DINAMIKA KESENIAN TANJIDOR DI KABUPATEN BEKASI: SUATU TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TAHUN 1970-1995.

(1)

DINAMIKA KESENIAN TANJIDOR DI KABUPATEN BEKASI : SUATU TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TAHUN 1970-1995

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

OLEH

MUNZIZEN

0700727

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

DINAMIKA KESENIAN TANJIDOR DI KABUPATEN BEKASI : SUATU TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TAHUN 1970-1995

Oleh Munzizen

0700727

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing: Pembimbing I

Drs. Ayi Budi Santosa M.Si NIP. 19630311 198901 1 001

Pembimbing II

Drs. Syarif Moeis NIP. 19590305 198901 1 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah


(3)

DINAMIKA KESENIAN TANJIDOR DI KABUPATEN BEKASI : SUATU TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TAHUN 1970-1995

Oleh Munzizen

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial

© Munzizen 2013

Universitas Pendidikan Indonesia Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Dinamika Kesenian Tanjidor Di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995”. Penelitian ini bertolak dari kekhawatiran penulis terhadap kesenian Tanjidor yang hampir punah, untuk itu diperlukan upaya untuk mempertahankan seni tradisi tersebut agar tetap bertahan di tengah-tengah seni modern yang berkembang dalam masyarakat. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini mengenai keberadaan kesenian tradisional Tanjidor di Kabupaten Bekasi mulai dari latar belakang lahirnya kesenian Tanjidor, dinamikanya, factor pendorong dan penghambat perkembangan kesenian Tanjidor, serta upaya seniman dan pemerintah Kabupaten Bekasi dalam melestarikan kesenian Tanjidor. Kajian ini lebih difokuskan pada tahun 1970-1995 karena pada periode tersebut terjadi dinamika dalam perkembangan kesenian Tanjidor. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode historis yang meliputi empat langkah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi, yang juga menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu dengan dibantu oleh ilmu Sosiologi dan Antropologi dalam mengkaji permasalahan yang diteliti. Sumber-sumber dalam penulisan ini diperoleh melalui sumber tertulis baik berupa buku-buku maupun dokumen yang relevan dengan kajian yang penulis lakukan. Untuk melengkapi informasi penelitian ini, penulis juga menggunakan teknik wawancara melalui sejarah lisan (oral history),

terhadap pelaku atau narasumber yang mengetahui, mengalami dan mengerti terhadap peristiwa yang dikaji. Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi merupakan kesenian tradisional yang diwariskan secara turun temurun dan memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan Tanjidor yang ada di daerah lainnya yaitu menambahkan waditra pada kesenian Tanjidor berupa alat musik yang digesek (digodot) seperti Biola dan Rebab oleh karena itu disebut juga Tanji Godot. Kesenian Tanjidor telah mengalami perubahan signifikan baik dari segi fungsi tujuan pertunjukannya maupun keutuhan pertunjukannya. Faktor pendorong yang membuat kesenian Tanjidor berkembang adalah karena secara musikalitas Tanjidor sangat menghibur untuk dinikmati, namun kurangnya dukungan dari pemerintah setempat dalam melestarikan kesenian Tanjidor adalah faktor penghambat lain yang menyebabkan mundurnya kesenian Tanjidor. Upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti seniman dan Pemerintah dalam melestarikan kesenian Tanjidor yaitu dengan melakukan inovasi-inovasi, mengkombinasikan kesenian Tanjidor dengan dangdut, memasukan lagu-lagu modern pada saat pertunjukan. Serta pembentukan suatu divisi khusus yang bertanggung jawab terhadap pelestarian kesenian tradisional oleh pemerintah. Saran dari penulis adalah agar pengembangan dan pelestarian kesenian tradisional seperti kesenian Tanjidor bisa dikenal oleh generasi muda saat ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas melalui Dinas Pendidikan dengan cara memasukkan pengetahuan seni tradisional baik secara teori maupun praktek ke dalam kurikulum mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah Atas, sehingga


(5)

ABSTRACT

This paper was titled “Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya tahun 1970-1995”. This research based on the awareness of researcher to condition of the decline of Tanjidor in our society as the traditional heritage. It was needed an extra effort of us to keep this kind of traditional art to be still exist among the movement of modern art mainstream in our society. The problem of this research pointed to the existence of Tanjidor tradition in Kab. Bekasi, it had studied the background event, the dynamic, and the pushed and seized factors of the development of Tanjidor, and finally we would to analyze the effort of native people from the artist and the government of Kab. Bakasi for preserving Tanjidor. The period of this study from 1970-1995 which could be described as the dynamic of the development of Tanjidor. In this research We used the history method which has three parts from the heuristic, critic, interpretation and historiography. We used the interdisciplinary approach (sociology and anthropology) for analyzing the problem of event. This research were resourced from the literature study such as relevant books and documents, and for additional resource came from interview based on oral history from the eyes witnesses. Tanjidor is traditional art came from Kabupaten Bekasi hereditary were regenerated from one generation to the next, whose had their own characteristic that made them different among other places (Tanjidor). They were using Waditra stringged music instrumental (digodot) like viola and rebab, and it is usually called Tanji Godot. Tanjidor had got some significant changes time to time, either function or the mission as the performance wholefully. The significant factor because of the lack of Government treatment for preserving the tradition, event it has the potention as the entertaining and enjoyable. One on effort to make it keep alives was by making some inovations, and doing the combination with populer musik like such us dangdut and contemporer songs. The govermnet were making the division whose resposible for preserving the traditional art and costom especially Tanjidor. Education was the effective socialization media, by interlization tradisional art (Tanjidor) in the curricullum for junior and senior high schools.


(6)

ABSTRAK...…………...i

KATA PENGANTAR...ii

UCAPAN TERIMA KASIH………iii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR TABEL………vii

DAFTAR GAMBAR………..viii

BAB I: PENDAHULUAN……….1

1.1. Latar Belakang Masalah…...1

1.2. Rumusan Masalah...10

1.3. Tujuan Penelitan...10

1.4. Manfaat Penelitian...11

1.5. Sistematika Penulisan...12

BAB II: KAJIAN PUSTAKA...15

2.1. Pengertian Seni...16

2.2. Seni Tradisional dan Seni Pertunjukan…...19

2.3. Tanjidor Sebagai Media Transformasi…...……….28

2.4. Upaya Pelestarian Seni Budaya Lokal…………...34

2.5. Penelitian Terdahulu...41

BAB III: METODOLOGI PENELITAN………..………....46

3.1 Metode dan Teknik Penelitian………...46

3.1.1. Metode Penelitian……….………...46

3.1.2. Teknik Penelitian....………...52


(7)

3.2.3.2. Penyusunan Rancangan Penelitian...57

3.2.3.3. Mengurus Perijinan Penelitian...58

3.2.3.4. Mempersiapkan perlengkapan Penelitian...59

3.2.3.5. Proses Bimbingan...59

3.3. Pelaksanaan Penelitian...59

3.3.1. Heuristik...…...59

3.3.1.1. Pengumpulan Sumber Tertulis....……….………...60

3.3.1.2. Pengumpulan Sumber Lisan………...63

3.3.1.3. Pengumpulan Sumber Benda...………...68

3.3.2. Kritik Sumber…...………...69

3.3.2.1. Kritik Eksternal…...………...70

3.3.2.2. Kritik Internal...………...73

3.3.3. Penapsiran Sumber (Interpretasi) …….………...76

3.3.4. Penulisan Hasil Penelitian (Historiografi)…….………...80

BAB IV: SENI PERTUNJUKAN TANJIDOR DI KABUPATEN BEKASI...87

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bekasi…………...88

4.1.1. Sejarah Kabupaten Bekasi...88

4.1.2. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bekasi...92

4.1.3. Penduduk dan Mata Pencaharian Masyarakat di Kabupaten Bekasi... 96

4.1.4. Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Kabupaten Bekasi... 101

4.2. Latar Belakang Lahirnya Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi...106

4.3. Struktur dan Bentuk Pertunjukan Kesenian Tanjidor...111

4.3.1. Bentuk Pertunjukan Kesenian Tanjidor...112

4.3.1.1. Persiapan Perlengkapan Kesenian Tanjidor...113

4.3.1.2. Pemain dan Tempat Pertunjukan Kesenian Tanjidor...114


(8)

4.5. Fungsi Kesenian Tanjidor bagi Masyarakat Kabupaten Bekasi...142

4.6. Faktor Pendorong dan Penghambat Keberlangsungan Kesenian Tanjidor...152

4.6.1. Faktor Pendorong Keberlangsungan Kesenian Tanjidor...152

4.6.2. Faktor Penghambat Keberlangsungan Kesenian Tanjidor...154

4.6.2.1. Faktor Internal...155

4.6.2.2. Faktor Eksternal…...………...162

4.7. Upaya Seniman dan Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam Melestarikan Kesenian Tanjidor...168

4.7.1. Pelestarian Kesenian Tanjidor Oleh Seniman…...172

4.7.2. Pelestarian Kesenian Tanjidor oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi………...175

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN...178

5.1 Kesimpulan...178

5.2 Saran...184

DAFTAR PUSTAKA...188 LAMPIRAN- LAMPIRAN


(9)

Tabel Hal. 4.1 Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Kabupaten Bekasi Tahun 1970-1995...97 4.2 Pembagian Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bekasi………..98 4.3 Sarana Peribadatan per Kecamatan di Kabupaten Bekasi Tahun 1994-1995…..102 4.4 Nama Grup Kesenian Tanjidor yang ada di Wilayah Kabupaten Bekasi...138


(10)

Gambar Hal.

