NILAI-NILAI BUDAYA DAN KARAKTER DALAM CERITA DRAMA SENI TARLING DI KABUPATEN INDRAMAYU :Studi Deskriptif-Analitis terhadap Seni Tarling sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Sastra di SMP Se-Kabupaten Indramayu.

(1)

258

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1987. PengantarApresiasiKaryaSastra. Bandung :SinarBaru.

Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta : Rineka Cipta.

Casminih. 2006. Kajian Makna, Nilai Budaya, dan Konteks Seni Tradisional Indramayu ”Sintren” serta Upaya Pewarisannya. Tesis pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Tidak Dipublikasikan.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta : Rineka Cipta. Danandjaja, James. 2007. FolklorIndonesia :IlmuGosip, Dongeng, danLain-lain.

Jakarta :Grafiti.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Dasuki, H. A. 1977. SejarahIndramayu(cetakan ke-2).PemerintahKabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.

Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2008. MetodologiPenelitianSastra :Epistemologi, Model, Teori, danAplikasi. Yogyakarta :MedPress.

http://www.google.co.id/ kriteria+bahan+ajar+yang+baik [10 Mei 2011]

Ihromi, T.O. 1999. Pokok-pokokAntropologiBudaya.Jakarta :YayasanObor Indonesia.

IskandarwassiddanDadangSunendar. 2009. StrategiPembelajaranBahasa. Bandung : UPI – PT RemajaRosdakarya.

Jakob, Sumardjo dan Saini K. M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia.


(2)

259

Kasim, Supali. 2007. Asal-UsuldanPerkembanganTarling. Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu.

Koentjaraningrat. 1999. PengantarAntrologi I. Jakarta :RinekaCipta.

Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia.

Megawangi, Ratna. 2004. PendidikanKarakter :Solusi yang TepatuntukMembangunBangsa. Jakarta : BP Migas.

Moleong, J. Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 1988. PenilaiandalamPengajaranBahasadanSastra. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. SastraAnak.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. TeoriPengkajianFiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Rahmanto, B. 1993. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius.

Ratna, NyomanKutha. 2010. Teori, Metode, danTeknikPenelitianSastra. Yogyakarta :PustakaPelajar.

Rojai. 1996. Perbandingan Unsur-unsur Intrinsik Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana dengan Novel La Barka karya Nurhayati Srihardini sebagai Bahan Pengajaran Sastra di SMU. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Wiralodra Indramayu. Tidak dipublikasikan.

Rukmana, Maman. 2006. StudiDeskriptifterhadapStruktur, Fungsi, danNilaiBudayaCerita Rakyat Banten Selatan (PenyusunanBahan Ajar Mata PelajaranBahasadanSastra Indonesia untukSiswa SD di KabupatenPandeglang).Tesis pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Tidak Dipublikasikan.

Rusyana, Yus. 1982. MetodePengajaranSastra.Bandung : CV GunungLarang. Rusyana, Yus. 1978. SastraLisanSunda: CeritaKaruhun,


(3)

260

Satori, Djam’andanAanKomariah. 2010. MetodologiPenelitianKualitatif.Bandung :Alfabeta.

Shihabuddin.2009. EvaluasiPengajaranBahasa Indonesia.Bandung :SekolahPascasarjana UPI. TidakDipublikasikan.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.

Soedarsono, Soemarno. 2010.

KarakterMengantarBangsadariGelapMenujuTerang.Jakarta : PT Elex Media KomputindoKompasGramedia Building.

Sopandi, Atik. 1994. RagamCipta. Bandung : C.V. Sampurna

Sudibyo, Nurochman. 2007. Fenomena Tarling. Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu.

Sudjana, Nana. 2001. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. MetodePenelitianPendidikan. Bandung : UPI – PT RemajaRosdakarya.

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung : UPI - PT Remaja Rosdakarya.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta : Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia.

YayasanJatiDiriBangsa. 2008. MembangunKembaliJatiDiriBangsa:

PeranPentingKarakterdanHasratuntukBerubah. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hampir semua kegiatan manusia di dunia ini tidak akan terlepas dengan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan pun beraneka ragam. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, seorang guru menerangkan materi pembelajarannya dengan mengunakan bahasa. Begitu juga dengan anak kecil yang merajuk kepada ibunya untuk dibelikan sebuah mainan pun menggunakan bahasa. Memang bahasa mempunyai fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa pun disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat berkomunikasi tersebut berlangsung, baik dalam situasi formal (resmi)maupun nonformal (tidak resmi). Bahasa yang digunakan pun bisa berupa bahasa lisan atau bahasa tulis.

Dardjowidjojo (2008 : 16) mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Chaer (2009 : 30) bahwa bahasa sebagai ”satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer,yang kemudian lazim ditambah dengan”yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Pendapat lain yang mendukung pernyataan tersebut adalah Descartes (Siswanto, 2008 : 18)


(5)

menyatakan bahwa bahasa adalah milik khas manusia.Lebih lanjut dijelaskan oleh Siswanto (2008 : 18) bahwa para antropolog terbagi tiga golongan dalam memandang bahasa.Pandangan pertama menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Pandangan kedua mengatakan bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan, salah satu unsur kebudayaan. Pandangan ketiga berpendapat bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, dan ini dapat berarti dua hal. Hal pertama, bahasa adalah kondisi bagi kebudayaan. Manusia mengenal budaya melalui bahasa. Hal kedua, bahasa adalah kondisi bagi kebudayaan karena materi bahasa sejenis dengan materi pembentuk kebudayaan.

Lebih lanjut Siswanto (2008 : 18) menjelaskan bahwa terlepas dari kontroversi dari pembagian tersebut, dalam komunikasi biasa, ketika menyampaikan pesannya, penyapa selalu dipengaruhi oleh dan harus memperhatikan sistem bahasa dan sistem sosial budaya. Selain itu, penyapa dipengaruhi oleh kompetensi kebahasaannya. Ketika ingin menyampaikan pesan, ia harus memilih bahasa yang sama dengan bahasa yang dikuasai oleh orang yang disapa. Bila orang yang disapa orang Indonesia, penyapa harus menyampaikan pesannya dalam bahasa Indonesia.

Hal ini juga berlaku dalam kegiatan sastra. Ketika sastrawan ingin menyampaikan pesan atau amanatnya, maka sastrawan tersebut harus menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa yang digunakan oleh sastrawan haruslah bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh penikmat karya sastra dari sastrawan itu. Lebih lanjut Siswanto (2008 : 19) mengatakan bahwa


(6)

sebagai komunikasi yang timbal balik, sistem bahasa yang diciptakan sastrawan ini harus diterima oleh pembaca dengan cara yang sama. Bila tidak, komunikasi ini bisa dikatakan gagal. Itulah sebabnya, bahasa sastra bukan bahasa yang melanggar kaidah bahasa natural (bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari), tetapi memang mempunyai kaidah tersendiri.

Jabrohim(Casminih, 2006 : 1) mengatakan bahwa fungsi sastra di dalam masyarakat di antaranya adalah sebagai sarana menyampaikan ajaran (moral dan agama), untuk kepentingan politik pemerintah, dan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan yang lain. Itu berarti, sastra merupakan medium yang elastis karena dapat digunakan sebagai wadah yang praktis untuk mengemas ajaran yang berisi moral dan agama. Selain itu juga, bila pemerintah menginginkan bergulirnya politik tertentu, hal itu bisa disalurkan melalui karya sastra. Sebagai saranayang efektif untuk kepentingan banyak orang, sastra mampu melakukan kegiatan tersebut.

Banyaknya hasil karya sastra yang sampai saat ini belum tergali fungsinya, sungguh sangat disayangkan oleh semua pihak. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kepuasan batin bisa juga diperoleh dengan jalan menikmati suatu karya sastra. Belum tergalinya fungsi-fungsi dari karya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah dari karya sastra itu sendiri yang seolah-olah menyembunyikan nilai-nilai, baik nilai kebahasaan maupun nilai kesastraannya.

