IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARANPEMECAHAN MASALAH DALAM PENDIDIKAN TEKNOLOGI DASAR UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA : Penelitian Tindakan Pada Siswa Sltp Taruna Baku Bandung.

IMPLEMENTASI

MODEL PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH
DALAM PENDIDIKAN TEKNOLOGI DASAR UNTUK
MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA
(PENELITIAN TINDAKAN PADA SISWA SLTP

TARUNA BAKU BANDUNG)

TESIS

Diajukan ke pada Panitia Ujian Tcsis
Dalam Rangka Penyelesaian StudiJenjang Strata-2
Bidang Studi Pengembangan Kurikulum

\

Oleh:

M. Syariful/979653
Program S2/Pengembangan Kurikulum


PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2004

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing I

Prof. Dr. H. NanasSMaodih Sukmadinata

Pembimbing II

Prof. Dr. Hj. Mulyani Sumantri, MSc

MENGETAHUI

KETUA PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM


Prof. Dr. R. Ibrahim, MA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2004

ABSTRACT

In this research, pattern of the teaching which conducted by teacher in
Basic Technology Education at Junior High School more emphasize on
understanding and skill than cognitive ability of the Student.
This conditions have negative impact to the thinking pattern development
and obstacles the creativity of the Student in overcoming basic technology

problems. Technology introduction to the Student of Junior High School naturally
have objective not only the Student's understanding, but also how the Student
solve technology problem logically.
By using action research method which conducted at second grade of

Junior High School Taruna Bakti Bandung, researcher attempted to improve the

process of learning activity in basic technology. This research more emphasizedat
improvement of implementation of problem solving teaching model which
focused on learning design, the implementation of problem solving model which
have been designed, the implication to the creativity component of the Student
and obstacles in its implementation.
Considering to the pre-survey results which have been produced many
kinds description characteristics of Student, Teacher, material and facility, and the
guidance of implementation of Basic Technology Education which have been
developed by PPPG Teknologi Bandung, the Teacher has to prior design learning
which in it included objective state , implementation strategy, and evaluation. In it
implementation the Teacher using it in three steps, that are confrontation,
inquiry, and transfer steps. Measurement the impact of problem solving to the
creativity of the Student used Torrance creativity test including four element that
are fluency, flexibility, originality, and elaboration.
From the results of observation which conducted continuously and discuss
it the evaluation of implementation to the Teacher, found that every thing need to
improved in problem solving learning' implementation, that is the urgently of
understanding conceptually which have to had by Teachers of the problem solving

learning model, curriculum which included teaching aim state, content structure,
and facility improvement.
Based on the class action research results found that less in the level of

divergent thinking ability of the Student as the element of the creativity in
problem solving learning process which implemented before class action research
conducted. After it implemented found that increasing significantly in the
creativity elements of the Student (as shown in table 15).

DAFTARISI

HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PERNYATAAN

ABSTRAKSI

i

KATA PENGANTAR


ii

UCAPAN TERIMA KASIH

iv

DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN


x

BAB

I. PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah

1

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

7

C. Pertanyaan Penelitian

8


D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

8

E. Definisi Operasional

9

F. Paradigma Penelitian

10

BAB II. MODEL PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK
MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA DALAM PENDIDIKAN

TEKNOLOGI DASAR

13

A. Hakekat Pendidikan Teknologi Dasar


13

B. Hakekat Kreativitas

15

C. Hakekat Mengajar Pemecahan Masalah

26

D. Implementasi Problem Solving pada Pengajaran Teknologi

36

E. Model Pemecahan Masalah yang di Implementasikan

37

BAB III. METODE PENELITIAN


39

A. Metode Penelitian

39

B. Prosedur Penelitian

40

C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

47

D. Lokasi Penelitian

4g

E. Subjek Penelitian


4g

BAB IV. INTERPRETASI PERBAIKAN MODEL, TEMUAN dan PEMBAHASAN

50

A. Interpretasi Hasil Studi Pendahuluan

50

B. Perbaikan Model Pemecahan Masalah

68

C. Temuan

7g

D. Pembahasan Hasil Penelitian . . . .'


86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

87

A. Kesimpulan . . .

89

B. Saran-saran

91

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

94
.

97

vu

DAFTAR TABEL

abel 1. Daftar modul keseluruhan kelas 1,2, dan 3 mata pelajaran Pendidikan
Teknologi Dasar

53

'abel 2. Komposisi kelas dan jumlah murid SLTP Al-Kautsar murid Bandar
Lampung

55

'abel 3. Komposisi kelas dan jumlah murid SLTP Taruna Bakti Bandung

55

fabel 4. Jadual penggunaan ruang BTE SLTP Taruna Bakti Bandung

59

rabel 5 . Jadualjam pelajaran penggunaan ruang lab untuk seluruh
61

kelas SLTP Al-Kautsar Bandar Lampung

Tabel 6. Pembelajaran di SLTP Taruna Bakti Bandung dan Al-Kautsa

69

Tabel 7. Hasil tes kreativitas siswa unsur kelancaran

78

Tabel 8. Hasil uji berdasarkantahapan unsur kelancaran

78

Tabel 9. Hasil tes kreativitas siswa unsur kelenturan

,

80

Tabel 10. Hasil uji tes berdasarkan tahap pengetesan unsur kelenturan

80

Tabel 11. Hasil tes kreativitas siswa unsur keaslian

82

Tabel 12. Hasil uji tes berdasarkan tahap pengetesan unsur keaslian

83

Tabel 13. Hasil tes kreativitas siswa unsur kerincian

84

Tabel 14. Hasil uji tes berdasarkan tahap pengetesan unsur kerincian

85

Tabel 15. Hasil penilaian unsur kreativitas siswa dari tahap awal hingga tahap akhir...

90

Tabel 16.Hambatan-hambatan yang ada dan cara menangatasinya

91

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta variable permasalahan

12

Gambar 2. Bentuk model pembelajaran pemecahan masalah yang di implementasikan

38

Gambar 3. Siklus penelitian tindakan

41

Gambar 4. Struktur organisasi kelas pengajaran PTD di SLTP Taruna
Bakti Bandung

63

Gambar 5. Langkah-langkah model pembelajaran klasikal di SLTP Taruna
Bhakti Bandung dan Al-Kautsar Bandar Lampung

67

Gambar 6. Perbandingan mean skor setiap tahap pengetesan unsur kelancaran

...

79

Gambar 7. Perbandingan mean skor setiap tahap pengetesan unsur kelenturan

...

81

Gambar 8. Perbandingan mean skor setiap tahap pengetesan unsur keaslian

....

84

Gambar 9. Perbandingan mean skor setiap tahan pengetesan unsur kerincian

....

85

DAFTAR LAMPIRAN

.AMPIRAN
.AMPIRAN

I : M0DUL-M0DUL PEMBELAJARAN PTD
II.

