP belum memuaskan sekitar 30% - 50% dari skor ideal. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran terjadi penekanan berlebih pada penghapalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Oleh sebab itu peran guru sangat penting dalam pembelajaran matematika dan pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnnya pengajaran


(5)

matematika berfokus pada perhitungan aritmetika saja maka saat ini guru – guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar dengan menggunakan logika matematika dan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan kondusif.

Survey yang dilakukan oleh Japan International Cooperation

Agency-Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia (JICA-IMSTEP)

pada tahun 1999 di Bandung juga menemukan bahwa sejumlah kegiatan bermatematika yang dipandang sulit oleh siswa maupun oleh guru matematika SLTP adalah justifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta-fakta yang diberikan (Suryadi, 2005).

Karena adanya kebutuhan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka lahirlah suatu pemikiran atau ide matematika. Ruseffendi (1991: 260) menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran – pikiran yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Oleh karena itu konsep-konsep matematika berawal dari pengalaman dan kejadian dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu siswa harus diberi kesempatan untuk menjalani suatu tahap konkrit. Pengertian konkrit disini, tidak hanya sebatas bahwa siswa bisa melihat, meraba akan model konkrit dari konsep yang akan dipelajari, tetapi juga siswa dapat menangkap akan adanya situasi yang konkrit bagi siswa.

Tahapan konkrit tersebut merupakan bagian dari representasi matematis. Sebagaimana yang disampaikan NCTM (2000) bahwa di dalam representasi


(6)

terdapat suatu proses dan produk dalam menangkap ide tentang konsep matematika yang disajikan.

Dalam mengatasi permasalahan inilah, para guru dan pendidik selalu memerlukan metode pengajaran yang inovatif. Mathematical Modelling merupakan salah satu metode pengajaran yang dapat digunakan sebagai pendekatan bagi para siswa agar untuk mengatasi masalah siswa pada pelajaran matematika, karena metode ini membantu siswa untuk membuat/menggambarkan suatu model pictorial yang merepresentasikan masalah matematika untuk membantu mereka memvisualisasikan dan menyelesaikan masalah tersebut (CPDD, 2009).

Sementara itu salah satu pembelajaran yang direkomendasikan oleh Depdiknas dan para ahli pendidikan adalah pembelajaran berbasis masalah. Moffit (Permana, 2004), mengatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa menjadi aktif secara optimal, memungkinkan siswa melakukan investigasi, pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai sisi. Pendekatan ini meliputi penyimpulan informasi sekitar masalah, melakukan sintesis dan merepresentasikan apa yang didapat kepada orang lain. Sementara Seng (2000) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan pada siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Menurut Janvier (1987) (dalam Dewanto: 2006) , salah satu pembelajaran yang menyediakan banyak kesempatan aktivitas matematis bagi mahasiswa dalam melakukan representasi multipel adalah Problem-Based Learning atau


(7)

pembelajaran berbasis-masalah (selanjutnya disingkat PBM), yang merupakan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang terbuka (open-ended) dalam suatu situasi kontekstual, yang prosedur penyelesaiannya tidak terstruktur dengan baik (ill-structured), artinya tidak algoritmis/prosedural.

Pada pembelajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan pada berbagai masalah yang menantang sehingga dapat menghadirkan kegiatan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika secara kooperatif dalam kelompok kecil dan mengemukakan kembali ide matematika dalam bentuk pemahaman baru. Melalui situasi masalah yang dimunculkan, para siswa dapat mencoba memahami masalah, merencanakan penyelesaiannya menurut tingkat berpikirnya dan pengalaman belajar sebelumnya, kemudian melaksanakan langkah-langkah penyelesaian. Setelah selesai, memeriksa kembali hasil-hasil yang didapat, sehingga dengan mengalami sendiri kegiatan pembelajarannya, para siswa diharapkan akan memperoleh beberapa konsep dan ide matematika baru yang akan terkonstruksi dan mampu mengendap lebih lama dalam struktur berpikirnya. Kajian dalam matematika sangat beragam salah satu diantaranya adalah mengenai persamaan garis lurus. Persamaan linear atau persamaan garis lurus merupakan bagian dari Aljabar. Mengajar dan belajar aljabar sudah sejak lama merupakan materi yang sulit (Lima dan Tall: 2006). Dan berdasarkan fakta di lapangan tak sedikit siswa yang mengatakan bahwa aljabar adalah pelajaran yang sulit, apalagi jika menyangkut soal aplikasi aljabar. Menurut Freitas (Lima dan Tall: 2006) banyak siswa yang melakukan eror dalam mengerjakan persamaan linear disebabkan oleh ketidak pahaman dari aturan – aturan Aljabar.