Hal tersebut juga terjadi dalam seni tarling yang ada di Kabupaten Indramayu.Seni tarling yang di dalamnya menyuguhkan cerita-cerita drama


(7)

kehidupan masyarakat khususnya di Indramayu termasuk karya cipta manusia seperti budaya dan ilmu pengetahuan. Karya sastra ini menunjukkan pengalaman manusia seperti kesenangan, kerinduan, cinta kasih, ratap tangis, dan kebencian. Segala rasa dapat terlahir dalam sastra. Demikian juga ajaran-ajaran hidup yang bermakna sakral dapat terlahir dalam seni tarling. Sudibyo (2007 : 80) mengatakan bahwa tarling merupakan seni rakyat yang menonjolkan irama gerak hati rakyat pantai Utara Jawa. Khususnya masyarakat Indramayu yang kemudian berkembang ke Cirebon, sebagian Subang, Karawang, Brebes, Tegal, Pekalongan hingga Semarang dan sebagian Majalengka, Kuningan, Ciamis, Sumedang, dan Bandung. Seni tarling dalam pementasan sering menyajikan drama yang memiliki nilai-nilai akhlak kehidupan yang sangattinggi. Di antara nilai-nilai kehidupan tersebut adalah nilai-nilai budayadan karakter. Namun, kenyataan yang diperoleh, masyarakat Indramayu yang merupakan penikmat seni tarling tidak semuanya bisa menangkap nilai-nilai budayadan karakter yang disajikan dalam pementasan drama seni tarling.Mereka lebih senang menikamati lagu tarling atau lagu-lagu dangdut yang disajikan sebelum pementasan drama tarling.

Hanya orang-orang tertentu yang memahami cerita drama seni tarling. Akibatnya, rasa membutuhkan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan seni tarling yang penuh dengan nilai-nilai budaya,karakter,dan amanat kebersatuan tak pernah tertanam pada generasi-generasi muda pewaris masa depan. Seni tarling ternyata mengandung makna yang berbeda apabila ditinjau dari konteks yang berbeda pula. Apabila seni tarling ditinjau dari konteks sebagai hiburan masyarakat, maka seni tarling adalah seni yang berfungsi memuaskan hati atau


(8)

menyegarkan suasana. Konteks yang lain, seni tarling adalah seni yang digunakan sebagai media penyampai pesan baik pesan politik atau pesan sosial. Dalam keadaan seperti ini, maka wujud seni tarling akan dipenuhi muatan-muatan pesan sesuai permintaan pihak penyelenggara. Konteks-konteks tersebut telah banyak diketahui dan dilakukan oleh masyarakat Indramayu.Sedangkan konteks seni tarling sebagai media penggalangan generasi muda demi kesatuan dan persatuan, masih jarang diketahui oleh masyarakat Indramayu. Hal ini, dikarenakan sangat sedikit masyarakat Indramayu yang mengerti makna yang terkandung pada cerita drama seni tarling. Apabila ketidakmengertian ini terus berlangsung, maka cerita drama seni tarling Kabupaten Indramayu hanya berfungsi sebagai hiburan pelepas lelah, sama seperti hiburan-hiburan yang lainnya.

Sehubungan dengan uraian tersebut, untuk dapat melestarikan dan mengenalkan seni tarling ke generasi mudaterutama para pelajar (siswa) banyak sekali caranya. Salah satunya adalah dengan memasukan seni tarling sebagai materi pembelajaran di sekolah-sekolah. Alangkah bijaknya, materi tersebut diberikan kepada peserta didik mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA). Dengan pemberian materi tersebut, diharapkan siswa akan mengetahui seni asli Kabupaten Indramayu yaitu tarling semenjak dini. Selain itu, dengan pemberian materi tersebut siswa diharapkan juga memperoleh nilai-nilai budayadan karakter yang terkandung dalam cerita atau lakon drama tarling.

Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya seorang guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia memilih bahan sastra yang tepat


(9)

dan sesuai untuk pembelajaran sastra dari tingkat SD sampai tingkat SMA. Rusyana (1982 : 9) mengungkapkan bahwa seorang guru sastra harus mempunyai semangat sehubungan dengan pengajarannya. Ia harus mempunyai kecintaan pribadi terhadap sastra. Sastra baginya menjadi salah satu sumber kenikmatan. Rusyana (1982 : 6) mengatakan bahwa pengajaran sastra mempunyai peranan dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan. Masih menurut sumber yang sama, Rusyana (Rojai, 1996 : 3) mengatakan bahwa bahan pengajaran sastra adalah bahan untuk kegiatan memperoleh pengalaman maupun untuk memperoleh pengetahuan sastra harus ada bahan, berupa hasil sastra dan pengetahuan sastra. Lebih lanjut Rusyana mengatakan bahwa tujuan pengajaran sastra adalah siswa beroleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra : pengalaman sastra itu berupa pengalaman mengapresiasi dan pengalaman berekspresi sastra. Pengetahuan sastra berupa pengetahuan tentang teori sastra, sejarah sastra, dan lainnya (misalnya sosiologi sastra). Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah seharusnya guru sastra mempunyai apresiasi yang cukup tinggi dan wawasan sastra yang luas, serta memiliki inisiatif memilih bahan pengajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Kemampuan tersebut perlu sebab sangat erat kaitannya dengan menyiapkan bahan pembelajaran. Agar pembelajaran sastra jelas perannya sesuai dengan tujuan pendidikan, bahan pembelajaran perlu dipersiapkan dengan baik.

Sehubungan dengan pemilihan materi pembelajaran,Rahmanto (1993 : 27) mengatakan bahwa kita sebagai guru dalam memilih bahan sastra harus


(10)

memperhatikan tiga aspek sebagai berikut : pertama dari sudut bahasa, kedua dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan ketiga dari sudut latar belakang kebudayaan para siswa. Lebih lanjut Rahmanto (1993 : 16) mengatakan bahwa bahan pengajaran sastra yang baik dan yang pantas diajarkan kepada siswa, apabila bahan tersebut meliputi empat cakupan manfaat. Cakupan manfaat tersebut adalah membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menujang pembentukan watak. Lebih lanjut lagi, Rahmanto (1993 : 15) mengatakan bahwa jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, Rusyana (1982 : 10) mengatakan bahwa guru sastra harus mempunyai apresiasi yang baik terhadap sastra. Ia harus selalu berusaha untuk meningkatkan apresiasinya itu. Lebih lanjut Rusyana (1982 : 11) mengatakan bahwa sebagai guru sastra yang baik, kita harus berinisiatif memilih bahan sendiri. Hal itu hanya mungkin kita lakukan apabila kita mengikuti perkembangan kesusastraan, dan kita mempunyai kemampuan mengadakan kritik sastra. Kita harus memilih dari bahan yang tersedia itu, dan pemilihan itu pada taraf permulaan didasarkan kepada baik buruknya dari segi sastra.

Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk mengantisipasi ketidaktahuan para siswa akan seni tarling di Kabupaten Indramayu telah menggugah keinginan peneliti melakukan penelitian untuk permasalahan yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul ”Nilai-nilai Budayadan Karakter dalam Cerita Drama


(11)

Seni Tarling di Kabupaten Indramayu” (Studi Deskriptif-Analitis terhadap Seni Tarling sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Sastra di SMP Se-Kabupaten Indramayu) diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan keluarnya.

B. Identifikasi Masalah

Dalam melaksanakan penelitian, permasalahan harus ditentukan dengan benar-benar tepat. Artinya, menentukan permasalahan dalam sebuah penelitian, jangan dilakukan dengan cara untung-untungan atau spekulasi. Hal ini, dimaksudkan agar penulis mendapatkan permasalahan yang tepat, maka hendaknya terlebih dahulu permasalahan-permasalahan tersebut diidentifikasi. Setelah itu, dipilah dan dipilih permasalahan yang akan direncanakan penyelesaiannya berupa pembatasan masalah. Permasalahan yang berkaitan dengan seni tarling di Kabupaten Indramayu berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1) Cara-cara pewarisan cerita-cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

2) Analisis cerita-cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

3) Fungsi-fungsi yang terdapat dalam cerita-cerita drama atau lakonseni tarling di Kabupaten Indramayu.

4) Nilai-nilai budaya dan karakter yang terdapat dalam cerita-cerita drama atau lakonseni tarling di Kabupaten Indramayu.

5) Cerita-cerita drama atau lakon seni tarling dapat dijadikan bahan ajar bagi siswa SMP.


(12)

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah perlu dibuat agar objek penelitian tidak terlalu luas. Adapun masalah penelitian akan dibatasi pada analisis deskriptif terhadap analisis nilai-nilai budaya dan karakter yang terkandung dalam cerita drama seni tarling Kabupaten Indramayu yang digolongkan genre mitos, legenda, dan dongeng, serta mendeskripsikan kriteria serta langkah-langkah menyusun bahan ajar cerita rakyat mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk siswa SMP.

