KESENIAN JAIPONGAN: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010.

(1)

No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012

KESENIAN JAIPONGAN:

SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK

TAHUN 1970-2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Pada Jurusan Pendidikan Sejarah

Disusun oleh: Gressandy Putra

(0605767)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012

KESENIAN JAIPONGAN:

SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK

TAHUN 1970-2010

Oleh Gressandy Putra

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Gressandy Putra 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012

LEMBAR PENGESAHAN

KESENIAN JAIPONGAN

SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK TAHUN 1970-2010

Oleh: Gressandy Putra

0605767

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH: Pembimbing I

Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum NIP. 196005291987032002

Pembimbing II

Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si NIP. 196303111989011001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial


(4)

No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012

Prof. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP. 195704081984031003


(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai keberadaan kesenian Jaipongan yang ditinjau dari sisi historis mulai dari awal perkembangan, peran para seniman dalam melestarikan Kesenian Jaipongan, tanggapan masyarakat terhadap Jaipongan, serta nilai-nilai tradisi yang masih melekat dalam Jaipongan. Kajian penelitian ini lebih difokuskan pada tahun 1970-2010 di mana pada periode tersebut terjadi invasi budaya dari barat sehingga menyebabkan seni tradisi mengalami kemunduran. Kesenian Jaipongan di Jawa Barat merupakan kesenian tradisional hasil modifikasi dari kesenian-kesenian yang ada pada saat itu (Ketuk Tilu, Kliningan, Pencak Silat), terutama tari Ketuk Tilu, karena dalam Jaipongan banyak terkandung unsur-unsur gerakan tari Ketuk Tilu yang sebelumnya telah berkembang di daerah Pantai Utara Jawa Barat. Pada sekitar tahun 1970-1980, masyarakat lebih menyukai kesenian-kesenian yang datang dari Eropa-Amerika, karena masyarakat menganggap bahwa seni tradisi sangat membosankan dan terkesan kuno atau “kolot” sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman pada saat itu. Kondisi ini yang kemudian membuat para seniman yang dipelopori oleh Gugum Gumbira untuk melakukan perubahan dalam seni tari tradisional sunda agar kembali digemari oleh masyarakat tidak terbatas pada golongan tertentu. Perubahan yang dilakukan Gugum Gumbira dalam seni tari Ketuk Tilu ialah dengan mengubah fungsi tari yang awalnya merupakan bagian dari ritual adat masyarakat menjadi seni tradisi yang mementingkan hiburan disesuaikan dengan pola pikir dan kebutuhan masyarakat pada saat itu, sehingga lahirlah kesenian baru yaitu Jaipongan. Kehadiran kesenian Jaipongan ini tidak serta-merta mendapat pengakuan secara luas, bahkan sempat mendapat halangan dari berbagai kalangan termasuk Pemerintah Daerah Jawa Barat dengan adanya istilah 3G (Goyang, Geol, Gitek) yang menjadi ciri khas dari Jaipongan. Peran seniman dalam melestarikan Jaipongan terlihat dari banyaknya sanggar-sanggar (kursus) tari yang berkembang di Jawa Barat, di sanggar-sanggar tari ini, Jaipongan menjadi pilihan utama dalam belajar seni tari untuk anak-anak dan remaja. Pandangan masyarakat terutama para ulama agama Islam menganggap bahwa Jaipongan tidak sesuai dengan ajaran Islam karena adanya unsur 3G ditambah dengan pakaian yang digunakan para penari wanita yang cenderung memperlihatkan lekuk tubuh sehingga dianggap akan mengundang “syahwat” bagi para penonton. Walaupun demikian, pandangan dari berbagai masyarakat tidak membuat Jaipongan menjadi redup, tetapi justru menyesuaikan apa yang menjadi keinginan masyarakat dalam Jaipongan ini bahkan bisa berakulturasi dengan kesenian modern seperti dangdut. Walaupun demikian, di tengah-tengah arus globalisasi dan semakin maraknya seni budaya modern kesenian Jaipongan masih dapat eksis dan bertahan sebagai salah satu warisan budaya yang mengandung nilai-nilai budaya lokal yang harus terus dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat sebagai bagian dari sebuah seni pertunjukan.


(6)

vii

Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR………. ii

UCAPAN TERIMAKASIH……… iii

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………... 1

1.2.Rumusan dan Batasan Masalah………...5

1.3.Tujuan Penelitian………... 5

1.4.Manfaat Penelitian………... 6

1.5.Struktur Organisasi Skripsi………... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kesenian Tradisional dan Modern………... 9

2.2.Seni Pertunjukan………... 13

2.3.Seniman dan Kreativitas………... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Metode dan Teknik Penelitian………... 25

3.1.1. Metode Penelitian………... 25

3.1.2. Teknik Penelitian………... 20

3.2.Persiapan Penelitian………... 32

3.2.1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian…………... 32

3.2.2. Penyusunan Rancangan Penelitian………... 33


(7)

viii

Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

3.2.4. Proses Bimbingan/Konsultasi………... 34

3.3.Pelaksanaan Penelitian... 35

3.3.1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber... 35

3.3.1.1. Sumber Tertulis... 35

3.3.1.2. Sumber Lisan (Wawancara)... 36

3.3.2. Kritik Sumber... 39

3.3.2.1. Kritik Eksternal... 40

3.3.2.2. Kritik Internal...42

3.3.3.Interpretasi (Penafsiran Fakta)...44

3.4.Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)... 45

BAB IV PERKEMBANGAN KESENIAN JAIPONGAN TAHUN 1970-2010 4.1.Perkembangan Awal Kesenian Jaipongan di Jawa Barat... 47

4.1.1. Kondisi Kesenian di Jawa Barat Menjelang Lahirnya Jaipongan... 47

4.1.2. Kreasi Awal Kesenian Jaipongan... 51

4.1.3. Konsep Gerak, Musik, dan Busana, Dalam Jaipongan... 58

4.1.3.1. Konsep Gerak (Koreografi)... 59

4.1.3.2. Musik Pengiring... 62

4.1.3.3. Busana... 66

4.1.4. Peranan Gugum Gumbira Dalam Penciptaan Jaipongan... 68

4.2.Peran Para Seniman Sunda Dalam Mengembangkan Dan Melestarikan Kesenian Jaipongan... 70

4.3.Tanggapan masyarakat terhadap Kesenian Jaipongan hingga akhirnya dapat diterima secara luas... 74


(8)

ix

Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1.Kesimpulan………. 79

5.2.Rekomendasi……….. 80

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR NARASUMBER RIWAYAT PENULIS


(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting dalam perkembangan pariwisata daerah. Berbagai macam kesenian berkembang di Jawa Barat di antaranya, seni pertunjukan Wayang Golek, Jaipongan, tarian Ketuk Tilu, seni bela diri Pencak Silat, dan lain-lain. Kesenian-kesenian tradisional yang pada awalnya merupakan bagian dari sebuah ritual atau upacara adat, telah banyak beralih fungsi menjadi seni pertunjukan yang lebih mementingkan hiburan dan komersil tetapi tidak menghilangkan unsur-unsur atau nilai-nilai tradisi yang ada sebelumnya. Salah satu contoh adalah seni tari Jaipong atau Jaipongan. Kesenian ini merupakan perkembangan dari tari tradisi Ketuk Tilu yang berkembang di daerah pantura Jawa Barat (Subang, Karawang, Bekasi) yang pada awalnya tarian Ketuk Tilu merupakan bagian dari upacara adat masyarakat setempat.

Berbicara Jaipongan tidak akan lepas dari sosok seorang Gugum Gumbira, Ia adalah tokoh yang mengembangkan tarian rakyat atau tari tradisi Ketuk Tilu menjadi sebuah tarian baru yang orisinil dengan tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi yang terkandung di dalamnya. Perhatiannya pada kesenian rakyat (tari Ketuk Tilu, Kliningan dan Pencak Silat) menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada kesenian-kesenian tersebut. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan (http://id.wikipedia.org/wiki/Jaipongan). Dapat dikatakan bahwa Jaipongan merupakan tarian kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi dan aturan yang sudah baku.

Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatar belakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari


(10)

2 pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room Dance, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau acara komersil. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran, misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra (alat musik) yang meliputi rebab, kendang (gendang), dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tariannya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Pada awalnya kehadiran Jaipongan ini disebut Ketuk Tilu perkembangan, karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu, kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan. Sebelum Jaipongan terbentuk, Gugum Gumbira mulai merekonstruksi semua hal yang telah dilihatnya untuk selanjutnya seluruh rekonstruksi itu menjadi sebuah karya. Beliau memiliki tujuan yang jelas yaitu untuk mengangkat seni tradisi agar lestari dan digemari oleh generasi muda dan hasil karyanya nanti bisa bermanfaat. Dalam proses penggarapannya dimulai dengan membuat kerangka dasar dari struktur lagu yang biasa terdapat pada lagu-lagu Ketuk Tilu. Ditemukan suatu bentuk pengulangan terus menerus pada penyajian lagu tersebut. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak menampilkan gerakan-gerakan yang kemudian terus berulang lagi sehingga memberikan kesan monoton (Rusliana, 2008 : 67). Berdasarkan hal itu, dalam tari Jaipongan tercipta suatu gerakan dan iringan musik yang lebih dinamis dengan memasukkan unsur-unsur yang ada dalam Pencak Silat, Topeng Banjet serta Kliningan Bajidoran.