4.1 Peta Administratif Kabupaten Bekasi...94

4.2 Contoh sesaji dalam pertunjukan Tanjidor………..114

4.3 Contoh Pertunjukan Tanjidor dengan duduk di kursi...116

4.4 Contoh Pertunjukan Tanjidor dengan arak-arakan berkeliling...117

4.5 Contoh Kostum Tanjidor...119

4.6 Contoh Alat Musik Panil...121

4.7 Contoh Alat Musik Simbal...122

4.8 Contoh Alat Musik Tambur...123

4.9 Contoh Alat Musik Bedug...124

4.10 Contoh Alat Musik Bas Selendang...125

4.11 Contoh Alat Musik Trombon...126

4.12 Contoh Alat Musik Tenor...127

4.13 Contoh Alat Musik Piston...128

4.14 Contoh Alat Musik Clarinet……….129


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kabupaten Bekasi adalah salah satu kabupaten yang termasuk dalam Propinsi Jawa Barat, sebuah kabupaten dengan masyarakat yang khas dan heterogen karena daerah Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta (Betawi) dan juga Karawang (Sunda). Kabupaten Bekasi mempunyai kesenian lokal yang cukup beragam yang didukung oleh keadaan masyarakat dan batas wilayah administratif. Budaya Betawi sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Bekasi, sehingga daerah Bekasi disebut juga Betawi Ora atau Udik. Kesenian yang terdapat di Bekasi antara lain Kesenian Orkes Gambang Kromong, Tanjidor, Gamelan Ajeng, Gamelan Topeng, Rebana, Gambus, Tari Topeng Betawi (Rosyadi, 2006: 42).

Dari ragam bentuk seni tradisional tersebut, setiap kesenian mempunyai ciri dan daya tarik masing-masing. Karakteristik tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain, aspek seni drama misalnya Kesenian Topeng Betawi, aspek seni tari yaitu Kesenian Tari Topeng dan aspek musik yaitu Kesenian Gambang Kromong, Rebana Gambus dan Tanjidor. Dari sekian banyak kesenian yang terdapat di Bekasi, penulis akan mencoba mengkaji Kesenian Tanjidor.


(12)

Hadirnya bentuk-bentuk kesenian Betawi khususnya Tanjidor sekira abad ke-16 berawal dari banyaknya orang Eropa (Portugis, Belanda dan Inggris) yang datang untuk berdagang ke Batavia, Kondisi tersebut menyebabkan perdagangan menjadi ramai dan maju. Demikian pula kemajuan dalam bidang perdagangan mendorong kemajuan dalam bidang kesenian. Hal ini dikarenakan banyaknya kebudayaan luar yang ikut masuk ke wilayah Batavia yang saat itu menjadi salah satu jalur perdagangan dunia (Rosyadi, 2006: 25).

Kesenian Tanjidor, awalnya tumbuh dan berkembang dari lingkungan

landhuis para pejabat VOC atau tuan-tuan tanah. Di rumahnya yang sangat besar serta memiliki banyak budak, pada saat-saat tertentu mereka mengadakan pertunjukan musik. Dari sekian banyaknya budak, ada yang bertugas khusus menghibur menjadi “pemain musik”. Dari kelompok mereka ini terbentuk apa yang oleh F. de Haan disebut sebagai slaven concerten atau slavenorkrest “budak pemain

musik”. Memiliki slavenorkrest menunjukkan suatu gaya hidup mewah dengan derajat tertentu di kalangan para landheer pada masa itu (Abdurrachman, 1977: 364).

Tanjidor merupakan kesenian yang bersifat hiburan sejenis orkes rakyat Betawi, yang menggunakan alat-alat musik Barat, terutama alat tiup. Nama Tanjidor sendiri diperkirakan berasal dari bahasa Portugis tanger (bermain musik) dan tangedor (bermain musik di luar ruangan), akan tetapi dengan logat Betawi


(13)

masyarakat Betawi menyebutnya Tanjidor. Lagu-lagu yang dibawakan Orkes Tanjidor adalah Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was tak-tak, Cekranegara, dan Welmes. Semua penamaan tersebut berdasarkan istilah setempat. Perkembangan selanjutnya juga membawakan lagu-lagu Sunda seperti Kang Haji, Oncom Lele, dan sebagainya (Parani, 1980:126).

Pada tahun 1970-an, Kesenian Tanjidor bisa dikatakan salah satu pertunjukan yang paling diminati di Bekasi. Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan atau pesta-pesta umum seperti perayaan hari Kemerdekaan bahkan untuk sarana ritual yang bersifat mistis. Di samping itu kelompok-kelompok Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya "ngamen". Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek, kelompok Tanjidor juga kadang diundang untuk acara penyambutan para tamu undangan Pejabat-pejabat Negara pada acara-acara besar di kantor pemerintahan.

Berbanding terbalik dengan kondisi di tahun 1970-an, sekira tahun 1995 Seni tradisional seperti Tanjidor seakan tidak punya tempat lagi di tengah masyarakat. Kesenian Tanjidor sudah sangat jarang dipentaskan dan kalaupun ada yang nanggap kelompok Kesenian Tanjidor kebanyakkan kalangan pengelola acara untuk suatu prosesi perayaan, seperti hari kemerdekaan, tahun baru masehi maupun


(14)

tahun baru Cina, baik dari perkantoran maupun pertokoan besar. Kemudian, biasanya ada juga sebagian penanggap dari Kesenian Tanjidor ini adalah para kerabat dari seniman atau musisi itu sendiri (Miranti, 2003: 32).

Modernisasi dan globalisasi menggerus kesenian lokal yang terus terpinggirkan sebelum akhirnya mengalami nasib paling menyedihkan yaitu musnah. Begitulah yang dialami Kesenian Tanjidor, satu dari ragam seni tradisional Bekasi yang mulai terlupakan. Penggemarnya perlahan tapi pasti lenyap satu demi satu karena termakan usia. Nyaris sulit mendapatkan penggemar baru. Sempat jaya pada masa berkuasanya para tuan tanah di Bekasi, namun sekarang Tanjidor tidak kuat menahan laju perkembangan kesenian modern seperti musik band dan dangdut (Lohanda, 1986: 7).

Kesenian Tanjidor sebagai seni tradisonal diharapkan tidak punah dan tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat. Kesenian Tanjidor di Bekasi merupakan kesenian musik orkes Betawi yang diwarisi dari generasi terdahulu ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu dengan tetap adanya kesenian ini maka tidak akan pernah putus pesan-pesan dari para leluhur untuk dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Bekasi, serta kekayaan budaya daerah tetap dapat dilestarikan oleh masyarakat sebagai pendukungnya.

Pewarisan seni tradisional terutama pada era modernisasi dihadapkan pada tantangan zaman yang semakin kuat. Karena adanya perubahan komposisi


(15)

penduduk, tingkat pendidikkan, mata pencaharian serta industrialisasi yang mampu menggusur aspek kehidupan budaya masyarakat setempat. Keadaan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh A.O Yoeti bahwa:

Dalam bidang kesenian terjadi permasalahan yang menyangkut pada selera masyarakat. Sebagian masyarakat seleranya beralih pada seni modern, karena kesenian-kesenian yang tradisional yang masih ada dirasakan terdapat kekurangan-kekurangan dibandingkan kesenian modern yang mulai melanda masuk desa (Yoeti, 1985: 10).

Gejala tersebut di atas dipengaruhi oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masalah selera dari generasi muda. Karena dalam persoalan seni tradisi, banyak keunikan dan nilai yang tersembunyi dan umumnya hal tersebut tidak diketahui oleh banyak orang terutama generasi muda. Secara fisik mereka tahu wujud dari tradisi, namun nilai dan makna di balik wujud musik-musik tradisi tersebut tidak diketahui. Oleh sebab itu, cukup beralasan bila kesenian tradisional pada saat ini mulai dilupakan oleh generasi muda.

Kesenian Tanjidor mengalami kemunduran, hal tersebut tidak terlepas dari berkurangnya permintaan untuk melakukan pementasan. Sebagian masyarakat seleranya mulai beralih pada seni modern seiring maraknya kesenian modern yang muncul di lingkungan masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang sudah melupakan seni dan budaya daerahnya sendiri, sementara seni dan budaya asing dipertahankan dalam gaya kehidupannya (Lohanda, 1986: 6).


(16)

Selain itu dalam kenyataanya, pembinaan kesenian tradisional dilaksanakan terlambat, sehingga banyak seni tradisi yang ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Hal tersebut bisa jadi merupakan salah satu dampak dari arus transformasi seni budaya yang datang dari Barat. Akibatnya, Kelompok-kelompok kesenian tradisional banyak yang “gulung tikar” karena sepinya permintaan untuk pentas, sehingga pergelaran sudah jarang dilakukan dan hal itu menyebabkan proses pelestarian dan pewarisan kebudayaan menjadi terhambat. Keadaan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Mahmud bahwa:

Kini ada kecendrungan seni tradisional satu demi satu luruh mengundurkan diri dari panggung budaya. Berbagai usaha dilakukan untuk melestarikannya seperti pencatatan, penelitian, dan pemergelaranya kembali. Meskipun demikian masih ada jenis-jenis yang hilang yang kelihatanya tidak mungkin tertolong (Mahmud,1980: 18).

Bertolak dari pendapat K. Mahmud tersebut dalam konteks Kesenian Tanjidor, bahwa kepunahan sebuah kesenian lokal sebagai aset budaya daerah dapat terjadi jika tidak ada rasa kepedulian serta keinginan melestarikannya, terutama dari generasi muda selaku generasi yang bertanggungjawab untuk meneruskan kelestarian seni tradisional. Tantangan yang dihadapi oleh Kesenian Tanjidor saat ini adalah regenerasi. Minimnya minat generasi muda untuk belajar Tanjidor adalah salah satu penyebab kenapa kesenian ini diambang kepunahan. Bahkan anak-anak pemain Tanjidor sendiri banyak diantaranya yang sudah tidak ingin meneruskan keahlian orang tua mereka. Padahal dahulu, bila dapat menguasai alat musik


(17)

Tanjidor, sudah merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Kesenian Tanjidor mengalami kesulitan untuk berkembang di tangan masyarakat sebagai pemiliknya.

Berbagai permasalahan dihadapi oleh seni budaya tradisional tersebut, selain dihadapkan pada perubahan masyarakat serta perubahan kondisi lingkungan sosial sebagai dampak dari munculnya berbagai kesenian modern yang mulai menggeser posisi kesenian tradisional menjadi hiburan yang tersisihkan. Prospek Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi agaknya mengalami masa yang agak sulit apalagi setelah munculnya hiburan-hiburan modern yang menyebabkan kelompok Kesenian Tanjidor hampir habis. Kemudian permasalahan lainnya adalah peralatan musik yang digunakan juga rata-rata sudah tua dan banyak yang sudah rusak. Kalaupun ingin beli yang baru tergolong sangat mahal, sehingga hal itu juga yang menjadi salah satu penyebab vakumnya kelompok Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi (Miranti, 2003: 38).