97

DISAIN PERBAIKAN TAHAP I DAN INSTRUMEN PENILAIAN

KREATIVITAS

171

LAMPIRAN

III.

CONTOH HASIL LEMBAR KERJA PROBLEM SOLVING . . .

175

LAMPIRAN

IV.

INSTRUMEN PENELITIAN

204

LAMPIRAN

V.

PERHITUNGAN PENILAIAN

217

LAMPIRAN

VI. REKAPITULASI PENILAIAN KREATIVITAS SISWA

LAMPIRAN VII.

TABEL D DISTRIBUSI t

230

231

LAMPIRAN VIII. REKAPITULASI MEAN PENILAIAN KREATIVITAS

232

LAMPIRAN IX. SURAT IZIN PENELITIAN

233

LAMPIRAN X. SURAT KETERANGAN PELAKSANAAN PENELITIAN

234

LAMPIRAN XI. RIWAYATHIDUP

. 235

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakekatnya upaya pendidikan

adalah untuk mengembangkan semua

dimensi perilaku peserta didik ke arah yang positif. Hasil dari pendidikan itu

diharapkan peserta didik mampu menghadapi segala tantangan di masa datang. Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sistem pendidikan senantiasa

dituntut mampu mempersiapkan peserta didik yang dapat menghadapi berbagai
perubahan-perubahan tersebut. Namun, ironis dengan kondisi pendidikan yang terjadi
di Indonesia. Sadar atau tidak perkembangan pendidikan di Indonesia belum sampai
pada tingkat yang diharapkan, malahan kalau dipandang secara ekstrim kondisi

pendidikan kita masih dalam tahap penataan. Ini merupakan fenomena yang terjadi
dalam sistem pendidikan kita.
Pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial sudah seharusnya menjadi

barometer bagi sistem sosial lainnya dalam pembangunan nasional, karena kualitas

pendidikan di masa sekarang memiliki korelasi positif terhadap kemajuan bangsa
dimasa yang akan datang. Dengan arti lain kemajuan suatu bangsa atau negara dapat
ditentukan oleh sistem pendidikannya. Pendidikan sebagai industri pengembangan

sumber daya manusia sudah selayaknya menjadi prioritas utama dalam pembangunan
nasional.

Mencermati kemajuan yang dicapai oleh negara maju tidak terlepas dari

pengelolaan sistem pendidikan yang baik. Bahkan untuk meningkatkan kualitas

pendidikan, negara-negara maju tidak segan-segan untuk mengalokasikan anggaran
pendidikan sekitar 25% sampai 30%dari APBN pertahun. Ini merupakan indikasi dari

negara maju yang memandang betapa pentingnya pendidikan untuk kelangsungan
negarannya. Apa yang dikemukan Christoper Huhne yang dikuti oleh David

Meggison, dkk (1997) yang menyatakan, bahwa "Pengadaan tenaga kerja yang
kompeten paling menentukan nasib negara maju dibandingkan dengan faktor lainnya".
Berkenaan dengan hal tersebut, betapa pentingnnya pendidikan dalam pengadaan
tenaga kerja yang kompeten untuk mencapai kemajuan negara dan bangsa.
Dari presentasi di atas, timbul pertanyaan "Bagaimana dengan pendidikan di

Indonesai ?. Perlu disadari bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang baik
diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Namun, besarnya dana akan menjadi tidak
berarti manakala pengembangan pendidikan tidak dilandasi dengan pemahaman
permasalah pendidikan itu sendiri. Permasalahan pendidikan harus dilihat dari

perspektif yang luas. Persoalan pendidikan bukan hanya dilihat dari terbatasnya infrastruktur dan gaji guru yang rendah, tetapi juga bagaimana proses pendidikan itu

dijalankan. Rochman Natawijaya (1992) mengemukakan, bahwa unsur sistemik yang
dapat memberikan konstribusi pada perbaikan kualitas pendidikan sekurangkurangnnya mencakup : kurikulum dan materi pelajaran, guru, dan tenaga pendidik

lainnya, anak didik, sarana dan prasarana penunjang, proses belajar mengajar, sistem
penilaian, bimbingan kepada anak didik, dan pengelolaan program pendidikan.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang komplek. oleh karena itu, upaya

perbaikan mutu pendidikan di sekolah harus tuntas dan dapat menyentuh pada unsurunsur tersebut. Perbaikan pada salah satu unsur belum tentu menghasilkan perbaikan
seluruh sistem. Akan tetapi kelemahan pada salah satu unsur akan merusak seluruh
sistem.

Selanjutnya dari sumber yang sama, Beliau mengatakan, penanganan

serempak pada seluruh unsur itu sangat sulit untuk dilakukan. Selain membutuhkan

biaya yang tidak sedikit, juga memerlukan perhatian yang terpencar. Oleh sebab itu

perbaikan terpaksa dilakukan pada salah satu unsur yang dianggap lebih urgen. Salah
satu komponen atau unsur yang menjadi rendahnya mutu pendidikan secara

keseluruhan yang perlu mendapat perhatian serius adalah komponen proses belajar
mengajar (PBM).

Komponen PBM erat kaitannya dengan kemampuan guru sebagai ujung
tombak dan pengembang kurikulum di lapangan. Beberapa ahli menyatakan, bahwa

betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat tergantung pada
kompetensi guru di dalam kelas (aktual). Dengan demikian guru memegang peranan
penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum (Nana Syaodih
Sukmadinata, 1997: 194).

Kritik yang sering muncul, sehubungan dengan proses belajar mengajar adalah
adanya kecenderungan pengelolaan belajar mengajar yang menganut pola komunikasi
satu arah. Dalam arti, masih banyak guru yang memandang murid atau siswa sebagai
objek yang harus dijejali berbagai informasi. Kondisi ini masih terjadi pada hampir di
semua jenjang pendidikan. Dalam situasi tersebut maka terjadi perilaku belajar siswa
tidak kritis. Proses belajar mengajar sebagai situasi sosial edukatif sekurang-

kurangnnya harus ada interkasi timbal balik antara siswa dengan guru, maupun siswa
dengan siswa. Siswa atau murid harus dijadikan subjek yang memiliki peranan penting

untuk mencapai kualitas proses belajar mengajar.
Dari hasil beberapa penelitian, buruknya kondisi proses belajar mengajar
disebabkan oleh lemahnya kemampuan guru dalam mengelola program pengajaran.