(8)

Ketidakpahaman dari aturan Aljabar tersebut salah satunya disebabkan karena Miskonsepsi yang terjadi tersebut di sebabkan siswa tidak mampu melihat makna dari operasi atau permasalahan yang diberikan. Berdasarkan hasil observasi yang di lakukan melalui wawancara dengan guru di lapangan diperoleh data bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menentukan persamaan garis lurus atau bukan. Sebagai contoh kasus yaitu :

Dari persamaan berikut manakah yang merupakan persamaan garis lurus?

a. y= 8 + 2

b. 2 + 3 = 6

c. + = 4

Untuk kasus (a) dan (b) siswa dapat dengan mudah menjawab tetapi untuk kasus (c) siswa mengalami kesulitan dan diantaranya menjawab salah dengan alasan bahwa persamaan garis lurus ditandai oleh variabel yang berderajat satu. Kesalahan siswa tersebut disebabkan kurangnya kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa. Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti telah melaksanakan penelitian dengan judul: “Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis melalui Mathematical Modelling dalam Model Problem Based Learning”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah pembelajaran problem-based learning melalui


(9)

pemecahan masalah matematis siswa SMP ?”. Rumusan masalah tersebut dapat diperinci lagi menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah peningkatan kemampuan representasi siswa yang mendapat pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran problem-based learning melalui mathematical

modelling lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran

konvensional?

3. Bagaimanakah sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran problem-based learning melalui mathematical

modelling?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis peningkatan kemampuan representasi siswa yang mendapat pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Menganalisis peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran problem-based learning melalui mathematical


(10)

3. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran problem-based learning melalui mathematical

modelling.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan dintaranya sebagai berikut:

a. Dapat menjawab keingintahuan peneliti dan memberikan informasi tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran problem-based learning melalui mathematical

modelling

b. Jika ternyata terdapat peningkatan, maka pembelajaran problem-based

learning melalui mathematical modelling ini dapat dijadikan sebagai salah

satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika.

c. Membantu guru dalam membina dan mengembangkan kemampuan kognisi (representasi dan pemecahan masalah matematik) dan self-efficacy siswa terhadap matematika melalui pembelajaran

d. Membantu siswa untuk memberikan pengalaman baru dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran dikelas sehingga dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematik serta


(11)

E. Definisi Operasional

1. Representasi matematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

a. Representasi simbolik yang terdiri dari memanipulasi simbol, menginterpretasikan makna symbol dan beroperasi dengan simbol.

b. Representasi grafis yang terdiri dari menghitung dari bentuk grafik, menggambarkan bentuk fungsi, dan beroperasi pada grafik.

c. Representasi numerik yang terdiri dari menggunakan prosedur untuk memperoleh hasil numerik, memahami dan menerapkan konsep, dan menginterpretasikan tabel.

2. Kemampuan pemecahan masalah matematik pada penelitian ini adalah : a. Penguasaan konsep

b. Dari aspek proses : yaitu kemampuan untuk berpikir secara heuristic terhadap proses penyelesaian suatu masalah

c. Aspek Metakognisi : yaitu mampu mengetahui proses – proses kognitif, artinya kesadaran tentang cara berpikir dalam menyelesaiakan masalah d. Aspek Skill : yaitu kemampuan untuk mengestimasi dan

mengaproksimasikan Mental calculation communication dengan menggunakan manipulasi aljabar dan aritmatika atau alat matematika lainnya

3. Mathematical modelling adalah proses memformulasikan sebuah model

matematika untuk merepresentasikan dan menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Model tersebut dapat berupa benda konkrit (benda nyata), semi konkrit, benda tiruan atau gambar, semi abstrak (sketsa, atau lambang yang


(12)

siswa buat sendiri) serta abstrak yang berbentuk simbol-simbol resmi dan rumus.

4. Problem-based learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah

pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan menyiapkan masalah-masalah yang relevan dengan konsep yang akan dipelajari. Untuk menyelesaikan masalah tersebut siswa harus bekerja secara berkelompok. Berikut ini adalah lima langkah dasar dalam pembelajaran problem-based learning :

a. Kepada siswa diberikan masalah

b. Siswa mendiskusikan masalah itu dalam kelompok. Mereka mengklarifikasikan fakta, mendefinisikan apa masalahnya. menggali gagasan berdasarkan pengetahuan sebelumnya. Menemukan apa yang mesti diketahui (dipelajari) untuk memecahkan masalah itu. Dan bernalar melalui masalah dan menetukan apa tindakan atas masalah tersebut.

c. Setiap siswa secara perorangan aktif terlibat mempelajari pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mereka.

d. Bekerja kembali dengan berkelompok untuk menyelesaikan masalah. e. Menyajikan penyelesaian atas masalah tersebut.

f. Melihat dan menilai kembali apa yang telah dipelajari siswa dari pengalaman memecahkan masalah tersebut.