D. Rumusan Masalah

Moleong (2004 : 61) mengatakan bahwa titik tolak penelitian jenis apa pun akan bersumber dari permasalahan. Tanpa permasalahan, maka penelitian tidak akan pernah ada. Masalah harus dirumuskan secara jelas, sederhana, dan tuntas. Dijelaskan lebih lanjut oleh Moleong bahwa seluruh unsur penelitian lainnya berpangkal pada perumusan masalah.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka masalah penelitian ini dirumuskan berikut di bawah ini.

1) Adakah nilai budayadan karakterkeagamaan (religius) dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu?

2) Adakah nilai budaya dan karakter adat istiadat dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu?

3) Adakah nilai budaya dan karakter keteladanan dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu?

4) Adakah nilai budaya dan karakter kegotongroyongan dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu?


(13)

5) Apakah cerita-cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMP?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dalam penelitian tersebut, berikut ini adalah tujuan penelitian yang akan menjawab permasalahan melalui proses penelitian. 1) Menemukan nilai budaya dan karakterkeagamaan (religius) dalam cerita

drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

2) Menemukan nilai budaya dan karakter adat istiadat dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

3) Menemukan nilai budaya dan karakter keteladanan dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

4) Menemukan nilai budaya dan karakter kegotongroyongan dalam cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu.

5) Mendeskripsikan cerita-cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMP.

F. Manfaat Penelitian

Setiap kegiatan penelitian mempunyai manfaat. Manfaat merupakan suatu keharusan dari sebuah penelitian yang dilakukan. Begitu juga dengan penelitian ini. Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat oleh dunia keilmuan, dunia pendidikan, dan pemerintah.


(14)

1) Manfaat untuk segi keilmuan

Sebuah hasil penelitian akan layak dipergunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Para peneliti akan terbantu dalam hal mengorganisasikan gagasan, mencari sumber teori, dan mencari hal-halyang sekait dengan pembahasan penelitiannya. Bila itu terjadi, maka hasil penelitian itu merupakan motivator dan inspirator dalam melahirkan ilmu baru.

2) Manfaat untuk dunia pendidikan

Hasil penelitian ini akan diimplementasikan ke dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Model pembelajaran yang akan ditawarkan yaitu model yang menuntun siswa untuk terlibat dalam tindak apresiasi sastra. Dengan demikian, diharapkan agar dunia pendidikan, khususnya pembelajaran sastra tidak lagi “kering”

3) Manfaat untuk pemerintah

Penelitian ini akan menghasilkan suatu pengetahuan yang berkaitan dengan tatanan hidup bermasyarakat. Tentunya tatanan hidup bermasyarakat di kabupaten Indramayu. Hal ini, akan membantu Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam melestarikan kebudayaan dan pewarisan kebudayaan seni tarling kepada generasi muda melalui bahan ajar dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.


(15)

G. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) unsur intrinsik dalam cerita-cerita drama atau lakon merupakan unsur-unsur yang membangun cerita yang meliputi : tema dan moral,plot/alur,penokohan, dan latar/setting;

2) cerita drama atau lakon dalam seni tarling berfungsi sebagai alat pendidikan dalam kehidupan masyarakat di Indramayu;

3) cerita drama atau lakon dalam seni tarling mengandung nilai-nilai budaya dankarakter yang berguna bagi kehidupan manusia, seperti : keagamaan (religius), adat istiadat, keteladanan, dan kegotongroyongan;

4) bahan ajar perlu disusun sebelum melaksanakan proses pembelajaran sebagai arah dan isi yang akan disampaikan kepada siswa.

H. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami penelitian ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu hal-hal yang berhubungan dengan istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini.

1) Yang dimaksud dengan nilai dalam penelitian ini adalah nilai cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu yang berfungsi sebagai 1) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, 2) sebagai alat pendidikan anak, dan 3) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.


(16)

2) Yang dimaksud dengan nilai karakter dalam penelitian ini adalah nilai-nilai karakter dalam cerita drama atau lakon seni tarling yang meliputi karakterkeagamaan (religius), adat istiadat, keteladanan, dan kegotongroyongan.

3) Yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya dankarakterdalam penelitian ini adalah nilai budaya dan karakter yang terkandung dalam cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu adalah: 1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia; 2) masalah mengenai hakikat dari karya manusia: masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu; masalah mengenai hakikat dari hubungan dengan alam sekitarnya; dan 5) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan manusia.

4) Yang dimaksud dengan cerita drama seni tarling dalam penelitian ini adalah cerita-cerita yang diangkat dari cerita kehidupan masyarakat Kabupaten Indramayu yang dibawakan atau dipentaskan dalam pertunjukkan kesenian tarling, baik pada siang hari maupun pada malam hari (semalam suntuk).

I. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu itu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian itu berfungsi. Paradigma penelitian harus mengacu pada alur pikir dalam melaksanakan penelitian. Alur pikir inilah yang menitikberatkan pada


(17)

model-model tertentu.Paradigma penelitian harus mencerminkan langkah-langkah atau alur yang sistematis dan terintegrasi antarkomponen yang terstruktur.

Untuk menggambarkan proses penelitian ini dapat dilihat melalui diagram di bawah ini.

Cerita-cerita Drama ataulakon

LatarBelakangMasal ah

Bahan Ajar

Masalah yang

berkaitandengancerit a-cerita drama ataulakonbahan ajar

AnalisisCerita-ceritaDrama : 1. Struktur

2. NilaiBudayadan karakter

Bahan Ajar 1. Silabus 2. RPP

MetodedanInstrume nPenelitian

Hasilanalisisstrukturcerita-cerita drama ataulakon

Penyusunanbahanajarcerita-cerita drama ataulakonsenitarling

Produkberupadeskri psi


(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Setiap penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif selalu berangkat dari masalah.Namun, terdapat perbedaan yang mendasar antara masalah dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif.Untuk memecahkan permasalahan itu diperlukan pendekatan, metode, dan teknik penelitian.

A. Metode Penelitian

Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan atau desain penelitian apa yang akan diterapkan. Hal ini, dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh,dilihat dari sudut metodologi penelitian.Disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.

Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain, ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda dengan tujuan obyek dan masalah yang akan diteliti, tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan.Makapendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.


(19)

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu pencarian (inquiry), menghimpun data, mengadakan pengukuran, analisis, sintesis, membandingkan, mencari hubungan, menafsirkan hal-hal yang bersifat teka-teki.Sukmadinata (2008 : 52) mengatakan bahwa suatu metode penelitian memiliki rancangan (research design) tertentu. Rancangan ini menggambarkan prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu penelitian, sumber data, dan kondisi arti apa data dikumpulkan, dan dengan cara bagaimana data tersebut dihimpun dan diolah. Tujuan rancangan penelitian adalah melalui penggunaan metode penelitian yang tepat, dirancang kegiatan yang dapat memberikan jawaban yang teliti terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Penelitian dapat dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Sukmadinata (2008 : 60) mengatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative reseach) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Lebih lanjut, Sukmadinata mengatakan bahwa penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan utama, yaitu pertama, menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explain).Kebanyakaan penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan eksplanatori.

Sehubungan dengan itu Ratna (2010 : 39) mengatakan bahwa :

Dalam ilmu sastra dengan pertimbangan bahwa penelitian sastra pada dasarnya memanfaatkan dua macam penelitian, yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan. Seperti disinggung di atas, prosedur penelitian lapangan ilmu sastra hamper sama dengan ilmu sosial, keduanya memanfaatkan instrumen yang sama, dengan sendirinya dengan metode dan teknik yang sama. Prosedur penelitian pustaka dalam bidang sastra


(20)

agak berbeda, memiliki ciri-ciri tersendiri.Pada umumnya penelitian perpustakaan secara khusus meneliti teks, baik lama maupun modern.Sampai sampai saat ini penelitian perpustakaan terbatas memanfaatkan teknik kartu data, baik kartu data primer maupun sekunder.Metode yang paling sering digunakan adalah hermeneutika yang disamakan dengan verstehen, interpretasi, dan pemahaman. Dalam bidang ilmu lain interpretasi disejajarkan dengan metode kualitatif, analisis isi, dan etnografi. Metode lain yang sering digunakan adalah deskripsi analitik, metode dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis.

Lebih lanjut Ratna (2010 : 34) mengatakan bahwa metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Lebih lanjut Ratna mengatakan bahwa dalam pengertian luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan raangkaian sebab akibat berikutnya.Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Iskandarwassid dan Sunendar (2009 : 56) mengatakan bahwa metode lebih bersifat prosedural dan sistemik karena tujuannya untuk mempermudah pengerjaan suatu pekerjaan.