Suatu kasus, walaupun pada jenjang Sekolah Dasar, yaitu implementasi CBSA,

berdasarkan hasil penelitian Setiadi (1992) menunjukkan, walaupun sebagian besar

guru-guru SD (96%) pernah mendengar istilah CBSA, akan tetapi dalam praktiknya di

kelas tidak mampu menerapkannya. Dengan demikian sangat jelas persoalan guru
bukan hanya gaji yang rendah, tetapi juga harus dilihat kemampuannya dalam

melaksanakan tugas

dan fungsinya. Adapun

banyaknya

berbagai

lembaga

pengembangan guru, namun belum mengatasi pola mengajar guru. Berkenaan dengan
hal tersebut, perlu kiranya menyoroti mutu proses belajar mengajar di semua jenjang

pendidikan dan di semua program pengajaran. Karena rendahnya mutu proses belajar
mengajar pada satu jenjang maka akan berpengaruh terhadap kualitas pengajaran di
jenjang berikutnya.

Jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebagai bagian

dari sistem pendidikan di Indonesia yang merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan
SD idealnya memiliki model pengajaran yang harus berbeda dengan model

pengajaran di SD. Karena setiap jenjang pendidikan SD dan SLTP memiliki
karakteristik tujuan dan karakteristik siswa baik perkembangan fisik maupun psikis
tersendiri. Implikasi dari perbedaan karakteristik tersebut maka pola pengajaran SD
dan SLTP harus berbeda pula. Namun kenyataannya, pola pengajaran di SLTP dan

SD sangat mirip. Akibat dari hal tersebut,' hasil dari pengajaran di SD dan SLTP
adalah siswa yang mampu mengahapal materi pelajaran.
Dalam menentukan suatu model pengajaran faktor tujuan pengajaran dan

dimensi perkembangan psikologis siswa harus menjadi acuan. Sebagai ilustrasi, di

negara-negara maju penerapan Model Peningkatan Kapasitas Berpikir sering
diaplikasikan pada siswa usia 16 tahun. Penerapan Model Kapasitas Berpikir
diarahkan pada pengembangan-pengembangan : daya cipta akal siswa, berpikir kritis

siswa, penilaian mandiri siswa/dan juga pengembangannya, sosio-emosional siswa.
Ini merupakan suatu kenyataan, di negara-negara maju usia siswa senantiasa dijadikan
acuan

untuk mengembangkan

suatu model

pengajaran.

Namun disadari

mengaplikasikan Model Kemampuan Kapsitas Berpikir dalam proses belajar
mengajar di jenjang SLTP harus terlebih dahulu dilakukan studi kelayakan. Karena

suatu model, walaupun model tersebut dianggap baik, namun dalam pelaksanaannya
sering gagal. Penerapan suatu model pengajaran memiliki konsekuensi pada seluruh
komponen sistem pengajaran. Pengembangan suatu model pengajaran memiliki
konsekuensi pada pengembangan guru dalam hal kemampuan untuk memahami dan
mengaplikasikan model yang dikembangkan dan pengembangan pada sarana. Kasus

CBSA di jenjang pendidikan SD merupakan suatu bukti bahwa telah terjadi
kesenjangan antara konsep dengan implementasinya. Bagaimanapun bagusnya model

pengajaran jika tidak dibarengi dengan kompetensi guru untuk mengaplikasikannya
maka tidak akan memberi dampak positif pada hasil pengajaran.

Salah satu program pendidikan yang sedang dikembangkan pada pendidikan

jenjang SLTP saat ini adalah Pendidikan Teknologi Dasar yang mulai dilaksanakan

pada tahun 1999. Program Pendidikan Teknologi Dasar dikembangkan oleh Pusat
Pengembangan Penataran Guru Teknologi Bandung. Asumsi dasar yang melandasi

munculnya Program Pendidikan Teknolbgi Dasar adalah terjadinya fenomena
perkembangan teknologi yang semakin pesat. Di satu sisi perkembangan teknologi

dapat memberi implikasi positif terhadap pengembangan teknologi pendidikan itu
sendiri, namun di sisi lain perkembangan teknologi merupakan suatu kondisi

lingkungan ekstenal yang menuntut sistem pendidikan harus mampu menciptakan
sumber daya manusi.a yang kompeten dalam mengatasi masalah teknologi. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi kecenderungan perkembangan teknologi yang

semakin pesat, maka sudah selayaknya materi teknologi dasar menjadi bagian dari
kurikulum pada jenjang SLTP.

Pengenalan teknologi dasar bagi siswa SLTP dimaksudkan untuk memberikan

wawasan tentang teknologi sederhana. Wawasan dalam hal ini yaitu mencakup
penguasaan teknologi dasar dengan berbagai implikasinya. Wawasan tentang
teknologi bukan hanya untuk mengetahui dan mengaplikasikannya, tetapi juga
dampak teknologi kehidupana manusia.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka model pengajaran yang dikembangkan
dalam PendidikanTeknologi Dasar adalah model pemecahan masalah. Pengembangan
model pemecahan masalah dalam Pendidikan Teknologi Dasar dilandasi oleh upaya
menghindari kesan bahwa tujuan pendidikan teknologi hanya untuk mencapai
kemampuan dimensi motorik siswa.

Perbaikan suatu model pembelajaran sangat ditentukan oleh sifat tujuan dari

program pendidikan tersebut, karakteristik siswa, juga aspek perkembangan psikologi
siswa. Dengan menggunakan model pemecahan masalah diharapkan anak dapat
mewujudkan prilaku belajar yang kritis. Jerolimek (1977) mengemukakan "If we want

children to develop critical habits of tought, to search for data indepenpendently, to
able to form hypotheses and test them, we use inquiry teaching strategies" . Di

samping itu, pengembangan model problem solving pada Pendidikan Teknologi Dasar

dapat menghapuskan kesan, bahwa pendidikan teknologi hanya menekankan pada
dimensi kemampuan motorik siswa.

Pada usia sekolah SLTP (11-15 tahun) menurut Jean Piaget usia ini disebut

tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif. Pada usia ini seorang
anak memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun

berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni kapasitas menggunakan hipotesis

dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan
hipotesis (anggapan dasar) seorang anak akan mampu berpikir hipotesis, yakni

berpikir mengenai sesuatu, khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan
menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang diresponnya.
Sedangkan dengan kapasitas prinsip-prinsip abstrak anak akan mampu mempelajari
materi-materi pelajaran yang abstrak. Itulah yang menjadi landasan dari penerapan
model pemecahan masalah dalam Pendidikan Teknologi Dasar.
Model pembelajaran pemecahan masalah banyak dipakai dan dikembangkan

oleh para pendidik keteknikan, bahkan pemecahan masalah sekarang ini sudah
menjadi taksonomi pengetahuan sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Plant et

al. (1980). Pengembangan ini menghasilkan lima taraf taksonomi yaitu : (1) Rutinitas,
(2) Diagnosis, (3) Strategi, (4) Interpretasi, dan (5) Generasi. Dalam taraf taksonomi

yang terakhir ini melibatkan pengembangan kreativitas.

B.

Rumusan dan Pembatasan Masalah

1.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

"Bagaimanakah implementasi model pembelajaran pemecahan masalah untuk
meningkatkan kreativitas siswadalam pendidikanteknologi dasar?"