5. Self-Efficacy

Self-Efficacy yang dimaksud adalah kepercayaan diri siswa, yaitu:


(13)

b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan; c) Memiliki konsep diri yang positif; dan

d) Berani mengungkapkan pendapat.

F. Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas adapun hipotesis penelitian adalah :

1. Peningkatan kemampuan representasi siswa yang mendapat pembelajaran

problem-based learning melalui mathematical modelling lebih baik dari siswa

yang mendapat pembelajaran konvensional

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapat pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional


(14)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu cara untuk mencari kebenaran melalui metode ilmiah. Penelitian dilakukan untuk menjawab permasalahan secara sistematis dengan metode-metode tertentu melalui pengumpulan data, pengolahan data , dan penarikan kesimpulan atas jawaban dari suatu permasalahan. Metode yang dilakukan dalam suatu penelitian beraneka ragam tergantung dari tujuan penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, jenis penelitian yang diterapkan adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini akan menelaah apakah terdapat pengaruh pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modeling terhadap peningkatan kemampuan representasi dan pemecahan masalah siswa.

B. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini diambil dua kelompok kelas sebagai sampel secara acak. Kemudian dipilih satu kelompok sebagai kelompok eksperimen dan yang satunya lagi sebagai kelompok kontrol. Desain penelitian yang digunakan yaitu desain kelompok kontrol pretes-postes, yaitu pada kedua kelompok kelas tersebut diberikan pretes (tes awal) saat akan memulai pelajaran, dengan tujuan untuk mengukur kemampuan representasi dan pemecahan masalah awal siswa.


(15)

Selanjutnya diberikan postes (tes akhir) diakhir pembelajaran untuk mengetahui kemampuan representasi dan pemecahan masalah setelah mengikuti suatu pembelajaran. Dalam pelaksanaan pembelajaran, kelompok eksperimen mendapat

problem-based learning melalui mathematical modeling, sedangkan kelompok

kontrol mendapat pembelajaran konvensional.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

A O X O A O O

Keterangan:

A : pengelompokan sampel secara acak O : pretes / postes

X : Pembelajara problem-based learning melalui mathematical modelling C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Menurut Sudjana (2002: 161) populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung maupun mengukur, kuantitatif ataupun kualitatif, dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek yang lengkap dan jelas. Pada penelitian ini penulis mengambil populasi seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Bandung. Populasi ini dipilih dengan


(16)

pertimbangan bahwa siswa kelas VIII sudah dapat menggunakan kemampuan representasi dan pemecahan masalah

2.Sampel

Menurut Sudjana (2002: 161) sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu. Pada dasarnya penelitian dilakukan untuk menilai dan mengetahui kekhasan seluruh subjek penelitian serta efek yang ditimbulkan akibat perlakuan khusus terhadap subjek tersebut. Namun demikian besarnya ukuran data dan adanya berbagai keterbatasan peneliti, menjadikan penelitian tidak lagi efisien jika harus dilaksanakan pada populasi tersebut. Oleh karena itulah maka diambil sebagian subjek saja untuk diteliti (sampel). Sampel yang diambil dalam penelitian ini, adalah kelas VIII I sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIII G sebagai kelompok kontrol.

D. Instrumen Penelitian

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini diperlukan instrumen – instrumen yang akan menghasilkan data, adapun data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Instrumen – instrumen tersebut antara lain : 1. Tes kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis

Tes yang digunakan berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses penyelesaian jawaban siswa sehingga diketahui sejauh mana siswa tersebut mampu memecahkan masalah matematik. Berikut ini adalah pedoman pemberian skor untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematik.


(17)

Pedoman ini diadaptasi dari pedoman penskoran pemecahan masalah yang dibuat oleh Schoen dan Ochmke (Sumarmo, dkk., 1994) yang dimodifikasi.

Tabel 3.1

Pedoman Pemberian Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Skor Memahami masalah

Menyusun rencana/ Memilih

strategi

Melaksanakan strategi han menhapat hasil

Memeriksa proses han

hasil

0

Tihak berbuat (kosong) atau semua interpretasi salah (sama sekali tihak memahami masalah)

Tihak berbuat (kosong) atau seluruh strategi yang hipilih salah

Tihak aha jawaban atau jawaban salah akibat perencanaan yang salah

Tihak aha pemeriksaan atau tihak aha keterangan apapun 1 Hanya sebagian interpretasi masalah yang benar Sebagian rencana suhah benar atau perencanaannya tihak lengkap

Penulisan salah, Perhitungan salah, hanya sebagian kecil jawaban yang hituliskan; tihak aha penjelasan jawaban; jawaban hibuat tapi tihak benar Aha pemeriksaan tetapi tihak tuntas 2 Memahami masalah secara lengkap; mengihentifikasi semua bagian penting hari permasalahan; termasuk hengan membuat hiagram atau gambar yang jelas han simpel menunjukkan pemahaman terhahap ihe han proses masalah

Keseluruhan rencana yang hibuat benar han akan mengarah kepaha penyelesaian yang benar bila tihak aha kesalahan perhitungan.