Selain itu, perhatian dari instansi terkait pun dirasakan sangat kurang terhadap keberadaan dan perkembangan Kesenian Tanjidor. Setelah semakin berkembangnya kesenian modern, maka Kesenian Tanjidor semakin jarang digelar. Seni budaya tradisional yang harus dijaga, bukan hal yang mustahil akan mengalami kekosongan yang akan berujung kepada kepunahan di tempat seni budaya itu muncul dan berkembang. Padahal mengingat keberadaannya itu sebagai salah satu komoditi penting dalam suatu budaya masyarakat. Kesenian Tanjidor ini sudah


(18)

seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah, karena hal ini, mengkhawatirkan akan memusnahkan aset budaya bangsa ini. Kekhawatiran ini pun diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa sistem pewarisannya pun sangat lambat dan tersendat.

Ada beberapa alasan penting mengapa penulis tertarik untuk mengkaji Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi, diantaranya adalah :

1. Kesenian Tanjidor merupakan seni musik tradisional yang harus dilestarikan. Pendukung kesenian daerah ini sebagian masih ada yang hidup dan berkembang, namun masih banyak pula yang dikhawatirkan akan hilang dan punah. Melihat keadaan para pendukung Kesenian Tanjidor yang diambang kepunahan, penelitian ini diharapkan sebagai salah satu cara untuk tetap melestarikan kesenian tradisional.

2. Pada penelitian ini penulis fokuskan pada tahun 1970-1995. Setelah penulis mendapatkan data-data di lapangan, penulis mengambil tahun kajian 1970-1995 karena pada tahun 1970-an Kesenian Tanjidor mengalami masa kejayaan ditandai dengan banyaknya kelompok-kelompok Kesenian Tanjidor yang ada di Kabupaten Bekasi dan pada saat itu pementasan Tanjidor sering ditampilkan, namun sebaliknya sekira tahun 1995 kesenian ini mulai terlihat gejala-gejala penurunan yang terlihat dengan banyaknya kelompok-kelompok Kesenian Tanjidor yang mulai “gulung tikar” akibat


(19)

persaingan arus globalisasi dan perubahan kondisi masyarakatnya, serta munculnya berbagai kesenian musik modern lainnya seperti dangdut dan band pop.

3. Sebagai putra daerah Bekasi, penulis tertarik mengkaji sejarah lokal yang terdapat di Kabupaten Bekasi. Hal ini bertujuan untuk memahami sejarah dan perkembangan Bekasi, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa memberikan suatu pengetahuan yang baru tentang kehidupan di masyarakat Kabupaten Bekasi, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi masyarakat Kabupaten Bekasi serta pengembangan budaya lokal Jawa Barat.

4. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan suatu pengetahuan yang baru kepada generasi muda tentang adanya Kesenian Tanjidor yang merupakan kesenian tradisional di Kabupaten Bekasi, apalagi Kesenian Tanjidor Bekasi berbeda dengan Tanjidor yang ada di daerah lainnya.

Hal tersebut di atas menjadi ketertarikan bagi penulis sehingga dijadikanlah ide dasar dari judul skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam tentang perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. Maka diangkatlah judul Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995”.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

Dari judul penelitian yang penulis ajukan, penulis membatasi kajiannya dalam satu rumusan masalah besar yaitu “Bagaimana Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi pada Kurun Waktu 1970-1995?”. untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, maka penulis membatasinya dengan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang lahirnya kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi? 2. Bagaimana bentuk pertunjukan kesenian Tanjidor?

3. Faktor-Faktor apa saja yang mendorong dan menghambat perkembangan kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi?

4. Bagaimana upaya seniman dan pemerintah Kabupaten Bekasi dalam melestarikan Kesenian Tanjidor?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai pokok pemikiran di atas, terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh penulis yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum penelitian dilakukan guna memberikan khasanah penulisan karya ilmiah sejarah terutama mengenai sejarah lokal dan sejarah kebudayaan. Tujuan khusus merupakan jawaban dari masalah-masalah yang dirumuskan sebelumnya, antara lain :


(21)

1. Menjelaskan sejarah lahirnya kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. 2. Menjelaskan bentuk pertunjukan kesenian Tanjidor.

3. Memaparkan Faktor-Faktor apa saja yang mendorong dan menghambat perkembangan kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi.

4. Menjelaskan upaya seniman dan pemerintah Kabupaten Bekasi dalam melestarikan kesenian Tanjidor.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian mengenai perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi ini, tentu penulis berharap ada manfaatnya. Adapun manfaat yang hendak dicapai yaitu:

1. Menambah wawasan penulis tentang keberadaan kesenian tradisional yang perlu dilestarikan, khususnya Kesenian Tanjidor.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah tentang kesenian tradisional Tanjidor dan memberikan informasi bahwa betapa banyaknya kesenian-kesenian lokal yang kita punya tetapi tidak terekspos, khususnya kesenian Tanjidor yang berada di Kabupaten Bekasi. Serta memberikan pengembangan studi sejarah lokal Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan masalah kebudayaan dan kesenian.


(22)

3. Memberikan motivasi kepada para seniman, khususnya seniman Tanjidor. Agar mereka tetap berkreasi dan mengembangkan kualitasnya sehingga mampu hadir sebagai sebuah kesenian yang tetap berkembang di tengah-tengah maraknya budaya Barat yang ada di masyarakat.

4. Memberikan motivasi kepada pemerintah daerah setempat khususnya, kepada pemerintah pusat pada umumnya, agar terus dilakukan upaya-upaya yang dapat membangkitkan kembali kesenian tradisional yang hampir punah baik yang melalui regenerasi maupun melalui upaya-upaya yang lainnya. Apalagi mengingat kesenian Tanjidor merupakan salah satu aset kesenian yang ada di daerah Kabupaten Bekasi, sebagai salah satu seni budaya yang sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat sehingga kesenian ini perlu diperhatikan eksistensinya dan kelestariannya.

5. Dalam bidang pendidikan bahwa hasil penelitian (skripsi) ini dapat dijadikan sebagai salah satu materi muatan lokal di sekolah-sekolah baik ditingkat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan skrispsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I, berisi mengenai uraian secara rinci mengenai latar belakang penulisan yang menjadi alasan penulis sehingga tertarik untuk melakukan penelitian yang ditujukan sebagai bahan penulisan skripsi dari rumusan masalah yang


(23)

diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian yang dilakukan, manfaat penelitian yang dilakukan, teknik dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II, penulis menjelaskan topik-topik permasalahan yang terdapat dalam penelitian dengan mengacu kepada suatu tinjauan pustaka. Dengan begitu penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi acuan untuk membantu menerangkan temuan-temuan penelitian.

BAB III, mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode historis. Pada bab ini membahas mengenai langkah-langkah penelitian yang harus dilakukan peneliti untuk memperoleh sumber-sumber yang relevan dengan kajian. Selain itu, peneliti juga melakukan teknik wawancara kepada beberapa narasumber untuk menunjang penelitian.

BAB IV, membahas tentang uraian yang berisi penjelasan-penjelasan terhadap aspek-aspek yang ditanyakan dalam perumusan masalah sebagai bahan kajian. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini yaitu, gambaran umum kehidupan masyarakat di Kabupaten Bekasi, seperti lokasi administratif, geografis, dan gambaran keadaan penduduk. Latar belakang lahirnya kesenian Tanjidor, bentuk pertunjukan kesenian Tanjidor, seni pertunjukan Tanjidor di Kabupaten Bekasi, fungsi kesenian Tanjidor, faktor-faktor penghambat perkembangan kesenian Tanjidor, kemudian pada pembahasan terakhir akan dibahas mengenai bagaimana


(24)

upaya seniman dan pemerintah Kabupaten Bekasi dalam melestarikan kesenian Tanjidor.

BAB V, Kesimpulan dan saran. Merupakan bab terakhir dari rangkaian penulisan skripsi yang berisi tentang kesimpulan maupun saran-saran yang diberikan oleh peneliti dari kajian masalah ini.


(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab III penulis akan memaparkan tentang metodologi penelitian yang dilakukan dalam mengkaji berbagai permasalahan yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 (Kajian Historis Nilai-Nilai Budaya Lokal).

Penulis mencoba untuk memaparkan berbagai langkah yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber, analisis, dan cara penelitiannya. Dalam melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi kajian dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan konsep-konsep dari ilmu Seni, ilmu Sosiologi, dan ilmu Antropologi. Konsep-konsep tersebut terdiri dari konsep seni pertunjukan, seni tradisional, dan kebudayaan.

3.1 Metode dan Teknik Penelitian 3.1.1 Metode Penelitian

Metode berarti suatu prosedur, cara, atau teknik untuk mencapai atau menggarap sesuatu secara efektif atau efisien. Metode merupakan salah satu ciri kerja ilmiah. Berbeda dengan metodologi yang lebih mengarah kepada kerangka referensi, maka metode lebih bersifat praktis. Yaitu memberikan petunjuk mengenai cara, prosedur, dan teknik pelaksanaan secara sistematik. Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis dengan pendekatan


(26)

multidisipliner yang menggunakan bantuan ilmu sosial lainnya seperti disiplin ilmu sosiologi dan antropologi. Teknik penelitiannya yaitu menggunakan teknik wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi (Gottschalk, 1985: 32). Sedangkan metode sejarah menurut Ismaun (2005: 35) adalah:

“Proses untuk mengkaji dan menguji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya”.

Dari beberapa definisi tersebut, metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal dari masa lampau, sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian sejarah, metode historis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada masa lampau secara deskriptif dan analitis. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode ini karena data dan fakta yang dibutuhkan sebagai sumber penelitian skripsi ini berasal dari masa lampau. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode historis sangat sesuai dengan data dan fakta yang diperlukan yang berasal dari masa lampau khususnya mengenai asal-usul Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi.