Syamsuddin dan Damaianti (2007 : 14) mengatakan bahwa metode penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan keadaan. Metode juga merupakan cara kerja untuk memahami dan mendalami objek yang menjadi sasaran.


(21)

Berdasarkan uraian tersebut, betapa pentingnya metode dalam suatu penelitian.Metode dalam penelitian sangat diperlukan sebagai arah dalam melaksanakan penelitian agar hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.Goldmann (Ratna, 2010 : 38) mengatakan bahwa metode yang baik adalah metode yang selalu bersifat teknik. Begitu juga dengan penelitian di bidang sastra.Tanpa metode, penelitian sastra juga sekadar membaca untuk kenikmatan sementara.Mungkin, membaca sastra sekadar hobi, sedangkan penelitian sastra tentu lebih dari itu.Penelitian sastra memerlukan paradigma yang tertata rapi.Endraswara (2008 : 8) mengungkapkan bahwa metode penelitian sastra adalah cara yang dipilih oleh peneliti dengan mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Ratna (2010 : 53) mengungkapkan bahwa metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara mendeskripsikan kata-kata yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskriptisi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah diberi arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.

Metode deskriptif digunakan tidak terbatas hanya pada pengumpulan dan penyusunan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu.Hal ini, metode deskriptif analitis berarti bukan hanya melakukan deskripsi murni,


(22)

melainkan juga menetapkan arti, dan menarik kesimpulan atau implikasi.Dengan demikian, metode ini berusaha pula mendeskripsikan fakta secara logis.Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa deskripsi nilai-nilai budaya dan karakter cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu.Pengumpulan data ini dilakukan melalui dua tahap.Tahap pertama, dilakukan pengkajian unsur pembentuknya dengan menggunakan pendekatan struktural. Dari tahap ini akan diperoleh deskripsi nilai-nilai budaya dan karakter cerita drama atau lakon seni tarling. Tahap kedua, dilakukan pengkajian terhadap kriteria dan langkah-langkah dalam menyusun bahan ajar cerita drama atau lakon seni tarling.

B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian disesuaikan dengan identifikas dan tujuan penelitian.Dalam penelitian kualitatif sumber data dipilih dan mengutamakan perfektif emic, artinya mementingkan pandangan informan yakni bagaimana mereka memandang dunia dari pendiriannya.Peneliti tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan data yang diinginkan.

Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber atau partisipan, informan, teman, dan guru dalam penelitian.Sampel dalam penelitian kualitatif juga bukan disebut statistik, tetapi sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk mengahsilkan teori.Sesuai dengan pembatasan masalah(fokus)penelitian, maka yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut:


(23)

1) Siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Indramayu, yaitu siswa kelas VIII pada SMP Negeri 1 Karangampel, SMP Negeri 1 Sliyeg, dan SMP Negeri Unggulan Sindang sebagai objek studi utama yang akan diwawancarai mengenai struktur cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu.

2) Teman sejawat, orang yang akan diwawancarai berkaitan dengan pertimbangan pembuatan pedoman wawancara dan penyusunan bahan ajar. Oleh karena itu, perlu diupayakan masukan-masukan dari teman sejawat tentang perlunya menyusun bahan ajar yang sesuai dengan konteks kedaerahan.

3) Tokoh masyarakat yang menggeluti dunia seni tarling atau praktisi pendidikan adalah pihak lain yang dapat dijadikan sebagai narasumber yang berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul dalam penelitian. Pengambilan informasi dari responden ini mengenai fungsi dan nilai-nilai budaya dan karakter cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu.

2. Teknik Pengumpulan Data

Fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Mustahil peneliti dapat menghasilkan temuan, kalau tidak memperoleh data. Satori dan Komariah (2010 : 103) mengatakan bahwa pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dapat dilakukan


(24)

melalui setting dari berbagai sumber, dan berbagai cara. Dilihat dari settingnya, data dapat dikumpulkan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder.Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti.

2.1 Wawancara

Wawancara atau interviu (interview) merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualititif dan deskriptif kuantitatif.Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.Teknik pengumpulan data ini mendasarkan pada laporan tentang diri sendiri atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.

Stainback (Sugiyono, 2009 : 72) mengatakan bahwa : interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of how the participant interpect a situation or phenomenon than can be gained through observation alon. Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.

Nurgiyantoro (1988 : 53) mengatakan bahwa wawancara atau interviu merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi dari responden (siswa, orang yang diwawancari) dengan melakukan tanya jawab


(25)

sepihak. Artinya, dalam kegiatan wawancara itu pertanyaan hanya berasal dari pihak pewawancara, sedang responden yang menjawab pertanyaan-pertanyaan saja. Pernyataan yang senada juga diungkapkan oleh Sudjana (Satori dan Komariah, 2010 : 130) bahwa wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melalui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee).

Berdasarkan uraian-uraian pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistik dan jelas dari informan.

Esterberg (Sugiyono, 2009 : 73) mengungkapkan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semistruktur, dan tidak struktur. Pertama, wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan.

Kedua, jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-dept interview, di mana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur.Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu


(26)

mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Ketiga, wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.

Syamsuddin dan Damaianti (2007 : 96) mengatakan bahwa ada dua jenis wawancara. Pertama, wawancara yang relatif tertutup.Pada wawancara dengan format ini, pertanyaan-pertanyaan difokuskan pada topik-topik khusus.Paduan wawancara dibuat cukup rinci.Kedua, wawancara yang terbuka.Pada wawancara ini peneliti memberikan kebebasan diri dan mendorongnya untuk berbicara secara luas dan mendalam. Agar wawancara memperoleh hasil yang baik, pewawancara harus memperhatikan tahap-tahap sebagai berikut: (1) menentukan siapa yang diwawancarai; (2) mempersiapkan wawancara; (3) kegiatan awal (mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum); (4) melakukan wawancara dan memelihara agar wawancara produktif; dan (5) menghentikan wawancara dan memperoleh rangkuman hasil wawancara.

Pernyataan tersebut dipertegas oleh Sukmadinata (2008 : 216) mengatakan bahwa sebelum melaksanakan wawancara, peniliti menyiapkan instrumen wawancara yang disebut pedoman wawancara. Pedoman ini berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang meminta untuk dijawab atau direspon oleh responden.Isi pertanyaan atau pernyataan bisa mencakup fakta, data, pengetahuan, konsep, pendapat, persepsi, atau evaluasi responden berkenan dengan fokus masalah atau variabel-variabel yang dikaji dalam penelitian.


(27)

Dalam persiapan wawancara selain penyusunan pedoman, yang sangat penting adalah membina hubungan baik dengan responden.Keterbukaan responden untuk memberikan jawaban atau respon secara objektif sangat ditentukan oleh hubungan baik yang tercipta antara pewawancara dengan reponden.Rusaknya kepercayaan dan hubungan baik dengan responden dapat mengakibatkan kegagalan wawancara.Kegagalan wawancara dalam arti pewawancara tidak mendapatkan data seperti yang diharapkan, baik objektivitas maupun kelengkapannya.Selain itu, hal penting yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pewawancara adalah perekaman atau pencatatan data.

Sebelum wawancara dilaksanakan sebaiknya disiapkan alat pencatat yang mencukupi.Alat pencatat dapat bersatu dengan pertanyaan atau pernyataan disusun dalam suatu format, ataupun dibuat terpisah. Alat pencatat yang bersatu dengan daftar pertanyaan dapat memudahkan dalam pengisian, karena berada pada lembar yang sama.Dalam pembuatan catatan hasil wawancara, selain dicatat jawaban atau respon-respon dari responden yang langsung berhubungan dengan pertanyaan, juga dicatat reaksi-reaksi lainnya baik yang dinyatakan secara verbal maupun nonverbal.

Adapun format wawancara yang digunakan untuk mewawancarai sumber data adalah sebagai berikut.


(28)

Tabel 3.1

Format Pedoman Wawancara dengan Siswa

Nama Siswa : ___________________________________________ Kelas : ___________________________________________ Nama SMP : ___________________________________________

No. Jawaban

Struktur dan Nilai-nilai Budaya dan Karakter

1 2 3 4

1. 2. 3. 4. dst.

Tabel 3.2

Format Pedoman Wawancara dengan Teman Sejawat Nama : _______________________________________ Umur : _______________________________________ Jenis Kelamin : _______________________________________ Alamat : _______________________________________ Pendidikan : Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia

Pekerjaan : _______________________________________ Unit Kerja : _________________________________

No. Jawaban Keterangan

1. 2. 3. 4. dst.