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah maka permasalahan dapat dibatasi pada

lingkup

implementasi model pembelajaran pemecahan masalah

dalam pendidikan

teknologi dasar pada kelas dua SLTP Taruna Bakti Bandung Tahun 1999.

C. Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan permasalahan di atas, maka dijabarkan ke dalam
masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi model pembelajaran pemecahan masalah dalam
Pendidikan Teknologi Dasar di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) saat
ini?

2. Bagaimana kreativitas siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) saat

implementasi

model pembelajaran pemecahan masalah dalam Pendidikan

Teknologi Dasar sebelum adanya riset tindakan kelas?

3. Hambatan-hambatan apa yang terjadi dalam implementasi model pembelajaran

pemecahan masalah untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam Pendidikan
Teknologi Dasar di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ?

4. Bagaimanakah hasil yang dicapai pada pembelajaran model pemecahan masalah
dalam Pendidikan Teknologi Dasar di SLTP setelah dilakukan riset tindakan
kelas?.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan

Tujuan merupakan suatu hal yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan
penelitian. Oleh karena itu, tujuan dari Penlitian ini adalah :
a. Mendapatkan data-data yang diperlukan dalam
Pendidikan Teknologi Dasar di SLTP

implementasi lapangan

b. Mendapatkan data kreativitas siswa sebelum diadakan riset tindakan kelas saat

implementasi model pemecahan masalah dalam pembelajaran Pendidikan
Teknologi Dasar.

c. Mendapatkan data tentang hambatan yang terjadi saat implementasi model

pembelajaran pemecahan masalah dalam Pendidikan Teknologi Dasar untuk
meningkatkan kreativitas siswa.

d. Mendapatkan data tentang hasil pembelajaran setelah diadakan riset tindakan
kelas saat implementasi model pembelajaran pemecahan masalah dalam
Pesndidikan Teknologi Dasar.

2.

Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka manfaat hasil
penelitian ini, adalah:

1) Sebagai bahan pertimbangan bagi para guru Pendidikan Teknologi Dasar di
SLTP dalam menjalankan tugas mengajarnya

2) Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada program Pendidikan
Teknologi Dasar di jenjang SLTP.

3) Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kompetensi tenaga
pengajar mata tataran Pendidikan Teknologi Dasar bagi Pusat Penataran
Pengembangan Guru Teknologi (PPPGT) Bandung.

E. Definisi operasional

Untuk menyatukan persepsi sesuai dengan rumusan masalah, maka dapat
dirumuskan definisi operasional hal-hal sebagai berikut:

1. Model pembelajaran pemecahan masalah merupakan bantuan yang QttufilfcfrT^B b? j

kepada siswa untuk memperoleh informasi, ide-ide, keterampilan-keterar^ifcj^-***.^
cara-cara berpikir, dan cara-cara menyatakan ide, dan cara belajar untuk belajar
sehingga dalam pembelajarannya dapat lebih mudah dan efektif.

2. Implementasi adalah cara menerapkan menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan.

3. Pendidikan Teknologi Dasar adalah Program pendidikan teknologi dasar yang

diperkenalkan kepada siswa pada jenjang SLTP.

4. Siswa berpikir kreatif adalah siswa yang mampu mengatasi masalah secara
sistematis yang tercermin dalam bentuk kelancaran, keluwesan, keaslian, dan
kerincian.

5. Kreativitas adalah kemampuan kognitif menggunakan gagasan-gagasan atau ide-

ide yang dilandasi oleh fakta dan informasi yang akurat dalam memecahkan atau
mengatasi suatu masalah.

F. Paradigma Penelitian.

Paradigma adalah seperangkat pandangan, nilai-nilai, kepercayaan tentang

dunia sekitar yang dapat digunakan sebagai alat bantu keilmuan dalam merumuskan
sesuatu yang harus dipelajari, masalah yang harus di atasi, bagaimana cara mengkaji,

serta aturan yang harus diikuti dalam menginterpretasikan apa yang telah diperoleh.

Dengan demikian paradigma penelitian merupakan panduan bagi peneliti dalam
menyelesaikan masalah.

Pembelajaran Pendidikan Teknologi Dasar di SLTP memiliki tiga dimensi.
Pertama, dimensi instrumental, yang berisikan tentang (1) Kebijakan, (2) Guru, (3)

Sarana dan prasarana yang didalamnya menyangkut Fasilitas dan sumber belajar.
10

Kedua, dimensi, Siswa dengan berbagai karakteristiknya yang ada. berupa faktor
karakteristik siswa yang menyangkut intelejensi, motivasi, bakat, dan minat terhadap
materi Pendidikan Teknologi Dasar. Ketiga, dimensi lingkungan sosial, yaitu suatu

pola hubungan (interaksi) sosial antara guru dengan siswa dan guru dengan guru.
Seluruh komponen pada dasarnya merupakan totalitas keutuhan yang saling
berhubungan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Berdasarkan pemetaan

permasalahan yang ada dalam gambar 1, maka penelitian

tindakan ini terfokus pada implementasi model pembelajaran pemecahan masalah
dalam Pendidikan Teknologi Dasar dengan factor-faktor yang mempengaruhinya

antara lain guru dan sarana prasarana yang ada berupa fasilitas gedung, alat, dan

sumber belajar sebagai instrumental input dan siswa sebagai row input untuk

menghasilkan keluaran yang diharapkan berupa siswa yang berpikir kreatip dalam
menghadapi permasalahan teknologi dasar yang ada di lingkungannya.

11

Kebijakan:

Kerjasama
Indonesia-Belanda

Personal :

-Kepala Sekolah
-Guru
-TU

Sarana A Prasarana:

-Fasilitas gedung
-Peralatan

-Sumber belajar

Pembelajaran

pemecahan masalah
Dalam

PendidikanTeknologi
Dasar

Raw input:

Siswa dengan berbagai
karakteristiknya yang
ada

Environment Impact:

Dukungan lingkungan

Gambar 1 : Peta variabel penelitian

12

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Metode Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Implementasi dan Perbaikan Model

Pengajaran Pemecahan Masalah Kreatif pada Pendidikan Teknologi dasar di SLTP,
maka metode peneltian yang digunakan adalah penelitian tindakan (action research).
Penelitian tindakan merupakan penelitian yang menggabungkan tindakan

dengan prosedur ilmiah dalam rangka memahami sambil ikut serta dalam proses

perbaikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh David Hopkins (1993 : 44)
"Action research combines as substantive act with a research procedure, it is action

disciplined by inquiry, a personal attempt at understanding while engaged in process
of improvement reform".