(27)

Secara ringkas Wood Gray (Sjamsuddin, 2007: 89-90) mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis sebagai berikut:

1. Memilih topik yang sesuai

Dalam penelitian ini, topik tentang Kesenian Tanjidor dipilih peneliti karena peneliti tertarik untuk mengangkat kesenian lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kabupaten Bekasi.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.

Mencari dan mengumpulkan data-data yang terkait dengan kesenian Tanjidor atau teori-teori tentang kesenian Tanjidor. Mencari seniman yang kompeten dengan masalah kesenian Tanjidor, adat istiadat masyarakat Betawi, dan proses-proses seniman dalam melestarikan Kesenian Tanjidor. Buku-buku tersebut penulis cari dibeberapa perpustakaan, diantaranya; Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia, Perpustakaan Nasional Indonesia, Perpustakaan STSI, Perpustakaan Daerah Kabupaten Bekasi, dan beberapa toko buku. Selanjutnya penulis mencari data-data mengenai kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Bekasi untuk mendapatkan data-data yang mendukung terhadap penulisan skripsi ini.

3. Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditentukan ketika penelitian sedang berlangsung.


(28)

Dalam langkah ini penulis membuat catatan-catatan penting terutama dari hasil wawancara peneliti dengan narasumber. Hasil wawancara dengan para narasumber yang kompeten dan ahli mengenai kesenian Tanjidor, kemudian disalin dalam bentuk tulisan untuk memudahkan penulis dalam proses pengkajian penelitian mengenai Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (melakukan kritik sumber).

Kritik dilakukan terhadap semua sumber yang dihimpun peneliti tentang kesenian Tanjidor untuk memperoleh data yang relevan. Setelah semua sumber yang berkenaan dengan masalah penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dilakukan penelaahan serta pengklasifikasian terhadap sumber-sumber informasi, selain itu penulis pun membandingkan hasil dari wawancara terhadap narasumber yakni para seniman Tanjidor di Kabupaten Bekasi dengan buku-buku yang berkaitan dengan kesenian Tanjidor. Dari perbandingan tersebut, bisa diperoleh sumber yang relevan dengan masalah penelitian mengenai Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi Jawa Barat.


(29)

5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya.

Catatan fakta-fakta hasil penelitian disusun dalam sebuah sitematika yang baku, dilakukan oleh civitas mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dengan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang penulis dapatkan. Selanjutnya, penulis akan mencoba menuangkannya dalam skripsi yag berjudul Dinamika Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-1995 (Kajian Historis Nilai-Nilai Budaya Lokal).

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Adapun beberapa tahapan dalam penelitian sejarah menurut Ismaun (2005) yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pengertian dari beberapa langkah kegitan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Heuristik, yaitu mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan pembahasan. Pada tahap ini akan dilakukan pencarian sumber lisan melalui teknik wawancara kepada seniman-seniman


(30)

Kesenian Tanjidor Kabupaten Bekasi, masyarakat Kabupaten Bekasi dan Pemerintah setempat. Pada tahap ini pula akan dilakukanpencarian sumber tertulis yaitu untuk memperoleh data yang dianggap relevan dengan pembahasan mengenai kesenian Tanjidor dan kebudayaan Betawi pada umumnya.

2. Kritik Sumber, dilakukan terhadap sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh dalam langkah pertama, baik kritik terhadap sumber-sumber primer maupun sekunder. Dari sini diharapkan akan diperoleh fakta-fakta historis yang otentik. Ada dua macam kritik yang dilakukan pada tahap ini yaitu kritik eksternal dan internal. Kritik eksternal yaitu meneliti dari sumber yang diperoleh. Sedangkan kritik internal digunakan untuk mengetahui keaslian dari aspek materi.

3. Interpretasi yaitu proses penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah serta penyusunan yang menyangkut seleksi sejarah. Tahap ini diawali dengan melakukan penafsiran terhadap fakta yang berasal dari sumber tertulis maupun lisan yang telah melaului fase kritik. Penulis menganalisis dan mengkaji fakta-fakta tersebut, kemudian diinterpretasikan oleh penulis. Penginterprestasian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


(31)

4. Historiografi, merupakan tahapan terakhir dari metode ilmiah sejarah dalam penulisan skripsi. Dalam historiografi ini, fakta-fakta yang telah melalui berbagai macam proses kemudian disusun menjadi satu kesatuan sejarah yang dituangkan dalam sebuah karya tulis.

Langkah-langkah penelitian yang diungkapkan oleh Ismaun (2005) dengan Sjamsuddin (2007) mempunyai persamaan. Penelitian mengenai dinamika kesenian Tanjidor ini mengacu pada tahapan penelitian yang diungkapkan oleh Sjamsuddin. Metodologi yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode historis dengan pendekatan multidisipliner yang menggunakan bantuan ilmu sosial lainnya seperti disiplin ilmu sosiologi dan antropologi. Pada tahap pengusutan evidensi, penulis mengumpulkan data-data yang terkait dengan kesenian Tanjidor hal ini juga disebutkan oleh Ismaun dalam tahapan heuristik. Begitu juga dengan tahapan kritik dan interpretasi, evaluasi semua evidensi dihimpun penulis untuk memperoleh data yang relevan.

3.1.2 Teknik Penelitian

Teknik penelitian dalam suatu penelitian penting untuk dilakukan, karena teknik penelitian merupakan upaya mengumpulkan data dan informasi yang harus diperoleh dalam penulisan karya ilmiah. Dalam upaya mengumpulkan bahan untuk keperluan penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara-cara atau usaha yang


(32)

dilakukan untuk memperoleh data yang dibutuhkan yakni wawancara, studi kepustakaan (literatur), dan studi dokumentasi yang akan dijelaskan pada uraian berikut:

1. Wawancara adalah suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan pendapat, aspirasi harapan, persepsi, keinginan dan lain-lain dari individu atau responden oleh peneliti. Pada tahapan ini penulis mewawancarai beberapa narasumber yang berkaitan dengan kesenian Tanjidor. Wawancara atau interview dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi (Koentjaraningrat, 1997: 129).

Sebelum seorang peneliti memulai wawancara, ada beberapa masalah yang harus dipecahkan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara diantaranya, seleksi individu untuk diwawancara, pendekatan orang yang telah diseleksi untuk diwawancara, dan pengembangan suasana lancar dalam wawancara serta usaha untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancara.

2. Studi literatur, merupakan cara mempelajari sumber-sumber yang terkumpul dalam bentuk tulisan atau sumber tertulis lainnya yang berhubungan dan mendukung permasalahan dari kajian ini. Setelah literatur terkumpul, serta fakta


(33)

yang telah ditemukan dianggap memadai untuk penulisan ini, maka akan lebih mempermudah dalam proses penulisannya. Studi literatur juga merupakan teknik yang digunakan penulis dengan membaca berbagai sumber yang berhubungan, dengan mengkaji sumber seperti dari buku yang membantu penulis dalam menentukan landasan teori dan keterangan tentang permasalahan yang akan dikaji. Khususnya studi literatur tentang sosial budaya dan pendidikan karena penelitian ini dikaji dari sudut pandang sosial budaya dan pendidikan.

3. Studi dokumentasi, yaitu teknik penelitian dengan cara melakukan kajian terhadap data informasi yang didokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara, tulisan atau lain-lain. Studi dokumentasi ini mempunyai kelebihan, yaitu apabila terdapat kekeliruan, sumber datanya masih tetap dan belum berubah. Hal tersebut menjadikan penulis lebih yakin dalam melakukan penelitian karena didukung dengan adanya bukti fisik dari studi dokumentasi tersebut.

3.2. Lokasi, Subjek dan Persiapan Penelitian

Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang ditentukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian, diantaranya sebagai berikut:

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian mengenai kesenian Tanjidor ini dilakukan di Desa Kertarahayu Kecamatan Setu dan Desa Segarajaya Kecamatan Tarumajaya sebagai


(34)

pusat dari adanya Kesenian Tanjidor yang berada di Kabupaten Bekasi. Desa Kertarahayu dan Segarajaya dipilih, menjadi lokasi penelitian utama, karena tempat tersebut adalah tempat dimana grup Tanjidor Sinar Pusaka dan Pusaka Grup berada dan narasumber pangkal yang diwawancarai peneliti adalah pemimpin grup dari kesenian Tanjidor tersebut. Jarak dari pusat Kabupaten Bekasi ke lokasi penelitian kurang lebih 35 km. Rute perjalanan menuju lokasi penelitian ditempuh sekitar 2 jam dengan menggunakan transportasi umum.

3.2.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pihak-pihak yang menjadi sasaran penelitian atau sumber yang dijadikan informasi yang dipilih secara selektif dan bertalian dengan permasalahan yang dikaji. Subjek yang akan dijadikan sumber dipilih langsung oleh penulis. Subjek penelitian ini dibagi atas tiga unsur, yaitu: Pertama, katagori tokoh-tokoh atau pelaku utama dari kesenian Tanjidor. Kedua, masyarakat sebagai saksi sejarah terhadap eksistensi Kesenian Tanjidor. Ketiga, lembaga terkait seperti Pemerintah Desa Kertarahayu, Kecamatan Setu dan Kabupaten Bekasi.

3.2.3 Persiapan Penelitian

Dalam proses persiapan penelitian, ada beberapa hal atau langkah yang harus dilakukan oleh penulis sebelum melakukan penelitian lebih lanjut. Langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain:


(35)

Tahap ini merupakan tahap awal dari kegiatan penelitian yaitu menentukan tema. Tema yang dipilih yaitu sejarah lokal mengenai kehidupan sosial budaya dan pendidikan masyarakat Kabupaten Bekasi yang masih mempertahankan kesenian Tanjidor. Sebelumnya, peneliti tertarik untuk menulis mengenai Pertamina yang ada di Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi. Alasannya ketertarikannya karena masyarakat di sekitar perusahaan masih merasa belum diperhatikan oleh perusahaan tersebut dan banyak warga masyarakat yang mengeluh terhadap dampak dari pencemaran limbah atau polusi yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Selain itu, jalan banyak yang rusak akibat sering dilalui truk-truk besar yang mengangkut minyak mentah.