Kehadiran Kesenian Jaipongan adalah sebuah fenomena menarik dan penting dalam perkembangan khazanah tari Sunda dan itu tak hanya mendasar pada gagasan estetis yang terdapat di dalamnya, melainkan juga pada bagaimana


(11)

3 kemudian tarian ini membuat fenomena tersendiri atas sambutan masyarakat terhadapnya (Imran, Pikiran Rakyat 2 April 2006). Akhir tahun 1970-an sebagai awal kemunculannya Jaipongan langsung menjadi trend yang fenomenal. Masyarakat melihat Jaipongan sebagai seni tari yang menarik karena di dalam Jaipongan tidak terdapat aturan-aturan yang mengikat seperti pada tarian Ketuk Tilu yang dianggap sakral oleh sebagian masyarakat karena bagian dari sebuah upacara ritual. Dengan melihat respon yang begitu besar dari masyarakat, Jaipongan tidak hanya menjadi bagian dari tari pergaulan/tari rakyat tetapi menjadi sebuah seni pertunjukan yang lebih mementingkan segi komersil dan hiburan. Pada saat ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang golek, degung, genjring/terbangan, kecapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong (http://www.banjar-jabar.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1832).

Satu hal yang menjadi permasalahan saat itu, yakni ketika Jaipongan mendadak tidak disukai oleh sejumlah pejabat Provinsi Jawa Barat pada masa Pemerintahan Gubernur Aang Kunaefi (1975-1985) karena dianggap terlalu erotis. Istilah 3G (Goyang, Geol, Gitek) ketika itu dianggap sebagai penyebab dari erotisme dalam Jaipongan. Gerakan 3G yang menjadi ciri khas dari Jaipongan ini menimbulkan pro dan kontra bukan karena tariannya akan tetapi karena Penarinya yang menampilkan gerakan-gerakan erotis. Namun dengan adanya hal itu, justru membuat orang semakin ingin mengetahui tentang Jaipongan. Masyarakat mulai melihat akan kedinamisan karya tari kreasi baru ini dan mulai mencoba mempelajarinya (Rusliana, 2008 : 70).

Sebagai hasil karya, tentunya kesenian tradisional memiliki daya tarik tersendiri di tiap ragam, bentuk, maupun penyajiannya. Sebuah kesenian dapat


(12)

4 mengalami tingkat kepopuleran yang signifikan (terlihat) bahkan tidak jarang pula dikemudian hari bisa pudar dan musnah. Hingga tulisan ini dibuat, Jaipongan termasuk dalam kategori salah satu kesenian rakyat yang masih tetap hidup di Jawa Barat walaupun secara kuantitas keberadaannya terus mengalami penurunan. Untuk itu perlu dikaji hal apa yang menghambat eksistensi dari kesenian Jaipongan ini serta hal yang menyebabkan kesenian ini tetap eksis seiring dengan perkembangannya.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana upaya pihak terkait atau masyarakat setempat dalam mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai lokal dari kesenian tradisional yang dimilikinya hingga kesenian tersebut tetap eksis dalam keadaan zaman yang terus berubah. Untuk memfokuskan suatu kajian dalam rangka penelitian sejarah, dan untuk lebih memfokuskan suatu penelitian maka harus dibatasi dalam angka tahun. Penelitian ini penulis fokuskan pada tahun 1970-2010. Tidak ada alasan khusus mengenai pembatasan tahun dalam kajian ini, namun untuk melihat dinamika perkembangan yang terjadi pada kesenian tradisional Jaipongan ini dimana tahun 1970-1980 merupakan tahun awal lahirnya kesenian Jaipongan. Penelitian ini penulis batasi hingga tahun 2010, kesenian ini dianggap sebagai ikon seni pertunjukan tradisional khas Provinsi Jawa Barat dan merupakan tahun dimana arus globalisasi membawa perubahan dalam gerak ataupun melahirkan genre-genre baru dalam Jaipongan..

Satu hal bahwa dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini penulis juga tidak hanya sebatas menggambarkan kurun waktu di atas, namun penulis juga mengamati dan menganalisis serta menuliskan beberapa hal atau catatan penting yang berkaitan dengan fenomena perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat sejak lahir, perkembangannya, kemunduran serta bagaimana upaya pelestarian pada masa sekarang ini. Dengan kata lain bahwa dalam ilmu sejarah waktu demi waktu merupakan satu hal yang saling berkaitan dan menentukan dalam suatu peristiwa fenomena seperti halnya dalam perkembangan kesenian Jaipongan.


(13)

5 Berdasarkan alasan di atas tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian lebih dalam, penulis mengambil judul “Perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat tahun 1970-2010 (Suatu Tinjauan Historis)”

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka untuk memudahkan dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu “Bagaimana perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat pada tahun

1970-2010?”. Mengingat rumusan masalah tersebut begitu luas, maka untuk

memudahkan dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis mengidentifikasi rumusan masalah tersebut kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana awal perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat?

2. Bagaimana peran para seniman sunda dalam mengembangkan dan melestarikan Kesenian Jaipongan?

3. Bagaimana Kesenian Jaipongan akhirnya dapat diterima oleh masyarakat khususnya masyarakat Jawa Barat?

4. Nilai-nilai tradisi apa saja yang masih melekat dalam kesenian Jaipongan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan merupakan hal utama yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan. Begitupun dalam penulisan ini memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan atau penelitian ini mencakup dua aspek yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bermaksud untuk memperoleh informasi dan pelajaran yang berharga dari peristiwa sejarah dimasa lampau agar menjadi pijakan dalam melangkah di masa depan. Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah untuk mengetahui alasan mengapa tari Jaipongan yang merupakan kesenian khas daerah Jawa Barat masih tetap eksis dan digemari oleh masyarakat luas bahkan dikenal sampai ke luar negeri. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini, sebagai berikut:


(14)

6 1. Mendeskripsikan keresahan yang terjadi pada awal perkembangan kesenian

Jaipongan di Jawa Barat Tahun 1970-1980.

2. Kemudian menjelaskan peran para seniman tari sunda dalam mengembangkan dan melestarikan Jaipongan.

3. Mendeskripsikan Kesenian Jaipongan akhirnya dapat digemari dan diterima oleh masyarakat sebagai suatu hasil karya yang baru.

4. Menjelaskan Nilai-nilai tradisi apa saja yang masih ada dan melekat dalam kesenian Jaipongan.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian di atas diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi dalam mengangkat kesenian Jaipongan sebagai kesenian tradisional atau kesenian khas daerah Jawa Barat dilihat dari sisi sejarah serta memberikan gambaran yang jelas bagaimana perjalanan seorang Gugum Gumbira dalam mengolah dan melahirkan suatu karya dengan memanfaatkan bahan-bahan yang telah ada, kemudian diramu menjadi sebuah karya baru yang original. Selain itu dengan penelitian ini diharapkan pada akhirnya nanti dapat menambah wawasan guna mendapat nilai tambah pengetahuan di bidang studi masalah sejarah, seni dan budaya dalam upaya untuk melestarikan seni budaya tradisional yang semakin lama semakin tersisih oleh pengaruh-pengaruh budaya luar.

Adapun manfaat lain yang ingin diperoleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi seniman, penulisan skripsi ini dapat mengangkat eksistensinya sebagai penggiat seni di Tatar Sunda, agar senantiasa melestarikan kesenian yang memiliki nilai historis sehingga kesenian tradisional Sunda tidak lantas luntur tergerus perkembangan zaman. Di samping itu, skripsi ini dapat dijadikan sumber tertulis untuk mempermudah mereka yang akan melakukan penelitian lebih lanjut.

2. Bagi sekolah, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pengembangan ekstrakurikuler bidang seni sebagai sarana dalam mengembangkan minat dan bakat siswa terhadap kesenian daerah.


(15)

7 1.5. Struktur Organisasi Skripsi

Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan, pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan permasalahan utama, tujuan penelitian dari penelitian yang dilakukan, metode dan tekhnik penelitian serta struktur organisasi dalam penyusunan skripsi.

Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai daftar literatur yang dipergunakan yang dapat mendukung dalam penulisan terhadap permasalahan yang dikaji. Pada bagian bab kedua, berisi mengenai suatu pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis teliti dengan mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi bahan acuan dalam penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi pembahasan yang kami uraikan berdasarkan data-data temuan di lapangan.

Bab III Metodologi Penelitian, dalam bab ini mengkaji tentang langkah-langkah yang dipergunakan dalam penulisan berupa metode penulisan dan teknik penelitian yang menjadi titik tolak penulis dalam mencari sumber serta data-data, pengolahan data dan cara penulisan. Dalam bab ini juga, penulis berusaha memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah-langkah serta tahapan-tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir harus diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

Bab IV Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak, pada bab ini, yaitu bab hasil penelitian dan pembahasan berisi mengenai keterangan-keterangan dari


(16)

8 data-data temuan di lapangan. Data-data temuan tersebut penulis paparkan secara deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan tersebut, khususnya baik bagi saya sebagai penulis dan umumnya bagi pembaca. Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada permasalahan yang penulis teliti. Selain itu juga dalam bab ini dipaparkan pula mengenai pandangan penulis terhadap permasalahan yang menjadi titik fokos dalam penelitian yang penulis lakukan.