(29)

Tabel 3.3

Format Pedoman Wawancara dengan Tokoh Masyarakat atau Praktisi Nama : _______________________________________

Umur : _______________________________________ Jenis Kelamin : _______________________________________ Alamat : _______________________________________ Pekerjaan : _______________________________________ Unit Kerja : _________________________________

No. Jawaban Keterangan

1. 2. 3. 4. dst.

2.2 Dokumentasi

Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber nonmanusia.Sumber ini terdiri atas dokumen dan rekaman.Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Sugiyono (2009 : 82 – 83) mengatakan bahwa dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain.Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.Nasution (Satori dan Komariah, 2010 : 146) mengatakan bahwa …ada pula sumber nonmanusia, (non human resources), di antaranya dokumen, foto, dan bahan statistik.


(30)

Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Studi dokumen dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. (Satori dan Komariah, 2010 : 149) mengatakan bahwa studi dokumen yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian. Hasil observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung oleh dokumen yang terkait dengan fokus penelitian.

Tetapi perlu dicermati bahwa tidak semua dokumen memiliki kredibilitas yang tinggi.Sebagai contoh banyak foto yang tidak mencerminkan keadaan aslinya, karena foto dibuat untuk kepentingan tertentu.Demikian juga autobiografi yang ditulis untuk dirinya sendiri, sering subyektif.

2.3 Angket

Pada umumnya diasumsikan bahwa angket dapat menjadi sumber data yang komprehensif bila dilakukan pengukuran terhadap suatu kebutuhan.Angket tidak jarang diyakini sebagai suatu pendekatan yang benar-benar menyeluruh dalam pengumpulan data karena dapat dibuat secara metodik dan didistribusikan sesuai prosedur sampling secara ilmiah.

Dalam penelitian yang menggunakan metodologi kualitatif, teknik pengumpulan data dengan menggunakan angket harus dilengkapi dengan teknik-teknik lain, sehingga data yang terkumpul menjadi lebih


(31)

komprehensif.Syamsuddin dan Damaianti (2007 : 108) mengatakan bahwa selain menggunakan angket, penelitian kualitatif juga harus menggunakan teknik-teknik pengumpulan data lain seperti observasi, wawancara, dokumentasi, human partisipan, dan khususnya peneliti sendiri sebagai instrumen utama.

Sukmadinata (2008 : 219) mengatakan bahwa angket atau kuesioner (questionnaire) merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya-tanya dengan responden). Angket berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab atau direspon oleh responden.Bentuk pertanyaannya bisa bermacam-macam, yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan berstruktur, dan pertanyaan tertutup.Lebih lanjut, Sukmadinata mengatakan bahwa karena angket dijawab atau diisi sendiri oleh responden dan peneliti tidak langsung bertemu langsung dengan responden, maka dalam penyusunan angket perlu diperhatikan beberapa hal.

1) Sebelum butir-butir pertanyaan atau pernyataan ada pengantar dan petunjuk pengisian. Dalam pengantar dijelaskan maksud pengedaran angket, jaminan kerahasiaan jawaban serta ucapan terima kasih kepada responden. Petunjuk pengisian menjelaskan bagaimana cara pertanyaan atau merespon pernyataan yang tersedia.

2) Butir-butir pertanyaan dirumuskan secara jelas, menggunakan kata-kata yang lazim digunakan (populer), kalimat tidak terlalu panjang dan tidak beranak cucu.


(32)

3) Untuk menghindari kekeliruan sebaiknya jawaban atau respon langsung diberikan pada alternatif jawaban, atau menggunakan kolom jawaban yang bersatu dengan pertanyaan atau pernyataan.

Adapun format yang digunakan dalam angket sebagai berikut. Tabel 3.4

Format Angket

Nama : _______________________________________

Umur : _______________________________________

Jenis Kelamin : _______________________________________

Alamat : _______________________________________

No. HP. : _______________________________________

Pekerjaan : _______________________________________ Unit Kerja : _______________________________________ ..

No Jawaban Alternatif Alasan

Ya Tidak 1

2 3 4 dst.

C. Instrumen penelitian

Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data.Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri.Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi seberapa jauh penliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap


(33)

bidangyang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya.Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.

Sukmadinata (2008 : 228) mengatakan bahwa validitas instrumen menunjukkan bahwa hasil dari suatu pengukuran menggambarkan segi atau aspek yang diukur. Beberapa karakteristik dari validitas: Pertama, suatu instrumen dikatakan valid atau memiliki validitas bila instrumen tersebut benar-benar mengukur aspek atau segi yang akan diukur. Kedua, validitas menunjukkan suatu derajat atau tingkatan, validitasnya tinggi, sedang, atau rendah, bukan valid dan tidak valid.Ketiga, validitas instrumen juga memiliki spesifikasi tidak berlaku umum.Peneliti sebagai human instrumen, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.

Sehubungan dengan instrumen penelitian, Nasution (Sugiyono, 2009 : 60) mengatakan bahwa:

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segalanya sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti.Masalah, focus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya.Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.


(34)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian kualitatif pada awalnya di mana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Tetapi setelah masalahnya yang akan dipelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu instrumen.

Berdasarkan rumusan masalah yang telah peneliti susun dan teknik pengumpulan data yang telah ditentukan, maka dalam penelitian ini ada beberapa instrumen yang perlu dibuat sebagai berikut:

1) Pedoman wawancara yang diberikan kepada sumber data yaitu siswa kelas VIII SMP. Mereka akan diwawancara mengenai nilai-nilai budaya dan karakteryang terdapat dalam cerita drama atau lakon seni tarling yang terbagi menjadi tiga genre cerita drama yaitu: mitos, legenda, dan dongeng.

2) Pedoman wawancara yang ditujukan kepada rekan sejawat guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang berpendidikan Sarjana bahasa Indonesia.

3) Pedoman wawancara yang ditujukan kepada para praktisi pendidikan yang mengetahui tentang cerita drama atau lakon seni tarling dikaitkan dengan nilai budaya dan karakter seni tarling itu sendiri.

4) Angket yang ditujukan kepada guru-guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu yang berkaitan dengan variabel penyusunan bahan ajar cerita drama atau lakon seni tarling.


(35)

Setiap kali kita akan menyusun pedoman wawancara, maka kita juga dituntut untuk menyusun kisi-kisi dari pedoman wawancara tersebut. Tujuan dibuatnya kisi-kisi pedoman wawancara adalah untuk menghindarkan semaksimal mungkin ketidakseimbanganataupun ketidakadilan dalam menghimpun data penelitian.Sehubungan dengan permasalahan penelitian yang memuat empat variabel penelitian, maka penulis membuat sebaran kisi-kisi penelitian sebagai berikut.

Tabel 3.5

Sebaran Kisi-Kisi dan Instrumen

No. Variabel Penelitian Teknik Pengumpulan Data Instrumen 1 Struktur cerita rakyat Analisis Format Analisis

2 Fungsi cerita rakyat Wawancara Pedoman wawancara

3 Nilai budaya dan karakter Wawancara Pedoman wawancara

4 Bahan ajar Angket Angket tidak terstruktur

Berdasarkan sebaran kisi-kisi dan instrumen yang dibuat, selanjutnya disusun kisi-kisi pada setiap instrumen yang dimaksud.Adapun kisi-kisi instrumen dan alat pengumpul data penelitian yang dibuat diserttakan dalam lampiran.

D. Peranan dan Fungsi Peneliti

Nilai kepercayaan suatu penelitian terletak pada hasil penelitian yang diperoleh secara valid dan reliabel dan ini sangat tergantung pada kualitas data yang diperoleh dari sumber data yang tepat melalui pengungkapan (instrumen) yang berkualitas.Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah yang melakukan penelitian itu sendiri yaitu peneliti. Lincoln dan Guba (Satori dan Komariah,


(36)

2010 : 62) mengatakan bahwa manusia sebagai instrumen pengumpulan data memberikan keuntungan, di mana ia dapat bersikap fleksibel dan adatif, serta dapat menggunakan keseluruhan alat indera yang dimilikinya untuk memahami sesuatu.

Penegasan diungkapkan oleh Nasution (Satori dan Komariah, 2010 : 62) bahwa hanya manusia sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi anatarmanusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan, dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Lebih lanjut Nasution menegaskan bahwa sebagai ‘key instrument’ peneliti membuat sendiri seperangkat alat observasi, pedoman wawancara, dan pedoman penilaian dokumentasi yang digunakan sebagai panduan umum dalam proses pencatatan.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrumen penelitian.Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument. Sukmadinata (2008 : 111) mengatakan bahwa ada beberapa peranan yang dapat dimainkan oleh peneliti dalam penelitian kualitatif:

1) Pengamat partisipatif, pengamat berada di dalam kegiatan yang dilakukan kelompok, dia menciptakan peranan-peranan sendiri tanpa lebur dalam kepentingan kegiatan kelompok yang diamati.