Setelah konsultasi dengan Bapak Drs. Ayi Budi Santosa M.Si. memberikan tanggapan bahwa skripsi-skripsi sebelumnya sudah banyak yang menulis mengenai perusahaan minyak tersebut, karena perusahaan ini tersebar di seluruh daerah di Jawa Barat dan mempunyai permasalahan yang sama.

Pada tanggal 20 November 2011, peneliti mengunjungi Desa Kertarahayu Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi. Di tempat tersebut terdapat sebuah grup Kesenian Tanjidor. Penelitipun merasa tertarik untuk lebih mangkaji mengenai kesenian tersebut yang merupakan warisan kebudayaan lokal. Setelah melalui tahap demi tahap, penulis memutuskan untuk mengajukan judul baru dan meminta pendapat dari Bapak Ayi Budi Santosa yang sekaligus sebagai sekretaris TPPS (Tim


(36)

Pertimbangan Penulisan Skripsi). Bapak Ayi Budi Santosa memberikan respon yang baik, mengingat kesenian yang akan peneliti tulis belum pernah ditulis di Jurusan Pendidikan Sejarah. Atas saran dan masukan tersebut peneliti memilih judul kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi dan masuk ke dalam tahapan penyusunan rancangan penelitian.

3.2.3.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Pada tahap ini, penulis mulai melakukan pengumpulan berbagai data dan fakta dari tema yang akan dikaji. Hal yang dilakukan penulis untuk mengumpulkan data dan fakta tersebut dengan cara melakukan wawancara kepada pemimpin Kesenian Tanjidor di Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi dan membaca sumber-sumber tertulis mengenai masalah yang akan dibahas. Setelah memperoleh data dan fakta yang sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, rancangan penelitian ini kemudian dijabarkan dalam bentuk proposal skripsi yang memuat judul penelitian, latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode, teknik penelitian, dan sistematika penelitian.

Proposal skripsi tersebut kemudian dipresentasikan dalam seminar proposal yang dilakukan pada tanggal 09 Desember 2011. Rancangan tersebut kemudian disetujui setelah ada perbaikan-perbaikan dalam hal judul maupun isi dari proposal tersebut. Selanjutnya dikeluarkan surat keputusan TPPS jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI dengan No. 062/TPPS/JPS/2011 sekaligus penentuan pembimbing I


(37)

yaitu kepada Bapak Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si dan pembimbing II yaitu kepada Bapak Drs. Syarif Moeis.

3.2.3.3 Mengurus Perijinan Penelitian

Langkah awal perijinan penelitian yaitu menentukan instansi-instansi yang memungkinkan data dan fakta yang terkait dengan masalah yang dikaji. Perijinan dilakukan untuk mempelancar proses penelitian dalam mencari sumber-sumber yang diperlukan. Adapun surat perjanjian tersebut diberikan kepada beberapa instansi seperti kantor KESBANGPOLINMASDA Kabupaten Bekasi, kantor Kecamatan Setu dan Tarumajaya, Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Bekasi, BPKS Kabupaten Bekasi, dan Pimpinan grup kesenian tradisional Tanjidor Sinar Pustaka dan Pusaka Grup.

3.2.3.4. Mempersiapkan Perlengkapan Penelitian

Sebelum melakukan kegiatan penelitian langsung ke lapangan, penulis mempersiapkan beberapa hal yang diperlukan dalam menyediakan perlengkapan yang akan dibutuhkan dalam penelitian. Hal pertama yang dilakukan oleh penulis adalah membuat surat perijinan penelitian guna memperlancar penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, penulis juga mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dalam penelitian diantaranya sebagai berikut:

1. Jadwal kegiatan penelitian 2. Instrumen wawancara


(38)

3. Alat perekam dan kamera 4. Catatan lapangan

3.2.3.5 Proses Bimbingan

Proses bimbingan merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan penulis selama penyusunan skripsi. Proses bimbingan ini dapat membantu penulis dalam menentukan langkah yang tepat dari setiap kegiatan penelitian yang dilakukan. Pada proses ini, penulis juga mendapat masukan dan arahan baik itu berupa komentar atau perbaikan dari Pembimbing I dan Pembimbing II. Selama proses penyusunan skripsi penulis melakukan proses bimbingan dengan Pembimbing I dan Pembimbing II sesuai dengan waktu dan teknik bimbingan yang telah disepakati bersama sehingga bimbingan dapat berjalan lancar dan diharapkan penyusunan skripsi dapat memberikan hasil sesuai ketentuan.

3. 3 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian merupakan kegiatan utama dalam rangkaian penelitian yang dilakukan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

3. 3. 1 Heuristik

Langkah awal yang dilakukan oleh penulis pada tahap ini yaitu melakukan proses pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan dan berhubungan dengan permasalahan penelitian baik yang berbentuk sumber tertulis, sumber lisan


(39)

maupun sumber benda (artefak). Heuristik merupakan sebuah kegiatan awal mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Dalam proses pengumpulan sumber, penulis mencarinya dari berbagai sumber-sumber sejarah yang dapat dibagi atas tiga golongan besar, yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda (artefak) agar mendapatkan informasi secara lengkap mengenai permasalahan yang dikaji, dengan tujuan untuk memudahkan analisis dalam penulisan ini (Gottschalk, 1985: 35-36). Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan di bawah ini.

3. 3. 1. 1 Pengumpulan Sumber Tertulis

Pada tahap ini peneliti mencoba mencari sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, skripsi dan dokumen-dokumen relevan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan di bawah ini: 1. UPT Perpustakaan UPI

Data yang didapatkan yaitu buku-buku umum yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti dalam mengerjakan skripsi. Terutama yang berkaitan dengan ruang lingkup seni. Pencarian sumber tertulis di Perpustakaan UPI dilakukan secara rutin. Peneliti menemukan beberapa buku yang berkaitan dengan kebudayaan, sistem sosial, perubahan sosial dan budaya. Buku-buku tersebut antara lain adalah Mosaik Budaya karya dari Kusman K. Mahmud,


(40)

Budaya dan Masyarakat. Kemudian buku yang membahas tentang kesenian tradisional dan seni pertunjukan antara lain buku karya R.M Soedarsono yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi dan O.A Yoeti yang berjudul Melestarikan Seni Budaya Tradisional yang Nyaris Punah.

2. Perpustakaan STSI Bandung

Data yang didapatkan dari Perpustakaan STSI yaitu berupa buku-buku umum yang sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan skripsi ini. Pencarian sumber tertulis di perpustakaan tersebut dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan. Peneliti menemukan beberapa buku mengenai kebudayaan. Buku-buku tersebut di antaranya adalah Jangan Tangisi Tradisi karya Johanes Mardimin, buku tersebut menjelaskan mengenai kondisi kesenian tradisional Indonesia yang pada saat ini sudah sangat memprihatinkan karena sudah mulai jarang ditampilkan. Di dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai upaya melestarikan kesenian tradisional. Selanjutnya penulis memperoleh buku Seni Tradisi Masyarakat karya Umar Kayam dan Pertumbuhan Seni Pertunjukan karya Edi Sedyawati. Buku-buku tersebut membantu penulis dalam menganalisa beberapa seni budaya yang bersifat tradisional yang terdapat dalam masyarakat.

3. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

Data yang didapatkan dari Perpustakaan Nasional yaitu berupa buku-buku umum yang sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan skripsi ini. Pencarian


(41)

sumber tertulis di perpustakaan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali dalam sebulan. Peneliti mendapatkan beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah Kesenian Tanjidor yaitu buku karya Fabricius yang berjudul Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19, karya Paramita R. Abdurrahchman yang berjudul

Keroncong Moresko, Tanjidor dan Ondel-ondel, Sebuah Dongengan Sejarah, buku karya Yulianti Parani yang berjudul Sebuah Laporan Pengamatan Lapangan Kesenian Tanjidor di Daerah Jakarta dan Sekitarnya Mei-Oktober 1979. Buku-buku tersebut membantu penulis dalam menganalisa kesenian Tanjidor di Kabupaten bekasi.

4. BPKS Kabupaten Bekasi

Sumber tertulis yang diperoleh dari BPKS Kabupaten Bekasi yaitu data-data mengenai kondisi fisik Kabupaten Bekasi meliputi kuantitas jumlah penduduk, mata pencaharian dan data-data lainnya yang mendukung peneliti selama melakukan penelitian ini. Pencarian informasi di BPKS tersebut dilakukan pada tanggal 23 April 2012.

5. Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Bekasi

Sumber yang diperoleh dari Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Bekasi berupa data-data mengenai persebaran grup-grup Tanjidor yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan informasi agar dapat mengisi kekurangan dari sumber lainnya.


(42)

3. 3. 1. 2 Pengumpulan Sumber Lisan

Sumber lisan kaitannya dengan heuristik yaitu sumber memiliki kemampuan menyikapi peristiwa masa lalu, fungsinya sebagai sumber tentu menjadikan sumber lisan sangat memberikan kontribusi yang luas dalam mencari data dan fakta yang diperlukan. Dalam menggali sumber lisan dilakukan dengan teknik wawancara, yaitu mengajukan banyak pertanyaan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji kepada pihak-pihak sebagai pelaku dan saksi.

Sumber lisan diperoleh penulis dari kegiatan wawancara, dalam penelitian ini narasumber dikatagorikan menjadi dua, yaitu pelaku dan saksi. Sebutan bagi pelaku adalah mereka yang benar-benar mengalami peristiwa atau kejadian yang menjadi bahan kajian seperti para pelaksana Kesenian Tanjidor dan budayawan yang bisa disebutkan sebagai pelaku sejarah yang mengikuti jalannya Kesenian Tanjidor dari waktu ke waktu. Saksi sejarah adalah mereka yang melihat dan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi, dalam hal ini adalah masyarakat sebagai saksi serta instansi pemerintah sebagai lembaga terkait. Hal lain yang harus menjadi perhatian bahwa narasumber yang bisa diwawancarai adalah mereka yang dengan nyata dapat memberikan kesaksian peristiwa yang terjadi dengan melihat dan mengalami pada waktu yang bersangkutan.