Bab V Kesimpulan, bab terakhir ini berisi suatu kesimpulan dari pembahasan pada bab empat dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan perkembangan Kesenian Jaipongan Di Jawa Barat Tahun 1970-2010 berdasarkan rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini.


(17)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai langkah, prosedur atau metodologi penelitian yang dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan fakta yang berkaitan dengan judul skripsi “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010”. Penulis mencoba untuk memaparkan berbagai langkah yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber, analisis dan cara penelitiannya.

Pada bagian pertama penulis akan menjelasakan metode dan teknik penelitian secara teoritis sebagai landasan dalam pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan. Pada bagian kedua akan dijelaskan mengenai tahapan-tahapan persiapan dalam pembuatan skripsi, yaitu penentuan dan pengajuan tema, penyusunan rancangan penelitian, mengurus perizinan, menyiapkan perlengkapan penelitian, dan proses bimbingan. Bagian ketiga berisi tentang pelaksanaan penelitian yang dimulai dari pengumpulan data (heuristik) baik sumber tertulis maupun sumber lisan, kritik sumber, dan interpretasi. Pada bagian terakhir akan dipaparkan mengenai proses penulisan skripsi atau historiografi sebagai bentuk laporan tertulis dari penelitian sejarah yang telah dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, penulisan dan penyusunan skripsi ini dijabarkan menjadi tiga langkah kerja penelitian sejarah. Ketiga langkah tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan hasil penelitian.

3.1.Metode dan Teknik Penelitian 3.1.1. Metode Penelitian

Metode sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai atau menggarap sesuatu secara efektif dan efisien. Metode merupakan salah satu ciri kerja ilmiah. Berbeda dengan metodologi yang lebih mengarah kepada kerangka referensi, maka metode lebih bersifat praktis, ialah memberikan petunjuk mengenai cara, prosedur, dan teknik pelaksanaan secara sistematik. Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis dengan


(18)

menggunakan pendekatan multidisipliner. Metode historis adalah suatu proses menguji, menjelaskan, dan menganalisis (Gosttchlak, 1985 : 32). Pernyataan tersebut sama dengan pendapat Garragan bahwa metode sejarah merupakan seperangkat aturan yang sistematis dalam mengumpulkan sumber sejarah secara efektif, melakukan penilaian secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan (Abdurahman, 1999: 43). Di samping itu metode sejarah yakni suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Sjamsuddin, 2007: 17-19).

Menurut Kuntowijoyo (2003: xix), metode sejarah merupakan petunjuk khusus tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Menurut Sukardi (2003: 203) penelitian sejarah adalah salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab, pengaruh atau perkembangan kejadian yang mungkin membantu dengan memberikan informasi pada kejadian sekarang dan mengantisipasi kejadian yang akan datang. Abdurrahman (1999: 43) metode sejarah dalam pengertian yang umum adalah penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis. Secara lebih singkat Richard F. Clarke mengartikan metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Beberapa ciri khas metode sejarah adalah:

1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati orang lain di masa-masa lampau.

2. Data yang digunakan lebih banyak bergantung pada data primer dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik secara internal maupun eksternal.

3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam bahan acuan yang standar.

4. Sumber data harus dinyatakan secara difinitif, baik nama pengarang, tempat, dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenaran dan ketulenannya. Fakta


(19)

harus dibenarkan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang tidak pernah berhubungan (Nazir, 2003: 48-49).

Kesimpulan yang dapat diambil penulis dari beberapa pengertian tersebut adalah bahwa metode sejarah merupakan proses penelitian terhadap sumber-sumber masa lampau yang dilakukan secara kritis-analitis dan sistematis dengan akhir kontruksi imajinasi yang disajikan secara tertulis.

Dari beberapa pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal dari masa lampau sehingga perlu di analisis terhadap tingkat kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian sejarah, metode historis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode ini karena data dan fakta yang dibutuhkan sebagai sumber penelitian skripsi ini berasal dari masa lampau. Dengan demikian, metode sejarah merupakan metode yang paling cocok dengan penelitian ini karena data-data yang dibutuhkan berasal dari masa lampau khususnya mengenai fenomena sejarah yang terjadi pada perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat mulai dari lahir serta perkembangannya pada tahun 1970-2010.

Wood Gray (Sjamsuddin, 2007: 89) mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis, yaitu :

1. Memilih suatu topik yang sesuai.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

3. Membuat catatan tentang apa saja yang di anggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber).

5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya.


(20)

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Pendapat lain dikemukakan oleh Kuntowijoyo (1995: 1) bahwa dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan yang harus ditempuh, yaitu:

1. Pemilihan topik 2. Pengumpulan sumber

3. Verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber) 4. Interpretasi: analisis dan sintesis

5. Penulisan

Sementara itu, metode sejarah menurut Ernst Bernsheim yang terdapat dalam buku Ismaun (2005 : 32) mengungkapkan bahwa ada beberapa langkah yang dilakukan dalam mengembangkan metode historis. Langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penelitian historis tersebut yakni :

1. Heuristiek, yakni mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Heuristik merupakan salah satu tahap awal dalam penulisan sejarah seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta atau sumber-sumber yang berhubungan dengan perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat tahun 1970-2010. Dalam tahap ini penulis memperoleh data-data yang berhubungan dengan permasalahan penulisan baik berupa sumber tertulis maupun sumber lisan di antaranya Bapak Gugum Gumbira selaku pencipta Kesenian Jaipongan, Bapak Edi Mulyana dan Bapak Lalan Ramlan selaku orang yang bergiat dalam seni tari, Ibu Itje Trisnawati selaku penari dan murid langsung Bapak Gugum Gumbira.

2. Kritiek, yakni menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah. Tujuan yang hendak dicapai dalam tahap ini adalah untuk dapat menilai sumber-sumber yang relevan dengan masalah yang dikaji dan membandingkan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber primer maupun sekunder dan disesuaikan dengan tema atau judul penulisan skripsi ini. Penilaian terhadap sumber-sumber sejarah itu meliputi dua segi yakni kritik intern dan kritik


(21)

ekstern. Kritik yang penulis lakukan lebih cenderung melakukan kritik terhadap beberapa sumber tertulis di antaranya: Buku karya Endang Caturwati yang berjudul Seni dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang Pertunjukan Tari Sunda, Skripsi karya Edi Mulyana yang berjudul Proses Kreatif Gugum Gumbira dalam Penciptaan Kesenian Jaipongan, Buku karya Tati Narawati dan Soedarsosno Tari Sunda. Dulu, Kini, dan Esok, serta sebuah Tesis karya Sumantri yang berjudul Asal-usul dan perkembangan Jaipongan dewasa ini di Jawa Barat.

3. Aumassung, yakni Penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti dari dalam sumber sejarah. Fakta sejarah yang ditemukan tersebut kemudian dihubungkan dengan konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji yaitu mengenai perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat. 4. Dahrstellung, yakni penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah

yang terjadi pada masa lampau yang penulis wujudkan dalam bentuk Skripsi

dengan judul “Perkembangan Kesenian Jaipongan Di Jawa Barat Tahun 1970-2010 (Suatu Tinjauan Historis)”.

Agar metode sejarah memiliki makna yang utuh dan komprehensif, maka dalam melaksanakan penelitian sejarah seyogyanya memperhatikan hal-hal berikut:

1. Dalam historiografi diperlukan pendekatan fenomenologis yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman pelaku sendiri.

2. Pengungkapan yang bersifat reflektif, sehingga dimungkinkankan tetap adanya kesadaran akan subjektivitas diri sendiri, seperti kepentingan, perhatian, logika, metode, serta latarbelakang historisnya.

3. Bersifat komprehensif, sehingga memiliki relevansi terhadap realitas sosial dari pelbagai tingkat dan ruang lingkup.

4. Perlu pula memiliki relevansi terhadap kehidupan praktis (Kartodirdjo, 1992: 236).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pada dasarnya terdapat suatu kesamaan dalam menjelaskan metode historis ini. Pada umumnya


(22)

langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah mengumpulkan sumber, menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk karya tulis ilmiah.

Untuk mempertajam analisis dalam penulisan maka penulis menggunakan pendekatan interdisipliner. Arti dari pendekatan interdisipliner disini adalah suatu pendekatan yang meminjam konsep pada ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi dan antropologi. Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosiologi seperti status sosial, peranan sosial, perubahan sosial, mobilitas sosial dan lainnya. Sedangkan konsep-konsep dari ilmu antropologi dipergunakan dalam mengkaji mengenai budaya pada masyarakat Jawa Barat untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah yang akan dibahas baik keluasan maupun kedalamannya semakin jelas (Sjamsuddin, 2007: 201).

3.1.2. Teknik Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan, wawancara dan dokumentasi. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan membaca dan mengkaji buku-buku serta artikel yang dapat membantu penulis dalam memecahkan permasalahan yang dikaji yaitu mengenai kesenian Jaipongan. Berkaitan dengan ini, dilakukan kegiatan kunjungan pada perpustakaan-perpustakaan di Bandung yang mendukung dalam penulisan ini. Setelah berbagai literatur terkumpul dan cukup relevan sebagai acuan penulisan maka penulis mulai mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan serta memilih sumber yang relevan dan dapat dipergunakan dalam penulisan.