Hanya sebagian kecil prosehur yang benar, atau kebanyakan salah sehingga hasil salah Pemeriksaan hilakukan untuk melihat kebenaran hasil han proses 3 - -

Secara substansial prosehur yang hilakukan benar hengan sehikit kekeliruan atau aha kesalahan prosehur sehingga hasil akhir salah

-

4

- -

Jawaban Benar han lengkap Memberikan jawaban secara lengkap, jelas, han benar, termasuk hengan membuat hiagram atau gambar

-


(18)

Adapun hasil modifikasi untuk pemberian skor pada kemampuan representasi dan pemecahan masalah dapat dilihat pada lampiran A.

Sebelum digunakan, tes tersebut diuji coba terlebih dahulu untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran dari soal. Untuk mengukur hal tersebut dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik sebagai berikut.

a. Validitas Soal

Menurut Anderson (Arikunto, 2005: 64 ) sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dengan kata lain, validitas suatu instrumen merupakan tingkat ketepatan suatu instrumen untuk mengukur sesuatu yang harus diukur. Ada dua hal yang dilakukan penulis untuk mengukur validitas dari soal tes yang dibuat yaitu sebagai berikut: a). Mengkonsultasikannya dengan dosen pembimbing mengenai validitas isi

dari soal yang dibuat.

b). Mengukur validitas soal yang dibuat dengan menggunakan rumus korelasi

product moment angka kasar. Rumus yang dimaksud adalah sebagai

berikut :

(

)

(

)

(

)

∑ ∑

− −

− =

) (

)

(N X 2 X 2 N Y2 Y 2

Y X XY

N rxy

Untuk menginterpretasikan nilai rxy menurut Guilford (Suherman, 2005:113) dengan kriterium sebagai berikut :


(19)

Tabel 3.2 Interpretasi Validitas Butir Soal Besarnya Validitas Interpretasi

0,90 rxr 1,00 Validitas Sangat tinggi 0,70 ≤ rxy < 0,90 Validitas Tinggi 0,40 ≤ r

xy < 0,70 Validitas Cukup 0,20 ≤ rxy < 0,40 Validitas Rendah 0,00 ≤ rxy < 0,20 Validitas Sangat Rendah r

xy < 0,00 Tidak Valid

Hasil perhitungan validitas dari soal yang telah diujicobakan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.3

Validitas Tes Kemampuan Representasi Matematis No. Soal Interpretasi Signifikansi

1 0,671 Tinggi Signifikan 2 0,741 Tinggi Sangat signifikan 3 0,916 Sangat tinggi Sangat signifikan 4 0,820 Tinggi Sangat signifikan 5 0,901 Sangat tinggi Sangat signifikan 6 0,893 Tinggi Sangat signifikan

Tabel 3.4

Validitas Tes Kemampuan Pemecahan Masalah No. Soal Interpretasi Signifikansi

1 0,967 Tinggi Sangat signifikan 2 0,971 Tinggi Sangat signifikan 3 0,925 Sedang Sangat signifikan 4 0,858 Sedang Sangat signifikan

b. Reliabilitas Soal

Menurut Suherman (2003: 131) reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg). Hasil pengukuran itu harus tetap sama jika pengukurannya diberikan pada


(20)

subyek yang sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, dan tempat yang berbeda.

Rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas dari soal uraian yang dibuat adalah sebagai berikut :

       −       −

=

2

2 11 1 1 t i s s n n r Keterangan : r

11 = reliabilitas yang dicari n = banyak butir soal (item)

si2 = jumlah varians skor setiap item st 2 = varians skor total

Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi adalah menggunakan tolak ukur yang dibuat oleh J. P Guilford (Suherman, 2005:139) yaitu sebagai berikut :

Tabel 3.5 Klasifikasi Reliabilitas Soal Besarnya Reliabilitas Interpretasi

r

11< 0,20 Sangat rendah 0,20 ≤ r

11 < 0,40 Rendah 0,40 ≤ r

11 < 0,70 Cukup 0,70 ≤ r11 < 0,90 Tinggi 0,90 ≤ r


(21)

Hasil perhitungan reliabilitas tes untuk kedua kemampuan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.6

Reliabilitas Tes Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis

No. Interpretasi Keterangan

1 0,92 Sangat Tinggi Representasi

2 0,94 Sangat Tinggi Pemecahan Masalah

c. Daya Pembeda

Menurut Suherman (2003 : 159) daya pembeda (DP) dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

SMI X X

DP= AB

A

X = Rata – rata skor kelompok atas

b

X = Rata – rata skor kelompok bawah

SMI = Skor maksimal ideal tiap butir soal

Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda Besarnya DP Interpretasi DP < 0,00 Sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik


(22)

Hasil perhitungan daya pembeda, secara rinci disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 3.8

Daya Pembeda Tes Kemampuan Representasi Matematis No. Soal Daya Pembeda (%) Interpretasi

1 25,00 Cukup

2 40,00 Cukup

3 53,33 Baik

4 50,00 Sangat baik

5 17,50 Jelek

6 46,67 Baik

Tabel 3.9

Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis No. Soal Daya Pembeda (%) Interpretasi

1 40,00 Baik

2 28,89 Cukup

3 15,56 Jelek

4 40,00 Cukup

Dapat dilihat pada table di atas, beberapa butir soal memiliki daya pembeda jelek. Hal ini mencerminkan bahwa soal yang telah dibuat haruslah direvisi sehingga soal dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

d. Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran adalah bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya suatu soal (Arikunto, 2005:207). Rumus yang digunakan untuk menentukan indeks kesukaran ini adalah sebagai berikut :

SMI X


(23)

Dimana:

IK = Indeks kesukaran

X = Skor rata – rata tiap butir soal

SMI = Skor maksimum ideal tiap butir soal

Tabel 3.10 Klasifikasi Indeks Kesukaran

Besarnya IK Interpretasi

IK = 0,00 Soal Terlalu Sukar

0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar

0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang

0,70 < IK <1,00 Mudah

IK = 1,00 Soal terlalu mudah

Dari hasil perhitungan menggunakan AnatesV4, diperoleh tingkat kesukaran untuk tiap butir soal yang rangkumannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.11

Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Representasi Matematis No. Soal Tingkat Kesukaran (%) Interpretasi

1 32,50 Sedang

2 75,00 Mudah

3 73,33 Mudah

4 50,00 Sedang

5 26,25 Sukar

6 30,00 Sukar

Tabel 3.12

Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis No. Soal Tingkat Kesukaran (%) Interpretasi

1 35,00 Sedang

2 25,56 Sukar

3 16,67 Sukar


(24)

2. Angket

Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang sudah disediakan atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisi (Ruseffendi, 1994:107). Angket diberikan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran, setiap pernyataan dalam angket memiliki empat alternatif jawaban yaitu: SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju).

3. Jurnal harian

Jurnal harian adalah karangan yang dibuat siswa kelompok eksperimen pada tiap akhir pembelajaran, berisi hal-hal yang membuat siswa tertarik atau tidak tertarik pada pembelajaran yang telah dilakukan.

4. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengetahui data tentang sikap siswa, sikap guru, interaksi antara guru dan siswa, serta interaksi siswa dengan siswa dalam pembelajaran.

E. Prosedur Penelitian

Terdapat tiga tahapan besar pada prosedur penelitian yang peneliti lakukan, yaitu tahap persiapan, pelaksaan, dan pengolahan data.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini terdapat beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh peneliti, diantaranya mengidentifikasi masalah penelitian, pembuatan proposal penelitian, mengikuti seminar proposal, dan perbaikan proposal hasil seminar,


(25)

kegiatan ini termasuk dalam studi pendahuluan. Selanjutnya peneliti menyusun kisi-kisi soal untuk pembuatan instrumen penelitian berupa tes kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis, langkah selanjutnya adalah pembuatan kisi-kisi skala sikap siswa dan pernyataan yang terkait dengan indikator yang telah dibuat. Setelah instrumen penelitian diperiksa oleh pembimbing, kemudian dilakukan uji coba instrumen di sekolah. Hasil uji coba tersebut kemudian dianalisis. Dari hasil analisis dipilih beberapa butir soal tes yang memenuhi validitas dan reliabilitas, selanjutnya instrumen siap untuk dipergunakan sebagai alat ukur.

Penyusunan perangkat pembelajaran untuk kelas eksperimen berupa rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar aktivitas siswa juga tidak luput dari langkah persiapan yang peneliti lakukan. Setelah perangkat pembelajaran diperiksa oleh pembimbing langkah selanjutnya adalah melaksanakan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

Sebelum penelitan dilaksanakan langkah yang terlebih dahulu dilakukan adalah menentukan populasi dan sampel yang akan dijadikan subjek penelitian, lalu mengurus surat ijin penelitian pada sekolah yang bersangkutan. Langkah selanjutnya adalah menentukan kelompok eksperimen dan kontrol berdasarkan pertimbangan dari pihak sekolah, yang dilanjutkan dengan pemberian pretest pada setiap kelompok yang ada.

Kegiatan selanjutnya adalah pemberian perlakuan pada setiap kelompok berupa pembelajaran problem based learning melalui mathematical modeling


(26)

pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol. Materi yang diberikan mengenai persamaan garis lurus yang dilakukan selama enam kali pertemuan.