Teknik wawancara merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi secara lisan dari narasumber sebagai pelengkap dari sumber tertulis (Kuntowijoyo,


(43)

2003: 23). Kedudukan sejarah lisan semakin menjadi penting, untuk mengetahui keberadaan dan dinamika kesenian Tanjidor. Melalui wawancara, sumber-sumber lisan dapat diungkapkan dari para pelaku-pelaku sejarah. Bahkan peristiwa-peristiwa sejarah yang belum jelas persoalannya. Menurut Koentjaraningrat, teknik wawancara dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Wawancara terstruktur atau berencana yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diselidiki atau diwawancara, diajukan pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan urutan yang seragam.

2. Wawancara tidak terstruktur atau tidak terencana adalah wawancara yang tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata-kata dan tata urut yang harus dipenuhi peneliti (Koentjaraningrat, 1997: 138-139).

Dalam melakukan wawancara di lapangan, penulis menggunakan kedua teknik wawancara tersebut. Hal ini digunakan agar informasi yang penulis dapatkan bisa lebih lengkap dan mudah diolah. Selain itu, dengan penggabungan dua teknik wawancara tersebut, penulis menjadi tidak kaku dalam bertanya dan narasumber menjadi lebih bebas dalam mengungkapkan berbagai informasi yang disampaikannya.

Sebelum wawancara dilakukan, disiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu. Daftar pertanyaan tersebut dijabarkan secara garis besar, pada pelaksananya, pertanyaan tersebut diatur dan diarahkan, sehingga pembicaraan berjalan sesuai dengan pokok permasalahannya. Apabila informasi yang diberikan oleh narasumber kurang jelas, maka penulis mengajukan kembali pertanyaan yang masih terdapat


(44)

dalam kerangka pertanyaan besar. Pertanyaan-pertanyaan diberikan dengan tujuan untuk membantu narasumber dalam mengingat kembali peristiwa sehingga informasi menjadi lebih lengkap, teknik wawancara ini berkaitan dengan penggunaan sejarah lisan, seperti yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo bahwa:

Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal, sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah bahkan jaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan membuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individu dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan... selain sebagai metode, sejarah lisan juga dipergunakan sebagai sumber sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 26-28).

Dalam pemilihan narasumber, penulis melakukan pemilihan narasumber yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang mengetahui keadaan pada saat itu dan terlibat langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa sejarah yang terjadi, mereka berasal dari berbagai kalangan, baik seniman Tanjidor, pengamat dan pemerhati seni di Kabupaten Bekasi, masyarakat umum dan pemerintah setempat. Adapun narasumber yang pertama kali penulis wawancara adalah Bapak Ir. Iswandi Ichsan (40 tahun), seorang pengusaha yang juga sebagai tokoh budayawan di Kabupaten Bekasi tepatnya sebagai Ketua DKB (Dewan Kebudayaan Bekasi). Alasan mengapa penulis memilih Bapak Iswandi sebagai narasumber karena dianggap mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi.


(45)

Narasumber selanjutnya yang penulis wawancara adalah ibu Tety Jumati (35 tahun), pegawai fungsional di Dinas Kebudayaan yang membawahi bidang kesenian, sebagai perwakilan dari instansi pemerintah setempat. Alasan penulis melakukan wawancara terhadap Ibu Tety adalah sebagai perwakilan dari instansi atau pemerintah setempat tempat Kesenian Tanjidor tumbuh dan berkembang. Setelah melakukan wawancara dengan narasumber Dinas Kebudayaan, kemudian penulis mendapatkan informasi tentang siapa saja yang selanjutnya harus penulis wawancarai guna mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi.

Berdasarkan informasi dari pihak Dinas Kebudayaan kemudian penulis melakukan wawancara dengan pihak seniman Tanjidor yaitu Bapak Enjin (75 tahun), meliputi bagaimana latar belakang munculnya Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi terutama di Kampung Cisaat Desa Kertarahayu Kecamatan Setu, alat-alat musik apa saja yang digunakan dalam pertunjukan, prestasi apa saja yang pernah diraih, upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian Tanjidor dari arus globalisasi selama pimpinannya sebagai pemimpin dari Kesenian Tanjidor ini. Wawancara dengan beliau dilakukan 2 kali, yaitu setelah waktu Dzuhur, dari Bapak Enjin penulis mendapat banyak masukan mengenai Kesenian Tanjidor dan siapa saja yang layak dijadikan sebagai narasumber berikutnya.


(46)

Wawancara yang lain dengan seniman Kesenian Tanjidor yaitu dilakukan dengan Bapak Bekong (81 tahun), beliau adalah pelaku Kesenian Tanjidor. Alasan penulis memilih beliau sebagai narasumber selain karena pelaku Tanjidor, beliau juga merupakan pemain Tanjidor Kombinasi yaitu Kesenian Tanjidor yang sudah dimodifikasi dengan alat musik gesek sebagai tambahan yaitu berupa biola dan rebab yang disebut Tanji Godot. Hal ini yang membedakan kelompok Tanjidor tersebut dengan yang lainnya. Wawancara dilakukan di rumah kediamannya setelah Ashar, pertanyaan yang diajukan penulis seputar kondisi Kesenian Tanjidor sebelum tahun kajian dan bagaimana bentuk pertunjukannya, pertanyaan yang sama juga diajukan dengan Bapak Enjin yaitu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan Kesenian Tanjidor dari tantangan jaman yang semakin terbuka dengan seni-seni pertunjukan modern.

Narasumber yang penulis wawancara selanjutnya adalah dari kalangan masyarakat yang berperan sebagai penikmat Kesenian Tanjidor yaitu bapak Samsudin (38 tahun), Bapak H. Karnata (48 tahun), dan Ibu Selvia Erviliani (31 tahun). Sebagai perwakilan dari generasi muda yang tidak begitu mengetahui perkembangan Kesenian Tanjidor penulis mewawancarai Firda Anissa (16 tahun), Muhamad Badrudin (16 tahun), dan Siti Noor Hakimah (17 tahun). Alasan penulis mewawancarai dua generasi yang berbeda adalah agar penulis bisa mengetahui


(47)

pendapat dari dua generasi tersebut terkait dengan perkembangan Kesenian Tanjidor.

Hasil wawancara dengan para narasumber tersebut kemudian disalin dalam bentuk tulisan untuk memudahkan peneliti dalam proses pengkajian yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang berkenaan dengan masalah penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dilakukan penelaahan serta mengklasifikasikan terhadap sumber-sumber informasi, sehingga benar-benar dapat diperoleh sumber relevan dengan masalah penelitian yang dikaji.

3. 3. 1. 3. Pengumpulan Sumber Benda (artefak)

Sumber Benda kaitannya dengan heuristik yaitu benda yang memiliki kemampuan menyikapi peristiwa masa lalu. Contoh-contoh sumber benda adalah; candi, patung, potret, film dan lukisan. Sumber benda yang diperoleh penulis didapatkan dari Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Bekasi berupa foto-foto dan video rekaman Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. Selain itu juga sumber benda lainnya adalah alat-alat musik Tanjidor yang rata-rata sudah berumur sangat tua yaitu sekitar 60 tahun. Penulis melihatnya langsung di rumah salah satu pimpinan Kesenian Tanjidor di Setu Kabupaten Bekasi. Sehingga dari benda-benda tersebut penulis bisa mengetahui informasi lebih mengenai Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi.


(48)

Langkah kedua setelah melakukan Heuristik dalam penelitian, penulis tidak lantas menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber yang sudah dikumpulkan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penyaringan secara kritis terhadap sumber yang diperoleh, terutama terhadap sumber-sumber primer, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah yang disebut sebagai kritik sumber, baik terhadap bahan materi sumber maupun terhadap isi sumber. Dalam tahap ini data-data yang telah dibuat berupa hasil tertulis maupun sumber lisan, disaring dan dipilih untuk dinilai dan diselidiki kesesuain sumber, keterkaitan dan keobjektifannya.

Kritik sumber dapat dilakukan terhadap sumber tertulis maupun sumber lisan. Informasi berupa data atau fakta dari sumber tertulis disesuaikan dengan tujuan penelitian. Sedangkan untuk sumber lisan kritik dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal seperti faktor usia, prilaku dalam arti apakah narasumber mengatakan yang sebenarnya. Kemudian penulis mengadakan kaji banding terhadap data lisan dari beberapa narasumber. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.

3.3.2.1. Kritik Eksternal

Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sjamsuddin :


(49)

Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 134).

Kritik eksternal bertujuan untuk menguji otentitas (keaslian) suatu sumber, agar diperoleh sumber yang benar-benar asli dan bukan tiruan. Sumber yang asli biasanya waktu dan tempatnya diketahui, erat hubungannya dengan historiografi, otentitas suatu sumber mengacu kepada masalah sumber primer dan sumber sekunder. Maka konsep otentitas (keaslian) memiliki tingkatan tertentu, dan terdapat tiga kemungkinan otentitas (keaslian) suatu sumber, yaitu sepenuhnya asli, sebagian asli, dan tidak asli. Dalam hubungan ini, dapat diinterpretasikan bahwa sumber primer adalah sumber yang sepenuhnya asli, sedangkan sumber sekunder memiliki derajat keaslian tertentu. Sumber kritik eksternal harus menerangkan fakta dan kesaksian bahwa:

1. Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang itu atau pada waktu itu

authenticity atau otentisitas.

2. Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, atau penambahan dan penghilangan fakta-fakta yang substansial, karena memori manusia dalam menjelaskan peristiwa sejarah terkadang berbeda


(50)

setiap individu, malah ada yang ditambah ceritanya atau dikurangi, tergantung pada sejauh mana narasumber mengingat peristiwa sejarah yang sedang dikaji.

Menurut Sjamsuddin (2007: 135) kritik eksternal melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah. Selain itu dijelaskan juga bahwa sebelum sumber-sumber dapat digunakan dengan aman, setidaknya ada lima pertanyaan yang harus dijawab, yaitu:

a. Siapa yang mengatakan itu?

b. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?

c. Apa sebenarnya yang dimaksud orang itu melalui kesaksiannya tersebut?

d. Apakah yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang kompeten; apakah ia mengetahui fakta itu?

e. Apakah orang tersebut memberikan informasi dengan sebenarnya?