Teknik berikutnya yang dilakukan penulis dalam penelitian skripsi ini adalah teknik wawancara. Teknik ini merupakan teknik yang paling penting dalam penyusun skripsi ini, karena sebagian besar sumber diperoleh melalui wawancara. Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh sumber lisan terutama sejarah lisan, yang dilakukan dengan cara berkomunikasi dan berdiskusi dengan beberapa tokoh yang terlibat atau mengetahui secara langsung maupun tidak langsung bagaimana perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat.


(23)

Wawancara yang dilakukan adalah teknik wawancara gabungan yaitu perpaduan antara wawancara terstruktur dengan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur atau berencana adalah wawancara yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diwawancarai diberi pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan tata urutan yang seragam. Sedangkan wawancara yang tidak terstruktur adalah wawancara yang tidak mempunyai persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata-kata dan tata urut yang harus dipatuhi peneliti.

Wawancara ini dilakukan oleh penulis kepada orang-orang yang langsung berhubungan dengan peristiwa atau objek penelitian, pelaku atau saksi dalam suatu peristiwa kesejarahan yang akan diteliti dalam hal ini yaitu mengenai kesenian Jaipongan. Penggunaan wawancara sebagai teknik untuk memperoleh data berdasarkan pertimbangan bahwa periode yang menjadi bahan kajian dalam penulisan ini masih memungkinkan didapatkannya sumber lisan mengenai kesenian Jaipongan. Selain itu, narasumber (pelaku dan saksi) mengalami, melihat dan merasakan sendiri peristiwa di masa lampau yang menjadi objek kajian sehingga sumber yang diperoleh akan menjadi objektif. Teknik wawancara yang digunakan erat kaitannya dengan sejarah lisan (oral history). Sejarah lisan (oral history), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang di wawancara sejarawan (Sjamsuddin, 1996 : 78).

Kebaikan dari penggabungan antara wawancara terstruktur dan tidak terstruktur adalah agar tujuan wawancara lebih terfokus. Selain itu agar data yang diperoleh lebih mudah di olah dan yang terakhir narasumber lebih bebas mengungkapkan apa saja yang dia ketahui.

Dalam teknis wawancara penulis mencoba mengkolaborasikan antara kedua teknik tersebut, yaitu dengan wawancara terstruktur penulis membuat susunan pertanyaan yang sudah dibuat, kemudian diikuti dengan wawancara yang tidak terstruktur yaitu penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan pertanyaan sebelumnya dengan tujuan untuk mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang berkembang kepada tokoh atau pelaku sejarah. Selain kedua teknik di atas, penulis juga menggunakan studi dokumentasi untuk


(24)

mengumpulkan data baik berupa data angka maupun gambar. Dalam hal ini dilakukan pengkajian terhadap arsip-arsip yang telah ditemukan berupa data tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mencoba memaparkan beberapa langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian sehingga dapat menjadi karya tulis ilmiah yang sesuai dengan tuntutan keilmuan. Langkah-langkah yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan penelitian.

3.2.Persiapan Penelitian

3.2.1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal untuk memulai suatu jalannya penelitian. Pada tahap ini penulis melakukan proses memilih dan menentukan topik yang akan dikaji kemudian penulis melakukan upaya-upaya pencarian sumber atau melaksanakan pra penelitian mengenai masalah yang akan dikaji baik melalui observasi ke lapangan atau dengan mencari dan membaca berbagai sumber literatur yang berhubungan dengan tema yang penulis kaji.

Judul yang penulis tetapkan berdasarkan ketertarikan penulis terhadap perkembangan kesenian Jaipongan sebagai salah satu kesenian yang sangat populer di Jawa Barat. Topik ini didapatkan oleh penulis ketika melakukan diskusi dengan beberapa orang teman mengenai kesenian Sunda yang pernah populer dimasa lalu. Pengetahuan tentang kesenian Jaipongan ini baru penulis dapatkan setelah membaca buku-buku mengenai kesenian Sunda masa silam, di antaranya dalam buku Tari Sunda Dulu, Kini dan Esok karya Tati Narwati dan R.M Soedarsono. Minimnya pengetahuan mengenai seni tari Sunda tentu tidak hanya dirasakan oleh penulis saja. Kondisi seperti ini membuat penulis menjadi termotivasi untuk melakukan penelitian mengenai kesenian Sunda (khususnya seni tari). Setelah penulis memiliki minat dengan seni tari Sunda, kemudian penulis kembali meminta seorang teman untuk diajak berdiskusi. Seorang teman yang memiliki pengetahuan dan kepedulian yang besar terhadap kehidupan seni Sunda, dan juga memiliki banyak referensi mengenai topik yang diambil. Penulis


(25)

kemudian meminta saran sebaiknya bagian mana dari seni tari Sunda yang menarik untuk dibahas, dan akhirnya setelah diskusi yang panjang penulis menemukan sebuah topik yang mungkin akan menarik untuk dibahas, yaitu mengenai Jaipongan yang berkembang di Jawa Barat sekitar akhir tahun 80an. Selanjutnya penulis mengajukan judul “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” kepada Drs. Ayi Budi Santosa M.Si. selaku wakil ketua TPPS (Tim Pertimbangan dan Penulisan Skripsi) Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia sebagai judul skripsi yang diseminarkan pada tanggal 15 Agustus 2010. Seminar ini dilakukan sebagai salah satu prosedur awal yang harus dilakukan penulis sebelum melakukan penelitian.

Setelah rancangan penelitian diseminarkan dan disetujui, maka pengesahan penelitian ditetapkan dengan surat keputusan bersama oleh TPPS dan ketua Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI dengan No 066/TPPS/JPS/2010 tertanggal 03 September 2010 sekaligus menentukan pembimbing I yaitu Ibu Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum. dan pembimbing II yaitu Bapak Drs. Ayi Budi Santosa, Msi.

3.2.2. Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan oleh penulis. Rancangan penelitian ini kemudian dijabarkan dalam bentuk proposal penelitian skripsi yang diajukan kembali kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) untuk dipresentasikan dalam seminar pada tanggal 13 Agustus 2010. Adapun proposal penelitian tersebut pada dasarnya berisi tentang :

1. Judul Penelitian

2. Latar Belakang Masalah 3. Rumusan Masalah 4. Tujuan Penulisan 5. Tinjauan Kepustakaan

6. Metode dan Teknik Penelitian 7. Sistematika Penulisan


(26)

3.2.3. Menyiapkan Perlengkapan dan Izin Penelitian

Perlengkapan yang harus disiapkan oleh penulis dalam melakukan penelitian adalah segala fasilitas penunjang untuk kelancaran penelitian skripsi. Untuk mendapatkan hasil yang baik, harus direncanakan rancangan penelitian yang dapat berguna bagi kelancaran penelitian dengan perlengkapan penelitian. Adapun perlengkapan penelitian ini antara lain:

1. Surat izin penelitian dari Pembantu Rektor I UPI Bandung, 2. Instrumen wawancara,

3. Kamera Foto, dan 4. Alat tulis.

Perlengkapan penelitian berikutnya yang sangat penting adalah surat keputusan izin penelitian dari pihak Rektor UPI Bandung, jadwal kerja penelitian, dana penelitian dan penunjang penelitian lainnya.

Surat keputusan izin penelitian dari pihak Rektor UPI Bandung digunakan penulis sebagai surat pengantar yang bertujuan dan berfungsi mengantarkan atau menjelaskan kepada suatu instansi/perorangan bahwasannya penulis sedang melaksanakan suatu penelitian dengan harapan agar instansi/perorangan tersebut dapat memberikan informasi data dan fakta yang penulis butuhkan selama proses penelitian.

3.2.4. Proses Bimbingan/Konsultasi

Dalam melakukan penelitian ini penulis dibimbing oleh dua orang dosen yang kemudian disebut dengan Dosen Pembimbing I dan II. Pada tahapan ini mulai dilakukan proses bimbingan atau konsultasi dengan Dosen Pembimbing I dan II. Proses bimbingan diperlukan agar penelitian yang berlangsung berjalan dengan baik dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Dalam proses bimbingan ini selain menentukan teknis dari bimbingan itu sendiri, penulis juga menerima masukan dan arahan terhadap proses penulisan skripsi ini, baik teknis penulisan maupun terhadap isi dari skripsi ini.


(27)

3.3.Pelaksanaan Penelitian

Tahapan ini merupakan sebuah proses yang sangat penting dalam suatu penelitian. Melalui tahapan ini penulis memperoleh data serta fakta yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi. Beberapa langkah yang harus ditempuh dalam tahapan ini adalah sebagai berikut :

3.3.1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber

Langkah kerja sejarawan untuk mengumpulkan sumber-sumber (sources) atau bukti-bukti (evidences) sejarah ini disebut heuristik. Heuristik yang dalam bahasa Jerman disebut juga dengan Quellenkunde merupakan sebuah kegiatan awal mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 86). Pada tahap ini penulis berusaha mencari sumber-sumber yang relevan bagi permasalahan yang sedang dikaji. Menurut Helius Sjamsuddin (1996 : 730) yang dimaksud dengan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita, tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan di masa lalu. Sumber sejarah berupa bahan-bahan sejarah yang memuat bukti-bukti aktifitas manusia dimasa lampau yang berbentuk tulisan atau cerita. Sumber tertulis berupa buku dan artikel yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dan juga ditambah dengan sumber lisan dengan menggunakan teknik wawancara kepada narasumber yang menjadi pelaku dan juga mengetahui tentang “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dibawah ini:

3.3.1.1. Sumber Tertulis

Pada tahap ini penulis mencari sumber tertulis yang sangat relevan dengan permasalahan penelitian baik berupa buku, artikel, majalah, koran, maupun karya ilmiah lainnya. Studi literatur yang dilaukan yaitu dengan cara membaca dan mengkaji sumber-sumber tertulis tersebut yang menunjang dalam penulisan skripsi ini. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari berbagai tempat seperti UPT Perpustakaan UPI, UPT Perustakaan STSI Bandung,vdan Perpustakaan Pribadi


(28)

Edi Mulyana. Buku-buku yang berkenaan dengan seni dan seni tari, buku-buku tersebut antara lain Art In Indonesia: Continuitas And Change karya Claire Holt tahun 1967 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. R. M. Soedarsono pada tahun 2000 menjadi Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat karya Enoch Atmadibrata, buku karya Edi S Ekadjati yang berjudul Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat, dan buku yang berjudul Kritik Seni karya Nooryan Bahari.