Setelah kegiatan pembelajaran selesai dilakukan, setiap kelompok diberikan

posttest dengan tujuan untuk melihat hasil belajar siswa setelah diberi

perlakuan. Penyebaran skala sikap siswa di kelas eksperimen dilakukan setelah siswa selesai mengerjakan posttest.

3. Tahap Pengolahan Data

Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, berupa data tes dan non-tes, maka data yang diperoleh selanjutnya diolah melalui tahapan sebagai berikut:

3.1Pengolahan Data Tes

Data berupa hasil tes kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan uji statistik. Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji normalitas data dan homogenitas varians. Sebelum uji tersebut dilakukan harus ditentukan terlebih adahulu rata-rata skor serta simpangan baku untuk setiap kelompok. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tahapan yang peneliti lakukan dalam pengolahan data tes.

a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang telah dibuat.


(27)

b. Menghitung statistik deskriptif skor pretest, posttest, dan gain yang meliputi skor minimum, skor maksimum, rata-rata dan simpangan baku. c. Menghitung besarnya peningkatan kemampuan representasi dan

pemecahan masalah matematis siswa yang diperoleh dari skor pretest dan

posttest dengan menggunakan gain ternormalisasi yang dikembangkan

oleh Hake (1999) sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =

dengan kriteria indeks gain:

Tabel 3.13

Kriteria Skor Gain Ternormalisasi Skor gain Interpretasi

> 0,70 0,30 < ≤ 0,70

≤ 0,30

Tinggi Sedang Rendah

d. Melakukan uji normalitas pada setiap data skor pretest dan gain ternormalisasi untuk tiap kelompok. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:

H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Asymp.Sig < taraf signifikansi (" = 0,05).

e. Menguji varians. Pengujian varians antara kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah varians kedua kelompok sama atau berbeda. Pengujian ini dilakukan untuk data skor gain


(28)

ternormalisasi kemampuan representasi dan pemecahan masalah . Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : $% = $%% varians gain ternormalisasi kemampuan representasi atau pemecahan masalah kedua kelompok homogen H1 : $% ≠ $%% varians gain ternormalisasi kemampuan representasi

atau pemecahan masalah kedua kelompok tidak homogen

Keterangan:

$%: varians skor gain ternormalisasi kelompok eksperimen

$%%: varians skor gain ternormalisasi kelompok kontrol

Uji statistik menggunakan Uji Levene dengan kriteria pengujian adalah terima H0 apabila Sig. Based on Mean > taraf signifikansi (" = 0,05). f. Melakukan uji kesamaan dua rata-rata pada data skor pretest kedua

kelompok eksperimen dan kontrol untuk masing-masing kemampuan,. Hipotesis yang diajukan adalah:

H( ∶ * = *

H ∶ * ≠ * Keterangan:

* : rata-rata pretest representasi atau pemecahan masalah kelompok eksperimen

* : rata-rata pretest representasi atau pemecahan masalah kelompok kontrol


(29)

Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rata-rata untuk data skor

gain ternormalisasi pada kedua kelompok tersebut. Berikut ini adalah

rumusan hipotesisnya:

H( ∶ *+ = *+

H ∶ *+ > *+ Keterangan:

*+ : rata-rata gain ternormalisasi representasi atau pemecahan masalah kelompok eksperimen

*+ : rata-rata gain ternormalisasi representasi atau pemecahan masalah kelompok kontrol

Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Asymp.Sig < taraf signifikansi (" = 0,05).

3.2 Pengolahan Data Hasil Angket

Secara khusus kelompok eksperimen diberi angket untuk mengetahui respon mereka terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan problem based learning melalui mathematical modelling. Data angket diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabel dengan tujuan untuk mengetahui persentase dan frekuensi masing – masing alternatif jawaban serta untuk memudahkan dalam membaca data angket yang telah diberikan.


(30)

b. Penafsiran Data

Sebelum data ditafsirkan, terlebih dahulu akan ditentukan persentase jawaban dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% 100 × =

n f p

Keterangan : p = Persentase jawaban

f = Frekuensi jawaban n = Banyaknya responden

Setelah dihitung persentase jawaban tiap butir pernyataan angket tersebut, kemudian sebagai tahap akhir dilakukan penafsiran dengan menggunakan kategori persentase sebagai berikut :

Tabel 3.14 Kriteria Persentase Angket Persentase Jawaban kriteria

p = 0 Tak seorangpun

1 ≤ p ≤ 25 Sebagian kecil 26 ≤ p < 49 Hampir setengahnya

p = 50 Setengahnya

51 ≤ p ≤ 75 Sebagian besar 76 ≤ p ≤99 Pada umumnya

Kemudian untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai respon positif atau negatif yang diberikan siswa untuk setiap butir pernyataan angket maka dipergunakan pula interpretasi data angket menurut skala Likert (Suherman 2003:190), yaitu dengan cara memberikan bobot untuk setiap pernyataan positf dan negatif, seperti terlihat pada tabel berikut ini :