Pengertian di atas menggambarkan, bahwa walaupun penelitian tindakan
terlibat dalam proses perbaikan tertentu, akan tetapi tujuannya sama seperti penelitian

pada umumnya yaitu untuk memahami sesuatu. Ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan John Elliot (1993 :49) bahwa : "The fundamental aim of action research

is to improve rather than to produce knowledge". Jadi menurut Elliot tujuan dasar
dari penelitian tindakan adalah terutama lebih memperbaiki pengetahuan dari pada

menghasilkan pengetahuan. Dengan kata lain, penelitian tindakan tidak menekankan
pada penemuan pengetahuan baru, akan tetapi memperbaiki atau menyempurnakan
pengetahuan yangsudah ada.

Dalam bidang pendidikan, penelitian tindakan sering digunakan untuk

pengembangan kurikulum, pengembangan profesionalisme, perbaikan program

pengajaran dan sistem perencanaan, serta pengembangan kebijakan. Hal ini seperti

apa yang dikemukakan oleh Sthepen Kemmis yang dikutip oleh Hopkins (1993 :44)
yang menyatakan bahwa : ' In education, action research has been amployed in
school-based curriculum development, profesional development, school improvement
programe, and systems planning and policy development'.

Implikasi dengan hal tersebut. maka maksud dari penggunaan metode

penelitian tindakan adalah untuk memperbaiki impelementasi dan mengembangkan
model pemecahan masalah kreatip sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pengajaran pada Pendidikan Teknologi Dasar di jejang pendidikan SLTP.
B.

Prosedur Peneltian

Mengutip prosedur penelitian dari Lewis yang berpandangan bahwa penelitian

tindakan dilaksanakan seperti spiral yang berputar. Langkah-langkah dalam prosedur
penelitian tindakan dimulai dari: 1) pengembangan fokus masalah penelitian, 2)

perencanaan tindakan perbaikan, 3) pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi, dan
interpretasi, 4) analisis dan refleksi, dan 5) perencanaan tindak lanjut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada ganbar 3 berikut ini:
Dari gambar 3, dapat dijelaskan bahwa langkah-langkah dalam proses

penelitiantindakan yang dilakukan oleh peneliti, sebagai berikut:

1.

Pengembangan fokus masalah penelitian

Sebagaimana umumnya penelitian dilaksanakan atas dasar adanya masalah
...»;.?

yang dapat dijadikan bahan penelitian. Permasalah merupakan pernyataan dari
keadaan atau situasi tertentu yang memerlukan perbaikan atau peningkatan.

40

PERMASALAHAN

RENCANA

PELAKSANAAN

TINDAKAN

TINDAKAN I

J
REFLEKSII

ANALISIS

OBSERVASI

DATA I

I
RENCANA
BELUM

TERSELESAIKAN

TINDAKAN
II

PELAKSANAAN
TINDAKAN II

I
REFLEKSI

ANALISIS

II

DATA II

OBSERVASI

I
BELUM

SIKLUS

TERSELESAIKAN

SELANJUTNYA

Gambar 3 : Siklus Penelitian Tindakan

41

Untuk menentukan fokus masalah penelitian terlebih dahulu peneliti
melakukan studi pendahuluan, yaitu menggambarkan tentang fakta yang terjadi di

lapangan berkenaan dengan implementasi dan upaya pengembangan dari model
pemecahan masalah pada pengajaran Pendidikan Teknologi Dasar sebagai bahan
rencana tindakan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam studi pendahuluan

dilakukan pengumpulan data yang dianggap penting yang mencakup :
a. Faktor karakteristik guru, meliputi pemahaman tentang Pendidikan Teknologi
Dasar itu sendiri dan konsep model problem solving.
b. Faktor karakteristik siswa, yang menyangkut motivasi, bakat, minat, sikap

terhadap Pendidikan Teknologi Dasar
c. Faktor karakteristik Materi yaitu menyangkut konsep Pendidikan Teknologi
Dasar bagi siswa SLTP.

d. Faktor karkteristik fasilitas

Pendidikan Teknologi

Dasar

yang

yang

mendukung

meliputi

pelaksanaan pengajaran

bahan

ajaran,

peralatan

keterampilan dan ruang laboratorium.
e. Faktor Karakteristik lingkungan,sosial yang meliputi hubungan antara guru

dengan siswa, siswa dengan siswa, dan guru dengan guru Pendidikan
Teknologi Dasar.
2.

Merencanakan Tindakan

Tahap selanjutnya adalah tahap merencanakan tindakan. Rencana
tindakan merupakan seperangkat langkah-langkah yang akan dilakukan oleh

peneliti dalam mengkaji dan memahami tentang fokus masalah penelitian yang

selanjutnya menentukan upaya-upaya perbaikan terhadap kondisi yang
seharusnya diperbaiki. Untuk itu diperlukan rumusan solusi dari tindakan yang
akan dilakukan dengan membentuk hipotesistindakan.
42

~.r. (Mi HJ~.j^^»^

Dilihat dari sudut lain, alternatif tindakan perbaikan juga aariJtJ^diMmit *V * V
sebagai hipotesis, dalam arti mengindikasikan dugaan mengenai penibaha^*ke«

arah perbaikan yang bakal terjadi jika suatu tindakan dilakukan.

\^ _ '°L' ' ' --if

Agar rencana tindakan dapat dirumuskan dengan baik, maka peneliti
melakukan hal-hal sebagai berikut : Kajian teoritik di bidang pengajaran dan
Pendidikan Teknologi Dasar, Kajian hasil-hasil penelitian yang relevan dengan
fokus

masalah

penelitian, Mendiskusikan dengan

teman

"' ' >f

sejawat, pakar

pendidikan dan sebagainya, Kajian pendapat dan saran pakar pendidikan,
khusunya yang dituangkan dalam bentuk program, Merefleksikan pengalaman

peneliti sendiri sebagai Pengajar di PPPGT Bandung.
Adapun beberapa hal yang diperhatikan peneliti dalam merencanakan
tindakakan perbaikan adalah :
a. Rumusan alternatif tindakan perbaikan dilandasi oleh hasil kajian. Dalam arti

lain, tindakan perbaikan mempunyai landasan yang mantap secara konseptual
atau teoritisnya.

b. Setiap alternatif tindakan perbaikan dikaji ulang dan dievaluasi baik dari segi
relevansinya dengan tujuan, kelayakan teknis, serta keterlaksanaannya. Di

samping itu, peneliti menetapkan cara penilaian sehingga dapat mengukur
efektivitas selama tindakan perbaikan diimplementasikan.

c. Dipilih alternatif tindakan serta prosedur implementasi yang dinilai dapat
memberbaiki dan menghasilkan kondisi atau situasi pengajaran PTD yang
optimal.

43

'

3.