2) Pewawancara mendalam, peneliti menjalin hubungan dengan partisipan dan mengadakan wawancara mendalam berkenaan dengan kegiatan yang datanya dikumpulkan.


(37)

3) Peneliti partisipatif, peneliti melakukan dua fungsi meneliti dan ikut serta dalam kegiatan yang diteliti. Penelitian demikian, cukup sulit karena peneliti melaksanakan dua peranan sekaligus.

Nasution (Sugiyono, 2009 :61) mengatakan bahwa peneliti sebagai instrumen penelitian memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.

2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. 4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami

dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.

5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk mentest hipotesis yang timbul seketika.

6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau pelakan.


(38)

7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti.

Linclon dan Guba (Satori dan Komariah, 2010 : 63) mengatakan bahwa karakteristik manusia sebagai instrumen penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1) Responsif manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan. Sebagai manusia, ia bersifat interaktif terhadap orang dan lingkungannya.

2) Dapat menyesuaikan diri: manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data.

3) Menekankan keutuhan: manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia ini sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan di mana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riel, benar, dan mempunyai arti.

4) Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan: sewaktu peneliti melakukan fungsinya sebagai pengumpul data dengan menggunakan berbagai metode, tentu saja ia sudah dibekali dengan pengetahuan dan mungkin latihan-latihan yang diperlukan.


(39)

5) Sebagai instrumen penelitian, terdapat kemampuan untuk memperluas dan meningkatkan pengetahuan itu berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya.

6) Memproses data secepatnya: setelah instrumen diperolehnya, menyusunnya kembali, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya, merumuskan hipotesis kerja sewaktu berada di lapangan, dan mengetes hipotesis kerja itu pada respondennya.

7) Memanfaatkan kesempatan untuk mengklarifikasikan dan mengikhtisarkan: memiliki kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami oleh subjek atau responden.

8) Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respon yang tidak lazim dan idiosinkratik: memiliki kemampuan untuk menggali informasi yang lain dari yang lain, yang tidak direncanakan semula, yang tidak diduga terlebih dahulu, atau yang tidak lazim terjadi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri (manusia).Penelitimempunyai peranan yang signifikan yakni sebagai perencana penelitian, pelaksana pengumpul data penelitian, analisis data penelitian, dan sebagai pelapor hasil penelitian.

E. Langkah-langkah Pengumpulan Data

Sukmadinata (2008 : 114 – 115) mengatakan bahwa pengumpulan dan analisis data penelitian kualitatif bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih. Langkah-langkahnya biasa disebut strategi


(40)

pengumpulan dan analisis data, teknik yang digunakan fleksibel, tergantung pada strategi terdahulu yang digunakan dan data yang telah diperoleh. Langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut:

1) Perencanaan

Langkah ini meliputi perumusan dan pembatasan masalah serta merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diarahkan pada kegiatan pengumpulan data. Kemudian merumuskan situasi penelitian, satuan dan lokasi yang dipilih serta informan-informan sebagai sumber data. Deskripsi tersebut merupakan pedoman bagi pemilihan dan penentuan sampel purposif.

2) Memulai Pengumpulan Data

Sebelum mengumpulkan data dimulai, peneliti berusaha menciptakan hubungan baik (rapport), menumbuhkan kepercayaan serta hubungan yang akrab dengan individu-individu dan kelompok yang menjadi sumber data.Peneliti memulai wawancara dengan beberapa informasi yang telah dipilih untuk kemudian dilanjutkan dengan teknik member check.Pengumpulan data melalui interview dilengkapi dengan data pengamatan dan data dokumen (triangulasi).Data pada pertemuan pertama belum dicatat, tetapi data pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dicatat, disusun, dikelompokkan secara intensif kemudian diberi kode agar memudahkan dalam analisis data.


(41)

3) Pengumpulan Data Dasar

Setelah peneliti berpadu dengan situasi yang diteliti, pengumpulan data lebih diintesifkan dengan wawancara yang lebih mendalam, observasi dan pengumpulan dokumen yang lebih intensif. Dalam pengumpulan data dasar peneliti benar-benar “melihat, mendengarkan, membaca, dan merasakan” apa yang ada dengan penuh perhatian. Sementara pengumpulan data terus berjalan, analisis data mulai dilakukan, dan keduanya terus dilakukan berdampingan sampai tidak ditemukan data baru lagi.Deskripsi dan konseptualisasi diterjemahkan dan dirangkumkan dalam diagram-diagram yang bersifat integrative.Setelah pola-pola dasar terbentuk, peneliti mengidentifikasi ide-ide dan fakta-fakta yang membutuhkan penguatan dalam fase tertutup.

4) Pengumpulan Data Penutup

Pengumpulan data terakhir setelah peneliti meninggalkan lokasi penelitian, dan tidak melakukan pengumpulan data lagi. Batas akhir penelitian tidak bisa ditentukan sebelumnya seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dalam proses penelitian sendiri. Akhir masa penelitian terkait dengan masalah, kedalaman dan kelengkapan data yang diteliti.Peneliti mengakhiri pengumpulan data setelah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan lagi data baru.

5) Melengkapi

Langkah ini merupakan kegiatan untuk menyempurnakan hasil analisis data dan menyusun cara menyajikan. Analisis data dimulai dengan


(42)

menyusun fakta-fakta hasil temuan lapangan.Peneliti membuat diagram-diagram, tabel, gambar-gambar dan bentuk-bentuk pemaduan fakta lainnya.Hasil analisis data, diagram, bagan, tabel, dan gambar-gambar tersebut diinterpretasikan, dikembangkan menjadi proposisi dan prinsip-prinsip.

F. Uji Keabsahan Penelitian

Data yang valid adalah data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian.Data dalam penelitian kualitatif sama halnya dengan penelitian kuantitatif perlu diuji keabsahanya. Dalam pengunjiannya, metode penelitian kualitatif menggunakan istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif.Satori dan Komariah (2010 : 164 – 168) mengatakan bahwa penelitian kualitatif dinyatakan absah apabila memiliki derajat ketepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). 1) Ketepercayaan

Penelitian berangkat dari data.Data adalah segala-galanya dalam penelitian.Oleh karena itu, data harus benar-benar valid. Ukuran validitas suatu penelitian terdapat pada alat untuk menjaring data, apakah sudah tepat, benar, sesuai dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat untuk menjaring data penelitian kualitatif terletak pada penelitinya yang dibantu dengan metode interview, FGD, observasi, dan studi dokumen.


(43)

2) Keteralihan

Uji terhadap ketepatan suatu penelitian kualitatif selain dilakukan pada internal penelitian juga pada keterpakaiannya oleh pihak eksternal. Validitas berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil atau pada setting sosial yang berbeda dengan karakteristik yang hampir sama.

3) Kebergantungan

Suatu penelitian yang nilai tranferabilitasnya tinggi senantiasa dicari orang lain untuk dirujuk, dicontoh, dipelajari lebih lanjut, untuk diterapkan di tempat lain.Oleh karena itu, peneliti perlu membuat laporan yang baik agar terbaca dan memberikan informasi yang lengkap jelas, sistematis, dan dapat dipercaya.Bila pembaca mendapat gambaran yang jelas dari suatu hasil penelitian dapat dilakukan (transferability), maka penelitian tersebut memenuhi standar tranferabilitas.

4) Kepastian

Kepastian atau audit kepastian yaitu bahwa data yang diperoleh dapat dilacak kebenarannya dan sumber informannya jelas. Komfirmabilitas (kepastian data) berhubungan dengan objektivitas hasil penelitian.Hasil penelitian dikatakan memiliki derajat objektivitas yang tinggi apabila keberadaan data dapat ditelusuri secara pasti dan penelitian dikatakan objektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak orang.