(31)

Tabel 3.15 Interpretasi Angket Menurut Skala Likert

Pernyataan SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Keterangan :

a. Jika skor rata – rata sikap siswa kurang dari 3 maka siswa bersikap negatif. b. Jika skor rata – rata siswa lebih dari 3 maka siswa bersikap positif

c. Jika skor rata – rata siswa sama dengan 3 maka siswa bersikap netral

Untuk pernyataan positif pada proporsi kumulatif, kolom SS memiliki nilai kumulatif terbesar dan kolom STS memiliki nilai kumulatif terkecil. Sedangkan pada pernyataan negatif berlaku sebaliknya. Analisis selanjutnya untuk data angket ini adalah dengan membuat formula =NORMSINV(zi) yang akan dikaji pada bab pembahasan.

Setelah dilakukan penskoran kemudian dilakukan perhitungan skor netral dan skor sikap untuk mengetahui arah sikap siswa positif atau negatif. Arah sikap positif akan ditunjukkan dengan skor sikap yang lebih besar dari skor netral dan sebaliknya.

4. Analisis Data Hasil Jurnal Harian

Jurnal harian adalah karangan yang dibuat siswa kelompok eksperimen pada tiap akhir pembelajaran. Data yang telah dikumpulkan ditulis dan diringkas


(32)

untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan pemodelan matematika.

5. Analisis Data Hasil Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung yang menggambarkan suasana pembelajaran dengan pemodelan matematika. Data yang telah dikumpulkan ditulis dan disimpulkan. Pada pelaksanaannya pengumpulan data ini dibantu oleh observer.


(33)

97 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian selama pembelajaran problem based learning melalui mathematical modelling dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1) Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang belajar problem

based learning melalui mathematical modelling lebih baik daripada siswa

yang belajar secara konvensional.

2) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar

problem based learning melalui mathematical modelling lebih baik daripada

siswa yang belajar geometri melalui konvensional.

3) Sikap siswa terhadap pembelajaran problem based learning melalui

mathematical modelling adalah positif. Sikap positif ini menjadi salah satu

modal untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.

B. Hasil Analisis Lanjutan

1) Tidak terdapat perbedaan rata – rata antara sub kelompok atas, sedang dan kurang pada kemampuan representas matematis. Dengan kata lain peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa kelompok atas, sedang, dan kurang melalui pembelajaran problem-based learning melalui


(34)

2) Tidak terdapat perbedaan rata – rata antara sub kelompok atas, sedang dan kurang pada kemampuan pemecahan masalah matematis. Dengan kata lain peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa kelompok atas, sedang, dan kurang dalam pembelajaran problem-based

learning melalui mathematical modelling tidak berbeda secara signifikan.

C. Saran 1) Kepada Guru

Untuk guru bidang studi matematika, pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling dapat menjadi alternatif di antara banyak pilihan model pembelajaran matematika yang mampu meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Selain itu, untuk mengantisipasi kendala yang mungkin dihadapi siswa, disarankan kepada guru untuk memeriksa kembali kelengkapan pembelajaran yang harus dimiliki siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru sebagai fasilitator juga disarankan untuk selalu mendorong siswa untuk mencoba hal yang baru berkaitan dengan pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah lebih kecil dibandingkan dengan kemampuan representasi matematis. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dan tindakan secara khusus untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.


(35)

2) Kepada Lembaga Terkait

Karena pembelajaran problem-based learning melalui mathematical

modelling dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan

masalah metematis siswa, maka diperlukan dukungan dari lembaga/ instansi terkait untuk mensosialisasikan penggunaan model pembelajaran problem

based learning melalui mathematical modelling di sekolah melalui MGMP,

seminar, lokakarya, atau melalui pelatihan guru-guru. Selain itu, kelengkapan sarana dan prasarana juga harus diperhatikan karena pembelajaran ini menuntut penggunaan komputer sebagai salah satu pelengkapnya.

3) Kepada Peneliti yang Berminat

Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian dengan model problem-based

learning melalui mathematical modelling, hendaknya melakukan penelitian

pada beberapa sekolah dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang ataupun rendah agar hasilnya dapat menggeneralisasi pembelajaran tersebut secara lebih luas pula.