Berikutnya buku-buku yang berkenaan tentang tari dan Jaipongan di antaranya buku yang berjudul Sosiologi Tari karya Sumandiyo Hadi, buku karya Endang Caturwati yang berjudul Seni Dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang Perkembangan Pertunjukan Tari Sunda, buku yang berjudul Tari Sunda. Dulu, Kini dan Esok karya Tati Narawati dan Soedarsono, dan Skripsi karya Edi Mulyana yang berjudul Proses Kreatif Gugum Gumbira Dalam Penciptaan Jaiponganan.

Selain sumber-sumber tertulis di atas, penulis juga melakukan penelusuran sumber melalui browsing di internet untuk mendapatkan artikel-artikel maupun jurnal yang berhubungan dengan masalah yang penulis kaji. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi agar dapat mengisi kekurangan dari sumber lainnya

3.3.1.2. Sumber Lisan (Wawancara)

Sumber lisan ini memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya sebagai sumber sejarah yang lainnya. Dalam menggali sumber lisan dilakukan dengan teknik wawancara, yaitu mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji kepada pihak-pihak sebagai pelaku dan saksi.

Dalam pengumpulan sumber lisan, dimulai dengan mencari narasumber yang relevan agar dapat memberikan informasi yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji melalui teknik wawancara. Dalam hal ini penulis mencari para narasumber (saksi dan pelaku) melalui pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan ketentuan yang didasarkan pada faktor mental dan fisik (kesehatan),


(29)

perilaku (kejujuran dan sifat sombong) serta kelompok usia yaitu umur yang cocok, tepat dan memadai (Kartawiriaputra, 1994: 41).

Sumber lisan ini penulis peroleh melalui proses wawancara. Orang yang penulis wawancarai disebut narasumber. Dalam hal ini narasumber dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pelaku dan saksi. Pelaku adalah mereka yang benar-benar mengalami peristiwa atau kejadian yang menjadi bahan kajian seperti para seniman Jaipongan atau budayawan yang merupakan pelaku sejarah yang mengikuti perkembangan Jaipongan dari waktu ke waktu, sedangkan saksi adalah mereka yang melihat dan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi, misalnya masyarakat sebagai pendukung dan penikmat seni serta pemerintah sebagai lembaga terkait. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa narasumber yang di wawancarai adalah mereka yang benar-benar melihat dan mengalami pada tahun kejadian tersebut.

Teknik wawancara merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi secara lisan dari narasumber sebagai pelengkap dari sumber tertulis (Kuntowijoyo, 1995: 23). Berdasarkan uraian tersebut, tujuan wawancara adalah mendapatkan informasi tambahan dari kekurangan atau kekosongan informasi yang ada dari sumber tertulis. Oleh sebab itu, kedudukan sejarah lisan (oral history) semakin menjadi penting. Dudung Abdulrrahman (1999: 57), menyatakan bahwa wawancara dan interview merupakan teknik yang sangat penting untuk mengumpulkan sumber-sumber lisan. Melalui wawancara sumber-sumber lisan dapat diungkap dari para pelaku-pelaku sejarah. Bahkan peristiwa-peristiwa sejarah yang belum jelas betul persoalannya sering dapat diperjelas justru berdasarkan pengungkapan sumber-sumber sejarah lisan.

Menurut Koentjaraningrat (1994: 138-139) teknik wawancara dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Wawancara terstruktur atau berencana yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diselidiki untuk diwawancara diajukan pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan urutan yang seragam.


(30)

2. Wawancara tidak terstruktur atau tidak terencana adalah wawancara yang tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata-kata dan atata urut yang harus dipatuhi peneliti.

Dalam melakukan wawancara di lapangan, penulis menggunakan kedua teknis wawancara tersebut. Hal itu digunakan agar informasi yang penulis dapat lebih lengkap dan mudah diolah. Selain itu, dengan penggabungan dua teknis wawancara tersebut pewawancara menjadi tidak kaku dalam bertanya dan narasumber menjadi lebih bebas dalam mengungkapkan berbagai informasi yang disampaikannya.

Sebelum wawancara dilakukan, disiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu. Daftar pertanyaan tersebut dijabarkan secara garis besar. Pada pelaksanaannya, pertanyaan tersebut di atur dan diarahkan sehingga pembicaraan berjalan sesuai dengan pokok permasalahan. Apabila informasi yang diberikan oleh narasumber kurang jelas, maka peneliti mengajukan kembali pertanyaan yang masih terdapat dalam kerangka pertanyaan besar. Pertanyaan-pertanyaan itu diberikan dengan tujuan untuk membantu narasumber dalam mengingat kembali peristiwa sehingga informasi menjadi lebih lengkap. Teknik wawancara ini berkaitan erat dengan penggunaan sejarah lisan (oral history), seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo (2003 : 26-28) yang mengemukakan bahwa:

Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah bahkan zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang

dialami oleh seseorang atau segolongan… selain sebagai metode, sejarah


(31)

Narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang mengetahui keadaan pada saat itu dan terlibat langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa sejarah yang terjadi, mereka berasal dari berbagai kalangan, baik seniman Jaipongan maupun pengamat dan pemerhati seni di Jawa Barat dan pemerintah setempat di antaranya Bapak Edi Mulyana, Bapak Gugum Gumbira, Bapak Lalan Ramlan, Ibu Ria Dewi Fajaria, dan Ibu Itje Trisnawati.

Hasil wawancara dengan para narasumber kemudian disalin dalam bentuk tulisan untuk memudahkan peneliti dalam proses pengkajian yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang berkenaan dengan masalah penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dilakukan penelaahan serta pengklasifikasian terhadap sumber-sumber informasi, sehingga benar-benar dapat diperoleh sumber yang relevan dengan masalah penelitian yang dikaji.

Penggunaan teknik wawancara dalam memperoleh data dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelaku benar-benar mengalami sendiri peristiwa yang terjadi di masa lampau, khususnya mengenai gambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa Barat dan perkembangan grup kesenian Jaipongan tahun 1970-2010. Dengan demikian penggunaan teknik wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh informasi yang objektif mengenai peristiwa yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini.

3.3.2.Kritik Sumber

Langkah kedua setelah melakukan heuristik dalam penelitiannya, penulis tidak lantas menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber itu. Langkah selanjutnya adalah penulis harus melakukan penyaringan secara kritis terhadap sumber yang diperoleh, terutama terhadap sumber-sumber primer, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah yang disebut kritik sumber, baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun terhadap substansi (isi) sumber. Dalam tahap ini data-data yang telah diperoleh berupa sumber tertulis maupun sumber lisan disaring dan dipilih untuk dinilai dan diselidiki kesesuaian sumber, keterkaitan dan keobjektifannya.


(32)

Dalam bukunya Sjamsuddin (2007: 133) terdapat lima pertanyaan yang harus digunakan untuk mendapatkan kejelasan keamanan sumber-sumber tersebut yaitu :

1. Siapa yang mengatakan itu ?

2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah di ubah?

3. Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya? 4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang

kompeten, apakah ia mengetahui fakta?

5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu?

Kegiatan ini perlu dilakukan mengingat semua data yang diperoleh dari sumber tertulis atau lisan tidak mempunyai tingkat kebenaran yang sama.

Fungsi kritik sumber erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu dalam rangka mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil (Sjamsuddin, 2007: 131). Dengan kritik ini maka akan memudahkan dalam penulisan karya ilmiah yang benar-benar objektif tanpa rekayasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Adapun kritik yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

3.3.2.1. Kritik Eksternal

Kritik ekstern adalah cara pengujian sumber terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah secara terinci. Kritik eksternal merupakan suatu penelitian atas asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 104-105).

Kritik ekstern ingin menguji otentisitas (keaslian) suatu sumber, agar diperoleh sumber yang sungguh-sungguh asli dan bukannya tiruan atau palsu. Sumber yang asli biasanya waktu dan tempatnya diketahui. Makin luas dan makin


(33)

dapat dipercaya pengetahuan kita mengenai suatu sumber, akan makin asli sumber itu. Dalam hubungannya dengan historiografi otentisitas suatu sumber mengacu kepada masalah sumber primer dan sumber sekunder. Maka konsep otentisitas (keaslian) memiliki derajat tertentu, dan terdapat tiga kemungkinan otentisitas (keaslian) suatu sumber, yakni sepenuhya asli, sebagian asli, dan tidak asli. Dalam hubungan ini dapat diinterpretasikan bahwa sumber primer adalah sumber yang sepenuhnya asli, sedang sumber sekunder memiliki derajat keaslian tertentu.