(44)

(45)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya dan hasil pembahasan penelitian pada Bab IV mengenai cerita drama atau lakon seni tarling di Kabupaten Indramayu, maka peneliti menarik simpulan sebagai berikut. 1) Cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu dapat digolongkan ke dalam jenis (genre) sastra yaitu mitos (Saida dan Saeni), legenda (Asal-Usul Desa Penganjang), dan dongeng(Baridin). Mitos Saida dan Saeni memiliki struktur sebagai berikut : (1) alur cerita mitos sederhana sehingga siswa SMP mudah memahami dan menentukan alur karena permasalahan demi permasalahan disajikan dengan sederhana tetapi cermat; (2) mitos Saida danSaeni adalah Saida dan Saeni dengan karakter anak yang baik, saling menyayangi antara kakak dan adik, dan tidak pendendam terhadap kedua orang tuanya yang telah berbuat jahat dan kejam kepadanya. Tokoh lain yaitu Ki Sarkawi berkarakter seorang ayah yang tega membuang kedua anaknya di bawah pengaruh guna-guna yang dikirimkan oleh istrinya dan istrinya adalah seorang ibu tiri yang jahat dan kejam; (3) tema yang terdapat dalam mitos ini adalah kasih sayang. Kedua anak tersebut saling menyayangi, begitu juga dengan ayahnya, sebenarnya sangat menyayangi keduanya, akan tetapi karena


(46)

pengauruh guna-guna, ayahnya tega membuang mereka. Pesan moral yang terkandung dalam cerita mitos ini adalah jangan pernah meminta bantuan selain kepada Allah dan tepatilah janji apabila kita membuat janji dengan seseorang; dan (4) latar tempat kejadian adalah di daerah Indramayu bagian Barat, daerah perbatasan Indramayu dengan Subang.Legenda Asal-Usul Desa Penganjang memiliki struktur sebagai berikut : (1) penggunaan alur begitu jelas, sehingga membuat para siswa dengan mudah memahami cerita legenda Asal-Usul Desa Penganjang. Konflik demi konflik berfungsi menghubungkan antarperistiwa dan berlaku sebab akibat sehingga membentuk sebuah cerita yang utuh; (2) tokoh utama dalam legenda Asal-Usul Desa Penganjang adalah Jaka Tarub dengan karakter seorang pemuda pengembara yang memiliki perawakan tegap dan ganteng, akan tetapi dia juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki karakter tidak bisa menepati janji.Tokohyang lainnya adalah Bidadari Nawangwulan dan anaknya yang bernama Atasangin; (3) tema cerita legenda Asal-Usul Desa Penganjang adalah menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginan. Pesan moral yang terkandung dalam cerita legenda Asal-Usul Desa Penganjang adalah kita harus berusaha untuk mendapatkan keinginan kita, namun usaha yang kita laksanakan tidak boleh menghalalkan segala cara dan apabila kita diberi amanah, maka kita harus menjaga atau melaksanakan amanah tersebut; dan (4) latar tempat cerita legenda Asal-Usul Desa Penganjang adalah di desa Penganjang Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu. Genre dongeng Baridin juga


(47)

memiliki struktur sebagai berikut : (1) alur yang digunakan adalah alur maju, sehingga membuat para siswa dengan mudah memahami dan mengerti cerita dongeng Baridin ini. Konflik demi konflik berfungsi menghubungkan antarperistiwa dan berlaku sebab akibat sehingga membentuk sebuah cerita yang utuh; (2) tokoh utama cerita dongeng Baridin adalah Baridin dan Suratminah. Baridin digambar sebagai tokoh yang memilki karakter seorang pemuda desa yang miskin, yatim dan mempunyai pekerjaan sebagai seorang pembajak sawah. Dia menginginkan Suratminah menjadi istrinya, tetapi keinginannya itu ditolak mentah-mentah oleh Suratminah. Suratminah digambarkan sebagai tokoh yang memiliki karakter sebagai seorang gadis desa yang ayu dan cantik, anak orang kaya, dan memiliki sikap sombong; (3) tema dari cerita dongeng ini adalah kasih tak sampai. Tokoh utama, Baridin diibaratkan bagaikan pungguk merindukan bulan. Pesan moral yang tergambar dari cerita ini adalah kita tidak boleh memandang rendah seseorang hanya dari derajat dan martabat orang tersebut dan juga kita tidak boleh menggunakan segala cara hanya untuk memenuhi keinginan kita. Pesan moral yang lain adalah janganlah menjadi orang yang memiliki sifat pendendam; (4) latar kejadian atau peristiwa dalam cerita ini adalah di sebuah desa dekat perbatasan antara Cirebon dan Indramayu.

2) Wawancara mengenai struktur dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan bahan ajar cerita drama atau lakon seni tarling. Dari hasil wawancara yang dilaksanakan kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis hasil


(48)

wawancaramengenai genre mitos, legenda, dan dongeng. Dari hasil analisis wawancara mengenai genre tersebut diperoleh bahwa cerita drama atau lakon seni tarling dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMP.Artinya, siswa sudah bisa memahami cerita yang disajikan melalui tiga genre tersebut dengan baik. Mereka menyenangi bahan ajar yang berasal dari daerahnya sendiri.

3) Cerita drama atau lakon seni tarling mempunyai fungsi sebagai berikut : pengesahan pranata-pranata sosial, maksudnya adalah mewariskan berupa warisan cerita rakyat atau cerita drama yang berhubungan dengan keberadaan kelompok tersebut. Berdasarkan kesepekatan itu, maka cerita-cerita tersebut dapat dijadikan sebagai alat pengesahan pranata-pranata sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut; (2) pendidikan anak, artinya anak ikut aktif dalam rangka memahami dan mengkritisi cerita yang dibacanya. Dengan demikian, kegiatan membaca cerita ikut mengembangkan aspek intelektual anak SMP; dan (3) pengawasan norma-norma, artinya karakter (kepribadian) serta tingkah laku seseorang itu dapat dibentuk,salah satunya melalui cerita. Artinya, kita dapat belajar dari nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan tuntunan dalam kehidupan bermasyarakat.

4) Nilai-nilai budaya dan karakter dianalisis dan dijadikan sebagai bahan ajar. Nilai budaya dan karakter yang dianalisis meliputi : nilai budaya dan karakter keagamaan (religius), nilai budaya dan karakter adat istiadat, nilai budaya dan karakter keteladanan, dan nilai budaya dan


(49)

karakterkegotongroyongan. Berdasarkan hasil analisis wawancara mengenai struktur maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai budaya dan karakter terdapat dalam ketiga genre cerita tersebut.

B. Saran

Setelah menarik simpulan bahwa cerita drama atau lakon seni tarling memiliki kelayakan untuk dijadikan sebagai bahan ajar, maka berikut ini peneliti kemukakan beberapa saran sebagai berikut.

1) Materi cerita rakyat sebagai bahan ajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia jangan hanya terpaku pada buku teks, tetapi bisa juga mengambil dari cerita-cerita daerah di mana siswa itu belajar. Hal ini, selain dimaksudkan untuk mengenalkan cerita-cerita daerah kepada siswa, juga sebagai salah satu upaya untuk melestraikan dan mewariskan cerita-cerita daerah kepada siswa.

2) Berdasarkan hasil analisis, cerita-cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu, jenis (genre) sastra seperti: cerita mitos SaidadanSaeni, Asal-Usul Desa Penganjang, dan Baridin bisa dijadikan sebagai alternatif bahan ajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. 3) Cerita drama atau lakon seni tarling Kabupaten Indramayu selain

mengandung pesan moral yang baik, juga mengandung nilai-nilai budaya dan karakter seperti nilai budaya dan karakter keagamaan (religius), nilai budaya dan karakter adat istiadat, nilai budaya dan karakter keteladanan, dan nilai budaya dan karakter kegotongroyongan. Nilai-nilai budaya dan karakter tersebut dapat dijadikan pula sebagai bahan ajar sastra.


(50)

4) Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ketika memilih bahan ajar cerita rakyat atau cerita drama atau lakon seni tarling harus benar-benar memperhatikan tiga aspek pemilihan bahan ajar dan juga harus memahami benar kriteria yang digunakan untuk menjadikan cerita rakyat atau cerita drama seni tarling sebagai bahan ajar. Apabila hal-hal tersebut dipahami dengan baik, maka pembelajaran akan memperoleh hasil yang lebih bermakna karena bersumber dari daerah sendiri.