Pelaksanaan Tindakan dan Observasi-Interprestasi

Setelah semua tindakan persiapan selesai, maka skenario tindakan

perbaikan yang telah direncanakan diimplementasikan dalam situasi aktual.
Dalam hal ini situasi implementasi model pengajaran pemecahan masalah dalam

proses belajar mengajar Pendidikan Teknologi Dasar di SLTP. Kegiatan
implementasi tindakan perbaikan merupakan tindakan pokok dalam penelitian
tindakan. Bersamaan dengan implementasi tersebut dilakukan oleh observasi dan

interpretasi dari pelaksanaan tindakan perbaikan. Dalam kegiatan ini, peneliti
bekerja sama dengan guru PTD di SLTP.

Observasi adalah upaya perekaman segala peristiwa dan kegiatan yang

terjadi selama tindakan perbaikan itu berlangsung. Agar nantinya kadar
interpretasi data hasil observasi dapat dipertanggung jawabkan, maka dalam
observasi tersebut peneliti menggunakan alat atau pedoman observasi dan juga
dibantu alat-alat perekam.

4.

Analisis Data dan Refleksi
a.

Analisis Data

Analisis

data

adalah

proses

penyeleksian,

penyerderhanaan,

pemfokusan, mengabstraksikan, mengorganisasi data secara sistematis dan
rasional untuk menampilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk

penyusunan jawaban tujuan penelitian. Langkah-langkah analisis data
sebagai berikut:

a. Mencari rata-rata (Mean) tes kondisi awal
b. Mencari rata-rata (Mean) tes tahap pengembangan dengan rumus, sebagai
berikut
44

Me = ±*—

Keterangan

Me

: Mean (rata-rata)

Z: Epsilon (jumlah total)

c.

Xi

: Nilai X dari I sampai ke n

n

: Jumlah individu

Mengihitung perbedaan rata-rata (Mean) dengan uji t tes yang dirumuskan
sebagai berikut:

r-

Xn(n-\)

Keterangan :

1)

/

: Perbedaan skor tes kondisi awal dengan kondisi
perbaikan

Xd

: Rata-rataperbedaan setiap pasangan skor

Xd2

: Penyimpangan setiap perbedaan pasangan skor

n

dari rata-rata perbedaan pasangan skor
: Banyaknya subjek penelitian

Reduksi Data

Reduksi Data adalah proses penyederhanaan yang dilakukan

melalui seleksi, pemfokusan, dan mengabstraksikan data mentah

menjadi informasi yang bermakna.

45

2)

Paparan Data

Pemaparan data adalah proses penampilan data secara lebih
sederhana dalam bentuk naratif, representasi tabulasi termasuk dalam
format matriks, grafis, dan sebagainya.

3)

Penyimpulan

Penyimpulan adalah proses pengambilan intisari dari sajian data
yang telah terorganisir dalam bentuk pernyataan kalimat dan/atau
formulasi singkat dan padat tetapi mengandung pengertian luas.

b.

Refleksi

Refleksi adalah upaya untuk mengkaji apa yang telah/dan/atau tidak

terjadi, apa yang telah dihasilkan atau yang belum berhasil dituntaskan
dengan tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Hasil refleksi digunakan
untuk menetapkan langkah-langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai hasil
yang maksimal.

5.

Rencana Tindak Lanjut

Sebagaimana telah digambarkan di atas, hasil dari analisis data dan
refleksi akan menentukan apakah tindakan yang telah dilaksanakan dapat

mengatasi masalah atau belum. Jika hasilnya belum memuaskan atau belum
terselesaikan, maka dilakukan tindakan perbaikan lanjutan dengan memperbaiki

tindakan sebelumnnya sebagaimana siklus yang telah digambarkan di atas.

46

C. Teknik dan Intrumen Pengumpulan Data
1.

Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa penelitian tindakan lebih
menekankan pada kekuatan observasi. Oleh karena itu, teknik pokok dalam
pengumpulan data penelitian tindakan adalah obsevasi. Yaitu upaya mencermati

situasi dan perilaku yang ada dalam situasi tersebut secara utuh. Namun, untuk
menghindari hello effek dari proses observasi, maka digur.akan pula teknik
wavvancara dan studi dokumentasi.

Teknik observasi digunakan untuk mengamati proses implementasi

penggunaan model pemecahan masalah dalam Pendidikan Teknologi Dasar di
SLIP. Jadi yang diobservasi adalah proses untuk memperoleh data dari

penerapan model pengajaran pemecahan masalah yang dilakukan oleh guru
dalam situasi kegiatan belajar mengajar. Data yang diharapkan dari kegiatan
observasi tersebut adalah tentang langkah-langkah yang dilakukan guru dalam

penerapan model pemecahan masalah dan faktor-faktor apa yang menghambat.
Disamping itu, untuk mengamati kemampuan guru dalam penerapan model
pengajaran pemecahan masalah.

Sedangkan teknik wavvancara digunakan untuk mengumpulkan data

khusunya tentang pandangan guru terhadap model pengajaran pemecahan
' masalah serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Dan

teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai literatur,
baik berkenaan dengan model pengajaran pemecahan masalah maupun tentang

Pendidikan Teknologi Dasar dan dijadikan bahan pengecekan terhadap data yang
dikumpulkan dengan teknik wavvancara dan observasi
47

2.

Instrumen Pengumpulan Data

Agar data yang diperoleh objektif, maka dalam pelaksanaan pengumpulan

data peneliti menggunakan instrumen sesuai dengan masing-masing teknik yang

digunakan. Dalam pelaksanaan observasi peneliti menggunakan panduan
observasi dan juga anekdotal record, juga digunakan alat bantu perekaman.

Sedangkan dalam vvawancara, peneliti membuat pedoman wavvancara yang tidak
berstruktur.

D.

Lokasi Peneltian

Penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

Taruna Bakti. Dipilihnya SLTP Taruna Bakti ini, karena SLTP tersebut adalah salah
satu sekolah yang telah melaksanakan program Pendidikan Teknologi Dasar. Di

samping itu, para guru yang mengajar Pendidikan Teknologi Dasar sebagain telah

mengikuti Penataran di Pusat Penataran Pengembangan Guru Teknologi Bandung,
dan ikut serta dalam pengembangan program PTD.

E.

Subjek Penelitian

Sebagaimana disebutkan pada fokus masalah di atas, bahwa fokus penelitian
ini adalah langkah penerapan model pengajaran masalah dan implikasinya terhadap

peningkatan kreativitas siswa, maka yang menjadi subjek penelitian adalah siswa
kelas dua SLTP Taruna bakti.

48

^TTTSVs
Untuk mengukur implikasi pengajaran pemecahan masalah pada pc
kreativitas siswa, maka ditentukan sampel secara acak dari populasi siswa
yang berjumlah 15 orang.