Kritik eksternal merupakan suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan-catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Sumber kritik eksternal harus menerangkan fakta dan kesaksian bahwa:

 Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang itu atau pada waktu itu authenticity atau otentisitas.

 Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, atau penambahan dan penghilangan fakta-fakta yang substansial, karena memori manusia dalam menjelaskan peristiwa sejarah terkadang berbeda setiap individu, malah ada yang ditambah ceritanya atau dikurangi tergantung pada sejauh mana narasumber mengingat peristiwa sejarah yang sedang dikaji. Dalam penelitian ini penulis melakukan kritik eksternal baik terhadap sumber tertulis maupun sumber lisan. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis dilakukan dengan cara memilih buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dikaji. Kritik terhadap sumber-sumber buku tidak terlalu ketat dengan pertimbangan bahwa buku yang penulis pakai merupakan buku-buku hasil cetakan yang didalamnya memuat nama penulis, penerbit, tahun terbit, dan tempat dimana buku tersebut diterbitkan. kriteria tersebut dapat di anggap sebagai suatu jenis pertanggungjawaban atas buku yang telah diterbitkan.

Adapun kritik eksternal terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara mengidentifikasi narasumber apakah mengetahui, mengalami atau melihat peristiwa yang menjadi objek kajian dalam penelitian. Faktor-faktor yang harus


(34)

diperhatikan dari narasumber adalah mengenai usia, kesehatan baik mental maupun fisik, maupun kejujuran narasumber.

3.3.2.2. Kritik Internal

Kritik internal dilakukan untuk menguji kredibilitas dan reabilitas sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan kritik internal dengan cara mengkomparasikan dan melakukan cross check diantara sumber yang diperoleh.

Kritik internal merupakan suatu cara pengujian yang dilakukan terhadap aspek dalam yang berupa isi dari sumber. Dalam tahapan ini penulis melakukan kritik internal baik terhadap sumber-sumber tertulis maupun terhadap sumber lisan. Kritik internal terhadap sumber-sumber tertulis yang telah diperoleh berupa buku-buku referensi dilakukan dengan membandingkannya dengan sumber lain namun terhadap sumber yang berupa arsip tidak dilakukan kritik dengan angggapan bahwa telah ada lembaga yang berwenang untuk melakukannya. Dengan kata lain bahwa kritik ekstern terhadap sumber tertulis bertujuan untuk menguji keaslian dokumen, sedang kritik intern lebih menguji makna isi dokumen atau sumber tertulis tersebut (Shafer, 1974: 117-119).

Kritik ini pada dasarnya menekankan kompetensi dan kebenaran informasi yang dipaparkan narasumber kepada peneliti. Artinya, semakin mendekati kepada kebenaran, semakin tinggi reliabilitas yang disampaikan oleh narasumber dengan mempertimbangkan hal tersebut:

1. Apakah pembuat kesaksian atau narasumber “mampu” memberikan kesaksian, yang meliputi hubungannya dengan peristiwa yang diteliti (apakah ia ikut terlibat sebagai pelaku sejarah, apakah ia hanya sebagai saksi sejarah yang hanya melihat peristiwa tersebut, ataukah hanya mendengar dari orang lain). Dengan mengkaji pertanyan-pertanyaan tersebut maka setiap narasumber akan bisa dibedakan mengenai derajat kewenangan dan kedudukannya dalam peristiwa tersebut. Hal ini, akan mengidentifikasikan sumber yang diperoleh oleh peneliti, tentunya akan dapat dibedakan antara informasi yang diperoleh langsung dari pelaku


(35)

sejarah sebagai sumber primer dengan informasi yang diperoleh dari orang biasa yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut.

2. Apakah pemberi informasi atau narasumber “mau” memberikan informasi yang benar. Dalam tahapan ini, peneliti mulai mengkaji kadar subjektifitas yang mungkin saja terjadi dalam informasi yang diberikan oleh narasumber. Apakah ia jujur dalam menyampaikan informasi tersebut dengan mengkaji apakah ada hal yang ditutup-tutupi atau melebih-lebihkan oleh narasumber ketika menyampaikan informasinya.

Kritik internal bertujuan untuk mengetahui kelayakan sumber yang telah diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan narasumber sebagai sumber sejarah yang berhubungan peristiwa yang peneliti teliti. Sebagai langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan kritik internal dalam sumber lisan adalah dengan melihat kualitas informasi yang dipaparkan oleh narasumber, konsistensi pemaparan dalam menyampaikan informasi tersebut, serta kejelasan dan keutuhan informasi yang diberikan oleh narasumber. Karena semakin konsisten informasi yang diberikan oleh narasumber akan semakin menentukan kualitas sumber tersebut, serta tingkat reliabilitas dan kredibilitas juga dapat dipertanggungjawabkan.

Kritik internal terhadap sumber lisan ini pada dasarnya dilakukan dengan cara membandingkan hasil wawancara antara narasumber yang satu dan narasumber lainnya sehingga penulis mendapatkan fakta dan informasi mengenai perkembangan kesenian Jaipongan. Setelah penulis melakukan kaji banding pendapat narasumber yang satu dan lainnya kemudian membandingkan pendapat narasumber dengan sumber tertulis atau dengan menggunakan pendekatan Triangulasi. Kaji banding ini bertujuan untuk memperoleh kebenaran fakta-fakta yang didapat dari sumber tertulis maupun sumber lisan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.


(36)

3.3.3.Interpretasi (Penafsiran Fakta)

Tahap ketiga dalam penulisan karya ilmiah ini adalah interpretasi. Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (facts) atau bukti-bukti sejarah (evidences). Interpretasi diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti sejarah (evidences) dan fakta-fakta sebagai saksi-saksi sejarah tidak dapat berbicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya dari realitas masa lampau. Interpretasi merupakan proses pemberian penafsiran terhadap fakta yang telah dikumpulkan. Pada tahap ini, fakta-fakta yang telah dikumpulkan dipilih dan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam Bab I. Pada tahapan interprestasi berbagai data dan fakta yang lepas satu sama lain dirangkai dan dihubungkan sehingga diperoleh satu kesatuan yang selaras, dimana peristiwa yang satu dimasukan ke dalam keseluruhan konteks peristiwa atau kejadian yang lain yang melingkupinya (Ismaun, 2005: 131).

Pada tahapan ini, peneliti mulai menyusun dan merangkai fakta-fakta sejarah yang didasarkan pada sumber sejarah yang telah dikritik sebelumnya. Dalam upaya rekonstruksi sejarah masa lampau pertama-tama interpretasi memiliki makna memberikan kembali relasi antar fakta-fakta. Tahapan tersebut ialah mencari dan membuktikan adanya relasi antara fakta yang satu dengan lainnya, sehingga terbentuk satu rangkaian makna yang faktual dan logis tentang bagaimana perkembangan kesenian Jaipongan yang terdapat di Jawa Barat pada tahun 1970-2010. Cara yang dilakukan peneliti dengan cara membandingkan berbagai sumber. Hal ini berguna untuk mengantisipasi penyimpangan informasi yang berasal dari para pelaku sejarah. Dari hubungan antara berbagai sumber dan fakta inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat penafsiran (Interpretasi). Makna yang kedua dari interpretasi ialah memberikan eksplanasi terhadap fenomena sejarah. Interpretasi menjelaskan argumentasi-argumentasi jawaban peneliti terhadap pertanyaan-pertanyaan kausal, mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala di masa lampau terjadi.

Proses interpretasi merupakan proses kerja yang melibatkan berbagai aktivitas mental seperti seleksi, analisis, komparasi, serta kombinasi, dan


(37)

bermuara pada sintesis. Oleh sebab itu interpretasi merupakan proses analisis-sintesis. Keduanya merupakan kegiatan yang tak terpisahkan yang satu dari yang lain dan keduanya saling menunjang. Karena analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 2003: 103-104). Fakta tersebut kemudian disusun dan ditafsirkan, sehingga fakta-fakta tersebut satu sama lain saling berhubungan dan menjadi suatu rangkai peristiwa sejarah yang logis dan kronologis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta memberikan penjelasan terhadap permasalahan penelitian.

3.4.Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)

Tahap selanjutnya dari proses penelitian ini adalah penulisan laporan penelitian. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penulisan karya ilmiah ini atau disebut juga historiografi.

Historiografi merupakan langkah akhir dari keseluruhan prosedur penulisan karya ilmiah sejarah, yang merupakan kegiatan intelektual dan cara utama dalam memahami sejarah (Helius Sjamsuddin, 1996: 153). Tahap ini merupakan hasil dari upaya penulis dalam mengerahkan kemampuan menganalisis dan mengkritisi sumber yang diperoleh dan kemudian dihasilkan sintesis dari penelitiannya yang terwujud dalam penulisan skripsi dengan judul “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” Hasan Usman dalam Abdurrahman (1999: 67-68) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa syarat umum yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti dalam melakukan pemaparan sejarah, yaitu:

1. Peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan bahasa secara baik, agar data dapat dipaparkan seperti seperti apa adanya atau seperti yang dipahami oleh peneliti dan dengan gaya bahasa yang khas.

2. Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah itu disadari sebagai bagian dari sejarah yang lebih umum, karena ia didahului oleh masa dan diikuti oleh masa pula. Dengan perkataan lain, penulisan itu ditempatkannya sesuai dengan perjalanan sejarah.


(38)

3. Menjelaskan apa yang ditemukan oleh peneliti dengan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca.

4. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatif, artinya usaha peneliti dalam mengerahkan ide-idenya dalam merekonstruksi masa lampau itu didasarkan pada bukti-bukti terseleksi, bukti yang cukup lengkap dan detail fakta yang akurat.

Pada tahap ini seluruh hasil penelitian yang berupa data-data dan fakta-fakta yang telah mengalami proses heuristik, kritik dan interpretasi dituangkan oleh penulis ke dalam bentuk tulisan. Dalam historiografi ini penulis mencoba untuk mensintesakan dan menghubungkan keterkaitan antara fakta-fakta yang ada sehingga menjadi suatu penulisan sejarah.

Laporan penelitian ini disusun dengan menggunakan gaya bahasa sederhana, ilmiah dan menggunakan cara-cara penulisan sesuai dengan ejaan yang disempurnakan sedangkan sistematika penulisan yang digunakan mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah tahun 2007 yang dikeluarkan oleh UPI. Adapun tujuan laporan hasil penelitian ini adalah selain untuk memenuhi kebutuhan studi akademis tingkat sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI juga bertujuan untuk mengkombinasikan hasil temuan atau penelitian kepada umum sehingga temuan yang diperoleh dari hasil penelitian tidak saja memperkaya wawasan sendiri. Akan tetapi, hal itu dapat memberikan sumbangan ilmu kepada masyarakat luas.


(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai Perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat tahun 1970-2010, maka terdapat empat hal yang ingin penulis sampaikan, yaitu pertama, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keanekaragaman seni ini lah yang kemudian melahirkan Jaipongan karena Jaipongan merupakan hasil dari modifikasi seni-seni tradisi yang sudah ada dan berkembang sebelumnya seperti tari Ketuk Tilu, Kliningan, dan Pencak Silat. Kelahiran kesenian Jaipongan tidak terlepas dari upaya seorang Gugum Gumbira selaku creator atau pencipta tari Jaipongan untuk melestarikan seni budaya tradisional yang ada di Jawa Barat.

Kedua, Jaiopongan sebagai salah satu kesenian tradisional yang keberadaannya terbilang masih sangat muda, namun ternyata kesenian ini sangat diminati masyarakat terutama pada awal-awal perkembangannya sekitar tahun 1980-an. Hal ini disebabkan karena perubahan fungsi yang terjadi dalam tari Jaipongan yang semula tari Ketuk Tilu hanya berfungsi sebagai bagian dari upacara adat sedangkan Jaipongan lebih mementingkan unsur hiburan dalam bentuk penyajiaannya dan tidak terikat dengan budaya atau adat istiadat masyarakat tertentu. Unsur inilah yang kemudian menjadikan Jaipongan lebih disukai oleh masyarakat secara luas tidak hanya terbatas pada wilayah tertentu.

Kesenian Jaipongan yang berkembang di Jawa Barat pada dasarnya menyesuaikan dengan perubahan pola pikir secara umum yang terjadi di masyarakat yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Pola pikir masyarakat yang tadinya sangat menghargai nilai-niali tradisi berubah menjadi masyarakat sekuler yang hanya mementingkan hiburan semata. Namun demikian Gugum Gumbira berusaha untuk tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi yang terkandung dalam Jaipongan. Nilai-nilai tradisi ini terlihat dari pakaian yang digunakan penari, musik pengiring, dan gerak tari yang diadaptasi Ketuk Tilu dan Pencak Silat.


(40)

Ketiga, pandangan masyarakat terhadap Jaipongan tertuju pada masalah 3G (Goyang, Geol, Gitek) yang menajdi cirri khas Jaipongan. Gerakan 3G oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai sumber dari erotisme terutama oleh kalangan agamawan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Erotisme inilah yang akan berdampak negatif terhadap para penonton yang dianggap akan menimbulkan ‘syahwat’ yang berlebihan. Tidak hanya itu, ketidak setujuan kalangan agamawan juga ditegaskan mengenai cara berpakaian para penari wanita yang cenderung memperlihatkan lekuk tubuh para penarinya. Kendati demikan para seniman tari berusaha menyesuaikan apa yang menjadi kekurangan dalam tari Jaipong.

Keempat, perkembangan budaya modern dan globalisasi yang dikemas dalam berbagai bentuk media komunikasi dan informasi turut mempengaruhi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan kesenian yang bersifat tradisional seperti Jaipongan. Adanya proses urbanisasi dengan hadirnya masyarakat pendatang juga mengakibatkan hilangnya rasa kepemilikan terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki daerah tersebut, para pendatang tersebut lebih bangga terhadap nilai-nilai budaya darimana mereka berasal dan berupaya untuk mengembangkan budayanya pada tempat yang didatanginya sehingga lambat laun kebudayaan pendatang tersebut kemungkinan bisa dapat lebih berkembang dibandingkan kebudayaan asli daerah setempat. Selain itu, peranan instansi terkait yang seharusnya mewadahi berbagai aspirasi dari tiap-tiap kelompok kesenian Jaipongan dinilai oleh sebagian besar pengurus kelompok atau grup kesenian Jaipongan belum dapat secara maksimal memainkan peranannya sehingga menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para seniman untuk lebih mengembangkan dan menyesuaikan dengan arus Globalisasi yang terjadi pada saat sekarang.

5.2.Rekomendasi

Berbagai permasalahan yang penulis simpulkan pada bagian sebelumnya tentu saja dibutuhkan jalan keluar dan solusi yang tepat. Penulis akan memberikan beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai bahan dasar pertimbangan


(41)

dalam rangka turut melestarikan kesenian Jaipongan dan memupuk nilai-nilai budaya lokal yang terkandung didalamnya. Peran pemerintah memang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengelolaan agar kesenian tradisional lebih terorganisir baik seniman maupun pertunjukannya.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu mensosialisasikan kepada masyarakat luas khususnya generasi muda melalui Dinas Pendidikan dengan cara memasukkan pengetahuan seni tradisional baik secara teori maupun praktek ke dalam kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut dalam upaya meningkatkan pengkaderan kepada generasi muda dalam rangka menjaga kesenian Jaipongan agar tidak mengalami kepunahan.

Pemerintah juga berperan dalam pendokumentasian atau pendataan terhadap kesenian Jaipongan di setiap daerah di Jawa Barat secara periodik dan teliti, agar kesenian Jaipongan tidak punah. Hasil dokumentasi dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya. Kemudian, pemerintah diharapkan membentuk lembaga atau paguyuban bagi seniman tradisional yang bertujuan mengembangkan kreativitas dan memperluas jaringan agar mempermudah akses untuk pertunjukan di luar Jawa Barat atau bahkan samapi ke luar negeri.

Bagi para seniman Jaipongan diharapkan agar terus melakukan inovasi baik dalam lagu, kemasan perunjukan, dan kolaborasi dengan seni tradisional lainnya atau dengan seni modern lainnya. Dengan hal tersebut, diharapkan minat masyarakat tidak akan berubah untuk terus menggemari kesenian tradisional ini. Pertunjukan kesenian Jaipongan diharapkan untuk terus ditampilkan dalam setiap heleran dan kegiatan agar kesenian tradisional tidak punah akibat perkembangan zaman modern saat ini.


(42)

DAFTAR PUSTAKA SUMBER BUKU

Abdurahman, D. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Atmadibrata, E, dkk. (2006). Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung :

Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dan Yayasan Jaya Loka. Bahari, N. (2008). Kritik Seni. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Caturwati, E. (2004). Seni Dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang Perkembangan Pertunjukan Tari Sunda. Yogyakarta : Yayasan Aksara Indonesia.

Damajanti, I. (2006). Psikologi Seni. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Ekadjati, E, S. (1980). Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Bandung : Tanpa Penerbit.

Hadi, S, Y. (2007). Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka.

Holt, C. (2000) Art In Indonesia: Continuities And Change. [terj]. Yogyakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Kartawiriaputra, S. (1994). Oral History (Sejarah Lisan Suatu Pengantar). Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Kartodirjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Lubis, N, dkk. (2011) Sejarah Kebudayaan Sunda. Bandung: Yayasan

Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat.

Mulyadi, T. (2003). Gugum Gumbira Maestro tari Jaipongan Sebuah Biografi. Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta : Tidak Diterbitkan.


(43)

Narawati, T dan Soedarsono. (2005). Tari Sunda. Dulu, Kini dan Esok. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia (P4ST UPI).

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Notosusanto, N. (1964). Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Jakarta: Mega Bookstore.

Rohidi, RT. (2000). Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung : STSI Press.

Rusliana, I. (2008). Penciptaan Tari Sunda. Gagasan Global Bersumber Nilai-nilai Lokal. Bandung : Etnoteater Publisher.

Saini, K.M. (2001). Taksonomi Seni. Bandung : STSI Press.

Salah, S.A. (1996). Aspek Manusia Dalam Seni Pertunjukan. Bandung : STSI Press.

Sedyawati, E. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Bandung : STSI Press. Setiawati, R. (2008). Seni Tari. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah

Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soedarsono, R.M. (1991). Perkembangan Kesenian Kita Menjelang Abad XXI. Yogyakarta : ISI Yogyakarta.