(51)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... v

PERNYATAAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Anggapan Dasar ... 12

H. Definisi Operasional... 12

I. Paradigma Penelitian ... 13

BAB II UNSUR, FUNGSI, SASTRA DAN FOLKLOR, SERTA BAHAN AJAR CERITA DRAMA SENI TARLING A. Unsur Cerita Drama Seni Tarling ... 15


(52)

1. Plot/Alur Cerita ... 25

2. Tokoh dan Penokohan ... 30

3. Latar/Setting ... 34

4. Tema dan Moral ... 35

B. Fungsi Cerita Drama Seni Tarling ... 40

1. Pengasahan ... 41

2. Pendidikan Anak ... 41

3. Pengawasan Norma-norma ... 42

C. Nilai Budayadan Karakter ... 43

1. Pengertian Budaya dan Nilai Budaya ... 44

2. Unsur-unsur Budaya... 50

3. Karakter ... 51

D. Sastra dan Folklor ... 54

1. Pengertian Sastra ... 54

2. Jenis (Genre Sastra)... 58

2.1 Mitos ... 60

2.2 Legenda ... 61

2.3 Dongeng ... 64

3. Manfaat Karya Sastra ... 66

4. Folklor ... 67

4.1 Bentuk-bentuk Folklor ... 70

4.2 Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling dalam Gamitan Sastra dan Folklor ... 71


(53)

E. Kurikulum dan Bahan Ajar ... 74

1. Kurikulum ... 74

1.1 Pendekatan dan Metode Pengajaran Sastra ... 84

1.1.1 Pendekatan Pengajaran Sastra ... 85

1.1.2 Metode Pengajaran Sastra ... 89

1.2 Sastra dalam Pembelajaran ... 90

2. Bahan Ajar ... 96

2.1 Pengertian Sumber Belajar ... 97

2.2 Pengertian Bahan Ajar ... 99

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 101

B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 105

1. Sumber Data ... 105

2. Teknik Pengumpulan Data ... 106

2.1 Wawancara ... 107

2.1 Dokumentasi ... 112

2.3 Angket ... 113

C. Instrumen Penelitian... 115

D. Peranan dan Fungsi Peneliti ... 118

E. Langkah-langkah Pengumpulan Data ... 122

F. Uji Keabsahan Penelitian ... 125

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau LakonMitos ... 127


(54)

1. Plot/Alur Cerita ... 127

2. Tokoh dan Penokohan ... 135

3. Latar/Setting ... 147

4. Tema dan Moral ... 149

B. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau LakonLegenda ... 160

1. Plot/Alur Cerita ... 160

2. Tokoh dan Penokohan ... 166

3. Latar/Setting ... 177

4. Tema dan Moral ... 178

C. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau Lakon Dongeng ... 190

1. Plot/Alur Cerita ... 190

2. Tokoh dan Penokohan ... 200

3. Latar/Setting ... 212

4. Tema dan Moral ... 214

D. Fungsi Cerita Drama Seni Tarling ... 225

E. Nilai Budayadan Karakter ... 228

F. Bahan Ajar Cerita Drama atau Lakon ... 232

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 252

B. Saran ... 256

DAFTAR PUSTAKA ... 258

LAMPIRAN-LAMPIRAN : ... 261


(55)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Karya Sastra Nonimajinatif dan Karya Sastra Imajinatif ... 59

Tabel 3.1 Format Pedoman Wawancara dengan Siswa ... 111

Tabel 3.2 Format Pedoman Wawancara dengan Teman Sejawat ... 111

Tabel 3.3 Format Pedoman Wawancara dengan Tokoh Masyarakat atau Praktisi ... 112

Tabel 3.4 Format Angket ... 115

Tabel 3.5 Sebaran Kisi-kisi dan Instrumen ... 118

Tabel 6 Kisi-kisi Struktur Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling ... 261

Tabel 7 Kisi-kisi Angket ... 275

Tabel 8 Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 281

Tabel 9 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Mitos Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 283

Tabel 10 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Legenda Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 284

Tabel 11 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Dongeng Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 285

Tabel 12 Daftar Nama Rekan Sejawat ... 286

Tabel 13 Daftar Nama Pengisi Angket Bahan Ajar Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling Kabupaten Indramayu ... 287


(56)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Kelahiran Seni Tarling Kabupaten Indramayu ... 16

Gambar 2.2 Perkembangan Seni Tarling Tahun 1950-an ... 17

Gambar 2.3 Perkembangan Seni Tarling Tahun 1970-an sampai dengan Sekarang ... 17


(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... v

PERNYATAAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Anggapan Dasar ... 12

H. Definisi Operasional... 12

I. Paradigma Penelitian ... 13

BAB II UNSUR, FUNGSI, SASTRA DAN FOLKLOR, SERTA BAHAN AJAR CERITA DRAMA SENI TARLING A. Unsur Cerita Drama Seni Tarling ... 15


(2)

1. Plot/Alur Cerita ... 25

2. Tokoh dan Penokohan ... 30

3. Latar/Setting ... 34

4. Tema dan Moral ... 35

B. Fungsi Cerita Drama Seni Tarling ... 40

1. Pengasahan ... 41

2. Pendidikan Anak ... 41

3. Pengawasan Norma-norma ... 42

C. Nilai Budayadan Karakter ... 43

1. Pengertian Budaya dan Nilai Budaya ... 44

2. Unsur-unsur Budaya... 50

3. Karakter ... 51

D. Sastra dan Folklor ... 54

1. Pengertian Sastra ... 54

2. Jenis (Genre Sastra)... 58

2.1 Mitos ... 60

2.2 Legenda ... 61

2.3 Dongeng ... 64

3. Manfaat Karya Sastra ... 66

4. Folklor ... 67

4.1 Bentuk-bentuk Folklor ... 70

4.2 Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling dalam Gamitan Sastra dan Folklor ... 71


(3)

E. Kurikulum dan Bahan Ajar ... 74

1. Kurikulum ... 74

1.1 Pendekatan dan Metode Pengajaran Sastra ... 84

1.1.1 Pendekatan Pengajaran Sastra ... 85

1.1.2 Metode Pengajaran Sastra ... 89

1.2 Sastra dalam Pembelajaran ... 90

2. Bahan Ajar ... 96

2.1 Pengertian Sumber Belajar ... 97

2.2 Pengertian Bahan Ajar ... 99

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 101

B. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 105

1. Sumber Data ... 105

2. Teknik Pengumpulan Data ... 106

2.1 Wawancara ... 107

2.1 Dokumentasi ... 112

2.3 Angket ... 113

C. Instrumen Penelitian... 115

D. Peranan dan Fungsi Peneliti ... 118

E. Langkah-langkah Pengumpulan Data ... 122

F. Uji Keabsahan Penelitian ... 125

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau LakonMitos ... 127


(4)

1. Plot/Alur Cerita ... 127

2. Tokoh dan Penokohan ... 135

3. Latar/Setting ... 147

4. Tema dan Moral ... 149

B. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau LakonLegenda ... 160

1. Plot/Alur Cerita ... 160

2. Tokoh dan Penokohan ... 166

3. Latar/Setting ... 177

4. Tema dan Moral ... 178

C. Analisis Struktur dalam Cerita Drama atau Lakon Dongeng ... 190

1. Plot/Alur Cerita ... 190

2. Tokoh dan Penokohan ... 200

3. Latar/Setting ... 212

4. Tema dan Moral ... 214

D. Fungsi Cerita Drama Seni Tarling ... 225

E. Nilai Budayadan Karakter ... 228

F. Bahan Ajar Cerita Drama atau Lakon ... 232

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 252

B. Saran ... 256

DAFTAR PUSTAKA ... 258

LAMPIRAN-LAMPIRAN : ... 261


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Karya Sastra Nonimajinatif dan Karya Sastra Imajinatif ... 59

Tabel 3.1 Format Pedoman Wawancara dengan Siswa ... 111

Tabel 3.2 Format Pedoman Wawancara dengan Teman Sejawat ... 111

Tabel 3.3 Format Pedoman Wawancara dengan Tokoh Masyarakat atau Praktisi ... 112

Tabel 3.4 Format Angket ... 115

Tabel 3.5 Sebaran Kisi-kisi dan Instrumen ... 118

Tabel 6 Kisi-kisi Struktur Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling ... 261

Tabel 7 Kisi-kisi Angket ... 275

Tabel 8 Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 281

Tabel 9 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Mitos Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 283

Tabel 10 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Legenda Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 284

Tabel 11 Daftar Nama Siswa yang Diwawancarai Mengenai Struktur Dongeng Cerita Drama atau Lakon Seni Kabupaten Indramayu ... 285

Tabel 12 Daftar Nama Rekan Sejawat ... 286

Tabel 13 Daftar Nama Pengisi Angket Bahan Ajar Cerita Drama atau Lakon Seni Tarling Kabupaten Indramayu ... 287


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Kelahiran Seni Tarling Kabupaten Indramayu ... 16

Gambar 2.2 Perkembangan Seni Tarling Tahun 1950-an ... 17

Gambar 2.3 Perkembangan Seni Tarling Tahun 1970-an sampai dengan Sekarang ... 17