49

BABV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat penulis simpulkan seperti berikut
di bawah ini:

1. Pembelajaran yang dilaksanakan dalam Pendidikan Teknologi Dasar telah
melaksanakan pembelajaran yang terpusat pada siswa, dalam hal ini terlihat

bahwa aktivitas pembelajaran telah diarahkan sedemikian rupa sehingga para
siswa lebih banyak mandiri mempergunakan modul-modul dan lembaran kerja
siswa baik secara individu maupun dalam kelompok-kelompok kecil mereka.
2. Implementasi model pembelajaran pemecahan masalah dalam

Pendidikan

Teknologi Dasar dapat dijalankan secara baik dengan dukungan :

a. Para guru terlebih dahulu telah dilatihkan kompetensi mengajarnya selaku
guru, demikian juga kompetensi teknis mereka tentang isi mata pelajaran
Pendidikan Teknologi Dasar sebagaimana yang telah diterapkan di PPPG
Teknologi Bandung.
b. Sarana dan prasarana demikian juga peralatan laboratoriumnya telah

dipersiapkan , demikian juga dengan rancangan isi mata pelajarannya
melalui modul-modul pembelajaran.

c. Lingkungan sekitar guru harus kondusif dengan cara para kepala sekolah

dan para pememerhati pendidikan telah disosialisasikan melalui kegiatan
seminar tentang pentingnya keberadaan Pendidikan Teknologi Dasar.

3. Dari hasil penelitian tindakan kelas masih terdapat kurang tingginya aspek

"divergen thinking" atau kemampuan berpikir divergen yang tidak lain adalah
unsur dari kreativitas dalam proses pembelajaran pemecahan masalah dengan

konsep PGBU yang diterapkan. Untuk memperbaiki hal ini, dalam penelitian
tindakan kelas ditempuh dengan memperbaiki disain modul dengan cara yang

lebih sederhana yaitu mendisain aktivitas pembelajaran pemecahan masalah
dimulai dari divergen hingga konvergen (sebagaimana contoh yang diberikan
dalam lampiran III) yang diawali dengan pertanyaan terbuka.

4. Dengan memperbaiki disain modul diperoleh hasil dengan peningkatan unsurunsur kreativitas siswa (unsur-unsur kelancaran, kelenturan keaslian dan

kerincian) menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini dapat
dilihat dalam table 15 berikut:

Tabel 15. Hasil Peningkatan unsur kreativitas siswa dari tahap awal hingga tahap akhir
No

Unsur Kriteria Penilaian

Pencapaian rata-rata penilaian padamasing-masing
tahap penilaian
Awal

PT-P

PT-II*

01

Kelancaran

2,93

3,73

4,67

02

Kelenturan

3,40

4.07

4,20

03

Keaslian

2,20

2,93

3,47

04

Kerincian

2,67

3,27

3,67

11,2

14,13

16

I Skor total

*> px-I = Perbaikan Pembelajaran Tahap I
PT- II = Perbaikan Pembelajaran Tahap II

90

5. Hambatan-hambatan yang terjadi dan bagaimana mengatasinya dapat dilihat
dalam tabel 16 berikut ini:

Tabel 16. Hambatan-hambatan yang ada dan cara mengatasinya
Cara mengatasinya

Hambatan

1. Kurang tingginya unsur-unsur Mendisain aktivitas pembelajaran dengan
kreativitas siswa

menghadapkan ke pada siswa pertanyaanpertanyaan yang terbuka

dengan diberi

kriteria-kriteria sebagai prasyarat awal
dan

hasil-hasil

aktivitas pembelajaran

siswa dituangkan dalam bentuk tabel
(lihat lampiran III)

2. Rusaknya peralatan yang

digunakan dalam pembelajaran

3. Kurangnya jumlah alat

Perbaikan alat yang rusak, bahkan alat
dapat dimodifikasi dan dibuat baru.

Penambahan

jumlah

alat

dengan

pembelian sendiri/ swadana dari pihak
sekolah.

91

**2S&V

B. Saran-saran
1.

i[^^%jj^\i^

Saran untuk Guru

~

Dalam proses belajar mengajar yang menggunakan model pemeca
masalah telah mengubah peranan guru dari orang yang memberi informasi

menjadi perancang, fasilitator, pembimbing dan lain sebagainya. Oleh karena itu,

peneliti memberi masukan kepada para guru yang mengajar Pendidikan Tenologi
Dasar untuk senantiasa meningkatkan kemampuan dan profesionalime mengajar.
Disadari atau tidak, pandangan masyarakat terhadap keberadaan guru

sudah berubah, perilaku guru tidak lagi dijadikan acuan masyarakat. Kondisi ini

jelas berpengaruh pada peranan guru di dalam kelas. Sudah seyogyanya, dalam
proses belajar mengajar, guru menempatkan siswa sebagai faktor yang
menentukan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh

karena itu, sudah

selayaknya para guru mengubah budaya mengajar yang menempatkan siswa
sebagai objek.

Perubahan pandangan masyarakat terhadap eksistensi guru tentunya tidak

muncul begitu saja, tetapi merupakan respon terhadap kualitas pendidikan saat
ini. Memang, mundurnya kualitas harus sepenuhnya disalahkan kepada guru,

tetapi guru sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan yang secara langsung
bertangung jawab terhadap mutu pendidikan.

Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menngembalikan citra positif guru

dan pemperbaiki mutu pendidikan umumnya, maka sudah seharusnya diubah
paradgima mengajar yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa.
Sekali lagi saya sebagai peneliti, semoga hasil penelitian ini dapat

bermanfaat bagi para guru PTD di SLTP, yang selama ini telah menggunakan
model pemecahan masalah. Hasil penelitian ini merupakan upaya
92

penyederhanaan dari konsep model pemecahan masalah yang selama ini
dilaksanakan atau diaplikasikan dalam konteks proses belajar mengajar
Pendidikan Teknologi Dasar.

2.

Saran untuk Para Kepala SLTP

Kepala sekolah memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan
instusional, berkenaan dengan hal tersebut, sebagai otoritas yang bertanggung

jawab maju dan mundurnya lembaga pendidikan dapat memberi iklim sosial yang
kondusif dalam pengembangan pendidikan, salah satunya memberi motivasi

kepada para guru untuk senantisa mau mengembangkan diri dalam mencapai
mutu pengajaran. Disamping itu, perlu menerima dan memandang guru sebagai
orang yang sangat penting dalam mengasilkan siswa yang bekualitas. Dan
senatiasa memberikan motivasi kepada guru untuk mengembangkan diri, serta
meberikan kebebasan akademis demi tercapainya hasil pendidikan yang
memuaskan.

3.

Saran untuk PPPGT Bandung

Pusat Penataran Pengembangan Guru Teknologi Bandung sebalai

lembaga pengembangan tenaga guru teknologi secara tidak langsung memiliki
konstribusi terhadap kondisi pengajaran di SLTP yang melaksanakan Pendidikan

Teknologi Dasar. Sebagai pengembang tenaga guru yang mengajar pada
Pendidikan Teknologi Dasar di SLTP, hasil penelitian ini dapat dijadikan

referensi pengembangan pedoman pelaksanaan KBM Pendidikan Teknologi
Dasar dan mengembangan modul-modulnya.