Soemardjo. J. (2000). Filsafat Seni. Bandung : ITB.

Sujana, A. (1993). Tayuban Di Kalangan Bupati Dan Priyayi Di Priangan Pada Abad Ke-19 Dan Ke-20. Tesis pada Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta : Tidak Diterbitkan.

Supriadi, Dedi (2006). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK. Bandung: UPI Press.


(1)

80 Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

Ketiga, pandangan masyarakat terhadap Jaipongan tertuju pada masalah 3G (Goyang, Geol, Gitek) yang menajdi cirri khas Jaipongan. Gerakan 3G oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai sumber dari erotisme terutama oleh kalangan agamawan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Erotisme inilah yang akan berdampak negatif terhadap para penonton yang dianggap akan menimbulkan ‘syahwat’ yang berlebihan. Tidak hanya itu, ketidak setujuan kalangan agamawan juga ditegaskan mengenai cara berpakaian para penari wanita yang cenderung memperlihatkan lekuk tubuh para penarinya. Kendati demikan para seniman tari berusaha menyesuaikan apa yang menjadi kekurangan dalam tari Jaipong.

Keempat, perkembangan budaya modern dan globalisasi yang dikemas dalam berbagai bentuk media komunikasi dan informasi turut mempengaruhi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan kesenian yang bersifat tradisional seperti Jaipongan. Adanya proses urbanisasi dengan hadirnya masyarakat pendatang juga mengakibatkan hilangnya rasa kepemilikan terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki daerah tersebut, para pendatang tersebut lebih bangga terhadap nilai-nilai budaya darimana mereka berasal dan berupaya untuk mengembangkan budayanya pada tempat yang didatanginya sehingga lambat laun kebudayaan pendatang tersebut kemungkinan bisa dapat lebih berkembang dibandingkan kebudayaan asli daerah setempat. Selain itu, peranan instansi terkait yang seharusnya mewadahi berbagai aspirasi dari tiap-tiap kelompok kesenian Jaipongan dinilai oleh sebagian besar pengurus kelompok atau grup kesenian Jaipongan belum dapat secara maksimal memainkan peranannya sehingga menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para seniman untuk lebih mengembangkan dan menyesuaikan dengan arus Globalisasi yang terjadi pada saat sekarang.

5.2.Rekomendasi

Berbagai permasalahan yang penulis simpulkan pada bagian sebelumnya tentu saja dibutuhkan jalan keluar dan solusi yang tepat. Penulis akan memberikan beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai bahan dasar pertimbangan


(2)

dalam rangka turut melestarikan kesenian Jaipongan dan memupuk nilai-nilai budaya lokal yang terkandung didalamnya. Peran pemerintah memang sangat dibutuhkan dalam pembinaan dan pengelolaan agar kesenian tradisional lebih terorganisir baik seniman maupun pertunjukannya.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu mensosialisasikan kepada masyarakat luas khususnya generasi muda melalui Dinas Pendidikan dengan cara memasukkan pengetahuan seni tradisional baik secara teori maupun praktek ke dalam kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut dalam upaya meningkatkan pengkaderan kepada generasi muda dalam rangka menjaga kesenian Jaipongan agar tidak mengalami kepunahan.

Pemerintah juga berperan dalam pendokumentasian atau pendataan terhadap kesenian Jaipongan di setiap daerah di Jawa Barat secara periodik dan teliti, agar kesenian Jaipongan tidak punah. Hasil dokumentasi dapat dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya. Kemudian, pemerintah diharapkan membentuk lembaga atau paguyuban bagi seniman tradisional yang bertujuan mengembangkan kreativitas dan memperluas jaringan agar mempermudah akses untuk pertunjukan di luar Jawa Barat atau bahkan samapi ke luar negeri.

Bagi para seniman Jaipongan diharapkan agar terus melakukan inovasi baik dalam lagu, kemasan perunjukan, dan kolaborasi dengan seni tradisional lainnya atau dengan seni modern lainnya. Dengan hal tersebut, diharapkan minat masyarakat tidak akan berubah untuk terus menggemari kesenian tradisional ini. Pertunjukan kesenian Jaipongan diharapkan untuk terus ditampilkan dalam setiap heleran dan kegiatan agar kesenian tradisional tidak punah akibat perkembangan zaman modern saat ini.


(3)

Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

DAFTAR PUSTAKA SUMBER BUKU

Abdurahman, D. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Atmadibrata, E, dkk. (2006). Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung :

Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dan Yayasan Jaya Loka. Bahari, N. (2008). Kritik Seni. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Caturwati, E. (2004). Seni Dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang Perkembangan Pertunjukan Tari Sunda. Yogyakarta : Yayasan Aksara Indonesia.

Damajanti, I. (2006). Psikologi Seni. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Ekadjati, E, S. (1980). Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Bandung : Tanpa Penerbit.

Hadi, S, Y. (2007). Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka.

Holt, C. (2000) Art In Indonesia: Continuities And Change. [terj]. Yogyakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Ismaun. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Kartawiriaputra, S. (1994). Oral History (Sejarah Lisan Suatu Pengantar). Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Kartodirjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Lubis, N, dkk. (2011) Sejarah Kebudayaan Sunda. Bandung: Yayasan

Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat.

Mulyadi, T. (2003). Gugum Gumbira Maestro tari Jaipongan Sebuah Biografi. Tesis S2 pada Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta : Tidak Diterbitkan.


(4)

Narawati, T dan Soedarsono. (2005). Tari Sunda. Dulu, Kini dan Esok. Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia (P4ST UPI).

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Notosusanto, N. (1964). Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Jakarta: Mega Bookstore.

Rohidi, RT. (2000). Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung : STSI Press.

Rusliana, I. (2008). Penciptaan Tari Sunda. Gagasan Global Bersumber Nilai-nilai Lokal. Bandung : Etnoteater Publisher.

Saini, K.M. (2001). Taksonomi Seni. Bandung : STSI Press.

Salah, S.A. (1996). Aspek Manusia Dalam Seni Pertunjukan. Bandung : STSI Press.

Sedyawati, E. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Bandung : STSI Press. Setiawati, R. (2008). Seni Tari. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah

Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soedarsono, R.M. (1991). Perkembangan Kesenian Kita Menjelang Abad XXI. Yogyakarta : ISI Yogyakarta.

Soemardjo. J. (2000). Filsafat Seni. Bandung : ITB.

Sujana, A. (1993). Tayuban Di Kalangan Bupati Dan Priyayi Di Priangan Pada Abad Ke-19 Dan Ke-20. Tesis pada Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta : Tidak Diterbitkan.

Supriadi, Dedi (2006). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK. Bandung: UPI Press.


(5)

Gressandy Putra, 2013

Kesenian Jaipongan

SUMBER NON BUKU

Mulyana, E. (1997). Proses Kreatif Gugum Gumbira Dalam Penciptaan Jaiponganan. Skripsi di STSI Bandung : Tidak Diterbitkan.

Sumantri, K, N. (1995). Asal Usul dan Perkembangan Jaipongan Dewasa Ini di Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta : Tidak Diterbitkan.

Gumbira, G. (1979). Ketuk Tilu Merupakan Tari Khas Jawa Barat. Proyek Peningkatan Kebudayaan Jawa Barat : Bandung.

SUMBER INTERNET

Alatas, I, F. (2006). Seni Tidak Bebas Nilai. [Online]. Tersedia : http://www.bapeda-jabar.go.id/bpd_site/index.php [02 Agustus 2010]

Imran, A. (2006, 2, April). Gugum Gumbira : Erotisme Itu Kodrati. Pikiran Rakyat. [Online]. Tersedia : http://www.pikiran-rakyat.com. [28 Juli 2010] Nurdjaman, Y. (2012). Garap Kendang Jaipongan. [Online]. Tersedia:

http://nurdjamanyosep.blogspot.com/2012/04/garap-kendang-ketuk-tilu-menjadi.html [10 April 2012]

Sa’Tjiptorahardjo, S.E. (2007). Memahami Seni Kontemporer dengan Jejak Antropologis Seni Pertunjukan Wayang Purwa. [Online]. Tersedia : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0711/17/hib10.html [02 Agustus 2010] __________. (2007). Jaipongan. [Online]. Tersedia : http://www.bandungkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view& id=323&Itemid=208 [28 Juli 2010]

__________. (2009). Pasanggiri Jaipongan Munculkan Kreatifitas Baru. [Online]. Tersedia : http://www.pikiran-rakyat.com/node/116826 [04 Agustus 2010]

__________. (2009). Jaipongan Kesenian Tradisional Jawa Barat. [Online].

Tersedia :

http://www.banjar-jabar.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1832

__________. (2007). Gubernur Batasi Tari Jaipong. [Online]. Tersedia : http://www.karawanginfo.com/?p=1859


(6)

__________. (2009). Dede Yusuf: I Love Jaipongan. [Online]. Tersedia : http://www.detiknews.com/read/2009/02/07/212513/1081108/10/dede-yusuf:-i-love-jaipongan

__________. (2007). Jaipongan. [Online]. Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Jaipongan

__________. (2012). Seni Modern. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_modern [10 April 2012]

__________. (2010). Breakdance. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Breakdance [10 April 2012]

__________. (2008). Kebaya. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Kebaya [10 April 2012]

__________. (2007). Kendang. [Online]. Tersedia: http://www.datasunda.org [10 April 2012]