Jadi pada dasarnya kritik eksternal merupakan upaya untuk menguji otentitas dan integritas sumber sejarah.

Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis maupun sumber lisan. Dalam melakukan kritik eksternal terhadap sumber-sumber tertulis, penulis memperhatikan aspek akademis dari penulis buku yaitu dengan melihat latar belakang penulis buku tersebut untuk melihat keontentitasanya, memperhatikan aspek tahun penerbitan buku, penerbit buku, serta tempat buku diterbitkan.


(51)

Berdasarkan kriteria tersebut, penulis menentukan apakah sumber-sumber tertulis yang diperoleh itu layak atau tidak untuk digunakan sebagai bahan referensi dan acuan dalam penulisan skripsi.

Buku-buku yang menjadi sumber tertulis sebagian besar ditulis dari tahun 1990 sampai 2000-an, sehingga tampilan bukunya masih baik dan mudah dibaca. Adapun buku yang didapatkan penulis sebelum tahun 1990-an yaitu buku karya Paramita R. Abdurrahchman yang berjudul Keroncong Moresko, Tanjidor dan Ondel-ondel, Sebuah Dongengan Sejarah tahun 1977 salah satu buku utama yang dijadikan bahan referensi oleh penulis ini dinilai cukup berkompeten hal ini dilihat dari riwayat hidup penulis yang secara langsung pernah berkecimpung di dunia kesenian dan sejarah, buku karya Paramita R. Abdurrahchman ini diterbitkan oleh Budaya Jaya. Paramita R. Abdurrahchman tidak diragukan lagi kredibilitasnya sebagai sejarawan. Namun satu kelemahan dari buku itu adalah ejaan yang digunakan adalah ejaan yang lama. sehingga penulis agak kesulitan dalam memahaminya selain itu, sistematika dan editornya dinilai masih kurang baik karena penulis banyak menemukan kata-kata yang kurang tepat dalam penulisannya akibatnya menyulitkan penulis dalam memaknai isi bukunya.

Penulis pun melakukan kritik eksternal terhadap sumber lisan yang dilakukan penulis dengan cara mengidentifikasi narasumber. Kritik eksternal terhadap sumber lisan, penulis lakukan dengan cara melihat usia narasumber,


(52)

kedudukan, kondisi fisik dan perilaku, pekerjaan, pendidikan, agama, dan keberadaanya pada kurun waktu 1970-1995. Narasumber yang penulis kunjungi rata-rata memiliki usia yang tidak terlalu muda namun juga tidak terlalu tua, sehingga daya ingatnya masih cukup baik. Contohnya Bapak Bekong dan Bapak Enjin dari kalangan seniman Tanjidor sebagai narasumber utama yang diwawancarai walaupun secara umur mereka sudah tua akan tetapi ingatan mereka masih baik dan secara jasmani mereka juga masih terlihat sehat. Dari kedua narasumber tersebut penulis mendapatkan beberapa informasi yang penting mengenai perkembangan Tanjidor.

3. 3. 2. 2. Kritik Internal

Kritik internal dilakukan untuk menguji kredibilitas dan reabilitas sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan kritik internal dengan cara mengkomparasikan dan melakukan cross check di antara sumber yang diperoleh. Kritik internal bertujuan untuk mengetahui kelayakan sumber yang telah diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan narasumber sebagai sumber sejarah yang berhubungan dengan peristiwa yang sedang diteliti.

Kritik internal menekankan kegiatannya dengan melakukan pengujian terhadap aspek-aspek dalam dari setiap sumber. Kritik internal dilakukan untuk mengetahui isi sumber sejarah tersebut atau tingkat kredibilitas isi informasi dari narasumber. Kritik internal yang dilakukan penulis terhadap sumber tertulis


(53)

dilakukan dengan membandingkan antara sumber-sumber yang telah terkumpul dan menentukan sumber relevan dan akurat dengan permasalahan yang dikaji. Setelah penulis melakukan kaji banding, pendapat narasumber yang satu dan lainnya kemudian membandingkan pendapat narasumber dengan sumber tertulis atau dengan menggunakan pendekatan triangulasi. Kaji banding ini bertujuan untuk memperoleh kebenaran fakta-fakta yang didapat dari sumber tertulis maupun sumber lisan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Kritik internal untuk sumber lisan penulis melakukan kaji banding terhadap hasil wawancara narasumber yang satu dengan yang lainnya karena tidak semua orang memiliki pandangan yang sama terhadap suatu permasalahan. Contohnya hasil wawancara antara bapak Enjin dengan Bapak Bekong yang merupakan seniman yang menjaga dan melestarikan Kesenian Tanjidor, penulis melakukan kaji banding antara narasumber yang satu dengan yang lainnya kemudian membandingkan pendapat narasumber dengan sumber tertulis apakah terdapat perbedaan-perbedaan dari jawaban yang dikemukakan oleh narasumber. Jika kebanyakan isinya seragam, dengan demikian penulis menyimpulkan apa yang dikatakan narasumber adalah benar. Hal ini untuk mencari kecocokan diantara narasumber dan untuk meminimalisir subjektifitas narasumber tersebut. Namun pada wawancara berikutnya penulis juga melakukan kaji banding antara narasumber yang satu dengan yang lainnya dan mendapatkan jawaban yang berbeda isinya yaitu


(54)

antara Ibu Tety Jumiati dari instansi pemerintah dan Bapak Iswandi Ichsan budayawan Bekasi dari pihak DKB (Dewan Kesenian Bekasi).

Penulis menanyakan beberapa pertanyaan yang sama namun jawabanya berbeda yaitu pertama, mengenai ada berapa grup Kesenian Tanjidor yang ada di Kabupaten Bekasi. Ibu Tety menjawabnya bahwa di Kabupaten Bekasi terdapat 10 grup Kesenian Tanjidor yang masih ada, sedangkan dari pihak DKB yang di wakili oleh Bapak Iswandi Ichsan mengatakan hanya ada 5 grup Tanjidor yang masih ada.

Kedua, mengenai upaya pemerintah terhadap pelestarian Kesenian Tanjidor di Kabupaten Bekasi. Ibu Tety menjawabnya bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan Kesenian Tanjidor salah satunya dengan selalu mempromosikan kesenian Tanjidor dikalangan remaja agar dikenal, sedangkan menurut Bapak Iswandi mengatakan bahwa perhatian pemerintah sangatlah kurang hal ini bisa dilihat dengan banyaknya grup Kesenian Tanjidor yang gulung tikar dan kurang dikenalnya kesenian Tanjidor pada masyarakat Kabupaten Bekasi.

Setelah penulis melakukan kaji banding terhadap hasil wawancara narasumber antara Ibu Tety dan Bapak Iswandi maka penulis menyimpulkan bahwa tidak semua orang memiliki pandangan yang sama terhadap suatu permasalahan. Oleh karena itu, untuk membuktikan kebenarannya maka penulis mencoba mencari faktanya di lapangan yaitu; Pertama, penulis mencari grup Tanjidor yang masih ada di Kabupaten Bekasi dan dari pencarian tersebut penulis menemukan 5 grup


(55)

Tanjidor yang masih ada. Kedua, penulis menanyakan langsung ke seniman Tanjidor mengenai upaya pemerintah terhadap kesenian Tanjidor dan para seniman tersebut menjawab bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap Kesenian Tanjidor dirasa masih kurang. Maka setelah penulis melakukan kaji banding, antara pendapat narasumber yang satu dan lainnya, akhirnya penulis bisa menyimpulkan jawaban dan memperoleh kebenaran fakta-fakta yang didapat dari sumber lisan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

3. 3. 3. Penafsiran Sumber (Interpretasi)

Pada tahap ini penulis melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh baik dari sumber tulisan maupun sumber lisan. Fakta-fakta tersebut kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya, sehingga setiap fakta tidak berdiri sendiri dan menjadi rangkaian peristiwa yang saling berhubungan. Penelitian dalam tahap ini berusaha memilih dan menafsirkan setiap fakta yang dianggap sesuai dengan bahasan dalam penelitian, setiap fakta-fakta yang diperoleh penulis dari sumber primer yang diwawancarai dibandingkan dan dihubungkan dengan fakta lain yang diperoleh baik dari sumber tulisan maupun sumber lisan. Hal ini dilakukan untuk mangantisipasi sebagian data yang diperoleh tidak mengalami penyimpangan. Setelah fakta-fakta tersebut dapat diterima dan dihubungkan dengan fakta lainnya maka rangkaian fakta tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah rekontruksi yang menggambarkan keadaan sosial budaya dan pendidikan


(56)

masyarakat Kabupaten Bekasi yang masih melestarikan Kesenian Tanjidor tahun 1970-1995.

Mengkaji permasalahan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu pendekatan dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan disiplin ilmu lain (ilmu sosial) dalam mempertajam analisa kajian. Selain menggunakan ilmu sejarah untuk mengkaji permasalahan yang terjadi di masa lampau, penulis juga menggunakan konsep-konsep sosiologi dan antropologi. Konsep-konsep yang dipinjam dari sosiologi seperti peranan sosial, perubahan sosial serta yang lainnya. Secara metodologis pendekatan Sosiologi dalam kajian sejarah, seperti yang dikemukakan oleh Weber (Abdurrahman, 2007: 23) adalah sebagai berikut:

Secara metodologis, penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah itu adalah bertujuan memahami arti subjektif dari kelakuan sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Dari sini tampaklah bahwa fungsionalisasi sosiologi mengarahkan pengkaji sejarah pada pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenaan dengan peristiwa-peristiwa kolektif sehingga pengetahuan teoritislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau faktor-faktor dari suatu peristiwa.

Penelitian pergerakan sejarah atas bantuan sosiologi biasanya dapat pula membantu mengungkapkan proses-proses sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemahaman kausalitas antara pergerakan sosial dan perubahan sosial. Pendekatan sosiologi dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengkaji mengenai perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Kabupaten Bekasi dan bertujuan


(57)

untuk memahami sejauh mana pengaruh perubahan sosial budaya pada masyarakat tersebut terhadap perkembangan seni tradisional Tanjidor.