93

4.

Saran untuk Penelitian Selanjutnya.

Dalam penelitian ini peneliti menyadari adanya keterbatasan waktu,
informasi yang diperoleh dari hasil penelitian, oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan jumlah subjek yang lebih
banyak, kelas yang lebih banyak di berbagai lokasi yang berbeda serta materi
yang berbeda pula.

94

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, J. L. (1987). An international study of curriculum organizers for the study of
technology. Dissertation Abstracts international, 48, 05A, 1176.

Bogdan, R.C. and Biklen, Sariknopp. (1982). Qualitative Research for Education : A
introduction to Theory and Methodes. Boston Masschusetts : Allyn and 3acon,
Inc.

Bransford, J., &Stein, B. (1984). The Ideal Problem Solver. New York:
Freeman.

Csikszcntmihalyi, M. (1996;. Creativity: Flow and the psychology ofdiscovery and
invention. New York: Harper/Collins.

Depdikbud. (1989). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Kreasi jaya
Utama.

Depdikbud, (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta :
Depdikbud.

Depdikbud, (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar

Landasan, Program dan

Pengembangan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Depdikbud, (1993). Undang-undang No. 2 th. 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta : Balai Pustaka

Depdikbud, (2003). Undang-undang No.. 20 th. 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta : CV Medya Duta Jakarta,

Dewey, J. (1910). How We Think. Boston: Heath.

Duenk, L.G. (1966). AStudy ofthe concurrent validity ofthe Minnesota Test ofCreative
Thinking. Abbr. Form VII, for eight grade industrial arts student. Minneapolis:
Minnesota University (Report No. BR-5-0113).

Frankel, Jack R. &Norman E. Wallen. (1990). How to Design and Evaluate Research in
Education. New York : McGraw Hill Publishing Company

Polya, G. (1957). How To Solve It Princeton, NJ: Princeton.

Polya, G. (1971). How to solve if (2ndad.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Gagne, R. M. (1985). The Conditions OfLearning And Theory Of
'instruction (4th ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.

uilford, J. (1976). LITcctivcncss of computer simulation for enhancing higher order
thinking. Journal of Industrial 'Teacher Lducalion. 33(4), 36-46.
adisubroto.S. (1988). I'okok-pokok ,'enguiupulan Data, Analisis Date, I'enajsirun Data
dan Rekomendasi Dalam Tcwlitian kualilatif. Bandung : Depdikbud, IKI!1
Bandung

allman, R., (1967). Creativity in the classroom, Journal oTCrcative Behavior, I, 325-330

amalik.O. (1986). Pendidikan Guru : Konsep - Kurikulum - Strategi. Bandung :

linlon, ILL. (1968, Spring). A Model ibMhc study of creative problem solving. Journal
ofCreative Behavior, 2(2), 133-142.
louseholder, D. L., & Boser, R. A. (1991). Assessing the effectiveness of change to

technology teacher education. Journal OfTechnology Education. 2(2), 16-31.
loutz, .l.C. (2001). Creativity. Fall : Fordham University

ladisubroto,S. (1988). Pokok-pokok Pengumpulan Data, Analisis Data, T'inajsirun Data
dan Rekomendasi Dalam Penelitian Kualilatif. Bandung : Depdikbud, IK IP
Bandung

Cirton, M.J. (1976). Adaptors and innovators: A description and measure. Journal of
Applied Psychology, 61, 622-629

.app.D., Bender.H., Ellenwood,S. (1975), Teaching and Learning Philosophical,
Psychological, Curricular Applications. USA : Macmillan Publishing CO., Inc.
vlcCormick, R. (1990, October). The evolution of current practice in technology
education. A paper presented at the NATO Advanced Research Workshop:

Integrating Advanced 1echnology into Technology Education, Eindhoven, The
Netherlands

Michael, K.Y. (2001). "The I-fleet of a Computer Simulation Activity versus a Ilands-on

Activity on Product Creativity in 'Technology Education".Journal ofTechnology
Education, [online], 13(1), 31-43. Tersedia di internet:

http://www.scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTt-/vl3nl/pdf/micheal.pdff4 Marel 2004j
Moss. J. (1966). Measuring creative abilities in junior high scnool.
Nasution, s. (1980). Ar.as-asas Kurikulum. Bandung Jemmars.

Natawidjaya, R. (1988). Pengolahan Data Secara Slatistik. PPS IKIP Bandung

Permana, I. (1997). Konsep BTE dan Pembelajarannya Dalam Rangka Sosialisasi
Program Pengembangan Basic Technology Education (BTE). Bandung :
TEDC Bandung.

Polya, G. (1957). How To Solve It. Princeton, NJ: Princeton.

95

Sanusi, A. (1990). Oionomi Kultural dan I'engelolaan. Bandung : Mimbar P\

3, Tahun IX, Edisi Oktobcr. University Press.

^

Savage, E., & Sterry, L. (1990). A conceptualframeworkfor technology education
Reston, VA : International Technology Education.

Simberg, A. L. (1964). Creativity at work. Boston, MA: Industrial Education Institute (pp.
41-69). Reprinted in G.A. Davis & J.A. Scoll (Eds) (1971). Training creative
thinking New York: Holt, Rinehart, & Winston.

Socwardi. (1988). Strategi Pelaksanaan dan Pengelolaan Kurikulum Muatan Lokal.
Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I, bandung.
Soedijartc. (1938). Kurikulum Nasional yang Relevan dengan Tuntulan Pembangunan
Nasional dan Implikasinya bagi Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal.
Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I, Bandung.

Sudjana, (1988). Metoda Statiska, Bandung : Angkasa.
Sukmadinatc.,N.S. (1988). Prinsip dan landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta :
Depdikbud, Ditjen Dikti, P2LPTK.

Supriadi.D. (1994) Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung :
Alfabeta.

Visser,C. Weber,R. (1997). Pendidikan Dasar Teknologi (terjemahan). Bandung: TEDC
Bandung.

Sellwood, P. (1989). The role of problem solving in developing thinking
skills. The Technology Teacher, 49(2), 3-10.
Torrance, EP. (1966). Torrance test on creative thinking : Norms- technical manual
(Research Edition). Lexington, Mass : Personal Press.

Treffinger, D.J. & Isaksen, S.G. (1992/ Creative problem solving: An introductin.
Sarasota, FL: Center for Creative Learning, Inc.. 4152 Independence Court. Suite C7, Sarasota, FL 34234

Zais, Robert. (1976). Curriculum Principles and Foundation. New York : Harper & Row
Publisher.

Wallas, G. (1926). 77;e art ofthought New York: Harcourt, Bruce and Company.
Weber,R. (1997). BTE Curriculum Indonesia. Enschede : SLO.

96