(1)

51

b. Penafsiran Data

Sebelum data ditafsirkan, terlebih dahulu akan ditentukan persentase jawaban dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% 100 × = n f p

Keterangan : p = Persentase jawaban f = Frekuensi jawaban n = Banyaknya responden

Setelah dihitung persentase jawaban tiap butir pernyataan angket tersebut, kemudian sebagai tahap akhir dilakukan penafsiran dengan menggunakan kategori persentase sebagai berikut :

Tabel 3.14 Kriteria Persentase Angket

Persentase Jawaban kriteria

p = 0 Tak seorangpun

1 ≤ p ≤ 25 Sebagian kecil 26 ≤ p < 49 Hampir setengahnya

p = 50 Setengahnya

51 ≤ p ≤ 75 Sebagian besar 76 ≤ p ≤99 Pada umumnya

Kemudian untuk mengetahui secara lebih jelas mengenai respon positif atau negatif yang diberikan siswa untuk setiap butir pernyataan angket maka dipergunakan pula interpretasi data angket menurut skala Likert (Suherman 2003:190), yaitu dengan cara memberikan bobot untuk setiap pernyataan positf dan negatif, seperti terlihat pada tabel berikut ini :


(2)

52

Tabel 3.15 Interpretasi Angket Menurut Skala Likert

Pernyataan SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Keterangan :

a. Jika skor rata – rata sikap siswa kurang dari 3 maka siswa bersikap negatif. b. Jika skor rata – rata siswa lebih dari 3 maka siswa bersikap positif

c. Jika skor rata – rata siswa sama dengan 3 maka siswa bersikap netral

Untuk pernyataan positif pada proporsi kumulatif, kolom SS memiliki nilai kumulatif terbesar dan kolom STS memiliki nilai kumulatif terkecil. Sedangkan pada pernyataan negatif berlaku sebaliknya. Analisis selanjutnya untuk data angket ini adalah dengan membuat formula =NORMSINV(zi)

yang akan dikaji pada bab pembahasan.

Setelah dilakukan penskoran kemudian dilakukan perhitungan skor netral dan skor sikap untuk mengetahui arah sikap siswa positif atau negatif. Arah sikap positif akan ditunjukkan dengan skor sikap yang lebih besar dari skor netral dan sebaliknya.

4. Analisis Data Hasil Jurnal Harian

Jurnal harian adalah karangan yang dibuat siswa kelompok eksperimen pada tiap akhir pembelajaran. Data yang telah dikumpulkan ditulis dan diringkas


(3)

53

untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan pemodelan matematika.

5. Analisis Data Hasil Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung yang menggambarkan suasana pembelajaran dengan pemodelan matematika. Data yang telah dikumpulkan ditulis dan disimpulkan. Pada pelaksanaannya pengumpulan data ini dibantu oleh observer.


(4)

97

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian selama pembelajaran problem based learning melalui mathematical modelling dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1) Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang belajar problem based learning melalui mathematical modelling lebih baik daripada siswa yang belajar secara konvensional.

2) Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar problem based learning melalui mathematical modelling lebih baik daripada siswa yang belajar geometri melalui konvensional.

3) Sikap siswa terhadap pembelajaran problem based learning melalui mathematical modelling adalah positif. Sikap positif ini menjadi salah satu modal untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa.

B. Hasil Analisis Lanjutan

1) Tidak terdapat perbedaan rata – rata antara sub kelompok atas, sedang dan kurang pada kemampuan representas matematis. Dengan kata lain peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa kelompok atas, sedang, dan kurang melalui pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling tidak berbeda secara signifikan.


(5)

98

2) Tidak terdapat perbedaan rata – rata antara sub kelompok atas, sedang dan kurang pada kemampuan pemecahan masalah matematis. Dengan kata lain peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa kelompok atas, sedang, dan kurang dalam pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling tidak berbeda secara signifikan.

C. Saran

1) Kepada Guru

Untuk guru bidang studi matematika, pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling dapat menjadi alternatif di antara banyak pilihan model pembelajaran matematika yang mampu meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Selain itu, untuk mengantisipasi kendala yang mungkin dihadapi siswa, disarankan kepada guru untuk memeriksa kembali kelengkapan pembelajaran yang harus dimiliki siswa saat pembelajaran berlangsung. Guru sebagai fasilitator juga disarankan untuk selalu mendorong siswa untuk mencoba hal yang baru berkaitan dengan pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah lebih kecil dibandingkan dengan kemampuan representasi matematis. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dan tindakan secara khusus untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.


(6)

99

2) Kepada Lembaga Terkait

Karena pembelajaran problem-based learning melalui mathematical modelling dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah metematis siswa, maka diperlukan dukungan dari lembaga/ instansi terkait untuk mensosialisasikan penggunaan model pembelajaran problem based learning melalui mathematical modelling di sekolah melalui MGMP, seminar, lokakarya, atau melalui pelatihan guru-guru. Selain itu, kelengkapan sarana dan prasarana juga harus diperhatikan karena pembelajaran ini menuntut penggunaan komputer sebagai salah satu pelengkapnya.

3) Kepada Peneliti yang Berminat

Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian dengan model problem-based learning melalui mathematical modelling, hendaknya melakukan penelitian pada beberapa sekolah dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang ataupun rendah agar hasilnya dapat menggeneralisasi pembelajaran tersebut secara lebih luas pula.