Antropologi sering kali sukar dibedakan dengan sosiologi, karena kedua bidang ilmu tersebut sama-sama mempelajari masyarakat, terutama bentuk-bentuk sosial dan strukturnya, baik yang berwujud perilaku individu maupun dalam perilaku sosial atau kelompok. Hal utama yang membedakan antropologi dan sosiologi adalah pendekatannya, sasaran utama kajiannya, dan sejarah perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan. Mengenai pendekatan misalnya, antropologi seringkali dikembangkan dalam bidang kajian untuk mempelajari masalah-masalah budaya. Karena kajian antropologi ini mencakup berbagai dimensi kehidupan, maka antropologi dapat diklasifikasikan berdasarkan cabang-cabangnya, seperti antropologi sosial, antropologi politik, dan antropologi budaya (Abdurrahman, 2007: 27).

Titik singgung antara antropologi budaya dan sejarah sangatlah jelas, keduanya mempelajari manusia sebagai objeknya. Apabila sejarah menggambarkan kehidupan manusia dan masyarakat pada masa lampau, maka gambaran itu mencakup unsur-unsur kebudayaannya sehingga tampak adanya tumpang tindih antara bidang sejarah dan antropologi budaya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya sejarah dan sosiologi, perpaduan antara pandangan sinkronis dan diakronis merupakan pendekatan yang bisa memadukan antara kedua disiplin itu.


(58)

Hubungan antara antropologi dan sejarah dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (Supardan, 2008: 326) adalah sebagai berikut:

Hubungan ini dapat dilihat karena kedua disiplin ini memiliki persamaan yang menempatkan manusia sebagai subjek dan objek kajiannya, lazimnya mencakup berbagai dimensi kehidupan. Dengan demikian, di samping memiliki titik perbedaan, kedua disiplin itu pun memiliki persamaan. Bila sejarah membatasi diri pada penggambaran suatu peristiwa sebagai proses di masa lampau dalam bentuk cerita secara einmalig „sekali

terjadi‟, hal ini tidak termasuk bidang kajian antropologi. Namun, jika suatu penggambaran sejarah menampilkan suatu masyarakat di masa lampau dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, religi, dan keseniannya maka gambaran tersebut mencakup unsur-unsur kebudayaan masyarakat. Dalam hal itu ada persamaan bahkan tumpang tindih antara sejarah dan antropologi.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa antropologi akan selalu berfungsi dalam pengkajian sejarah. Terutama dalam mengkaji latar belakang sosial budaya dari peristiwa-peristiwa sejarah. Demikian pula ketika ingin mengetahui mengenai perubahan suatu kebudayaan, maka perubahan itu harus dikaji dalam perspektif sejarahnya dengan menggunakan konsep dan teori antropologi.

Konsep dalam ilmu antropologi yang dikaji dalam penelitian ini adalah konsep mengenai religi dan kebudayaan masyarakat Betawi pada umumnya dan masyarakat sekitar objek penelitian pada khususnya untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai budaya dan agama berkembang dalam masyarakat tersebut. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat


(1)

e. Kepada pelaku kesenian Tanjidor, perlu dilakukan pembenahan susunan sajian dan penataan kembali manajemen organisasinya karena Tanjidor yang dimainkan di Kabupaten Bekasi sebenarnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dikenal oleh masyarakat luas karena kesenian tersebut memiliki keunikan yang terletak pada alat musiknya yang berumur sangat tua bahkan banyak yang merupakan peninggalan jaman kolonial dan juga bentuk penyajiannya yang masih sangat tradisional. Untuk mengupayakan hal tersebut hendaknya kesenian Tanjidor tersebut harus dipromosikan dan diberi dana oleh pemerintah daerah Kabupaten Bekasi secara berkesinambungan agar kesenian tersebut bisa berkembang.

f. Melakukan sistem pewarisan kesenian Tanjidor sebagai usaha menanamkan kesadaran kepada masyarakat luas khususnya generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan kesenian Tanjidor di masa depan, dimulai dari anggota keluarga dan orang-orang terdekat pelaku kesenian Tanjidor. Sehingga kesenian Tanjidor tetap terjaga kelestariannya.

g. Kesenian Tanjidor merupakan salah satu kesenian rakyat Betawi yang memiliki sejarah panjang, sehingga penelitian yang berhubungan dengan sejarah lokal seperti ini diharapkan mendapat perhatian dari intansi yang terkait, agar dapat menambah wawasan bagi masyarakat


(2)

dan memberikan informasi bahwa betapa banyaknya kesenian-kesenian lokal yang kita punya tetapi tidak terekpos, khususnya kesenian Tanjidor yang berada di Kabupaten Bekasi. Agar bisa memberikan pengembangan studi sejarah lokal Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan masalah kebudayaan dan kesenian.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku

Abdurahman, D. (2007). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Abdurrahchman, P. R. (1977). Keroncong Moresko, Tanjidor dan Ondel-ondel,

Sebuah Dongengan Sejarah. Jakarta: Budaya Jaya. Ahmadi, A. (2007). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

BPS Kabupaten Bekasi. (1995). Kabupaten Bekasi dalam Angka Tahun 1995. Bekasi: Pemerintah Kabupaten Bekasi.

BPS Kabupaten Bekasi. (2011). Kabupaten Bekasi dalam Angka Tahun 2011. Bekasi: Pemerintah Kabupaten Bekasi.

BPS Provinsi Jawa Barat. (1995). Jawa Barat dalam Angka Tahun 1995. Bekasi: Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. (1983). Profil seni budaya betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Esten, M. (1999). Kearifan Budaya Lokal: Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.

Fabricius, J. (2009). Mayor Jantce: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19. Jakarta: Pusaka.

Gie, T.L. (1976). Garis Besar Estetik. Yogyakarta: Karya.

Gottschalk, L. (1985). Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan Penerbit UI. Gunawan, D. (1995). Seni Tradisional. Singaparna: Deskriftif.

Haryono. (1999). Dasar-Dasar Kesenian. Bandung: Angkasa.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: Historis Utama Press. Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.


(4)

Koentjaraningrat. (1987). Manusia dan Kebudayan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Lohanda, M. (1986). Tanjidor: Sebuah Tantangan Budaya Lokal Betawi. Jakarta: LPKJ.

Mahmud, K. (1980). Mozaik Budaya. Yogyakarta: Kota Kembang. Mardimin, J. (1994). Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.

Masunah, J. (2001). “Tradisi yang Berubah” Makalah. Bandung: UPT Kebudayaan UPI Bandung.

Miranti, R. (2003). Strategi Adaptasi Kelompok Musik Tanjidor dalam Menghadapi Perubahan. Jakarta: UI.

Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Ngadiyono. (1995). Kelembagaan dan Masyarakat. Jakarta : Bina aksara. Nugraha, O. (1983). Tata Busana Tari Sunda. Bandung: Kota Kembang.

Parani, Y. (1980). Sebuah Laporan Pengamatan Lapangan Kesenian Tanjidor di Daerah Jakarta dan Sekitarnya Mei-Oktober 1979. Jakarta: LPKJ.

Pemerintah Kabupaten Bekasi. (2000). 50 Tahun Kabupaten Bekasi. Bekasi: Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Pitana, I G. (2005). Sosiologi Pariwisata Kajian Sosiologi terhadap Struktur, Sistem dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

Poesponegoro, M D dan Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, M D dan Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Poerbakawatja, S dan Harahap, A.H.A. (1982). Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta : Gunung agung.


(5)

Rohidi, T.R. (2000). Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STSI Press.

Rosyadi. (2006). Profil Budaya Betawi. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Rosyid, M. (2009). Kebudayaan dan Pemdidikan-Fondasi Generasi Bermartabat.

Yogyakarta: Idea Press.

Saidi, R. (1997). Profil Orang Betawi. Jakarta: PT. Gunara Kata.

Santoso, B. (1992). Profil Propinsi Republik Indonesia Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.

Sedyawati, E. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soedarsono, R.M. (1999). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Depdikbud.

Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Sumardjo, J. (2001). Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung ITB.

Soekanto, S. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Grafiti Press. Soepandi, A. dan Atmadibrata, E (1997). Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat.

Bandung: Pelita Massa.

Sujarno, Dkk. (2003). Seni Pertunjukan Tradisional, Nilai, Fungsi, dan Tantangannya. Yogyakarta : Mentri Kebudayaan dan Pariwisata.

Sumardjo, J. (2001). Seni Pertunjukan Indonesia. Bandung: STSI Press.

Tjandrasasmita, U. (1977). Sejarah Jakarta dari Zaman Prasejarah sampai dengan Batavia Tahun -1750. Jakarta: Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah.

Yoeti, A.O. (1985). Melestarikan Seni Budaya Tradisional yang Nyaris Punah.


(6)

B. Sumber Internet

Azis, I. (2009). Mengenal Tanjidor.[Online].Tersedia:

http//blog.indra.com/read/2009/06/09/21203987/mengenal.tanjidor [13 April 2012].

Enriko. (2011). Tanjidor Pusaka di Ujung Usia.

[Online].Tersedia:http://oase.radar.com/read/2011/13/05/21187534/tanjidor. Pusaka.di.ujung.usia [14 april 2012].

Latief, F. (2005). Mereka Generasi Terakhir Tanjidor. [Online].Tersedia:http://blog.feri.com/read/2009/12/05/14731836/mereka.gen erasi.terakhir.tanjidor. [12 April 2005].

Limbeng, P.J. (2009). Apresiaisi Masyarakat pada Kesenian Tradisional Menurun.

[Online].Tersedia:http://oase.kompas.com/read/2009/12/07/21085342/apresia si.masyarakat.pada. kesenian.tradisonal. menurun [13 April 2012].

Mijarto, P. (2009). Mayor Jantje dan Tanjidor.

[Online].Tersedia:http://oase.kompas.com/read/2009/12/07/20976532/mayor.j antje. dan. tanjidor. [13 April 2009].